Anda di halaman 1dari 24

BAB III

INVESTASI DANA ZAKAT MENURUT ONI SAHRONI DENGAN


ERWANDI TARMIZI DAN RELEVANSINYA DENGAN UU NO. 23
TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA

A. Hukum Investasi Dana Zakat Menurut Oni Sahroni dengan Erwandi


Tarmizi

Oni Sahroni lahir di Serang 26 November 1975 maka tahun ini berumur 46
tahun. Oni Sahroni dikenal sebagai Ahli Fikih Muamalah Indonesia, mendalami
syari’ah dan fikih muamalah dengan menyelesaikan tahfidznya di pesantren
Raudhatul Huffad Pekalongan. Pendidikan S1 S2 dan S3 nya pada jurusan Fikih
Muqaran (Spesialis Fikih Muamalah) Universitas al-Azhar Kairo. Disertasinya
yang berjudul Thabi’ah wa atsar al-‘laqah baina al-bunuk attaqlidiyah wa furu’iha
al-Islamiyah fi Mishra wa Indonesia mendapatkan peringkat cumlaude. Oni
Sahroni menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di bidang fikih
dari Universitas al-Azhar Kairo dengan peringkat cumlaude. Tercatat sebagai
Anggota Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) (2012-
sekarang), pengasuh konsultasi syariah “muamalah daily” (2017-sekarang),
Talaqqi Fikih Muamalah STEI SEBI dan SIBER-C STEI SEBI (2016-sekarang),
serta pengasuh “konsultasi Syariah” di Harian Republika sejak 2017, terpilih juga
sebagai tokoh Ulama Syari’ah tahun 2015 “Best Syari’ah 2015” versi Majalah
Investor (Jakarta). Oni Sahroni menulis banyak buku diantaranya Ini Dulu Baru Itu,
Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 1-4, Riba Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi
Syari’ah (Analisis Fikih & Ekonomi), Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, Fikih
Muamalah, Ushul Fikih Muamalah, dan Fikih Zakat Kontemporer.1
Erwandi Tarmizi lahir di Pekanbaru 30 September 1974 maka tahun ini
berumur 47 tahun. Pendidikan S1 di Syariah LIPIA Jakarta 1995-1999, S2 dan S3
di Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud, Riyadh Arab Saudi 2001-2011.
Tercatat sebagai Lead Partner Konsultan Erwandi tarmizi Associate (ETA) 2014-

1
Oni Sahroni, Fikih Muamalah Kontemporer (Membahas Permasalahan Sosial
dan Ekonomi Kekinian) Jilid 4, (Jakarta: Republika Penerbit, 2020), h. 271.

54
55

sekarang, Dosen Magister Ekonomi Islam IAI Tazkia Bogor 2012-sekarang,


Pemateri Fikih Muamalat kontemporer radio Rodja dan Rodja TV Bogor 2012-
sekarang, Pemateri program Ekonomi Islam Fatwa TV Jakarta 2019-sekarang,
Anggota Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad Indonesia, dan menjadi penulis tetap
kolom fikih kontemporer majalah (manhajuna) Riyadh. Erwandi Tarmizi menulis
buku Harta Haram Muamalat Kontemporer.2
Investasi sudah tidak asing lagi dalam dunia muamalah, di tengah maraknya
investasi antar pelaku bisnis tidak menutup kemungkinan para lembaga yang berada
dibawah naungan pemerintah untuk terlibat didalamnya. BAZNAS telah
membuktikan dengan program zakat produktifnya yakni investasi dana zakat.
Setiap pendapat yang muncul pasti ada pro dan kontra, begitupun investasi dana
zakat ini. Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi sama-sama mengeluarkan
pendapatnya mengenai hukum kebolehan dana zakat yang diinvestasikan.
Pertama, Oni Sahroni berpendapat bahwa investasi dana zakat hukumnya
boleh. Pada prinsipnya setiap harta zakat yang diterima oleh lembaga/badan amil
zakat akan segera disalurkan kepada mustahik untuk memenuhi kebutuhannya
dengan segera. Sedangkan investasi dana zakat boleh dipraktikkan pada kondisi
khusus yang membolehkannya, seperti investasi yang halal dan resiko terkendali,
memiliki manfaat jangka panjang bagi mustahik, jumlahnya terbatas, dan tidak ada
mustahik yang membutuhkan bantuan darurat.3
1. Investasi yang halal, yakni investasi yang terbebas dari ribā, maysīr, gharār, dan
ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan aturan Islam. Ribā adalah
praktik yang berhubungan dengan bunga, biasanya ditetapkan secara sepihak
oleh bank pengelola. Maysīr adalah transaksi yang mengandalkan ketidakpastian
dan untung-untungan. Gharār adalah segala sesuatu yang konsekuensinya
tersembunyi, dan konsekuensi yang paling mungkin adalah yang paling
ditakuti.4

2
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 679.
3
Oni Sahroni, Fikih Muamalah, h. 101.
4
https://ammana.id/blog/post/investasi-halal, diakses pada 26 Juni 2021 pukul
09.01.
56

2. Resiko yang terkendali, ada beberapa resiko yang biasa dihadapi oleh para
investor, diantaranya: Resiko daya beli (purchasing power risk), Risiko ini
berkaitan dengan kemungkinan terjadinya inflasi yang mengakibatkan
penurunan nilai pendapatan yang sebenarnya. Resiko bisnis (business risk),
resiko bisnis adalah mengurangi kemampuan perusahaan untuk memperoleh
keuntungan, sehingga mengurangi pula kemampuan perusahaan untuk
membayar bunga dan deviden. Resiko tingkat bunga, kenaikan suku bunga
biasanya menekan harga surat berharga, sehingga biasanya harga surat berharga
akan turun. Resiko pasar (market risk), jika pasar sedang berada dipuncak
(bullish), harga saham umumnya akan naik, tetapi jika pasar sedang turun
(bearish), harga cenderung turun. Resiko likuiditas (liquidity risk), resiko ini
terkait dengan kemampuan surat berharga untuk segera diperdagangkan tanpa
menimbulkan kerugian yang signifikan. Jika beberapa dari risiko tersebut dapat
dikendalikan atau dimanipulasi untuk mengambil kemungkinan
menghindarinya, maka investasi dana zakat diperbolehkan.5
3. Memiliki manfaat jangka panjang bagi mustahik, pendayagunaan zakat
produktif diharapkan dapat mendorong mustahik untuk lebih mandiri dalam
memenuhi kebutuhannya, sehingga memberikan manfaat jangka panjang kepada
mustahik. Hal ini diharapkan agar mustahik nantinya bisa menjadi muzakki.6
4. Penyertaan modal zakat jumlahnya terbatas, mengingat program BAZNAS ini
dapat dilaksanakan jika kebutuhan mustahik terpenuhi, maka dana yang dapat
digunakan adalah sisa kebutuhan mustahik. Selain dana yang terbatas, hal ini
juga menjadi strategi pendamping yang menjadi fasilitator untuk lebih fokus
membina mustahik dalam menjalankan usahanya.
5. Tidak ada mustahik yang membutuhkan bantuan darurat, yakni investasi dana
zakat boleh dilaksanakan jika satu persatu hak mustahik sudah terpenuhi dan

5
Sri Isnawaty Pakaya, “Resiko Investasi Di Pasar Modal”, Suatu Pengantar,
Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo, 2010. h. 3.
6
Ilyasa Aulia Nur Cahya, “Peran Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap
Kesejahteraan Mustahik”, Sultan Agung Fundamental Research Journal, Vol. 1 No. 1,
January (2020), h. 2.
57

kebutuhan mendesak lain sudah tersalurkan. Karena pada dasarnya kebutuhan


mustahik selalu menjadi prioritas.
Pendapat lain dikutip dari sebuah jurnal yang di tulis oleh Amru bahwa
Syekh Mustafa Zarka membolehkan adanya Investasi Dana Zakat. Alasan
mengizinkannya adalah sebagai berikut:7
1. Sebenarnya pihak-pihak yang berhak menerima zakat telah disebutkan dalam
Q.S. At-Taubah: 60, tetapi tata cara pembagian zakat kepada delapan golongan
tersebut tidak diatur secara baku. Zakat yang pendistribusiannya tertunda oleh
lembaga amil hanya untuk strategi dalam mengelola dana zakat, sehingga sah
menurut syar'i.
2. Qiyas dalam konteks tanah wakaf, sistem pengelolaannya diperbolehkan untuk
meberdayakan tanah tersebut untuk kemaslahatan umat. Maka tidak jauh beda
dengan dana zakat yang diberdayakan dalam bentuk investasi dan memiliki
hukum yang sama juga yakni diperbolehkan.
3. Qiyas dengan mengelola harta anak yatim yang di perbolehkan untuk
menginvestasikan harta anak yatim. Jika hal ini diperbolehkan meskipun itu
milik anak yatim, maka harta zakat pun dapat diinvestasikan sebelum diserahkan
kepada orang yang berhak atasnya (mustahik).
4. Argumentasi selanjutnya yakni bermain logika, meski pada awalnya hal tersebut
tidak diperbolehkan, tetapi sangat dibutuhkan saat ini. Berinvestasi harta zakat
berarti memperoleh sumber keuangan permanen untuk memenuhi kebutuhan
mustahik yang terus meningkat setiap hari, seperti menanam kemaslahatan
secara permanen.

Dalam sebuah sesi tanya jawab bersama Oni Sahroni, penulis mengajukan
sebuah pertanyaan “Jika dilihat profil ustadz yang menempuh pendidikan di al-
azhar kairo, apakah ada pengaruh mengenai adat dan madzhab yang dipakai disana
dengan pendapat ustadz mengenai investasi dana zakat?”

7
Amru, “Investasi Dalam Pengelolaan Harta Zakat Dalam Islam”, Wahana Inovasi
Vol. 9 No.2 (2020), h. 125-126.
58

Kemudian Oni Sahroni menjawab bahwa, “Berpengaruh mungkin, tapi


alhamdulillah kita ini diajarkan untuk toleran dalam bab furud namun tegas dalam
bab prinsip. Dalam bermadzhab kita juga terbuka selama pandangan itu ada dalam
kitabnya ada dalam al-qur’an dan hadits, maka itu menjadi referensi. Nah,
kebiasaan saya dan kami juga selalu merujuk kepada pendapat-pendapat, lembaga-
lembaga fikih Internasional, bukan pribadi simpulan si A si B si C untuk
menginvestigasi agar pendapat yang saya sampaikan terhindar dari kesalahan.
Misal terkait dengan investasi dana zakat, investasi zakat itu selalu saya sampaikan
ada pendapat dari lembaga fikih seperti standar syari’ah Internasional AAOIFI
Bahrain, ada juga lembaga fikih organisasi konferensi islam yang menegaskan
bahwa dana zakat boleh diinvestasikan tapi bersyarat. Syaratnya adalah tidak ada
mustahik dhuafa yang kritis di daerah tersebut karena dengan dana zakat
diinvestasikan berarti ada masa tenggang tertentu dana tersebut tak tersampaikan
kepada mustahik. Nah, insyaallah apa yang saya sampaikan meruju pada pendapat
otoritas dan juga para salafus shaleh dan kutub kutub mu’tabarah”.
Program zakat produktif yang bertujuan untuk memberdayakan mustahik
adalah cara untuk mendorong mustahik agar memiliki usaha mandiri. Rencana
tersebut diwujudkan dalam bentuk pengembangan modal usaha mikro yang sudah
ada atau usaha mikro potensial baru, seperti investasi dana zakat.8
Kedua, Erwandi Tarmizi mengeluarkan dua pendapat sekaligus mengenai
hal ini, membolehkan dan melarang. Investasi dalam dana zakat hukumnya boleh,
karena pada prinsipnya harta zakat dapat dikembangkan dalam bentuk usaha yang
berakhir dengan kepemilikan usaha mustahik zakat atau dikelola oleh badan amil
zakat yang bertanggung jawab atas penghimpunan dan penyaluran zakat, dengan
ketentuan bahwa harta zakat yang digunakan adalah sisa harta yang sudah
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok mustahik dan dijamin kondisinya
oleh pengelola.9

8
Oni Sahroni, dkk. Fikih Zakat Kontemporer, (Depok : PT. RajaGrafindo Persada,
2018), h. 230.
9
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 48.
59

Pengembangan harta zakat sebenarnya sudah dikenal pada masa para Nabi
SAW. dan Khulafaur Rasyidin, ketika hewan yang dikumpulkan dari zakat
ditempatkan di padang rumput dan kemudian ditunjuk salah seorang untuk
mengembalakan. Namun, ada yang beranggapan bahwa cerita ini lemah
kebenarannya, karena apa yang dilakukan pada masa Nabi SAW. dan masa
Khulafaur Rasyidin bukanlah investasi yang memiliki arti sama seperti yang ada
saat ini. Perkembangbiakan yang terjadi pada hewan ternak zakat tersebut hanyalah
proses alamiah, bukan tujuan. Karena hewan tersebut dikumpulkan di rerumputan
dalam waktu singkat sebelum dibagikan kepada mustahik.10
Tanggapan tersebut memutuskan pandangan tentang kebolehan berinvestasi
dengan dana zakat, karena maksud pada cerita diatas tidak sama dengan investasi
yang ada pada zaman sekarang. Pendapat kedua lah yang paling kuat dari Erwandi
Tarmizi, yakni melarang adanya investasi dana zakat.
Harta zakat tidak dapat diinvestasikan oleh sebuah lembaga untuk
kepentingan salah satu mustahik. Karena kegiatan ini melanggar ketentuan syariah
yaitu zakat harus diserahkan kepada mustahik sesegera mungkin, investasi dapat
menyebabkan hilangnya aset zakat yang telah menjadi hak mustahik, dan membuat
mereka sengsara. Pengelolaan seperti ini jelas menunda penyerahan zakat kepada
yang berhak, jika yang mengelola bukan mustahik dan ternyata usahanya merugi,
atau pengelola adalah orang yang tidak dapat dipercaya, maka harta zakat pasti akan
hilang dan merugikan para mustahik.11
Ketika wawancara dengan Erwandi Tarmizi, penulis mengajukan beberapa
pertanyaan yang salah satu nya “Mengenai pendapat ustadz dalam buku harta haram
muamalah kontemporer tentang investasi harta zakat, jika dilihat profil ustadz yang
menempuh pendidikan di Riyadh Arab Saudi, apakah ada pengaruh mengenai adat
dan madzhab yang dipakai disana dengan pendapat ustadz mengenai investasi harta
zakat?”
Erwandi Tarmizi menjawab “Yang dibuku harta haram muamalah
kontemporer tentang investasi harta zakat itu bukan pendapat madzhab, itu saya

10
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 48-49.
11
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 48-49.
60

nukil dari majma’ al-fiqh al-islami lembaga fiqh Islam Internasional divisi fiqh
dibawah OKI, berarti ulama lintas madzhab bukan dari madzhab Hanbali saja dari
Arab Saudi. Jadi, apa yang dimaksudkan keputusan yang dihasilkan oleh muktamar
tersebut itu tidak bisa dikatakan dengan madzhab, itu kesepakatan dari para ulama
lintas madzhab.”
Pendapat lain yang memperkuat argumentasi Erwandi Tarmizi dikutip dari
sebuah jurnal yang di tulis oleh Amru bahwa Wahbah az-Zuhaili juga sependapat
dengan Erwandi Tarmizi, adapun alasan yang digunakan untuk mendukung
pandangan ini adalah sebagai berikut:12 Alasan pertama adalah zakat yang
diinvestasikan dalam bidang industri, pertanian dan perdagangan membuat zakat
tidak bisa disalurkan secepatnya sehingga mustahiq tidak bisa langsung menerima
zakat karena harus menunggu untuk mendapat untung. Hal ini bertentangan dengan
pendapat sebagian besar ulama yang berpendapat bahwa zakat harus segera di
distribusikan. Alasan kedua, investasi zakat harus langsung diterima oleh mustahiq
karena investasi itu sifatnya tidak pasti akan menguntungkan atau merugi.
Alasan ketiga, investasi dana zakat menyebabkan zakat tidak lagi dimiliki
oleh individu, sehingga hal ini bertentangan dengan pandangan sebagian besar
ulama yang mewajibkan zakat untuk kepemilikan pribadi. Dalam Q.S At-Taubah
ayat 60 Allah menyebutkan bahwa yang berhak menerima zakat menggunakan
huruf "lam" untuk menunjukkan kepemilikan orang yang menerima zakat.
Alasan keempat adalah bahwa investasi zakat menyebabkan sebagian aset
zakat digunakan untuk pengeluaran manajemen atau pendukung proses investasi,
terlalu banyak nantinya dana yang terhambur untuk proses administrasi jalannya
investasi tersebut.
Secara umum, kebutuhan fakir miskin bersifat mendesak dan tidak dapat
ditunda sehingga tidak ada alasan untuk menunda penyerahan harta zakat untuk
investasi yang tidak pasti mendatangkan keuntungan. Kekhawatiran sifat amanah
yang semakin langka pada zaman sekarang, menjadi peluang bagi pencuri harta

12
Amru, “Investasi Dalam Pengelolaan Harta Zakat Dalam Islam”, h. 126.
61

untuk memakan harta orang miskin, sehingga jika ada suatu celah kemadharatan
sebaiknya jangan dilakukan.13

B. Metode Ijtihad Oni Sahroni dan Erwandi Tarmizi tentang Hukum


Investasi Dana Zakat

Oni Sahroni dan Erwandi Tarmizi dengan pendapatnya masing-masing


tidak terlepas dari ijtihad yang sudah di teliti sebelumnya. Adapun argumentasi dari
Oni Sahroni Pertama, salah satu poin utama audit syariah yang ditegaskan
Kementerian Agama terhadap lembaga amil zakat bahwa amil mengalokasikan
seluruh dana zakat yang diterima sepanjang tahun. Inti dari audit syariah ini adalah
tidak ada keterlambatan dalam penyaluran zakat. Kedua, dalam fikih zakat, donasi
zakat langsung disalurkan sehingga keterlambatan penyaluran dana zakat kepada
mustahik seperti investasi dana zakat hanya diperbolehkan ketika mustahik yang
membutuhkan bantuan darurat sudah terpenuhi. Pandangan ini dijelaskan dalam
keputusan Lembaga Fikih OKI No. 3 tahun 1986 tentang Pendayagunaan Zakat
dalam Program Produktif, yaitu14:

‫ضي‬ ِ ‫فع‬
ِ ‫اجلج ٍة تج ْقتج‬
‫ص ْر ج‬
‫جج ج ُ ُ ُ ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬ َّ ‫جَيُ ْوُز اِ ْستِثْ جم ُار أ ْجم جو ِال‬
ِ ‫ أج ْن جَل تجت وافجر وجوه‬:‫الزجكاةِ ِِبلضَّوابِ ِط التَّالِي ِة‬
َّ ‫الت َّْوِزيْع الْ جف ْوِري ِِل ْجم جو ِال‬
ِ‫الزجكاة‬

“Dana zakat itu boleh diinvestasikan dengan beberapa syarat, di antaranya


tidak ada kebutuhan mustahik yang harus membutuhkan dana zakat segera”.

Sebagaimana Fatwa MUI No. 4 Tahun 2003 tentang Penggunaan Dana


Zakat dalam Istitsmar (investasi), ditegaskan perlunya mengeluarkan zakat
(fauriyah) sesegera mungkin, dari muzakki ke amil maupun dari amil ke mustahik.
Penyaluran zakat māl kepada mustahik walaupun pada dasarnya harus fauriyah,
namun jika mustahiknya belum ada atau ada sesuatu yang memiliki manfaat yang

13
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 50-51.
14
Oni Sahroni, Fikih Muamalah Kontemporer, h. 98-99.
62

lebih besar, maka dapat di-ta’khir-kan. Alokasi dana zakat dapat di-ta’khir-kan atau
ditunda dalam keadaan berikut15:

1) Penanaman modal pada perusahaan yang sesuai dengan syariah, dan dilakukan
oleh lembaga/perusahaan yang profesional dan terpercaya.
2) Tidak ada mustahik yang membutuhkan biaya yang tidak dapat ditunda.
3) Penyaluran zakat yang di-ta'khir-kan karena diinvestasikan, harus dibatasi
waktunya.

Sebagaimana Standar Syari’ah Internasional AAOIFI no. 35 tentang zakat :

ِِ ِ َّ ‫اج ِة الْ جم‬ ْ ‫ك بج ْع جد تج ْلبِيج ِة‬ ِ


‫اسة الْ جف ْوِريَّة ل ْل ُم ْستجحق ج‬
‫ني (املعيار الشرعي رقم‬ ‫اْلج ج‬ ‫جعلجى أج ْن يج ُكو جن ذجل ج‬
)‫ بشأن الزكاة‬٣٥
“Ini (penundaan distribusi zakat dibolehkan) dengan syarat setelah
memenuhi kebutuhan mendasar para mustahik”.16

Ketiga, salah satu ciri zakat māl adalah setelah amil zakat menerima donasi,
akan dibagi habis secara merata kepada mustahik secepatnya. Zakat juga
memberikan kontribusi untuk kebutuhan mendesak mustahik. Donasi zakat
dirancang untuk memenuhi kebutuhan mendesak mustahik, seperti kebutuhan
kesehatan dan pendidikan masyarakat miskin, dan untuk menyediakan sumber daya
manusia untuk spesialisasi yang dibutuhkan masyarakat.17

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmū’ menegaskan bahwa :

,ُ‫ جو جسائُِر جما جَل بُ َّد لجهُ ِمنه‬,‫س جولْ جم ْس جكن‬


ُ َّ‫ الْ جمطْ جعم جوالْ ُملجب‬..ُ‫ الْ ُم ْعتججَب‬:‫جص جحابُنجا‬
ْ ‫ال أ‬
‫قج ج‬
.ُ‫ص جولِ جم ْن ُه جو ِِف نج جف جقته‬
ِ ‫َّخ‬ْ ‫س الش‬ِ ‫ لِنج ْف‬,‫اف جوجَل اِقْ تجا ٍر‬
ٍ ‫ بِغج ِْي إِسر‬,‫علجى ما يلِيق ِِبالِِه‬
‫ْ ْج‬ ‫ج ج جُْ ج‬
(١٩١/٦ ‫)اجملمع‬

15
Oni Sahroni, Fikih M uamalah Kontemporer, h. 99.
16
AAOIFI, Al-ma’āyīr mfAsy-syar’iyyah, (Bahrain : The Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions, 2017), H. 910.ad
17
Oni Sahroni, Fikih Muamalah Kontemporer, h. 100.
63

“Ashab menjelaskan bahwa yang menjadi standar adalah makan, pakaian,


rumah, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang wajib dimiliki sesuai dengan
kondisi fakir dan miskin tanpa berlebihan, baik bagi si penerima maupun
bagi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”.
Argumentasi-argumentasi tersebut sangat jelas, dana zakat hanya boleh
diinvestasikan dalam kondisi yang diizinkan, seperti untuk menyediakan cadangan
yang cukup dan tidak ada mustahik di daerah tempat pendistribusian zakat dalam
keadaan darurat kebutuhan. Pada sesi tanya jawab bersama Oni Sahroni di salah
satu media sosial, ketika ditanya “apa yang menjadi sumber rujukan dari Al-qur’an
maupun Hadits mengenai investasi dana zakat”, Oni Sahroni menjawab bahwa
“tidak ada nash yang spesifik dan shahih yang membolehkan, oleh karena itu
dikembalikan pada kaidah umum bahwa kaidahnya adalah dana zakat itu tidak
untuk diendapkan, harus langsung di habiskan. Maksudnya, di salurkan untuk
mereka para dhuafa yang kritis akan kebutuhan yang prioritas, itu rumusnya.
Karena tidak ada tuntunan mengenai ini, bahkan jika merujuk pada imam nawawi,
tidak ada hadits bahkan yang ada adalah setiap dana zakat itu cepat disalurkan.
Sehingga investasi ini tidak boleh menjadi pilihan saat penyaluran zakat, boleh
namun dengan skala minimalis yakni sekian persen saja saat tidak ada dhuafa yang
darurat untuk dipenuhi, investasi syari’ah dan resiko terkendali”.
Penulis dalam melihat argumentasi Oni Sahroni mengenai investasi dana
zakat ini menggunakan metode qiyas. Qiyas adalah penetapan sebuah hukum yang
belum ada ketentuannya namun disandarkan dengan ketetapan hukum yang sudah
ada.18 Al-qur’an maupun hadits tidak menyebutkan secara mutlak mengenai
kebolehan investasi dana zakat, namun ada firman Allah SWT yang dapat dijadikan
sandaran yakni Q.S Al-An’am: 152:

ِ ِ ‫وجَل تج ْق رب وا م ج‬
ۖ ُ‫جش َّد ه‬
ُ ‫َّت يج بْ لُ جغ أ‬ ْ ‫ال ا لْ يج ت ي ِم إِ ََّل ِِب لَّ ِِت ه جي أ‬
ٰ َّ ‫جح جس ُن جح‬ ‫جُ ج‬ ‫ج‬
‫ف نج ْف ًس ا إِ ََّل ُو ْس جع جه ا ۖ جو إِ ذج ا‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫جوأ ْجو فُوا ا لْ جك ْي جل جوا لْ م جيزا جن ِِب لْ ق ْس ط ۖ جَل نُ جك ل‬

18
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1963), h. 128.
64

َّ ‫اَّللِ أ ْجو فُوا ۚ ٰجذ لِ ُك ْم جو‬


‫ص ا ُك ْم بِ ِه‬ َّ ‫َب ۖ جو بِ جع ْه ِد‬
ٰ ‫اع ِد لُوا جو لج ْو جك ا جن جذ ا قُ ْر ج‬ ْ ‫قُ ْل تُ ْم فج‬
‫لج جع لَّ ُك ْم تج جذ َّك ُرو جن‬
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat”.19

Jika investasi dana zakat ingin diqiyaskan dengan pengembangan harta anak
yatim, maka harus sesuai dengan rukun qiyas yang sudah ditentukan yakni al-ashlu,
hukmu al-ashlu, al-far’u, dan al-‘illah.20

Rukun Qiyas Argumentasi


al-ashlu Menginvestasikan harta anak
yatim
hukmu al-ashlu Boleh jika mendatangkan
kemaslahatan
al-far’u Menginvestasikan dana zakat
al-‘illah Dapat mengembangkan harta
dan mendatangkan maslahat
dikemudian hari.

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa investasi dana zakat yang


diqiyaskan dengan investasi harta anak yatim memiliki kesamaan pada illat yakni
dapat mengembangkan harta dan mendatangkan maslahat dikemudian hari.
Erwandi Tarmizi dalam mengeluarkan pendapatnya yang paling kuat adalah
tidak membolehkan atau melarang, maka dapat disimpulkan bahwa Erwandi

19
Indra Laksana, dkk, Syāmil Qur’an, h. 149.
20
Adnan Rosid, “Penggunaan Dana Zakat untuk Istitsmar (Investasi) (Studi
Komparatif Distribusi Zakat Menurut Wahbah Zuhaili dan Yusuf Qardhawi)”. Skripsi,
Jakarta: UIN Syarief Hidayatullah, 2019, h. 69.
65

Tarmizi tidak mendukung adanya investasi dana zakat. Pendapat ini merupakan
keputusan Al-Majmā' Al-Fiqh Al-Islāmī (divisi fikih Rabithah Alam Islami) pada
daurah ke XV tahun 1998. Isinya adalah “Zakat harus dikeluarkan sesegera
mungkin dan diberikan kepada mustahik yang ada pada saat zakat didistribusikan,
kepada para mustahik yang sudah disebutlah Allah dalam firmannya:

ِِّ َ‫ٱلرق‬
‫اب‬ ِّ ‫ف‬ ِ ِّ‫وُبُمِ َو‬ َِ ِّ‫ي َوٱل َع َِّٰمل‬
ُ ُ‫ي َعلَي َها َوٱل ُم َؤلََّف ِِّة قُل‬ ِِّ ‫ت لِّل ُف َقَرآِِّء َوٱل َم ََٰس ِّك‬ َّ ‫إََِّّّنَا‬
ُِ َ‫ٱلص َد َٰق‬
ِ‫ٱّللُ َعلِّيمِ َح ِّكيم‬
َِّ ‫ٱّللِِّۗ َو‬ َِّ ‫يضةِ ِّم َِن‬
َ ‫يلِۖ فَ ِّر‬ َّ ‫ٱّللِّ َوٱب ِِّن‬
ِِّ ِّ‫ٱلسب‬ َِّ ‫يل‬ ِِّ ِّ‫ف َسب‬ ِ ِّ‫ي َو‬ َِ ‫َوٱل َٰغَ ِّرِّم‬

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha
bijaksana”.21
Fatwa Dewan Ulama Kerajaan di Arab Saudi juga memperkuat hal ini,
terdapat pada fatwa No. 9056 menyatakan: “Lembaga-lembaga sosial yang
diizinkan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat tidak boleh
menginvestasikan harta zakat”. Harta Zakat harus diserahkan kepada mereka
setelah diperiksa bahwa mereka berhak menerimanya, karena Zakat bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin dan melunasi hutang orang yang
berhutang, dan investasi dana zakat dapat menghilangkan tujuan ini dan menunda
pendistribusian dalam waktu yang tidak pasti.

Dalil dari pandangan tersebut adalah sabda Nabi SAW. yakni :

ٍ ِ‫ال حدَّثجنجا ِعيسى بن يونُس عن عمر ب ِن سع‬ ٍ ِ


‫يد‬ ‫ج ْ ُ ُ ج ج ْ ُ جج ْ ج‬ ‫جحدَّثجنجا ُُمج َّم ُد بْ ُن عُبج ْيد بْ ِن جمْي ُمون قج ج ج‬
‫ال‬‫جخ ججَبِِن ابْ ُن أِجِب ُملجْي جكةج جع ْن عُ ْقبجةج قج ج‬
ْ ‫ال أ‬ ‫قج ج‬
ِ ِ ِ َّ ‫َّب صلَّى‬
ْ ‫اَّللُ جعلجْيه جو جسلَّ جم ِِبلْ جمدينجة الْ جع‬
‫صجر فج جسلَّ جم ُُثَّ قج جام ُم ْس ِر ًعا‬ ‫ت جوجراءج النِ ِ ج‬ ُ ‫صلَّْي‬
‫ج‬
‫َّاس ِم ْن ُس ْر جعتِ ِه فج جخجر جج جعلجْي ِه ْم‬ ُ ‫ع الن‬
ِِ ِ
‫ض ُح جج ِر ن جسائه فج جف ِز ج‬ ِ ‫َّاس إِ جَل بج ْع‬
ِ ‫اب الن‬ ‫فجتج جخطَّى ِرقج ج‬

21
Indra Laksana, dkk, Syāmil Qur’an, h. 197.
66

‫ت أج ْن جَْيبِ جس ِِن‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ت جشْي ئًا م ْن ت ٍَْب عْن جد جَن فج جك ِرْه‬ ‫فج جرأجى أج ََّّنُْم جع ِجبُوا ِم ْن ُس ْر جعتِ ِه فج جق ج‬
ُ ‫ال ذج جك ْر‬
‫ت بِِق ْس جمتِ ِه‬ ُ ‫فجأ ججم ْر‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid bin Maimun
berkata, telah menceritakan kepada kami 'Isa bin Yunus dari 'Umar bin Sa'id
berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah dari 'Uqbah
berkata, "Aku pernah shalat 'Ashar di belakang Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam di kota Madinah. Setelah salam, tiba-tiba beliau berdiri dengan
tergesa-gesa sambil melangkahi leher-leher orang banyak menuju sebagian
kamar isteri-isterinya. Orang-orang pun merasa heran dengan ketergesa-
gesaan beliau. Setelah itu beliau keluar kembali menemui orang banyak, dan
beliau lihat orang-orang merasa heran. Maka beliau pun bersabda: "Aku
teringat dengan sebatang emas yang ada pada kami. Aku khawatir itu dapat
menggangguku, maka aku perintahkan untuk dibagi-bagikan”.22 (H.R
Bukhori: 804)
Hadits ini menunjukkan bahwa menunda harta zakat merupakan perbuatan
yang dibenci oleh Rasulullah SAW. menginvestasikan termasuk menunda
penyerahan harta zakat kepada mustahik.23
Erwandi Tarmizi ketika ditanya “Dalam bahasan investasi harta zakat,
metode istinbathul ahkam atau ijtihad apa yang ustadz pakai sehingga
menghasilkan bahasan hukum investasi harta zakat?”, jawabannya adalah “Hukum
ashal pada ibadah tidak kita buat sendiri, zakat kan ibadah bukan bagian dari
muamalah bukan bagian dari adat hukum biasa, dia bagian dari ibadah. Karena dia
bagian dari ibadah maka harus ada landasan hukum dari al-qur’an, as-sunnah atau
ijma’ para ulama. Di masa rasulullah saw tidak ada pengembangan harta zakat, tapi
diberikan langsung kepada para mustahik. Di masa khulafaurrasyidin juga di masa
Umar, Umar dikenal ucapan beliau yakni bila kalian berikan zakat kepada para
mustahik cukupkan kebutuhannya setahun bukan untuk hidup seminggu, karena
zakat diambil satu tahun sekali oleh Negara. Pengembangan harta sudah ada sejak
rasulullah saw dibangkitkan, kalaulah hal tersebut bagus (investasi harta zakat)
tentu akan dilakukan oleh para pedagang-pedagang sukses di masa itu. Kalaulah itu
dibolehkan pasti rasulullah mengatakan kepada pedagang tersebut untuk

22
http://www.infotbi.com/hadis9/cari_hadist.php?imam=bukhari&keyNo=804& x
=0&y=0, diakses pada 30 Juni 2021 pukul 23.16.
23
Erwandi Tarmizi, Harta Haram, h. 50.
67

mengembangkan harta zakat, tapi ini tidak. Kalau tidak dilakukan oleh rasulullah,
padahal mungkin kalau dilakukan maka itu bid’ah namanya, dalam masalah ibadah
berbeda dengan selain ibadah, karena zakat kan ibadah”

Penulis dalam melihat argumentasi Erwandi Tarmizi mengenai investasi


dana zakat ini menggunakan ‫الذ ِريْعجة‬
َّ ‫ جس ُّد‬Saddu al-Dzarī’ah yakni Menghentikan segala

sesuatu untuk menghalangi sebuah kehancuran, atau memotong jalan


kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.24
Investasi dana zakat secara inheren tidak dapat diprediksi akan memperoleh untung
atau rugi di masa depan, menciptakan celah kerugian bagi mustahik dan itu
dilarang, yang terbaik adalah tidak menyentuh investasi sama sekali.
Perkembangan Fikih Islam semakin hari semakin pesat khususnya dalam
dunia ijtihad, semakin banyak permaslaahan baru yang tidak ada nash nya semakin
banyak pula mujtahid yang mencari cara dalam menemukan jalan keluar. Salah satu
piranti ijtihad yang memiliki sumbangsih cukup besar adalah Sadd al-dzarî`ah.
Namun, Sadd al-dzarî`ah tidak dapat digunakan jika hanya berpijak pada hawa
nafsu. Sadd al-dzarî`ah memiliki aturan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
tetap sejalan dengan hukum asal diturunkannya syari’ah. Terdapat beberapa syarat
yang menjadi standar Sadd al-dzarî`ah, diantaranya:25
1. Kerusakan yang didapat jauh lebih besar dengan kebaikan yang dirasakan.
Sedangkan jika kerusakan yang didapat lebih rendah dari kebaikan maka tidak
dibolehkan menggunakan Sadd al-dzarî`ah. Namun, jika kerusakan dan
kebaikan sama besarnya dalam sebuah masalah maka posisi Sadd al-dzarî`ah
dapat dibuka atau ditutup sesuai dengan yang dibutuhkan mayoritas
masyarakat setempat. Pada problem investasi dana zakat ini, Erwandi Tarmizi
lebih kuat pendapatnya melarang untuk melaksanakan investasi. Hitungannya,
jika BAZNAS membina 10 mustahik untuk menjalankan investasi
menggunakan dana zakat, ketika di tengah perjalanan ada kerugian maka yang

24
A. Hanafie, Ushul Fiqh, h. 147.
25
http://almuflihun.com/syarat-realisasi-kaidah-sadd-al-dzariah/, diakses pada 30
Agustus 2021 pukul 10.23.
68

merasakan dampaknya adalah semua mustahik yang ada pada daerah binaan
itu dilaksanakan yakni jumlahnya lebih banyak dari yang dibina.
2. Sadd al-dzarî`ah tidak berseberangan dengan maqâshid syariah.
Tujuan dasar diturunkannya syari’at adalah segala sesuatu yang diperintahkan
Allah Swt. selalu membawa kebaikan bagi umat-Nya. Sedangkan larangan
yang ditetapkan memiliki tujuan tersendiri yakni demi menjaga umat manusia
agar tidak terjerumus pada keburukan. Penerapan Sadd al-dzarî`ah harus
sejalan dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah, jika tidak dikhawatirkan
akan menimbulkan kerusakan bagi banyak orang. Maksudnya, setiap hal yang
ada pasti selalu dibarengi kebaikan dan kerusakan didalamnya. Ketika
kebaikan lebih besar maka boleh dilakukan, namun jika kerusakan yang lebih
besar maka harus di tinggalkan. Bila kebaikan dan kerusakan sama kuatnya,
maka untuk menjaga kehati-hatian, kerusakan akan mengalahkan kebaikan.
Pada investasi dana zakat ini, jika dipraktikkan pada para mustahik dan berhasil
maka akan mendatangkan kemaslahatan untuk mustahik. Namun, jika dalam
praktiknya gagal maka menimbulkan mafsadat lebih besar bagi para mustahik.
Dari dua kemungkinan tersebut sama-sama kuat nya antara manfaat dan
mafsadat, maka yang diambil yakni memotong mafsadat tersebut sebelum
terjadi yakni lebih baik tidak menyentuhnya sama sekali.
3. Sadd al-dzarî`ah tidak berseberangan dengan prinsip dasar dan kaidah umum
syariah. Prinsip dasar tersebut tidak terlepas dari kebaikan untuk umat-Nya
yang bersifat universal, moderat dan adil sesuai dengan ruang dan waktu.
Penerapan Sadd al-dzarî`ah harus berdasarkan prinsip dan kaidah umum ini
agar tidak menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Prinsip dasar
pendistribusian zakat adalah dibagi habis untuk para mustahik didaerah tempat
pendistribusian. Jika dana zakat di investasikan, maka pendistribusian kepada
para mustahik tertunda dan itu bertentangan dengan prinsip dasar
pendistribusian zakat.
4. Tidak menghilangkan hak yang telah ditetapkan syariah.
Dalam Islam hak merupakan anugerah dari Allah Swt. yang terdapat dalam
nash syari’ah, maka hak syariah hanya dapat diketahui melalui dalil. Namun,
69

setiap manusia memiliki batasan-batasan terhadap hak yang dimilikinya.


Batasan tersebut terkait kebaikan dan kerusakan yang berdampak pada
masyarakat sekitar. Hak tidak dapat digunakan jika dapat menimbulkan
kerusakan pada orang lain. Maka, tidak ada hak yang penuh dalam ajaran
Islam. Erwandi Tarmizi dalam pendapatnya tetap mempertahankan bahwa
dana zakat harus dibagi habis untuk para mustahik, karena memang itu sudah
menjadi hak para mustahik. Jika dana zakat diinvestasikan, dengan sifat
investasi yang tidak pasti akan mendatangkan untung atau rugi dikemudian
hari, maka jika yang datang adalah kerugian secara otomatis akan merugikan
mustahik yang lain. Jadi, lebih baik dibagi habis agar hak para musthahik
terpenuhi secara adil.
5. Sadd al-dzarî`ah tidak dapat digunakan jika penggunaanya menimbulkan
keterbelakangan dan kemunduran umat Islam. Ketika dana zakat dibagi habis
kepada para mustahik yakni tidak di investasikan, maka yang terjadi adalah
badan pengelola zakat tetap mempertahankan apa yang dilakukan rasulullah
dulu yang membenci jika ada harta zakat yang tersimpan dan tidak langsung
didistribusikan. Hal ini tidak menjadikan kemunduran ataupun
keterbelakangan, hanya saja tetap pada posisi seharusnya.
Sadd al-dzarî`ah memiliki lima syarat dalam penggunaannya, dan investasi
dana zakat memenuhi seluruh syarat tersebut. Dengan demikian saddu dzari’ah
memotong peluang jalannya kerusakan sebelum terjadi dan merugikan para
mustahik.

C. Relevansi Investasi Dana Zakat menurut Oni Sahroni dan Erwandi


Tarmizi dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di
Indonsia

Setelah dijelaskan di atas mengenai investasi dana zakat menurut Oni


Sahroni dengan Erwandi Tarmizi, jika dianalisis mengenai pendapat dari kedua
tokoh tersebut terdapat persamaan dan perbedaan dalam argumentasinya masing-
masing, diantaranya adalah :
70

1. Persamaan antara Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi dalam hal


pendistribusian dana zakat. Harta yang sudah terkumpul pada suatu
lembaga/amil zakat menjadi kewajiban lembaga tersebut dalam hal
pendistribusiannya. Dalam hal ini, Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi satu
pendapat bahwa harta yang sudah terkumpul wajib untuk segera didistribusikan
kepada para mustahik. Argumentasi Oni Sahroni terdapat pada salah satu poin
utama audit syariah yang ditegaskan Kementerian Agama terhadap lembaga
amil zakat bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran zakat. Adapun
Erwandi Tarmizi berargumentasi pada keputusan Al-Majmā' Al-Fiqh Al-Islāmī
(divisi fikih Rabithah Alam Islami) pada daurah ke XV tahun 1998. Isinya adalah
“Zakat harus dikeluarkan sesegera mungkin dan diberikan kepada mustahik yang
ada pada saat zakat didistribusikan”.
2. Perbedaan pendapat antara Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi terdapat
beberapa point :
a. Dalam hal pendayagunaan, antara Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi
berbeda pendapat. Menurut Oni Sahroni, pendistribusian kepada para
mustahik jika sudah terpenuhi semua kebutuhan nya baik kebutuhan
konsumtif maupun kebutuhan darurat, maka boleh didayagunaan untuk
usaha produktif seperti investasi dana zakat. Berbeda dengan pedapat
Erwandi Tarmizi, melarang keras adanya pengelolaan dana zakat dalam hal
investasi, bahkan ketika kebutuhan para mustahik sudah terpenuhi semua
pun tetap melarang untuk di investasikan sisanya. Erwandi tarmizi
beranggapan jika invetasi hanya menjadi peluang datang nya kerugian
dengan sifat investasi yang tidak pasti akan untung dan rugi dikemudian hari,
dikhawatirkan dengan adanya kerugian menjadikan hak para mustahik hilang
dengan percuma.
b. Konsep pemikiran, pandangan Oni Sahroni dengan Erwandi Tarmizi yang
berbeda maka dalam hal konsep pemikirannya pun berbeda pula. Oni
Sahroni memakai qiyas, karena memiliki kesamaan illat yakni dapat
mengembangkan harta dan mendatangkan maslahat dikemudian hari.
Sedangkan Erwandi Tarmizi memakai Saddu al-Dzari’ah, memotong
71

jalannya kerusakan untuk mencegah kemadharatan. Sifat investasi yang


belum jelas akan untung dan rugi, menjadikan peluang datangnya kerugian.
Maka sebelum itu terjadi lebih baik tidak menyentuh nya sama sekali.

Melihat pendapat, argumentasi, bahkan analisis dari kedua tokoh tersebut,


sudah jelas bahwa investasi dana zakat ini memiliki posisi sendiri dalam diri
mustahik maupun pemerintahan. Di Indonesia, sumber hukum utama masyarakat
pun mengatur tentang adanya pendayagunaan zakat produktif, yakni terdapat pada
UU No. 23 Tahun 2011 Bagian Ketiga Pasal 27 Ayat 1, 2 dan 3 tentang Pengelolaan
Zakat di Indonesia. Adapun bunyi pasal tersebut adalah26 :
1. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan
fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
2. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pada pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa zakat dapat didayagunakan untuk


usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas
umat, yang dimaksud pada pasal ini secara umum membahas mengenai dana zakat
yang didistribusikan untuk zakat produktif. Namun, dalam wacana zakat produktif
ada yang dinamakan investasi dana zakat didalamnya. Sebenarnya, investasi dana
zakat terbagi menjadi 3 seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu investasi
yang dilakukan oleh mustahik zakat (orang berhak menerima zakat) setelah dia
menerimanya, investasi yang dilakukan oleh muzakki (orang yang berkewajiban
membayar zakat), dan investasi yang dilakukan oleh badan pengelola yang
memiliki wewenang untuk mengawasi/pengumpulan harta zakat.27 Topik yang

26
Lembaran Negara RI, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat”. Jakarta: 25 november 2011. Bagian 3 Pasal 27.
27
Amru, “Investasi Dalam Pengelolaan Harta Zakat Dalam Islam”, h. 125-126.
72

diangkat pada skripsi ini tentang investasi yang dilakukan oleh badan pengelola
zakat yang bekerjasama dengan para mustahik.

Bunyi pasal yang sudah dituliskan sebelumnya mengandung beberapa point,


yang jika diuraikan sebagai berikut:
1. Pada ayat 1 terdapat kata didayagunakan, kata ini berasal dari pendayagunaan
yang berarti pemeliharaan yang dapat mendatangkan hasil dan manfaat, dan
dapat juga diartikan dengan meningkatkan atau memaksimalkan kegunaan.28
Jika pendayagunaan ini dipraktikkan dalam pengelolaan dana zakat, dapat
menciptakan hal-hal yang produktif dan memberikan nilai lebih dari sekedar
untuk makan para mustahik.29 Manfaat yang dirasakan oleh mustahik pun
bersifat jangka panjang, tidak sekedar habis untuk beberapa hari saja.
2. Selanjutnya yaitu usaha produktif, yang berarti segala upaya yang dilakukan
oleh kelompok untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.30 Mengelola zakat
untuk usaha produktif juga dapat diartikan sebagai segala usaha yang dapat
menghasilkan keuntungan (profit), memiliki pasar yang potensial dan dikelola
dengan manajemen yang baik. Selain itu, usaha-usaha tersebut menjadi milik
para mustahik yang bergerak disektor yang halal. Upaya seperti ini yang menjadi
sasaran zakat produktif.31
3. Dua point di atas jika dipraktikkan bisa menciptakan dampak yang besar, baik
untuk mustahik itu sendiri maupun untuk masyarakat dan pemerintah dalam
penanggulangan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Tidak dapat
dipungkiri bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih belum terkendali
bahkan semakin bertambah tiap tahunnya, dengan hadirnya zakat produktif di

28
Aab Abdullah, “Strategi Pendayagunaan Zakat Produktif Studi BAZ Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat”, Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 1 No.
1 (2013), h. 2-3.
29
Citra Nisaul Fadilah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Penyaluran Dana Zakat
Pada Program Operasi Katarak Di Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) Surabaya”,
Skripsi, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016. h. 73.
30
Dudi Supriyadi, “Upaya Menumbuhkan Kegiatan usaha Ekonomi Produktif Oleh
Perguruan Tinggi”, Journal Coopetition Vol. VIII No. 1 (2017), h. 18.
31
Aab Abdullah, “Strategi Pendayagunaan Zakat Produktif Studi BAZ Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat”, h. 9.
73

harapkan dapat meningkatkan taraf ekonomi mustahik. Peningkatan kualitas


umat ini diharapkan mengubah para mustahik menjadi muzakki, dengan begitu
sedikit demi sedikit angka kemiskinan di Indonesia berkurang.
4. Zakat produktif boleh dilaksanakan jika kebutuhan dasar mustahik telah
terpenuhi. Secara umum pendistribusian dana zakat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu pendistribusian yang bersifat konsumtif dan produktif. Pendistribusian
dana zakat konsumtif biasanya diberikan dalam bentuk bantuan yang langsung
habis, seperti bahan makanan, sembako, dan kebutuhan pokok. Sedangkan
pendistribusian produktif adalah penyaluran yang diberikan kepada mustahik
yang tujuannya untuk memberdayakan mereka di bidang ekonomi, pendidikan
dan kesehatan.32 Penyaluran yang bersifat konsumtif ini lah yang harus
didahulukan untuk disalurkan kepada para mustahik, ketika kebutuhan
konsumtif tiap mustahik sudah terpenuhi semua, maka sisa dana zakat bisa di
kelola untuk kebutuhan produktif mustahik.
Ayat 3 berbunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat
untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri”. Peraturan Menteri No. 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara
Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha
Produktif pada BAB IV Pasal 32 sampai 36, yakni33 :
1) Pasal 32 berbunyi Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam
rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
2) Pasal 33 berbunyi Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan dengan
syarat:
a. apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi;
b. memenuhi ketentuan syariah;
c. menghasilkan nilai tambah ekonomi untuk mustahik; dan

32
Citra Nisaul Fadilah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Penyaluran Dana Zakat
Pada Program Operasi Katarak Di Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) Surabaya”, h.
73-74.
33
Lembaran Negara RI, “Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52
Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta
Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif”. Jakarta: 28 November 2014. Bab IV Pasal
32-36.
74

d. mustahik berdomisili di wilayah kerja lembaga pengelola zakat.


3) Pasal 34 berbunyi Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dapat dilakukan
paling sedikit memenuhi ketentuan:
a. penerima manfaat merupakan perorangan atau kelompok yang memenuhi
kriteria mustahik; dan
b. mendapat pendampingan dari amil zakat yang berada di wilayah domisili
mustahik.
4) Pasal 35
(1)Lembaga pengelola zakat wajib melaporkan pendayagunaan zakat untuk
usaha produktif.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berjenjang
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. lembaga pengelola zakat pada tingkat kabupaten/kota menyampaikan
laporan kepada BAZNAS tingkat provinsi dan bupati/walikota;
b. lembaga pengelola zakat pada tingkat provinsi menyampaikan laporan
kepada BAZNAS dan gubernur; dan
c. BAZNAS menyampaikan laporan kepada Menteri.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam)
bulan dan akhir tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas mustahik;
b. identitas lembaga pengelola zakat;
c. jenis usaha produktif;
d. lokasi usaha produktif;
e. jumlah dana yang disalurkan; dan
f. perkembangan usahanya.
5) Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan usaha produktif diatur
oleh BAZNAS.
Pemaparan mengenai pendapat tentang investasi dana zakat jika
direlevansikan dengan UU No. 23 Tahun 2011 bagian ketiga pasal 27 ayat 1, 2 dan
3 yang memiliki keterkaitan bisa dilihat pada bagan dibawah ini:
75

SYARAT DIBOLEHKANNYA INVESTASI DANA ZAKAT

UU No. 23 tahun 2011


(Peraturan Menteri Oni Sahroni Erwandi Tarmizi
No. 52 tahun 2014)
1. Apabila kebutuhan Tidak ada mustahik yang Harta zakat yang
dasar mustahik telah membutuhkan bantuan diinvestasikan
terpenuhi; darurat. merupakan sisa dari harta
zakat yang dibagikan
untuk kebutuhan pokok
para mustahik
2. Memenuhi ketentuan Investasi yang halal -
syariah;
3. Menghasilkan nilai Memiliki manfaat jangka -
tambah ekonomi panjang bagi mustahik
untuk mustahik;
4. Mustahik berdomisili Penyertaan modal zakat -
di wilayah kerja jumlahnya terbatas
lembaga pengelola
zakat.
5. - Resiko terkendali -
6. - - Ada jaminan dari pihak
pengelola

Jika dilihat dari pendapat Erwandi Tarmizi, memang mengeluarkan


pendapat pada awal bahasannya bahwa membolehkan dengan dua syarat diatas, dan
dari dua syarat tersebut yang relevan hanya satu, maka bisa diputuskan ada
relevansi antara Erwandi Tarmizi dengan UU No. 23 tahun 2011 yakni pada syarat
“membolehkan investasi dana zakat jika kebutuhan para mustahik sudah
terpenuhi”. Namun, pendapat kedua lah yang dianggap paling kuat baik dari segi
argumentasi maupun dalilnya yakni melarang adanya investasi dana zakat.
Menganggap bahwa investasi dana zakat hanya menjadi pembuka untuk datangnya
kemadharatan. Sifat investasi yang tidak bisa diprediksi untung rugi nya
dikemudian hari, membuat investasi menjadi peluang adanya kerugian atas
pengelolaan dana zakat. Terlepas dari itu, Erwandi tarmizi beranggapan bahwa
investasi dana zakat melanggar aturan syari’at yang memerintahkan untuk
76

membagikan dana zakat secepat mungkin setelah harta zakat terkumpul, sedangkan
jika di investasikan maka pendistribusiannya tertunda dan dikhawatirkan banyak
mustahik yang kritis bantuan.
Pertanyaan timbul dari penulis “Bagaimana tanggapan ustadz mengenai UU
No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di Indonesia khususnya pada pasal 27
ayat 1-3 tentang kebolehan melaksanakan zakat produktif, yang didalam zakat
produktif terdapat investasi harta zakat?”, jawabannya adalah “Apabila kebutuhan
fakir miskin telah terpenuhi. Tapi kenyataannya pada lapangan bisa diterapkan di
Indonesia? dulu pada masa Suharto 27 juta, dulu penduduk Indonesia masih 190
juta-an. Sekarang tentu semakin banyak jumlah fakir miskin karena semakin
banyak pula penduduk Indonesia. Belum lagi musibah yang melanda Indonesia
seperti gempa, longsor, dll. Jumlah dana yang terkumpul tidak bisa memenuhi
kebutuhan mustahik selama satu tahun, paling cuma satu minggu habis.
Kemungkinan untuk diinvestasikan hampir tidak ada, karna dana zakat mungkin
saja malah kurang, dan UU percuma saja tidak terlaksana”
Oni Sahroni dalam bagan menyebutkan lima syarat membolehkan investasi
dana zakat, dan empat dari lima syarat tersebut terpenuhi atau sama dengan syarat
yang ada dalam Peraturan Menteri. Adapun syarat tersebut adalah:
1. Investasi yang halal dan resiko terkendali
2. Memiliki manfaat jangka panjang bagi mustahik
3. Jumlahnya terbatas
4. Tidak ada mustahik yang membutuhkan bantuan darurat.

Menariknya, Oni Sahroni bahkan memiliki satu syarat lagi yang tidak ada
pada Peraturan Menteri, yakni “Resiko Terkendali”. Membuktikan bahwa adanya
kehati-hatian yang ditawarkan Oni Sahroni dalam menjalankan investasi dana
zakat. Syarat yang menjadi argumentasi Oni Sahroni mengenai kebolehan investasi
dana zakat sepenuhnya relevan dengan UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat di Indonesia.
Dalam sebuah sesi tanya jawab bersama Oni Sahroni penulis menanyakan
perihal tanggapan Oni Sahroni mengenai UU No. 23 tahun 2011 tentang
77

pengelolaan zakat di Indonesia khususnya pada pasal 27 ayat 1-3 yang


membolehkan adanya zakat produktif?
Adapun jawabannya adalah “sebenarnya zakat produktif itu diperbolehkan,
yang dimaksud zakat produktif itu sebagian donasi yang terhimpun itu di
investasikan, di sektor usaha yang halal dengan resiko yang terkendali nanti
benefitnya itulah yang akan disalurkan kepada para dhuafa. Nah jika ini yang
dimaksud maka zakat produktif itu diperbolehkan, dengan memenuhi ketentuan-
ketentuan diantaranya adalah tidak ada mustahik dhuafa darurat di daerah tempat
pendistribusian zakat. jadi kalau tidak ada boleh diinvestasikan, tetapi jika masih
banyak maka ideal nya zakat itu disalurkan secara tunai saja. Jadi secara prinsip
bahwa investasi zakat sudah sesuai dengan ketentuan fatwa atau keputusan fikih
baik keputusan komisi fatwa MUI terkait dan juga keputusan fikih dari standar
syari’ah internasional AAOIFI di Bahrain tentang zakat”.
Adanya investasi dana zakat ini diharapkan bisa bermanfaat jangka panjang
bagi para mustahik. Pendistribusian dana zakat dengan cara di investasikan
merupakan salah satu langkah awal menuju perubahan paradigma zakat yang
selama ini hanya bersifat konsumtif. Pendayagunaan seperti ini diharapkan dapat
memenuhi fungsi untuk menanggulangi masalah sosial. Model zakat produktif ini
bisa meningkatkan kualitas mustahik untuk berjuang bersama menjadi muzakki, ini
merupakan salah satu cara dalam penanganan fakir miskin yang nantinya sedikit
demi sedikit membantu dalam penanggulangan angka kemiskinan di Indonesia.34

34
Aden Rosadi, Zakat dan Wakaf, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2019), h.
76.

Anda mungkin juga menyukai