Anda di halaman 1dari 44

Modul 4

Budaya Politik, Sosialisasi Politik, dan


Komunikasi Politik
Nuri Soeseno, M.A.

PE N D A HU L UA N

B udaya politik merupakan salah satu dari empat bidang kajian dalam ilmu
perbandingan politik yang perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan dalam bidang ilmu sosial lainnya. Meskipun sebagai satu
bidang keilmuan perbandingan politik telah berkembang sejak 1950-an,
namun kajian budaya politik marak dipelajari selama periode 1960-an. Di
samping teori-teori budaya politik, bidang kajian lain dalam perbandingan
politik adalah teori-teori sistem politik, teori-teori pembangunan politik, dan
teori-teori kelas. Sebagai sebuah bidang kajian yang relatif baru maka
perkembangan budaya politik dipengaruhi oleh perkembangan bidang ilmu
sosial lainnya, seperti kajian budaya dari antropologi, sosialisasi dan
kelompok kecil dari sosiologi, dan studi kepribadian dari psikologi.
Konsep budaya politik sangat terkait dengan konsep-konsep politik
makro lainnya. Di antaranya yang paling dekat adalah konsep tentang bangsa
dan sistem. Oleh karena itu, kajian budaya politik mempelajari tentang
karakter bangsa yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan,
nilai-nilai, atau simbol-simbol dan tipe-tipe budaya politik sebagai cerminan
orientasi psikologis serta subjektif sebuah bangsa terhadap sistem
nasionalnya. Ada yang mengatakan bahwa budaya politik merupakan sebuah
konsepsi yang menjembatani jurang di antara kajian pada tingkat individu
dan studi pada tingkat sistem politik sebagai sebuah kesatuan. Dua subbidang
yang kemudian berkembang dalam kajian kebudayaan politik adalah
sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ilmuwan politik yang namanya
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bidang keilmuan ini antara lain
Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucien Pye, dan James Coleman.
Mempelajari budaya politik kita juga sebaiknya mempelajari dua bidang
kajian lain yang tumbuh menyertainya yaitu komunikasi politik dan
sosialisasi politik. Bila teori budaya politik mempelajari mengenai
4.2 PENGANTAR ILMU POLITIK 

kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol, dan nilai-nilai, maka dalam teori-


teori komunikasi dan sosialisasi politik kita mempelajari bagaimana
kepercayaan, simbol, dan nilai dalam sebuah masyarakat diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, siapa yang berperan dalam proses tersebut
dan dengan cara-cara apa proses tersebut berlangsung. Dengan demikian
dapat dikatakan studi komunikasi dan sosialisasi politik merupakan kajian
empirik dari teori budaya politik.
Dengan mempelajari komunikasi politik maka kita dapat mengetahui dan
memahami pembangunan dan budaya politik dengan lebih baik. Atau dapat
dikatakan ada keterkaitan antara tahapan perkembangan kemasyarakatan
dengan karakteristik komunikasi, misalnya dalam masyarakat yang
tradisional maka proses komunikasi cenderung berjalan satu arah; arus dan isi
informasi sangat ditentukan oleh hierarki sosial dan bersifat tatap muka.
Sementara sosialisasi politik mengkaji secara khusus cara-cara bagaimana
kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Selain itu bidang studi ini mempelajari juga agen-agen yang berperan
melaksanakan proses tersebut.
Perubahan konstelasi perpolitikan di dunia dengan runtuhnya kekuasaan
politik partai-partai komunis di negara-negara Eropa Timur dan
meningkatnya demokratisasi di dunia memberikan pengaruh yang cukup
besar dalam ilmu politik. Budaya politik liberal dan demokratis menjadi
semakin meluas diterima di dalam masyarakat-masyarakat bekas negara
komunis, otoritarian dan non demokratis di dunia. Nilai-nilai baru
pemerintahan yang bersih, demokratis, akuntabel, dan berorientasi pelayanan
pada rakyat menjadi standar pemerintahan yang baik dan dapat diterima.
Demikian juga kehidupan kewarganegaraan yang baik yang diwujudkan
dalam pengakuan atas dan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
warga negara dan negara menjadi bagian penting dalam budaya politik dalam
masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.
Dengan mempelajari modul ini maka Anda akan mengetahui ruang
lingkup budaya politik, baik yang berkembang pada masa jayanya
pendekatan tingkah laku maupun pada periode terakhir ini. Selain itu Anda
juga bisa memahami bidang kajian lain yang perlu diketahui dan dipelajari
ketika kita mempelajari kebudayaan politik.
Secara khusus setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan
mengetahui dan dapat menjelaskan tentang:
 ISIP4212/MODUL 4 4.3

1. konsepsi budaya politik yang dikembangkan oleh Gabriel Almond dan


Bingham Powell;
2. premis budaya politik yang diidentifikasikan oleh Almond dan Verba;
3. konsep good governance dan kewarganegaraan; studi tentang sosialisasi
politik dan komunikasi politik yang menyertai studi budaya politik.
4.4 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Kegiatan Belajar 1

Budaya Politik

B udaya politik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu politik
yang sangat merefleksikan adanya pengaruh lintas disiplin dengan
bidang-bidang ilmu sosial lainnya. Sebagaimana diindikasikan dari istilah
’budaya politik’, maka kajian ini bermula dari konsepsi dan kajian-kajian
mengenai kebudayaan itu sendiri. Ilmu politik mengembangkan kajian
budaya politik jauh setelah bidang-bidang ilmu sosial lain seperti
antropologi, sejarah, sosiologi maupun psikologi mengembangkan kajian
budaya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kajian budaya politik
memperoleh banyak pengaruh dari bidang-bidang ilmu sosial tersebut. Pada
tahun 1871 E.B. Taylor telah memperkenalkan konsep kebudayaan dalam
studi antropologi yang menurutnya adalah: ”keseluruhan yang kompleks
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan lain-lain
kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota
sebuah masyarakat.” (sebagaimana dikutip oleh Chilcote 1981: 218). Ralph
Linton mengartikan kebudayaan, dengan memberi tekanan pada ciri-ciri
kesejarahan, sebagai ’pewarisan sosial atau tradisi sosial.’ Sementara C.S.
Ford memaknai kebudayaan secara psikologis sebagai cara-cara untuk
memuaskan kebutuhan dan pemecahan permasalahan. Dan, Parsons bersama
dengan Kroeber memberikan penafsiran sosiologis mengenai kebudayaan
yaitu ”isi dan pola-pola nilai, gagasan dan sistem-sistem simbol yang
bermakna yang membentuk tingkah laku atau benda-benda yang diproduksi
lewat tingkah laku manusia yang ditransmisikan dan diciptakan…” (Chilcote
1981: 218-220).
Talcott Parsons adalah salah seorang ilmuwan yang gagasannya sangat
mempengaruhi pengembangan kajian budaya politik. Konsep budaya Talcott
Parsons, sebagaimana dikutip di atas misalnya, mengilhami Gabriel Almond
untuk mengembangkan konsep budaya politik. Budaya didefinisikan
Almond sebagai kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan
nilai-nilai yang relevan dalam masyarakat yang ditransmisikan, dipelajari
dan dimiliki bersama; budaya merupakan hasil interaksi di antara manusia.
Gagasan budaya yang dikembangkan oleh Parsons ini dapat dibedakan
berdasarkan tiga kategori fungsional dan sistem yaitu: kognitif atau sistem
 ISIP4212/MODUL 4 4.5

kepercayaan, ’cathectic’ atau sistem simbol yang ekspresif, dan evaluatif atau
sistem orientasi nilai.
Bidang ilmu psikologis dan ilmu antropologi memberikan sumbangan
lain pada kajian tentang budaya politik, kedua bidang ilmu tersebut
memberikan peran yang sama pentingnya antara aspek individual (atau
personalitas) dan sistem sosial. Oleh karena itu semua unsur-unsur yang ada
dalam sistem kebudayaan seperti kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol,
dan nilai-nilai juga dikaji pada tingkat individual dan tingkat sistem. Gagasan
ini memberikan pengaruh besar pada karya-karya ilmuwan politik
selanjutnya, seperti Harold Lasswell, Gabriel Almond, Lucien Pye dan
Sidney Verba, dimana mengakui sumbangan yang diberikan oleh ilmu-ilmu
sosial lain untuk kemajuan ilmu politik. Almond bahkan mengatakan
pemikirannya menjadi lebih kaya dengan digunakannya kategori-kategori
psikologis dan antropologis. Tidak dipungkiri bahwa analisis budaya dapat
meningkatkan pemahamanan akan politik. (Chilcote 1981: 221-222).

A. KONSEPSI BUDAYA POLITIK

Konsep budaya politik yang merefleksikan pengaruh karya Parsons dan


bidang-bidang ilmu sosial lain tergambar dengan jelas dalam buku Gabriel
Almond dan G. Bingham Powell Jr Comparative Politics: Sistem, Process,
and Policy diterbitkan pada tahun 1978. Dalam buku tersebut Almond dan
Powell mengembangkan gagasan mereka tentang budaya politik, mengikuti
cara berpikir keilmuan yang dominan pada waktu itu. Mereka memulai
uraian tentang budaya politik dengan memberikan definisi budaya politik.
Menurut mereka budaya politik adalah seperangkat sikap-sikap,
kepercayaan-kepercayaan, dan perasaan-perasaan tentang politik yang
terjadi dalam sebuah negara pada suatu waktu tertentu. Menurut mereka
budaya politik dibentuk oleh sejarah bangsa dan proses-proses sosial,
ekonomi, dan aktivitas politik yang berlangsung. Budaya politik
mempengaruhi tingkah laku politik individu, isi tuntutan-tuntutan politik
mereka dan respons politik mereka. (Almond dan Powell 1978: 25). Dengan
demikian budaya politik merupakan orientasi politik dan sikap individu-
individu dalam hubungannya dengan sistem politik di mana mereka
merupakan anggotanya. Bila kita berbicara mengenai budaya politik sebuah
masyarakat, maka akan merujuk pada sistem politik yang terinternalisasi
4.6 PENGANTAR ILMU POLITIK 

dalam kognisi, perasaan-perasaan dan evaluasi-evaluasi anggota masyarakat


tersebut.
Konsep untuk menganalisis budaya politik dibangun baik di tingkat
individu maupun di tingkat sistem. Pada tingkat orientasi individual, Almond
membedakan sikap individu terhadap objek politik atas tiga bagian, yaitu
kognitif, afektif, dan evaluatif. Orientasi kognitif individu meliputi
pengetahuan dan kepercayaan yang diukur dengan menggunakan
pengetahuan mengenai sistem politik, tokoh-tokoh politik dan kebijakan
politik yang berlaku. Komponen afektif diukur dengan melihat perasaan
individu terhadap sistem politik, yaitu menerima dan terikat pada sistem atau
menolak dan teralienasi dari sistem dan tokoh-tokoh politik. Komponen
evaluasi, melihat sistem dengan memperhatikan norma evaluatif individu
terhadap sistem politik. Misalnya, apakah individu membenarkan atau
menganggap tidak benar praktik korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah;
atau penilaian individu atas norma-norma demokrasi yang berlaku dalam
sistem. Namun, ada saling keterkaitan di antara ketiga komponen tersebut,
misalnya pengetahuan tentang sistem politik dibentuk atau membentuk
perasaan dan evaluasi terhadap sistem. Ini berarti pengetahuan tentang sistem
politik yang negatif akan membentuk atau dibentuk oleh perasaan negatif
terhadap sistem dan dapat dipastikan evaluasinya juga akan cenderung
negatif.

B. TIGA ASPEK BUDAYA POLITIK

Ada tiga aspek budaya politik. Pertama adalah orientasi terhadap sistem;
kedua, orientasi terhadap proses politik; ketiga, orientasi terhadap kebijakan
publik. Aspek pertama menentukan keabsahan (legitimacy) para otoritas
politik. Jika warganegara bersedia mematuhi aturan perundang-undangan
yang dibuat penguasa dan melaksa-nakannya karena mereka percaya bahwa
mereka memang harus melakukan hal itu, maka ada otoritas politik yang
dianggap absah. Dalam masyarakat yang tradisional maka keabsahan
penguasa politik diperoleh karena warisan status dan ketaatan pada
kepercayaan agama atau pada adat kebiasaan. Dalam sistem demokrasi
modern keabsahan penguasa tergantung pada proses politik yang demokratis.
Jika otoritas yang berkuasa terpilih untuk duduk pada jabatannya lewat
proses pemilihan yang dapat diterima (dilakukan lewat kompetisi yang jujur
dan adil); dan peraturan atau kebijakan yang dibuat mengikuti prosedur
 ISIP4212/MODUL 4 4.7

konstitusional, maka keabsahan otoritas tidak lagi diragukan dan dapat


dipastikan akan adanya dukungan bagi keputusan-keputusan atau aturan-
aturan yang dikeluarkannya. Keabsahan sebuah sistem akan berjalan
berbarengan dengan ketaatan dari warga anggota sistem yang bersangkutan.
Almond mendukung legitimasi yang diperoleh lewat proses politik yang
demokratis. Legitimasi demikian akan lebih menjamin kestabilan di dalam
sistem politik.
Aspek budaya politik kedua merupakan orientasi terhadap proses politik.
Orientasi kognitif, afektif dan evaluatif merupakan dasar pembentukan
tipologi budaya politik. Ada tiga macam tipe budaya politik berkaitan dengan
proses politik menurut Almond dan Powell, yaitu parochial, subjek dan
partisipan; dan tipologi ini dibedakan kegunaannya. Pertama, untuk melihat
pengaruh individu dalam proses politik. Kedua, untuk melihat hubungan-
hubungan diri dengan aktor-aktor lain.
Dilihat dari sudut pengaruh individu dalam proses politik maka budaya
politik dikatakan parochial bila warga negara tidak memiliki atau kecil sekali
tingkat kesadaran politiknya tentang sistem politik. Individu (warga negara)
tidak melihat bahwa dirinya atau partisipasinya berpengaruh terhadap sistem
politik. Persepsi seperti ini sangat umum di dalam masyarakat yang masih
tradisional atau yang sedang mengalami perubahan. Sebuah budaya politik
disebut subjek bila warga negara yang menjadi bagian dari sebuah sistem
politik nasional memandang ada pengaruh atau potensi pengaruh dari sistem
tersebut pada kehidupan mereka. Mereka melihat diri mereka dipengaruhi
oleh tindakan-tindakan pemerintah tetapi tidak ikut aktif dalam membentuk
kebijakan atau tindakan pemerintah tersebut. Warga negara yang mempunyai
budaya politik demikian tergolong sebagai kelompok orang yang pasif
orientasinya terhadap proses politik; sikap mereka tidak jelas, kadangkala
mendukung tetapi dapat pula tampak teralienasi dari otoritas yang berkuasa.
Partisipan merupakan budaya politik yang ideal dalam sebuah sistem
politik yang demokratis. Warga negara dalam kelompok ini mempunyai
kesadaran bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem politik, oleh karena itu
mereka akan berusaha untuk terlibat dan menggunakan kesempatan untuk
berperan serta mempengaruhi proses politik. Keadaan ini, umumnya
dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan dan kompetensi serta
mempunyai korelasi positif dengan budaya politik partisipan warga negara
dalam sebuah negara. Jika sistem politik membuka kesempatan bagi warga
negara untuk berpartisipasi dalam proses politik maka jumlah warga negara
4.8 PENGANTAR ILMU POLITIK 

yang akan ikut aktif berpartisipasi akan tinggi dan pengaruh mereka akan
meningkat. Apakah ada kombinasi budaya politik? Menurut Almond dan
Powell ada, misalnya dalam sistem politik otoritarian di mana partisipasi
warga negara sangat terbatas, mungkin muncul budaya subjek-partisipan di
mana warga negara berpartisipasi menggunakan kesempatan untuk
mengontak birokrat dalam upaya untuk mempengaruhi tindakan pemerintah
yang dapat mempengaruhi hidup mereka. (Almond dan Powell 1978: 34-36)
Persepsi, kepercayaan, perasaan dan penilaian di antara sesama warga
masyarakat; dan di antara individu dan aktor politik atau di antara kelompok
sosial dengan latar belakang yang beragam juga penting dalam kajian budaya
politik. Selain itu budaya politik mengkaji pula bagaimana individu
mengidentifikasikan diri, apakah kepada kelompok kecilnya atau pada
kelompok yang bersifat regional ataukah nasional, dan bagaimanakah
perasaan mereka terhadap orang-orang lain yang bukan anggota
kelompoknya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat terkait
dengan persoalan atau isu kepercayaan, rasa suka atau tidak suka, rasa curiga
atau perasaan hostility seseorang atau satu kelompok terhadap orang atau
kelompok lain. Dalam masyarakat yang potensi konfliknya tinggi maka
perasaan curiga atau hostility satu kelompok terhadap kelompok lain
umumnya tinggi.
Aspek budaya politik ketiga berkaitan dengan pola orientasi terhadap
kebijakan publik. Aspek ketiga ini tidak sering diungkap ketika orang
membicarakan budaya politiknya Almond dan Powell. Padahal bagian ini,
menurut kedua penulis, ”… lies the image of the good society” atau citra
masyarakat yang baik justru ada pada aspek ini. Berdasarkan aspek ini maka
rakyat menilai bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Apakah kondisi yang
ada telah sesuai dengan harapan atau masih jauh dari harapan, apakah ada
pengaruhnya jika warga negara berpartisipasi untuk mengubah kondisi
masyarakat yang buruk? Jika dipandang sebuah tindakan, maka dapat
mempengaruhi kondisi sosial yang ada, dan pasti akan ada dorongan untuk
memberi desakan pada kebijakan yang dapat mengubah kondisi menuju yang
dicita-citakan. Pilihan kebijakan publik, dengan demikian, merupakan
pilihan-pilihan performance (kinerja) sistem politik; yaitu kemampuannya
untuk menarik atau mendistribusikan sumber daya sosial dan mengatur
tingkah laku. Biasanya pilihan-pilihan tersebut merupakan strategi atau
keinginan untuk mencapai hasil sosial melalui berbagai tindakan politik.
Perbedaan pilihan menurut kedua penulis bisa disebabkan karena adanya
 ISIP4212/MODUL 4 4.9

perbedaan teori tentang bagaimana mencapai hasilnya, perbedaan persepsi


tentang kondisi sosial yang ada dalam masyarakat saat ini, atau karena
perbedaan gagasan tentang hasil sosial yang ideal. (Almond dan Powell
1978: 39-43).
Contoh menarik mengenai perbedaan pilihan kebijakan misalnya
mengenai pandangan politisi Inggris dan Italia mengenai redistribusi. Politisi
di Italia sangat setuju (73% sangat setuju dan 24% setuju) bahwa redistribusi
dilakukan dengan mengambil dari orang-orang kaya untuk diberikan pada
orang-orang yang miskin. Sementara politisi Inggris tidak setuju dengan cara
redistribusi seperti itu (40% tidak setuju dan 12% sangat tidak setuju).
Perbedaan pandangan bisa merefleksikan perbedaan kondisi sosial di Italia
dan Inggris, bisa juga karena latar belakang sosial para politisi. Politisi yang
melihat bahwa kebijakan kesejahteraan sebagai program redistribusi bagi
kelompok miskin yang tidak dapat dihindarkan akan menentang politik
kompromistis; politisi Inggris akan cenderung mendukung posisi ideologis
ekstrim kanan (menentang kebijakan) dan politisi Italia mendukung ekstrim
kiri (mendukung kebijakan). (Almond dan Powell 1966: 43-44).
Asumsi dan kepercayaan tentang kebijakan publik bisa berubah karena
beberapa hal. Di antara sebab-sebab perubahan tersebut adalah karena
perubahan kondisi-kondisi yang ada atau karena adanya pengalaman dari
negara-negara lain yang dapat dipelajari atau ditiru. Sebagai contoh yang
menarik adalah perubahan kondisi politik dari pengalaman Indonesia sesudah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998; yang terkait dengan
pelaksanaan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004. Perubahan utama adalah
diperkenankan dilakukannya pemantauan pada hari pemungutan suara di
tempat-tempat pemungutan suara. Pengalamanan di negara-negara yang baru
melaksanakan pemilu bebas untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa
kehadiran pemantau pemilu dapat membantu meningkatkan kepercayaan
pada hasil pemilihan. Pemantauan pemilu diperkenankan untuk dilakukan
dalam pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1999 dan tahun 2004; dan
pemantau pemilu mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugas
pemantauannya.
Identifikasi dan sikap kelompok juga dapat memberikan dampak pada
kebijakan publik. Sebagai contoh, misalnya yang berkaitan dengan kebijakan
perlindungan bagi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga. Semakin
menguatnya identifikasi perempuan sebagai kelompok dan sikap mereka
menentang kekerasan di dalam rumah tangga telah mendorong disusunnya
4.10 PENGANTAR ILMU POLITIK 

kebijakan regulatif yang diwujudkan dalam UU-AKDRT (Undang-Undang


Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang memberikan perlindungan bagi
perempuan dari kekerasan di dalam rumah tangga.

C. BANGUNAN BUDAYA POLITIK

Membangun masyarakat dan negara modern setelah perang dunia


berakhir tidak dapat dilakukan tanpa pembangunan serta modernisasi. Di
abad ini dapat dikatakan tidak ada masyarakat dan negara yang berkembang
tanpa melalui proses modernisasi atau melakukan pembangunan. Kedua
proses tersebut seperti kuda penarik bagi kereta yang harus berjalan; tanpa
hewan penarik maka kereta akan berhenti berjalan. Tanpa modernisasi dan
pembangunan perkembangan masyarakat dan negara sulit dijalankan atau
bahkan mungkin bisa mandeg. Membangun budaya politik modern
merupakan satu bagian penting dalam upaya membangun masyarakat dan
negara modern.
Budaya modern dibedakan dengan budaya tradisional. Talcott Parsons
membedakan empat (4) variabel-berpola yang membedakan antara budaya
tradisional dan budaya modern. Pertama, budaya modern melihat sebuah
objek secara spesifik tidak lagi dengan cara ’mencampur-baur’ (diffuse).
Kedua, budaya modern melihat sesuatu secara netral, tidak secara emosional.
Ketiga, budaya modern mengikuti standar-standar dan konsep-konsep yang
universal, tidak partikular. Keempat, budaya modern menekankan
pencapaian, bukan pewarisan status dalam menilai dan merekrut individu-
individu untuk peran-peran sosial. (Talcott Parsons 1951 : 58-67 dalam
Almond dan Powell 1966: 47) Budaya dengan pola sebagaimana disebutkan
di atas disebut sebagai budaya yang berorientasi sekular. Dan budaya sekular
biasanya terbuka terhadap informasi baru dan berupaya mencari informasi
baru, menerima perubahan dan berupaya menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan. Upaya untuk mengembangkan pola budaya modern
sedemikian disebut dengan sekularisasi.
Almond dan Powell mencoba untuk melihat pengaruh sikap atau
orientasi sekular ini dalam budaya politik pada tingkat sistem, proses dan
kebijakan. Pada tingkat sistem sekularisasi berarti melemahnya penggunaan
adat kebiasaan dan karisma sebagai basis legitimasi pemerintah, dan
meningkatnya kinerja pemerintah berdasarkan keabsahan (legitimasi). Pada
tingkat proses, sekularisasi berarti semakin meningkatnya kesadaran akan
 ISIP4212/MODUL 4 4.11

kesempatan politik dan kesediaan untuk menggunakan kesempatan bagi


banyak orang. Dengan kata lain ini berarti meningkatnya partisipasi politik.
Perubahan pandangan akan sumber legitimasi dan penekanan pada
kemampuan individu untuk merubah nasib mereka lewat partisipasi. Pada
tingkat kebijakan pengaruh sekulerisasi tampak pada kesempatan
menghasilkan kebijakan untuk mengontrol lingkungan ekonomi dan sosial
sesuai keinginan masyarakat. (Almond dan Powell 1978: 48-49). Secara
umum dapat dikatakan bahwa sekularisasi berarti kesadaran akan
kemungkinan untuk dapat mengontrol lingkungan sosial dan ekonomi kita.
Di dalam praktik politik hal ini berarti kita harus memilih para pemimpin
yang menurut penilaian kita akan mampu untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik. Sebagai rakyat kita berpartisipasi secara aktif untuk
memungkinkan terpilihnya pemimpin atau pejabat-pejabat publik yang kita
nilai mampu melakukan tugasnya untuk melayani dan meningkatkan
kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya.
Akan tetapi menurut Almond dan Powell sekularisasi tidak selalu
membawa kebaikan. Ada situasi-situasi di mana sekularisasi tidak harus dan
tidak cukup untuk meningkatkan kinerja. Sekularisasi yang terlalu
berlebihan, misalnya, sehingga menghapus semua nilai-nilai kecuali
kepentingan diri sendiri (self-interest) justru akan menjadi penghambat
kinerja yang baik. Selain itu, dalam masyarakat di mana perbedaan-
perbedaan kondisi sosial ekonomi sangat besar dan tingkat konfliknya sangat
tinggi peningkatan kesempatan untuk berpartisipasi untuk mengubah keadaan
justru dapat memperbesar konflik politik. Sekularisasi tidak berarti
dihapuskannya semua nilai-nilai atau tradisi kolektif yang mengikat
masyarakat. Oleh karena itu jika kita ingin mendapatkan hasil yang
konstruktif maka sekularisasi harus dibingkai oleh aturan-aturan dan norma-
norma kolektif yang disepakati bersama. (Almond dan Powell 1978: 50-51).

D. PREMIS-PREMIS KONSEPTUAL BUDAYA POLITIK

Almond telah menuangkan pikirannya tentang budaya politik lama


sebelum ia menuliskan bukunya dengan Powell Comparative Politics:
Sistem, Process, and Policy (1978). Budaya politik telah lama menjadi fokus
perhatian Almond. Ia bahkan telah mengkaji isu tersebut bersama Sidney
Verba dalam bukunya Civic Culture (1963). Dalam berbagai tulisannya
4.12 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Almond berulang-ulang mengangkat gagasan dasar yang melandasi konsepsi


budaya politiknya. Di antaranya yang tampak antara lain:
1. partisipasi dan proses politik yang demokratis, yaitu peran serta
warga negara secara aktif dan proses politik yang demokratis dengan
terbukanya kesempatan yang besar untuk melibatkan sebanyak mungkin
warga negara menjadi gambaran sebuah masyarakat politik yang ideal.
Dan menjadi tanggung jawab warga negara untuk menjadi aktif sebagai
salah satu unsur kewarganegaraan yang baik. Pengembangan proses
politik yang demokratis diyakini terkait erat dengan peningkatan budaya
politik partisipan.
2. Rasionalitas dan sekularisasi, yaitu mendukung cara berpikir yang
rasional serta ditinggalkannya orientasi tradisional yang menghambat
perkembangan menuju masyarakat dan negara modern baik pada tingkat
individu maupun masyarakat. Individu warga yang rasional dan
berorientasi sekular akan berupaya mencari informasi, mempunyai latar
belakang pendidikan yang baik, berupaya untuk mengontrol situasi
ekonomi dan sosialnya, dan menghargai pencapaian.
3. Kebaikan bersama dan tanggung jawab, yaitu sebuah sistem yang
berjalan dengan baik yang tergantung pada kebaikan individu warga
negara dan kinerja sistem secara keseluruhan. Masing-masing
mempunyai peran dan tanggung jawab yang harus dijalankan.
Kemampuan sistem untuk menarik dan mendistribusikan sumber daya
serta mengatur perilaku warganya dianggapnya penting. Di dalam
masyarakat yang pluralistis perlu dibangun kepercayaan dan
ditinggalkannya rasa saling curiga, kepribadian yang demokratis yang
disertai kompetensi, orientasi dan perilaku partisipan warga negara,
merupakan bentuk tanggung jawab pribadi untuk menghasilkan kebaikan
bersama.

Berbagai unsur tersebut di atas jika dapat dikembangkan bersama-sama


akan menghasilkan masyarakat dan pemerintahan yang modern dan stabil.
Ada sedikit kekhawatiran Almond mengenai dampak peningkatan partisipasi
dan sekularisasi yang dapat meningkatkan konflik bilamana terdapat
perbedaan kondisi sosial ekonomi yang besar di antara kelompok-kelompok
di dalam masyarakat. Meskipun demikian Almond dan kawan-kawan percaya
 ISIP4212/MODUL 4 4.13

bahwa konflik akan dapat dihindarkan bila aktivitas warganegara tidak


semata-mata dimotivasi oleh self-interest tetapi lebih mengutamakan
kebaikan bersama dan tanggung jawab, dan sekularisasi tidak harus diartikan
sebagai meninggalkan semua tradisi serta nilai atau norma yang sudah
mapan.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Diskusikan bidang ilmu mana yang sangat mempengaruhi


pengembangan kajian budaya politik sebagaimana yang dikembangkan
oleh Gabriel Almond!
2) Jelaskan dengan menggunakan konsep budaya politik dari Gabriel
Almond yang dimaksud dengan budaya politik di tingkat individu dan
budaya politik di tingkat sistem. Berikan contoh masing-masing!
3) Uraikan hubungan antara aspek budaya politik dengan legitimasi
(keabsahan) di negara demokrasi modern!
4) Uraikan 3 (tiga) macam tipe budaya politik dilihat dari orientasi
warganya terhadap proses politik. Yang manakah yang terbaik dalam
sistem yang demokratis menurut Anda?
5) Jelaskan konsep budaya politik yang berorientasi sekular, dan bagaimana
pengaruh orientasi politik yang sekular pada tingkat sistem, proses dan
kebijakan?
6) Menurut G. Almond unsur apa yang diperlukan dan harus dikembangkan
untuk menghasilkan masyarakat dan pemerintah yang modern dan
stabil?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Bidang ilmu yang sangat mempengaruhi kajian budaya politik yang


dikembangkan oleh Gabriel Almond adalah sosiologi. Gagasan-gagasan
4.14 PENGANTAR ILMU POLITIK 

yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, khususnya, telah mengilhami


konsepsi budaya politik dari Gabriel Almond.
2) Budaya politik merupakan orientasi politik dan sikap individu-individu
dalam hubungannya dengan sistem politik di mana mereka merupakan
anggotanya. Konsep untuk menganalisis budaya politik dibangun pada
dua level: individu dan sistem. Pada level orientasi individual Almond
membedakan sikap individu terhadap objek politik atas tiga bagian:
kognitif, afektif dan evaluatif; contoh (kognitif): pengetahuan warga
negara tentang presiden dan kabinet di dalam pemerintahan, (afektif)
perasaan mereka tentang presiden dan menteri-menteri pembantu
presiden, (evaluatif) bagaimana penilaian mereka tentang kerja atau
prestasi presiden dan kabinetnya.
3) Hubungan antara aspek budaya politik dengan keabsahan (legitimasi) di
negara yang menganut demokrasi: dalam sebuah sistem yang demokratis
maka keabsahan pemerintah didapat dari rakyat lewat proses pemilihan
umum. Semakin tinggi tingkat keikutsertaan rakyat dalam pemilu
semakin tinggi tingkat keabsahan (legitimasi) rezim (pemerintah) yang
dihasilkan lewat pemilu tersebut. Budaya politik partisipan merupakan
budaya politik yang ideal dalam sistem yang demokratis. Dalam sistem
yang sedemikian terbuka kesempatan bagi warga negara untuk berperan
serta secara aktif dalam proses politik.
4) Tiga macam tipe budaya politik dilihat dari orientasi warga terhadap
proses politik sebagai berikut:
a) budaya politik parokhial;
b) budaya politik subjek;
c) budaya politik partisipan.
5) Yang dimaksud budaya politik yang berorientasi sekular adalah sebuah
budaya politik yang terbuka terhadap informasi baru dan berupaya
mencari informasi baru, yang dapat menerima perubahan dan berusaha
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Budaya
politik sekular berpengaruh pada level sistem, proses dan kebijakan.
Pada level sistem sekularisasi berarti melemahnya adat kebiasaan dan
karisma sebagai sumber legitimasi. Pada tingkat proses berarti
meningkatnya kesadaran akan kesempatan politik dan meningkatnya
 ISIP4212/MODUL 4 4.15

partisipasi politik. Pada tingkat kebijakan kesempatan yang


menghasilkan kebijakan untuk mengontrol lingkungan ekonomi dan
sosial sesuai dengan keinginan rakyat.
6) Unsur yang diperlukan untuk menghasilkan masyarakat yang modern
dan stabil menurut Gabriel Almond antara lain:
a) adanya partisipasi dan proses politik yang demokratis;
b) rasionalitas dan sekularisasi;
c) adanya orientasi untuk kebaikan bersama dan tanggung jawab pada
individu warga negara dan sistem politik.

R A NG KU M AN

Budaya politik tidak bisa dipelajari tersendiri terlepas dari


sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ketiga bidang itu berkembang
secara bersamaan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh
bidang-bidang ilmu sosial lainnya seperti antropologi, psikologi dan
sosiologi. Karena bidang ini dikembangkan berdasarkan studi yang
dilakukan dalam masyarakat dan sistem demokrasi di negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat, maka kajian-kajian tentang budaya politik
sering dikatakan mengandung bias demokrasi Barat.

TE S F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Konsepsi tentang kebudayaan politik yang dikembangkan oleh G.


Almond mendapat pengaruh kuat dari konsepsi kebudayaan yang
dikembangkan oleh ….
A. E.B. Taylor
B. C.S. Ford
C. Harold Lasswell
D. Talcott Parsons
4.16 PENGANTAR ILMU POLITIK 

2) Sumbangan terbesar dari ilmu psikologi terhadap kajian tentang budaya


politik adalah pemahaman tentang politik di ….
A. tingkat sistem
B. tingkat masyarakat
C. tingkat individual
D. semua tingkat

3) Menurut G. Almond dan G.B. Powell Jr konsepsi budaya politik yang


mereka kembangkan dipengaruhi oleh ….
A. sistem, proses dan kebijakan
B. sikap, kepercayaan dan perasaan tentang politik
C. sejarah bangsa dan proses-proses ekonomi, budaya, politik
D. A, B dan C

4) Orientasi individu terhadap objek politik dibedakan atas tiga bagian ….


A. kognitif, afektif dan evaluatif
B. sikap, perasaan dan kepercayaan
C. sistem proses, dan policy
D. parokhial, subjek dan partisipan

5) Berdasarkan tipe budaya politik maka orientasi terhadap proses politik


dapat dibedakan atas ….
A. kognitif, afektif dan evaluatif
B. sikap, perasaan, dan kepercayaan
C. sistem, proses dan policy
D. parokhial, subjek dan partisipan

6) Jika warga negara menganggap bahwa sistem politik di mana mereka


merupakan bagian berpengaruh atau berpotensi mempengaruhi
kehidupan mereka meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, maka
warga negara tersebut mempunyai budaya politik ….
A. parokhial
B. subjek
C. partisipan
D. pasif
 ISIP4212/MODUL 4 4.17

7) Jika masyarakat menganggap bahwa keabsahan yang dimiliki oleh


penguasa politik diperoleh karena warisan status dan ketaatan pada
penguasa karena kepercayaan pada agama, adat istiadat, maka
masyarakat tersebut disebut sebagai masyarakat ….
A. tradisional
B. subjektif
C. parokhial
D. partisipatif

8) Budaya politik yang sekular pada level proses dapat diartikan sebagai
budaya yang ….
A. parokhial
B. subjek
C. partisipan
D. modern

9) Budaya politik parokhial tidak selalu berarti negatif khususnya di dalam


masyarakat yang ….
A. penuh konflik
B. masih tradisional
C. berorientasi sekular
D. sudah tinggi tingkat kesadarannya

10) Proses politik yang demokratis terkait erat dengan orientasi budaya
politik yang ….
A. parokhial
B. subjektif
C. partisipan
D. apati

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal
4.18 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 ISIP4212/MODUL 4 4.19

Kegiatan Belajar 2

Kewarganegaraan dan Penyelenggaraan


Pemerintahan yang Baik

B erbagai peristiwa baik di tingkat nasional maupun internasional dalam


dua dekade terakhir ini membawa perubahan yang cukup besar dalam
politik. Gelombang demokratisasi yang melanda dunia setelah runtuhnya Uni
Soviet dan hancurnya ideologi komunis memunculkan kesadaran baru akan
pentingnya berbagai unsur dalam negara untuk saling bekerja sama
membangun kembali tatanan kehidupan bersama yang lebih baik.
Meningkatnya pluralisme budaya dan pengelompokan-pengelompokan baru
dalam masyarakat serta munculnya berbagai gerakan sub-nasional
mendesak akan tuntutan pengakuan identitas dan keberbedaan kelompok-
kelompok, khususnya kelompok minoritas yang terpinggirkan, terabaikan,
atau mendapat pelakuan represi; dan diberikannya penghormatan atas hak-
hak dan kewajiban-kewajiban warga negara dan negara. Selain itu, mendesak
pula untuk diperhatikan oleh setiap institusi di dalam masyarakat dan negara
untuk menyelenggarakan kegiatan masing-masing secara terbuka, bersih,
bertanggung jawab, akuntabel, serta hasilnya sesuai dengan yang
direncanakan dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah proses demokrasi yang
dapat diterima.

A. KEWARGANEGARAAN

Beberapa perubahan politik yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun


terakhir ini, meningkatkan perhatian pada persoalan kewarganegaraan.
Pertama, fenomena perubahan dalam politik internasional yang berdampak
pada negara nasional, di antaranya runtuhnya kontrol komunis di Eropa
Timur, pembentukan kembali batas-batas wilayah nasional di sejumlah
negara yang mengalami perpecahan misalnya Uni Soviet dan Yugoslavia.
Kedua, meningkatnya dominasi ideologi kanan baru sehingga menimbulkan
ancaman terhadap hak-hak sosial warga negara (khususnya yang tergolong
miskin dan tidak beruntung) dan bentuk negara kesejahteraan. Ketiga,
peningkatan migrasi antarnegara dan para pengungsi yang mencari
perlindungan di negara-negara yang aman, meningkatnya kemajemukan etnis
4.20 PENGANTAR ILMU POLITIK 

masyarakat dan tuntutan yang dilontarkan oleh kelompok masyarakat adat


dan suku-suku asli. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan-
pertanyaan mengenai hak dan kewajiban warga negara dan juga negara
nasional untuk melindungi warga negara dalam batas-batas wilayah negara
dari orang-orang dengan latar belakang ras, etnis dan agama yang berbeda
atau dari pihak-pihak asing lainnya seperti lembaga-lembaga atau badan-
badan internasional.

Definisi kewarganegaraan:

Kesulitan mendefinisikan konsep kewarganegaraan menyebabkan sering


digunakannya definisi yang dibuat oleh T.H. Marshall, seorang ilmuwan
yang mengangkat masalah kewarganegaraan setelah Perang Dunia II.
Menurut Marshall kewarganegaraan adalah

status yang diperoleh mereka yang merupakan anggota penuh sebuah


komunitas. Semua yang memiliki status tersebut memiliki hak dan
kewajiban yang sama yang melekat pada status yang diperolehnya
tersebut.

Definisi Marshall di atas menjadi acuan utama setiap kali membicarakan


kewarganegaraan. Sebagaimana pengertian umum tentang kewarganegaraan
konsep ini pertama-tama bermakna status atau keanggotaan seseorang dalam
sebuah komunitas. Definisi Marshall tampaknya berisi lebih dari sekedar
status seseorang dalam komunitas politik. Selain status konsep
kewarganegaraan tersebut juga mempunyai makna persamaan di antara
sesama warga komunitas politik. Dan persamaan tersebut diwujudkan dalam
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada seseorang karena ia
merupakan anggota komunitas tersebut. Ada dua dimensi yang terkandung
dalam definisi Marshall tersebut. Pertama, seperangkat aturan hukum yang
mengatur hubungan antara individu, serta hak dan kewajiban negara maupun
warga negara. Kedua, seperangkat hubungan sosial di antara individu dan
negara, dan antar individu.
Definisi terbaru tentang kewarganegaraan memperlihatkan adanya
cakupan yang lebih luas daripada yang dikemukakan dalam konsepnya
Marshall. Olof Petersson, misalnya mengartikan kewarganegaraan sebagai
”kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengaturan
 ISIP4212/MODUL 4 4.21

masyarakat.” Thomas Janowski memberikan pengertian yang lain lagi,


menurutnya kewarganegaraan adalah ”keanggotaan pasif dan aktif dalam
sebuah negara nasional dengan hak-hak universal dan tingkat persamaan
tertentu”. Menurut Jonathan Friedman kewarganegaraan sebagai
”keanggotaan dalam wilayah tertentu atau dalam masyarakat yang diatur
oleh sebuah pemerintahan ”.
Ketiga definisi kewarganegaraan ini memperlihatkan adanya tafsir baru
dan pemaknaan yang lebih merefleksikan gagasan demokrasi dalam konsep
kewarganegaraan. Hal ini tampak misalnya dengan dimasukkannya konsep
partisipasi, keanggotaan aktif, hak-hak universal dan pengaturan oleh negara.
Sehingga secara umum dapat dicatat adanya beberapa elemen yang sama di
antara semua definisi yang dikemukakan di atas, yaitu partisipasi, persamaan
hak dan kewajiban warga dalam pemerintahan dan masyarakat.
Dengan demikian jika kita berbicara mengenai kewarganegaraan maka
kita berbicara mengenai beberapa isu umum kewarganegaraan. Yang paling
utama di antaranya adalah mengenai isu keanggotaan dalam sebuah
komunitas; hubungan di antara individu dan negara, dan hubungan di antara
warga dalam komunitas; hubungan tersebut sangat ditentukan oleh hak dan
kewajiban yang mengikutinya; status pada hak-hak melekat atau praktik yang
terkait dengan kebajikan warga dalam masyarakat (civic virtue) dan
partisipasi dalam komunitas politik.

B. TRADISI KEWARGANEGARAAN

Ada dua tradisi utama dalam kewarganegaraan, pertama, tradisi liberal


atau tradisi Marshall. Kedua, tradisi republikan sipil atau juga sering disebut
sebagai komunitarian. Secara sederhana perbedaan di antara kedua tradisi
tersebut sering dilihat pada perbedaan penekanan atas hak dan kewajiban.
Tradisi liberal diwakili oleh pemikiran kewarganegaraan T.H. Marshall yang
menekankan pada hak-hak individu. Sedangkan tradisi republikan sipil lebih
menekankan kewajiban-kewajiban sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat. Perbedaan pada kedua tradisi tersebut jauh lebih luas
daripada soal penekanan hak dan kewajiban.
T.H. Marshall merumuskan konsep kewarganegaraan yang bersumber
pada tradisi liberal. Oleh karena itu, aliran kewarganegaraan disebut juga
sebagai kewarganegaraan Marshallian. Gagasan kewarganegaraan yang
dikembangkan oleh T.H. Marshall, bermula dari ide Alfred Marshall untuk
4.22 PENGANTAR ILMU POLITIK 

memperbaiki kondisi kelas pekerja lewat perbaikan ekonomi dan peningkatan


pendidikan. T.H. Marshall mengembangkan ide tersebut dengan menyatakan
bahwa kondisi perbaikan ekonomi mungkin dicapai jika mereka diterima
sebagai anggota penuh di dalam masyarakat, ini artinya mereka diterima
sebagai warga negara. Menurut Marshall ketidakadilan secara ekonomi tidak
dapat dihapuskan tetapi kondisi ketidaksamaan kelas sosial akan lebih dapat
diterima jika persamaan kewarganegaraan diakui. Bagi Marshall perubahan
ekonomi akan menghapuskan perbedaan kelas, dan secara bertahap akan
menghasilkan masyarakat yang lebih terintegrasi serta lebih egalitarian di
mana setiap warga memperoleh persamaan penuh. Aspirasi ini dapat dicapai
dengan cara memasukkan hak-hak sosial ke dalam status kewarganegaraan.
Marshall kemudian mengembangkan analisis konsepsi kewarganegaraan
tripartite yang terdiri atas hak-hak sipil, hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial.
Bagaimana hubungan antara warga negara dan negara berdasarkan hak-
hak dan kewajiban dalam tradisi liberal ini? Sebagai aliran yang
menekankan hak-hak, maka warga negara liberal diharapkan mempunyai
kewajiban yang terbatas terhadap negara, dan individu warga negara tidak
berkewajiban untuk berpartisipasi di arena publik jika ia tidak
menghendakinya, serta warga negara tidak mempunyai kewajiban terhadap
warga negara lainnya. Kewajiban utama yang harus dijalankan oleh warga
negara adalah membayar pajak, sebagai imbalan untuk proteksi yang
diterimanya dari negara. Di pihak lain kekuasaan negara terbatas; terbatas
dalam fungsi pertahanan keamanan atau melindungi warga negara, serta tidak
campur tangan dalam kegiatan warga negaranya. Warga negara harus diberi
kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan kegiatan mengejar
kebahagiaannya sendiri.
Sedangkan konsep kewarganegaraan dalam tradisi republikan sipil tidak
mempunyai satu tokoh penggagas sentral. Secara historis tradisi ini lebih tua
daripada tradisi liberal yaitu pada masa Yunani Kuno dan Romawi hingga
Rousseau pada zaman modern. Tradisi ini masih dianggap relevan dengan
perpolitikan pada saat ini. Aristoteles dari zaman Yunani menyumbang
pemikiran tentang pelayanan publik, yaitu warga negara tidak menginginkan
kekayaan dan kekuasaan untuk dirinya sendiri, bertingkah laku sesuai
dengan nilai atau norma sosial dan politik yang berlaku, sebagaimana
tercantum dalam konstitusi polis. Dengan cara ini maka warga negara akan
menguntungkan baik bagi warga negara sendiri maupun negara.
 ISIP4212/MODUL 4 4.23

Cicero dari masa Romawi memberikan sumbangan gagasan tentang


kebajikan warga negara, dan Machiavelli (1459-1517) memberikan ide
tentang patriotisme dalam kewarganegaraan. Menurut Cicero, kemampuan
manusia untuk berbicara dan berpikir secara rasional harus digunakan untuk
tindakan kebajikannya. Jika warga negara menarik diri dari kegiatan publik
maka ia mengabaikan kebaikan warga negara lainnya, komunitasnya, dan
negaranya. Ini berarti ia mengkhianati sifatnya sebagai makhluk sosial.
Sedangkan Machiavelli berpendapat virtue yang akan menciptakan,
menyelamatkan dan melanggengkan sebuah negara. Yang dimaksud virtue
adalah keberanian, kekuatan pikiran, rasa tidak kenal takut, keahlian, dan
semangat pengabdian pada masyarakat (civic spirit). Warganegara yang
memiliki virtue dapat dihasilkan melalui pendidikan.
Rousseau (1712-1778) memberikan sumbangan pikiran untuk menjawab
pertanyaan tentang bagaimana caranya membuat orang bersedia tunduk pada
negara tetapi tetap dapat mempertahankan kebebasan kemampuan manusia.
Dalam konsep negara-kota Rousseau, warga negara bersama-sama menyusun
general will (kehendak bersama). Jika kehendak bersama tersebut
dilaksanakan maka akan menguntungkan bagi seluruh komunitas. Setiap
orang memberikan bagi komunitasnya dan segala kemampuannya di bawah
bimbingan general will, dan setiap individu merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari keseluruhan. General will merupakan konsep kunci
untuk melihat kemungkinan dilaksankannya ketaatan warga negara dan
kebebasan mereka secara bersamaan, demikian menurut Rousseau.
Selanjutnya dikatakan, negara yang terdiri dari warga negara merupakan satu
kesatuan yang organis sifatnya. Patriotisme dibutuhkan ketika negara dalam
keadaan bahaya. Ada hubungan ketergantungan antara individu (warga
negara) dan negara (republik), karena kebebasan individu didapat dalam
negara (republik), sedangkan negara (republik) dapat terus ekses dengan
dukungan dari warga negaranya.
Oleh sebab itu, tujuan kewarganegaraan dapat disederhanakan ke dalam
dua hal, yaitu pertama, dapat diciptakan dan dipertahankannya polity yang
adil dan stabil. Kedua, individu dapat menikmati kebebasannya. Namun
demikian, agar kebebasan dan negara republik bisa dipertahankan maka
warga negara harus hidup dalam ’a sense of community, friendship, dan
peace.’ Kewarganegaraan bagi pengikut tradisi republikan merupakan sebuah
tim (team work) antar individu dan antara individu dengan negara, yang
merupakan kegiatan dengan semangat dan niat baik bersama. Konstitusi dan
4.24 PENGANTAR ILMU POLITIK 

aturan hukum mengatur bagaimana warga negara hidup bersama dalam


negara.

C. PENYELENGGARAAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Good governance menjadi kata kunci dan standar penilaian praktik


politik yang dianggap baik dan ideal dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan non-pemerintahan termasuk kegiatan ekonomi dalam satu dekade
terakhir. Dalam perspektif politik, dengan tidak adanya good governance
dipandang sebagai sumber ketidakstabilan yang memunculkan konflik-
konflik serta kekacauan internal yang terjadi di berbagai negara di dunia.
Gerakan-gerakan demokratisasi di dunia saat ini, dipandang bukan jaminan
bagi lahirnya sebuah masyarakat dan pemerintahan yang akan lebih baik dan
lebih stabil, jika demokratisasi tidak menghasilkan atau tidak disertai dengan
praktik-praktik good governance.
Apakah good governance itu? Governance secara umum berarti proses
pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan keputusan-keputusan yang
telah diambil. Dengan demikian good governance dapat diartikan sebagai
sebuah proses pengambilan keputusan dan cara pelaksanaan keputusan yang
dilakukan dengan baik. Dalam konteks politik masa kini, pengambilan
keputusan tersebut telah dilakukan secara demokratis dengan jujur dan adil
dan keputusan-keputusan dilaksanakan tanpa hambatan, sehingga hasilnya
sesuai dengan rencana atau target yang ingin dicapai. Dengan demikian
dilihat dari artinya, maka yang penting dalam good governance adalah
bagaimana proses pengambilan atau pelaksanaan keputusan tersebut
berlangsung.
Konsep good governance dapat diterapkan baik pada institusi
pemerintah maupun pada lembaga non-pemerintah. Pada lembaga non
pemerintah, konsep good governance dapat diterapkan pada korporasi-
korporasi atau perusahaan-perusahaan yang bergiat dalam bidang ekonomi;
termasuk organisasi-organisasi masyarakat seperti organisasi atas inisiatif
warga, dan lain-lain. Pada lembaga pemerintah, konsep good governance
dapat diterapkan pada tingkat internasional (misalnya pada birokrasi Uni
Eropa, atau Perserikatan Bangsa-Bangsa), pada tingkat nasional (misalnya
pada birokrasi di departemen dalam negeri, departemen pertanian, dan
seterusnya), pada tingkat pemerintahan daerah (misalnya pada birokrasi di
tingkat propinsi, kabupaten dan seterusnya). Namun demikian, pemerintah
 ISIP4212/MODUL 4 4.25

hanyalah salah satu dari berbagai macam aktor yang berperan dalam
melakukan governance. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dapat
dilakukan oleh aktor-aktor yang ada baik di dalam pemerintahan maupun di
luar pemerintahan atau oleh struktur yang formal maupun informal dalam
sebuah sistem.
Dalam analisis sistem politik, konsep good governance dipakai untuk
melihat keterlibatan berbagai pihak dalam pembuatan dan pelaksanaan
keputusan. Apakah aktor-aktor, baik itu struktur-struktur (formal ataupun
informal) maupun individu-individu, telah melaksanakan tugasnya sesuai
dengan aturan yang ada, dan hasilnya sesuai dengan yang telah
diperhitungkan. Sebagai contoh misalnya, jika Undang-Undang Anti
Monopoli disusun hanya oleh perusahaan yang memegang monopoli dalam
bidang telekomunikasi dan informasi, dan bukan oleh lembaga DPR atau
tanpa melibatkan unsur-unsur lain seperti lembaga konsumen, kelompok
pemerhati masalah teknologi dan informasi, atau kelompok pemerhati
masalah monopoli, dan lain-lain, maka dapat dipastikan bahwa undang-
undang yang dihasilkan menjadi pro-perusahaan yang melakukan monopoli
tersebut. Dan kemungkinan hasilnya, UU Anti Monopoli tidak dapat
mengontrol praktik monopoli telekomunikasi dan informasi. Praktik
pengambilan keputusan oleh struktur informal yang demikian ini,
bertentangan dengan prinsip good governance, karena mungkin dihasilkan
lewat praktik yang korup atau kolusi antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan hasil pembuatan undang-undang tersebut.
Ada delapan karakteristik good governance dalam konteks politik atau
dalam penyelenggaraan kehidupan politik. Pemerintahan yang memenuhi
persyaratan good governance adalah pemerintahan yang memperhatikan
kedelapan ciri dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu :
1. Partisipasi (participation)
2. Peraturan Hukum (Rule of Law)
3. Transparansi (Transparancy)
4. Tanggap (Responsiveness)
5. Berorientasi konsensus (Concensus oriented)
6. Berkeadilan dan inklusif (Equity and inclusiveness)
7. Efektif dan efisien (Effectivity and efficiency)
8. Akuntabel (Accountability)
4.26 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Saat ini kebaikan dan keberhasilan sebuah pemerintahan atau sistem


politik akan dinilai berdasarkan standar ’good governance’. Ini artinya
kedelapan ciri tersebut di atas akan diterapkan untuk melihat apakah sebuah
pemerintahan telah diselenggarakan dengan baik atau tidak. Di negara-negara
di mana ciri-ciri tersebut tidak ditemukan maka pemerintahan yang
bersangkutan dikategorikan sebagai tidak melaksanakan good governance.
Tidak cuma itu, negara-negara yang hendak mendapatkan bantuan dari
lembaga-lembaga internasional termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
mensyaratkan dikembangkannya praktek-praktek ’good governance’ tersebut
dalam negara. Budaya politik yang baik saat ini, harus pula menunjukkan
kehadiran kedelapan ciri tersebut dalam perpolitikan dan penyelenggaraan
pemerintahannya.
Good governance dalam masyarakat sipil juga harus dapat dilaksanakan.
Tuntutan untuk mempraktikkan good governance dalam masyarakat
kewargaan atau civil society sama besarnya dengan tuntutan terhadap institusi
pemerintahan atau pada struktur formal. Organisasi atau kelompok
kemasyarakatan misalnya organisasi mahasiswa, organisasi non-pemerintah,
organisasi pemuda mesjid atau gereja, organisasi perempuan, organisasi
masyarakat adat, dan sebagainya diharapkan memainkan pula peran mereka
sesuai dengan aturan main yang merefleksikan kedelapan ciri good
governance tersebut di atas. Sebagai contoh misalnya, organisasi Nadhatul
Ulama (NU) harus pula memungkinkan terjadinya partisipasi dari para
pengikutnya dalam memilih ketua, menaati peraturan yang berlaku dan
mempunyai peraturan hukum yang berlaku, serta menerapkan prinsip
transparansi baik dalam urusan keuangan organisasi maupun dalam
penggunaannya. Para pimpinan NU harus tanggap atas berbagai persoalan
yang terjadi dalam partai atau di dalam masyarakat; melibatkan sebanyak
mungkin anggota, bersifat terbuka untuk semua kelompok yang
berkepentingan. Selain itu organisai ini juga harus bersifat efektif dan efisien
serta harus akuntabel.
Isu penyelenggaraan yang baik atau good governance juga menjadi
perhatian penting dalam kegiatan ekonomi. Dan khususnya pada sektor
ekonomi, penyelenggaraan kegiatan yang bersih, transparan, dan bertanggung
jawab serta akuntabel sangat dihargai. Bahkan dapat dikatakan dari kegiatan
ekonomi inilah pertama-tama isu penyelenggaraan yang baik bermula sebab
penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang tidak baik dapat membawa kerugian
yang besar. Penyelenggaraan yang tidak baik dapat disebabkan oleh berbagai
 ISIP4212/MODUL 4 4.27

sebab di antaranya adalah penempatan orang yang tidak kapabel dan praktik
korupsi. Khususnya mengenai praktik korupsi banyak disoroti di negara-
negara yang sedang berkembang. Dalam salah satu laporan Bank Dunia di
akhir tahun 1990-an dikatakan bahwa kurang lebih 30 persen bantuan
ekonomi yang diberikan kepada Indonesia di masa Orde Baru menguap dan
tidak jelas penggunaannya; di antara sejumlah penggunaannya adalah untuk
membayar para pejabat baik di tingkat nasional ataupun daerah untuk
melicinkan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Tuntutan good
governance diharapkan dapat menghapuskan atau mengurangi praktik
penyelenggaraan ekonomi yang merugikan seperti itu. Kini sudah umum
badan-badan internasional mensyaratkan dilaksanakannya good governance
dalam berbagai bantuan yang mereka berikan untuk negara-negara
berkembang.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan dan diskusikan pengaruh perubahan yang terjadi dalam


perpolitikan di dunia terhadap gagasan kewarganegaraan. Apa saja yang
terjadi dalam politik di dunia dan dampaknya!
2) Jelaskan mengapa konsep kewarganegaraan yang dikembangkan oleh
T.H. Marshall dipandang lebih luas daripada konsep-konsep
kewarganegaraan yang pernah ada sebelumnya.
3) Jelaskan perbedaan antara tradisi kewarganegaraan liberal dan tradisi
republikan dilihat dari hak-hak dan kewajiban warga negara terhadap
negara dan antar warga negara?
4) Jelaskan arti good governance. Apa yang dianggap penting dalam
konsep tersebut dan di mana konsep tersebut relevan untuk diterapkan?
5) Apa konsekuensinya jika pada organisasi-organisasi kemasyarakatan
dikenai tuntutan untuk melaksanakan praktik good governance? Kaitkan
dengan ciri-ciri good governance!
4.28 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Akhir Perang Dunia II dan pembangunan kembali Eropa menjadi latar


belakang munculnya gagasan tentang kewarganegaraan Marshallian.
Perubahan yang terjadi pada dekade akhir 1900-an khususnya dengan
runtuhnya kekuasaan Uni Soviet dan transformasi politik di negara-
negara komunis Eropa Timur, memunculkan kesadaran baru akan
pentingnya mengangkat kembali soal kewarganegaraan dan pentingnya
berbagai unsur dalam negara untuk saling bekerja sama membangun
kembali tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Selain itu beberapa
fenomena yang perlu diperhatikan antara lain meningkatnya ideologi
kanan baru (konservatif) dan peningkatan migrasi baik secara sukarela
atau karena terpaksa (pengungsi).
2) Definisi kewarganegaraan sebelum Marshall umumnya bermakna status
atau keanggotaan. Konsep Marshall bermakna lebih dari itu, konsep
tersebut juga bermakna persamaan yang terwujud dalam hak dan
kewajiban. Dimensi yang terkandung dalam definisi Marshall antara
lain aturan hukum dan hubungan sosial. Konsep dan definisi terbaru
lebih luas lagi dari konsep Marshall karena memasukkan dimensi
kesempatan untuk berpartisipasi, hak-hak universal sebagai anggota
sebuah negara
3) Perbedaan kewarganegaraan Marshallian dan republikan antara lain
dapat dilihat berdasarkan isu hak dan kewajiban baik dari warga negara
terhadap negara, dan sebaliknya dari negara terhadap warga negara, serta
hubungan di antara keduanya dan di antara sesama warga negara di
dalam masyarakat.
4) Secara umum good governance berarti proses pengambilan keputusan
dan proses pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut. Dalam sistem
yang demokratis maka proses ini harus mengikuti kaedah-kaedah dan
prinsip-prinsip yang demokratis. Yang penting diperhatikan dalam
pemahaman good governance ini adalah ‘proses’, baik dalam
pengambilan maupun pelaksanaan keputusan. Dalam artian demikian
maka konsep good governance dapat diterapkan baik pada lembaga-
 ISIP4212/MODUL 4 4.29

lembaga pemerintah maupun nonpemerintah (masyarakat) baik sosial,


ekonomi, politik maupun budaya..
5) Konsekuensi bagi organisasi kemasyarakatan (juga bagi organisasi
pemerintahan) jika mereka dituntut untuk mempraktekkan good
governance, organisasi-organisasi kemasyarakatan harus dapat
memainkan peran mereka sesuai dengan aturan permainan yang
merefleksikan ciri-ciri good governance sebagaimana tercantum dalam
materi kegiatan belajar tentang tema ini

R A NG KU M AN

Perhatian pada isu kewarganegaraan dan good governance


meningkat pesat setelah terjadinya perubahan-perubahan perpolitikan di
dunia. Perhatian pada kelompok-kelompok dan meningkatnya isu hak-
hak kelompok telah mendorong sejumlah ilmuwan untuk mengangkat
soal kewarganegaraan. Sementara itu isu good governance tidak dapat
diabaikan dalam pemerintahan di negara-negara yang sedang mengalami
proses demokratisasi. Jika isu kewarganegaraan melihat hubungan antara
warga negara dengan negara, tapi dengan penekanan pada individu
warga negara; maka isu good governance terkait dengan perilaku
kelompok, organisasi, lembaga, yang dapat diterima di dalam sistem
yang lebih terbuka dan demokratis. Kedua bidang ini tidak dapat
ditinggalkan jika kita mempelajari nilai, norma, atau sikap dan perilaku
politik yang dapat diterima di dalam sistem yang demokratis.

TE S F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Meningkatnya perhatian pada isu kewarganegaraan disebabkan karena
berbagai faktor, yang tidak termasuk dalam faktor-faktor tersebut di
antara jawaban di bawah ini adalah….
A. runtuhnya kekuasaan rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet
B. meningkatnya ideologi kanan baru di negara-negara Eropa Barat
dan Amerika Serikat
C. penyerbuan Amerika Serikat ke Afganistan dan Iraq
D. peningkatan migrasi antara negara termasuk pengungsi ke negara-
negara yang lebih aman dan lebih baik secara ekonomi
4.30 PENGANTAR ILMU POLITIK 

2) Definisi kewarganegaraan Marshall mempunyai beberapa makna lebih


dari sekedar status seseorang dalam negara. Yang tidak termasuk dalam
definisi tersebut adalah ….
A. hak-hak dan kewajiban
B. aturan hukum
C. persamaan
D. keanggotaan

3) Definisi Marshall tentang kewarganegaraan khususnya yang mengatur


hubungan antara individu serta hak dan kewajiban negara dan
warganegaranya, merupakan bagian dari dimensi ….
A. kesempatan yang sama untuk berpotensi
B. pengaturan masyarakat
C. hubungan sosial
D. aturan hukum

4) Isu-isu utama kewarganegaraan adalah sebagai yang tercantum di bawah


ini, kecuali satu yaitu ….
A. keanggotaan dalam sebuah komunitas
B. hubungan antara individu dan negara
C. hubungan antara satu negara dengan negara lain
D. status, hak-hak atau praktik kebaikan bersama

5) Teori kewarganegaraan Marshall dikembangkan berdasarkan satu


pemikiran dasar yang menyatakan ….
A. ketidakadilan secara ekonomi dapat dihapuskan
B. ketidaksamaan kelas akan dapat diterima jika ada kesamaan
kewarganegaraan
C. kemiskinan dan perbedaan kelas dapat dihilangkan secara bertahap
D. kemiskinan dan perbedaan kelas tidak menjadi penghalang integrasi
dalam masyarakat

6) Tradisi kewarganegaraan liberal menekankan ….


A. kewajiban warga negara terhadap negara dan warga negara lain
B. kewajiban warga negara untuk berpartisipasi dalam masyarakat
C. hak-hak terbatas dengan kewajiban tidak terbatas terhadap negara,
masyarakat, dan sesama warga negara
D. hak-hak dan kewajiban terbatas pada negara
 ISIP4212/MODUL 4 4.31

7) Tradisi kewarganegaraan republikan dibentuk dari banyak pemikiran


tokoh-tokoh sejak masa Yunani Kuno. Sumbangan Aristoteles terhadap
teori tentang kewarganegaraan adalah ….
A. mengutamakan pelayanan publik, tidak menginginkan kekayaan
untuk diri sendiri, bertingkah laku sesuai norma yang berlaku akan
menguntungkan negara dan warganegara sendiri
B. kemampuan berpikir secara rasional dan berbicara seseorang, harus
digunakan demi kebajikan
C. setiap orang memberikan bagi komunitas dirinya dan
kemampuannya di bawah bimbingan general will.
D. Virtue akan menyelamatkan dan melanggengkan negara; virtue
didapat lewat pendidikan

8) Pandangan yang mengatakan bahwa ’kebebasan individu didapat dalam


republik dan republik dapat terus eksis dengan dukungan warganegara’
dikemukakan oleh ….
A. Machiavelli
B. Cicero
C. Rousseau
D. Marshall

9) ’Good governance’ atau penyelenggaraan yang baik berkenaan dengan


pengambilan atau pelaksanaan keputusan menekankan unsur ….
A. input
B. proses
C. hasil
D. pelaksanaan hasil

10) Konsep ’good governance’ dapat diterapkan untuk melihat lembaga-


lembaga yang tersebut di bawah ini, kecuali satu, yaitu ….
A. birokrasi pemerintahan seperti departemen pendidikan
B. badan-badan internasional seperti UNICEF, World Bank
C. organisasi kemasyarakatan seperti NU, Lembaga Konsumen
D. individu-individu.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
4.32 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 ISIP4212/MODUL 4 4.33

Kegiatan Belajar 3

Sosialisasi dan Komunikasi Politik

T eori-teori budaya cenderung dipakai untuk mempelajari studi-studi


empirik mengenai sosialisasi dan komunikasi. Sosialisasi dan
komunikasi politik merupakan bidang terapan yang spesifik dalam studi
tentang budaya politik; ketiga bagian kajian ini erat terkait satu dengan
lainnya. Mempelajari sosialisasi politik kita mau tidak mau harus melihat
komunikasi politik, dan mempelajari komunikasi politik dapat memberikan
gambaran tentang sosialisasi politik yang sedang terjadi dan budaya politik
yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi dan komunikasi politik terus menerus
terjadi baik direncanakan maupun tidak, sedangkan budaya politik
dilangsungkan, diturunkan, diubah ataupun dilanggengkan lewat komunikasi
dan sosialisasi. Akan tetapi dalam kajian-kajian politik, sosialisasi politik
lebih banyak dipelajari daripada komunikasi politik.

A. SOSIALISASI POLITIK

Dalam kajian tentang sosialisasi politik, pada umumnya dua hal yang
dipelajari. Pertama, peran sosialisasi tersebut dalam sistem politik; dan
kedua, struktur yang melakukan sosialisasi atau agen sosialisasi.
Sesungguhnya sosialisasi politik berlangsung terus menerus setiap hari baik
direncanakan maupun tidak; di sengaja ataupun tidak. Namun demikian,
sistem politik akan melakukan sosialisasi yang terencana dan di sengaja, bila
hendak memperkenalkan sebuah gagasan, kebijakan atau peraturan baru atau
ketika hendak menarik dukungan dari rakyatnya.
Sosialisasi politik menurut Almond dan Powell adalah sebuah proses lewat
mana budaya politik diinformasikan, dipertahankan dan diubah. Jika budaya
politik berarti nilai, norma, kepercayaan, atau sikap dan perilaku politik,
maka sosialisasi politik adalah proses di mana nilai, norma, kepercayaan,
sikap, perilaku yang diiinformasikan, dipertahankan atau diubah dalam
sebuah sistem politik. Dengan pengertian ini maka melalui sosialisasi politik,
berbagai nilai, norma, kepercayaan, sikap, atau perilaku politik
diperkenalkan, ditanamkan, diperkuat atau diubah dalam sebuah masyarakat.
Sosialisasi politik tidak hanya berlangsung terus-menerus tetapi juga
berlangsung sepanjang hidup. Sikap politik seseorang mungkin terbentuk
4.34 PENGANTAR ILMU POLITIK 

dalam keluarganya ketika kanak-kanak, tetapi pengalaman sosial dan politik


di masa dewasa dapat mengubah sikap politik tersebut. Sepanjang hidupnya,
sikap politik seseorang bisa mengalami perubahan berulang-ulang dan dapat
pula mengalami penguatan terus-menerus. Pengetahuan atau informasi politik
baru, perasaan suka atau tidak suka, dan evaluasi terhadap situasi politik
objektif dapat menguatkan atau mengubah sikap politik seseorang. Sebagai
seorang warga negara dalam sebuah sistem demokrasi, maka sosialisasi juga
berarti membentuk sikap diri sebagai pemilih, sebagai partisipan politik,
sebagai pembayar pajak, sebagai individu yang tunduk pada hukum yang
berlaku, sebagai penerima pelayanan publik, dan seterusnya. Dan sikap-sikap
itu dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu pemilihan ke pemilihan
berikut, dari satu kebijakan ke kebijakan lain.
Sebuah peraturan atau kebijakan baru yang hendak diterapkan dalam
masyarakat biasanya disosialisasikan dahulu pada masyarakat oleh
pemerintah sebelum kebijakan atau peraturan tersebut dilaksanakan atau
diberlakukan. Dengan mensosialisasikan peraturan atau kebijakan baru maka
diharapkan masyarakat yang akan dikenai peraturan atau kebijakan tersebut
tidak menjadi kaget, bereaksi negatif atau menolak ketika peraturan atau
kebijakan tersebut diberlakukan. Menerapkan sebuah peraturan baru sama
artinya dengan memperkenalkan sebuah nilai dan norma baru, yang mungkin
sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai dan norma lama yang
sudah biasa dan sudah dikenal dengan baik. Dengan adanya sosialisasi maka
mereka yang akan dikenai peraturan tersebut mempunyai waktu untuk
mengenal, membiasakan diri dan akhirnya bersedia mengubah nilai, norma,
kepercayaan, sikap atau perilaku lamanya dan mengadopsi yang baru.
Sebagai contoh peraturan baru tentang peraturan penggunaan sabuk
pengaman. Sebelum peraturan tersebut diberlakukan masyarakat, maka
selama lebih dari satu bulan peraturan tersebut disosialisasikan; dan melalui
televisi, surat kabar, radio-radio peraturan tersebut dikampanyekan,
dibicarakan dan didiskusikan. Ketika peraturan tersebut akhirnya
diberlakukan masyarakat dengan sukarela melaksanakannya. Kini
menggunakan sabuk pengaman saat berkendaraan, sudah diterima menjadi
bagian perilaku pengendara kendaraan mobil.
 ISIP4212/MODUL 4 4.35

B. AGEN DAN GAYA SOSIALISASI

Siapakah yang dapat melakukan sosialisasi politik dan bagaimanakah


gayanya? Menurut Almond dan Powell setiap struktur politik, dan bahkan
kejadian-kejadian yang berpola, dapat berperan sebagai agen sosialisasi
politik. Mereka menyebarkan informasi atau pesan-pesan, baik secara terbuka
maupun terselubung, yang dapat dan yang bertujuan untuk membentuk atau
mengubah perilaku politik. (Almond dan Powell 1966: 87). Ada agen-agen
sosialisasi yang umum terdapat di semua negara dan ada yang hanya terdapat
dalam masyarakat tertentu saja. Menurut Jenning dan Niemi, agen-agen
sosialisasi yang umum ada di semua negara, antara lain adalah keluarga,
kelompok peer, komunitas, lingkungan tetangga, sistem sekolah, organisasi-
organisasi formal misalnya partai politik atau organisasi kepentingan, tempat
kerja, dan tempat-tempat beribadah seperti gereja atau mesjid, dan media
massa. (Almond dan Powell 1966: 87-97).
Komunitas, lingkungan tempat tinggal, keluarga dan kelompok bermain
dapat menjadi agen yang cukup berperan dalam membentuk pandangan dan
sikap politik seseorang. Pengetahuan dan sikap politik mulai tertanam sejak
dini dan dapat mengalami perubahan setiap saat selama hidup kita. Berbagai
peristiwa dapat membentuk atau mengubah pandangan, sikap atau perasaan
politik kita. Dan melalui teman bermain, teman kerja, tetangga, lingkungan
serta komunitas di mana kita tinggal maka nilai dan sikap politik kita
dikuatkan, dipertanyakan, dan mungkin diubah. Seorang yang dilahirkan
dalam keluarga militer dan besar di lingkungan kompleks militer bisa
mempunyai pandangan dan bersikap menerima peran militer dalam politik.
Sebagai contoh, misalnya dengan adanya keterlibatan oknum maupun
kelompok militer dalam peristiwa penculikan sejumlah mahasiswa dan
peristiwa tertembaknya mahasiswa dalam demonstrasi di akhir pemerintahan
Orde Baru telah merubah pandangan dan sikap politik orang tersebut tentang
peran militer dalam politik. Orang tersebut yang tadinya bersikap menerima
berubah menjadi menolak adanya peran militer dalam politik setelah
serangkaian peristiwa tersebut terjadi.
Aktor-aktor politik dapat menjadi agen-agen sosialisasi politik yang cukup
efektif. Mereka secara sengaja dan terencana melakukan kegiatan sosialisasi
politik, misalnya para elit politik, baik dalam posisinya di pemerintahan
maupun sebagai tokoh masyarakat atau anggota partai politik dan organisasi-
organisasi lain bentukan partai lainnya. Para elit politik, lewat kegiatannya
4.36 PENGANTAR ILMU POLITIK 

dan dengan gayanya masing-masing sengaja ataupun tidak sengaja


membentuk pikiran dan sikap politik masyarakat, memperkuat ataupun
meningkatkan kepercayaan terhadap partainya dan pemerintah yang
diwakilinya ataupun isu-isu yang diangkatnya. Mereka melakukan fungsi
pendidikan politik, melakukan rekrutmen politik. Mereka juga dapat
membangkitkan keinginan untuk terlibat atau menolak untuk terlibat,
berpartisipasi, memobilisasi atau membangun koalisi di antara kelompok-
kelompok di dalam masyarakat.
Media massa memainkan peran yang semakin menentukan dalam sosialisasi
politik. Media massa, seperti televisi, radio dan surat kabar, memainkan
peran yang semakin penting dalam masyarakat urban dan yang telah menjadi
modern. Isu-isu dan kejadian-kejadian yang di angkat oleh surat kabar atau
disiarkan lewat radio dan televisi disebarkan dan ditangkap oleh banyak
orang dalam waktu bersamaan, dampaknya bersifat segera dan dalam skala
yang cukup besar. Saat ini media massa menjadi media penting yang
digunakan oleh berbagai aktor politik untuk menyebarkan pesan,
menyampaikan pandangan atau ide politik mereka pada masyarakat luas.
Dalam pemilihan umum semua partai atau kandidat yang berkompetisi untuk
mendapatkan kursi di lembaga perwakilan atau jabatan publik, menggunakan
media massa untuk memperkenalkan diri mereka serta visi dan misi yang
mereka bawakan. Media massa merupakan sarana yang ampuh dalam
membentuk opini, sikap dan afeksi massa tentang sebuah isu atau terhadap
kepentingan dan kelompok yang diwakili oleh para aktor politik. Saat ini
tidak ada sarana dan media lain yang dapat menandingi peran media massa
dalam upaya menyebarluaskan isu, berita atau kejadian dan membentuk
sikap, pandangan dan perasaan masyarakat dalam waktu cepat dan dalam
cakupan yang sangat luas. Media massa, khususnya televisi dan radio,
merupakan alat sosialisasi yang sangat penting dalam negara yang
masyarakatnya tersebar di wilayah yang sangat luas seperti Indonesia.

C. KOMUNIKASI POLITIK

Komunikasi politik merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari


budaya politik dan sosialisasi politik. Bila kita berbicara tentang budaya
politik dan sosialisasi politik, maka kita berbicara pula tentang komunikasi
politik, sehingga dapat dikatakan komunikasi politik merupakan fungsi
sosialisasi dan budaya politik. Komunikasi politik yang berjalan baik menjadi
 ISIP4212/MODUL 4 4.37

prasyarat sosialisasi politik untuk dapat berjalan dengan baik pula, sehingga
budaya politik dapat dilangsungkan dengan baik.
Dalam analisis sistem politik maka yang menjadi perhatian adalah struktur-
struktur yang melaksanakan fungsi komunikasi politik, dan bagaimana
komunikasi tersebut dilaksanakan. Struktur yang melakukan komunikasi
dapat dibedakan ke dalam lima macam. Pertama, komunikasi tatap muka atau
face to face yang bersifat informal, yang merupakan bentuk utama
komunikasi. Kedua, struktur sosial non-politis, seperti keluarga, kelompok
ekonomi ataupun keagamaan. Ketiga, struktur input politik, seperti partai
politik, organisasi kepentingan, atau masyarakat sipil. Keempat, struktur
output politik, seperti lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi. Kelima, media
massa, seperti misalnya surat kabar, harian mingguan, radio dan televisi,
Kelima macam struktur yang melaksanakan komunikasi ini mempunyai
peran sendiri-sendiri dan sulit untuk mengatakan bahwa yang satu lebih
penting daripada yang lain.
Daya jangkau masing-masing struktur memang berbeda, tetapi ini tidak
mengurangi pentingnya peran dari struktur-struktur tersebut. Misalnya dalam
sebuah masyarakat yang tradisional di mana peran interaksi dan komunikasi
tatap muka masih penting maka struktur tatap muka dan struktur sosial non-
politis seperti kelompok keagamaan bisa menjadi sarana komunikasi politik
yang sangat berpengaruh. Dalam masyarakat di mana tingkat melek huruf
masih rendah sekali atau dalam masyarakat perkotaan modern yang sangat
sibuk, maka televisi dan radio dapat menjadi sarana komunikasi politik yang
sangat efektif. Sementara itu struktur input dan output politik memang
merupakan sarana komunikasi politik yang formal dikenal oleh semua warga
di dalam sebuah negara. Partai politik dapat memainkan peran sebagai
penyalur input berupa dukungan atau tuntutan dan juga keluhan-keluhan dari
masyarakat ke dalam sistem politik. Lembaga eksekutif dan jajaran birokrasi
serta lembaga legislatif mengkomunikasikan kebijakan dan keputusan yang
dikeluarkan oleh sistem politik ke masyarakat luas atau kepada pemerintahan
di tingkat yang lebih rendah di wilayahnya.
Bagaimana struktur komunikasi melakukan perannya? Bentuk sistem politik
akan menentukan bagaimana struktur komunikasi melaksanakan perannya.
Dalam masyarakat yang terbuka dalam sistem yang demokratis, maka
berbagai macam struktur politik akan dapat melaksanakan peran secara
bebas, artinya semua struktur dapat bersama-sama melaksanakan fungsi
komunikasi politik. Dalam sistem yang otoritarian maka tidak semua struktur
4.38 PENGANTAR ILMU POLITIK 

dapat melakukan fungsi komunikasi politik, artinya tidak ada kebebasan


dalam melakukan kegiatan tersebut bagi struktur-struktur tertentu. Di dalam
sistem otoritarian, maka struktur media massa dapat dimiliki, dimonopoli
atau dikontrol oleh pemerintah, dan dengan demikian tidak ada otonomi
sendiri dalam struktur komunikasi ini. Sedangkan, di dalam sistem yang lebih
demokratis maka partai-partai politik dapat memiliki atau menguasai struktur
media massa komunikasi sendiri. Partai politik yang mampu dapat memiliki
surat kabar, radio atau televisi sendiri, atau bila tidak memiliki maka mereka
dapat membeli waktu siaran di media massa tersebut. Dengan demikian
fungsi komunikasi politik menjadi sangat kompetitif di antara kekuatan-
kekuatan politik yang bermain.
Namun demikian, komunikasi politik dapat berdampak negatif dan positif.
Efek positif apabila hasilnya sebagaimana yang diharapkan oleh struktur atau
agen-agen yang melaksanakan komunikasi politik dan keadaan ini tidak perlu
dirisaukan, sedangkan efek negatif bila hasilnya tidak terduga atau tidak
diperhitungkan sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui komunikasi politik
berperan besar dalam mempertahankan dan mengubah budaya politik, atau
membentuk pandangan, sikap dan perasaan baru ataupun berbeda dalam
masyarakat luas. Ditinggalkannya nilai-nilai atau kepercayaan-kepercayaan
tradisional dan meningkatnya melek huruf merupakan salah satu dampak
komunikasi yang berhasil. Tetapi perubahan ini dapat pula membawa efek
sampingan yang merisaukan misalnya munculnya harapan-harapan baru yang
mungkin tidak dapat dipenuhi oleh sistem yang ada. Ledakan harapan di
dalam masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem politik yang ada
dikhawatirkan memunculkan keresahan-keresahan yang bisa menjadi sumber
kekacauan. Misalnya, banyak orang muda yang telah menyelesaikan sekolah
menengah atas di kota-kota kecil berharap dapat memperoleh pekerjaan atau
meneruskan sekolah yang lebih tinggi di kota besar; setelah sampai di kota
besar ternyata tidak ada pekerjaan bagi mereka dan mereka tidak mampu
membiayai pendidikan tinggi yang sangat mahal, sementara desa tidak ada
lapangan pekerjaan ataupun sekolah bagi mereka. Situasi sedemikian
meresahkan; orang-orang muda yang merasa tidak mempunyai harapan
merupakan ladang yang subur untuk kejahatan dan kekacauan. Diperlukan
komunikasi politik yang tepat dalam situasi demikian untuk menghindarkan
dampak negatif bagi sistem politik.
 ISIP4212/MODUL 4 4.39

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Diskusikan dan jelaskan keterkaitan antara sosialisasi politik,


komunikasi politik dan budaya politik!
2) Diskusikan dan jelaskan mengapa dikatakan bahwa sosialisasi politik
berlangsung sepanjang hidup? Beri contoh!
3) Dalam masyarakat yang masih sederhana dan tradisional struktur
komunikasi yang manakah yang sangat berperan di antara struktur-
struktur yang melaksanakan fungsi komunikasi. Jelaskan jawaban Anda
dengan contoh! Mengapa media massa dikatakan sebagai sarana ampuh
dalam membentuk opini massa? Jelaskan jawaban Anda dan beri contoh!
4) Dalam sistem politik yang tidak demokratis, struktur komunikasi
dikatakan tidak bebas? Jelaskan jawaban Anda!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Kaitan antara sosialisasi politik, komunikasi politik dan budaya politik,


yaitu sosialisasi politik dan komunikasi politik merupakan bidang
terapan yang spesifik tentang budaya politik. Budaya politik
dilangsungkan lewat komunikasi dan sosialisasi politik. Jadi budaya
politik adalah norma, nilai, kepercayaan atau sikap dan perilaku politik
maka sosialisasi politik adalah proses di mana semua itu disebarluaskan,
dipertahankan atau diubah; sedangkan komunikasi politik merupakan
fungsi dari budaya dan sosialisasi politik. Komunikasi politik yang
berjalan baik merupakan prasyarat sosialisasi politik dapat berjalan
dengan baik dan budaya politik dapat dilangsungkan dengan baik pula.
2) Sosialisasi politik berjalan terus-menerus sepanjang hidup. Sosialisasi
politik merupakan proses di mana nilai, norma, sikap dan perilaku
ditanamkan, dipertahankan atau diubah. Proses ini tidak hanya terjadi
satu kali, proses ini berlangsung terus-menerus selama hidup. Norma,
sikap dan perilaku baru baru muncul, diperkenalkan dan yang lama
4.40 PENGANTAR ILMU POLITIK 

hendak diubah atau harus berubah mengalami penyesuaian dengan


adanya perubahan atau perkembangan dari waktu ke waktu.
3) Dalam masyarakat yang sangat sederhana dan tradisional, khususnya
yang belum terekspos dengan media massa seperti televisi, radio, maka
struktur pertama (tatap muka yang informal) yang penting. Tetapi jika
masyarakat tersebut telah telah diekspos dengan media televisi atau
radio, maka media televisi dan radio bisa menjadi struktur komunikasi
yang dapat mengimbangi struktur kontak tatap muka.
4) Media massa baik cetak ataupun televisi dan radio dapat menjangkau
banyak orang sekaligus pada waktu yang sama. Di dalam sistem politik
yang demokratis maka berbagai macam aspirasi, kepentingan, atau
pandangan dapat diakses atau disebar luaskan lewat media massa.
Pandangan, pikiran, aspirasi atau kepentingan yang didukung oleh
masyarakat biasanya mendapat akses pemberitaan yang besar di media
massa.

R A NG KU M AN

Sosialisasi politik dan komunikasi politik merupakan bagian tidak


terpisah dari kajian budaya politik. Lewat sosialisasi politik maka kita
mempelajari bagaimana budaya politik ditanamkan, dipertahankan atau
diubah. Lewat komunikasi politik kita akan dapat mengetahui lewat
sarana yang mana atau struktur komunikasi yang mana sosialisasi politik
dilangsungkan secara efektif. Dengan perubahan-perubahan yang terus-
menerus terjadi maka perlu dipelajari ketiga hal tersebut jika budaya
politik yang ada hendak dipertahankan, diubah atau dipertahankan.

TE S F OR M AT IF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Proses di mana nilai, norma, sikap, kepercayaan, dan perilaku


diperkenalkan, ditanamkan, diperkuat atau diubah dalam sebuah
masyarakat disebut ….
A. budaya politik
B. komunikasi politik
 ISIP4212/MODUL 4 4.41

C. sosialisasi politik
D. mobilisasi politik

2) Agen sosialisasi politik yang umumnya dianggap paling dekat dengan


anak-anak usia balita adalah ….
A. tempat ibadah
B. keluarga
C. media massa cetak
D. organisasi kemasyarakatan

3) Sosialisasi sebuah keputusan pemerintah yang baru, misalnya kenaikan


harga minyak, perlu dilakukan sebab masyarakat diharapkan ….
A. bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
B. menjadi marah dan melakukan demonstrasi yang merusak
C. tidak kaget dan dapat menerima ketika diterapkan
D. masa bodoh dan tidak mematuhi

4) Menurut Jenning dan Niemi, yang tidak termasuk agen sosialisasi yang
terdapat di semua negara adalah….
A. keluarga
B. partai politik
C. lingkungan tempat tinggal
D. kelompok ’peer’

5) Yang termasuk struktur output politik di dalam sebuah komunikasi


politik adalah ….
A. partai politik
B. warga masyarakat
C. media massa
D. lembaga eksekutif

6) Yang termasuk struktur input politik di dalam sebuah komunikasi politik


adalah ….
A. partai politik
B. keluarga
C. individu warga
D. lembaga legislative
4.42 PENGANTAR ILMU POLITIK 

7) Dalam masyarakat yang tingkat melek hurufnya sangat rendah struktur


komunikasi yang manakah yang paling efektif bagi pemerintah untuk
menyampaikan kebijakan politik yang baru ….
A. birokrasi
B. surat kabar atau media cetak lainnya
C. radio dan televisi
D. DPR dan DPD

8) Dalam masyarakat yang sudah sangat modern, sangat sibuk dan sifat
individualistis sangat tinggi, struktur komunikasi politik yang sangat
tidak efektif untuk mencapai mereka adalah ….
A. komunikasi tatap muka atau face-to-face
B. media massa cetak
C. media massa audio-visual (radio dan TV)
D. pemerintah

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 ISIP4212/MODUL 4 4.43

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2 Tes Formatif 3


1) D 1) C 1) C
2) C 2) B 2) B
3) C 3) D 3) C
4) A 4) C 4) B
5) C 5) B 5) D
6) B 6) D 6) A
7) A 7) A 7) C
8) C 8) C 8) A
9) A 9) B
10) C 10) D
4.44 PENGANTAR ILMU POLITIK 

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel dan G. Bingham Powell Jr. (1978). Sistem, Process, and
Policy: Comparative Politics, 2nd ed. Boston: Little Brown.

Heater, Derek. (1999). What is Citizenship. Cambridge: Polity Press.

Engin F. Isin & Patricia K. Wood. (1999). Citizenship and Identity. London:
Sage Publication.

“What is Good Governance”, diakses dari internet Juni 2004

“A Perspective on Good Governance”, artikel yang disiapkan oleh N.V. Lam,


Socio-economic Trends Analysis section, Development Research &
Policy Analysis Division, ESCAP, diakses dari internet Juni 2004

Kembali ke daftar isi

Anda mungkin juga menyukai