Anda di halaman 1dari 26

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS DALAM ISLAM

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah


Studi Hadis
Dosen Pengampu:
Dr. Romlah Abu Bakar Askar, Lc.,M.A.

Disusun oleh:

Ahmad Rafi al-Hazmi 21220110000007


Hanifah Nur Azizah 21220110000004
Januri 21220110000005

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M/1444 H
2

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah “Studi Hadis” dengan
judul “Kedudukan dan Fungsi Hadis dalam Islam”.
Terima kasih kepada dosen pengampu, yakni bapak Dr. Romlah Abu
Bakar Askar, Lc. M.Ag yang telah membimbing Kami dalam mata kuliah Studi
Hadis . Tak lupa Kami ucapkan terima kasih kepada teman dan rekan-rekan yang
hadir membantu dan terlibat dalam pembuatan makalah ini sehingga selesai tepat
waktu.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan...............................................................................................2
BAB II..........................................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Pengertian Hadis....................................................................................................3
B. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam..................................................5
C. Kedudukan As-Sunnah sebagai Hujjah dalam Syariat Islam...............................10
D. Kedudukan As-Sunnah dalam Dalil-dalil Syariat.................................................13
E. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an.......................................................................14
BAB III.......................................................................................................................22
PENUTUP..................................................................................................................22
A. Simpulan.............................................................................................................22
B. Saran....................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama memiliki “Mashadirul Ahkam” (sandaran
hukum). Hal ini untuk mengatur dan memberikan petunjuk bagi setiap
penganut ajarannya. Dalam ajaran agama Islam terdapat dua sandaran
hukum yang utama sebagai pedoman kehidupan umat muslim yaitu al-
Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw secara mutawatir, yang membaca merupakan
ibadah. Sementara hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan.
Hadis sebagai sumber dalam menentukan hukum Islam memiliki
fungsi yang penting. Hadis bisa menjadi tabyin atas wahyu yang turunkan
sebelumnya. Hadis akan selalu relevan dengan perkembangan zaman,
bahkan setiap permasalahan hukum yang ada saat ini masih mengikuti
ketentuan hadis. Jadi sudah seharusnya kita senantiasa mempelajari dan
mengamalkan setiap hadis yang menjadi pedoman bagi umat Islam
Sebagai sebuah sumber hukum dan juga membahas seluruh aspek
kehidupan manusia, siapa saja yang mengamalkan hadis akan
mendapatkan ganjaran pahala. Hal ini menjadi bukti bahwa hadis adalah
sumber hukum dan juga pedoman kehidupan setelah al-Qur’an. Bahkan,
dalam isi khutbah Haji Wada’ Rasulullah Saw bersabda: bahwa umat
Islam harus berpegang teguh kepada 2 hal, yaitu: al-Qur’an dan sunnah
(hadis) niscaya engkau akan selamat. Dengan berbagai macam keagungan
hadis yang telah dipaparkan untuk itu pada kesempatan ini kami selaku
pemakalah akan membahas tentang “Kedudukan dan Fungsi Hadis dalam
Islam”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hadis dalam Islam ?

1
2

2. Bagaimana fungsi hadis dalam Islam ?


C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui kedudukan hadis dalam Islam
2. Mengetahui fungsi hadis dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Kata ‫احلديث‬ (bentuk jamak : ‫)خنث ان األح اديث‬ secara etimologi

merupakan isim mashdar dari kata kerja yang ‫ث‬ ُ ‫ حَيْ ِد‬- ‫َح ِديثًا‬
َ ‫ َح َد‬- ‫ث‬
yang berarti "komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama
maupun duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian
aktual.1 Hal tersebut senada dengan pendapat Mahmud Thahan bahwa
hadis secara etimologi berarti baru, sementara secara terminologi terdapat
beberapa pengertian menurut pandangan ulama. Menurut ulama ushul fiqh
definisi hadis sebagai berikut:
ِ
‫اَألح َك َام َو ُت َقَّر َر َها‬
ْ ‫ت‬ ُ ُ‫صلَّى اللّه َعلَْيه َو َسلَّ َم َواَْف َعالُهُ َو َت ْق ِر ْيَر اَتُهُ الَّىِت َتثْب‬
َ ‫اَْق َو ُال النَّيِّب‬
“Seluruh perkataan Nabi Saw, dan perbuatan, dan ketetapan yang
berkaitan tentang hukum syara’ dan ketetapannya”
Sementara menurut ulama hadis, definisi hadis sebagai berikut:
ِ
ُ‫صلَّى اللّه َعلَْيه َو َسلَّ َم َواَْف َعالُهُ َو اَ ْح َوالُه‬
َ ‫اَْق َو ُال النَّيِّب‬
“Perkataan Nabi Muhammad Saw dan perbuatannya dan hal ihwalnya”.
Sementara ulama ahli fiqh mendifiniskan hadis sebagai berikut:

‫صلَّى اللّه َعلَْي ِه َو َسلَّ َم و مل يكن من باب الفرض وال الواجب‬


َ ‫كل ما يثبت عن النَّيِّب‬
“Segala ketetapan yang berasal dari Muhammad Saw, yang tidak
termasuk hukum fardlu maupun yang wajib”.
Terdapat juga ulama hadis yang memberikan definisi lebih luas bahwa
hadis bukan hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, akan tetapi
juga kepada para sahabat dan tabi’in.0 Syekh Mahmud Thahan

1
MM Azhami dalam Alfiah, Fitriadi, Suja'i, Studi ilmu hadis, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi,
2016), h. 1.
0
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthaluhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006 ), h. 19-
20.

3
4

mendifiniskan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad Saw baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat.0
Contoh perkataan Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:

‫ َوِإمَّنَا لِ ُك ِّل ْام ِرٍئ َما َن َوى‬،‫ات‬


ِ َّ‫الني‬
ِّ ِ‫ال ب‬ ْ ‫ِإمَّنَا‬
ُ ‫اَألع َم‬
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu didasari oleh niat, dan bagi setiap
orang apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara contoh perbuatan Nabi adalah tatacara beliau berwudhu,
shalat, dan ibadah lainnya yang beliau kerjakan. Sementara taqrir
(persetujuan) Nabi adalah sikap diam dan tidak mengingkari terhadap
suatu perakara. Misalnya: hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-
Khudri, dia berkata “ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat
tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayammum dengan debu
yang bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air
yang satu mengulang wudhu dan shalat sedangkan yang lain tidak
mengulang. Keduanya lalu menghadap kepada Rasulullah Saw dan
menceritakan hal tersebut terhadap orang yang tidak mengulang, maka
beliau bersabda: “engkau sudah benar sesuai sunnah dan sudah cukup
dengan shalatmu” sementara bagi yang mengulangi shalatnya, beliau
bersabda: “bagimu pahala dua kali lipat”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Contoh dari sifat Nabi terdapat banyak sekali dalam sirohnya, seperti
dalam kitab asy-Syama’il al-Muhammadiyah yang menerangkan secara
detail sifat dan tabiat beliau Saw. Diantaranya contohnya adalah:
“Rasulullah Saw tidak pendek dan tidak tinggi” (HR. Tirmidzi).0 Dapat
disimpulkan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan juga
ketetapan.

0
Mahmud Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996 M), h. 15
0
Muhammad Hambal Shafwan, Studi Ilmu Hadis, (Malang: CV. Pustaka Learning Center,
2020), h. 10.
5

B. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam

Kedudukan hadis sangat penting, yaitu sebagai sumber kedua ajaran


Islam setelah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk utama (hudan)
bagi umat manusia. Namun ajaran-ajaran di dalamnya masih banyak yang
bersifat global, sehingga dibutuhkan penjelasan atau tafsir. Maka diutus
Nabi SAW., untuk menjelaskan penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari. Contoh penerapan dan penjelasan dari Nabi inilah yang dinamakan
Sunnah yang termuat dalam teks yang dinamakan hadis.0
Secara global, sunnah sejalan dengan al-Qur’an, menjelaskan yang
mubham, merinci yang mujmal membatasi yang mutlak, mengkhususkan
yang umum, dan menguraikan hukum-hukum dan tujuannya. Di samping
membawa hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an
yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan rialesasi dari
tujuan dan sasarannya.
Dengan demikian, sunnah merupakan tuntunan praktis terhadap apa
yang dibawa oleh al-Qur’an, suatu bentuk praktek yang mengambil bentuk
pengejawatannya yang beragam. Terkadang merupakan amal yang muncul
dari Rasulullah SAW. Terkadang merupakan perkataan yang beliau
sabdakan pada suatu kesempatan. Dan kadang merupakan perilaku atau
ucapan sahabat Rasulullah SAW, lalu beliau melihat perilaku itu atau
mendengar ucapan itu, kemudian memberikan pengakuan. Beliau tidak
menentang atau mengingkari, tetapi hanya diam atau justru menilai baik.
Itulah yang di sebut taqrir dari beliau. Pada awal uraian ini sesudah
dijelaskan bahwa dari segi keberadaanya sebagai wahyu dan sumber
syariah yang wajib diamalkan isinya, sunnah sejajar dengan al-Qur’an dan
dari segi tingkatannya, ia berada berdampingan dengan al-Qur’an, kerena
ia berfungsi menjelaskan.
Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai sumber
ajaran Islam, dapat dilihat beberapa, dalil berikut:
1. Al-Qur’an
0
Alamsyah, Ilmu-ilmu Hadis, (Lampung: AURA, 2013), h. 1-2
6

Banyak ayat Al Qur’an yang- menerangkan tentang kewajiban


untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul
sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus
kebutuhan individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan
memperbaiki keadaan, mereka. Selain Allah memerintahkan umat Islam
agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati
segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya,
baik berupa perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan
patuh kepada Allah. Banyak ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan
masalah ini.0
a. Qs. Ali Imran ayat 179:
ِ ِّ‫ت ِمن الطَّي‬ ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ب َو َم ا‬ َ َ ‫ني َعلَى َم ا َأْنتُ ْم َعلَْي ه َحىَّت مَي َيز اخْلَبْي‬
َ ‫َم ا َك ا َن اهللُ ليَ َذ َر الْ ُم ْؤ من‬
‫ب َولَ ِك َّن اللَّهَ جَيْتَيِب ِم ْن ُّر ُس لِ ِه َم ْن يَ َش اءُ فَ ِآمنُوا بِاللَّ ِه‬
ِ ‫َك ا َن اهللُ لِيُطْلِ َع ُكم َعلَى الْغَْي‬
ْ
ِ ِ ِِ
‫يم‬ ْ ‫َو ُر ُسله َوِإ ْن تُْؤ مُن ْوا َوَتَّت ُق ْوا َفلَ ُك ْم‬
ٌ ‫َأجٌر َعظ‬
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin). Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya
di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan jika kamu beriman dan bertakwa maka
bagimu pahala yang besar”. (QS. Ali Imran ayat 179).
b. Qs. An-Nisa ayat 136:

‫ب الَّ ِذي َن َّز َل َعلَى َر ُس ْولِِه والكتب‬


ِ َ‫يَاَأيُّ َها الَّ ِذين َآمنُوا َِأمنُوا بِاللَّ ِه ور ُس ْولِِه والْ ِكت‬
َ ََ َ
‫َأنز َل ِم ْن َقْب ُل َو َم ْن يَ ْك ُف ْر بِاللَّ ِه َو َملَي َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُس لِ ِه َوالَْي ْوِم اآْل ِخ ِر َف َق ْد‬ ِ
َ ‫الَّذي‬

ً ِ‫ضلَاًل بَع‬
‫يدا‬ َ ‫ض َّل‬
َ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
0
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, (Jawa Timur: IAIN PO Press, 2018), h. 21-26.
7

Barang siapa yang kafir pada Allah, malaikat-malaikat-Nya,


Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Qs. An-Nisa' ayat 136).
c. QS. Ali Imran ayat 32:
ِ ُّ ِ‫الرسو َل فَِإ ْن َتولَّوا فَِإ َّن اللَّه اَل حُي‬ ِ
َ ‫ب الْ َكف ِر‬
‫ين‬ َ َْ ْ ُ َّ ‫قُ ْل َأطْيعُوا اللَّهَ َو‬
“Katakanlah: Taatilah kalian Allah dan Rasul-Nya, jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang kafir.” (Qs. Ali Imran ayat 32).
Dari ayat-ayat Al-Qur'an di atas tergambar bahwa setiap ada
perintah taat kepada Allah Swt. dalam Al-Qur'an selalu diikuti
dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian juga mengenai
peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah Swt., sering
disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka
kepada Rasul SAW.0

2. Hadits Nabi SAW


Banyak hadis yang menunjukkan perlunya ketaatan kepada
perintah Rasul. Dalam satu pesannya, berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an, Rasul
SAW bersabda:

‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن متسكتم هبما كتاب اهلل وسنيت‬


“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat
selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan
Sunnahku."

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

" )‫ (رواه ابو داود‬... ‫عليكم بسىت وسنة اخللفاء الراشدين املهديني متسكوا هبا‬
“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnah-ku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah
kamu sekalian dengannya”. (HR. Abu Dawud)

0
Zulfahmi Alwi, Ahmad Fauzi, Rahman, Wasalmi, dan Zulfahmi, Studi Ilmu Hadis, Cet. 1.
(Depok: Rajawali Pers, 2021), h. 49
8

Allah Swt., mewajibkan sholat kepada kaum mukminin tanpa


menjelaskan waktunya, rukun ataupun jumlah rakaatnya. Lalu
Rasulullah SAW, menjelaskan melalui praktek sholat beliau dan dengan
pengajaran beliau kepada kaum muslimin tentang bagaimana
melaksanakan shalat dan tata caranya, dan dengan sabda beliau :

‫صلوا كما رأيتموين أصلي‬


“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan sholat.”0
Allah SWT., mewajibkan haji tanpa menjelaskan manasiknya. Lalu
Rasulullah SAW, menjelaskan tata caranya, dan bersabda:

‫خذوا عين مناسككم‬


“Ambillah manasik (haji)mu dariku.”0
a. Ijma’
Umat Islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk
mengamalkan sunnah. Bahkan hal ini mereka anggap sejalan dengan
memenuhi panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya. Kaum muslimm
menerima hadits seperti mereka menerima Al-Qur’an, karena keduanya
sama-sama dijadikan sebagai cumber hukum Islam. Kesepakatan umat
Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala
ketentuan yang terkandung didalam hadits berlaku sepanjang zaman,
sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, maka Khulafa’ur
Rasyidin, tabi’in, tabi’ut tabi’in, atba’u tabi’in serta, masa-masa
selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya, sampai sekarang.
Banyak diantara, mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkan isi kandunganya, akan tetapi mereka menghapal,
mentadwin dan menyebarluaskan dengan segala, upaya kepada,
generasi-generasi selanjutnya.
0
Al-Bukhori dalam Alfiah, Fitriadi Suja'i, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi
2016), h. 10-11
0
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburiy dalam Alfiah, Fitriadi Suja'i, Studi
Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi 2016), h. 10-11
9

b. Sesuai dengan petunjuk akal


Kerasulan Nabi Muhammad Saw. telah diakui dan dibenarkan oleh
umat Islam. Ini menunjukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi
Muhammad Saw membawa, misi untuk menegakkan amanat dan Dzat
yang mengangkat karasulan itu, yaitu Allah Swt. Dari aspek akidah,
Allah Swt bahkan menjadikan kerasulan itu sebagai salah satu dari
prinsip keimanan. Dengan demikian, manifestasi dari, pengakuan dan
keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati dan
mengamalkan segala peraturan atau perundang-undangan serta inisiatif
beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil
ijtihadnya sendiri. Di dalam mengemban misi itu, terkadang beliau,
hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima oleh Allah Swt baik isi
maupun formulasinya dan terkadang pula atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau
membawakan hasil ijtihad sema-mata mengenai suatu masalah yang
tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham.
Kesemuanya itu merupakan hadis Rasul, yang terpelihara dan tetap
berlaku sampai ada nash yang menasikhnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hadis adalah
sebagai sumber hukum Islam ke dua setelah al-Qur’an. Hal tersebut dikuatkan
dengan beberapa dalil dalam al-Qur’an, hadis baginda Nabi Muhammad Saw
itu sendiri, ijma’ ulama, serta dapat diterima juga oleh akal manusia.

C. Kedudukan As-Sunnah sebagai Hujjah dalam Syariat Islam

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah adalah hujjah, antara


lain:
1. Nash-nash Al-Qur'an
Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya dan
menaatinya. Allah berfirman:

ِ ۘ ‫الر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َو َما نَ ٰهى ُك ْم َعْنهُ فَا ْنَت ُه ْو ۚا َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ ۗاِ َّن ال ٰلّهَ َش ِديْ ُد الْعِ َقا‬
٧‫ب‬ َّ ‫َو َمٓا اٰتٰى ُك ُم‬
10

"Dan apa yang telah Rasul berikan kepada kalian maka ambillah dan
apa yang telah Rasul larang bagi kalian maka tinggalkanlah" (Qs. Al-
Hasyr:7).

Allah berfirman,
ِ ۚ ِ ‫ىِل‬ َّ ‫ٰيٓ اَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َم ُْٓنوا اَ ِطْيعُوا ال ٰلّهَ َواَ ِطْيعُوا‬
ْ ‫الر ُس ْو َل َواُو ااْل َ ْم ِر مْن ُك ْم فَا ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف‬
ِ ِ ِ
ِ ٰ َّ ‫َش ْي ٍء َفُر ُّد ْوهُ اىَل ال ٰلّ ِه َو‬
َ ‫الر ُس ْو ِل ا ْن ُكْنتُ ْم ُتْؤ ِمُن ْو َن بِاللّ ِه َوالَْي ْوم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
‫ك َخْيٌر‬

٥٩ ࣖ ‫س ُن تَْأ ِويْاًل‬
َ ‫َّواَ ْح‬
"Wahai orang orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan
taatlah kalian kepada Rasul" (QS. An-Nisa': 59).

Allah telah memperingatkan kita agar tidak menyelisihi-nya, Allah


berfirman:

٦٣ ‫اب اَلِْي ٌم‬ ِ ِ ِ ِ ِ


ٌ ‫َف ْليَ ْح َذ ِر الَّذيْ َن خُيَال ُف ْو َن َع ْن اَْم ِرهٖٓ اَ ْن تُصْيَب ُه ْم فْتنَةٌ اَْو يُصْيَب ُه ْم َع َذ‬
"Maka hendaklah waspada orang-orang yang menyelisihi dari
perintahnya akan menimpa mereka fitnah atau menimpa kepada
mereka adzab yang pedih" (Qs. An-Nur: 63).

Allah telah mewajibkan atas orang orang yang beriman agar menaati
beliau, karena hal itu termasuk ketaatan pada-Nya. Allah berfirman:

٨٠ ۗ ‫ٰك َعلَْي ِه ْم َح ِفْيظًا‬ ‫ىّٰل‬ ٰ َ‫الرسو َل َف َق ْد اَط‬


َ ‫اع اللّهَ ۚ َو َم ْن َت َو فَ َمٓا اَْر َس ْلن‬
َ
ِ
ْ ُ َّ ‫َم ْن يُّط ِع‬
"Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sungguh dia telah taat
kepada Allah" (Qs. An-Nisa': 80).
Nash-nash tersebut membuktikan secara qath'i bahwa Allah telah
mewajibkan untuk menaati Rasul-Nya pada apa yang telah
disyariatkan, dan bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum syariat
terhadap para hamba.

2. Perbuatan Sahabat.
Para sahabat Radhiyallahu 'Anhum pada masa hidup Rasulullah
Saw menaati semua perintah dan larangannya, dan mereka tidak
membeda-bedakan antara hukum yang diwahyukan oleh Allah dalam
11

al-Qur'an, dan hukum yang bersumber dari Rasulullah Saw, Allah Swt
telah berfirman:

٤ ۙ‫ اِ ْن ُه َو اِاَّل َو ْح ٌي يُّ ْو ٰحى‬٣ ‫َو َما َيْن ِط ُق َع ِن اهْلَٰوى‬


"Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsu. Tidaklah dia kecuali
sebuah wahyu yang diwahyukan" (Qs. An-Najm: 3-4).

Demikian pula kondisi mereka setelah meninggalnya Rasulullah


Saw., mereka tetap kembali kepada al-Qur' an untuk mencari hukum
didalamnya. Dan bila tidak mendapatkan padanya, mereka merujuk
kepada sunnah Rasulullah.
Abu Ubaid didalam Kitab al-Qadha' berkata, dari Maimun bin
Mihran, adalah Abu Bakar ash-Shiddiq apabila datang padanya suatu
masalah, maka dia melihat dalam al-Qur'an, jika dia menemukan
didalamnya untuk memutuskan dengannya maka dia memutuskan
dengannya. Dan jika tidak menemukan di dalam al-Qur'an, maka dia
melihat dalam sunnah-sunnah Rasulullah Saw.
Maka jika dia menemukan didalamnya apa yang memutuskan
hukum itu, dia memutuskan dengannya. Maka jika ia tidak
mendapatinya dalam as-Sunnah, dia bertanya kepada para sahabat,
'Apakah kalian tahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah memutuskan didalamnya dengan suatu putusan? Maka
ada kalanya berdiri kepada-nya suatu kaum lalu mereka berkata,
'Beliau telah memutuskan dengan begini atau begitu'. Dan jika dia
tidak menemukan suatu sunnah yang Rasulullah telah
mencontohkannya, beliau mengumpulkan para pemuka kaum
muslimin, lalu mengajak mereka bermusyawarah. Maka apabila telah
berkumpul pendapat mereka atas sesuatu, beliau memutuskan
dengannya. Dan adalah Umar Radhiyallahu Anhu melakukan hal
seperti itu. Apabila dia tidak menemukannya suatu masalah dalam Al-
Qur' an dan As-Sunnah dia bertanya, 'Apakah Abu Bakar telah
memutuskan didalamnya dengan suatu putusan?' Maka apabila Abu
12

Bakar telah pemah memutuskan suatu putusan, dia pun memutuskan


dengannya. Dan jika tidak, dia mengumpulkan orang-orang yang
berilmu di antara manusia dan mengajak mereka bermusyawarah.
Maka apabila telah telah bersatu pendapat mereka atas sesuatu, dia
memutuskan dengannya."0
3. Adanya perintah Allah yang mujmal (global) yang membutuh-kan
penjelasan dari Rasulullah SAW.
Di dalam al-Qur' an ban yak terdapat nash-nash yang mujmal
global, yang berisi kewajiban dan perintah-perintah Allah kepada
manusia, sedangkan Al Qur'an tidak menjelaskan cara
pelaksanaannya, seperti perintah shalat, zakat, puasa, dan haji:0

َّ ‫الز ٰكوةَ َواَ ِطْيعُوا‬


٥٦ ‫الر ُس ْو َل لَ َعلَّ ُك ْم ُتْرمَحُْو َن‬ َّ ‫َواَقِْي ُموا‬
َّ ‫الص ٰلوةَ َواٰتُوا‬

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat" (An-Nur: 56).

‫ب َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬ ِ


َ ‫الص يَ ُام َك َم ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ ِ َّ ٓ
َ ‫ٰياَُّي َه ا الذيْ َن اٰ َمُن ْوا ُكت‬
١٨٣ َ‫َتَّت ُق ْو ۙن‬
"Wahai orang orang yang beriman, telah diwajibkan atas
kalian puasa" (Qs. al-Baqarah: 183).
‫اع اِلَْي ِه َس بِْياًل ۗ َو َم ْن َك َف َر فَ اِ َّن ال ٰلّ هَ َغيِن ٌّ َع ِن‬ ِ ِ ِ ‫ولِٰلّ ِه علَى الن‬
ْ ‫َّاس ح ُّج الَْبْيت َم ِن‬
َ َ‫اس تَط‬ َ َ
٩٧ َ ‫الْ ٰعلَ ِمنْي‬
"Dan bagi Allah alas manusia melaksanakan haji bagi
orang yang sanggup menempuhnya" (Qs. Ali lmran: 97).

Dan Rasulullah Saw telah menjelaskan perintah yang global ini


dengan sunnahnya, baik yang berupa ucapan dan perbuatan,
sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:
0
Diriwayatkan Al-Baghawi dan Ad-Darimi dalam Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Ilmu
Hadis h. 32-33.
0
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Ilmu Hadis terj Syaikh Manna Al-Qaththan, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 30-35.
13

٤٤ ‫َّاس َما نُِّز َل اِلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيَت َف َّكُر ْو َن‬


ِ ‫الذ ْكَر لِتَُبنِّي َ لِلن‬
ِّ ‫ك‬ ِ
َ ‫َواَْنَزلْنَٓا الَْي‬
"Dan Kami telah menurunkan kepadamu Adz-Dzikr sebagai
penjelasan bagi manusia atas apa yang telah diturunkan kepada
mereka" (Qs. An-Nahl: 44).
Dapat disimpulkan bahwa hadis memiliki kedudukan dalam
menegakkan syari’at Islam. Sebagaimana masih umum nya perintah
tentang melaksanakan shalat maupun manasik haji yang mana perintah
melakukannya merupan syari’at yang wajib dilaksanakan setiap umat
muslim yanng selanjutnya dijelaskan secara terperinci dalam hadis.

D. Kedudukan As-Sunnah dalam Dalil-dalil Syariat

Kedudukan as-sunnah dalam dalil-dalil syariat berada di bawah


kedudukan al-Qur'an. Dalil yang menunjukkan itu adalah beberapa hal
berikut ini:
1. Al-Qur'an adalah qath'i karena mutawatir, sedangkan as-sunnah adalah
zhanni karena terkadang banyak yang ahad. Yang qath'i didahulukan
atas yang zhanni. Oleh karenanya harus mendahulukan al-Qur' an atas
as-sunnah.
2. As-sunnah adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur' an, atau sebagai
penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadaannya adalah
setelah al-Qur' an. Jika bukan sebagai penjelasan terhadap al-Qur' an,
maka ia tidak bisa menjadi landasan kecuali setelah hukum tersebut
tidak ditemukan dalam al-Qur' an. Dan ini menjadi dalil atas
didahulukannya al-Qur'an atas as-sunnah.
3. Adanya akhbar dan atsar yang menunjukkan hal itu, seperti hadits
Mu'adz ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya, "Dengan apakah kamu berhuku.m?" Mu'adz menjawab,
"Dengan kitabullah." Nabi bertanya padanya, "Jika kamu tidak
menemukan (dalam Al Qur' an)?" Dia menjawab, "Dengan sunnah
14

Rasulullah Saw." Beliau bersabda, "Jika kamu tidak menemukan-nya?"


Dia menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku."
Dari Umar bin Al-Khatthab bahwasanya dia menulis kepada Syuraih,
"Apabila datang kepadamu suatu perkara, maka putuskanlah dengan apa
yang ada dalam Al Qur' an, dan jika datang kepadamu apa yang tidak ada
dalam Kitab Allah, maka putuskanlah dengan apa yang telah disunnahkan
oleh Rasulullah Saw."0

E. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

Hadis dipandang sebagai miftah al-Qur'an (kunci untuk memahami al-


Qur'an) karena ia bukan saja sebagai penguat dan penjelasan al-Qur'an
terhadap ayat-ayat yang umum, global atau yang masih mutlaq, bisa juga
dijadikan dasar bagi penetapan hukum baru yang tidak dijelaskan al-
Qur'an. Menurut Mustafa al-Siba'iy, fungsi hadis atau sunnah terhadap al-
Qur'an ada tiga, yakni:
1. memperkuat hukum yang terkandung dalam al-Qur'an, baik yang global
maupun yang terperinci;
2. menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an yakni
men-taqyid yang mutlak, men-tafshil yang mujmal dan men-takhsish
yang 'am; dan
3. menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Quran.0
Imam Malik mengatakan ada lima fungsi sunnah atau hadis terhadap
Al-Qur’an yakni:
1. Bayan al-taqrir yakni menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al-
Qur'an;
2. Bayan al-tafsir yakni menerangkan maksud maksud ayat misalnya
hadis-hadis yang menjelaskan makna ayat yang dipahami sahabat
berbeda dengan yang dimaksud oleh ayat yang bersangkutan;

0
Riwayat An-Nasa'i dan At-Tirmidzi dalam Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Ilmu Hadis h. 35
0
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, “Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi”, (Depok: Rajawali Pers, 2019), h. 30.
15

3. Bayan al-tafsil menjelaskan kemujmalan Al-Qur'an seperti hadis-hadis


yang mentafshilkan kemujmalan ayat tentang shalat;
4. Bayan al-tabsit yakni memanjangkan keterangan terhadap apa yang
diringkaskan keterangannya oleh Al-Qur'an; dan
5. Bayan al-tasyri yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an.0
Sedangkan Imam Syafi'i membaginya ke dalam enam fungsi pula yakni:
1. Bayan al-tafsir yakni menjelaskan ayat-ayat yang mujmal yang ringkas
petunjuknya;
2. Bayan al-takhsis mengkhususkan sesuatu dari keumuman ayat;
3. Bayan al-ta’yin menentukan salah satu makna dari dua atau tiga makna
yang mungkin dimaksudkan oleh sebuah ayat;
4. Bayan al-tasyri menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an secara kontekstual;
5. Bayan nasakh menentukan ayat yang di-nasikh dan ayat yang mansukh
dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak bertentangan; dan
6. Bayan isyarah yakni qiyas.0

Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi yakni:


1. Bayan ta’kid yang menerangkan apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an
apabila hadis itu bersesuaian petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur’an;
2. Bayan al-tafsir berarti hadis berfungsi menjelaskan, merinci bahkan
membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
mujmal (global) dan musytarak (satu lafal yang mengandung beberapa
makna), musykil dan khafi.
3. Bayan tafsir dapat meliputi bayan taqyid, bayan tafshil, dan bayan
takhsis. Dalam kapasitasnya sebagai bayan tafsir, ia tidak independen;
4. Bayan al-tasri yakni mendatangkan suatu hukum yang didiamkan
dalam al-Qur’an atau yang tidak diterangkan hukumnya dalam al-
Qur’an; dan

0
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, …, h. 31.
0
Ibid, h. 32.
16

5. Bayan al-takhsis yakni hadis berfungsi menentukan kekhususan suatu


ayat yang bersifat umum.0
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis
dan sunnah menempati posisi dan fungsi yang sangat urgen dan strategis
untuk mensosialisasikan nilai-nilai al-Qur’an. Pada intinya dapat
diklasifikasikan dalam tiga fungsi sebagai berikut:
1. Hadis dan sunnah berfungsi mengkonfirmasikan dan mengulangi
pernyataan al-Qur’an atau memperkuat pernyataan al-Qur’an (bayan
ta’kid);
2. Hadis dan sunnah berfungsi memberi penjelasan bagi nash al-Qur’an
yang bersifat mujmal, mengkualifikasi nash-nash yang mutlak atau
mentaksis terma-terma yang umum (bayan tafsir);
3. Hadis dan sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan baru yang tidak
dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga ia merupakan sumber otoritatif
yang independen.
Pada dasarnya para ulama sepakat terhadap fungsi sunnah bagi al-
Qur’an sebagai bayan ta’kid dan bayan tafsir. Perbedaan terjadi pada
fungsi yang ketiga sebagai sumber otoritatif yang menetapkan hukum di
luar al-Qur’an. Apakah ia merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri
ataukah ia tetap dalam kategori yang dapat dikembalikan dalam al-Qur’an,
sehingga eksistensinya tetap terkait dengan al-Qur’an.0
Argumentasi kelompok pertama didasarkan pada konsep ishmah yakni
keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariah. Selain itu, mereka juga mengemukakan sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya otoritas Nabi Saw. untuk ditaati. Sedangkan
kelompok kedua berpandangan bahwa sumber hukum yang sebenarnya
hanya Allah, sehingga Nabi pun harus merujuk pada Allah ketika hendak
menetapkan hukum. Oleh karena itu, menurut pendapat yang didukung

0
Ibid, h. 33.
0
Ibid, hlm. 32.
17

mayoritas ulama ini seluruh bagian sunnah merupakan penjelasan dan


berasal dari al-Qur’an, bukan sumber yang berdiri sendiri.
Terjadinya perbedaan di kalangan ulama lebih merupakan masalah
interpretasi daripada substansi. Ayat-ayat al-Qur’an mengenai kewajiban
taat kepada Nabi dan ayat-ayat yang memberi peran kepada Nabi untuk
menafsirkan Al-Qur’an adalah bersifat interpretable (terbuka bagi
penafsiran). Kelompok pertama memahaminya untuk mendukung bahwa
sunnah merupakan sumber yang independen sedangkan kelompok kedua
memahaminya bahwa sunnah merupakan sumber pelengkap bagi Al-
Qur’an yang tidak independen.
Terlepas dari kontroversi di atas, terdapat titik temu antara keduanya,
yakni: pertama, kedua kelompok yang berbeda sepakat tentang otoritas
sunnah sebagai sumber hukum dan peran dasarnya dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an; kedua, masing-masing kelompok mengakui realitas
bahwa memuat ketentuan-ketentuan yang tidak ditemukan dalam Al-
Qur’an. Oleh karena itu, secara substansi kedua kelompok tersebut
sebenarnya bukanlah perbedaan yang bersifat kontradiktif, lebih
merupakan perbedaan interpretatif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Berikut beberapa contoh dari fungsi-fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
sebagai berikut.
1. Bayan Taqrir, yakni sebagai penjelasan untuk mengokohkan atau
menetapkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Disebut juga dengan
bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat.0 Misalnya hadis Nabi Saw. yang
berbunyi:

‫ص ْو ُم ْوا لُِرْؤ يَتِ ِه َو َأفْ ِطُر ْوا لُِرْؤ يَتِ ِه‬


ُ
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah (berhari
rayalah) kamu sesudah melihat bulan”. (Riwayat Bukhari-Muslim dari
Abu Hurairah).
Merupakan penguat/pengokoh terhadap ayat Al-Qur’an Surat Al-
Baqarah: 185 yang berbunyi:

0
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, “Ulumul Hadis”, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 82.
18

ِ
… ُ‫ص ْمه‬ ْ ‫…فَ َمن َش ِه َد من ُك ُم ٱلش‬
ُ َ‫َّهَر َفْلي‬
“…Barangsiapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah ia
berpuasa…”.0

Contoh lainnya adalah Qs. al-Maidah: 6 tentang keharusan berwudhu


sebelum shalat, yaitu,

‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل ٱلْ َمَرافِ ِق َو ْٱم َس ُحو ۟ا‬ ۟ ِ ِ َّ ‫ٰيََٓأيُّها ٱلَّ ِذين ءامن ٓو ۟ا ِإ َذا قُمتم ِإىَل‬
َ ‫ٱلصلَ ٰوة فَٱ ْغسلُوا ُو ُج‬ ْ ُْ َُ َ َ َ
ِ ِ
ِ ‫وس ُكم و َْأر ُجلَ ُكم ِإىَل ٱلْ َك ْعَبنْي‬
ْ َ ْ ُ‫بُرء‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
…”. (Qs. Al-Maidah: 6).

Ayat Al-Qur’an tersebut di-taqrir oleh hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
ِ ُ‫ ال ُت ْقبل صالَة‬:‫ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ضَأ‬
َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ ْ ‫َأحد ُك ْم ِإ َذا‬
َ ‫َأح َد‬ َ َ َُ ُ ‫قَ َال َر ُس‬
Rasulullah Saw bersabda, “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang
di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu”. (HR Bukhari
dari Abu Hurairah).0
2. Bayan Tafsir, yakni sebagai penafsir atau penjelas terhadap ayat-ayat
mujmal (global) dan musytarak (satu lafal mengandung beberapa makna).
Misalnya hadis Nabi Saw. yang berbunyi:

َ ‫صلُّوا َك َما َر َْأيتُ ُموىِن‬


‫ُأصلِّى‬ َ
“Shalatlah kau sebagaimana kamu melihat aku shalat”. (Riwayat
Bukhari-Muslim dan lain-lain).

Merupakan tafsir dari ayat yang bersifat global (mujmal) yang


memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendirikan shalat.0 Contoh
berikutnya dari ayat musytarak, Allah Swt. berfirman dalam Qs. Al-
Baqarah [2]:228 yang berbunyi:

0
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, …, h. 33.
0
Agus Solahudin dan Agus Suyadi,…h. 83.
0
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, …, h. 33.
19

‫ص َن بَِأن ُف ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ ُقُر ٓو ٍء ۚ َواَل حَيِ ُّل هَلُ َّن َأن يَكْتُ ْم َن َما َخلَ َق ٱللَّهُ ىِف ٓى‬ ُ ‫َوٱلْ ُمطَلَّ َٰق‬
ْ َّ‫ت َيَتَرب‬
‫ك ِإ ْن ََأر ُاد ٓو ۟ا‬ ِ ِ
َ ‫َأح ُّق بَِر ِّده َّن ىِف ٰذَل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِ ِإ‬
َ ‫َْأر َحام ِه َّن ن ُك َّن يُْؤ م َّن بٱللَّه َوٱلَْي ْوم ْٱلءَاخ ِر ۚ َوبُعُولَُت ُه َّن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫ِإ‬
ٌ ‫صلَ ًحا ۚ َوهَلُ َّن مثْ ُل ٱلَّذى َعلَْيه َّن بٱلْ َم ْعُروف ۚ َول ِّلر َجال َعلَْيه َّن َد َر َجةٌ ۗ َوٱللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬ ْ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini datanglah hadis Nabi Saw. berikut:

ِ َ‫ضت‬ ِ ِ ‫طَ ُ ِ ِأ‬.


‫ان‬ َ ‫الق اأْل َمة ْثنَتَان َوع َّدتُ َه‬
َ ‫احْي‬
Talak budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid.(HR Ibnu Majah)
Sehingga arti perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an Qs. Al-Baqarah
ayat 228 berarti suci dari haid.0
3. Bayan Takhsis, yaitu menjelaskan tentang kekhususan suatu ayat yang
umum. Misalnya hadis Nabi Saw. yang berbunyi:

‫ث ال َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬


ُ ‫ وال يَِر‬، ‫ث الْ ُم ْسلِ ُم ال َكافَِر‬
ُ ‫ال يَِر‬
“Seorang muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir, begitu pula
sebaliknya, orang kafir dari orang muslim”. (HR Bukhari-Muslim).
Merupakan takhsis terhadap ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

ِ ‫ٱُأْلنثَينْي‬
َ ‫ظ‬ َّ ِ‫وصي ُكم ٱللَّهُ ىِف ٓى َْأو ٰلَ ِد ُكم ۖ ل‬
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬ ِ ‫ي‬
ُ
ُ ْ ُ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan…”. (QS Al-Nisa [4]:11).0

0
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, “Ulumul Hadis”, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 80-
81.
0
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, …, h. 33-34.
20

4. Bayan Nasakh, yakni mengganti suatu hukum atau menasakh (menghapus)


suatu hukum. Misalnya hadis Nabi Saw. yang berbunyi:

ٍّ ‫كل ِذي‬ ِ ُ ‫ ِ عت النَّيِب صلى اهلل عليه وسلم‬:‫عن ا ىب اُمامة قال‬


‫حق‬ ْ ‫يقول ا َّن اهللَ قَ ْد‬
َّ ‫َأعطَى‬ َ َ ُ ْ ‫َ َ َ مَس‬
ٍ ‫ فال و ِصيَّةَ لِوا ِر‬، ‫حقه‬
‫ث‬ َ َ ُ
“Dari Abi Amamah berkata: Saya telah mendengar Nabi Saw. bersabda:
Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka
dengan ketentuan itu tidak ada hak waris bagi seorang ahli waris”. (HR
Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Merupakan pengganti terhadap hukum wasiat yang dikemukakan dalam


firman Allah Swt. Qs. Al-Baqarah: 180 yang berbunyi:
ِ ِ ِ ِ
َ ِ‫ت ِإن َتَر َك َخْيًرا ٱلْ َوصيَّةُ ل ْل َٰول َديْ ِن َوٱَأْل ْقَرب‬
‫ني‬ ُ ‫َأح َد ُك ُم ٱلْ َم ْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ‫ضَر‬ َ ‫ُكت‬
ِ ِ
َ ‫بِٱلْ َم ْعُروف ۖ َحقًّا َعلَى ٱلْ ُمتَّق‬
‫ني‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (adil dan
baik),Hal ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.0

0
Ibid, hlm. 34.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan juga ketetapan.
Kedudukan hadis dalam Islam adalah sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah al-Qur’an dan menjadi hujjah dalam ketentuan-ketentuan
syari’at Islam.
Dari banyaknya pendapat ulama tekait fungsi hadis, 3 poin utamanya
adalah sebagai berikut:
1. Hadis dan sunnah berfungsi mengkonfirmasikan dan mengulangi
pernyataan al-Qur’an atau memperkuat pernyataan al-Qur’an (bayan
ta’kid);
2. Hadis dan sunnah berfungsi memberi penjelasan bagi nash al-Qur’an
yang bersifat mujmal, mengkualifikasi nash-nash yang mutlak atau
mentakhsis terma-terma yang umum (bayan tafsir);
3. Hadis dan sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan baru yang tidak
dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga ia merupakan sumber otoritatif
yang independen.
B. Saran
Dalam upaya menyelesaikan penulisan makalah ini, kami telah
berusaha untuk melengkapi bahan materi. Namun, kami menyadari masih
adanya kekurangan dalam penulisan makalah ini. Baik dari segi materi
maupun dalam penyusunan makalah. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dapat dijadikan acuan
demi perbaikan makalah selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah. Ilmu-ilmu Hadis. Lampung: AURA. 2013.


Abdurrahman, Mifdhol. Pengantar Ilmu Hadis. terj Syaikh Manna Al-Qaththan,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2015.
Alfiah, Fitriadi, Suja'i. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Kreasi Edukasi. 2016.
Alwi, Zulfahmi Ahmad Fauzi, Rahman, Wasalmi, dan Zulfahmi. Studi Ilmu
Hadis. Cet. 1. Depok: Rajawali Pers. 2021.
Ilyas, Abustani. dan La Ode Ismail Ahmad. “Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi”. Depok: Rajawali Pers. 2019.
al-Khatib, Ajjaj. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthaluhu. Beirut: Dar al-Fikr.
2006.
Rofiah, Khusniati. Studi Ilmu Hadis. Jawa Timur: IAIN PO Press. 2018.
Shafwan, Muhammad Hambal. Studi Ilmu Hadis. Malang: CV. Pustaka Learning
Center. 2020.
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadis. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif. 1996
M.

23

Anda mungkin juga menyukai