Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Di dalam hukum, selain manusia sebagai subjek hukum, terdapat juga badan-badan
atau perkumpulan-perkumpulan yang memiliki hak-hak dan dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan tersebut
memiliki kekayaan sendiri, serta terlibat dalam lalu lintas hukum melalui pengurusnya.
Mereka dapat digugat dan menggugat di depan hakim. Bentuk badan atau perkumpulan yang
demikian disebut sebagai badan hukum atau rechtspersoon, yang berarti orang yang
diciptakan oleh hukum.1 Badan hukum dapat berbentuk perusahaan, organisasi, lembaga,
yayasan, dan badan-badan hukum lainnya. Badan hukum memiliki hak dan kewajiban yang
diakui oleh hukum, seperti hak kepemilikan, hak kontrak, hak kekayaan intelektual, dan hak-
hak lainnya yang dapat dilindungi oleh hukum. Mereka juga dapat menanggung tanggung
jawab hukum dan membayar pajak seperti halnya manusia.
Pengurus badan hukum bertindak sebagai wakil badan hukum dan bertanggung jawab
atas tindakan badan hukum. Mereka dapat melakukan tindakan hukum atas nama badan
hukum, seperti membuat kontrak, membeli atau menjual aset, dan mengambil keputusan yang
berkaitan dengan pengelolaan badan hukum. Dalam kasus sengketa hukum, badan hukum
dapat mengajukan gugatan di depan pengadilan dan harus mematuhi prosedur hukum yang
berlaku. Mereka juga dapat menjadi tergugat dalam sengketa hukum dan harus membela diri
di depan hakim. Penting untuk dicatat bahwa badan hukum diciptakan oleh hukum dan diakui
sebagai entitas yang terpisah dari individu-individu yang membentuknya. Hal ini berarti
bahwa kekayaan badan hukum tidak bercampur dengan kekayaan pribadi pengurus atau
anggota badan hukum, sehingga kekayaan badan hukum dapat dilindungi oleh hukum dalam
kondisi apapun.
Istilah "badan hukum" sudah menjadi istilah yang lazim digunakan dalam pergaulan
hukum dan kepustakaan di Indonesia. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah hukum
Belanda, yaitu "rechtspersoon". Namun, ada beberapa kalangan di dalam dunia hukum yang
menyarankan atau sudah menggunakan istilah lain untuk menggantikan istilah "badan
hukum". Beberapa istilah yang disarankan antara lain adalah "purusa hukum", "awak
hukum", dan "pribadi hukum".2 "Purusa hukum" merujuk pada entitas yang diakui oleh
hukum sebagai sebuah keberadaan yang terpisah dari individu-individu yang membentuknya.
1
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta:Kencana,2015),h 25
2
Chidir Ali, ibid, h 14
Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "badan hukum". Purusa hukum dapat
berupa perusahaan, organisasi, lembaga, ataupun badan-badan hukum lainnya. "Sedangkan
istilah "awak hukum" merujuk pada kumpulan individu atau badan hukum yang memiliki hak
dan kewajiban di dalam hukum. Istilah ini lebih menekankan pada konsep keanggotaan
dalam sebuah entitas hukum, dan tidak hanya terfokus pada identitas badan hukum itu
sendiri. Terakhir, "pribadi hukum" merujuk pada individu atau orang perseorangan yang
diakui oleh hukum sebagai subjek hukum. Dalam konteks ini, hukum memperlakukan
individu sebagai entitas yang terpisah dari individu-individu lainnya, dan memiliki hak dan
kewajiban yang diakui oleh hukum. Meskipun demikian, istilah "badan hukum" masih
menjadi istilah hukum yang resmi di Indonesia, dan masih digunakan secara luas oleh praktisi
hukum dan akademisi. Penting untuk dicatat bahwa pemilihan istilah yang tepat dalam dunia
hukum sangat penting, karena istilah yang digunakan dapat mempengaruhi pemahaman dan
interpretasi hukum.
Badan hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban 3 yang sama seperti manusia
pribadi. Sebagai pendukung hak dan kewajiban, badan hukum dapat melakukan hubungan
bisnis dengan pihak lain. Oleh karena itu, badan hukum memiliki kekayaan sendiri, hak, dan
kewajiban seperti halnya individu. Namun, jika kekayaan badan hukum tidak mencukupi
untuk menutupi kewajibannya, tidak akan dapat diambil dari kekayaan pengurus atau
pendirinya untuk menghindarkan badan hukum dari kebangkrutan atau likuidasi. Meskipun
badan hukum dapat meminjam dana dari pengurus atau pendirinya, atau mendapatkan
suntikan dana dari Negara jika badan usaha tersebut dimiliki oleh Negara, namun pinjaman
atau suntikan dana tersebut tetap dihitung sebagai utang badan hukum. Dengan kata lain,
badan hukum harus memenuhi kewajiban mereka untuk membayar kembali utang tersebut.
Kewajiban membayar utang badan hukum merupakan hal yang sangat penting karena
dapat memengaruhi kredibilitas dan kepercayaan para kreditur terhadap badan hukum. Jika
badan hukum gagal membayar utangnya, ini dapat mengakibatkan pengurangan nilai saham
dan menurunkan reputasi badan hukum di mata kreditur dan publik. Selain itu, badan hukum
juga dapat dihukum atau dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang jika gagal
memenuhi kewajiban mereka. Oleh karena itu, badan hukum harus menjaga kesehatan
keuangan mereka dengan melakukan manajemen keuangan yang baik, termasuk pengelolaan
aset dan liabilitas mereka. Badan hukum juga harus memastikan bahwa mereka memiliki
sumber pendapatan yang cukup untuk memenuhi kewajiban finansial mereka, seperti

3
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia, Cet III, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), h 27
membayar utang dan membayar gaji karyawan. Hal ini penting agar badan hukum dapat
beroperasi dengan lancar dan memenuhi harapan pemangku kepentingan mereka.

Rumusan Masalah

1. Apa itu badan hukum?


2. Apa itu subjek hukum?
3. Bagaimana badan hukum sebagai subjek hukum?

Tujuan Manfaat

Tujuan manfaat makalah dengan judul "Badan Hukum sebagai Subjek Hukum" adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian dan konsep badan hukum sebagai subjek hukum, termasuk
hak dan kewajiban yang dimiliki badan hukum.
2. Memperjelas peran badan hukum dalam lalu lintas hukum, seperti mengadakan
hubungan bisnis dengan pihak lain dan mengajukan gugatan atau dituntut di muka
hakim.
3. Meningkatkan pemahaman tentang perbedaan antara badan hukum dan manusia
pribadi dalam hal pendukung hak dan kewajiban serta kekayaan.
4. Menjelaskan pentingnya badan hukum untuk memenuhi kewajiban finansial mereka,
termasuk membayar utang dan membayar gaji karyawan, dan cara-cara untuk
menjaga kesehatan keuangan mereka.
5. Memberikan pemahaman yang lebih luas tentang hukum dan peraturan yang
mengatur badan hukum di Indonesia, termasuk perbedaan dengan hukum di negara
lain.
Dengan tujuan manfaat tersebut, diharapkan pembaca dapat memahami konsep badan hukum
sebagai subjek hukum dengan lebih baik, serta memahami pentingnya badan hukum dalam
lalu lintas hukum dan keuangan. Selain itu, diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi yang berguna bagi para pengusaha, pelaku bisnis, dan masyarakat umum yang
ingin memahami lebih dalam tentang badan hukum sebagai subjek hukum.
PEMBAHASAN

Badan Hukum
Pengertian Badan Hukum
Badan hukum adalah istilah yang umum digunakan dalam pergaulan hukum dan
merupakan terjemahan dari istilah Belanda "rechtspersoon". Namun, di dalam kalangan
hukum, ada beberapa istilah lain yang digunakan seperti "purusa hukum" (Oentari Sadino),
"awak hukum" (St.K. Malikul Adil), "pribadi hukum" (Soerjono Soekamto, Purnadi
Purbacaraka) dan lain sebagainya.4 Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum
dikenal dengan sebutan "rechtspersoon", sedangkan dalam kepustakaan common law
seringkali disebut dengan istilah-istilah seperti legal entity, juristic person, atau artificial
person.
Menurut Black's Law Dictionary, badan hukum atau artificial person adalah subjek
hukum yang diciptakan oleh hukum manusia untuk tujuan masyarakat dan pemerintahan,
yang dibedakan dari manusia pribadi. Sedangkan legal entity adalah sebuah entitas selain
manusia pribadi yang memiliki keberadaan yang cukup dalam pandangan hukum sehingga
dapat berfungsi secara legal, dapat digugat atau menggugat, serta dapat membuat keputusan
melalui agen seperti halnya perusahaan.5 Selanjutnya, Black's Law Dictionary juga
memberikan definisi legal entity sebagai badan atau entitas selain manusia pribadi yang dapat
berfungsi secara legal, digugat atau menggugat, dan membuat keputusan melalui agen.
Sementara itu, legal person diartikan sebagai entitas seperti perusahaan, yang dibuat oleh
hukum dan diberikan hak dan kewajiban hukum tertentu layaknya manusia; suatu entitas,
nyata atau khayalan, yang dalam penalaran hukum diperlakukan lebih atau kurang seperti
manusia. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa badan hukum adalah subjek
hukum yang memiliki keberadaan hukum secara mandiri dan dapat berfungsi seperti manusia
pribadi dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Istilah lain seperti purusa hukum, awak
hukum, atau pribadi hukum dapat digunakan dalam konteks yang sama dengan istilah badan
hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia6, badan hukum adalah badan yang diakui
sebagai subjek hukum dalam hukum, seperti perseroan, yayasan, lembaga, dan sejenisnya.
Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, badan hukum adalah badan atau organisasi

4
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm.14.
5
Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing Co, St. Paul
Minn, hlm.726.
6
http://kamusbahasaindonesia.org
yang diperlakukan sebagai subjek hukum oleh hukum, yaitu memiliki hak dan kewajiban. 7
Dalam hal ini, badan hukum adalah entitas yang bukan berupa individu manusia, namun
memiliki hak dan kewajiban seperti manusia serta memiliki harta kekayaan tersendiri yang
terpisah dari harta kekayaan individu pemiliknya. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat
memiliki hak dan melakukan tindakan hukum, seperti melakukan perjanjian bisnis dan
memiliki tanggung jawab hukum. Dalam praktiknya, badan hukum seringkali dibentuk untuk
tujuan bisnis, sosial, atau organisasi lainnya, dan memiliki struktur manajemen dan
kepemilikan yang terpisah dari individu yang terlibat di dalamnya. Sebagai badan hukum,
entitas ini dapat memiliki hak milik, melakukan transaksi keuangan, dan bertindak sebagai
pihak dalam kontrak dan gugatan hukum. Dalam istilah hukum Belanda, badan hukum
dikenal sebagai "rechtspersoon", sedangkan dalam istilah hukum common law seringkali
disebut sebagai legal entity, juristic person, atau artificial person. Black’s Law Dictionary
mendefinisikan badan hukum atau artificial person sebagai suatu entitas yang diciptakan dan
dirancang oleh hukum manusia untuk tujuan masyarakat dan pemerintahan, dibedakan dari
orang alami, sedangkan legal entity didefinisikan sebagai entitas, selain orang alami, yang
memiliki keberadaan yang cukup dalam pertimbangan hukum sehingga dapat berfungsi
secara hukum, dapat diseret atau menuntut dan membuat keputusan melalui agen seperti
dalam kasus korporasi.
Berdasarkan Pasal 1654 KUH Perdata, badan hukum adalah semua perkumpulan yang
sah dan memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak
mengurangi peraturan-peraturan umum, yang mana kekuasaan tersebut telah diubah, dibatasi,
atau ditundukkan pada acara-acara tertentu. Dalam hal ini, badan hukum dianggap sama
dengan orang preman, yang memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan-tindakan
hukum. Sebelumnya, Pasal 1653 KUH Perdata telah mengatur mengenai perkumpulan, yang
diakui sebagai perseroan yang sah menurut undang-undang. Selain itu, perhimpunan-
perhimpunan orang juga diakui sebagai perkumpulan-perkumpulan yang sah, baik yang
diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun yang diterima sebagai
diperbolehkan, atau didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan.
Menurut Van Apeldoorn8, purusa hukum atau badan hukum dapat berupa persekutuan
manusia yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia satu purusa yang tunggal.

7
AF Elly Erawati dan JS Badudu, 1991, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, Jakarta.
8
Van Apeldoorn, Op.Cit. hal. 205
Selain itu, badan hukum juga dapat berupa harta dengan tujuan tertentu tetapi tanpa memiliki
pemilik, seperti yayasan.
Utrecht9 mengartikan badan hukum sebagai pendukung hak yang tidak berjiwa atau
bukan manusia. Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan badan hukum sebagai
organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang
hak dan kewajiban.10 Sementara itu, menurut Subekti, badan hukum adalah badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan seperti manusia dan
memiliki kekayaan sendiri yang dapat digugat atau menggugat di depan hakim. 11 Definisi
badan hukum yang lebih lengkap dapat ditemukan dalam pendapat Molengraaff. Menurutnya,
badan hukum merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan
didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota
bukan hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu
kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk
keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota adalah juga pemilik harta
kekayaan yang terorganisasi dalam badan hukum itu. 12 Dengan demikian, badan hukum
merupakan suatu entitas hukum yang memiliki hak dan kewajiban serta harta kekayaan yang
terpisah dari harta kekayaan pribadi. Badan hukum dapat berupa persekutuan manusia atau
harta dengan tujuan tertentu, dan diakui oleh hukum sebagai subjek hukum yang dapat
melakukan perbuatan hukum. Setiap anggota badan hukum tidak hanya menjadi pemilik
sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-
bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan yang
terorganisasi dalam badan hukum itu.

Unsur unsur Badan Hukum


Berdasarkan pendapat dari para ahli hukum, unsur-unsur badan hukum dapat dibagi menjadi
lima, yaitu:
1. Adanya pemisahan harta kekayaan antara pendiri dengan badan hukum.
Hal ini berarti bahwa badan hukum memiliki harta kekayaan yang terpisah dari
pendirinya. Pemisahan ini dilakukan untuk menjaga kejelasan kepemilikan dan

9
Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universitas, Jakarta, hlm.236
10
Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universitas, Jakarta, hlm.236
11
Subekti, Op.Cit.hlm. 48
12
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekjen dan
Kepaniteraan MKRI, Cet Kedua, Jakarta, hlm.69.
tanggung jawab atas harta kekayaan badan hukum, sehingga tidak bercampur aduk
dengan harta kekayaan pribadi pendirinya.
2. Mempunyai harta kekayaan tertentu.
Badan hukum harus memiliki harta kekayaan yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Harta kekayaan tersebut dapat berupa uang, properti,
atau aset lainnya yang dimiliki oleh badan hukum dan bukan milik individu atau
anggota badan hukum secara pribadi.
3. Memiliki kepentingan tertentu.
Badan hukum didirikan dengan tujuan tertentu, sehingga harus memiliki kepentingan
atau tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan ini dapat berupa kegiatan sosial,
pendidikan, kesehatan, atau bisnis, tergantung dari jenis badan hukum yang didirikan.
4. Memiliki organ yang menjalankan badan hukum.
Badan hukum harus memiliki organ atau badan pengurus yang bertanggung jawab
untuk menjalankan kegiatan badan hukum. Organ ini dapat berupa direksi, pengurus,
atau dewan pengawas yang mempunyai tanggung jawab dalam mengambil keputusan
dan melaksanakan kegiatan badan hukum.
5. Adanya manajemen yang teratur.
Badan hukum harus memiliki manajemen yang teratur dan sesuai dengan kegiatan
yang dilakukan oleh badan hukum. Manajemen ini meliputi proses perencanaan,
pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan dalam menjalankan kegiatan badan
hukum.
Unsur-unsur ini sangat penting dalam membedakan badan hukum dengan bukan badan
hukum, karena badan hukum memiliki keberadaan yang terpisah dari pendirinya dan
mempunyai kegiatan yang terorganisasi dan terarah untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Dalam praktiknya, unsur-unsur ini juga menjadi dasar bagi pengaturan dan
perlindungan hukum atas badan hukum.
Menurut Soenawar Soekowati, terdapat empat unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
badan hukum untuk diakui keberadaannya.13
1. Badan hukum harus memiliki harta kekayaan yang terpisah dan lepas dari kekayaan
pendirinya. Hal ini berarti bahwa badan hukum memiliki kepemilikan atas harta
kekayaannya sendiri, dan tidak bergantung pada kepemilikan individu atau kelompok
yang mendirikannya.

13
Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 17.
2. Badan hukum harus memiliki kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum,
serta bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja. Kepentingan ini haruslah lebih
dari sekadar kepentingan individu atau kelompok yang mendirikannya, dan harus
berkaitan dengan tujuan yang lebih besar.
3. Kepentingan yang dimiliki oleh badan hukum haruslah panjang atau stabil. Artinya,
kepentingan tersebut tidak bersifat sementara atau hanya berlaku untuk jangka waktu
tertentu saja, melainkan harus memiliki keberlangsungan yang jangka panjang.
4. Badan hukum harus dapat menunjukkan adanya harta kekayaan yang tersendiri, yang
bukan saja menjadi obyek tuntutan tetapi juga sebagai upaya pemeliharaan
kepentingan badan hukum yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya.
Dengan kata lain, badan hukum harus dapat menunjukkan bahwa harta kekayaannya
tidak hanya menjadi objek tuntutan dari pihak lain, tetapi juga sebagai sarana untuk
menjaga dan memelihara kepentingannya sendiri.
Dalam hal ini, Soenawar Soekowati mengemukakan bahwa unsur-unsur tersebut harus
dipenuhi oleh suatu badan hukum agar dapat diakui keberadaannya. Dalam menjalankan
kegiatan atau usahanya, badan hukum harus mematuhi aturan yang berlaku dan melindungi
hak-haknya sebagai badan hukum.

Syarat Badan Hukum


Untuk menjadi badan hukum, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.14
1. Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Ini berarti bahwa badan hukum harus didirikan berdasarkan aturan hukum yang
berlaku, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah.
Peraturan-peraturan tersebut harus memuat ketentuan mengenai badan hukum yang
ingin didirikan. Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata, ada dua cara yang dapat dilakukan
untuk memperoleh status badan hukum. 15 Pertama, dengan cara dinyatakan secara tegas atau
uitdrukkelijk bahwa suatu perhimpunan adalah badan hukum. Artinya, badan hukum tersebut
secara jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan atau akta pendirian badan
hukum tersebut. Contoh dari cara ini adalah PT (Perseroan Terbatas) yang diatur dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kedua, cara untuk
memperoleh status badan hukum adalah dengan tidak secara tegas dinyatakan, namun dengan
peraturan sedemikian rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. Artinya, meskipun tidak
secara tegas disebutkan, namun badan hukum tersebut dapat diakui sebagai badan hukum
14
Chidir Ali, Op. Cit. Hlm.79-98
15
Chidir Ali, Op.Cit. hlm. 80
karena memiliki ciri-ciri badan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Contohnya adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam kedua cara
tersebut, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Syarat-syarat tersebut antara lain terkait dengan keberadaan
badan hukum yang jelas, pemisahan harta kekayaan antara badan hukum dengan anggotanya,
memiliki kepentingan tertentu, memiliki organ yang menjalankan badan hukum, dan
manajemen yang teratur. Dengan memenuhi syarat tersebut, badan hukum dapat mendapatkan
perlindungan hukum dan hak-hak yang sama dengan individu dalam pergaulan hukum.
2. Syarat berdasarkan hukum kebiasaan juga harus dipenuhi.
Hukum kebiasaan merupakan aturan yang tidak tertulis, namun sudah diterapkan
secara turun-temurun dalam masyarakat. Syarat ini biasanya diterapkan dalam
lingkungan masyarakat adat atau suku bangsa tertentu. Kebiasaan dan yurisprudensi
merupakan sumber hukum formal yang dapat digunakan untuk mencari syarat-syarat
badan hukum jika tidak terdapat dalam perundang-undangan dan doktrin. Contohnya
pada masa lalu, yayasan belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan tertentu.
Namun, hukum kebiasaan dan yurisprudensi telah mengakui eksistensi yayasan
sebagai badan hukum dalam realitas hukum dan sosial. Karena belum terdapat aturan
perundang-undangan mengenai yayasan, maka orang-orang yang ingin mendirikan
yayasan harus meminta notaris untuk membuatkan akta pendirian yayasan.
Selanjutnya, akta pendirian tersebut didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum yayasan. Untuk
mendirikan badan hukum yayasan berdasarkan hukum kebiasaan, selain syarat formal
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga harus memenuhi syarat materiel. 16
Pertama, harus ada pemisahan kekayaan antara pendiri dan badan hukum yayasan.
Kekayaan yang dimiliki yayasan harus dipisahkan dari kekayaan pendiri atau pihak
lain yang terkait dengan yayasan. Kedua, yayasan harus memiliki tujuan tertentu yang
jelas dan terdefinisi dengan baik. Ketiga, yayasan harus merupakan suatu organisasi
yang memiliki keanggotaan dan struktur yang jelas. Dengan memenuhi syarat-syarat
formal dan materiel tersebut, maka yayasan dapat diakui sebagai badan hukum.
Penting untuk dipahami bahwa hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat digunakan
untuk mencari syarat-syarat badan hukum jika tidak terdapat dalam perundang-

16
Lihat , Chidir Ali, Op. Cit. Hlm. 90
undangan dan doktrin. Namun, pengakuan dari pihak berwenang seperti notaris dan
pengadilan juga sangat penting dalam menentukan status badan hukum suatu yayasan.
3. Syarat berdasarkan yurisprudensi juga perlu diperhatikan.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan sumber hukum yang dapat
digunakan untuk menentukan keberadaan badan hukum. Putusan pengadilan dapat
memberikan pengakuan atau penolakan terhadap badan hukum yang ingin didirikan.
Yurisprudensi merupakan sumber hukum formal yang dapat memberikan pengakuan
terhadap persyaratan badan hukum. Salah satu contohnya adalah pengakuan terhadap
tujuan badan hukum, pengurus sendiri yang mewakili badan hukum dan menjalankan
kepengurusan dalam badan hukum tersebut, serta mewakili badan hukum di dalam
maupun di luar pengadilan. Selain itu, yurisprudensi juga mengakui adanya
pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri dengan kekayaan badan hukum.
Pengakuan badan hukum juga terdapat dalam putusan tingkat pengadilan negeri.
Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 224/1950/Perdata-
tertanggal 17 Maret 1951, yang menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan hukum
dari Menteri Kehakiman adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu Perseroan
Terbatas. Dengan demikian, putusan pengadilan negeri ini memberikan prasyarat
pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman sebagai pengesahan
badan hukum Perseroan Terbatas. Dalam hal pendirian yayasan, untuk memenuhi
syarat materiil sebagai badan hukum, yayasan harus memenuhi syarat adanya
pemisahan kekayaan antara pendiri dan badan hukum yayasan, memiliki tujuan
tertentu, serta merupakan suatu organisasi. Selanjutnya, pendirian yayasan dapat
dilakukan dengan membuat akta pendirian yang didaftarkan pada Panitera Pengadilan
Negeri atau menggunakan surat wasiat. Dalam kesimpulannya, pengakuan badan
hukum dapat dilakukan melalui pengaturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,
yurisprudensi, dan pandangan doktrin. Syarat-syarat badan hukum meliputi
persyaratan formal dan materiil. Persyaratan formal seperti pengakuan oleh pihak
yang berwenang, seperti Menteri Kehakiman dalam hal Perseroan Terbatas, dan
persyaratan materiil seperti pemisahan kekayaan, tujuan tertentu, dan organisasi
dalam pendirian yayasan.
4. Syarat berdasarkan pada pandangan doktrin juga harus dipertimbangkan.
Doktrin atau pendapat para ahli hukum dapat dijadikan acuan untuk menentukan
keberadaan badan hukum. Pandangan doktrin juga dapat membantu dalam
mengembangkan konsep badan hukum yang lebih luas dan kompleks. Menurut Ali
Rido, terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu entitas
sebagai badan hukum.17 Pertama, adanya pemisahan harta kekayaan yang terpisah
antara pendiri dengan badan hukum. Hal ini berarti bahwa harta kekayaan yang
dimiliki oleh badan hukum harus terpisah dari harta kekayaan pribadi pendirinya.
Dalam hal badan hukum mengalami kerugian atau kebangkrutan, maka harta
kekayaan badan hukum yang digunakan untuk membayar hutangnya, tidak boleh
dicampuradukkan dengan harta kekayaan pendirinya. Kedua, badan hukum harus
mempunyai tujuan tertentu yang jelas dan spesifik. Tujuan tersebut harus dijelaskan
secara rinci dalam akta pendirian badan hukum. Tujuan tersebut dapat berupa kegiatan
sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan, atau bisnis. Ketiga, badan hukum harus
memiliki kepentingan. Hal ini berarti bahwa badan hukum harus dapat menunjukkan
adanya kepentingan yang melibatkan pihak lain. Kepentingan tersebut dapat berupa
kepentingan sosial, kepentingan ekonomi, atau kepentingan publik. Keempat, badan
hukum harus memiliki organisasi yang teratur dan jelas. Organisasi tersebut terdiri
dari susunan pengurus dan anggota badan hukum. Susunan pengurus badan hukum
tersebut biasanya terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan anggota pengurus
lainnya. Adapun susunan anggota badan hukum disesuaikan dengan jenis badan
hukum yang didirikan.
Dalam prakteknya, syarat-syarat di atas sering kali dijadikan sebagai dasar untuk menentukan
suatu badan hukum. Namun, terdapat juga syarat-syarat tambahan yang dapat
dipertimbangkan sesuai dengan jenis badan hukum yang didirikan. Oleh karena itu, penting
untuk mempelajari dan memahami syarat-syarat badan hukum yang berlaku untuk jenis
badan hukum tertentu sebelum mendirikan badan hukum tersebut. Dalam rangka memenuhi
syarat-syarat tersebut, biasanya badan hukum harus mengajukan permohonan kepada
lembaga yang berwenang seperti Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan
pengakuan atau izin berdiri sebagai badan hukum. Setelah memenuhi semua persyaratan,
badan hukum dapat memperoleh hak dan kewajiban seperti manusia dalam melakukan
tindakan hukum dan memiliki kekayaan sendiri yang dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.

Badan Hukum menurut Golongan Hukum

17
R. Ali Rido, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf. Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 2001, hlm.50.
Pembagian badan hukum menurut Chidir Ali18 terdiri dari dua golongan, yaitu badan
hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik adalah badan hukum yang
didirikan oleh penguasa (negara) dan memiliki wewenang publik. Namun, menurut Soenawar
Soekowati, tidak semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik merupakan
badan hukum publik. Ada beberapa badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik
tetapi tidak memiliki wewenang publik dan sebaliknya, ada badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum privat tetapi memiliki kewenangan publik. Sedangkan badan hukum
privat adalah badan hukum yang didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan.
Beberapa jenis badan hukum perdata yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
antara lain perkumpulan, Perseroan Terbatas, rederji, kerkgenootschappen, koperasi, yayasan,
dan lain-lain. Badan hukum perdata ini didirikan oleh individu atau kelompok dan memiliki
tujuan tertentu. Walaupun badan hukum perdata didirikan oleh individu atau kelompok
tertentu, namun harta kekayaan badan hukum perdata harus dipisahkan dari harta kekayaan
individu atau kelompok pendirinya. Hal ini menghindari terjadinya penggabungan harta
kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan individu atau kelompok pendirinya.

Subjek Hukum
Pengertian Subjek Hukum
Subyek hukum di kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum
(Oentari Sadino), awak hukum (St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto,
Purnadi Purbacaraka) dan sebagainya. Subyek hukum adalah istilah yang sering digunakan
dalam bidang hukum. Subyek hukum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai
kewenangan atau persoonlijkheid dalam hukum. Dalam pengertian ini, subyek hukum dapat
berupa manusia, badan hukum, organisasi, atau bahkan benda mati yang dianggap memiliki
hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum.
Pengertian subyek hukum menurut beberapa ahli hukum adalah sebagai berikut:
1. Apeldoorn: segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum atau
persoonlijkheid.19
2. Algra: setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan
wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Wewenang hukum itu adalah
kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.

18
Chidir Ali. Op cit. Hlm. 57-66
19
L.J.van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 203.
3. Utrecht: manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi
pendukung hak.20
4. Sudikno Mertokusumo: segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum.21
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa subyek hukum adalah
segala sesuatu yang memiliki kewenangan atau persoonlijkheid dalam hukum. Subyek
hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum
(rechtsbevoegheid). Subyek hukum dapat berupa manusia, badan hukum, organisasi, atau
bahkan benda mati yang dianggap memiliki hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum.
Wewenang subyek hukum terbagi menjadi dua, yaitu wewenang untuk mempunyai
hak (rechtsbevoegdheid) dan wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum
dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum
memiliki wewenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan hak dan kewajibannya yang
telah diakui oleh hukum. Dalam praktiknya, subyek hukum dapat terdiri dari individu atau
kelompok, seperti perusahaan atau organisasi non-pemerintah. Subyek hukum ini memiliki
hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum dan memiliki wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum. Dalam kesimpulannya, subyek hukum adalah segala sesuatu yang
memiliki kewenangan atau persoonlijkheid dalam hukum, termasuk manusia, badan hukum,
organisasi, atau bahkan benda mati yang dianggap memiliki hak dan kewajiban yang diakui
oleh hukum. Subyek hukum memiliki wewenang untuk mempunyai hak dan menjalankan
perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Esensi Manusia dan Manusia sebagai Subyek Hukum


Manusia merupakan makhluk yang istimewa karena memiliki hak dan kewajiban serta
dianggap sebagai subyek hukum. Bahkan dalam hukum waris, manusia dianggap sebagai
subyek hukum saat masih berada di dalam kandungan. Namun, untuk memahami hakikat
manusia secara filsafat, terdapat tiga definisi, yaitu definisi klasik, Geist-in-welt, dan Esprit
incarne.
Definisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi atau animal
rationale. Hal ini tidak berarti bahwa manusia sama dengan hewan yang hanya ditambah

20
Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universal, Jakarta, hlm. 234
21
Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 53
dengan budi. Dalam aksi-reaksi biologis, terdapat persamaan, namun dalam aksi-reaksi
psikologis, manusia dengan hewan sama sekali berbeda.22
Geist-in-welt menganggap manusia sebagai barang di dunia yang badani, karena
manusia memiliki sifat-sifat badani. Sedangkan Esprit incarne menyatakan bahwa manusia
adalah roh yang telah menjelma menjadi daging. Maksudnya adalah bahwa manusia benar-
benar bersifat jasmani, stoffelijk.23
Berdasarkan pandangan filsafati tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah
sekaligus jasmani dan rohani. Keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya
adalah akal budi yang dimilikinya. Manusia memiliki, menguasai, dan memastikan dirinya
sendiri. Kesadaran tersebut merupakan kesempurnaan yang tidak terdapat pada makhluk
lainnya.
Menurut Notohamidjoyo24, manusia meliputi obyek, subyek, dan relasi. Manusia
sebagai obyek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah yang memiliki tubuh dan mengisi
suatu ruang sehingga dapat dicandra. Manusia selain sebagai obyek juga mewujudkan subyek
yang berarti mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang bebas. Namun demikian,
untuk melihat gambaran yang lengkap tentang manusia, perlu juga memperhatikan manusia
sebagai relasi, karena baik dalam manusia sebagai obyek maupun segi subyek itu dialaminya
dalam suatu relasi. Manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan senantiasa dalam
perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula kebebasan saja, namun kebebasan
dalam tanggung jawab. Manusia hidup dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungannya,
dan masyarakatlah lingkungan dimana manusia hidup. Dengan demikian, hakekat manusia
dapat dilukiskan sebagai obyek-subyek-relasi.
Menurut Van Apeldoorn25, orang dalam arti yuridis adalah setiap individu yang
memiliki wewenang hukum, yaitu kemampuan untuk menjadi subyek hukum. Kewenangan
hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum dan menunjukkan bahwa individu tersebut
memiliki hak dan kewajiban dalam sistem hukum. Namun, Apeldoorn berpendapat bahwa
hanya manusia yang memiliki hak-hak subyektif, dan oleh karena itu hanya manusia yang
merupakan subyek hukum yang sejati. Ini disebabkan oleh fakta bahwa pada kodratnya,
manusia adalah subyek hukum yang berbeda dari subyek hukum lainnya, yang diberikan
kewenangan hukum dari hukum positif.
22
A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 146.
23
A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 7.
24
Notohamidjoyo, 1973, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 9.
25
Van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 203.
Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya tepat. Pertama, kewenangan hukum bukanlah
sifat bawaan manusia, melainkan kualitas yang diberikan oleh hukum positif. Kualitas ini
diberikan oleh hukum karena manusia adalah makhluk yang mampu berpikir dan memiliki
kemampuan untuk memahami dan menjalankan kewajiban dan hak-haknya dalam sistem
hukum. Kedua, kualitas ini tidak hanya diberikan kepada manusia. Ada beberapa entitas lain
yang juga memiliki kewenangan hukum dalam sistem hukum, seperti badan hukum, negara,
dan organisasi internasional. Oleh karena itu, konsep purusa hukum yang dipahami sebagai
manusia yang memiliki sifat kodrati sebagai subyek hukum tidak sepenuhnya akurat. 26 Dalam
hal ini, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai subyek hukum bukanlah suatu kodrat,
melainkan kualitas yang diberikan oleh hukum positif. Kualitas ini diberikan oleh hukum
karena manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan menjalankan kewajiban dan hak-
haknya dalam sistem hukum. Ada juga entitas lain yang memiliki kewenangan hukum dalam
sistem hukum, sehingga konsep purusa hukum yang mengidentifikasi manusia sebagai satu-
satunya subyek hukum sejati tidak akurat.

Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum


Badan hukum adalah suatu entitas hukum yang diciptakan oleh hukum dan memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum seperti manusia. Namun, secara alamiah
badan hukum tidak dapat dianggap sebagai subyek hukum. Hal ini disebabkan karena badan
hukum tidak memiliki kemampuan untuk memiliki kehendak, bertindak atau hadir seperti
karakteristik yang dimiliki oleh manusia yang menjadikannya subyek hukum secara kodrati.
Ketiadaan karakteristik tersebut berimplikasi pada badan hukum yang tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, berbagai teori badan hukum
dikembangkan untuk menjelaskan status hukum badan hukum. Teori-teori ini menghadirkan
berbagai pendapat tentang keberadaan badan hukum dan hak-haknya.27
 Teori Fiksi
Salah satu teori badan hukum yang pertama kali dikemukakan adalah Teori
Fiksi yang diusulkan oleh Frederich Carl von Savigny pada permulaan abad
19. Teori ini menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan
merupakan sesuatu yang konkrit. Hukum memberikan hak-hak kepada subyek
hukum suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht).
Namun, badan hukum hanyalah buatan negara yang sebenarnya tidak ada,

26
Van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 203.
27
Chidir Ali. Op cit. Hlm. 57-66
tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan suatu hal.
Orang-orang yang menjadi wakil dalam melakukan perbuatan badan hukum
adalah manusia yang terkait dengan badan hukum tersebut. Oleh karena itu,
teori ini dikenal sebagai teori fiksi. Teori ini tidak hanya menekankan bahwa
badan hukum adalah sesuatu yang abstrak, tetapi juga bahwa badan hukum
tidak dapat dianggap sebagai subyek hukum. Dalam praktik hukum, berbagai
teori badan hukum ini diaplikasikan untuk menjelaskan status hukum badan
hukum. Teori Fiksi dan teori-teori lainnya dapat digunakan sebagai landasan
untuk menentukan bagaimana badan hukum dapat berinteraksi dalam tata
hukum. Penerapan teori-teori ini dalam hukum dapat membantu memastikan
bahwa badan hukum dapat berfungsi secara efektif dan memberikan manfaat
bagi masyarakat.
 Teori Organ
Teori Organ, seperti yang dikemukakan oleh Otto von Gierke, menyatakan
bahwa badan hukum itu seperti manusia dan menjadi penjelmaan yang benar-
benar dalam pergaulan hukum. Pandangan ini menganggap bahwa badan
hukum adalah sesuatu yang nyata dan bukan fiksi, dan pandangan ini diikuti
oleh L.C. Polano. Menurut teori organ, badan hukum merupakan keberadaan
yang memiliki realitas konstruksi yuridis, seolah-olah seperti manusia yang
benar-benar ada dalam pergaulan hukum dan memiliki kehendak sendiri yang
dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya, seperti pengurus dan anggota
badan hukum tersebut. Menurut teori organ, badan hukum adalah suatu badan
yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ
yang terdapat dalam badan tersebut, seperti anggota atau pengurus badan
hukum tersebut. Oleh karena itu, apa yang diputuskan dan dilakukan oleh
organ adalah kehendak dari badan hukum itu sendiri. Dengan demikian,
berdasarkan teori organ, badan hukum dianggap sebagai sesuatu yang riil dan
benar-benar ada dalam pergaulan hukum. Dalam praktik hukum, teori organ
sering digunakan untuk memperjelas bagaimana badan hukum dapat bertindak
sebagai subjek hukum dan melaksanakan fungsinya sebagai badan hukum
yang nyata. Selain itu, teori organ juga memberikan dasar bagi pengaturan
tentang tata kelola badan hukum, yaitu bagaimana badan hukum harus
dikelola agar dapat berfungsi secara efektif dan memenuhi tujuan yang
diinginkan.
 Teori kekayaan bertujuan
Teori kekayaan bertujuan atau destinataristheorie, merupakan sebuah teori
tentang badan hukum yang dikemukakan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden.
Menurut teori ini, badan hukum bukanlah terdiri dari anggota-anggota yang
merupakan subyek hukum, melainkan terdiri atas harta kekayaan tertentu yang
terlepas dari yang memegangnya atau disebut sebagai onpersoonlijk. Teori ini
melihat bahwa pemisahan kekayaan badan hukum dengan kekayaan
anggotanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.28 Dalam
pandangan teori kekayaan bertujuan, harta kekayaan menjadi milik dari
perkumpulan yang bersangkutan, yang menyebabkan perkumpulan ini menjadi
subjek hukum. Implementasi dari teori pemisahan harta kekayaan dalam badan
hukum ini dapat ditemukan dalam pasal 1618, 1640, dan 1641 KUH Perdata.
Dalam teori ini, badan hukum dilihat sebagai suatu alat atau instrument untuk
mencapai tujuan tertentu, dan harta kekayaan badan hukum dianggap sebagai
milik badan hukum itu sendiri, bukan milik anggota-anggotanya. Namun,
kekayaan badan hukum tersebut dapat digunakan untuk mencapai tujuan
tertentu yang diinginkan oleh anggota-anggotanya atau pihak-pihak lain.
Menurut teori kekayaan bertujuan, badan hukum dianggap sebagai suatu
entitas yang terpisah dari anggota-anggotanya, dan dapat memiliki hak dan
kewajiban yang sama seperti halnya manusia. Oleh karena itu, badan hukum
dapat membeli, menjual, atau memiliki properti seperti tanah, gedung, atau
aset lainnya, dan dapat melakukan tindakan hukum lainnya. Dalam teori ini,
badan hukum dianggap memiliki tujuan atau destinasi tertentu, dan harta
kekayaan yang dimilikinya dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tujuan tersebut dapat bervariasi, seperti keuntungan finansial, tujuan sosial,
atau tujuan lainnya yang diinginkan oleh badan hukum.
Secara keseluruhan, teori kekayaan bertujuan atau destinataristheorie melihat
badan hukum sebagai suatu entitas yang terpisah dari anggota-anggotanya,
yang memiliki tujuan atau destinasi tertentu, dan memiliki harta kekayaan
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Teori ini merupakan salah
satu dari beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan karakteristik
badan hukum sebagai subjek hukum.

28
Jimly Asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 68
 Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang dalam jabatannya
atau "Leer van het ambtelijk vermogen"
Teori ini menjelaskan bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang
dalam jabatannya merupakan hak yang melekat pada suatu kualitas.29 Teori ini
melihat bahwa badan hukum merupakan badan yang memiliki hak atas harta
kekayaan tertentu yang dibentuk untuk melayani tujuan tertentu. Kehadiran
tujuan ini menentukan bahwa harta kekayaan tersebut sah untuk diorganisir
menjadi badan hukum. Teori ini menekankan pada kemampuan berkehendak
(wilsvermogen) dari suatu subyek hukum. Dalam badan hukum, pengurus
badan hukum adalah yang memiliki kemampuan berkehendak dan memiliki
hak atas harta kekayaan dalam kualitas mereka sebagai pengurus, sehingga
disebut sebagai "ambtelijk vermogen". Seiring dengan pemikiran bahwa
manusia sajalah yang dapat menjadi subyek hukum, maka badan hukum
bukanlah subyek hukum. Hak-hak yang diberikan kepada subyek hukum pada
hakikatnya bukanlah hak yang dimiliki oleh subyek hukum tetapi merupakan
kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dimiliki oleh
tujuan itu. Dalam konteks ini, teori ambtelijk vermogen melihat bahwa harta
kekayaan yang dimiliki oleh badan hukum harus dipertanggungjawabkan
untuk kepentingan tujuan yang ditentukan. Oleh karena itu, implementasi teori
ini terdapat dalam pasal 1618, 1640, dan 1641 KUH Perdata. Dalam pasal-
pasal ini diatur tentang kewajiban pengurus badan hukum untuk
mempertanggungjawabkan harta kekayaan yang dimiliki badan hukum untuk
kepentingan tujuan yang telah ditentukan.
 Teori Kekayaan Bersama
Teori yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering pada abad ke-19. Teori ini
menekankan bahwa badan hukum harus dilihat sebagai kumpulan manusia dan
kepentingan badan hukum harus selalu diutamakan demi kepentingan seluruh
anggotanya.30 Pengikut teori ini antara lain Marcel Planiol (Perancis),
Molengraaff (Belanda), Star Busmann Kranenburg, Paul Scholten, dan
Apeldoorn. Menurut teori Kekayaan Bersama, badan hukum dibentuk sebagai
konstruksi yuridis dari kepentingan-kepentingan anggota. Oleh karena itu, hak
dan kewajiban badan hukum serta tanggung jawab hukum dari badan hukum

29
Chidir Ali, Ibid hlm. 33
30
Chidir Ali, Ibid. Hlm. 34
tersebut adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari seluruh anggota
secara bersama-sama. Dalam konsekuensinya, harta kekayaan badan hukum
adalah milik bersama seluruh anggota. Dalam pandangan teori Kekayaan
Bersama, badan hukum memiliki peran yang sangat penting dalam
memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam hal ini, badan hukum harus
bekerja sama dengan seluruh anggotanya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Setiap anggota memiliki hak yang sama terhadap harta kekayaan
badan hukum, dan setiap anggota juga memiliki kewajiban yang sama untuk
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan tersebut. Dalam
implementasinya, teori Kekayaan Bersama juga memperlihatkan bahwa badan
hukum memiliki sifat yang demokratis. Setiap keputusan yang diambil harus
melalui musyawarah dan mufakat dengan seluruh anggota. Kepentingan badan
hukum harus selalu diutamakan, tanpa memandang latar belakang atau
kepentingan pribadi dari setiap anggota. Dalam hal tanggung jawab hukum,
setiap anggota harus bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap harta
kekayaan badan hukum. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi kerugian atau
pelanggaran hukum dalam pengelolaan harta kekayaan badan hukum, seluruh
anggota harus menanggung dampaknya secara bersama-sama. Dalam
kesimpulannya, teori Kekayaan Bersama memandang bahwa badan hukum
adalah konstruksi yuridis dari kepentingan-kepentingan anggota dan harta
kekayaan badan hukum adalah milik bersama seluruh anggota. Dalam
implementasinya, teori ini menekankan pentingnya kerja sama dan
kepentingan bersama dalam mencapai tujuan badan hukum serta demokratis
dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab hukum yang harus
ditanggung bersama-sama.
 Teori Kenyataan Yuridis atau Juridische Realiteitsleer
Teori yang dikemukakan oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten.
Teori ini menyatakan bahwa badan hukum merupakan suatu realitas, konkrit,
dan riil, meskipun tidak dapat diraba, dan merupakan kenyataan yuridis.
Dengan demikian, Meijers ingin menyamakan badan hukum dengan manusia
hanya sebatas pada bidang hukum saja. Menurut teori ini, badan hukum adalah
persoon dalam artian subyek hak saja. Dalam kenyataan yuridis, badan hukum
adalah wujud riil yang sama riilnya dengan manusia. Badan hukum merupakan
kelompok yang kegiatan dan aktivitas kelompok tersebut diakui hukum
(separate legal recognition) dari kegiatan dan aktivitas individu kelompok
yang terlibat dalam badan hukum.31 Namun, mengenai bertindaknya badan
hukum, hal ini dilakukan dengan perantaraan orang. Artinya, tindakan atau
keputusan badan hukum hanya bisa diambil melalui perantaraan orang atau
individu yang bertindak atas nama badan hukum tersebut. Dalam hal ini,
individu atau orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut
bertanggung jawab penuh atas tindakan atau keputusan yang diambil oleh
badan hukum tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa badan hukum
tidak bisa bertindak atau berbuat sesuatu tanpa melalui perantaraan orang atau
individu yang bertindak atas nama badan hukum. Dalam kesimpulannya, teori
Kenyataan Yuridis atau Juridische Realiteitsleer mengajarkan bahwa badan
hukum merupakan suatu realitas yang konkrit dan riil dalam kenyataan
yuridis, sama seperti manusia. Namun, bertindaknya badan hukum harus
dilakukan melalui perantaraan orang atau individu yang bertindak atas nama
badan hukum tersebut.

31
M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa badan hukum merupakan
subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, dapat bertindak secara mandiri, memiliki
harta kekayaan sendiri, dan dapat bertanggung jawab secara hukum. Terdapat beberapa teori
tentang badan hukum sebagai subjek hukum, seperti teori harta kekayaan, kekayaan bersama,
dan kenyataan yuridis, yang memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap badan
hukum.
Dalam prakteknya, badan hukum dapat memberikan banyak manfaat dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam bidang ekonomi, badan hukum dapat menjadi
wadah untuk membangun usaha dan mengelola aset secara bersama-sama. Sedangkan dalam
bidang sosial dan politik, badan hukum dapat menjadi sarana untuk memperjuangkan
kepentingan bersama dalam suatu organisasi atau masyarakat.
Namun, sebagai subjek hukum, badan hukum juga memiliki tanggung jawab untuk
mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku, serta bertanggung jawab secara
hukum atas tindakan yang dilakukannya. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dan
regulasi yang ketat terhadap badan hukum, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan hak-
haknya.

Saran
Sebagai saran, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat tentang badan hukum sebagai subjek hukum, sehingga dapat memperkuat
prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Selain itu, diperlukan pula regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap badan
hukum, agar dapat memastikan bahwa badan hukum bertindak sesuai dengan peraturan dan
undang-undang yang berlaku, serta bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, C. (2005). Badan Hukum. Bandung: Alumni.


Apeldoorn, L. J. (1983). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Asshidiqie, J. (2006). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Borahima, A. (2002). Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia. Disertasi. Universitas
Airlangga.
Black, H. C. (2000). Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition. St. Paul Minn.: West
Publishing Co.
Erawati, A. F. & Badudu, J. S. (1991). Kamus Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek Elips.
Garner, B. A. (2009). Black’s Law Dictionary, 9th edition. St. Paul – Minnesota: West
Publishing Co.
Harahap, Y. (2009). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C. S. T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka.
Nindyo Pramono. (2007). Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis.
Yogyakarta: FHUGM.
Notohamidjoyo. (1973). Demi Keadilan dan Kemanusiaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Prodjodikoro, W. (1966). Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Penerbit Sumur.
Rochmat Soemitro. (1993). Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. Bandung:
Eresco.
Subekti. (1996). Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Pembimbing Masa.
Sudiarja, A. (2006). Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Group.

Anda mungkin juga menyukai