Abstract
Determination of criminal act as crime and violation in special criminal laws have juridical implications of
material and formal juridical. Material juridical implications of the establishment of criminal offenses as
crimes and violation in special criminal laws outside the Penal Code deals with the problem of “national
principle active”, “trials of crime”, “criminal acts of assistance”, “concursus”, “prosecution expired”,
and “shelf implementation of the criminal”. While the formal juridical implications of the establishment of
criminal offenses as crimes and violations in the special criminal laws outside the Penal Code relating to
arrest and detention issues set out in the Code of Criminal Procedure.
Keywords: crime, violation, juridical implication.
Intisari
Penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus memiliki
implikasi yuridis materiil dan yuridis formal. Penetapan kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai kejahatan
dan pelanggaran ini diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP dan KUHAP
terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang pidana khusus. Implikasi yuridis materiil dari
penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran berkaitan dengan masalah “asas nasional
aktif”, “percobaan tindak pidana”, “pembantuan tindak pidana”, “perbarengan tindak pidana”, “daluwarsa
penuntutan”, dan “daluwarsa pelaksanaan pidana”. Implikasi yuridis formal dari penetapan tindak pidana
sebagai kejahatan dan pelanggaran berkaitan dengan masalah penangkapan dan penahanan dalam KUHAP.
Kata Kunci: kejahatan, pelanggaran, implikasi yuridis.
Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 390
B. Metode Penelitian .............................................................................................................................. 392
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ...................................................................................................... 393
1. Realita Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam
Undang-Undang Pidana Khusus ................................................................................................... 393
2. Implikasi Yuridis Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam
Undang-Undang Pidana Khusus ................................................................................................... 395
D. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 402
*
Hibah Penelitian dari Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Hukum UGM Tahun 2015.
**
Alamat korespondensi: supriyadi@ugm.ac.id
390 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
1
Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 11. Pernyataan ini menyitir dari pendapatnya Saparinah Sadli yang mengemukakan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan “perilaku
menyimpang” adalah “tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif yang berlaku”.
2
Marc Ancel, 1965, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Paul Kegan, London, hlm. 99.
3
Barda Nawawi Arief, Loc.cit.
4
Ibid., hlm. 12.
5
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 39.
6
Ibid., hlm. 138-139.
7
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 59-60.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 391
memberi sanksi pidana terhadap aturan-aturan Beire dan James Messerschmidt mengemukakan
mengenai salah satu bidang yang terletak di luar bahwa tindak pidana atau perbuatan pidana itu
hukum pidana, misalnya Undang-Undang Pokok disebut sebagai legal definition of crime yang dapat
Agraria.8 Bertolak dari pandangan Sudarto tersebut dibedakan menjadi mala in se dan mala prohibita.
dapat disimpulkan bahwa undang-undang pidana Mala in se yang disebut sebagai kejahatan merupakan
khusus di luar KUHP mencakup undang-undang perbuatan-perbuatan yang sejak awal dirasakan
pidana dalam arti sesungguhnya dan undang- sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan
undang administrasi yang di dalamnya memuat dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat sebelum
ketentuan pidana. ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu
Dengan menggunakan nomenklatur yang perbuatan pidana. Sedangkan mala prohobita
berbeda, Indriyanto Seno Adji menyebut undang- yang diidentikkan dengan pelanggaran merupakan
undang pidana khusus di luar KUHP dalam arti perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-
sesungguhnya di atas sebagai hukum pidana khusus undang sebagai suatu ketidakadilan.10
yang bersifat “intra aturan pidana”. Undang-undang Eddy O.S. Hiariej mengemukakan lebih
pidana yang dapat dimasukkan sebagai hukum lanjut bahwa dalam kosa kata lain perbedaan antara
pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana mala in se dan mala prohibita oleh para ahli hukum
yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dibedakan menjadi felonies dan misdemeanors.
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Demikian pula dalam kosa kata Belanda yang
dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana membedakan kualifikasi perbuatan pidana ke dalam
Terorisme. Sedangkan undang-undang administrasi misdrijf (kejahatan) dan overtreding (pelanggaran).
yang di dalamnya memuat ketentuan pidana disebut Dalam konteks ini, misdrijf lebih mengarah kepada
sebagai hukum pidana khusus yang bersifat “ekstra rechtsdelicten (mala in se), sedangkan overtreding
aturan pidana”. Undang-undang pidana yang dapat lebih mengarah kepada wetsdelicten (mala
dimasukkan sebagai hukum pidana khusus yang prohibita).11
bersifat ekstra aturan pidana yaitu Undang-Undang KUHP yang merupakan induk peraturan
Kehutanan, Undang-Undang Keimigrasian, Un hukum pidana di Indonesia masih membedakan
dang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasal tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran.
Modal, Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Penetapan tindak pidana sebagai kejahatan diatur
lain-lain. Undang-undang pidana yang bersifat dalam Buku Kedua KUHP, sedangkan penetapan
ekstra aturan pidana inilah yang disebut sebagai tindak pidana sebagai pelanggaran ditempatkan
“Adminitrative Penal Law”9 atau hukum pidana dalam Buku Ketiga KUHP. Hal tersebut berbeda
administrasi. dengan RUU KUHP (2012) yang ternyata tidak
Dalam bab “ketentuan pidana” undang- lagi mengkualifikasikan tindak pidana menjadi
undang pidana khusus di luar KUHP yang bersifat kejahatan dan pelanggaran. Dalam Penjelasan
intra aturan pidana maupun ekstra aturan pidana Umum RUU KUHP disebutkan bahwa RUU
pada dasarnya dirumuskan perbuatan-perbuatan KUHP tidak membedakan lagi antara tindak pidana
yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan
atau sering dikenal dengan istilah “tindak pidana” tindak pidana pelanggaran (overtredingen). Untuk
atau “perbuatan pidana”. Berkaitan dengan hal ini, keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan
Eddy O.S. Hiariej yang mengutip bukunya Piers demikian, RUU KUHP hanya terdiri atas 2 (dua)
8
Ibid., hlm. 63-64.
9
Indriyanto Seno Adji, “Administrative Penal Law: Kearah Konstruksi Pidana Limitatif”, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi,
Yogyakarta, 23-27 Februari 2014.
10
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 101-102.
11
Ibid., hlm. 102.
392 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
12
Barda Nawawi Arief, 2010, Op.cit., hlm. 61.
13
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 9-10.
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 14.
15
Ibid., hlm. 74-75.
16
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 52.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 393
Data sekunder dalam penelitian ini dibedakan lebih c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
lanjut ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Un
sekunder maupun bahan hukum tersier.17 Bahan
dang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
hukum primer sebagai bahan hukum yang utama Pemberantasan Tindak Pidana Teroris
dan mengikat terdiri dari undang-undang pidana me Menjadi Undang-Undang;
khusus yang bersifat intra aturan pidana dan ekstra d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
aturan pidana 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
Cara pengumpulan data sekunder dalam e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepus 2010 tentang Pencegahan dan Pem
takaan, sedangkan alat pengumpulan dilakukan berantasan Tindak Pidana Pencucian
dengan studi dokumen. Dalam penelitian ini Uang;
f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
terdapat dua metode pendekatan digunakan untuk
2013 tentang Pencegahan dan Pem
mencari dan menemukan jawaban permasalahan. berantasan Tindak Pidana Pendanaan
Pertama, pendekatan undang-undang atau statute Terorisme; dan
approach yang dilakukan dengan cara menelaah g. Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pem
semua peraturan perundang-undangan yang
berantasan Perusakan Hutan.
berkaitan dengan permasalahan penelitian.18 Kedua,
Hasil kajian terhadap ketujuh undang-undang
pendekatan konseptual atau conceptual approach.
pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana di
Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang
atas menunjukkan bahwa undang-undang pidana
bertolak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
khusus a quo tidak semuanya menetapkan dan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
membedakan tindak pidananya menjadi kejahatan
Pemahaman terhadap pandangan-pandangan dan
dan pelanggaran. Undang-undang pidana khusus
doktrin-doktrin tersebut dapat menjadi sandaran
yang bersifat intra aturan pidana yang menetapkan
dalam membangun dan memecahkan permasalahan
dan membedakan tindak pidananya menjadi
penelitian.19 Analisis data dalam penelitian ini
kejahatan dan pelanggaran hanya dijumpai dalam
dilakukan secara kualitatif.
Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 atau Undang-
Undang Tindak Pidana Ekonomi.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Meskipun undang-undang pidana khusus
1. Realita Penetapan Tindak Pidana sebagai
yang bersifat intra aturan pidana tidak menetapkan
Kejahatan dan Pelanggaran dalam
dan membedakan tindak pidana menjadi kejahatan
Undang-Undang Pidana Khusus
dan pelanggaran, namun dalam undang-undang
Dalam penelitian ini dikaji 7 (tujuh) undang-
pidana khusus a quo membuat aturan khusus
undang pidana khusus yang bersifat intra aturan
menyangkut ancaman pidana terhadap percobaan
pidana. Ketujuh undang-undang tersebut adalah:
dan/atau pembantuan tindak pidana. Aturan khusus
a. Undang-Undang Nomor 7/Drt./1955
tersebut dapat ditemukan dan dilihat dalam Pasal
tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo.
Tahun 2000 tentang Pemberantasan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi;
Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 10 Undang-Undang
17
Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 52.
18
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 93.
19
Ibid., hlm. 95.
394 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
Nomor 21 Tahun 2007, Pasal 10 Undang-Undang pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
Nomor 8 Tahun 2010, dan Pasal 5 Undang-Undang percobaan dapat dikurangi sepertiga”. Sedangkan
Nomor 9 Tahun 2013. Pasal 57 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “dalam
Aturan khusus mengenai ancaman pidana hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
untuk percobaan dan pembantuan tindak pidana kejahatan, dikurangi sepertiga”.
dalam undang-undang di atas pada hakikatnya Dalam penelitian ini dikaji undang-undang
merupakan penyimpangan dari aturan umum pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana
pemidanaan percobaan tindak pidana dalam Pasal atau undang-undang administrasi yang di dalamnya
54 ayat (2) KUHP dan Pasal 57 ayat (1) KUHP, memuat ketentuan pidana yang diterbitkan sejak
dimana ancaman pidananya dikurangi sepertiga tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Hasil
dari maksimum ancaman pidana pokok. Pasal 54 penelusuran undang-undang pidana khusus a quo
ayat (2) KUHP menyatakan bahwa “maksimum dapat dipaparkan dalam tabel di bawah ini.
Jumlah 294 84 77 7 -
Sumber: Data Olahan Penulis.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui Namun demikian, dari 84 (delapan puluh empat)
bahwa selama 2005-2014 telah diterbitkan 294 undang-undang yang memuat ketentuan pidana
(dua ratus sembilan puluh empat) undang-undang, tersebut ternyata hanya terdapat 7 (tujuh) undang-
dimana sebanyak 84 (delapan puluh empat) undang- undang pidana yang membedakan dan menetapkan
undang yang di dalamnya memuat ketentuan pidana. tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 395
21
Ibid., hlm. 148.
22
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hlm. 33.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 397
23
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11-12.
24
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit., hlm. 274.
398 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
25
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 169-170.
26
Ibid., hlm. 169.
400 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
tersebut dalam Pasal 302 ayat (1), 352, nuntutan ditentukan dalam Pasal 78
364, 373, 379, dan 482 KUHP dianggap ayat (1) KUHP yang menegaskan
sebagai pelanggaran, tetapi dengan bahwa kewenangan menuntut pidana
pengertian bahwa, jika dijatuhkan hapus karena daluwarsa:
pidana-pidana penjara atas kejahatan a) mengenai semua pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan
itu, jumlahnya paling banyak adalah
dengan percetakan, sesudah
delapan bulan. Bertolak dari Pasal 65, satu tahun;
66, 70 dan 70 bis KUHP di atas jelaslah b) mengenai kejahatan yang
bahwa pembedaan kualifikasi yuridis diancam dengan denda,
tindak pidana menjadi kejahatan kurungan atau pidana
penjara paling lama tiga
dan pelanggaran memiliki implikasi tahun, sesudah enam tahun;
yuridis terkait dengan mekanisme c) mengenai kejahatan yang
pemidanaan perbarengan perbuatan diancam dengan pidana
(concursus realis). penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
5) Daluwarsa Penuntutan
d) mengenai kejahatan yang
Latar belakang pemikiran dia diancam dengan pidana mati
tur
nya daluwarsa penuntutan tidak atau pidana penjara seumur
bisa dilepaskan dari kemampuan hidup, sesudah delapan belas
tahun.
daya ingat manusia dan keadaan
Bertolak dari Pasal 78 ayat
alam yang memungkinkan petunjuk
(1) KUHP di atas jelaslah bahwa
alat bukti lenyap atau tidak memiliki
pembedaan kualifikasi yuridis tindak
nilai untuk hukum pembuktian. Daya
pidana menjadi kejahatan dan pelang
ingat manusia baik sebagai terdakwa
garan memiliki implikasi yuridis
ataupun sebagai saksi seringkali
terkait dengan penghitungan tenggang
tidak mampu untuk menggambarkan
waktu daluwarsa penuntutan. Dalam
kembali atas kejadian masa lalu.
kerangka demikian, lamanya tenggang
Akibatnya, bahan pembuktian yang
waktu daluwarsa penuntutan atas
diperlukan dalam perkara semakin
tindak pidana berupa pelanggaran lebih
sulit dipertanggungjawabkan yang
pendek dibandingkan dengan lamanya
disebabkan oleh kerusakan dan lain-
tenggang daluwarsa penuntutan untuk
lainnya. Oleh karena itu, kemanfaatan
tindak pidana kejahatan. Demikian
untuk menuntut perkara pidana yang
pula, tindak pidana kejahatan yang
dapat diragukan kebenarannya karena
diancam dengan pidana yang ringan,
peristiwanya sudah terlalu lama terjadi,
maka lamanya tenggang waktu
akan lebih berfaedah untuk tidak
daluwarsa penuntutan akan lebih
menuntut berhubung dengan alasan
pendek dibandingkan dengan tindak
tenggang waktu. Dengan demikian,
pidana kejahatan yang diancam dengan
pembentuk undang-undang memilih
pidana penjara yang berat.
kebijaksanaan wewenang menuntut
6) Daluwarsa Pelaksanaan Pida
hapus karena daluwarsa dengan teng
na
gang waktu tertentu.27
Pembentuk undang-undang ter
Tenggang waktu daluwarsa pe
27
Ibid., hlm. 198-199.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 401
28
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta,
hlm. 363-364.
29
Pasal 1 angka 20 KUHAP.
30
Pasal 16 KUHAP dan penjelasannya.
402 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403
31
Barda Nawawi Arief, 2008, Op.cit., hlm. 363.
32
Pasal 1 angka 21 KUHAP.
33
Barda Nawawi Arief, 2008, Loc.cit.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 403
Undang Nomor 7 Tahun 2011, Undang-Undang pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus,
Nomor 23 Tahun 2011, dan Undang-Undang baik yang bersifat intra aturan pidana maupun
Nomor 8 Tahun 2012. Kedua, penetapan tindak ekstra aturan pidana, berkaitan dengan masalah
pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam “asas nasional aktif”, “percobaan tindak pidana”,
undang-undang pidana khusus memiliki implikasi “pembantuan tindak pidana”, “perbarengan tindak
yuridis materiil maupun yuridis formal. Penetapan pidana”, “daluwarsa penuntutan”, dan “daluwarsa
kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai kejahatan pelaksanaan pidana”. Implikasi yuridis formal dari
dan pelanggaran ini diperlukan untuk “menjem penetapan tindak pidana se bagai kejahatan dan
batani” berlakunya aturan umum KUHP dan KUHAP pelanggaran dalam dalam undang-undang pidana
terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang- khusus berkaitan dengan masalah penangkapan dan
undang pidana khusus. Implikasi yuridis materiil penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
dari penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan
DAFTAR PUSTAKA