Anda di halaman 1dari 15

Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 389

PENETAPAN TINDAK PIDANA SEBAGAI KEJAHATAN DAN


PELANGGARAN DALAM UNDANG-UNDANG PIDANA KHUSUS*
Supriyadi**

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


Jalan Sosio Yustisia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281

Abstract
Determination of criminal act as crime and violation in special criminal laws have juridical implications of
material and formal juridical. Material juridical implications of the establishment of criminal offenses as
crimes and violation in special criminal laws outside the Penal Code deals with the problem of “national
principle active”, “trials of crime”, “criminal acts of assistance”, “concursus”, “prosecution expired”,
and “shelf implementation of the criminal”. While the formal juridical implications of the establishment of
criminal offenses as crimes and violations in the special criminal laws outside the Penal Code relating to
arrest and detention issues set out in the Code of Criminal Procedure.
Keywords: crime, violation, juridical implication.

Intisari
Penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus memiliki
implikasi yuridis materiil dan yuridis formal. Penetapan kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai kejahatan
dan pelanggaran ini diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP dan KUHAP
terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang pidana khusus. Implikasi yuridis materiil dari
penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran berkaitan dengan masalah “asas nasional
aktif”, “percobaan tindak pidana”, “pembantuan tindak pidana”, “perbarengan tindak pidana”, “daluwarsa
penuntutan”, dan “daluwarsa pelaksanaan pidana”. Implikasi yuridis formal dari penetapan tindak pidana
sebagai kejahatan dan pelanggaran berkaitan dengan masalah penangkapan dan penahanan dalam KUHAP.
Kata Kunci: kejahatan, pelanggaran, implikasi yuridis.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 390
B. Metode Penelitian .............................................................................................................................. 392
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ...................................................................................................... 393
1. Realita Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam
Undang-Undang Pidana Khusus ................................................................................................... 393
2. Implikasi Yuridis Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam
Undang-Undang Pidana Khusus ................................................................................................... 395
D. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 402

*
Hibah Penelitian dari Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Hukum UGM Tahun 2015.
**
Alamat korespondensi: supriyadi@ugm.ac.id
390 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

A. Latar Belakang Masalah yang berupa pidana. Upaya penanggulangan


Tindak pidana merupakan salah satu bentuk tindak pidana dengan menggunakan sanksi pidana
dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan pada hakikatnya merupakan cara yang paling
melekat pada tiap bentuk masyarakat, sehingga tua, setua peradaban manusia itu sendiri.5 Namun
tidak ada masyarakat yang sepi dari tindak pidana. demikian, penggunaan sanksi pidana ternyata masih
Perilaku menyimpang tersebut merupakan suatu diandalkan sebagai sarana penanggulangan tindak
ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma- pidana. Hal tersebut dapat diketahui dari kebanyakan
norma sosial yang mendasari kehidupan atau produk undang-undang dewasa ini yang hampir
keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan selalu mencantumkan bab mengenai “ketentuan
individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; pidana”. Dalam kerangka demikian, seolah-olah
dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi dirasakan kurang sempurna atau “hambar” apabila
berlangsungnya ketertiban sosial.1 Dalam kerangka suatu produk undang-undang atau disajikan tanpa
demikian, Marc Ancel menyatakan bahwa tindak ketentuan pidana. Pencantuman bab ”ketentuan
pidana adalah “a human and social problem”. pidana” tersebut bahkan terkadang dilatarbelakangi
Artinya, tindak pidana bukan hanya merupakan oleh suatu sikap atau asumsi bahwa ”kurang aman”
masalah sosial, melainkan juga merupakan masalah atau ”kurang ada jaminan” apabila suatu produk
kemanusiaan.2 undang-undang tidak ada ketentuan pidananya.6
Benedict S. Alper sebagaimana dikutip Produk undang-undang yang memuat ”keten­
oleh Barda Nawawi Arief bahkan menyebut tuan pidana” pada hakikatnya dapat dikualifikasikan
tindak pidana sebagai “the oldest social problem”. sebagai undang-undang pidana khusus. Hal tersebut
Benedict S. Alper juga mengemukakan bahwa tidak sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto bahwa
ada masalah sosial yang mempunyai rekor demikian undang-undang pidana khusus merupakan undang-
lama mendapat perhatian dunia luas secara terus- undang pidana selain Kitab Undang-Undang
menerus selain daripada fenomena tindak pidana.3 Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan induk
Oleh karena itulah wajar apabila Seiichiro Ono peraturan hukum pidana.7 Sudarto menjelaskan
menyatakan bahwa tindak pidana merupakan lebih lanjut bahwa apabila undang-undang pidana
masalah sosial yang tidak hanya menjadi masalah dibagi menurut sifatnya, maka undang-undang
suatu masyarakat tertentu atau masalah nasional, pidana itu dapat dibagi menjadi undang-undang
tetapi tindak pidana menjadi masalah yang dihadapi pidana “dalam arti sesungguhnya” dan peraturan-
oleh seluruh masyarakat di dunia atau masalah peraturan hukum pidana dalam undang-undang
internasional, sehingga tindak pidana disebut tersendiri. Undang-undang pidana “dalam arti
sebagai “a universal phenomenon”.4 sesungguhnya” merupakan undang-undang yang
Dalam rangka menanggulangi tindak pi­ menurut tujuannya dimaksudkan mengatur hak
dana tersebut di atas telah banyak ditempuh dan memberi pidana dari negara dan contohnya adalah
dilakukan berbagai macam cara. Salah satu upaya KUHP. Sedangkan peraturan-peraturan hukum
penanggulangan tindak pidana itu dilakukan dengan pidana dalam undang-undang tersendiri merupakan
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya peraturan-peraturan yang hanya dimaksudkan untuk

1
Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 11. Pernyataan ini menyitir dari pendapatnya Saparinah Sadli yang mengemukakan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan “perilaku
menyimpang” adalah “tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif yang berlaku”.
2
Marc Ancel, 1965, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Paul Kegan, London, hlm. 99.
3
Barda Nawawi Arief, Loc.cit.
4
Ibid., hlm. 12.
5
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 39.
6
Ibid., hlm. 138-139.
7
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 59-60.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 391

memberi sanksi pidana terhadap aturan-aturan Beire dan James Messerschmidt mengemukakan
mengenai salah satu bidang yang terletak di luar bahwa tindak pidana atau perbuatan pidana itu
hukum pidana, misalnya Undang-Undang Pokok disebut sebagai legal definition of crime yang dapat
Agraria.8 Bertolak dari pandangan Sudarto tersebut dibedakan menjadi mala in se dan mala prohibita.
dapat disimpulkan bahwa undang-undang pidana Mala in se yang disebut sebagai kejahatan merupakan
khusus di luar KUHP mencakup undang-undang perbuatan-perbuatan yang sejak awal dirasakan
pidana dalam arti sesungguhnya dan undang- sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan
undang administrasi yang di dalamnya memuat dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat sebelum
ketentuan pidana. ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu
Dengan menggunakan nomenklatur yang perbuatan pidana. Sedangkan mala prohobita
berbeda, Indriyanto Seno Adji menyebut undang- yang diidentikkan dengan pelanggaran merupakan
undang pidana khusus di luar KUHP dalam arti perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-
sesungguhnya di atas sebagai hukum pidana khusus undang sebagai suatu ketidakadilan.10
yang bersifat “intra aturan pidana”. Undang-undang Eddy O.S. Hiariej mengemukakan lebih
pidana yang dapat dimasukkan sebagai hukum lanjut bahwa dalam kosa kata lain perbedaan antara
pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana mala in se dan mala prohibita oleh para ahli hukum
yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dibedakan menjadi felonies dan misdemeanors.
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Demikian pula dalam kosa kata Belanda yang
dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana membedakan kualifikasi perbuatan pidana ke dalam
Terorisme. Sedangkan undang-undang administrasi misdrijf (kejahatan) dan overtreding (pelanggaran).
yang di dalamnya memuat ketentuan pidana disebut Dalam konteks ini, misdrijf lebih mengarah kepada
sebagai hukum pidana khusus yang bersifat “ekstra rechtsdelicten (mala in se), sedangkan overtreding
aturan pidana”. Undang-undang pidana yang dapat lebih mengarah kepada wetsdelicten (mala
dimasukkan sebagai hukum pidana khusus yang prohibita).11
bersifat ekstra aturan pidana yaitu Undang-Undang KUHP yang merupakan induk peraturan
Kehutanan, Undang-Undang Keimigrasian, Un­ hukum pidana di Indonesia masih membedakan
dang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasal tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran.
Modal, Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Penetapan tindak pidana sebagai kejahatan diatur
lain-lain. Undang-undang pidana yang bersifat dalam Buku Kedua KUHP, sedangkan penetapan
ekstra aturan pidana inilah yang disebut sebagai tindak pidana sebagai pelanggaran ditempatkan
“Adminitrative Penal Law”9 atau hukum pidana dalam Buku Ketiga KUHP. Hal tersebut berbeda
administrasi. dengan RUU KUHP (2012) yang ternyata tidak
Dalam bab “ketentuan pidana” undang- lagi mengkualifikasikan tindak pidana menjadi
undang pidana khusus di luar KUHP yang bersifat kejahatan dan pelanggaran. Dalam Penjelasan
intra aturan pidana maupun ekstra aturan pidana Umum RUU KUHP disebutkan bahwa RUU
pada dasarnya dirumuskan perbuatan-perbuatan KUHP tidak membedakan lagi antara tindak pidana
yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan
atau sering dikenal dengan istilah “tindak pidana” tindak pidana pelanggaran (overtredingen). Untuk
atau “perbuatan pidana”. Berkaitan dengan hal ini, keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan
Eddy O.S. Hiariej yang mengutip bukunya Piers demikian, RUU KUHP hanya terdiri atas 2 (dua)

8
Ibid., hlm. 63-64.
9
Indriyanto Seno Adji, “Administrative Penal Law: Kearah Konstruksi Pidana Limitatif”, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi,
Yogyakarta, 23-27 Februari 2014.
10
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 101-102.
11
Ibid., hlm. 102.
392 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

buku yaitu Buku Kesatu memuat Ketentuan Umum B. Metode Penelitian


dan Buku Kedua yang memuat ketentuan tentang Metode penelitian dapat dimaknai sebagai
Tindak Pidana. Adapun Buku Ketiga KUHP yang suatu pendekatan umum ke arah fenomena yang
mengatur tentang tindak pidana pelanggaran telah dipilih oleh peneliti untuk diselidiki. Hal ini
dihapus dan materinya secara selektif ditampung berarti bahwa metode penelitian merupakan sejenis
ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi Tindak logika yang mengarahkan penelitian. Pengertian
Pidana. metode penelitian tersebut sesuai dengan hakikat
Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas penelitian sebagai suatu penemuan informasi
kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara melalui prosedur tertentu atau prosedur terstandar.12
kejahatan sebagai “rechtsdelict” dan pelanggaran Dilihat dari sumber datanya, penelitian ini
sebagai “wetsdelict” ternyata tidak dapat diper­ merupakan penelitian hukum normatif, karena
tahankan, karena dalam perkembangannya tidak menekankan pada penggunaan data sekunder. Dilihat
sedikit beberapa “rechtsdelict” dikualifikasikan dari sifatnya, penelitian ini dapat dikualifikasikan
sebagai pelanggaran dan sebaliknya beberapa per­ sebagai penelitian deskriptif, karena dimaksudkan
buatan yang seharusnya merupakan “wetsdelict” untuk mengungkapkan data yang seteliti mungkin
dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena tentang keadaan atau gejala berkaitan dengan
diperberat ancaman pidananya. Kenyataan juga penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan
membuktikan bahwa persoalan berat ringannya pelanggaran dalam undang-undang pidana pidana
kualitas dan dampak tindak pidana kejahatan dan khusus. Dilihat dari bentuknya, penelitian ini
pelanggaran juga relatif, sehingga kriteria kualitatif dapat dimasukkan sebagai penelitian preskriptif,
semacam ini dalam kenyataannya tidak lagi dapat karena ditujukan pula untuk mendapatkan saran
dipertahankan secara konsisten. atau masukan berkaitan dengan kebijakan yang
Terlepas dari perbedaan antara KUHP dan diharapkan (ius constituendum) mengenai penetapan
RUU KUHP menyangkut penetapan tindak pidana tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran
sebagai kejahatan dan pelanggaran di atas, tetapi dalam undang-undang pidana khusus.13 Penelitian
perlu diketahui bahwa KUHP itu merupakan ius hukum normatif dapat mencakup penelitian terhadap
constitutum atau hukum positif yang masih berlaku asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik
di Indonesia, sedangkan RUU KUHP merupakan hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
ius constituendum atau hukum yang akan berlaku vertikal dan horizontal, perbandingan hukum,
di masa mendatang. Bertolak dari pokok-pokok dan sejarah hukum.14 Penelitian ini merupakan
pemikiran di atas terdapat dua permasalahan yang penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal
dicari jawabannya dalam penelitian ini. Pertama, yang tujuannya adalah mengungkapkan realitas
bagaimanakah realita penetapan tindak pidana tentang keserasian peraturan perundang-undangan
sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam undang- yang sederajat menyangkut bidang yang sama,
undang pidana khusus di luar KUHP selama ini? yaitu penetapan tindak pidana sebagai kejahatan
Kedua, bagaimanakah implikasi yuridis dari dan pelanggaran.15
penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan Bahan penelitian yang digunakan dalam
pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus penelitian hanya meliputi data sekunder, yaitu data
di luar KUHP? yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan.16

12
Barda Nawawi Arief, 2010, Op.cit., hlm. 61.
13
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 9-10.
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 14.
15
Ibid., hlm. 74-75.
16
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 52.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 393

Data sekunder dalam penelitian ini dibedakan lebih c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
lanjut ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Un­
sekunder maupun bahan hukum tersier.17 Bahan
dang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
hukum primer sebagai bahan hukum yang utama Pemberantasan Tindak Pidana Teroris­
dan mengikat terdiri dari undang-undang pidana me Menjadi Undang-Undang;
khusus yang bersifat intra aturan pidana dan ekstra d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
aturan pidana 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
Cara pengumpulan data sekunder dalam e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepus­ 2010 tentang Pencegahan dan Pem­
takaan, sedangkan alat pengumpulan dilakukan berantasan Tindak Pidana Pencucian
dengan studi dokumen. Dalam penelitian ini Uang;
f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
terdapat dua metode pendekatan digunakan untuk
2013 tentang Pencegahan dan Pem­
mencari dan menemukan jawaban permasalahan. berantasan Tindak Pidana Pendanaan
Pertama, pendekatan undang-undang atau statute Terorisme; dan
approach yang dilakukan dengan cara menelaah g. Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pem­
semua peraturan perundang-undangan yang
berantasan Perusakan Hutan.
berkaitan dengan permasalahan penelitian.18 Kedua,
Hasil kajian terhadap ketujuh undang-undang
pendekatan konseptual atau conceptual approach.
pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana di
Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang
atas menunjukkan bahwa undang-undang pidana
bertolak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
khusus a quo tidak semuanya menetapkan dan
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
membedakan tindak pidananya menjadi kejahatan
Pemahaman terhadap pandangan-pandangan dan
dan pelanggaran. Undang-undang pidana khusus
doktrin-doktrin tersebut dapat menjadi sandaran
yang bersifat intra aturan pidana yang menetapkan
dalam membangun dan memecahkan permasalahan
dan membedakan tindak pidananya menjadi
penelitian.19 Analisis data dalam penelitian ini
kejahatan dan pelanggaran hanya dijumpai dalam
dilakukan secara kualitatif.
Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 atau Undang-
Undang Tindak Pidana Ekonomi.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Meskipun undang-undang pidana khusus
1. Realita Penetapan Tindak Pidana sebagai
yang bersifat intra aturan pidana tidak menetapkan
Kejahatan dan Pelanggaran dalam
dan membedakan tindak pidana menjadi kejahatan
Undang-Undang Pidana Khusus
dan pelanggaran, namun dalam undang-undang
Dalam penelitian ini dikaji 7 (tujuh) undang-
pidana khusus a quo membuat aturan khusus
undang pidana khusus yang bersifat intra aturan
menyangkut ancaman pidana terhadap percobaan
pidana. Ketujuh undang-undang tersebut adalah:
dan/atau pembantuan tindak pidana. Aturan khusus
a. Undang-Undang Nomor 7/Drt./1955
tersebut dapat ditemukan dan dilihat dalam Pasal
tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo.
Tahun 2000 tentang Pemberantasan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi;
Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 10 Undang-Undang

17
Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 52.
18
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 93.
19
Ibid., hlm. 95.
394 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

Nomor 21 Tahun 2007, Pasal 10 Undang-Undang pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
Nomor 8 Tahun 2010, dan Pasal 5 Undang-Undang percobaan dapat dikurangi sepertiga”. Sedangkan
Nomor 9 Tahun 2013. Pasal 57 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “dalam
Aturan khusus mengenai ancaman pidana hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
untuk percobaan dan pembantuan tindak pidana kejahatan, dikurangi sepertiga”.
dalam undang-undang di atas pada hakikatnya Dalam penelitian ini dikaji undang-undang
merupakan penyimpangan dari aturan umum pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana
pemidanaan percobaan tindak pidana dalam Pasal atau undang-undang administrasi yang di dalamnya
54 ayat (2) KUHP dan Pasal 57 ayat (1) KUHP, memuat ketentuan pidana yang diterbitkan sejak
dimana ancaman pidananya dikurangi sepertiga tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Hasil
dari maksimum ancaman pidana pokok. Pasal 54 penelusuran undang-undang pidana khusus a quo
ayat (2) KUHP menyatakan bahwa “maksimum dapat dipaparkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dalam Undang-Undang


Ekstra Aturan Pidana
Undang- Tidak
Undang Menetapkan Menetapkan
Jumlah
Tahun Memuat Kejahatan Kejahatan dan Keterangan
Undang-
Ketentuan dan Pelanggaran
Undang
Pidana Pelanggaran
2005 14 1 1 0 -
2006 23 5 5 0 -
2007 22 4 4 0 -
2008 56 16 14 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2008 dan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008
2009 52 19 17 2 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009
2010 13 2 2 0 -
2011 24 13 11 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011
2012 24 6 5 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012
2013 24 3 3 0 -
2014 42 15 15 0 -

Jumlah 294 84 77 7 -
Sumber: Data Olahan Penulis.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui Namun demikian, dari 84 (delapan puluh empat)
bahwa selama 2005-2014 telah diterbitkan 294 undang-undang yang memuat ketentuan pidana
(dua ratus sembilan puluh empat) undang-undang, tersebut ternyata hanya terdapat 7 (tujuh) undang-
dimana sebanyak 84 (delapan puluh empat) undang- undang pidana yang membedakan dan menetapkan
undang yang di dalamnya memuat ketentuan pidana. tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 395

Sedangkan 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang 2. Implikasi Yuridis Penetapan Tindak


pidana tidak menetapkan tindak pidana sebagai Pidana sebagai Kejahatan dan Pelang­
kejahatan dan pelanggaran. garan dalam Undang-Undang Pidana
Ketujuh undang-undang pidana yang Khusus
diterbitkan selama tahun 2005-2024 dan menetapkan a. Implikasi Yuridis Materiil
tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran Implikasi yuridis materiil dari
yaitu: penetapan tindak pidana sebagai kejahatan
a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun dan pelanggaran dalam dalam undang-
2008 tentang Pengelolaan Sampah; undang pidana khusus mengandung arti
b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun
bahwa undang-undang pidana khusus tetap
2008 tentang Pornografi;
c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun terikat pada aturan umum KUHP mengenai
2009 tentang Peternakan dan akibat-akibat yuridis dari pembedaan antara
Kesehatan Hewan; “kejahatan” dan “pelanggaran”. Menurut
d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun Barda Nawawi Arief, penetapan kualifikasi
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; yuridis tindak pidana sebagai kejahatan
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 dan pelanggaran ini diperlukan untuk
tentang Mata Uang; “menjembatani” berlakunya aturan umum
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur
2011 tentang Pengelolaan Zakat; dan
dalam undang-undang pidana khusus di luar
g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Dewan KUHP. Dengan demikian identik dengan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan penetapan kualifikasi yuridis terhadap suatu
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat perbuatan sebagai “Tindak Pidana Ekonomi”
Daerah.
dalam Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955
Meskipun sebagian besar undang-undang atau sebagai “Tindak Pidana Korupsi” dalam
pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
di atas tidak menetapkan dan membedakan tindak sebagaimana telah diubah dengan Undang-
pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran, namun Undang Nomor 20 Tahun 2001.20
terdapat satu undang-undang pidana khusus yang Penetapan kualifikasi yuridis terhadap
di dalamnya membuat aturan khusus menyangkut suatu perbuatan sebagai “Tindak Pidana Eko­
ancaman pidana terhadap percobaan dan/atau nomi” diatur dan dirumuskan dalam Pasal 1 sub
pembantuan tindak pidana, yaitu Undang-Undang 3e Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 yang
Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Pasal 132 ayat (1) pada intinya menegaskan “apa­bila Undang-
undang-undang ini ditegaskan bahwa “percobaan Undang Tindak Pidana Eko­ nomi (Undang-
atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak Undang Nomor 7/Drt/1955) menyebut/
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika menyatakan bahwa suatu delik adalah “Tin­
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, dak Pidana Ekonomi”, maka berlakulah
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal ketentuan dalam Undang-Undang Tindak
117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pidana Ekonomi itu”. Sedangkan penetapan
Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal kualifikasi yuridis terhadap suatu perbuatan
126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan sebagai “Tindak Pidana Korupsi” diatur dan
pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan dirumuskan dalam Pasal 14 Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut”. Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
20
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta,
hlm. 147.
396 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

diubah dengan Undang-Undang Nomor 1) Asas Nasional Aktif


20 Tahun 2001 yang pada hakikatnya Asas nasional aktif sering
menegaskan “apabila undang-undang di disebut dengan asas personalitas. Asas
luar Undang-Undang Pemberantasan Tindak ini antara lain menyatakan bahwa
Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 peraturan hukum pidana Indonesia
Tahun 1999) menyebut/menyatakan bahwa berlaku bagi setiap warga negara
suatu delik adalah “Tindak Pidana Korupsi”, Indonesia yang melakukan tindak
maka berlakulah ketentuan Undang-Undang pidana di luar negeri. Dengan demikian,
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu”. peraturan hukum pidana Indonesia
Demikian pulalah dengan ketentuan itu seolah-olah mengikuti orangnya,
KUHP, karena aturan umum KUHP yaitu warga negara Indonesia. Oleh
membedakan antara “aturan umum untuk karena itulah asas tersebut dinamakan
kejahatan” dan “aturan umum untuk asas nasional aktif.22 Dalam konteks
pelanggaran”, maka apabila aturan umum asas nasional aktif, implikasi yuridis
KUHP itu akan diberlakukan pula terhadap materiil pembedaan tindak pidana
undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kejahatan dan pelanggaran
sehingga undang-undang pidana di luar akan berkaitan dengan Pasal 5 ayat (1)
KUHP tersebut juga harus menyebutkan ke-2 KUHP yang menyatakan bahwa
kualifikasi yang jelas dari tindak pidana yang “aturan pidana dalam perundang-
diaturnya, apakah merupakan “kejahatan” undangan Indonesia berlaku bagi
atau “pelanggaran”.21 Hal ini merupakan warga negara yang di luar Indonesia
conditio sine qua non dari ketentuan Pasal melakukan salah satu perbuatan
103 KUHP yang menggariskan bahwa yang oleh suatu aturan pidana dalam
“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai perundang-undangan Indonesia dipan­
dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi dang sebagai kejahatan sedangkan
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan menurut perundang-undangan negara
perundang-undangan lainnya diancam de­ dimana perbuatan dilakukan, diancam
ngan pidana, kecuali jika oleh undang-un­ dengan pidana”.
dang ditentukan lain”. Penerapan Pasal 5 ayat (1)
Apabila dicermati dan dikaji lebih ke-2 KUHP ini harus memenuhi
mendalam, maka implikasi yuridis materiil asas kriminalitas ganda atau “double
dari penetapan tindak pidana sebagai criminality principle”, dimana per­
kejahatan dan pelanggaran dalam dalam aturan hukum pidana Indonesia
undang-undang pidana khusus, baik yang mau­pun peraturan hukum pidana
bersifat intra aturan pidana maupun ekstra tem­pat dilakukannya perbuatan ter­
aturan pidana, akan berkaitan dengan sebut merupakan perbuatan yang
masalah “asas nasional aktif”, “percobaan diancam pidana. Dengan kata lain,
tindak pidana”, “pembantuan tindak pidana”, perbuatan tersebut menurut hukum
“perbarengan tindak pidana”, “daluwarsa pidana Indonesia maupun hukum
penuntutan”, dan “daluwarsa pelaksanaan pidana negara lain dipandang sebagai
pidana”. tindak pidana. Namun demikian,

21
Ibid., hlm. 148.
22
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hlm. 33.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 397

apa­bila dicermati secara mendalam Eddy O.S. Hiariej memiliki


rumusan Pasal 5 ayat (1) ke-2 KUHP pandangan yang berbeda, bahwa di
tersebut mensyaratkan bahwa tindak satu sisi percobaan tindak pidana
pidana yang dimaksudkan dalam merupakan delik yang tidak selesai dan
pasal ini harus memiliki kualifikasi bukan merupakan delik mandiri, namun
yuridis sebagai “kejahatan”. Dengan di sisi lain percobaan tindak pidana
demikian, secara a contrario asas merupakan dasar memperluas dapat
nasional aktif dalam Pasal 5 ayat (1) dipidananya perbuatan.24 Pengaturan
ke-2 KUHP tidak bisa diberlakukan percobaan tindak pidana terdapat
terhadap tindak pidana yang kualifikasi dalam Pasal 53 KUHP dan Pasal 54
yuridisnya merupakan “pelanggaran”. KUHP. Pengertian percobaan tindak
Kesimpulannya, tanpa adanya pene­ pidana tersirat dari elemen-elemennya
gasan penetapan tindak pidana dalam yang dirumuskan dalam Pasal 53
undang-undang pidana khusus sebagai ayat (1) KUHP, bahwa “mencoba
kejahatan dan pelanggaran, maka melakukan kejahatan dipidana, jika
penerapan asas nasional aktif tersebut niat untuk itu telah ternyata dari adanya
akan sulit diterapkan ketika tindak permulaan pelaksanaan, dan tidak
pidana dalam undang-undang-undang selesainya pelaksanaan itu, bukan
pidana khusus tersebut dilakukan oleh semata-mata karena kehendaknya
warga negara Indonesia di negara lain. sendiri”. Berdasarkan konstruksi pasal
2) Percobaan Tindak Pidana tersebut dapat diketahui adanya tiga
Menurut Moeljatno, percobaan syarat percobaan tindak pidana, yaitu
tindak pidana merupakan delik selesai niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak
dan berdiri sendiri. Percobaan tindak selesainya pelaksanaan itu, bukan
pidana merupakan dasar memperluas semata-mata karena kehendaknya
dapat dipidananya perbuatan (tatbe­ sendiri.
stand-ausdehnungsgrund). Dengan Pemidanaan terhadap percobaan
ka­ta lain, percobaan tindak pidana tindak pidana ditentukan dalam Pasal
me­rupakan delicta sui generis atau 53 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 54
delik yang berdiri sendiri atau delik KUHP. Pertama, maksimum pidana
selesai namun bentuknya istimewa. pokok terhadap kejahatan, dalam hal
Pandangan demikian didasarkan pada percobaan dapat dikurangi sepertiga.
tiga alasan, yaitu dalam hukum pidana Kedua, jika kejahatan diancam dengan
Indonesia harus dipisahkan antara pidana mati dan pidana penjara seumur
perbuatan pidana dan pertanggung­ hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
jawaban pidana, beberapa percobaan lama lima belas tahun. Ketiga, pidana
tindak pidana dalam KUHP dirumuskan tambahan bagi percobaan adalah sama
sebagai delik selesai seperti Pasal 104, dengan kejahatan selesai. Sebaliknya,
Pasal 106, Pasal 107, dan hukum adat Pasal 54 KUHP menegaskan bahwa
tidak mengenal perbuatan pidana yang “mencoba melakukan pelanggaran
dirumuskan sebagai percobaan.23 tidak dipidana”.

23
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11-12.
24
Eddy O.S. Hiariej, Op.cit., hlm. 274.
398 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

Bertolak dari Pasal 53 KUHP rikan sebelum kejahatan terjadi,


dan Pasal 54 KUHP di atas jelaslah apakah dengan memberikan kesem­
bahwa pembedaan kualifikasi yuridis patan, sarana atau keterangan untuk
tindak pidana menjadi kejahatan melakukan kejahatan.
dan pelanggaran memiliki implikasi Pemidanaan terhadap pemban­
yuridis terkait dengan pemidanaan tuan tindak pidana ditentukan dalam
percobaan tindak pidana. Dalam Pasal 57 KUHP yang di dalamnya
kerangka demikian, percobaan tindak memuat empat ketentuan pemidanaan.
pidana yang dapat dipidana adalah Pertama, dalam hal pembantuan,
kejahatan, sedangkan percobaan maksimum pidana pokok terhadap
tindak pidana pelanggaran tidak dapat kejahatan, dikurangi sepertiga. Kedua,
dikenakan pidana. Kesimpulannya, jika kejahatan diancam dengan pidana
tanpa adanya penegasan penetapan mati dan pidana penjara seumur hidup,
tindak pidana dalam undang-undang dijatuhkan pidana penjara paling lama
pidana khusus di luar KUHP sebagai lima belas tahun. Ketiga, pidana
kejahatan dan pelanggaran, maka tambahan bagi pembantuan adalah
pemidanaan terhadap tindak pidana sama dengan kejahatannya sendiri.
dalam undang-undang pidana khusus Keempat, dalam hal menentukan
tersebut akan menemui kesulitan pidana bagi pembantu, yang diperhi­
ketika tindak pidana dalam undang- tung­kan hanya perbuatan yang sengaja
undang-undang pidana khusus tersebut dipermudah atau diperlancar olehnya,
baru merupakan percobaan. beserta akibat-akibatnya.
3) Pembantuan Tindak Pidana Bertolak dari Pasal 57 KUHP
Dalam pembantuan (mede­pli­ di atas jelaslah bahwa pembedaan
chtige) terdapat dua pihak yang terdiri kualifikasi yuridis tindak pidana
dari dua orang atau lebih, yaitu pelaku/ menjadi kejahatan dan pelanggaran
pembuat dan pembantu. Pembantuan memiliki implikasi yuridis terkait
diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 dengan pemidanaan pembantuan tin­
KUHP. Pasal 56 KUHP menyebutkan dak pidana. Dalam kerangka demikian,
bahwa dipidana sebagai pembantu pembantuan tindak pidana yang dapat
(medeplichtige) sesuatu kejahatan: dipidana adalah kejahatan, sedangkan
a) mereka yang sengaja secara a contrario pembantuan tindak
memberi bantuan pada pidana pelanggaran tidak dapat
waktu kejahatan dilakukan; dikenakan pidana. Kesimpulannya,
b) mereka yang sengaja tanpa adanya penegasan kualifikasi
memberi kesempatan, sarana tindak pidana dalam undang-undang
atau kete­
rangan untuk pidana khusus sebagai kejahatan
melakukan keja­hatan. dan pelanggaran, maka penerapan
Berdasarkan Pasal 56 KUHP pemidanaan terhadap tindak pidana
tersebut, terdapat dua bentuk pem­ dalam undang-undang pidana khusus
bantuan, yaitu pembantuan pada saat tersebut akan menemui kesulitan
kejahatan dilakukan dan pembantuan ketika terjadi pembantuan tindak
untuk melakukan kejahatan. Hal ini pidana.
berarti bahwa pembantuan itu dibe­
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 399

4) Perbarengan Tindak Pidana sendiri, sehingga merupakan beberapa


Perbarengan tindak pidana kejahatan, yang diancam dengan
dapat dimaknai sebagai seseorang pidana pokok yang sejenis, maka
melakukan satu perbuatan yang hanya dijatuhkan satu pidana. Pasal
melanggar beberapa peraturan hukum 65 ayat (2) KUHP menyatakan lebih
pidana, atau melakukan beberapa lanjut bahwa maksimum pidana yang
perbuatan yang masing-masing dijatuhkan ialah jumlah maksimum
perbuatan berdiri sendiri yang akan pidana yang diancamkan terhadap
diadili sekaligus, dan salah satu dari perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih
perbuatan pidana tersebut belum dari maksimum pidana yang terberat
dijatuhi putusan hakim. Bertolak dari ditambah sepertiga.
pengertian perbarengan tindak pidana Pasal 66 ayat (1) KUHP me­
ini dapat diperoleh bentuk perbarengan nyebutkan bahwa “Dalam hal per­
yang meliputi perbarengan peraturan barengan beberapa perbuatan yang
(concursus idealis/eendaadse samen­ harus dipandang sebagai perbuatan
loop), perbuatan berlanjut (voort­ yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga
gezette handeling), dan perbarengan merupakan beberapa kejahatan, yang
perbuatan (concursus realis/meer­ diancam dengan pidana pokok yang
daadse samenloop).25 tidak sejenis, maka dijatuhkan pi­
Menurut sistematika KUHP, dana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi
pengaturan tentang perbarengan jumlahnya tidak boleh melebihi
tindak pidana merupakan ketentuan maksimum pidana yang terberat
yang berkaitan dengan ukuran dalam ditambah sepertiga”. Pasal 70 ayat
menentukan pidana (straftoemeting) (1) KUHP menyebutkan bahwa,
yang mempunyai kecenderungan “Jika ada perbarengan seperti yang
pemberatan pidana.26 Perbarengan per­ dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66,
aturan diatur dalam Pasal 63 KUHP. baik perbarengan pelanggaran dengan
Perbuatan berlanjut dirumuskan kejahatan, maupun pelanggaran
dalam Pasal 64 KUHP. Pengaturan dengan pelanggaran, maka untuk tiap-
perbarengan perbuatan dijumpai dalam tiap pelanggaran dijatuhkan pidana
Pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. sendiri-sendiri tanpa dikurangi”. Pasal
Implikasi yuridis penetapan 70 ayat (2) KUHP menyatakan lebih
tindak pidana sebagai kejahatan dan lanjut bahwa mengenai pelanggaran,
pelanggaran akan berkaitan dengan jumlah lamanya kurungan, paling
perbarengan perbuatan. Hal tersebut banyak adalah satu tahun empat
dapat diketahui dari rumusan Pasal 65, bulan, sedangkan jumlah lamanya
66, 70 dan 70 bis KUHP. Dalam Pasal kurungan pengganti, paling banyak
65 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa adalah delapan bulan. Dalam Pasal 70
dalam hal perbarengan beberapa bis KUHP ditentukan secara khusus
perbuatan yang harus dipandang bahwa dalam menggunakan Pasal 65,
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri- 66 dan 70 KUHP, kejahatan-kejahatan

25
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 169-170.
26
Ibid., hlm. 169.
400 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

tersebut dalam Pasal 302 ayat (1), 352, nuntutan ditentukan dalam Pasal 78
364, 373, 379, dan 482 KUHP dianggap ayat (1) KUHP yang menegaskan
sebagai pelanggaran, tetapi dengan bahwa kewenangan menuntut pidana
pengertian bahwa, jika dijatuhkan hapus karena daluwarsa:
pidana-pidana penjara atas kejahatan a) mengenai semua pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan
itu, jumlahnya paling banyak adalah
dengan percetakan, sesudah
delapan bulan. Bertolak dari Pasal 65, satu tahun;
66, 70 dan 70 bis KUHP di atas jelaslah b) mengenai kejahatan yang
bahwa pembedaan kualifikasi yuridis dian­cam dengan denda,
tindak pidana menjadi kejahatan kurungan atau pidana
penjara paling lama tiga
dan pelanggaran memiliki implikasi tahun, sesudah enam tahun;
yuridis terkait dengan mekanisme c) mengenai kejahatan yang
pemidanaan perbarengan perbuatan dian­cam dengan pidana
(concursus realis). penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
5) Daluwarsa Penuntutan
d) mengenai kejahatan yang
Latar belakang pemikiran dia­ dian­cam dengan pidana mati
tur­
nya daluwarsa penuntutan tidak atau pidana penjara seumur
bisa dilepaskan dari kemampuan hidup, sesudah delapan belas
tahun.
daya ingat manusia dan keadaan
Bertolak dari Pasal 78 ayat
alam yang memungkinkan petunjuk
(1) KUHP di atas jelaslah bahwa
alat bukti lenyap atau tidak memiliki
pembedaan kualifikasi yuridis tindak
nilai untuk hukum pembuktian. Daya
pidana menjadi kejahatan dan pelang­
ingat manusia baik sebagai terdakwa
garan memiliki implikasi yuridis
ataupun sebagai saksi seringkali
terkait dengan penghitungan tenggang
tidak mampu untuk menggambarkan
waktu daluwarsa penuntutan. Dalam
kembali atas kejadian masa lalu.
kerangka demikian, lamanya tenggang
Akibatnya, bahan pembuktian yang
waktu daluwarsa penuntutan atas
diperlukan dalam perkara semakin
tindak pidana berupa pelanggaran lebih
sulit dipertanggungjawabkan yang
pendek dibandingkan dengan lamanya
disebabkan oleh kerusakan dan lain-
tenggang daluwarsa penuntutan untuk
lainnya. Oleh karena itu, kemanfaatan
tindak pidana kejahatan. Demikian
untuk menuntut perkara pidana yang
pula, tindak pidana kejahatan yang
dapat diragukan kebenarannya karena
diancam dengan pidana yang ringan,
peristiwanya sudah terlalu lama terjadi,
maka lamanya tenggang waktu
akan lebih berfaedah untuk tidak
daluwarsa penuntutan akan lebih
menuntut berhubung dengan alasan
pendek dibandingkan dengan tindak
tenggang waktu. Dengan demikian,
pidana kejahatan yang diancam dengan
pembentuk undang-undang memilih
pidana penjara yang berat.
kebijaksanaan wewenang menuntut
6) Daluwarsa Pelaksanaan Pida­
hapus karena daluwarsa dengan teng­
na
gang waktu tertentu.27
Pembentuk undang-undang ter­
Tenggang waktu daluwarsa pe­

27
Ibid., hlm. 198-199.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 401

nyata tidak hanya mengambil kebi­ b. Implikasi Yuridis Formal


jaksanaan menyangkut daluwarsa Implikasi yuridis formal dari penetapan
penuntutan, melainkan juga mengambil tindak pidana sebagai kejahatan dan
kebijaksanaan tenggang waktu dalu­ pelanggaran dalam dalam undang-undang
warsa yang dapat menghapuskan atau pidana khusus, baik yang bersifat intra
menggugurkan pelaksanaan pidana. aturan pidana maupun ekstra aturan pidana,
Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal mengandung arti bahwa undang-undang
84 ayat (1) KUHP, bahwa kewenangan pidana khusus di luar KUHP, terikat pada
menjalankan pidana hapus karena aturan umum yang terdapat dalam Undang-
daluwarsa. Dalam Pasal 84 ayat (2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
KUHP dijelaskan lebih lanjut bahwa Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang
tenggang daluwarsa mengenai semua Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut
pelanggaran lamanya dua tahun, Barda Nawawi Arief, penetapan kualifikasi
mengenai kejahatan yang dilakukan yuridis tindak pidana sebagai kejahatan dan
dengan sarana percetakan lamanya pelanggaran ini memiliki implikasi yuridis
lima tahun, dan mengenai kejahatan- formal dengan masalah penangkapan dan
kejahatan lainnya lamanya sama de­ penahanan.28
ngan tenggang daluwarsa bagi pe­nun­ 1) Penangkapan
tutan, ditambah sepertiga. Penangkapan didefinisikan se­
Bertolak dari Pasal 84 ayat ba­gai suatu tindakan penyidik be­
(2) KUHP di atas jelaslah bahwa ru­pa pengekangan sementara wak­ tu
pembedaan kualifikasi yuridis tindak kebebasan tersangka atau ter­ dakwa
pidana menjadi kejahatan dan pelang­ apabila terdapat cukup bukti guna
garan juga memiliki implikasi yuridis kepentingan penyidikan atau penun­
terkait dengan penghitungan tenggang tutan dan atau peradilan.29 Menurut
waktu daluwarsa pelaksanaan pidana. Pasal 17 KUHAP, bahwa penangkapan
Dalam kerangka demikian, lama­ nya dilakukan terhadap seseorang yang
tenggang waktu daluwarsa pelak­ diduga keras melakukan tindak
sanaan pidana atas tindak pidana pidana berdasarkan bukti permulaan
berupa pelanggaran lebih pendek yang cukup, yaitu bukti permulaan
dibandingkan dengan lamanya teng­ untuk menduga adanya tindak pi­
gang daluwarsa pelaksanaan pidana dana.30 Namun demikian, Pasal 19
untuk tindak pidana kejahatan. Demi­ ayat (2) KUHAP menyebutkan pula
kian pula, tindak pidana kejahatan bahwa “Terhadap tersangka pela­ ku
yang diancam dengan pidana yang pelanggaran tidak diadakan penang­
ringan, maka lamanya tenggang waktu kapan kecuali dalam hal ia telah
daluwarsa pelaksanaan pidana akan dipanggil secara sah dua kali berturut-
lebih pendek dibandingkan dengan turut tidak memenuhi penggilan itu
tindak pidana kejahatan yang diancam tanpa alasan yang sah”.
dengan pidana penjara yang berat. Bertolak dari ketentuan Pasal 19

28
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta,
hlm. 363-364.
29
Pasal 1 angka 20 KUHAP.
30
Pasal 16 KUHAP dan penjelasannya.
402 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 389-403

ayat (2) KUHAP dapatlah dikatakan dapat dikatakan bahwa penahanan


bahwa pada umumnya penangkapan terutama dapat dikenakan untuk
dapat dikenakan terhadap pelaku pelaku “kejahatan” karena menurut
tindak pidana berupa kejahatan, sistem yang dianut saat ini pidana
sedangkan terhadap tersangka pelaku penjara hanya diancamkan terhadap
tindak pidana yang merupakan “pe­ tindak pidana kejahatan. Meskipun
langgaran” hanya merupakan per­ demikian, menurut Pasal 21 ayat
kecualian.31 Tidak adanya penegasan (4) sub b KUHAP ada juga pelaku
penetapan tindak pidana sebagai “pelanggaran” yang dapat dikenakan
kejahatan dan pelanggaran dalam penahanan.33 Tidak adanya penegasan
undang-undang pidana khusus di luar penetapan tindak pidana sebagai
KUHP bisa berpotensi menimbulkan kejahatan dan pelanggaran dalam
disparitas penafsiran mengenai boleh undang-undang pidana khusus ini pun
atau tidaknya tersangka dikenakan juga bisa berpotensi menimbulkan
penangkapan, kecuali undang-un­ disparitas penafsiran mengenai boleh
dang pidana khusus di luar KUHP atau tidaknya tersangka dikenakan
tersebut mengatur tersendiri masalah penahanan, kecuali undang-undang
penangkapan, seperti Undang-Undang pidana khusus tersebut mengatur
Nomor 15 Tahun 2003 jo. Peraturan tersendiri masalah penahanan.
Pemerintah Pengganti Undang-Un­
dang Nomor 1 Tahun 2002 dan D. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun Berdasarkan rumusan permasalahan serta
2009. hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat
2) Penahanan dikemukakan dua kesimpulan. Pertama, realita
Penahanan diartikan sebagai menunjukkan bahwa tidak semua un­dang-undang
penempatan tersangka atau terdakwa pidana khusus melakukan penetapan tin­dak pidana
di tempat tertentu oleh penyidik atau sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hasil kajian
penuntut umum atau hakim dengan terhadap 7 (tujuh) undang-undang pidana khusus
penetapannya.32 Menurut Pasal 21 yang bersifat intra aturan pidana menunjukkan
ayat (4) sub a KUHAP menyebutkan hanya terdapat 1 (satu) undang-undang yang
bahwa “Penahanan dapat dikenakan menetapkan tindak pidana sebagai kejahatan dan
terhadap tersangka atau terdakwa yang pelanggaran yaitu Undang-Undang Nomor 7/
melakukan tindak pidana (termasuk Drt/1955. Hasil kajian terhadap 84 (delapan puluh
percobaan dan pembantuan) yang empat) undang-undang pidana khusus yang bersifat
diancam dengan pidana penjara 5 ekstra aturan pidana yang diterbitkan dalam 2005-
(lima) tahun atau lebih dan delik-delik 2014 hanya ditemukan 7 (tujuh) undang-undang
tertentu yang disebut dalam Pasal 21 yang menetapkan tindak pidana sebagai kejahatan
ayat (4) sub b KUHAP, meskipun dan pelanggaran, yaitu Undang-Undang Nomor
tidak diancam dengan pidana penjara 8 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
5 (lima) tahun”. 2008, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009,
Berdasarkan ketentuan tersebut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Undang-

31
Barda Nawawi Arief, 2008, Op.cit., hlm. 363.
32
Pasal 1 angka 21 KUHAP.
33
Barda Nawawi Arief, 2008, Loc.cit.
Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang Pidana 403

Undang Nomor 7 Tahun 2011, Undang-Undang pelanggaran dalam undang-undang pidana khusus,
Nomor 23 Tahun 2011, dan Undang-Undang baik yang bersifat intra aturan pidana maupun
Nomor 8 Tahun 2012. Kedua, penetapan tindak ekstra aturan pidana, berkaitan dengan masalah
pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam “asas nasional aktif”, “percobaan tindak pidana”,
undang-undang pidana khusus memiliki implikasi “pemb­antuan tindak pidana”, “perbarengan tindak
yuridis materiil maupun yuridis formal. Penetapan pidana”, “daluwarsa penuntutan”, dan “dalu­warsa
kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai kejahatan pelaksanaan pidana”. Implikasi yu­ridis formal dari
dan pelanggaran ini diperlukan untuk “menjem­ penetapan tindak pidana se­ bagai kejahatan dan
batani” berlakunya aturan umum KUHP dan KUHAP pelanggaran dalam dalam undang-undang pidana
terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang- khusus berkaitan dengan masalah penangkapan dan
undang pidana khusus. Impli­kasi yuridis materiil penahanan seba­gaimana diatur dalam KUHAP.
dari penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta.


Ancel, Marc, 1965, Social Defence: A Modern Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, 1990,
Approach to Criminal Problems, Routledge Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum
& Paul Kegan, London. Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum, UI-Press, Jakarta.
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001,
_________, 2007, Masalah Penegakan Hukum Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Soemitro, Ronny Hanitijo, 1994, Metodologi
Jakarta. Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
_________, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Indonesia, Jakarta.
Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto,
KUHP Baru, Kencana, Jakarta. Semarang.
_________, 2010, Kebijakan Legislatif dalam ___________, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Alumni, Bandung.
Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta.
Hiariej, Eddy O.S., 2014, Prinsip-Prinsip Hukum B. Makalah
Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Adji, Indriyanto Seno, 2014, “Administrative Penal
Yogyakarta. Law: Kearah Konstruksi Pidana Limitatif”,
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan
Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Kriminologi, Yogyakarta, 23-27 Februari
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan, Delik- 2014.

Anda mungkin juga menyukai