Kelompok 6
Pangastuti Utami, Putri Tri Cahyani, Siti Endri Lutfiah, Yudha Pratama Alfarizhi,
Muhamad Zidan Firdaus
lutfiyahsitiendri@gmail.com
Abstrac- Divorce is the end of a marriage. Divorce is a break in the relationship between
husband and wife, caused by the failure of the husband or wife to carry out their
respective role obligations. Divorce is understood as the end of marital instability
between husband and wife who then live separately and are legally recognized under
the applicable law. Divorce in a mixed marriage is a real reality that happens a lot today,
even though the purpose of a marriage is to form a happy and lasting household once in
a lifetime but because the husband and wife each carry a habit, different cultures and
laws, of course, are very vulnerable to disputes resulting in divorce. The legal
consequences of this divorce can then be related to problems of struggle for child
custody, issues of child rights, ex-husbands or ex-husbands, and even seizure of assets
that are collectively acquired. It can be concluded that the consequences of divorce in a
mixed marriage on the rights that should still be obtained by the child is that the father /
ex-husband does not understand his obligations to provide a living and continue to
support his child even though the father has divorced his mother.
1
menyangkut kepada masalah perebutan hak asuh anak, masalah hak-hak anak, mantan
atau suami, dan bahkan perebutan harta yg diperoleh secara bersama. Dapat
disimpulkan bahwa akibat perceraian di dalam perkawinan campuran terhadap hak-hak
yanh seharusnya tetap diperoleh oleh anak adalah ada pada ayahnya / mantan suami
yang kurang faham akan kewajibannya dalam memberikan nafkah dan tetap membiayai
anaknya meskipun ayah tersebut sudah bercerai dengan ibunya.
Pendahuluan
1
“Pengaruh Globalisasi Hukum Bagi hukum Positif Indonesia”, http://pengacaraonlinecom.blogspot.com/2011/12/b-pengaruh-
globalisasi-hukum-bagi-hukum.html
2
Bepalingenvan Wetgevingvoor Nederlands Indie (AB). Berdasarkan Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD NRI Tahun 1945, AB masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru. Dalam dunia hukum, sub-sistem dari hukum nasional yang berhubungan dengan
persoalan-persoalan hukum yangmengandung unsur asing, dikenal dengan nama
Hukum Perdata Internasional (HPI).
Persoalan yang terkait dengan HPI dapat timbul dari penentuan (i) kewenangan
pengadilan atau forumalternatif penyelesaian sengketa, (ii) penentuan hukum yang
berlaku, (iii) sejauh mana pengadilan harus memberikan pengakuan serta
melaksanakan putusan-putusan hakimasing, serta (iv)hukum nasional mana yang
berlaku bilamana suatu hubungan hukum mempunyai aspek hukum antar tata hukum
dalam sistem hukum nasional yang plural.2
Dalam persoalan yang terkait dengan HPI ini juga pasti akan menimbulkan suatu
perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hukum perdata internasional perbuatan yang
melanggar hukum adalah perbuatan atau perilaku seseorang individu yang melanggar
aturan ataupun ketetapan hukum perdata internasional. Dalam hal ini kelompok kami
mengambil kasus yaitu pemenuhan hak asuh anak dan perlindungan hukum hak anak
pasca perceraian perkawinan campuran menurut hukum perdata internasional.
Perkawinan yang dilaksanakan oleh pasangan suami dan istri yang berbeda
kewarganegaraan dan salah satunya berwarganegara indonesia menurut ketentuan
pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan campuran. Tujuan ideal dari perkawinan menurut hukum perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana yanh ditegaskan dalam
pasal 1 UU Perkawinan yang memuat pengertian yuridis perkawinan ialah “ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Jadi, perkawinan merupakan “perikatan keagamaan”
karena akibat hukumnya adalah mengikat seorang pria dan seorang wanita dalam satu
ikatan lahir dan batin sebagai sepasang suami dan istri dengan tujuan yang suci dan
mulia yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama dan kerohanian. Sehingga perkawinan bukan saja
2
Bayu Seto Hardjowahono, “Kodifikasi Hukum Perdata Internasional di Bidang Hukum Kontrak Internasional: Tantanganyang
TerabaikanDalam Menghadapi AFTA 2015”, Makalah disampaikan dalam Simposium HPI2 –tentang Hukum Kontrak lnternasional,
Diselenggarakan atas kerjasama antara Badan Pembinaan Hukum Nasional. Fakultas Hukum UNPAR, dan Kantor Hukum Mochtar
Karuwin Komar (MKK), di Kampus Univ. Parahyangan Bandung, pada tanggal 7 November 2013
3
mempunyai unsur secara lahiriah/jasmaniah saja melainkan juga mempunyai unsur
secara batiniah.
Perkawinan yang dilaksanakan oleh pasangan suami dan istri yang berbeda
kewarganegaraan dan salah satunya berwarganegara indonesia menurut ketentuan
pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan campuran. Tujuan ideal dari perkawinan menurut hukum perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana yanh ditegaskan dalam
pasal 1 UU Perkawinan yang memuat pengertian yuridis perkawinan ialah “ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perkawinan merupakan “perikatan keagamaan”
karena akibat hukumnya adalah mengikat seorang pria dan seorang wanita dalam satu
ikatan lahir dan batin sebagai sepasang suami dan istri dengan tujuan yang suci dan
mulia yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama dan kerohanian. Sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur secara lahiriah/jasmaniah saja melainkan juga mempunyai unsur
secara batiniah.
3
Penyebutan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang disingkat dengan UU Perkawinan.
4
Pasangan suami dan istri yang melangsungkan perkawinan campuran, sudah
tentu dan pasti pihak calon suami atau calon istri akan membawa hukum, kebiasaan,
dan budayanya masing-masing. Sehingga sangat sulit untuk menyatukan budaya yang
masing-masing berbeda tersebut menjadi searah apalagi menjadi se-iman apabila yang
memiliki keagamaan yang berbeda pula. Untuk itu tidak jarang tujuan yang ideal dari
suatu perkawinan sangat sulit untuk diwujudkan karena banyak terjadi kehidupan rumah
tangga yang berbeda kewarganegaraan ini dalam membina rumah tangga tidak bahagia
bahkan saling terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Sehingga pilihan perceraian
adalah jalan terbaik menurut mereka.
Pembahasan
4
Sasmiar, Perkawinan Campuran dan Akibat Hukumnya, diakses dari Jurnal Ilmu Hukum
5
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h 103.
5
Perkawinan adalah perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara
Asing. Karena berlainan kewarganegaraan, tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka
juga berlainan. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur dengan tegas mengenai
akibat hukum yang timbul dari perkawinan campuran. Ketentuan yang mengatur
mengenai akibat hukumnya adalah Pasal 62 yang mengatur bahwa kedudukan anak
dari perkawinan campuran diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) dimana
kewarganegaran yang diperoleh menentukan hukum yang berlaku.
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul
perkawinan antara 2 orang yang masing-masing sama atau berbeda
kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya
WNI asal eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
6
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1997), h.36
7
Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser,2006), h.242.
6
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran tersebut sah, maka
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan harus dipenuhi, artinya perkawinan bagi mereka yang beragama
islam harus sesuai dengan ketentuan hukum islam. Begitu pula mereka yang beragama
selain islam harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya
tersebut. Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia oleh pasangan
WNI dan WNA yang beragama Islam, maka perkawinan mereka dicatat di KUA tempat
mereka menikah, sedangkan bagi pasangan WNI dan WNA yang selain beragama Islam
dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan sipil. Seperti dalam contoh apabila terjadi
antara WNI dan WNA walaupun seseorang menikah di Malaysia dengan menggunakan
hukum perkawinan Malaysia maka ia harus tetap memperhatikan ketentuan dalam
hukum perkawinan di Indonesia, antara lain mengenai kewajiban pelaporan pada dinas
kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1(satu) tahun dan bila
lewat dari waktu yang ditetapkan tersebut harus melalui Pengadilan Negeri sesuai
dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan
peraturan daerah setempat jo Pasal 107 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008
Tentang Persyaratan dan Tata Cara pendaftaran penduduk dan Pencatatan Sipil
berbunyi:8
1. Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105
ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam peraturan daerah.
2. Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang dari kondisi masyarakat di
daerah masing-masing.
3. Pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil harus melampirkan
Akta Perkawinan yang telah dilegalisasikan oleh kantor perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri, dalam hal ini pada bagian konsuler KBRI Malaysia, yaitu
foto copy paspor suami-istri dan kartu keluarga KTP dari WNI tersebut.
2. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
8
Nawawi, N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”, dari http://sumsel .kemenag.go.id/.
7
melangsungkan perkawinan campuran, selalu mengikuti kedudukan hukum sang suami,
baik dibidang hukum publik maupun dalam hukum perdata. 9
Hal ini berarti bahwa seorang wanita dari golongan rakyat Indonesia yang
menikah dengan pria dari golongan rakyat Eropa termasuk menjadi golongan rakyat
Eropa. Sebaliknya seorang perempuan Eropa yang menikah dengan pria dari golongan
rakyat Indonesia menjadi golongan rakyat Indonesia pula. Dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57 telah disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang diindonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.
9
GHR adalah singkatan regeling op de gemengde huwelijken dalam staadblad berbunyi sebagai berikut: Huwelijken secara resmi
tertuang dalam pasal 1 staasblad 1898 No. 158 berbunyi sebagai berikut: huwelijken tusschen personen, die Indonesie aan een
verschiellend recht onderwopen zijn, worden gemengde huwelijken genoemd. Artinya: perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia, jadi orang-orang yang menurut hukum di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
8
f) Apabila WNA adalah seorang wanita hendaknya memastikan kehadiran wali atau
surat wakalah wali dari pihak yang berkuasa dari Negara yang bersangkutan.
Perceraian hanya dapat terjadi apabila terdapat cukup alasan bahwa antara
suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi. Hal tersebut tercantum pada Pasal 39 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang
menyatakan bahwa: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Alasan-alasan
yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2) salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya;
3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6) antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
9
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam ketentuan tersebut adalah pengadilan agama
bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya. Perlu dicatat
bahwa walaupun salah satu atau para pihak sudah berpindah agama, proses perceraian
tetap harus mengikuti hukum peradilan agama Islam, sebagaimana perkawinan tersebut
sebelumnya tercatat.
Pemeliharaan Anak
Lebih lanjut, Pasal 86 ayat (1) Peradilan Agama menyatakan bahwa:
Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terkait pemeliharaan dan pendidikan anak, Pasal 41 huruf a UU Perkawinan
mengatur bahwa:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
10
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya”.
Ketentuan UU Perkawinan menggunakan istilah “penguasaan anak”. Artinya,
hubungan orang tua (baik ayah maupun ibu) dengan anak tidak putus karena terjadinya
perceraian. Pengadilan akan memberi keputusan apabila ada perselisihan mengenai
penguasaan anak.
Bapak adalah pihak yang bertanggung-jawab memenuhi semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Namun, apabila bapak tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), menyatakan bahwa, Dalam hal
terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pengertian Hadhanah
Menurut syariat Islam hadlonah adalah menjaga orang yang belum bisa
mengurus kepentingan sendiri dan mendidiknya dengan berbagai macam
perkembangan dan perbaikan hadlonah ini akan berakhir jika anak yang masih kecil
tersebut berubah menjadi anak yang sudah mumayyiz. 10
Dalam kitab fiqih Islam menjelaskan bahwa hadlonah adalah salah satu bentuk
dari kekuasaan dan kepemimpinan Namun demikian hal ini perempuan lebih layak untuk
10
Musthafa Al-Bugha, Musthafa Al-Khan, Ali Al-Syurnaji, Fikih Manhaji, (Yogyakarta: 2012), h. 786
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, (Kencana:2014), h.327.
11
menepatinya karena kaum hawa Lebih lembut penuh kasih sayang dan sabar dalam
mendidik jika si anak sudah mencapai usia tertentu maka hak pemeliharaannya
dilimpahkan kepada lelaki Jika ia mampu menjaga dan mendidik sekarang daripada
kaum wanita12.
Salah satu pendapat ahli mengenai pengertian Hadhanah adalah menurut Amir
Syarifuddin dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama Ibunya
belum menikah dengan orang lain, meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya tetapi
nafkah tetap dipikul oleh bapaknya. Seorang perempuan telah datang mengadukan
masalahnya kepada Rasulullah perempuan itu berkata “saya telah diceraikan oleh suami
saya dan saya akan diceraikan oleh anak saya”.13
Oleh karena itu sebuah keharusan meletakkan aturan yang membatasi mereka
yang memiliki tanggung jawab tentang Hak asuh dan menjaga anak-anak serta
mengelompokkan mereka menurut yang utama yang setidaknya tidak berpengaruh pada
12
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu Jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk:
penyunting Budi Permadi, Cet. 1, (Jakarta:2011), h.60
13
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung:1994), h. 426.
14
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
12
kemaslahatan anak-anak dengan adanya pertikaian atau perbedaan yang terjadi antara
para wali yang mengurus urusan mereka.15
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih
dibawah umur kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan Wali tidak
membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjuk jangan menurut besarnya
pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka
itu16.
Dasar Hukum
15
Musthafa Al-Bugha, Musthafa Al-Khan, Ali Al-Syurbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Al-Madzhab Al-Imam Al-
Syafii (Darul Musthafa, 1429H/2008M). (Yogyakarta:Darul Uswah, 2012), h. 786
16
Soedharyo Soiman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika 2007), h.72.
17
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.
13
c) Hukum Positif II
Kompilasi hukum Islam pada pasal 105 dalam hal terjadi perceraian
pemeliharaan anak bagi yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun
adalah hak ibunya18
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.
19
Undang-undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 Nomor 35 tahun 2014
20
Undang-undang no. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
14
dan memikul tanggung jawabnya21. Sesungguhnya Ibu lebih berhak mendapatkan Hak
asuh daripada Ayah karena sebab-sebab sebagai:
a. Karena rasa kasih sayang dan kesabaran Ibu mencukupi untuk menanggung
pengasuhan dan menjaga anak.
b. Karena Ibu lebih halus dalam mengasuh dan menjaga anak-anak dan lebih
sanggup memberikan kasih sayang yang dibutuhkan oleh mereka. 22
Kesimpulan
21
Abdul Rahman Gozali, Fikih Munajat cet IV (Jakarta, Perdana Media Grup, 2010), h.76
22
Musthafa Dib Al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1, h. 787
15