Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HADIS MARFU, MAWQUF, MAQTU


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis

Dosen Pengampu:
Fathoniz Zakka Lc, M.Th.I, Ic, M.Th.I

Oleh:
1. Sabrina Putri Hidayat (07040322139)
2. Shellen Salsabilla A.F (07040322131)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta kemudahan
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tugas ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Studi Hadis”.

Terima kasih kami sampaikan kepada anggota kelompok kami yang turut serta
mengerjakan tugas ini dengan semaksimal mungkin. Terima kasih kami sampaikan juga kepada
pihak yang telah memberikan arahan dalam pembuatan makalah ini.

Kami berharap makalah yang berjudul “Hadis Marfu, Mawquf dan Maqtu”ini dapat
memberikan ilmu yang bermanfaat dan menambah wawasan baik bagi penulis maupun pembaca.
Terlebih kami sangat berharap supaya makalah ini bisa menjadi pembelajaran mata kuliah Studi
Hadis.

Dengan terselesainya makalah ini, kelompok kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Fathoniz Zakka, Lc, M.Th.I, Ic, M.Th.I. Kami sangat bersedia apabila terdapat kritik dan
saran dari pembaca, agar kami dapat memperbaiki makalah dengan lebih baik lagi. Atas
perhatiannya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Surabaya, 27 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................. ......................1


B. Rumusan Masalah......................................................... ..........................1
C. Tujuan Pembahasan.......................................................... ......................1
BAB II: PEMBAHASAN...................................................................................2

A. Hadis Marfu........................................................................................... 3
B. Kehujjahan Hadis Marfu....................................................................... 5
C. Hadis Mawquf................................................................. .......................5
D. Kehujjahan Hadis Mawquf.....................................................................6
E. Hadis Maqtu..........................................................................................7
F. Kehujjahan Hadis Maqtu......................................................................8
BAB III: PENUTUP..........................................................................................9

A. Kesimpulan........................................................................................... .9
B. Saran........................................................................ ..............................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu hadis (ulum al-hadis) terdiri dari dua kata, yaitu ilmu (ulum) dan al-hadis.
Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari “Ilm”, yang berarti “ilmu-ilmu”,
sedangkan al-hadis di kalangan ulama hadis berarti “adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad dari perbuatan, perkataan, taqrir atau sifat.” Dengan demikian,
gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Ilmu hadis juga diartikan sebagai suatu
ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui betul atau tidaknya ucapan, perbuatan,
ketetapan dari Nabi Muhammad Saw. Dapat juga diartikan sebagai “ilmu hadis adalah
ilmu yang mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Riwayat atau sesuatu yg
diriwayatkan.

Hadis marfu, mawquf, dan maqtu adalah pembagian suatu hadis yang yakni
berdasarkan dari sisi penisbatannya. Hadis ini dinisbatkan kepada matannya, yang jika
kepada Nabi itu adalah marfu, jika kepada sahabat itu adalah mawquf, dan jika
dinisbatkan kepada orang-orang setelah sahabat Nabi, baik Tabiin maupun setelahnya, itu
adalah maqtu. Pembagian tersebut tanpa melihat apakah Riwayat itu shahih atau tidak.
Sehingga ada Riwayat marfu, yang shahih, ada yang tidak. Ada Riwayat mawquf yang
shahih, ada pula yang tidak. Demikian pula berlaku untuk Riwayat maqtu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat ulama mengenai definisi dari Hadis Marfu, Mawquf, dan
Maqtu serta pembagian hadis ditinjau dari penyandarannya ?
2. Bagaimana kedudukan Hadis Marfu, Mawquf dan Maqtu?

C. Tujuan Pembahasan
1. Agar dapat memahami pendapat ulama mengenai dari Hadis Marfu, Mawquf,
dan Maqtu serta pembagian hadis ditinjau dari penyandarannya
2. Agar dapat mengetahui kedudukan Hadis Marfu, Mawquf dan Maqtu

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADIS MARFU

Al-Marfu menurut bahasa merupakan isim maful dari kata “rafaa” (mengangkat),
dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu karena disandarkannya ia
kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam.

Hadis Marfu menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan),
atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam, baik yang
bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu = marfu hukman), baik yang
menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau
munqati (terputus).1

Tetapi al-Hafidz bin Tsabit mendefinisikan hadis yang marfu' adalah hadis yang
diriwayatkan sahabat dari perkataan Nabi Saw atau perbuatannya. Di sini ibn Tsabit
mengkhususkan dari sahabat bukan dari Tabi`in, karena yang berasal dari Tabi`in
disebut mursal.

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadis marfu ada 8 macam, yaitu : berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini
mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu secara
hukum.

Marfu secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu, namun dihukumkan marfu karena bersandar pada beberapa indikasi.

Contohnya:

1. Perkataan yang marfu tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar


Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah

1
Wafie Ahmad, Hadis Marfu, Mawquf, dan Maqtu, wafieahmad.wordpress.com, (diakses pada 3 Desember 2022,
pukul 18.25).

2
shallallaahu alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal
dengan itu.
2. Perkataan yang marfu secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak
mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di
masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau
berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan
keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami
diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk
sunnah adalah melakukan begini”.
3. Perbuatan yang marfu tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah
melihat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam melakukan begini”.
4. Perbuatan yang marfu secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada
celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radliyallaahu anhum berbuka puasa dan mengqashar
shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak dari bard, yaitu
salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
5. Penetapan (taqrir) yang marfu tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam — dan dia (shahabat tersebut) tidak
menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
terhadap perbuatan itu.
6. Penetapan yang marfu secara hukum : seperti perkataan shahabat, ”Adalah para
shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam”
7. Sifat yang marfu tashrih : seperti perkataan seorang sahabat yang menyebutkan
sifat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sebagaimana dalam hadis Ali
radliyallaahu anhu, ”Nabi shallallaahu alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak
pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu alaihi wasallam berkulit cerah,
peramah, dan lemah lembut”.

3
8. Sifat yang marfu secara hukum : seperti perkataan sahabat,”Dihalalkan untuk
kami begini”; atau “telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti
secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam yang
menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum
menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah
shalllallaahu alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan;
maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini
sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk
seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu. 2

Dalam penyampaianya ada beberapa kalimat yang bisa menjadi tanda dari hadis
marfu diantaranya:

a. Jika yang berbicara sahabat:


1) Kami telah diperintah (‫) امرنا‬.
2) Kami telah dilarang (‫)نهينا عن‬.
3) Telah diwajibkan atas kami (‫)اوجب علينا‬.
4) Telah diharamkan atas kami (‫)حرم علينا‬.
5) Telah diberi kelonggaran kepada kami (‫)رخص لنا‬.
6) Telah lalu dari sunnah (‫)مضت السنة‬.
7) Menurut sunnah ( ‫)من السنة‬.
8) Kami berbuat demikian di zaman Nabi (‫)كنا نفعل كذا فى عهد النبي ص‬.
9) Kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup( ‫كنا نفعل كذا و‬
‫)النبي‬
b. Jika yang meriwayatkanya tabi`in:
1) Ia merafa`kanya kepada Nabi SAW (‫)يرفعه‬.
2) Ia menyandarkanya kepada Nabi SAW (‫)ينميه‬.
3) Ia meriwayatkanya dari Nabi SAW (‫)يرويه‬.
4) Ia menyampaikanya kepada Nabi SAW (‫)يبلغ به‬.
5) Dengan meriwayatkan sampai Nabi SAW (‫)رواية‬.
c. Jika di akhir sanad ada sebutan (‫ )مرفوعا‬artinya: keadaanya dimarfu`kan.

2
Ibid.

4
B. Kehujjahan Hadis Marfu

Hadis marfu merupakan penisbatan atau penyandaran segala sesuatu pada Rasulullah
saw dalam ragam ucapan, perbuatan, atau tingkah laku, pengakuan juga sifat yang
dimiliki oleh beliau. Tujuannya untuk dijadikan sumber dalam pelaksanaan rutinitas
kehidupan.

Tidak berbeda dengan hadis qudsi, bahwa kehujjahan hadis marfu tergantung pada
kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad. Hal ini memungkinkan suatu hadis marfu
berstatus sahih, hasan ataupun dhaif.3

C. HADIS MAWQUF

Mawquf menurut bahasa berasal dari kata “waqf” yang berarti berhenti. Seakan-akan
perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat4. Mawquf menurut pengertian istilah
ulama hadis adalah:

ِ َّ‫الص َحابِ ْي ِم ْن قَوْ ٍل َأوْ فِع ٍْل َأوْ نَحْ ٍو ُمت‬


‫صاًل َكانَ ُم ْنقَ ِطعًا‬ ِ ُ‫َما ا‬
َ ‫ض ْيفَ ِإلَي‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau
taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”

Sebagian ulama mendefinisikan hadis mawquf adalah:

‫الحديث الذي اسند إلى الصحابي دون النبي صل هللا عليه وسلم‬

“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah
SAW”5

Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan,
atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis
mawquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada
Rasulullah saw.

Contoh Hadis Mawquf:

3
Ahmad Sudianto, Al Marfu Minal Qauli Hukman, Jurnal As-Salam, Vol.5 No.2, 2021, hal. 140.
4
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Hadits, terj.Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005, hal.
173.
5
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 227.

5
1. Hadis mawquf qauli (yang berupa perkataan)
ّ ‫ ح ّدثوا الناس بما يعرفون أن‬: ‫قال علي بن طالب رضي هللا عنه‬
‫يكذب هللا ورسوله ؟‬

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai
dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan
Allah dan Rasul-Nya?”

2. Hadis mawquf fi‟li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam


Bukhari,

“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”

3. Hadis mawquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi‟in

‫علي‬
ّ ‫فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم ينكر‬

“Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak
mengingkariku”

D. Kehujjahan Hadis Mawquf

ada prinsipnya hadis mawquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang
menunjukkan (menjadikan) marfu,6 karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat
semata, tidak disandarkan kepada Rasulullah saw.

Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan
hujjah, dan tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena
tergolong ihtimal (dugaan yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan
(dugaan yang kuat kebenarannya). Ihtimal tidak bernilai apa-apa.7

Di antara hadis mawquf terdapat hadis yang lafaz dan bentuknya mawquf, namun
setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu, yaitu berhubungan dengan Rasulullah
saw. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadis dengan al-Mawquf Lafzhan
al-Marfu Manan, yaitu secara lafaz berstatus mawquf namun scara makna berstatus
marfu (hadis marfu hukmi), sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadis
marfu sebelumnya.

6
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal. 155.
7
Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, terj. Zakia Ahmad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003,
hal. 470.

6
E. HADIS MAQTU

Menurut bahasa kata maqtu berasal dari akar kata ٌ‫اط ٌع َو َم ْقطُوْ ع‬ ْ َ‫قَطَّ َع يُقَطِّ ُع ق‬yang berarti
ِ َ‫طعًا ق‬
terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di
sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabiin saja.

Menurut istilah hadis maqtu adalah

ِ ُ‫َما ا‬
‫ من قول أو فعل‬š‫ض ْيفَ ِإلَيالتابعي أو من دونه‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya daripada
Tabiin kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan
sesamanya.8

Perbedaan antara hadis maqtu dengan munqati adalah bahwasannya al-maqtu adalah
bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqati bagian dari sifat sanad. Hadis yang maqtu
itu merupakan perkataan tabiin atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya
bersambung sampai kepadanya. Sedangkan munqati sanadnya tidak bersambung dan
tidak ada kaitannya dengan matan.9

Sebagaian para ulama hadis seperti Imam Asy-Syafi,I dan Ath-Thabrani menamakan
al-maqtu dengan al-munqati yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang
tidak popular. Hal ini terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadis,
kemudian menjadi istilah al-maqtu sebagai pembeda untuk istilah al-munqati.10

Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau
persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqtu.

Contoh Hadis Maqtu

1) Hadis maqtu qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri
tentang sholat di belakang ahli bidah:

‫صل وعليه بدعته‬

8
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 231.
9
al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Hadits, terj.Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005, hal.
174.
10
Dr. Zulkifli, M.Ag, Studi Hadis, Riau: Suskapress, 2015

7
“Shalatlah dan dialah yang menanggung bidahnya”

2) Hadis maqtu fili (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin

Muhammad al-Muntasyir.

‫كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صالته ريخليهم ودنياهم‬

“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan


menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”

3) Hadis maqtu taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam


binUtaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid
itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.”

Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih
membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.

F. Kehujjahan Hadis Maqtu

Hadis maqtu tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang
datang dari Rasulullah saw, hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang
umat Islam.

Dengan demikian, hadis maqtu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mawquf, karena status dari
perkataan tabiin sama dengan perkataan ulama lainnya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

a) Hadis marfu adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik
perkataan, perbuatan, ataupun taqrir. baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum
(disebut marfu = marfu hukman), baik yang menyandarkannya itu sahabat atau
bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqati (terputus).

8
b) Hadis mawquf adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat
atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik
bersambung sanadnya maupun terputus. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada
sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
c) Hadis maqtu adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabiin atau orang
setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung
sanadnya maupun terputus.

B. SARAN

Untuk semua para pembaca, Studi Hadis sangat penting untuk kita pelajari agar kita
mengetahui apa saja pembahasan yang ada didalamnya dan bisa memperluas wawasan
kita. Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran para pembaca sangat kami
harapkan. Apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai