Anda di halaman 1dari 16

Tugas : Individu

Dosen : Prof. Dr. Aminudin Ilmar, S.H., M.H.


Mata Kuliah : Konstruksi Teori Hukum

RESUME
REFLEKSI TENTANG HUKUM

DEE LUBIS
B013191008

Untuk memenuhi tugas Konstruksi Teori Hukum


Program Studi Doktor Ilmu Hukum

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan dan kenikmatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan
Resume yang berjudul “Refleksi Tentang Hukum” yang disadur dari buku berjudul
“Refleksi tentang Hukum(Pengertian-pengertian dasar dalam teori hukum” oleh Dr.
Mr. JJ. H. Bruggink dengan baik.
Penulis pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
terutama kepada Dosen Pengampu Mata kuliah Konstruksi Teori Hukum dan teman-
teman yang telah membantu hingga terselesainya resume ini.
Akhirnya penulis menyadari dalam penulisan resume ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membantu sangat
penulis nantikan demi kesempurnaan dalam menyusun makalah selanjutnya.

Makassar, September 2019

DEE LUBIS

2
HUKUM DAN BAHASA

1. Apa yang Kita Artikan dengan Bahasa?

Penentuan batasan pengertian “bahasa” dari P.W. Brouwer (Taal en


Begripsvorming, dalam InLeiden tot de Rechtswetenschap, 1990:2). Ia mengatakan
“kita berbicara tentang suatu bahasa jika terdapat suatu sistem tanda-tanda yang
memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Dibuat oleh manusia ;


2. Mengabdi komunikasi atar manusia ;
3. Diterima dalam suatu masyarakat manusia ;
4. Terdiri atas bunyi-bunyi dan/atau tanda-tanda”.

Pada penentuan batasan pengertian segera tampak bahwa hal ini berkenaan
dengan suatu “penentuan” (bepaling) dalam arti pembatasan (inperking). Hukum
oleh kita ditetapkan sebagai sistem konseptual, dam itu pertama-tama adalah sesuatu
yang semata-mata produk rokhani manusia.

Syarat pertama, disimpulkan bahwa kita dalam buku ini tidak memandang
“bahasa” binatang sebagai bahasa. Syarat kedua, memberikan fungsi utama dari
bahasa sering kali tentang hal ini digunakan model sederhana; pihak yang berbicara
(atau menulis) adalah pengirim dan pihak yang mendengar (atau membaca) adalah
penerima, dan terkait padanya bahasa adalah sarana yang menyampaikan informasi.
Dalam kenyataan, komunikasi itu lebih majemuk (rumit), sebab penerima itu
menginterpretasi informasi dengan caranya sendiri, yang dikirim kepadanya oleh
pengirim. Syarat ketiga, yang di dalamnya aspek sosial bahasa sekali lagi
ditampilkan, saya tidak akan mendalami lebih jauh, sebab syarat ini sesungguhnya
merupakan pra-pengandaian bagi yang kedua, komunikasi. Syarat keempat,
merupakan baik pembatasan maupun pembedaan dalam bahasa. Tanda-tanda bahasa
harus terdiri atas bunyi-bunyi atau tanda-tanda tertulis, semua tanda lain adalah
bukan tanda bahasa. Di sampingnya terdapat dua jenis tanda-bahasa, lisan dan tulisan
(aksara). Sesungguhnya tanda-bahasa jenis kedua diturunkan (diderivasi) dari yang
pertama. Sangat banyak bahasa yang belum lama memiliki tanda-bahasa tulisan.

3
Beberapa bahasa belum memiliki tulisan, yang tidak berarti bahwa bahasa-bahasa itu
inferior.

2. Hukum, Teori Hukum dan Bahasa

Istilah “hukum” dan “teori”, dari istilah “Teori Hukum”. Dengan “teori” orang
secara sederhana dapat mengartikan suatu “keseluruhan pernyataan (klaim,
beweringen) yang saling berkaitan”. Jika orang meletakkan seperangkat pernyataan
dalam suatu hubungan, maka dengan begitu orang sudah dapat berbicara tentang
suatu teori. Demikianlah terdapat banyak teori, mengapa misalnya sistem komunistik
di Uni Soviet pada bidang ekonomi telah gagal. Teori-teori sering orang temukan di
dalam ilmu. Orang bahkan mengatakan bahwa tugas paling utama dari seorang
ilmuwan adalah membangun teori-teori. Namun tidak setiap perangkat pernyataan
yang saling berkaitan dapat disebut teori ilmiah. Untuk dapat disebut teori ilmiah,
maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat (tuntutan). Secara umum orang
berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya harus ada hipotesis
atau sebuah penetapan permasalahn yang (hendak) di gumuli oleh teori itu; harus ada
metode tertentu yang dalam teori itu harus dilegitimasi, dan harus ada seperangkat
pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu ssebagai
produk dari kegiatan ilmiah.

Jika dengan teori kita mengertikan keseluruhan pernyataan yang saling


berkaitan, maka teori hukum dapat di tentukan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan
pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum. Dengan itu
kita telah cukup menguraikan tentang apa yang kita artikan dengan unsur teori dan
istilah teori hukum, dan kita harus mengarahkan diri pada unsur hukum. Dengan
hukum saya mengartikan sebuah sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan
keputusan-keputusan hukum rechtsbeslissingen.

Sistem menunjukan bahwa istilah itu berkenan dengan suatu keseluruhan yang
saling berkaitan. Ia adalah sebuah sistem konseptual, karena ia adalah sebuah
gambaran (ontwerp), yang merupakan bagian dari kehidupan rokhani (geestleven)
manusia. Namun sistem itu dapat dibuat secara inderawi dengan bersaranakan

4
pernyataan-pernyataan bahasa atau ekspresi bahasa taaluitingen, sebagaimana yang
segera akan kita lihat. Akhirnya harus dikemukankan bahwa sistem konseptual
kaidah hukum dan keputusan hukum ini adalah produk kesadaran hukum manusia.

Di sini digunakan istilah kesadaran hukum dan bukan istilah berpikir hukum
atau pikiran hukum, untuk menghinda keterkaitan. rkan kesalah pahaman bahwa
orang berpendapat bahwa hukum itu semata-mata timbul dari pikiran rasional
manusia yang ketat. Hukum ikut dibentuk ihwal-ihwal seperti kepercayaan, intuisi
etikal atau perasaan manusia, yang didalamnya ihwal rasional dan ihwal irrasional
terjalin. Hal itu juga tidak meniadakan ihwal bahwa pemikiran rasional adalah factor
terpenting pada pembentukan hukum. Salah satu ciri pikiran rasional itu adalah
bahwa ia berikhtiar mencapai saling keterkaitan. Karena itu, hukum sebagai produk
kesadaran hukum dapat disebut sebuah sistem konseptual.

Suatu bagian terpenting sistem konseptual itu di-“lahiriah”-kan (dieksplisitkan,


veruiterjky), artinya ia memperoleh suatu bentuk tetap dalam pernyataan-pernyataan
bahasa, yakni dalam aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang dipositifkan.
Pemositivan aturan-aturan dan keputusan-keputusan ini dalam suatu masyarakat
ditugaskan kepada yang berwenang autoriteit, pemerintah. Mereka menuangkan
konsep-konsep yuridik yang ada dalam kepala mereka ke dalam formula-formula
rumusan-rumusan tertentu yang mewujudkan inti dari sistem hukum, yang didalam
masyarakat dianggap menjadi acuan orang dalam menjalani kehidupan. Dengan itu
langsung tampil ke permukaan peranan penting dari bahasa untuk hukum. Tanpa
bahasa maka hukum akan menjadi mustahil. Dengan memperhitungkan semuanya
ini, kita dapat sampai pada suatu penetapan batasan pengertian definitive tentang apa
yang kita artikan dengan “teori hukum”. Teori hukum adalah suatu keseluruhan
pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan
hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting sistem
tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.

Jadi, hukum itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memliki bahsa.
Orang bahkan dapat lebih jauh lagi dan mengemukakan pendapat bahwa juga hukum

5
sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia,
karena bahasa yang ia guinakan untuk berbicara. Dalil ini memutuskan kaitan dengan
pandangan ke filsafatan tradisional, yang di dalamnya bahasa hanya dipandanga
sebagai sarana bantu, yang dengannya manusia mempresentasikan kepada orang lain
pikiran-pikirannya, yang terbentuk terlepas dari bahasanya. Dalam filsafat ini,
misalnya dari plato, hal berpikiran dan hal berbicara adalah dua besaran (ihwal) yang
bebas, yang berkenan dengannya hal berbicara berfungsi mengabdi hal berpikir.
Perkataan-perkataan dan pernyataan-pernyataan adalah hanya merupakan sarana
transport yang dengannya pikiran-pikiran diungkapkan (ditransfer). Dalam
pandangan tradisional itu tersembunyi pra-anggapan bahwa pemikiran manusia,
meskipun ada keragaman bahasa, dapat sampai pada hasil-hasil yang isinya
universal, yang dengan sarana bahasa apa pun dapat disampaikan kepada orang lain.

Filsafat modern, sebagaimana dikatakan, bertolak dari hubungan yang erat


berpikir dan bahasa. Dalam filsafat analisis bahasa orang semakin memandang
pikiran sebagai sejenis pra-rancangan dari berbicara dengan semua keuntungan yang
ada padanya. Bukankah orang dapat meneliti hal berbicara dan menulis , sebab orang
dapat mengdengar apa yang dikatakan dan melihat apa yang ditulis. Hal itu dapat
dilakukan orang pada pikiran. “Dalam cara bicara seolah-olah objek pikiran yang
dapat diraba (yakni dapat didengar atau dibaca) ada di hadapan kita.” (A van
haersolte, 1983: 71).

Pandangan kefilsafatan modern ini di dukung oleh para ilmuwan yang tertarik
pada studi perbandingan bahasa dalam studi antropologi budaya. Di dalamnya tampil
ke permukaan bahwa pikiran manusia sedemikian erat berkaitan dengan bahasanya,
sehingga orang-orang dari masyarakat bahasa yang berbeda juga pikirannya berbeda.
Dalam linguistik, dalil ini dikenal sebagai hipotesis sapir-worf.

Linguistik adalah ilmu tentang tanda-bahasa (taalteken). Linguistik adalah


bagian penting dari semiotik, ilmu umum tentang tanda tanda, yang di dalamnya
dipelajari disamping tanda-tanda bahasa juga tanda tanda lain seperti misalnya
gerakan jasmani (gebaren).

6
Terkait pada masalah ini perlu dikemukakan pernyataan bahwa adalah
berbahaya jika orang memandang berbagai masyarakat bahasa juga menyebabkan
gambaran dunia dan bentuk pikiran yang berbeda-beda, dari dalamnya menarik
kesimpulan kesimpulan berkenaan dengan kualitas dari berbagai pikiran yang
berbeda-beda.

Whorf adalah seorang insinyur kimia amerika, bekerja pada sebuah


perusahaaan asuransi kebakaran, yang mempelajari berbagai bahasa indian dan
memplubikasikan hasil-hasilnya sebagai hobi. Ia sampai pada kesimpulan bahwa
berbagai bahasa dari suku-suku bangsa mereka akan membawa pada suatu gambaran
dunia (wereld beeld) yang lain dan pada cara berpikir yang berbeda. Kesimpulannya
melalui jalan ilmiah juga dicapai oleh linguis amerika sapir itu sebabnya dalil itu
dinamakan hipotesis sapir whorf. Contoh-contoh pengaruh kultur pada bahasa sudah
banyak dikenal orang. Orang eskimo mempunyai berbagai istilah untuk berbagai
jenis salju, sedangkan orang aztek hanya memiliki satu perkataan untuk baik
“dingin”, “salju” maupun “es”.

Teori hukum meberikan perhatian pada hubungan antara hukum dan bahasa.
Dalam kerangka itu, dalil bahwa mempelajari hukum adalah tidak lain berarti ikhtiar
menguasai bahasa para yuris, dapat dipertahankan. Jika demikian halnya maka tidak
dapat mengabaian keterjalinan Filsafat Bahasa dan Ilmu Bahasa.

3. Beberapa Pembedaan dalam Bahasa

Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tulisan, disamping itu terdapat
pembedaan lain berkaitan dengan bahasa. Yang paling terkenal adalah antara bahasa
pergaulan (omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijketaal) dan bahasa artifisial
(kunsmatigetaal) atau bahasa ilmiah (wetenschappelijke taal).

Bahasa hukum dalam asasnya masih merupakan bahasa pergaulan, tetapi


banyak menggunakan perkataan dan ungkapan yuridik yang khas, sehingga ia
tampak merupakan bahasa teknikal tersendiri. Memebrikan bantuan hukum sering
terdiri atas “menerjemahkan” bahasa hukum ke dalam bahasa pergaulan. Namun kita

7
tiak dapat berbicara tentang suatu bahasa ilmiah hukum yang sesungguhnya, karena
aspek structural bahasa hukum masih tetap struktur bahasa pergaulan.

Suatu pembedaan lain dalam bahasa terutama untuk pendekatan ilmiah terhadp
bahasa adalah penting. Kita dapat saja dalam pergaulan berbicara tentang bahasa
pergaulan. Jika kita melakukan itu maka kita berhadapan dengan dua fungsi dari
bahasa. Bahasa yang di dalamnya (yang dengannya) kita berbicara dan bahasa yang
tentangnya kita berbicara. Bahasa yang pertama kita sebut bahasa-meta dan yang
kedua bahasa-objek.

Paradoks-paradoks seperti yang dikemukakan di atas menyebabkan orang


mengadakan pembedaan antara kedua tataran bahasa, yang berkenaan dengannya
pada akhirnya tataran-meta yang menentukan kebenaran dari sebuah putusan. Namun
ini dalam dirinya membawa konsekuensi bahwa orang tidak dapat menunjuk bahasa
yang berbicara tentang hubungan antara bahasa-objek dan dunia yang ia paparkan
(gambarkan). Bukankah hal itu hanya dapat terjadi dalam sebuah meta-bahasa,
karena disini dibicarakan tentang suatu bahasa lain (bahasa-objek).

Namun bahasa itu harus sekaligus berkenaan dengan benda-benda (hal-hal) di


dalam dunia dan dengan itu per-definisi juga adalah bahasa-objek. Itu membawa
pada kesimpulan bahwa bahasa itu sekaligus meta-bahasa dan bahasa-objek, yang
menyebabkan pembedaan itu kembali menjadi kurang bermakna.

Filsuf Wittgenstein dalam Filsafat Bahasa terdahulunya mencoba ke luar dari


kesulitan dengan berpegang teguh pada titik tolak bahwa bahasa itu hanya bermakna
jika ia mencerminkan dunia kenyataan. Mengingat meta-bahasa tidak melakukan hal
itu, maka ia menurut Wittgenstein akan tidak bermakna.

8
HUKUM DAN ILMU BAHASA

1. Sintatik

Disini dipelajari perkaitan di antara tanda – tanda satu dengan yang lainnya.
Pusat perhatiannya adalah bentuk atau struktur tanda – tanda itu. Jika ihwalnya
berkenaan dengan tanda – tanda bahas, maka sintaktik itu berkaitan erat dengan apa
yang di atas sudah kita sebut Gramatika. Sintaktik dapat dipelajari terlepas dari
semantik. Tetap, yang sebaliknya tidak demikian halnya. Jika dikehendaki sebuah
kalimat memiliki arti, maksudnya menghasilkan proposisi yang dapat dipahami,
maka kalimat itu secara tepat harus mengikuti (memenuhi) aturan – aturan
sintaktikal. Hal semantikal dalam arti memiliki sebuah makna, dengan demikian,
mengandalkan hal sintaktikal dalam arti memenuhi aturan – aturan sintaktikal.

2. Semantik

Teori tentang arti – arti. Disini dipelajari perkaitan antara tanda – tanda dan
yang diartikan (de betekende). Pusat perhatiannya adalah isi tanda – tanda itu. Di
dalam semantik kita juga berurusan dengan gejala – gejala, yang dari sudut suatu
perspektif lain harus dibedakan yang satu dengan yang lain, pembedaan tersebut
timbul dari pandangan kedua tentang apa arti itu.

Jadi, pertama – tama terdapat pembagian-tiga berdasarkan keluasan satuan


bahasa. Dapat dibedakan:

1. Perkataan,
2. Kalimat,
3. Uraian.

Kedua, terdapat pembagian-tiga berdasarkan faset – faset semantikal yang


berbeda dari bahasa menurut pandangan kedua. Dapat dibedakan: 1. Tanda,
yang berada pada tataran kebahasaan; 2. Yang diartikan, yang kebanyakan
berada pada tataran empirikal; arti, yang berada pada tataran konseptual.

9
Tiga terori kebenaran:
a. Teori Korespondensi: Kebenaran adalah kesesuaian (kesamaan) antara putusan
atau proposisi dengan dunia kenyataan.
b. Teori Koherensi : kebenaran putusan atau proposisi ditautkan pada konteks
sistematikal yang didalamnya ia berada.
c. Teori kebenaran Pragmatik : Dalam teori ini diajukan bahwa bahasa hanya
memiliki fungsi instrumental untuk semua orientasi yang munkin diatas dunia.
Dengan demikian teori ini, berlawanan dengan Teori Koherensi, konteks non-
kebahasaan memainkan peranan besar.

3. Pragmatik

Disini dipelajari perkatian antara tanda–tanda dan pemakainya. Pusat


perhatiannya adalah fungsi tanda–tanda. Kita sudah mengatakan bahwa pragmatik itu
berkaitan dengan relasi antara tanda dan para pemakai. Menurut banyak orang
Pragmatik meliputi medan yang demikian luas, sehingga semua keadaan yang
relevan untuk pemakaian kata – kata atau ungkapan termasuk ke bawahnya, bahkan
jika ini tidak secara langsung menyangkut pada pemakai. Dewasa ini orang
beranggapan bahwa ikatan antara pragmatik dan semantik juga demikian kuat,
sehingga Semantik dipandang sebagai suatu abstraksi dari pragmatik.

4. Beberapa Pembedaan dalam Ilmu Bahasa

Ilmu bahasa modern, Semiotik menempati posisi sentral. Semiotic adalah ilmu
tentang tanda-tanda. Pembedaan antara ilmutentang tanda-tanda, yakni linguistik,
yang terpaut padanya Filologi dapat dipandang sebagai pelopornya, dan ilmu tentang
tanda-tanda lain.Lingusitik dapat dibagi lagi ke dalam Linguistik terapan dan
Linguistik murni.

Pembagian semiotik menurut Ch. Morris (Sign, Language and behavior : 1946)
terbagi menjadi tiga bagian:
1. Sintatik
2. Semantik
3. Pragmatik

10
Sebuah tanda baru menjadi tanda dalam suatu sistem tanda-tanda, dan buah
tanda baru berfungsi dalam penggunaannya, dalam arti bahwa tanda-tanda itu
memperoleh arti.

5. Klasifikasi Putusan, Proposisi dan Tindakan Bahasa

Dalam paragraph berikut dan terkahir, berdasarkan klasifikasi–klasifikasi itu


akan diletakkan perkaitan antara sintaktik, semantik, dan prakmatik. Setelah itu bab
ini ditutup dengan harapan bahwa kompleksitas dari bahasa sudah cukup
dimunculkan dengan harapan bahwa hubungan dengan hukum dan teori hukum.
1. Sintaktik. Pada dataran ini terdapat kalimat atau putusan. Pada klasifikasi
kalimat ini di dalam sintaktik kita tidak perlu berhenti lama, sebab hal itu sudah
lama ditanamkan kepada kita dalam pelajaran gramatika.
2. Semantik. Pada dataran ini terdapat proposisi atau pendapat. Berkenaan dengan
proposisi dibuat beberapa pembagian. Pertama – tama terdapat perbedaan
antara proposisi kognitif dan proposisi non-kognitif. Jenis proposisi yang
pertama memiliki isi pengetahuan akal-budi (keninhoud), yang kedua tidak.
Pada penggolongan kedua dibedakan tiga jenis proposisi berikut:
a. Proposisi yang memberikan pemberitahuan tentang fakta – fakta, yang
dinamakan proposisi informatif atau proposisi empirik;
b. Proposisi yang memerintahkan, melarang atau mengizinkan perilaku
tertentu, yang dinamakan proposisi normatif;
c. Proposisi yang memiliki sifat menilai, yang dinamakan proposisi
evaluatif. Dalam kerangka ini sering dibedakan tiga jenis penilaian:
aestetikal (bagus atau jelek); b, moral atau etikal (baik atau buruk); c.
teknikal atau pragmatikal (tepat atau salah).
3. Pragmatik. Sebagaimana yang sudah dapat diharapkan berdasarkan apa yang
baru dikemukakan, kalsifikasi proposisi berdekatan dengan klasifikasi
tindakan-bahasa. Klasifikasi ini tindakan-bahasa yang paling terkenal adalah
klasifikasi J. Searle, ahli bahasa kedua yang di samping Austin mempelajari
problematika tindakan-bahasa.

11
Berdasarkan kriterium itu Searle sampai pada lima jenis tindakan bahasa, yang
kemudian oleh ahli-ahli behasa yang lain ditambahkan jenis keenam, jadi dibedakan
enam jenis tindakan bahasa berikut:
1) Tindakan bahasa deskriptif atau informatif, yang menggunakan sebuah kalimat
untuk menyatakannya.
2) Tindakan bahasa direktif, yang padanya pembicara menggunakan sebuah
kalimat untuk mencoba menggerakan pendengarnya melakukan sesuatu,
misalnya dengan memohon atau memerintahkan sesuatu kepadanya. Dengan
demikian termasuk kedalamnya apa yang oleh yuris sering dibedakan
pemakaian bahasa preskriftip.
3) Tindakan bahasa ekspriftip, yang dalam hal ini pembicaraan menggunakan
sebuah kalimat untuk mengungkapkan perasaannya atau sikap tertentu.
4) Perikatan yang dengan itu pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk
menyatakan bahwa ia mengikatkan diri akan melakukan atau tidak melakuakn
suatu perbuatan
5) Tindakan bahasa institusional, yang dalam hal ini pembicara menggunakan
sebuah kalimat untuk sebuah pernyataan atau sebagai suatuadedidikirawan cara
mewujudkan kewibawaan. Kalimat-kalimat ini diucapkan dalam kerangka
institusi-institusi oleh otoritas atau pejabat tinggi , misalnya pada pembukaan
gedung atau jalan, pembaptisan kapal (atau orang), pengangkatan, pernyataan
perang dan sebagainya.
6) Tindakan bahasa mengevaluasi, dalam hal ini pembicara menggunakn sebuah
kalimat untuk mewujudkan nilai dari seseorang

12
HUKUM DAN PENGERTIAN

1. Intensi dan Ekstensi Pengertian

Pada tiap pengertian diadakan pembedaan antara isi pengertian (begripsinhoud)


dan lingkup pengertian atau luas pengertian (begripsomvang). Isi pengertian disebut
intensi atau konotasi dari pengertian. Intensi dalam bahasa Inggris disebut “sense”
dan dalam bahas Perancis disebut “signification”. Sedangkan ektensi dalam bahasa
Inggris disebut “refrence” dan dalam bahasa Perancis disebut “designation”.

Intensi dari sebuah pengertian pada tataran bahasa pertama adalah sama seperti
proposisi pada tatanan bahasa kedua. Sedangkan dalam ilmu bahasa sendiri yang
dimaksud dengan proposisi tidak jelas, demikian juga halnya dengan intensi.

Hubungan antara intensi dan ekstensi pengertian dapat dinyatakan dalam dua
dalil (vuistregel). Dalil pertama berbunyi: “intensi menentukan ekstensi”. Dalil ini
menyatakan bahwa isi sebuah pengertian menentuan keluasan lingkup pengertian.
Sedangkan dalil kedua: “intensi berbanding terbalik dengan ekstensi”, yang berarti
semakin sedikit intensi pengertian yang memuat ciri-ciri, jadi isi pengertian itu
ditetapkan kurang persis, maka semakin banyak objek atau orang yang termasuk ke
dalam ekstensi pengertian itu, jadi pengertian itu lebih luas. Selanjutnya menyangkut
pengertian “peristiwa hukum” memuat ciri-ciri :
1. peristiwa;
2. yang dalam dirinya membawa serta akibat-akibat hukum;
3. yang ditautkan pada peristiwa itu oleh hukum positif.

2. Apa yang Kita Artikan dengan Pengertian?

Pengertian adalah isi pikiran (gedachteninhoud) yang dimunculkan oleh sebuah


perkataan tertentu jika sebuah objek atau seorang pribadi memperoleh sebuah nama.
Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari perkataan,
mengingat penunjukan perkataan itu pada objek atau orang tertentu. Harus
dikemukakan bahwa objek atau orang itu tidak perlu merupakan sesuatu yang secara
empirical dapat diraba yang ada di dalam kenyataan.

13
Menurut P.W Kamphuisen 1938: 7, yang mengartikan pengertian sebagai:
sesuatu yang dipikir, tiap sesuatu yang telah dibentuk dalam jiwa manusia, yang
sepenuhnya mengesampingkan pertanyaan epistemologikal tentang apakah sesuatu
yang dipikir itu, pengertian itu sesuatu yang sesuai dengan yang ada dalam kenyataan
di luar kesadaran.

Pada bidang hukum, pembentukan pengertian itu tidak hanya penting sekali
dalam Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena
sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku para warga
masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka perilaku apa yang diharapkan
(dituntut) dari mereka. Ha itu dilakukan dengan jalan dalam undang-undang itu
diberikan defenisi istilah-istilah yuridis yang digunakan. Untuk selanjutnya, setiap
kali ditemukan istilah dalam undang-undang yang bersangkutan, maka orang
memberikan arti pada istilah sebagaimana yang disebut batasan pengertian itu.

Pada banyak undang-undang tercantum istilah pada permulaan undang-undang


(bagian ketentuan umum) dengan uraian pengertian terkait, seperti Undang-Undang
Senjata dan Amunisi tertanggal 5 Februari 1986 yang pada pasal 1 ayat pertama
berbunyi :

“1. Menteri kita: menteri Kehakiman kita; 2. Kepala polisi setempat..........; 3. Senjata
api: sebuah benda yang dapat diguankan untuk menembakkan proyektil atau bahan
melalui sebuah laras, yang dampaknya menimbulkan ledakan kimiawi atau reaksi
kimiawi lain, atau, sejauh muara energi kinetiknya lebih tinggi dari 2,2 joule, yang
daya kerjanya bertumpu pad aproses fisika; 4. amunisi: ... dan sebagainya”.

Dari contoh ini tampak pada pengertian-pengertian dalam perundang-undangan


(wetterlijke begrippen) terdapat penenentuan batasan pengertian. Namun dengan
pengertian tersebut, tidaklah berarti tercipta kejelasan yang sempurna tentang isi dari
istilah itu. Sebab, sebuah istilah hanya memperoleh arti dari sudut konteks
kebahasaan dan bukan kebahasaan. Dalam tata hukum kita, hakimlah yang dari sudut
pandang kejadian-kejadian kongkret yang diharapkan kepadanya, yang memberikan
arti pada isitilah perundang-undangan.

14
Dalam proses penemuan hukum, adalah tugas hakim untuk misalnya menilai
apakah fakta-fakta dari kejadian tertentu termasuk pengertian “perbuatan melanggar
hukum”. Dalam teori penemuan hukum dewasa ini, model hermeneutikal dipandang
sebagai pemaparan proses yang paling baik.

Bahwa, bahasa hukum akan selalu memperlihatkan perkaitan dengan bahasa


pergaulan, karena bahasa hukum menggunakan struktur yang sama dengan bahasa
pergaulan. Namun antara kedua bahasa tersebut terdapat perbedaan. Dalam hukum
terdapat pengertian-pengertian yang khas bersifat yuridikal, sehingga perkataan-
perkataan tertentu di dalam hukum memiliki arti yang berbeda (sebagian) dari arti di
dalam bahasa pergaulan. Contohnya adalah sebagai berikut : Aksi (action) : gugatan
(rechtsvordering) dari penggugat, eksepsi (exceptio) : perlawanan mengelak dari
tergugat, revindikasi (revindicatio) : hak menuntut kembali dari pemilik, titel
(titulus): dasar hukum.

3. Jenis-Jenis Pengertian

Berbagai jenis pengertian :


1. Sinonim adalah isitlah yang menyatakan pengertian yang sama. Contoh ‘goal’
adalah tujuan, ‘vonis’ adalah putusan, ‘literatur’ adalah kepustakaan, dsb ;
2. Istilah bermakna ganda, lawan dari sinonim merupakan istilah-istilah atau
pengertian yang bermakna ganda, contohnya isitlah jalan dalam undang-
undang lalu lintas ;
3. Pengertian yang kabur, adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan
persis, sehingga lingkupnya tidak jelas, contoh pengertian “mahasiswa”.

Dalam penemuan hukum, tugas penting dari hakim adalah menentukan


peristiwa-peristiwa apa yang termasuk ke dalam pengertian-pengertian yang
ditetapkan dalam undang-undang dan yang mana tidak.

Isi aturan yang didalamnya muncul istilah-istilah itu disebut sebagai “kaidah
kosong” (blanketnorm), dalam hukum Jerman untuk pengertian ini orang
menggunakan istilah (“generalklausein”). Pengertian-pengertian yang kabur populer

15
dalam ilmu hukum terutama karena memungkinkan tatanan hukum menyesuaikan
diri pada tatanan masyarakat yang berubah yang menjadi tujuan pengaturan hukum.

K. Engisch (1983 : 106 - 103) membuat pembedaan, yang sebagian tumpang


tindih, sebagai berikut :
1. Pengertian tidak dibatasi (unbestimmten begriff). Pengertian ini berhadapan
dengan pengertian-pengertian tertentu (yang dibatasi).
2. Pengertian normatif. Pengertian ini berhadapan dengan pengertian deskriktif
dan hampir selalu kabur.
3. Pengertian diskresioner. Ini adalah pengertian yang juga memiliki muatan
evaluatif, tetapi pada pengertian itu hanya atas dasar penilaian pribadi yang
subjektif saja dimungkinkan untuk menentukan apa yang termasuk ke
dalamnya dan apa yang tidak.

16

Anda mungkin juga menyukai