Anda di halaman 1dari 17

Pengantar Studi Hadist

Dr. Abdul Hamid,LC,MA

PENULIS:
HANINA FITRIAH 2720190035

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah pengantar studi hadist.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah pengantar studi hadist di Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam As-Syafi’iyah. Saya sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat
dalam rangka menambah wawasan pengetahuan. Saya banyak menemukan hambatan dan
kesulitan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
di selesaikan.

Saya juga menyadari sepenuhnya di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang terstruktur
dengan baik dan saya mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Hadist dan ilmu hadist ................................................................................... 4

B. Sanad dan posisi hadis ................................................................................................ 4

C. Kedudukan sunnah dalam hukum islam


………………………………………………………………….6

D. Pengertian al-quran
…………………………………………………………………………………………………
………8

E. Globalisasi dan Tantangan Dakwah


……………………………………………………………………….10

F. Syiah Antara Paradigma dan Problematika Masyarakat Madani………….18

BAB III PENUTUP .........................................................................................................................

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 32


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits merupkan salah satu sumber hukum atau sumber ajaran Islam yang kedua
setelah Al-Quran. Secara umum kita memahami hadits adalah segala sesuatu yang
dinukilkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir , pengajaran, sifat, dan perilaku, serta perjalanan hidup Rasulullah SAW. Hadits
juga sering disebut sebagai As-Sunnah dimana beberapa ahli, secara syara’ juga
mendefinisikan sama, yaitu sesuatu yang datang dari Rasullah SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir )

Saat ini kajian tentang hadits sudah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, dan
memiliki sub kajian yang sangat luas. Ada berbagai cabang kajian dalam hadits, mulai
dari kajian sejarah, kualitas dan kesahihan, klasifikasi dan periwayatannya, dan
sebagainya.

Klasifikasi hadits juga bisa ditinjau dari segi sumber berita/nisbat matan suatu Hadits.
Klasifikasi Hadits dilihat dari sumber berita memiliki arti yang sama dengan ungkapan
dalam bukunya Ulumul Hadits, yaitu: Hadits Qudsi, Hadits Marfu, Hadits Mauquf, dan
Hadits Maqthu.

Secara umum dapat didefinisikan jika sumber berita dari Allah dinamakan Hadits
Qudsi, jika sumber berita datangnya dari Nabi disebut Hadits Marfu, jika datangnya
sumber berita itu dari sahabat disebut Hadits Mauquf dan jika datangnya dari Tabi’in
disebut hadia Maqthu. Sumber utama di atas tidak dapat menentukan keshahihan suatu
Hadits sekalipun datangnya dari Allah atau Nabi. karena tinjauan kualitas shahih, hasan
dan dha’if tidak hanya dilihat dari segi sumber berita akan tetapi lebih dilihat dari sifat-
sifat para pembawa berita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits Qudsi ?
2. Apa yang dimaksud dengan Hadits Marfu (Lafdzan) ?
3. Apa yang dimaksud dengan Hadits Mauquf ?
4. Pembagian berdasarkan kekuatan : Shahih
5. Definisi adil, dhabit, illat hadis, syadz

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hadits Qudsi ?
2. Untuk Mengetahui Pengertian Hadits Marfu (Lafdzan) ?
3. Untuk Mengetahui Pengertian Hadits Mauquf ?
4. Pembagian berdasarkan kekuatan : Shahih
5. Definisi adil, dhabit, illat hadis, syadz

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Qudsi

Hadis Qudsi adalah hadis yang dinisabkan sumbernya dari Allah SWT, namun bukan Al –
Qur`an Al – karim.
Perbedaan hadis qudsi dengan hadis (biasa) hanya ada dalam pernishaban.
Nilai kekuatan Hadis Qudsi, sama seperti hadis yang lainnya, tergantung pada sanad dan
matan.

Pembagian Hadis berdasar penisbahan


 Qudsi
 Marfu
 Mawquf
 Maqtu

Tidak ada spesifikasi kekuatan hukum Hadis Qudsi, dalam kata lain: Hadis Qudsi ada yang
sahih, hasan, da`if, dan juga ada yang palsu.
Secara bahasa Hadis Qudsi terdiri dari dua kata, yakni Hadits dan Qudsi. Hadits ( )
Segala yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad, baik berupa ucapan, perbuatan,
persetujuan, atau karakter, kemudian Qudsi ( ) secara bahasa diambil dari kata
quddus, yang artinya suci. Disebut hadis qudsi, karena perkataan ini dinisbahkan kepada
Allah, al-Quddus, yang artinya Dzat Yang Maha Suci. Dalam persefektif lain, dinisbahkan
kepada Ilah (Tuhan) maka disebut Hadis Ilahi atau dinisbahkan kepada Rabb (Tuhan) maka
disebut pula Hadis Rabbani.

Dalam pengertian etimologi dan terminologi hadits qudsi didenifisikan sebagai


berikut:
‫ هو ما نقل الينا عن النبى صلى هللا عليه وسلم مع اسنا ده اياه الى‬:‫ القدسي اى الطهر اصطالحا‬: ‫الحديث ا لقدسي لغة‬
.‫ربه عز ووجل‬
Secara bahasa, kata “qudsi” berarti suci, sedangkan menurut istilah hadits qudsi
adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah dan disandarkan kepada Allah. Hadits
jenis ini juga disebut dengan istilah hadits ilahi atau hadits rabbani, karena disandarkan
kepada Allah.
Untuk lebih jelasnya, kami akan mengemukakan beberapa definisi tersebut,:
.ِ‫سه‬ َ َ‫اْل ْل َه ِام أ َ ْوبِا ْل َمنَ ِام فَأ َ ْخبَ َر النَّبِي ِ ِمنْ ذَ ِلكَ الْ َم ْعنَى بِ ِعب‬
ِ ‫ارةِ نَ ْف‬ ِ ْ ِ‫ ب‬.‫م‬.‫َما يُ ْخبِ ُر هللا ُ تَعَالَى بِ ِه االنَّبِ ِى ص‬
Sesuatu yang diberikan Allah Swt., kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi, kemudian
Nabi Saw. Menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ungkapan sendiri.
.َّ‫ قَ ْو اًل إلىاهللِ ع ََّز َو َجل‬.‫م‬.‫ْف فِ ْي ِه َرسُ ْو ِل هللاِ ص‬ ُ ‫ث يُ ِضي‬ ٍ ‫كُ ُّل َح ِد ْي‬
Segala hadits Rasul SAW. Yang berupa ucapan, yang disandarkan kepada Allah `Azza wa
Jalla`.
.‫ارةٍ شَا َء‬ َ َ‫َارةا ِب ْاًلءِ ْل َه ِام َوت ََارةا بِا ْل َمنا َ ِم ُمفَ َّو ضاا إِلَ ْي ِه الت َّ ْعبِي َْر ِبأَي ِ ِعب‬ َ ‫َما أ َ ْخبَ َر هللاُ نَبِيَّهُ ت‬
َ ‫َارة ُ ِب‬
َ ‫الو ْحي ِ َوت‬
Sesuatu yang diberitahukan Allah SWT., terkadang melalui wahyu, ilham, atau mimpi,
dengan redaksinya yang diserahkan kepada Nabi SAW.

a. Hadits Qudsi Menurut Para Ulama

Uluma Fiqh dan Ulama Ushul Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin - rahimahullah- di dalam
kitab beliau (Syarh al-‘Arba’in an-Nawawi):
“Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang penyebutan “hadis qudsi”, apakah
hadis tersebut termasuk kalam Allah (makna dan lafalnya berasal dari Allah)? atau Allah
SWT hanya mewahyukan kepada Rasululah SAW secara makna saja, sedangkan lafalnya
berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam?

Ada dua pendapat dalam perkara ini :


1. Pendapat pertama : bahwa hadis qudsi berasal dari Allah baik lafal maupun
maknanya. Dikarenakan Rasulullah SAW menyandarkannya kepada Allah ta’ala.
Sedangkan telah maklum bahwa asal suatu ucapan yang disandarkan maka lafalnya
berasal dari si pengucap langsung bukan lafal dari penukilnya. Terlebih lagi bahwa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam (sebagai penukilnya -pent) adalah orang yang paling
kuat amanahnya dan paling kokoh periwayatannya.
2. Pendapat yang kedua : bahwa hadis qudsi maknanya berasal dari sisi Allah tetapi
lafalnya berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini ditinjau dari dua sisi :

- Seandainya hadis qudsi berasal dari Allah baik lafal dan maknanya, maka
tentulah sanadnya akan lebih tinggi daripada al-Qur’an. Karena Nabi shalallahu
‘alaihi wa salam meriwayatkan langsung dari Allah ta’ala tanpa adanya
perantara, sebagaimana yang nampak dari konteksnya. Adapun alQur’an
diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam melalui
Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu
dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orangorang yang berserah diri
(kepada Allah)". (QS. An-Nahl : 102)

- Seandainya lafal hadis qudsi berasal dari Allah, maka tidak akan ada bedanya
antara hadis qudsi dengan al-Qur’an. Karena keduanya jika ditetapkan
demikian maka merupakan kalam Allah ta’ala. Sehingga mengharuskan
persamaan keduanya di dalam hukum jika asal keduanya sama. Padahal telah
diketahui bahwa antara al-Qur’an dan hadis qudsi ada perbedaan yang banyak.

b. Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Quran

1) Al Qur’an lafal dan maknanya berasal dari Allah Ta’ala melalui


pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan hadits qudsi redaksinyadari
Nabi Muhammad Saw dan maknanya dari Allah Ta’ala melalui pengilhaman atau
melalui mimpi.

2) Al Qur’an diturunkan melalui pelantaraan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad Saw,
sedangkan hadis qudsi tidak demikian.

3) Al Qur’an sebagai mukjizat yang memiliki keistimewaan yang tidak terdapat dalam
hadis qudsi.

c. Perbedaan Hadist Nabawi dengan Hadit Qudsi

Hadits nabawi terbagi menjadi dua, yaitu Tauqifi dan Taufiqi :

 Tauqifi
Yang bersifat Tauqifi yaitu, kandungannya diterima oleh Rasulullah dari Wahyu lalu
dijelasakan kepada manusia dengan kata-kata darinya. Disini, meskipun
kandungannya dinisbatkan kepada Allah, tetapi dari sisi perkataan lebih layak
dinisbatkan kepada Rasulullah sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang
mengatakannya walaupun terdapat makna yang diterimannya dari pihak lain.

 Taufiqi
Yang bersifat Taufiqi yaitu, yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut
pemahamannya terhadap Al-Quran karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan
Al-Quran atau mengambil istimbat dengan perenungan dan ijtihad. Dalam hal ini,
wahyu akan mendiamkannya bila benar dan bila terdapat kesalahan di dalamnya
maka wahyu akan turun untuk membetulkannya.

Yang pasti Taufiqi ini bukan kalam Allah. Dari sini jelaslah bahwa hadis Nabawi
dengan kedua bagiannya yang Tauqifi dengan ijtihad yang diakui oleh Wahyu itu dapat
dikatakan bersumber dari Wahyu.Inilah esensi dari firman Allah tentang Rasulullah SAW :
“ Dan (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa Nafsunya. Apa yang
diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadnaya”

Hadis Qudsi itu maknanya dari Allah. Hadis ini disampaikan kepada Rasulullah dengan
satu cara dari beberapa model pewahyuan tetapi lafaznya dari
Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Di nisbatkannya hadis Qudsi kepada Allah ta‟ala adalah
penisbatan isinya bukan penisbatan lafalnya. Sebab seandainya lafal hadis Qudsi itu dari Allah
maka tentu tidak berbeda dengan Al-Quran.

Jumlah Hadis Qudsi :


 Tidak ada data yang pasti tentang jumlah hadis dengan jenis ini, di samping
tidak ada yang menyebutkannya secara pasti.
 Penyebabnya, karena masih ada perbedaan kriteria. Ada yang mensyaratkan
penegasannya di awal, ada yang cukup dengan makna atau ada penisbahan di
tengah atau akhir.

Tentang hal ini muncul dua syubhat :

1) Hadits Nabawi ini secara maknawi juga wahyu, lafaznya pun dari
Rasulullah tetapi tidak dinamakan Hadits Qudsi? karena kita memastikan bahwa
hadis Qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah karena adanya nash syar‟i yang
menisbatkannya kepada Allah yaitu kata-kata Rasulullah SAW : “Qaalallahu
Ta’aala” atau Yaquulullahu Ta’aala”. Itu sebabnya dinamakan hadits itu hadits
Qudsi. Berbeda hadits-hadits Nabawi itu tidak memuat nash seperti ini.

2) Apabila lafal hadis Qudsi itu dari Rasulullah maka dengan alasan apakah
hadis itu dinisbatkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti “Qaalallahu
Ta’aala” atau “Yaquulullahu Ta’aala”? Hal seperti ini biasa terjadi dalam bahasa
arab yang mana satu ucapan disandarkan kandungannya bukan lafalnya. Misalnya,
ketika kita menggubah satu bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata
demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita
pun mengatakan “si fulan berkata demikian”. Begitu juga Al-Quran menceritakan
tentang Musa, Fir‟aun dan lainnya dengan lafal yang bukan lafal yang mereka
ucapkan dan dengan gaya
bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka tetapi tetap saja disandarkan kepada
mereka. Contohnya dalam surah Asy-Syu‟araa:10-24

Contoh perbandingan
B. Pengertian Hadis Marfu

Hadis yang marfu' adalah hadis yang langsung disandarkan pada Nabi, tidak
hanya berhenti pada sahabat.

Dalam kategori marfu' ini masuk hadis-hadis yang muttashil, munqathi' dan juga
mursal, karena hadis – hadis tersebut terputus pada tingkat di bawah Nabi,
sedangkan inti dari hadis tersebut bersambung sampai pada Nabi.

Walaupun munqathi' masuk sebagai kategori marfu' tetapi bagi sebagian ulama,
hal itu tidak masuk dalam kategori musnad karena tidak adanya ketersambungan
antara perawi yang disandarkan pada Nabi dalam hadis tersebut.

Tetapi al-Hafidz bin Tsabit mendefinisikan hadis yang marfu' adalah hadis
yang diriwayatkan sahabat dari perkataan Nabi Saw atau perbuatannya. Di sini
ibn Tsabit mengkhususkan dari sahabat bukan dari Tabi`in, karena yang berasal
dari Tabi`in disebut mursal.

a. Jenis Hadis Marfu

1. Marfu Lafdzan, Yaitu hadis yang secara terang – terangan sahabat atau
perawinya menyatakan bahwa Rasulullah SAW mengatakan, atau melakukan,
atau menyatujuinya.
2. Marfu Hukman, yaitu hadis di mana sahabat yang meriwayatkannya tidak
secara terang – terangan menyatakan bahwa Rasulullah SAW, menyatakan,
melakukan, atau menyetujuinya.

 Contoh Hadis Marfu` Lafzan

‫قال البخاري‬
‫حدنا يعقوب بن إبراهيم قال‬: ،‫ عن عبد العزيز بن صهيب‬،‫حدنا أبن علية‬
‫عن أنس ه‬
‫عن الثبي ح و حدنا دم قال‬: ‫ عن أس عاله قال‬،‫ عن قتادة‬،‫حدنا شعبة‬: ‫قال‬
‫البي‬:
‫ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده ولده واالسي أجمعين‬.
 Hadis ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahihnya.
 Hadis diriwayatkan langsung oleh Anas RA marfu' dari Nabi SAW.
 Oleh karenanya hadis ini bisa di jadikan salah satu contoh hadis yang marfu'
pada Nabi SAW.
 Pada dasarnya kebanyakan hadis yang terangkum dalam kitab-kitab hadis
berstatus marfu', walau pun ada juga sebagian besar yang mauquf pada sahabat.

 Contoh Hadis Marfu' Hukman


‫قال البخاري‬:
‫حدثنا أحمد بن صالح حدثنا ابن وهب حدثنا يونس عن ابن شهاب عن غزوة وأبي‬
‫بكر قالت عائشة رضي هللا عنها كان النبي صلى هللا عليه وسلم يدركه الفجر في‬
‫رمضان من غير خلم فيغتسل ويصوم‬

 Perkataan di atas secara zahirnya adalah perkataan sahabat, yaitu Aisyah


 Namun cerita dalam perkataan di atas adalah tentang Nabi SAW, karenanya ia
dapat dikatakan sebagai bersumber dari Rasulullah SAW.
 Hadis yang bersumber dari Rasulullah saw disebut hadis marfu.

C. Pengertian Hadis Mauquf

Hadis mauquf adalah berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat
saja. Baik yang disandarkan itu perkataan perbuatan, atau taqrir, baik yang
sanadnya bersambung maupun terputus.

Para ahli fiqih Khurasan menamakan hadis mauquf dengan nama khabar atau
atsar. Adapun para ahli hadis sepakat menyebutnya atsar karena diambil dari
ungkapan "Atsartu al-Syar'a.

Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan
mu'min dan meninggal dalam keadaan mu'min.

a. Contoh Hadits Mauquf


D. Pengertian Hadis Shahih

Definisi hadis shahih adalah hadis yang di riwayatkan oleh perawi yang adil, kuat
ingatannya (Dhabith), sanadnya bersambung, terhindar dari illat dan tidak syadz.

Definisi ibn shalah : arabnya

Definisi matan baiquniah : arabnya

Pembagian berdasarkan kekuatan

Kekuatan :
 Shahih
 Shahih (lizatihi)
 Shahih (lighairihi)
 Hasan
 Hasan (lizatihi)
 Hasan (lighairihi)
 Hasan shahih
 Hasan shahih gharib
 Da`if
 Da`if jiddan
 Palsu

Syarat keshahihan hadis :

 Syarat - syarat hadis shahih


a. Rawinya bersifat adil
b. Sempurna ingatannya (dhabit)
c. Sanadnya bersambung
d. Hadisnya terhindar dari cacat (illat)
e. Tidak janggal/bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat (syadz)
 Definisi adil
 Al - bayquni mendefinisikan adil adalah setiap muslim yang baligh, berakal,
serta selamat dari sebab - sebab kefasikan dan hal - hal yang dapat menjatuhkan
harga diri .
 Keadilan perawi menurut Al - sam`ani terletak pada empat syarat: selalu
menjaga perbuatannya hingga jauh dari maksiat, menjauhi dosa - dosa kecil yang
dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan perkara - perkara
mubah yang dapat menggugurkan kadar iman, serta tidak mengikuti salah satu
mazhab yang bertentangan dengan syara.
 Definisi adalah menurut Al - razi: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu
bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa kecil, dan
meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menodai muru`ah seperti: makan di
jalan umum dan bergurau yang berlebihan.

 Definisi dhabit
 Diabit adalah sempurna daya ingat perawinya, dalam arti, ingatannya lebih
banyak dari pada lupanya, serta kebenarannya lebih banyak dari pada salahnya.
 Diabit ada dua macam :
a. Diabith Al - shadr, yaitu perawi hafal benar dengan apa
yang ia dengar dan memungkinkan baginya untuk
menyampaikannya kapan saja ketika di kehendaki.
b. Diabith Al - kitab yaitu seorang rawi benar - benar
menjaga kitab yang ia tulis sejak ia mendengarnya dan
mentashihnya sampai ia menyampaikan hadis yang ia
tulis tersebut, serta tidak menyerahkannya kepada orang
- orang yang tidak bisa menjaganya.
 Definisi illat hadis
 Illat hadis adalah sebab yang tersembunyi yang dapat mencoreng kesahihan suatu
hadis
 Contohnya : seorang perawi meriwayatkan hadis secara muttasil (bersambung)
terhadap hadis mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya),
atau terhadap hadis munqati (yang gugur salah satu rawinya). seharusnya,
seorang perawi meriwayatkan hadis dari seorang guru sesuai yang dia dengar
dari beliau, bukan sebagaimana yang di ketahuinya, sekalipun berkonsekwensi
lemahnya riwayat tersebut.
 Definisi syadz
 Kejanggalan hadis (syadz) adalah periwayatan perawi maqbul (diterima) yang
menyelisihi perawi yang lebih baik (rajih) darinya baik dari segi jumlah sanad
maupun ketsiqahannya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

- Hadis qudsi adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah dan


disandarkan kepada Allah. Hadits jenis ini juga disebut dengan istilah hadits
ilahi atau hadits rabbani, karena disandarkan kepada Allah.
- Hadits Marfu` adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW., baik sanad hadits tersebut bersambung-
sambung atau terputus, Baik yang menyandarkan haditst itu sahabat maupun
lainnya.
- Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, Atau Taqrir.

B. SARAN

Kami sebagai penulis sangat menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak
kekurangannya, oleh karena itu kami mohon maaf. Dan kami sangat berharap atas
kritikan dan saran yang bersifat membangun. mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
untuk kita semua dan khususnya bagi kami sebagai penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththa, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Cet. 8,Bogor : Pustaka
Litera Antar Nusa,b 2004.
10
‘Itr, Nuruddin, DR. Ulumul Hadis, terjemah oleh Drs. Mujiyo, cet. 1. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2012
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Khon, Abdul Madjid, Ulumul Hadis . Cet. II, Jln Sawo Raya No18. Jakarta :
Amzah, 2009.
Abbas Mutawali Hamadah. 1965. As-sunnah An- Nabawiyah wal makanatuh fi At-
Tasyri`. Kairo: Dar Al-Qaumiyah li Ath-Thiba`ah wa An-Nasyr.
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, Al-Misbah Al- Munir fi gharib al-syarh li al-rafi`i Bairut:
Dar al-kutub al-ilmiyyah, 1398.
Agus solahudin & agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits, Bandung : Pustaka Setia.
Assa`idi Sa`dullah. 1996. Hadits-haditst Sekte, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
M.M. Azami. 1992. Metodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. Jakarta:pustaka Hidayah.
Mudasir.2010. Ilmu Hadis .Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai