RESUME
REFLEKSI TENTANG HUKUM
DEE LUBIS
B013191008
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan dan kenikmatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan
Resume yang berjudul “Refleksi Tentang Hukum” yang disadur dari buku berjudul
“Refleksi tentang Hukum(Pengertian-pengertian dasar dalam teori hukum” oleh Dr.
Mr. JJ. H. Bruggink dengan baik.
Penulis pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
terutama kepada Dosen Pengampu Mata kuliah Konstruksi Teori Hukum dan teman-
teman yang telah membantu hingga terselesainya resume ini.
Akhirnya penulis menyadari dalam penulisan resume ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membantu sangat
penulis nantikan demi kesempurnaan dalam menyusun makalah selanjutnya.
DEE LUBIS
2
HUKUM DAN BAHASA
Pada penentuan batasan pengertian segera tampak bahwa hal ini berkenaan
dengan suatu “penentuan” (bepaling) dalam arti pembatasan (inperking). Hukum
oleh kita ditetapkan sebagai sistem konseptual, dam itu pertama-tama adalah sesuatu
yang semata-mata produk rokhani manusia.
Syarat pertama, disimpulkan bahwa kita dalam buku ini tidak memandang
“bahasa” binatang sebagai bahasa. Syarat kedua, memberikan fungsi utama dari
bahasa sering kali tentang hal ini digunakan model sederhana; pihak yang berbicara
(atau menulis) adalah pengirim dan pihak yang mendengar (atau membaca) adalah
penerima, dan terkait padanya bahasa adalah sarana yang menyampaikan informasi.
Dalam kenyataan, komunikasi itu lebih majemuk (rumit), sebab penerima itu
menginterpretasi informasi dengan caranya sendiri, yang dikirim kepadanya oleh
pengirim. Syarat ketiga, yang di dalamnya aspek sosial bahasa sekali lagi
ditampilkan, saya tidak akan mendalami lebih jauh, sebab syarat ini sesungguhnya
merupakan pra-pengandaian bagi yang kedua, komunikasi. Syarat keempat,
merupakan baik pembatasan maupun pembedaan dalam bahasa. Tanda-tanda bahasa
harus terdiri atas bunyi-bunyi atau tanda-tanda tertulis, semua tanda lain adalah
bukan tanda bahasa. Di sampingnya terdapat dua jenis tanda-bahasa, lisan dan tulisan
(aksara). Sesungguhnya tanda-bahasa jenis kedua diturunkan (diderivasi) dari yang
pertama. Sangat banyak bahasa yang belum lama memiliki tanda-bahasa tulisan.
3
Beberapa bahasa belum memiliki tulisan, yang tidak berarti bahwa bahasa-bahasa itu
inferior.
Istilah “hukum” dan “teori”, dari istilah “Teori Hukum”. Dengan “teori” orang
secara sederhana dapat mengartikan suatu “keseluruhan pernyataan (klaim,
beweringen) yang saling berkaitan”. Jika orang meletakkan seperangkat pernyataan
dalam suatu hubungan, maka dengan begitu orang sudah dapat berbicara tentang
suatu teori. Demikianlah terdapat banyak teori, mengapa misalnya sistem komunistik
di Uni Soviet pada bidang ekonomi telah gagal. Teori-teori sering orang temukan di
dalam ilmu. Orang bahkan mengatakan bahwa tugas paling utama dari seorang
ilmuwan adalah membangun teori-teori. Namun tidak setiap perangkat pernyataan
yang saling berkaitan dapat disebut teori ilmiah. Untuk dapat disebut teori ilmiah,
maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat (tuntutan). Secara umum orang
berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya harus ada hipotesis
atau sebuah penetapan permasalahn yang (hendak) di gumuli oleh teori itu; harus ada
metode tertentu yang dalam teori itu harus dilegitimasi, dan harus ada seperangkat
pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu ssebagai
produk dari kegiatan ilmiah.
Sistem menunjukan bahwa istilah itu berkenan dengan suatu keseluruhan yang
saling berkaitan. Ia adalah sebuah sistem konseptual, karena ia adalah sebuah
gambaran (ontwerp), yang merupakan bagian dari kehidupan rokhani (geestleven)
manusia. Namun sistem itu dapat dibuat secara inderawi dengan bersaranakan
4
pernyataan-pernyataan bahasa atau ekspresi bahasa taaluitingen, sebagaimana yang
segera akan kita lihat. Akhirnya harus dikemukankan bahwa sistem konseptual
kaidah hukum dan keputusan hukum ini adalah produk kesadaran hukum manusia.
Di sini digunakan istilah kesadaran hukum dan bukan istilah berpikir hukum
atau pikiran hukum, untuk menghinda keterkaitan. rkan kesalah pahaman bahwa
orang berpendapat bahwa hukum itu semata-mata timbul dari pikiran rasional
manusia yang ketat. Hukum ikut dibentuk ihwal-ihwal seperti kepercayaan, intuisi
etikal atau perasaan manusia, yang didalamnya ihwal rasional dan ihwal irrasional
terjalin. Hal itu juga tidak meniadakan ihwal bahwa pemikiran rasional adalah factor
terpenting pada pembentukan hukum. Salah satu ciri pikiran rasional itu adalah
bahwa ia berikhtiar mencapai saling keterkaitan. Karena itu, hukum sebagai produk
kesadaran hukum dapat disebut sebuah sistem konseptual.
Jadi, hukum itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memliki bahsa.
Orang bahkan dapat lebih jauh lagi dan mengemukakan pendapat bahwa juga hukum
5
sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia,
karena bahasa yang ia guinakan untuk berbicara. Dalil ini memutuskan kaitan dengan
pandangan ke filsafatan tradisional, yang di dalamnya bahasa hanya dipandanga
sebagai sarana bantu, yang dengannya manusia mempresentasikan kepada orang lain
pikiran-pikirannya, yang terbentuk terlepas dari bahasanya. Dalam filsafat ini,
misalnya dari plato, hal berpikiran dan hal berbicara adalah dua besaran (ihwal) yang
bebas, yang berkenan dengannya hal berbicara berfungsi mengabdi hal berpikir.
Perkataan-perkataan dan pernyataan-pernyataan adalah hanya merupakan sarana
transport yang dengannya pikiran-pikiran diungkapkan (ditransfer). Dalam
pandangan tradisional itu tersembunyi pra-anggapan bahwa pemikiran manusia,
meskipun ada keragaman bahasa, dapat sampai pada hasil-hasil yang isinya
universal, yang dengan sarana bahasa apa pun dapat disampaikan kepada orang lain.
Pandangan kefilsafatan modern ini di dukung oleh para ilmuwan yang tertarik
pada studi perbandingan bahasa dalam studi antropologi budaya. Di dalamnya tampil
ke permukaan bahwa pikiran manusia sedemikian erat berkaitan dengan bahasanya,
sehingga orang-orang dari masyarakat bahasa yang berbeda juga pikirannya berbeda.
Dalam linguistik, dalil ini dikenal sebagai hipotesis sapir-worf.
6
Terkait pada masalah ini perlu dikemukakan pernyataan bahwa adalah
berbahaya jika orang memandang berbagai masyarakat bahasa juga menyebabkan
gambaran dunia dan bentuk pikiran yang berbeda-beda, dari dalamnya menarik
kesimpulan kesimpulan berkenaan dengan kualitas dari berbagai pikiran yang
berbeda-beda.
Teori hukum meberikan perhatian pada hubungan antara hukum dan bahasa.
Dalam kerangka itu, dalil bahwa mempelajari hukum adalah tidak lain berarti ikhtiar
menguasai bahasa para yuris, dapat dipertahankan. Jika demikian halnya maka tidak
dapat mengabaian keterjalinan Filsafat Bahasa dan Ilmu Bahasa.
Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tulisan, disamping itu terdapat
pembedaan lain berkaitan dengan bahasa. Yang paling terkenal adalah antara bahasa
pergaulan (omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijketaal) dan bahasa artifisial
(kunsmatigetaal) atau bahasa ilmiah (wetenschappelijke taal).
7
tiak dapat berbicara tentang suatu bahasa ilmiah hukum yang sesungguhnya, karena
aspek structural bahasa hukum masih tetap struktur bahasa pergaulan.
Suatu pembedaan lain dalam bahasa terutama untuk pendekatan ilmiah terhadp
bahasa adalah penting. Kita dapat saja dalam pergaulan berbicara tentang bahasa
pergaulan. Jika kita melakukan itu maka kita berhadapan dengan dua fungsi dari
bahasa. Bahasa yang di dalamnya (yang dengannya) kita berbicara dan bahasa yang
tentangnya kita berbicara. Bahasa yang pertama kita sebut bahasa-meta dan yang
kedua bahasa-objek.
8
HUKUM DAN ILMU BAHASA
1. Sintatik
Disini dipelajari perkaitan di antara tanda – tanda satu dengan yang lainnya.
Pusat perhatiannya adalah bentuk atau struktur tanda – tanda itu. Jika ihwalnya
berkenaan dengan tanda – tanda bahas, maka sintaktik itu berkaitan erat dengan apa
yang di atas sudah kita sebut Gramatika. Sintaktik dapat dipelajari terlepas dari
semantik. Tetap, yang sebaliknya tidak demikian halnya. Jika dikehendaki sebuah
kalimat memiliki arti, maksudnya menghasilkan proposisi yang dapat dipahami,
maka kalimat itu secara tepat harus mengikuti (memenuhi) aturan – aturan
sintaktikal. Hal semantikal dalam arti memiliki sebuah makna, dengan demikian,
mengandalkan hal sintaktikal dalam arti memenuhi aturan – aturan sintaktikal.
2. Semantik
Teori tentang arti – arti. Disini dipelajari perkaitan antara tanda – tanda dan
yang diartikan (de betekende). Pusat perhatiannya adalah isi tanda – tanda itu. Di
dalam semantik kita juga berurusan dengan gejala – gejala, yang dari sudut suatu
perspektif lain harus dibedakan yang satu dengan yang lain, pembedaan tersebut
timbul dari pandangan kedua tentang apa arti itu.
1. Perkataan,
2. Kalimat,
3. Uraian.
9
Tiga terori kebenaran:
a. Teori Korespondensi: Kebenaran adalah kesesuaian (kesamaan) antara putusan
atau proposisi dengan dunia kenyataan.
b. Teori Koherensi : kebenaran putusan atau proposisi ditautkan pada konteks
sistematikal yang didalamnya ia berada.
c. Teori kebenaran Pragmatik : Dalam teori ini diajukan bahwa bahasa hanya
memiliki fungsi instrumental untuk semua orientasi yang munkin diatas dunia.
Dengan demikian teori ini, berlawanan dengan Teori Koherensi, konteks non-
kebahasaan memainkan peranan besar.
3. Pragmatik
Ilmu bahasa modern, Semiotik menempati posisi sentral. Semiotic adalah ilmu
tentang tanda-tanda. Pembedaan antara ilmutentang tanda-tanda, yakni linguistik,
yang terpaut padanya Filologi dapat dipandang sebagai pelopornya, dan ilmu tentang
tanda-tanda lain.Lingusitik dapat dibagi lagi ke dalam Linguistik terapan dan
Linguistik murni.
Pembagian semiotik menurut Ch. Morris (Sign, Language and behavior : 1946)
terbagi menjadi tiga bagian:
1. Sintatik
2. Semantik
3. Pragmatik
10
Sebuah tanda baru menjadi tanda dalam suatu sistem tanda-tanda, dan buah
tanda baru berfungsi dalam penggunaannya, dalam arti bahwa tanda-tanda itu
memperoleh arti.
11
Berdasarkan kriterium itu Searle sampai pada lima jenis tindakan bahasa, yang
kemudian oleh ahli-ahli behasa yang lain ditambahkan jenis keenam, jadi dibedakan
enam jenis tindakan bahasa berikut:
1) Tindakan bahasa deskriptif atau informatif, yang menggunakan sebuah kalimat
untuk menyatakannya.
2) Tindakan bahasa direktif, yang padanya pembicara menggunakan sebuah
kalimat untuk mencoba menggerakan pendengarnya melakukan sesuatu,
misalnya dengan memohon atau memerintahkan sesuatu kepadanya. Dengan
demikian termasuk kedalamnya apa yang oleh yuris sering dibedakan
pemakaian bahasa preskriftip.
3) Tindakan bahasa ekspriftip, yang dalam hal ini pembicaraan menggunakan
sebuah kalimat untuk mengungkapkan perasaannya atau sikap tertentu.
4) Perikatan yang dengan itu pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk
menyatakan bahwa ia mengikatkan diri akan melakukan atau tidak melakuakn
suatu perbuatan
5) Tindakan bahasa institusional, yang dalam hal ini pembicara menggunakan
sebuah kalimat untuk sebuah pernyataan atau sebagai suatuadedidikirawan cara
mewujudkan kewibawaan. Kalimat-kalimat ini diucapkan dalam kerangka
institusi-institusi oleh otoritas atau pejabat tinggi , misalnya pada pembukaan
gedung atau jalan, pembaptisan kapal (atau orang), pengangkatan, pernyataan
perang dan sebagainya.
6) Tindakan bahasa mengevaluasi, dalam hal ini pembicara menggunakn sebuah
kalimat untuk mewujudkan nilai dari seseorang
12
HUKUM DAN PENGERTIAN
Intensi dari sebuah pengertian pada tataran bahasa pertama adalah sama seperti
proposisi pada tatanan bahasa kedua. Sedangkan dalam ilmu bahasa sendiri yang
dimaksud dengan proposisi tidak jelas, demikian juga halnya dengan intensi.
Hubungan antara intensi dan ekstensi pengertian dapat dinyatakan dalam dua
dalil (vuistregel). Dalil pertama berbunyi: “intensi menentukan ekstensi”. Dalil ini
menyatakan bahwa isi sebuah pengertian menentuan keluasan lingkup pengertian.
Sedangkan dalil kedua: “intensi berbanding terbalik dengan ekstensi”, yang berarti
semakin sedikit intensi pengertian yang memuat ciri-ciri, jadi isi pengertian itu
ditetapkan kurang persis, maka semakin banyak objek atau orang yang termasuk ke
dalam ekstensi pengertian itu, jadi pengertian itu lebih luas. Selanjutnya menyangkut
pengertian “peristiwa hukum” memuat ciri-ciri :
1. peristiwa;
2. yang dalam dirinya membawa serta akibat-akibat hukum;
3. yang ditautkan pada peristiwa itu oleh hukum positif.
13
Menurut P.W Kamphuisen 1938: 7, yang mengartikan pengertian sebagai:
sesuatu yang dipikir, tiap sesuatu yang telah dibentuk dalam jiwa manusia, yang
sepenuhnya mengesampingkan pertanyaan epistemologikal tentang apakah sesuatu
yang dipikir itu, pengertian itu sesuatu yang sesuai dengan yang ada dalam kenyataan
di luar kesadaran.
Pada bidang hukum, pembentukan pengertian itu tidak hanya penting sekali
dalam Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena
sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku para warga
masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka perilaku apa yang diharapkan
(dituntut) dari mereka. Ha itu dilakukan dengan jalan dalam undang-undang itu
diberikan defenisi istilah-istilah yuridis yang digunakan. Untuk selanjutnya, setiap
kali ditemukan istilah dalam undang-undang yang bersangkutan, maka orang
memberikan arti pada istilah sebagaimana yang disebut batasan pengertian itu.
“1. Menteri kita: menteri Kehakiman kita; 2. Kepala polisi setempat..........; 3. Senjata
api: sebuah benda yang dapat diguankan untuk menembakkan proyektil atau bahan
melalui sebuah laras, yang dampaknya menimbulkan ledakan kimiawi atau reaksi
kimiawi lain, atau, sejauh muara energi kinetiknya lebih tinggi dari 2,2 joule, yang
daya kerjanya bertumpu pad aproses fisika; 4. amunisi: ... dan sebagainya”.
14
Dalam proses penemuan hukum, adalah tugas hakim untuk misalnya menilai
apakah fakta-fakta dari kejadian tertentu termasuk pengertian “perbuatan melanggar
hukum”. Dalam teori penemuan hukum dewasa ini, model hermeneutikal dipandang
sebagai pemaparan proses yang paling baik.
3. Jenis-Jenis Pengertian
Isi aturan yang didalamnya muncul istilah-istilah itu disebut sebagai “kaidah
kosong” (blanketnorm), dalam hukum Jerman untuk pengertian ini orang
menggunakan istilah (“generalklausein”). Pengertian-pengertian yang kabur populer
15
dalam ilmu hukum terutama karena memungkinkan tatanan hukum menyesuaikan
diri pada tatanan masyarakat yang berubah yang menjadi tujuan pengaturan hukum.
16