Anda di halaman 1dari 16

Hadits Ahkam, Pengertian dan Kriteria serta Otoritasnya

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pemahaman Hadits
Ahkam
Dosen Pengampu: Dr. Mujiyo, M.Ag

Disusun oleh:
Abdul Kodir Alhamdani NIM. 2190050002
Irfan Samsul Arifin NIM. 2190050011

PRODI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYAH)


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji milik Allah SWT yang telah melimpahkan


Rahmat, Ridlo, dan Inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
ini dengan judul Hadits Ahkam, pengertian dan kriteria serta otoritasnya.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW sebagai panutan seluruh alam, Sahabat, Tabi’in, Tabi’i al-
Tabi’i dan semoga sampai pada kita semua selaku umatnya. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemahaman Hadits Ahkam.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dosen Mata Kuliah Ilmu Qawa’id
al-Ahkam yaitu Ibu Dr. Mujiyo, M.Ag. Kepada seluruh sahabat mahasiswa prodi
Hukum Keluarga, yang senantiasa berpartisipasa dalam pengkajian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca begitu penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini pada kesempatan lainnya. Dan semoga
makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya bagi semua pembaca
disetiap kalangan baik mahasiswa, pengajar, dan masyarakat secara umum.

Bandung, 23, September, 2019


Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………. i


……
DAFTAR ISI ii
……………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………. 1
……...
A. Latar Belakang ………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………. . . 1
……………
C. Tujuan …………………………………….…….................……. 1
BAB II PEMBAHASAN …………….….………………………. 2
……..
A. Pengertian Hadits Ahkam ..... ……………….……............... 2
……
B. Kriteria Hadits Ahkam …………………………..……............… 4
C. Otoritas Hadits Ahkam ………………………………….......... 8

BAB III PENUTUP …………….….……………………….……... 12
…...
A. Kesimpulan ………………………………….……...............…... 12
B. Kritik dan Saran ………………………………….……............... 12
DAFTAR PUSTAKA ………….….……………………….……... 13
…....

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum syara’ kita ketahui bersama bahwa sumber rujukan pokok
dalam hukum yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas dan lain sebagainya. Pada
makalah ini mencoba menjelaskan tentang hadits yang menjadi dasar hukum, atau
lebih populer dengan sebutan hadits ahkam.
Tidak sedikit orang yang tidak bisa membedakan hadits dan yang bukan
hadits. Maka dari itu untuk menambah wawasan dalam pemahaman tetang hadits
ahkam, setidaknya diperlukan sebuah karya ilmiyah yang khusus menjelaskan apa
itu hadits ahkam, kriteria hadits ahkam, dan ke-hujjaha-an atau otoritas hadits
Ahkam.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang masalah di atas, penulis dapat
memaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan, yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian Hadits Ahkam?
2. Seperti apa kriteria Hadits Ahkam?
3. Bagaimana otoritas Hadits Ahkam?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kajian ilmiah tentang Hadits Ahkam.


2. Untuk mengetahui kriteria dan otoritas Hadists Ahkam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Ahkam

Ditinjau dari segi kebahasaan hadits ahkam merupakan lafadz murakkab


idhafi (susunan dua kata yaitu hadits sebagai mudhaf dan ahkam sebagai mudhaf
ilaih) sebelum dijadikan suatu nama ilmu terntentu. Maka untuk mendefinisikan
secara bahasa (etimologi) perlu diterjemahkan makna perkata. Adapun pengertian
hadits secara bahasa memiliki banyak makna, diantaranya yaitu al-jadid (baru)
lawan kata dari qadim, dan khabar (berita atau riwayat). Adapun pengertian
ahkam yang merupakan bentuk jamak dari kata hukum yang artinya al-qadha
(ketetapan atau keputusan) dalam artian hukum itu menetapkan suatu perkara atas
perkara lain atau meniadakan hukum tersebut, seperti contoh hukum shalat subuh
itu wajib memiliki pengertian menetapkan hukum wajib pada shalat subuh.

Secara terminologis, hadits dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-


beda di antara para ulama. Perbedaan-perbedaan itu lebih diakibatkan karena
terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung
kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. Ulama hadits mendefinisikan
hadits sebagai berikut1 :

‫لك ما أثر عن النّ ّيب صىّل هللا عليه و سمّل من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقيّة أو خلقيّة‬
ّ

“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda,
perbuatan, ketetapan, sifat-sifat, dan hal ihwal Nabi.”

Menurut istilah Ushul Fiqh, pengertian hadits ialah :

‫لك ما صدر عن النّ ّيب صىّل هللا عليه و سمّل غري القرآن الكرمي من قول أو فعل أو تقرير ممّا يصلح أن‬
ّ
‫رشعي‬
ّ ‫يكون دليال جلمك‬

1
Endang Sutari, Ilmu Hadits, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 2.

2
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-Qur’an al-
Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut
paut dengan Hukum Syara’.”

Tidak termasuk dalam istilah hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut
dengan hukum, seperti urusan pakaian yang merupakan bagian kebudayaan.

Sedangkan menurut istilah para Fuqaha, hadits ialah :

‫لك ما ثبت عن النّ ّيب صىّل هللا عليه و سمّل و مل يكن من ابب الفرض و ال الواجب‬
ّ

“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut
dengan masalah-masalah fardu atau wajib.”

Perbedaan para ulama mengenai pengertian hadits dilatar belakangi oleh


adanya perbedaan disiplin ilmu yang secara spesifik berbeda antara satu dengan
yang lainnya, sehingga menciptakan pendangan yang berbeda pula terhadap
pribadi Nabi SAW sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.

Adapun pengertian ahkam atau hukum secara terminologi yaitu :

‫خطاب هللا املتعلّق بأفعال امللكّفني عىل هجة اإلقتضاء أو التّخيري أو املتعلّق ابأل ّمع من أفعال امللكّفني عىل‬
‫هجة الوضع‬

“Titah Allah yanag menyangkut perbuatan mukallaf (orang dewasa dan


berakal sehat) baik berupa imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu
sebagai sebab, syarat dan penghalang.”2

Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi yaitu semua bentuk dalil, bail
Al-Qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas.

Dari berbagai penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan secara garis besar
bahwa hadits ahkam yaitu hadits Nabi yang menerangkan tentang hukum-hukum
Allah SWT bagi hamba-Nya. Atau dalam bahasa lain hadits ahkam berarti :
2
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2018), hlm. 295.

3
ّ ‫الصحيحة و احلسنة الّىت ميكن بصحيح النّظر فهيا الوصول إىل حمك‬
ّ ‫األحاديث النّبويّة‬
3
‫معيل‬
ّ ‫رشعي‬
“Hadits-hadits Nabi yang shahih dan hasan yang dengannya dapat
menerangkan dengan baik terhadap praktik hukum syara’”.

B. Kriteria Hadits Ahkam

Berbicara mengenai kriteria hadits ahkam tentu akan berbeda dengan


kriteria hadits secara umum yang dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah rawi,
bentuk dan penisbatan matan, dan persambungan serta keadaan sanad. Mengenai
kriteria atau jenis hadits ditinjau secara umum, yaitu sebagai berikut :

1. Hadits ditinjau berdasarkan jumlah rawinya terbagi menjadi dua, yaitu :


a. Hadits Mutawatir

‫ما رواه عدد كثري حتيل العادة تواطؤمه عىل الكذب‬

“Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, yang mustahil menurut


adat mereka bersepakat untuk berdusta”

Hadits Mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu: mutawatir lafdzi,i dan


mutawatir ma’nawi.

b. Hadits Ahad

‫هو ما مل جيمع رشوط املتواتر‬

“Hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir”

Berdasarkan jumlah rawi tiap-tiap thabaqah, maka hadits ahad dapat dibagi
pada tiga macam, hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib.

Berdasarkan kekuatan dan kelemahannya, tiga jenis dari hadits ahad dibagi
menjadi dua, yaitu maqbul dan mardud.

3
Muhammad Sulaiman al-Fara, Ahadits al-Ahkam, (Bairut: Maktabah Islamiyah, t. th), hlm. 2.

4
2. Hadits ditinjau berdasarkan penisbatan matannya, yaitu : hadits marfu’,
mauquf, maqthu’, Qudsi, dan Maudu’.
3. Hadits ditinjau berdasarkan persambungan dan keadaan sanad, dan dari
segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan cara periwayatannya.

Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis


berikut: hadits muttasil dan hadits munfasil.

Hadits ditinjau dari segi keadaan sanad dan cara periwayatannya terdapat
jenis-jenis hadits : mu’an’an, muanna, musalsal, ‘ali, nazil, dan muadabbaj.

Adapun kriteria hadits ahkam sebagaimana dalam pengertian hadits ahkam


itu sendiri, maka hadits yang diberlakukan sebagai sumber hukum itu yaitu
kategori hadits yang shahih atau hadits hasan. Adapun perincian hadits ahkam
sebagai berikut :

1. hadist nabawi, dalam pengertian ini mengecualikan hadits marfu’ atau


selain hadits nabawi.

2. hadits shahih atau hasan, dalam pengertian ini mengecualikan hadits


dha’if yang maudu’ (palsu).

Definisi shahih menurut bahasa adalah lawan kata “saqim”, artinya sehat
lawan sakit, haq lawan batil. Menurut istilah Muhadditsin hadits shahih adalah :

‫السند غري معلّل و ال شا ّذ‬


ّ ‫ما نقهل عدل ات ّم الضّ بط متّصل‬

“Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, tidak
begitu kokoh ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat dan tidak
janggal.”

Sesuai dengan definisi di atas, maka suatu hadits dinilai shahih apabila :4

a. Rawinya bersifat adil;


b. Rawinya sempurna ingatan atau dhabit;
4
Op.cit. hlm. 130.

5
c. Sanadnya bersambung, matannya marfu’;
d. Tidak ada ‘illat;
e. Tidak Syad (janggal).

Definisi hadits hasan yaitu :

‫السند غري معلّل و ال شا ّذ‬


ّ ‫ما نقهل عدل قليل الضّ بط متّصل‬

“Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil,


sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat dan tidak janggal.”

Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Letak perbedaannya hanya
pada soal ke-dhabith-an rawinya. Hadits shahih rawinya tam dhabith, sedangkan
hadits hasan raawinya qalil dhabith.

Sesuai dengan definisi di atas, maka suatu hadits dinilai hasan apabila :

a. Rawinya bersifat adil;


b. Rawinya qolil al-dhabit (tidak begitu sempurna ingatannya);
c. Sanadnya bersambung, matannya marfu’;
d. Tidak ada ‘illat;
e. Tidak Syad (janggal).

Definisi hadits dha’if secara bahasa berarti lemah, lawan dari qawi (kuat).
Sedangkan menurut istilah yaitu :

‫ما مل يبلغ مرتبة درجة احلسن‬

“Hadits yang tidak mencapai derajat hadits hasan”

Hadits dha’if memiliki tingkat kedha’ifan berdasarkan jumlah keguguran


syarat hadits shahih atau hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau matannya.

Dari penjelasan pembagian hadits diatas mengenai hadits shahih ketika


memenuhi syarat diatas dikategorikan pada shahih lidzatihi (shahih dengan

6
sendirinya). Demikian juga hadits hasan dengan persyaratan diatas dinamakan
hasan lidzatihi.

Selain hadits lidzatihi terdapat juga hadits lighairihi. Hadits shahih


lighairihi adalah hadits hasan lidzatihi yang derajatnya menjadi shahih karena
diperkuat dengan syahid dan atau muttabi’. Syahid artinya matan lain, sedangkan
muttabi’ artinya sanad lain.

Adapun hadits hasan lighairihi sebenarnya ialah hadits dha’if yang menjadi
hasan karena diperkuat oleh adanya syahid dan atau muttabi’. Hadits dha’if dapat
menjadi hasan lighairihi yang berkualitas maqbul, kecuali hadits dha’if yang
terendah, yakni hadits maudhu’ (hadits yang rawinya dusta), hadits matruk (hadits
yang rawinya tertuduh dusta), dan hadits munkar (hadits yang rawinya fasik dan
banyak salah). Untuk hadits maudhu’, matruk, dan munkar walaupun syahid dan
muttabi’nya banyak tidak akan menjadi hasan lighairihi.

Definisi hadits shahih, hasan, dan dha’if diatas merupakan kaidah


keshahihan hadits, yakni syarat dan kriteria yang menentukan hadits itu shahih,
hasan, atau dha’if. Jadi untuk mengetahui kualitas hadits apakah maqbul shahih,
maqbul hasan, atau mardud dha’if dapat dilihat dari keadaan rawi, sanad, dan
matannya. Bila rawinya adil dan tam dhabith, sanadnya muttasil, dan tida ‘illat,
matannya marfu’, dan tidak syadz (janggal), maka hadits tersebut termasuk hadits
shahih yang kualitasnya maqbul. Bila keadaan lainnya seperti diatas, namun
kedhabitannya tidak sampai tamm hanya qalil saja, maka hadits tersebut hasan
maqbul. Bila salah satu syarat daru hadits maqbul tadi faqid (gugur) atau tidak
terpenuhi, maka hadits tersebut dha’if dan kualitasnya mardud. Hadits ini tidak
bisa dijadikan hujjah kecuali dikuatkan oleh syahid atau muttabi’ dan bukan
termasuk hadits maudhu’, matruk, dan munkar.5

C. Otoritas Hadits Ahkam

Otoritas hadits ahkam meliputi nilai atau kualitas hadits dan pengamalan
hadits. Karena kualitas hadits ada yang maqbul (diterima) dan ada yang mardud

5
Endang Sutari, Ilmu Hadits, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 143-144.

7
(ditolak). Yang dimaksud dengan maqbul secara bahasa artinya yang diambil atau
yang dibenarkan, maksudnya yang diterima.

Menurut istilah muhadditsin maqbul berarti :

‫ماد ّل دليل عىل رحجان ثبوته‬

“Yang dirujuk oleh suatu keterangan, bahwa Nabi SAW ada


menyabdakannya, yakni adanya lebih berat dari tidak adanya.”

Yang dimaksud dengan mardud menurut lughat adalah “yang ditolak, yang
tidak diterima”.

Menurut istilah muhadditsin mardud berarti :

‫ما مل يد ّل دليل عىل رحجان ثبوته بل يتساوى األمران فيه‬

“Sesuatu hadits yang tidak dijuluki oleh suatu keterangan atas berat
adanya dan tidak dijuluki atas berat ketiadaannya, ada dan tidak adanya sama
saja.”

Dalam istilah lain :

‫ما مل توجد فيه صفة القبول‬

“Yang tidak ditemukan sifat menerimanya.”

Dengan demikian, hadits maqbul adalah hadits yang dapat diterima atau
pada dasarnya dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan syari’at, dapat
dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap Al-Qur’an, dan dapat di istinbath-i
dengan ushul fiqh. Sedangkan hadits mardud adalah hadits yang ditolak atau tidak
dapat diterima dan dijadikan hujjah (argumentasi) terhadap pengamalan syari’at.

Ditinjau dari segi maqbul dan mardud di atas, hadits ahad terbagi kepada:
hadits hasan, hadits dha’if, dan hadits shahih. Untuk hadits shahih dan hadits
hasan nilainya maqbul, sedangkan hadits dha’if nilainya mardud.

8
Mengenai hukum mengikuti hadits, sepakat seluruh ulama atas wajib turut
pada hadits sebagaimana pada Al-Qur’an dalam aspek penggalian hukum syara’.
Dan menyakini serta mengamalkan kandungan hadits, sebagai sumber syara’
kedua, setelah Al-Qur’an.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa kita wajib mengikuti hadits, yaitu
sebagai berikut :

1. Al-Qur’an mewajibkan kita untuk ta’at kepada Nabi SAW, dan


menjadikan ta’at kepada nabi sama halnya dengan ta’at kepada Allah, dan
memerintahkan pada kita untuk mengembalikan perbedaan pendapat pada
Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut banyak dikemukakan dalam beberapa
ayat Al-Qur’an, seperti pada surat an-Nisa (4:59), dan an-Nisa (4:80)
yang berbunyi :

‫ فإن تنازعمت يف شئي فردّوه‬،‫يأهّي ا اذّل ين آمنوا أطيعوا هللا و أطيعوا ّالرسول و أويل األمر منمك‬
‫ ذاكل خري و أحسن تأويال‬،‫إىل هللا و ّالرسول إن كنمت تؤمنون ابهلل و اليوم اآلخر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah


Rasul dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an), dan Rasul (Hadits), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yan demikian itu,
lebih utama (bagimu), dan kebih baik akibatnya.”

‫من يطع ّالرسول فقد أطاع هللا‬

“Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati


Allah.”

2. Ijma Sahabat, para sahabat sepakat mengenai wajib turut dan


mengamalkan hadits nabawi setelah Al-Qur’an. Sebagaimana pada kisah
sahabat Mu’adz,

9
‫ كيف تقيض إذا‬: ‫ قال‬،‫عن معاذ بن جبل أ ّن رسول هللا صىّل هللا عليه و سمّل ملّا بعثه إىل المين‬
‫ فبسنّة‬: ‫ فإن مل جتد يف كتاب هللا؟ قال‬: ‫ قال‬،‫ أقيض بكتاب هللا‬: ‫عرض كل قضاء؟ قال‬
‫ أجهتد رأيي و ال آلو أى ال أقرص ىف‬: ‫ فإن مل جتد يف سنّة رسول هللا؟ قال‬: ‫ قال‬،‫رسول هللا‬
‫ امحلد هلل اذّل ي‬: ‫ فرضب رسول هللا صىّل هللا عليه و سمّل عىل صدره و قال‬: ‫ قال‬.‫اإلجهتاد‬
.‫وفّق رسول رسول هللا ملا يريض رسول هللا‬

“Diterima dari Mu’adz bin Jabal, “Sesungguhnya Rasulullah SAW, ketika


mengutusnya ke Yaman, bertanya: “Bagaimana engkau akan memutuskan
hukum ketika dihadapkan pada suatu masalah?” Mu’adz menjawab: “Aku
akan menghukumi sesuai dengan Kitab Allah (Al-Qur’an), Nabi bertanya:
“Jika kamu tidak menemukannya dalam Kitab Allah?”, Mu’adz menjawab:
“Maka dengan Sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya: “Jika kamu tidak
menemukannya dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab: “Saya
akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melihat ke yang
lainnya.” Mu’adz berkata: lalu Rasulullah SAW menepuk dadanya, seraya
berkata: “Segala puji milik Allah yang telah menyepakati utusan dari
Rasul-Nya atas yang diridhai oleh utusan-Nya.”

3. Pemahaman Akal pikiran. Dapat kita pahami bahwa hukum yang bersifat
global dalam Al-Qur’an tidak bisa dijelaskan tanpa menggunakan hadits,
maka pada posisi ini hadits dibutuhkan untuk menjelaskan Al-Qur’an.

Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa otoritas hadits ahkam sebagai
sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, kembali pada kualitas atau kriteria
hadits itu sendiri. Dengan kata lain baik hadits mutawatir maupun hadits ahad
selama dikategorikan hadits yang maqbul maka dalam pengamalannya wajib
diamalkan.

Jika diperinci maka hadits-hadits yang mardud yaitu hadits mutawatir, dan
hadits ahad selain hadits dha’if yang maudhu’ matruk, dan munkar. Hadits yang

10
mardud (ditolak) tidak dianjurkan untuk diamalkan dan tidak dapat menjadi
pedoman syari’at.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian hadits ahkam yaitu hadits Nabi yang menerangkan tentang
hukum-hukum Allah SWT bagi hamba-Nya. Atau dalam bahasa lain hadits ahkam
berarti :

11
‫معيل‬ ّ ‫الصحيحة و احلسنة الّىت ميكن بصحيح النّظر فهيا الوصول إىل حمك‬
ّ ‫رشعي‬ ّ ‫األحاديث النّبويّة‬
“Hadits-hadits Nabi yang shahih dan hasan yang dengannya dapat
menerangkan dengan baik terhadap praktik hukum syara’”.

Adapun kriteria hadits ahkam sebagaimana dalam pengertian hadits ahkam


itu sendiri, maka hadits yang diberlakukan sebagai sumber hukum itu yaitu
kategori hadits yang shahih, hasan, dan dha’if yang terdapat syahid atau muttabi’,
selain dari hadits dha’if yang madhu’, matruk, dan munkar.
Otoritas hadits ahkam meliputi kehujjan hadits dan pengamalan hadits.
Karena kualitas hadits ada yang maqbul (diterima) dan ada yang mardud (ditolak).
Adapun yang menjadi pedoman syara’ adalah hadits-hadits yang maqbul.
B. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai sejarah penjelasan Al-
Qur’an, fase tarjamah, fase tafsir, fase takwil, dan fase tafhim. Tentunya masih
banyak kekurangan dan kelalaian dalam penyusunan penjelasannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Karena itu penulis mohon maaf sebesar-
besarnya.
Penulis berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kiritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi
penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya dan senantiasa
tercapai tujuan dan manfaat dalam penyusunan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Soetari, Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar
Pustaka, 2008.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2016.
Sulaiman, al-Fara, Ahadits al-Ahkam wa Asyharu Muallafatiha, Kairo: Maktabah
Islamiyya, t. th.
At-Thahan, Mahmud, Taisir Muasthalah al-Hadits, Bairut: Maktabah Ma’arif,
2010.

13

Anda mungkin juga menyukai