Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

LONELINESS PADA LANSIA DIMASA PANDEMI COVID-19

DISUSUN OLEH

NAMA :
NIM :

PEMBIMBING

PROGRAM STUDI
TAHUN AJARAN 2021
BAB 1
LATAR BELAKANG

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan implementasi yang belum pernah


terjadi sebelumnya “ social distancing ” adalah strategi penting untuk membatasi
penyebaran virus. Selain prosedur karantina dan isolasi bagi mereka yang telah
terpapar atau terinfeksi COVID-19, social distancing telah diberlakukan untuk
mengurangi penularan COVID-19. Risiko infeksi COVID-19 lebih besar untuk
orang dewasa yang lebih tua di atas usia 60 tahun yang berada pada risiko tinggi
untuk mengalami penyakit yang lebih parah, resiko rawat inap, dan masuk unit
perawatan intensif, dan beresiko kematian. Menurut Centre for Evidence Based
Medicine, case fatality rate (CFR) sekitar 4% untuk pasien berusia di atas 60
tahun, 8% untuk pasien di atas usia 70 tahun, dan sekitar 15% untuk pasien di atas
usia 80. Angka ini lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia di bawah 45
tahun. (Hwang,2020)
Namun, terkait dengan karantina dan social distancing pada pandemic
COVID-19, orang dewasa yang lebih tua, yang telah mengalami rasa isolasi sosial
dan kesepian yang akut dan parah akan meningkatkan konsekuensi kesehatan
mental dan fisik yang berpotensi menjadi serius. Hal ini mungkin sangat tidak
proporsional jika dibandingkan sebelum adanya social distancing yang ada
selama pandemic COVID-19.
Orang dewasa yang lebih tua juga lebih rentan terhadap isolasi sosial dan
kesepian karena mereka secara fungsional sangat bergantung pada anggota
keluarga atau pelayanan masyarakat. Meskipun social distancing diperlukan untuk
mencegah penyebaran COVID-19, penting untuk diingat bahwa social distancing
tidak boleh disamakan dengan pemutusan hubungan sosial. Makalah ini bertujuan
untuk mendeskripsikan sifat kesepian dan social distancing di antara para lansia,
pengaruhnya terhadap kesehatan mereka, dan cara untuk mengatasi kesepian dan
isolasi sosial selama pandemi COVID-19.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia
2.1.2 Definisi
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun ke atas. Berdasarkan data World Population Ageing, pada tahun
2019 terdapat lebih dari 703 juta jumlah lansia secara global. Jumlah lansia di
Indonesia pada tahun 2019 mencapai 9,60 persen atau sekitar 25,64 juta orang.
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari Usia lanjut
adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir
dengan kematian. Menua secara normal dari sistem saraf didefinisikan
sebagai perubahan oleh usia yang terjadi pada individu yang sehat bebas dari
penyakit saraf. Menua normal ditandai oleh perubahan gradual dan lambat
laun dari fungsi-fungsi tertentu. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut)
secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk
hidup (Prasetyo,2020)

2.1.3 Teori penuaan


Beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan yaitu:
1. Teori biologi
a. Teori genetik dan mutasi (somatik mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang terprogramoleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
b. Teori radikal bebas
Tidak setabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan
organik yang menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
c. Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada
keseimbangan regulasi sistem imun. Sel normal yang telah menua
dianggap benda asing, sehingga sistem bereaksi untuk membentuk
antibodi yang menghancurkan sel tersebut. Selain itu atrofi tymus juga
turut sistem imunitas tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu melawan
organisme pathogen yang masuk kedalam tubuh.Teori meyakini
menua terjadi karena berhubungan dengan peningkatan produk
autoantibodi.
d. Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
dipakai.
e. Teori telomere
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap
pembelaan akan menyebabkan panjang ujung telomere berkurang
panjangnya saat memutuskan duplikat kromosom, makin sering sel
membelah, makin cepat telomer itu memendek dan akhirnya tidak
mampu membelah lagi.
f. Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri sel jika lingkungannya berubah,
secara fisiologis program bunuh diri ini diperlukan pada
perkembangan persarapan dan juga diperlukan untuk merusak sistem
program prolifirasi sel tumor. Pada teori ini lingkungan yang berubah,
termasuk didalamnya oleh karena stres dan hormon tubuh yang
berkurang konsentrasinya akan memacu apoptosis diberbagai organ
tubuh. (Pathath,2017)
2. Teori kejiwaan sosial
a. Aktifitas atau kegiatan (activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut banyak kegiatan sosial
b. Keperibadian lanjut (continuity theory) Teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut
usia sangat dipengaruhi tipe personality yang dimilikinya.
c. Teori pembebasan (disengagement theory)
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas. (Pathath,2017)
3. Teori lingkungan
a. Exposure theory: Paparan sinar matahari dapat mengakibatkan
percepatan proses penuaan.
b. Radiasi theory: Radiasi sinar y, sinar X dan ultrafiolet dari alat-alat
medis memudahkan sel mengalami denaturasi protein dan mutasi
DNA.
c. Polution theory: Udara, air, dan tanah yang tercemar polusi
mengandung subtansi kimia, yang mempengaruhi kondisi epigenetik
yang dapat mempercepat proses penuaan.
d. Stress theory: Stres fisik maupun psikis meningkatkan kadar kortisol
dalam darah. Kondisi stres yang terus menerus dapat mempercepat
proses penuaan. (Pathath,2017)
2.1.4 Perubahan lansia
a. Sel: Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di
otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya
mekanisme perbaikan sel.
b. Sistem persyarafan: Respon menjadi lambat dan hubungan antara
persyarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya
syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon
penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan
perasa, lebih sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap
dingin rendah, kurang sensitive terhadap sentuhan.
c. Sistem penglihatan: Menurun lapang pandang dan daya akomodasi
mata, lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak,
pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.
d. Sistem pendengaran: Hilangnya atau turunnya daya pendengaran,
terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65
tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
e. Sistem kardiovaskuler: Katup jantung menebal dan menjadi kaku,
kemampuan jantung menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah:
kurang efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
perubahan posisidari tidur ke duduk (duduk ke berdiri)bisa
menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg dan
tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari
pembuluh darah perifer, sistole normal ±170 mmHg, diastole
normal ± 95 mmHg.
f. Sistem pengaturan temperatur tubuh: Pengaturan suhu hipotalamus
dianggap bekerja sebagai suatu thermostat yaitu menetapkan suatu
suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa faktor yang
mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: temperatur
tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigildan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya
aktifitas otot.
g. Sistem respirasi: Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu
meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan
maksimum menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk
menurun (menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi
75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
h. Sistem gastrointestinal: Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra
pengecap menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam
lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah,
dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
i. Sistem genitourinaria: Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan
kapasitasnya menurun sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat,
pada
wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering,
elastisitas
jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual
intercrouse
berefek pada seks sekunder.
j. Sistem endokrin: Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH,
TSH, FSH, LH), penurunan sekresi hormone kelamin misalnya:
estrogen, progesterone, dan testoteron.
k. Sistem kulit: Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena
kehilangan proses keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak,
berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi,
kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang
jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
l. Sistem muskuloskeletal: Tulang kehilangan cairan dan rapuh,
kifosis, penipisan dan pemendekan tulang, persendian membesar
dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sklerosis, atropi
serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram
dan tremor.
m.Perubahan psikososial: Perubahan lain adalah adanya perubahan
psikososial yang menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa
penyakit selalu mengancam sering bingung panik dan depresi.
(Prasetyo,2020)

2.2 Loneliness
2.2.2 Definisi
Kesepian (Loneliness) didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara
keinginan dan kehidupan sosial yang nyata, dan dikaitkan dengan
penurunan status kesehatan dan kualitas hidup. Prevalensi Loneliness
kronis di Spanyol diperkirakan 4,4% untuk individu berusia <30 tahun,
6,5% untuk individu antara 30-59 tahun, dan 11,5% untuk mereka yang
berusia ≥60 tahun. Jenis kelamin, usia, status perkawinan, status
pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga dan urbanitas
merupakan faktor sosio-demografi terkait dengan Loneliness.
(Domenech,2017)

2.2.3 Epidemiologi
a. Sebelum pandemic
Di negara Indonesia, sebuah penelitian melaporkan bahwa
prevalensi kesepian sebanyak 10,6% (kadang- kadang atau sepanjang
waktu atau 3 - 7 hari per minggu) dengan 11,0% untuk wanita dan
10,1% untuk pria. Adapun sebanyak 8,0% dilaporkan kadang-kadang
(1-2 hari / minggu). Tingkat pendidikan dan status ekonomi rendah,
pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan, memiliki satu atau
lebih kondisi kronis, kecacatan, dan kepercayaan lingkungan yang
rendah dikaitkan dengan kesepian. (Hermawati,2019)

Secara lebih spesifik, beberapa penelitian membuktikan bahwa


kesepian dikaitkan dengan perilaku bunuh diri pada populasi dewasa
umum Penelitian terhadap subjek berusia 15 tahun ke atas di United
Kingdom, menemukan bahwa depresi berkaitan dengan kesepian untuk
semua kelompok umur. Kesehatan fisik yang buruk berkaitan dengan
kesepian pada dewasa muda dan usia paruh baya tetapi tidak bagi usia
selanjutnya. Bagi individu yang berada pada paruh baya dan lanjut
usia, kualitas keterlibatan sosial dapat melindungi mereka dari
kesepian, sedangkan bagi dewasa muda lebih terkait dengan segi
kuantitas keterlibatan sosial. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang berbeda dapat memberikan kerentanan ataupun melindungi
terhadap kesepian pada berbagai tahap kehidupan. (Hermawati,2019)
Penelitian pada sembilan negara bekas Uni Soviet, melaporkan
prevalensi kesepian sangat bervariasi di antara negara-negara tersebut.
Bercerai atau duda dan dukungan sosial yang rendah dikaitkan dengan
kesepian di semua negara, sementara faktor-faktor lain (misalnya
hidup sendiri, lokus kontrol yang rendah) terkait dengan kesepian di
beberapa negara. Perasaan kesepian dihubungkan dengan minuman
berbahaya di Armenia, Kyrgyzstan dan Rusia, sedangkan dengan
merokok hanya terjadi di Kyrgyzstan. Kesepian dikaitkan dengan
tekanan psikologis di semua negara dan kesehatan yang dinilai rendah
di setiap negara kecuali Kazakhstan dan Moldova. (Hermawati,2019)
Terdapat sejumlah faktor yang dapat menempatkan seorang lansia
mengalami loneliness antara lain pelepasan kedudukan atau jabatan
(pensiun), kehilangan orang-orang yang dicintai seperti pasangan
hidup, keluarga terdekat atau teman. Penelitian pada pasien perawatan
primer berusia lanjut di China, sebanyak 26,2% mengalami kesepian.
Adapun faktor-faktor yang secara signifikan dan independen terkait
dengan kesepian tersebut yaitu kelompok usia 75 tahun ke atas, buta
huruf, belum menikah, hidup sendiri, ekonomi keluarga menengah
atau rendah, hubungan non-keluarga, dan memiliki ≥2 kondisi medis
kronis. Penelitian lsain pada partisipan di Moscow Russia, menemukan
bahwa orang yang bercerai dan janda secara signifikan lebih mungkin
merasa kesepian, sementara pada orang yang tidak hidup sendiri dan
memiliki dukungan sosial yang lebih besar, terbukti mengurangi risiko
kesepian. Individu yang merasa kesepian lebih mungkin memiliki
penilaian kesehatan diri yang buruk dan menderita insomnia serta
kesehatan mental (Hermawati,2019)
b. Selama pandemic
Pandemi COVID-19 meningkatkan jumlah lansia yang terisolasi
secara sosial termasuk lansia yang tinggal di komunitas dan penghuni
panti jompo, karena banyak negara telah mengeluarkan perintah
tinggal di rumah dan melarang kunjungan untuk penghuni panti jompo.
(Wu, 2020)
Di Amerika Serikat sekitar seperempat dari orang dewasa lanjut
usia yang tinggal di komunitas berada dianggap terisolasi secara sosial,
dan 43% dari mereka melaporkan merasa kesepian (National
Academic, 2020)
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan implementasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya “ social distancing ” adalah strategi penting
untuk membatasi penyebaran virus. Selain prosedur karantina dan
isolasi bagi mereka yang telah terpapar atau terinfeksi COVID-19,
social distancing telah diberlakukan untuk mengurangi penularan
COVID-19. Risiko infeksi COVID-19 lebih besar untuk orang dewasa
yang lebih tua di atas usia 60 tahun yang berada pada risiko tinggi
untuk mengalami penyakit yang lebih parah, resiko rawat inap, dan
masuk unit perawatan intensif, dan beresiko kematian. Menurut Centre
for Evidence Based Medicine, case fatality rate (CFR) sekitar 4%
untuk pasien berusia di atas 60 tahun, 8% untuk pasien di atas usia 70
tahun, dan sekitar 15% untuk pasien di atas usia 80. Angka ini lebih
tinggi dibandingkan mereka yang berusia di bawah 45 tahun.
(Hwang,2020)
Prevalensi loneliness kronis di Spanyol diperkirakan 4,4% untuk
individu berusia <30 tahun, 6,5% untuk individu antara 30-59 tahun,
dan 11,5% untuk mereka yang berusia ≥60 tahun. Studi menunjukkan
bahwa 40 persen orang dewasa di atas 65 tahun dilaporkan kesepian,
setidaknya terkadang, dengan tingkat kesepian yang secara bertahap
meningkat seiring bertambahnya usia (Domenech, 2020)
Secara keseluruhan, COVID-19 bukanlah prediktor signifikan dari
kesepian. Hal ini sesuai dengan penelitian terbaru yang menunjukkan
bahwa faktor risiko yang sama dalam memprediksi kesepian sebelum
dan selama pandemic. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang
dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari lockdown
harus ditargetkan pada mereka yang beresiko untuk mengalami
loneliness disaat krisis seperti ini yaitu kaum muda, pengangguran,
orang dengan pendapatan atau pendidikan rendah, dan orang dengan
kondisi kesehatan mental yang buruk, seperti depresi. Selain itu dapat
juga dilakukan intervensi lain seperti menyelesaikan masalah mereka
yang kesulitan dalam regulasi emosi dan kualitas tidur yang buruk dan
intervensi perilaku kognitif (Groarke, 2020)

2.2.4 Tipe loneliness


a. Loneliness situational
Lingkungan sosial budaya dan ekonomi berperan dan
berkontribusi dalam loneliness situasional. Berbagai faktor
lingkungan yang tidak menyenangkan antara tingkat kebutuhan
dan kontak sosial, migrasi penduduk, konflik antar pribadi,
kecelakaan atau bencana.
b. Loneliness development
Setiap inividu ingin membangun hubungan dengan orang lain.
Kebutuhan ini sangat penting untuk perkembangan manusia.
Selain itu juga ada kebutuhan yang lebi tinggi untuk bersifat
individualism untuk mengembangkan pribadi individu. Untuk
pengembangan yang optimal, harus ada keseimbangan diantara
keduanya. Ketika seseorang tidak mampu menyeimbangkan
kebutuhan tersebut dengan baik, hal tersebut akan
mengakibatkan hilangnya makna kehidupan dan menyebabkan
kesepian (loneliness).
c. Internal loneliness
Sendiri atau mandiri pada dasarnya tidak membuat seseorang
kesepian. Persepsi tentang kesendirianlah yang membuat orang
tersebut merasa kesepian. Orang yang tidak percaya diri dan
menganggap dirinya rendah akan terlihat lebih mudah kesepian
daripada rekan lainnya. Hal ini tergantung pada faktor
kepribadian, tekanan mental, kepercayaan diri, perasaan
bersalah atau tidak berharga, dan tidak pandai mengatasi
sesuatu atau dengan strategi mengatasi situasi yang salah.
(Tiwari,2013)
Weiss dalam Santrock (2006) menyebutkan adanya dua bentuk
kesepian yaitu:
a) Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk
kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan
hubungan yang intim seperti orang dewasa yang lajang,
bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya.
b) Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian
yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang
terintegrasi dalam dirinya seperti tidak ikut berpartisipasi dalam
kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya
kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi,
serta tidak adanya peran-peran yang berarti yang akan membuat
seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.
Sedangkan Weiten & Lloyd (2015) membagi kesepian menjadi 2
bentuk berdasarkan durasi kesepian yang dialaminya, yaitu:
a) Transcient loneliness yaitu perasaan kesepian yang singkat dan
muncul sesekali, banyak dialami individu ketika kehidupan
sosialnya sudah cukup layak. Mengemukakan bahwa
transcientloneliness memiliki jangka waktu yang pendek, seperti
ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang
mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh.
b) Transitional loneliness yaitu ketika individu yang sebelumnya
sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi kesepian
setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya (misalnya
meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat
baru).
c) Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak
dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya
setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan
waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor
yang spesifik. Orang yang mengalamichronic loneliness bisa saja
berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat
intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain.

2.2.5 Faktor resiko


a. Faktor Sosiodemografi
Pendapatan yang lebih rendah dan pendidikan yang lebih rendah
dikaitkan dengan kesepian. Sebuah studi terbaru oleh Shovestul et
al. menemukan bahwa dibandingkan dengan faktor demografis dan
sosial ekonomi lainnya, usia adalah faktor risiko terpenting untuk
kesepian. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi kesepian
yang sangat tinggi pada kelompok usia yang lebih muda dan
tingkat kesepian yang sangat rendah di antara kelompok usia di
atas 65-an. Orang dewasa muda mungkin terpengaruh secara tidak
proporsional oleh kebijakan pengendalian penyakit (misalnya,
penutupan sekolah / universitas) yang meningkatkan isolasi sosial
yang menempatkan mereka pada risiko kesepian yang lebih tinggi.
(Groarke, 2020)

b. Faktor sosial
Faktor penting dalam mencegah loneliness adalah variabel sosial.
Hal ini sejalan dengan penelitian terbaru tentang kesepian di
Inggris selama pandemi, yang juga menemukan faktor sosial dapat
mengurangi angka loneliness. Variabel tertentu yang menjadi
prediktor signifikan dalam penelitian ini (yaitu, menikah / tinggal
bersama, jumlah orang dewasa yang tinggal dalam rumah tangga,
ketersediaan dukungan sosial) yang menunjukkan bahwa adanya
kedekatan dan kualitas hubungan itu sangat penting. Ini mungkin
juga menunjukkan bahwa interaksi tatap muka adalah kuncinya.
Dalam sebuah studi tentang dampak pembatasan COVID-19 di AS,
seringnya interaksi secara langsung dikaitkan dengan rasa kesepian
yang jauh lebih rendah, dibandingkan interaksi jarak jauh atau
virtual. Sangat Sulit untuk mengembangkan intervensi ini untuk
mengurangi kesepian yang menargetkan faktor-faktor sosial,
setidaknya sampai peraturan social distancing bisa dilonggarkan.
(Groarke, 2020)

c. Faktor kesehatan
Beberapa penelitian cross-sectional menunjukkan bahwa kesepian
lebih umum terjadi pada orang dengan kondisi kesehatan mental.
Penelitian lain mengatakan bahwa kesepian dapat mendahului
depresi. Beberapa alasan yang berkaitan dengan hal ini, misalnya
stigma kesepian dapat menyebabkan mereka yang sudah
tersisihkankan karena penyakit mentalnya mundur lebih jauh, atau
mungkin gejala perilaku depresi membuat mereka lebih sulit
membangun hubungan sosial. Selama pandemi COVID-19,
kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya
depresi, kecemasan, stres, gejala kesehatan mental lainnya, dan
keinginan untuk bunuh diri. Dalam penelitian di Inggris saat ini
menunjukkan bahwa selama pandemic COVID-19, gangguan
depresi mayor adalah faktor risiko yang signifikan untuk kesepian.
Kesulitan dalam mengatur emosi juga secara signifikan
meningkatkan kemungkinan kejadian kesepian. (Groarke, 2020)

d. Faktor spesifik (COVID-19)


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif karantina
dan isolasi adalah kesepian dan gangguan kesehatan mental yang
mungkin lebih terlihat pada anak-anak dan remaja. Namun,
kualitas tidur yang buruk karena pandemik COVID-19 tetap
menjadi risiko yang signifikan untuk kesepian. Hal ini sejalan
dengan penelitian di Yunani dan Prancis yang melaporkan masalah
tidur sering terjadi selama pandemi ini, dan bahwa kesepian
merupakan penyumbang utama insomnia (Groarke, 2020)
2.2.6 Etiologi
Penuaan dapat menyebabkan sejumlah kehilangan, termasuk
hilangnya kesehatan, teman, pasangan, transportasi, dan kemandirian.
Kehilangan ini dapat berkontribusi untuk kesepian karena kegiatan sosial
berkurang dengan orang lain. Kehilangan pasangan menjadi faktor utama
dalam mengabadikan perasaan kesepian diantara lansia. Lansia sering
kehilangan kesempatan berpartisipasi dan kurang berhubungan sosial. Hal
ini dikarena lansia menarik diri akibat penurunan derajat kesehatan dan
kemampuan fisik. Sehingga dapat menyebabkan interaksi sosial menurun.
Lansia yang kurang melakukan interaksi sosial dan kurang mendapatkan
dukungan keluarga, maka akan merasa kesepian karena tidak memiliki
lawan interaksi untuk berbagi masalah (Domenech,2017)
Peplau &Perlman membagi penyebab kesepian dalam dua kelompok yaitu:
a) Precipitate event
Terdapat dua perubahan umum yang menimbulkan terjadinya
kesepian. Perubahan yang paling umum adalah menurunnya
hubungan sosial seseorang sampai dibawah tingkat optimal.Contoh
dari perubahan ini antara lain, berakhirnya hubungan dekat akibat
kematian, perceraian atau putus hubungan cinta. Perubahan juga dapat
terjadi saat seseorang pindah ke suatu lingkungan baru dan berpisah
secara fisik dengan orang-orang. Perubahan yang kedua adalah
perubahan pada kebutuhan atau keinginan sosial seseorang.
Perubahan ini biasanya terjadi seiring dengan bertambahnya usia
seseorang dan akan menimbulkan kesepian jika tidak diikuti dengan
penyesuaian pada hubungan sosial yang aktual.
b) Predisposing and maintaining factor
Penyebabkan individu lebih rentan terhadap kesepian adalah adanya
keberagaman dari faktor personal dan situasional individu. Kedua
faktor inilah yang meningkatkan kecenderungan seseorang merasakan
kesepian dan juga mempersulit seseorang untuk mendapatkan
kepuasan hubungan sosialnya kembali. Terdapat beberapa
karakteristik personal yang dapat dihubungkan dengan kesepian.
Individu yang mengalami kesepian biasanya pemalu, introvert, dan
tidak punya cukup keinginan untuk mengambil resiko dalam
berhubungan sosial.
Kesepian juga sering dihubungkan dengan pencelaan terhadap diri
sendiri (self-deprecation) dan self-esteem yang rendah.Tingkat sosial dan
usia seseorang juga dapat memperbesar kemungkinan kesepian. Kesepian
cenderung lebih sering dialami oleh orang yang berasal dari tingkat sosial
rendah atau miskin. Individu dengan tingkat penghasilan rendah
cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan
tingkat penghasilan tinggi. Status pernikahan juga mempengaruhi
kesepian.Pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami
kesepian. Diantara pasangan yang menikah dilaporkan bahwa perempuan
lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan laki-laki.
(Shovestul,2020)
Menurut Brehm et al. terdapat empat hal yang dapat menyebabkan
seseorang mengalami kesepian, yaitu:
a) Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki, yaitu hubungan
seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas
akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa
tidak puas dengan hubungan yang dimiliki.
b) Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu
hubungan, yaitu kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan
terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada
saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup
memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian.
Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena
orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan
tersebut.
c) Self-esteem,yaitu kesepian berhubungan dengan self-esteem yang
rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung
merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial. Dalam
keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak
sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami
kesepian.
d) Perilaku interpersonal, yaitu perilaku interpersonal akan menentuka
keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan

2.2.7 Diagnosis
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat kesepian yaitu
University of California Los Angeles(UCLA) Loneliness Scale
dikembangkan Daniel Russell (1996). Terdiri dari 20 item pernyataan
dengan 4 pilihan jawaban yaitu “tidak pernah, “jarang”, “kadang-kadang”,
dan “selalu”. Alat ikur ini dirancang untuk mengukur perasaan kesepian
subjektif seseorang. UCLA Loneliness Scale Version 3 merupakan revisi
dari Skala Kesepian UCLA asli
Dan revisi Skala Kesepian UCLA. Revisi pertama dilakukan untuk
membuat 10 dari 20 asli item. Revisi kedua dilakukan untuk
menyederhanakan skala (Russell, 1996)
Tabel 2.1 : Skala Loneliness UCLA
No Statement O S R N
1 I am unhappy doing so many things
alone
2 I have nobody to talk to
3 I cannot tolerate being so alone
4 I lack companionship
5 I feel as if nobody really understands
me
6 I find myself waiting for people to
call or write
7 There is no one I can turn to
8 I am no longer close to anyone
9 My interests and ideas are not shared
by those around me
10 I feel left out
11 I feel completely alone
12 I am unable to reach out and
communicate with those around me
13 My social relationships are superficial
14 I feel starved for company
15 No one really knows me well
16 I feel isolated from others
17 I am unhappy being so withdrawn
18 It is difficult for me to make friends
19 I feel shut out and excluded by others
20 People are around me but not with me
“C” jika saya sering merasa seperti ini
“S” jika saya terkadang merasa seperti ini
“R” jika saya jarang merasa seperti ini
“N” jika saya tidak pernah merasa seperti ini

2.2.8 Loneliness pada lansia


Menjadi tua membuat individu mengalami ketakutan karena
mereka percaya bahwa dengan bertambahnya usia maka mereka akan
kehilangan fungsi fisik dan aspek yang menyenangkan dalam hidup Pada
masa ini, faktor lingkungan merupakan faktor yang cukup berpengaruh
pada faktor psikis berupa ketegangan dan stress lansia.
Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang,
karena manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua akan tetapi melalui
tahapan perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan
ahirnya menjadi tua. hal ini normal dengan perubahan fisik dan perilaku
yang dapat diramalkan saat mereka melalui tahapan tertentu. Kehidupan
seseorang diwarnai dengan dengan transisi sosial yang mengganggu
hubungan pribadi dan menyebabkan timbulnya kesepian. Loneliness dapat
terjadi pada siapapun baik remaja maupun orang dewasa. Hampir semua
orang pernah merasakan loneliness, namun perasaan tersebut berbeda
antara individu yang satu dengan yang lainnya. Loneliness dapat
ditimbulkan karena perasaan yang kurang mengenai kehidupan sosial
dengan seseorang, namun menurut beberapa peneliti perasaan kurang
tersebut diakibatkan karena ketidaksesuaian antara apa yang sebenarnya ia
dapatkan dengan apa yang individu tersebut harapkan. (Domenech,2017)
Loneliness adalah masalah meresap di kalangan orang tua dengan
kuat pada hubungan yang ada pada dukungan sosial, baik secara mental
dan kesehatan fisik disertai dengan kognisi. Perubahan perubahan
fisiologis dan perubahan kemampuan motorik yang terjadi, tidak jarang
membuat para lansia memunculkan perasaan tidak berguna kemudian
mengalami demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sehingga
kebutuhan untuk diperhatikan menjadi berlebih, dan hal tersebut kemudian
memunculkan kesepian pada lansia. Ketika memeriksa loneliness pada
lansia, penting untuk mempertimbangkan sebagai pengalaman subjektif
yang berbeda dari isolasi sosial dan dukungan sosial.
Terdapat masalah pokok psikologis yang dialami oleh para lansia.
Pertama adalah masalah yang disebabkan oleh perubahan hidup dan
kemunduran fisik yang dialami oleh lansia. Kedua, lansia yang sering
mengalami kesepian yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan
orang-orang yang paling dekat dan disayangi. Ketiga, post power
syndrome, hal ini banyak dialami lansia yang baru saja mengalami
pensiun, kehilangan kekuatan, penghasilan dan kebahagiaan. Berdasarkan
masalah psikologis yang dialami lansia, lansia memerlukan dukungan
keluarga yang diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan lansia.
(Hwang,2020)

2.2.9 Hubungan loneliness dan COVID-19


Adanya physical distancing telah mengakibatkan penurunan
kontak sosial setiap orang yang dapat meningkatkan tingkat kesepian
(loneliness) dan meningkatkan prevalensi gangguan mood, menyakiti diri
sendiri, dan bunuh diri, dan memperburuk kondisi kesehatan mental yang
sudah ada sebelumnya. Kesepian (loneliness) dikaitkan dengan kesehatan
fisik dan mental yang lebih buruk karena dapat meningkatkan risiko
kematian. Secara umum, faktor psikososial adalah faktor yang dapat
mengurangi risiko. Namun mengingat perubahan drastis selama pandemic
ini yang terbatas dalam konteks sosial, maka dapat diprediksi bahwa
prevalensi kesepian (loneliness) akan terus tinggi. (Groarke,2020)

2.2.10 Akibat yang ditimbulkan


Akibat jangka panjang dari Lonelinees sama halnya dengan depresi yaitu
a. Cognitive impact
Salah satu masalah kognitif yang tampak adalah gangguan atensi,
konsentrasi, dan memori. Hal ini sangat sering terjadi pada kronik
loneliness, dimana mereka sulit untuk mempusatkan perhatian
terhadap hal detail, dan beberapa kali melakukan kesalahan.
b. Emotional impact
Individu yang mengalami kronik loneliness mungkin akan
mengalami gangguan mood, iritabilitas, sulit mengendalikan emosi,
dan mudah menangis.
c. Suicidal tendencies
Kronik loneliness berkaitan erat dengan depresi, sehingga dapat
meningkatkan resiko untuk bunuh diri (Shovestul,2020)

2.2.11 Pencegahan kejadian Loneliness dikala pandemi


a. Tetap jaga koneksi
Habiskan lebih banyak waktu dengan keluarga Anda. Manfaatkan
peluang yang ada selama pandemic ini. Sebelum pandemi, beberapa
anggota keluarga mungkin telah terganggu oleh pekerjaan dan sekolah,
tetapi sekarang mereka mungkin memiliki lebih banyak waktu di
rumah dan tingkat kebebasan yang lebih tinggi untuk berhubungan
dengan orang tua tercinta. Di era social distancing ini, interaksi yang
berkualitas menggunakan jarak minimal dua meter bersamaan dengan
penggunaan alat pelindung diri seperti masker memungkinkan
terjadinya kontak dengan anggota keluarga. Ini sangat membantu
untuk mencegah dari situasi loneliness
Jaga hubungan sosial dengan teknologi. Seiring dengan telepon,
teknologi telah mengubah cara orang berinteraksi satu sama lain.
Platform media sosial seperti Facebook, Skype, Twitter, LINE, dan
Instagram memungkinkan orang untuk tetap terhubung dengan
berbagai cara. Banyak orang dewasa yang lebih tua, bagaimanapun,
mungkin tidak begitu akrab dengan teknologi baru ini, dan gaya
interaksi ini mungkin tidak secara efektif memenuhi kebutuhan
emosional mereka. (Hwang,2020)

b. Pertahankan kebutuhan dasar dan aktivitas kesehatan


Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi. Keluarga dan pengasuh harus
memastikan aksesibilitas makanan, obat-obatan, dan masker untuk
orang dewasa yang lebih tua, terutama mereka yang tinggal sendiri.
Ketika sebagian besar aktivitas diluar rumah tidak tersedia, dan tidak
mudah untuk mempertahankan jadwal harian yang teratur. Namun,
kami mendorong dan mendukung adanya keterlibatan aktivitas yang
dianggap menyenangkan oleh lansia dengan manfaat untuk
kesejahteraan fisik, mental, dan spiritual. Saluran televisi dan
YouTube yang disesuaikan untuk orang dewasa yang lebih tua dengan
program fisik dan mental yang tepat (misalnya, program olahraga,
relaksasi pikiran, dan program musik) juga bisa sangat berguna.
(Hwang,2020)

c. Kelola emosi dan gangguan kejiwaan


Kesepian sering kali dikaitkan dengan pikiran negative. Selain itu,
kecemasan dan depresi dapat menyebabkan penarikan sosial yang akan
memperparah kesepian dan isolasi yang terkait dengan social
distancing. Meditasi, dan teknik relaksasi lainnya sangat bermanfaat
bagi pikiran dan tubuh serta dapat mengurangi tingkat kecemasan dan
depresi. Dukungan emosional dari anggota keluarga dan teman sangat
penting selama periode pandemi ini. (Hwang,2020)
Pandemi ini cukup membuat stress bagi setiap individu, dan stres
yang signifikan dapat memicu terjadinya atau kambuhnya gangguan
jiwa pada beberapa orang, terutama lansia yang rentan. Depresi,
kecemasan, dan gangguan tidur biasa terjadi, terutama ketika
seseorang berada dalam karantina atau isolasi mandiri. (Hwang,2020)
DAFTAR PUSTAKA

Domènech-Abella, J., Lara, E., Rubio-Valera, M., Olaya, B., Moneta,


M., Rico-Uribe, L., Ayuso-Mateos, J., Mundó, J. and Haro, J., 2017.
Loneliness and depression in the elderly: the role of social
network. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 52(4), pp.381-
390.

Groarke, J., Berry, E., Graham-Wisener, L., McKenna-Plumley, P.,


McGlinchey, E. and Armour, C., 2020. Loneliness in the UK during the
COVID-19 pandemic: Cross-sectional results from the COVID-19
Psychological Wellbeing Study. PLOS ONE, 15(9), p.e0239698.

Hermawati, N. and Hidayat, I., 2019. Loneliness Pada Individu Lanjut


Usia Berdasarkan Peran Religiusitas. Psikis : Jurnal Psikologi Islami,
5(2), pp.155-166.

Hwang, T., Rabheru, K., Peisah, C., Reichman, W. and Ikeda, M., 2020.
Loneliness and social isolation during the COVID-19
pandemic. International Psychogeriatrics, 32(10), pp.1217-1220.

National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine.


2020. Social Isolation and Loneliness in Older Adults: Opportunities for
the Health Care System. Washington, DC: The National Academies
Press. https://doi.org/10.17226/25663

Pathath, D., 2017. Theories of Aging. International Journal of Indian


Psychology, 4(4), pp.15-22

Prasetya kusumo, M., 2020. Buku lansia. 1st ed. Yogyakarta: UMY,


pp.7-10.
Russell, D , Peplau, L. A.. & Ferguson, M. L. (1978). Developing a
measure of loneliness. Journal of Personality Assessment, 42, 290-294.

Shovestul, B., Han, J., Germine, L. and Dodell-Feder, D., 2020. Risk
factors for loneliness: The high relative importance of age versus other
factors. PLOS ONE, 15(2), p.e0229087.

Tiwari, S., 2013. Loneliness: A disease?. Indian Journal of Psychiatry,


55(4), p.320.

Weiten, W., & Lloyd, M. A. (2006). Psychology Applied Modern Life:


Adjustment In The 21st Century (8th ed.). California: Thomson Higher
Education.

Weiten,W.,Dunn,D.and Hammer,E.,2015. Psychology applied to modern


life. Stamford

Wu, B., 2020. Social isolation and loneliness among older adults in the
context of COVID-19: a global challenge. Global Health Research and
Policy, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai