Anda di halaman 1dari 148

Edi Suharto, Ph,D.

AL!SrS
Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial

harto, Ph.D .

. Panduan Praktis Mengkaji Masalah


dan Kebijakan Sosial

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK


Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial

Edi Suharto, PhD .

PENERBIT

CV\ J.\lfJ.\flE'f).\

BANDUNG

PERHATIAN
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS AI-Muthaffifin ayat 1)
Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU
BAJAKAN adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG.
Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra
bangsa, "merampas" dan "memakan" hak orang lain dengan cara yang
bathil dan kotor. Kelompok "makhluk" ini semua ikut berdosa, hidup
dan kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh
ALLAH SWT.
(Pesan dari Penerbit AlFABETAl

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

2010, Penerbit Alfabeta, Bandung


Kpb-01 (x + 238)
JuduiBuku

Penulis
Penerbit

Cetakan Keempat
Cetakan Kelima
ISBN

: ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK


Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial
: Edi Suharto, Ph.D.
: ALFABETA, cv
Jl. Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung
Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373
Website: www.cvalfabeta.com
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
: Juni 2008
: Agustus 2010
: 979-8433-29-4

Anggota lkatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Kuingin menghadiahkannya kepada buah hatiku:


Febry Hizba Ahshaina Suharto
Fabiola Hazimah Zealandia Suharto
Fadlih Syari'ati Augusta Suharto

Prakata

Sebagian besar buku atau artikel mengenai analisis kebijakan publik


biasanya hanya mengupas konsepsi dan strategi melakukan telaah
kebijakan. Pembaca umumnya memperoleh pengetahuan mengenai
bagaimana caranya mengupas sebuah kebijakan. Sangat jarang
ditemukan karya yang selain menyediakan kerangka konseptual,
juga sekaligus mengupas mengenai produk yang yang dihasilkan
dari proses analisis itu. Meskipun sangat ringkas, buku ini mencoba
mengisi relung yang masih kosong dalam diskursus analisis kebijakan
publik ini. Ia menyajikan konsepsi, konteks dan sekaligus framework pengkajian kebijakan sosial sebagai salah satu cabang kebijakan
publik.
Dengan fokus utama pada pengkajian isu-isu sosial, buku ini
menekankan pada bagaimana melakukan analisis kebijakan publik.
Tujuan utamanya adalah agar pembaca memiliki kompetensi dalam:

1. Mengidentifikasi dan merumuskan isu atau masalah sosial


yang akan dikaji.
2. Mengembangkan alternatif dan strategi kebijakan sosial.
3. Membuat naskah kebijakan (policy paper) sebagai output
atau bentuk laporan analisis kebijakan.
v

4. Metancang advokasi kebijakan dengan mana kebijakan akan


diajukan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan
sasaran kebijakan (policy audience).
Secara keseluruhan, buku ini menyajikan bukan saja model dan
kerangka analisis, melainkan pula petunjuk praktis melakukan
analisis kebijakan beserta latihan-latihan yang terkait denga:nnya.
Pada bab-bab awal, pembaca akan disuguhi konsepsi dan konteks
analisis kebijakan publik, khususnya yang menyangkut isu-isu sosial
dan kebijakan sosial. Tema-tema yang berkaitan dengan konsepsi
pembangunan sosial, pembangunan sosial dan kebijakan sosial
memberi landasan kontekstual untuk memahami analisis kebijakan
sosial. Bahasan berikutnya, khususnya Bab 6 sampai Bab 10,
memfokuskan lebih spesifik pada bagaimana melakukan :malisis
kebijakan sosial, membuat naskah kebijakan sosial, dan merancang
advokasi kebijakan sosial. Tema mengenai tantang an kebijakan sosial
yang disajikan pada Bah 11 mengakhiri buku ini.
Agar pembaca memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai
bagaimana produk atau bentuk sesungguhnya dari sebuah analisis
kebijakan itu, beberapa contoh poliry paper disertakan sebagai
lampiran. Tulisan pertama mengenai pengakomodasian Pedagang
Kaki Lima dalam proses perumusan kebijakan publik di Bandung
merupakan contoh policy paper jenis poliry stucfy yang saya tulis ketika
menjadi International Policy Analyst di Central European University, Hongaria. Agar pembaca turut "mengecap" aroma aslinya,
naskah tersebut sengaja disajikan utuh dalam Bahasa Inggris.
Lampiran berikutnya memuat lima naskah kebijakan mengenai
Penanganan Pedagang Kaki Lima di Bandung, Children Centre bagi
Korban Bencana Tsunami di Nanggro Aceh Darussalam (NAD),
Penanggulangan Penularan HIV I AIDS di Kota Bandung,
Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia: Analisis dan Rekomendasi;
dan Peningkatan Pelayanan Air Bersih oleh PDAM. Kelima policy
brief terse but ditulis oleh para mahasiswa S2 Program Magister
vi

Profesional Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogar,


yang mengambil mata kuliah Kebijakan dan Perencanaan Sosial
yang diberikan oleh saya bersama dengan DR Marjuki dan DR
Irawan Soehartono.
Buku ini dikembangkan dari beberapa manuskrip yang tersebar
dalam berbagai media. Bahasan mengenai analisis kebijakan sosial
saya kembangkan dari makalah "Model Analisis Kebijakan Sosial
Integratif (Integrated Social Policy Analysis) yang saya sajikan pada
workshop analisis kebijakan sosial bagi dosen jurusan Pengembangan
Sosial Masyarakat (PSM), Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
Bandurig, di Hotel Sumber Alam Garut beberapa waktu yang lalu.
Saya mengucapkan terima kasih kep~da ketua jurusan PSM, Pak
Ajat Sudrajat, sekretaris jurusan Ibu Ella dan ketua laboratorium
PSM Pak Edi Suhanda yang memicu dan mendorong lahimy<1 buku
ini. Di bulan Desember awal tahun 2004, ketika mereka menawari
saya untuk menjadi fasilitator lokakarya analisis kebijakan sosial,
saya langsurig menyambutnya dengan antusias. Tawaran yang kedua
ini (sekitar Mei 2004 saya juga menjadi fasilitator untuk topik
"Bagaimana Menjadi Analis Kebijakan: Dari Policy Paper ke
Advokasi") selain sebuah kehormatan, juga merupakan tantangan
bagi saya untuk mereorganisasi gagasan-gagasan saya mengenai
analisis kebijakan sosial yang terserak dalam berbagai manuskrip,
catatan pendek, makalah seminar, power point, dan tentu saja, dalam
percikan-percikan pemikiran yang masih tersimpan di dalam benak
saya.
Saya juga sangat berutang budi pada Ketua STKS, Dr Marjuki M.Sc
dan Departemen Sosial yang memberi ijin kepada say<1 menjadi International Policy Analyst di Centre for Policy Studies (CPS), Central European University (CEU), Budapest, Hongaria. Minat saya
terhadap analisis kebijakan sosial mendapatkan gizi baru dengan
bergaul, berdiskusi dan beke~asama dengan mahasiswa dan pakarpakar kebijakan kaliber dunia selama kurun waktu Maret 2003
vii

hingga Maret 2004. Bahkan, fasilitas yang sangat baik dari CPS,
memungkinkan saya mengunjungi negara-negara Eropa Barat dan
Timur. Dua Negara Skandinavia, Denmark dan Swedia, begitu
mempesonakan saya akan sistem kebijakan sosial model we!fare
state yang diterapkan di sana. Kepada Cipto Wibowo, Dewi Wahyuni,
Atirista Nainggolan, Indri Indarwati, dan Viking Rizarta, ~aya
menghaturkan terima kasih. Sumbangan tulisan mereka pada
lampiran turut memperkaya buku ini.
Meskipun masih banyak kelemahan pada buku ini, penulis sangat
bersyukur karena kurang dari tiga bulan buku edisi pertama habis
terjual sekitar 3.000 eksemplar. Pada buku edisi kedua ini, beberapa
kesalahan ketik telah diperbaiki semaksimal mungkin. Namun
demikian, jika ada saran perbaikan dari pembaca, saya akan
tersanjung. Tetapi, ji..~a tidak ada atau belum ada, semoga pembaca
tidak keberatan menerima salam hangat saya.

Bandung , September 2005

viii

Daftar lsi

Prakata v
Daftar lsi ix
Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak xi

Bab 1 Prawacana, 1
Bab 2 Pembangunan Sosial, 15_
Bab 3 Pembangunan Kesejahteraan Sosial, 33
Bab 4 Kebijakan Publik, Peran Negar~ dan Pembangunan Sosial, 43
Bab 5 Kebijakan Sosial dan Perencanaan Sosial, 59
Bab 6 Model-Model Kebijakan Sosial, 69
Bab 7 Analisis Kebijakan Sosial, 81
Bab 8 Naskah Kebijakan (Policy Paper), 91
Bab 9 Proses Analisis Kebijakan Sosial, 101
Bab 10 Advokasi Kebijakan Sosial, 123
Bab 11 Tantangan Kebijakan Sosial, 133
Daftar Pustaka, 145

Lampiran 1 :

Lampiran 2 :

Accommodating the Urban Informal Sector in the


Public Policy Process: A Case Study of Street Enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR),
Indonesia (Edi Suharto), 153
Penanganan Pedagang Kaki Lima di Bandung
(Cipto Wibowo), 193
ix

Lampiran 3 :
Lampiran 4 :
Lampiran 5 :

Lampiran 6:

Penanggulangan Penularan HIVI AIDS di Kota


Bandung (Dewi Wahyuni), 201
Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia: Analisis
da..'l Rekomendasi (Atirista Nainggolan), 211
Children Centre bagi Karban Bencana Tsunami di
Nanggro Ace!: Darussalam (NAD) (Indri
Indarwati), 221

Peningkatan Pelayanan Air Bersih oleh PD.AM


(Viking Rizarta), 229

Prawacana

The questions to ask about a country} development are therefore: What has been happening to pover!J? What has been happening to unempiqyment? What has been happening to inequaii!J? If ali three of these have declined from high levels then
bryond doubt this has been a period of development for the
country concerned. lf one or two of these cmtrai problems have
been growing worse, especialb' if ali three have, it would be
Jtrange to call the result ''development" e?Jen if per capita income doubled. Dudley Seers (1972)

Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait.


Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia,
pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi.
Sementara itu, kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja
pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian
tujuan-tujuan pembangunan ke dalam beragam program dan proyek.
Sebagai suatu perubahan terencana dan berkesinambungan,
pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hidup manusia. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka pembangunan perlu diimplementasikan ke dalam
berbagai program pembangunan yang dapat secara langsung me1

nyentuh masyarakat. Pembangunan memerlukan cara atau pedoman


tindakan yang terarah rnengenai 'bagaimana' meningkatkan kualitas
hidup manusia terse but. Suatu perangkat pedoman yang memberikan
arah terhadap pelaksanaan strategi-strategi pembangunan dapat kita
sebut sebagai kebijakan. Fungsi kebijakan di sini adalah untuk
memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan
prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan sosial
yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan.
Pembangunan akan memberikan hasil yang optimal apabila
memperhatikan berbagai dimensi secara seirnhang dan proporsional.
Pengalaman Indonesia pada tahap-tahap awal pembangunan hingga
tahun 1970-an, memberi pesan jelas bahwa untuk memacu dan
mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan
kesejahteraan sosial yang adil, pendekatan pembangunan harus
mempertimbangkan aspek-aspek. sosial. Pendekatan sosial perlu
diterapkan bersamaan dengan pendekatan ekonomi dalam strategi
pembangunan. Keduanya harus dirancang dan dilaksanakan secara
seimbang, saling mengisi, saling melengkapi dan saling memperkuat
satu sama lain. Pembangunan sosial dan kebijakan sosial kemudian
muncul sebagai konsep baru yang mewarnai konstelasi paradigma
pembangunan sebelumnya yang terlalu didominasi oleh
pembangunan ekonomi dan tentunya oleh kebijakan ekonomi.

Pembangunan Sosial
Terdapat banyak kata yang memiliki makna sama dengan kata
'pembangunan', misalnya perubahan sosial, pertumbuhan,
industrialisasi, transformasi, dan modernisasi. Dari kata tersebut
istilah 'pembangunan' lebih sering digunakan untuk menggambarkan
dan memberi makna perubahan ke arah positif dan lebih maju
dibandingkan keadaan sebelunya. Dalam konteks bahasa Inggris,
kata pembangunan selaras dengan kata development yang berasal dari
kata kerja to develop, yang artinya menumbuhkan, mengembangkan,
meningkatkan atau 'mengubah secara bertahap' (to change gradua!fy).
2

~j{~~

--------:i~:#tfi'tatf'f--~--------

Dengan demikian, pembangunan bisa diartikan sebagai proses


memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap
secara terencana dan berkesinambungan (Conyers dan Hills, 1989;
Jameson dan Wilber, 1979).
Menurut Todaro (1997), kemajuan ekonomi merupakan komponen
penting dalam pembangunan. Namun demikian) pembangunan
bukanlah semata-mata fenomena ekonomi. Pembangunan harus
ditujukan lebih dari sekadar peningkatan kemakmuran manusia
secara material dan finansial. Pembangunan harus dipandang se bagai
proses multi-dimensional yang melibatkan reorganisasi dan
reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Disamping
upaya-upaya peningkatan pendapatan secara ekonomi,
pembangunan juga memerlukan perubahan struktur-struktur sosial,
kelembagaan, sikap-sikap masyarakat, termasuk kebiasaan dan
keyakinan. Selain itu, pembangunan juga tidak dapat dipisahkan
dari proses global. Pembangunan tidak saja dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial-ekonomi pada konteks nasional, ia dipengaruhi pula
oleh perubahan sistem sosial dan ekonomi dalam konteks
internasional.
Berdasarkan pandangan tersebut, selanjutnya Todaro (1997:18-19)
mengemukakan bahwa sedikitnya pembangunan harus memiliki tiga
tujuan yang satu sama lain saling terkait:
1.

Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barangbarang kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan,
kesehatan dan perlindungan kepada seluruh anggota
masyarakat.

2.

Mencapai kualitas hidup yang bukan hanya untuk


meningkatkan kesejahteraan secara material, melainkan juga
untuk mewujudkan kepercayaan diri dan kemandirian bangsa.
Aspek ini meliputi peningkatan pendapatan, penyediaan
lapangan kerja, pendidikan dan budaya serta nilai
kemanusiaan.
3

3.

Memperluas kesempatan ekonomi dan sosial bagi individu


dan bangsa melalui pembebasan dari perbudakan dan
ketergantungan pada orang atau bangsa lain serta pembebasan
dari kebodohan dan penderitaan.

Meskipun dimensi pembangunan menunjuk pada setiap gerak dan


aktivitas demi perbaikan kualitas hidup manusia secara luas, dalam
realitas keseharian maknanya kerap menyempit menjadi sekedar
upaya perbaikan fisik dan ekonomi suatu masyarakat. Hal ini selain
disebabkan indikator-indikator fisik dan ekonomi memang lebih
mudah diukur, di kalangan para ahli telah berkembang suatu
anggapan bahwa membangun manusia adalah membangun
ekonominya. Demikian kuatnya varibel ekonomi ini mempengaruhi
perspektif pembangunan, sehingga pada awal perkembangannya,
teori-teori pembangunan sangat didominasi oleh paradigma
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Dewasa ini banyak muncul gagasan untuk merumuskan kembali
konsepsi pembangunan dari yang hanya bersifat sektoral dan
economic-oriented menjadi lebih komprehensif dan integralistik.
Konsepsi pembangunan yang memperhatikan segenap aspek
kehidupan memang merupakan persoalan krusial dimanapun,
termasuk di Tanah Air. Sebagai sebuah proses, pembangunan adalah
gerakan yang tidak sederhana, melainkan sangat kompleks dan multidimensional untuk mendayagunakan segenap sumberdaya manusia,
sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya budaya
yang ada. Sebagai sebuah cita-cita, pembangunan ditujukan untuk
menjawab setiap kebutuhan manusia, apakah itu kebutuhan fisikekonomi, mental-spiritual, atau politik-sosial.
Kesadaran untuk merumuskan kembali konsepsi pembangunan itu,
terutama muncul dari keprihatinan atas realitas dan tantangan bahwa
meskipun di satu pihak pembangunan ekonomi telah mencapai titik
yang menggembirakan, dilain pihak persoalan-persoalan baru seperti
ketimpangan kesejahteraan, keresahan sosial, kerusakan lingkungan,
4

dan rendahnya partisipasi sosial, muncul kepermukaan. Satu


perspektifpembangunan yang kini tengah populer dan menjawab
tantangan di atas adalah konsepsi pembangunan sosial. Paham
pembangunan baru ini berupaya mencari titik keseimbangan
optimal (optimum trade-oj}) antara kepentingan ekonomi dan sosial
1.1enuju pembangunan yang humanistik, partisipati dan
memperhatikan matra pemberdayaan manusia.
Konsepsi mengenai pembangunan sosial muncul sebagai kritik atas
kekurangan model-model pembangunan konvehsional, baik yang
sosialis maupun yang kapitalis, yang begitu memusatkan perhatian
pada produksi dan industri padat modal. Dengan mengabaikan
prinsip keadilan sosial, pendekatan pembangunan konvensional
kurang memiliki perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
dan pemberdayaan kelompok lemah. Secara ringkas, pembangunan
sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan,
anti kemiskinan dan anti kesenjangan.
Menurut Hardiman dan Midgley (1995) model pembangunan sosial
menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui
pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup
masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara
berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui:
1.

Menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas


masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset
tenaga kerja.

2.

Menyediakan dan memberikan pelayanan sosial, khususnya


pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan
serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam
kehidupan masyarakatnya.

Upaya pertama mengarah pada penciptaann peluang bagi kelompok


yang lemah secara ekonomi. U paya kedua terfokus pada
peningkatan kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan
5

peluang yang telah diciptakan tadi. Prinsip pokok pembangunan


sosial menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi adalah cara untuk melayani kebutuhan
manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun ha:rus
menghormati arti kehidupan manusia secara global, yang
bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi
kela:ngsungan lingkungan kita sendiri.
Dalam arti normatif, prinsip pembangunan sosial juga menganjurkan
untuk menyatukan keterkaitan aspek dan kebijakan ekonomi, sosial,
kemasyarakatan, dan pribadi dalam rangka mendukung martabat
man usia itu sendiri. Anjuran untuk mempertinggi martabat man usia
dilakukan pada berbagai tingkat nasional, maupun internasional
dengan cara toleransi serta menghormati pluralisme atau
keanekaragaman budaya, sosial dan politik. Lebih lanjut,
pembangunan sosial mempunyai prinsip untuk memperkukuh hak
terhadap pembangunan dan hak asasi lainnya, serta memajukan hak
dan tanggung jawab untuk kemajuan sosial dan keamanan untuk
semua. Berdasarkan prinsip nilai terse but, maka setiap orang berhak
untuk mendapat kehidupan yang layak, dimulai dari terpenuhinya
kebutuhan dasar sampai pada kesempatan untuk mengembangkan
potensi dan kreativitas pribadinya. Mengacu pada Conyers (1982),
ada tiga karakteristik utama pembangunan sosial, yaitu pemberian
pelayanan sosial, pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
pemberdayaan masyarakat.
1.

Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial yang


mencakup program n utrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan,
dsb. secara keseluruhan memberikan kontribusi kepada
perbaikan standar hidup masyarakat. Indikator keberhasilan
pembangunan sosial dalam konotasi ini antara lain adalah
angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka
kemampuan membaca dan menulis, dsb. Dalam pengertian
ini pembangunan sosial berorientasi pada kesejahteraan (welfare oriented).

~'"".-

- - - - - - - - -:.- 'd'J:

'

.,~

. '_.' ---:'j- '1~~~---------

2.

Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai


kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan
ketenteraman hidup, kemandirian keluarga dan masyarakat
(se(f-reliance), harga diri (se(/esteem), kebebasan dari dominasi
(liberation), hidup sederhana (plain !ivin~.

3.

Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dan
mengaktualisasikan diri mereka. Dalaim kaitan ini,
pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan
(empowerment).

Kebijakan Sosial
Istilah 'kebijakan' yang dimaksud dalam buku ini disepadankan
dengan kata bahasa Inggris 'policy' yang dibedakan dari kata
'kebijaksanaan' (wisdom) maupun 'kebajikan' (virtues). Kebijakan
sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata
'kebijakan' dan kata 'sosial' (social). Untuk menghindari ambiguitas
istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu
mengenai pengertian keduanya.
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan perigambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt
(1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang
dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang
membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan
itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip
yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi
kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan
(action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan
adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
7

Seperti halnya kata kebijakan, kata sosial pun memiliki beragam


pengertian. Conyers (1992) mengelompokkan kata sosial ke dalam
5 pengertian:

1.

Pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang


berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau
sesuatu yang menyenangkan. Misalnya: kegiatan olah raga,
rekreasi, bercakap-cakap dengan ternan, jalan-jalan sering
disebut sebagai kegiatan sosial.

2.

Lawan kata individual. Kata sosial memiliki pengertian


sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas,
seperti masyarakat (sociery) warga atau komunitas (communiry).
Dalam konteks ini, istilah sosial juga mencakup pengertian
publik atau kemaslahatan umum. Oleh karena itu orang sering
mendefinisikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan
kepentingan publik atau kepentingan masyarakat luas (lihat

Hill, 1996).
3.

Lawan kata ekonomi. Kata sosial berkonotasi dengan aktifitasaktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat sukarela
atau swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan
finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK
adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda
dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan
Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya
bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.

4.

Melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau


binatang. Pembangunan sosial dapat dijelaskan sebagai
pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan
pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan
gedung, jalan, jembatan.

5.

Berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu


maupun anggota masyarakat. Misalnya, selain setiap orang

memiliki hak azasi (human right), seperti hak hidup dan


menyatakan pendapat secara bebas, juga memiliki hak sosial
(social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh
pendidikan, pekerjaan, perumahan atau berpartisipasi dalam
pembangunan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat
diartikan baik secara generik atau luas maupun spesifik. Secara
generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai
bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut
aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah
sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang pendidikan,
kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti
spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan
sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial
atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan
sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan
kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut
program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk
mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran,
ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila,
kenakalan remaja.
Dalam buku ini, istilah kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan
yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang
rrtenyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial
seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana
dikemukakan oleh Conyers (1992). Menurut Conyers, perencanaan
sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan
kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan
Amerika Utara. Sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial
diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang

...

--------

-----

~-~-~.

anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan


perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
Beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Huttman, Magill, Spieker dan
Hill juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan
kebijakan kesejahteraan sosial.

Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang
berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi,
transportasi, komunikasi, pertahanankeamanan (militer), serta
fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan
sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986).

Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan


dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap
kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan
sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1965).

Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biayabiaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian
pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).

Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan,


atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan
memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981).

Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan


kesejahteraan (we!fare), baik dalam arti luas, yang menyangkut
kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang
menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif
tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Spieker, 1995).

Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam


kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996).

Kata sosial yang difeniskan oleh para ahli di atas, menunjuk pada
'manfaat-manfaat' atau 'bantuan-bantuan' kesejahteraan sosial (so10

cia/ we!fare benefits). Manfaat dan bantuan kesejahteraan sosial yang


tercakup dalam pengertian ini antara lain meliputi: perlindungan
sosial (social protection) bagi kelompok-kelompok rentan dan tidak
beruntung; jaminan sosial (social security) baik yang berbentuk
bantuan sosial (social assistance) maupun asuransi sosial (social insurance); program pemeliharaan penghasilan; pelayanan kesehatan;
rehabilitasi sosial para penderita cacat, eks narapidana, wanita atau
pria tuna susila atau eks penderita penyakit kronis; perawatan
kesehatan mental; pendidikan dan pelatihan bagi penganggur;
pelayanan bagi manusia yang berusia lanjut; perawatan dan
perlindungan anak; konseling perkawinan dan keluarga; serta
pelayanan rekreasi dan pengisian waktu luang.

Huttman (1981), dan Gilbert dan Specht (1986) melihat kebijakan


sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan sosial sebagai proses
(process), sebagai produk (product), dan sebagai kinerja atau capaian
(performance). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk
pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan
variabel-variabel sosio-politik dan teknik-metodologis. Kebijakan
sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana
tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian
kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif
tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan, sampai pada
evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Magill (1986)
memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai
pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya
menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation).
Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses
perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian
ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundangundangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman
dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek. Dimensi kedua
dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi
(formulated strategy), atau merujuk pada pendapat Kahn (1973),
11

--~--------~~it~~-------sebagai suatu rencana induk (standing plan). Perlu dijelaskan di sini


bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan,
namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundangundangan. Seperti yang akan di jelaskan pada bab mengenai analisis
kebijakan, kebijakan dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau
poiiry paper. Dalam tradisi pernerintahan di negara-negara barat, poiiry
paper ini biasanya dikenal dengan nama white paper dan green paper.
Sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan
deskripsi atau evaluasi terhadap hasil-hasil pengimplementasian
produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana
pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini menyangkut
kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi
pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai
akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan,
atau suatu program. Secara khusus, dirnensi ketiga kebijakan sosial
ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (social
policy analysis) (Dunn, 1981; Quade, 1982).
Di negara-negara barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi
tanggungjawab pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana
untuk kebijakan sosial dihirnpun dari masyarakat (publik) melalui
pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan
Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman,
Inggris, dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian
integral dari sistem 'negara kesejahteraan' (welfare state) yang
berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan
medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia)
dan status sosial ekonorni (orang kaya maupun rniskin).

12

Tabell.l: Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Publik


ASPEK

GOVERNMENT

GOVERNANCE

PROSES PERUMUSAN

Pemerintah
KEBIJAKAN

PENETAPAN KEBIJAKAN

Pemerintah

Pemerintah

ANALISIS KEBIJAKAN

Pemerintah
Public Contractor
Government Think
Thank

..

Pemerintah
Stakeholder
Analis Kebijakan
Independent
Think Thank

Stakeholder
Analis kebijakan
Independent
Think Thank

Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.1, terjadinya


pergeseran paradigrna dalarn ketatanegaraan dan kebijakan publik
dari government (pernerintahan) ke got'ernance (tatakelola), kebijakan
sosial dipandang bukan lagi sebagai dorninasi pernerintah. Makna
publik juga bergeser dari 'penguasa orang banyak' yang diidentikkan
dengan pernerintah, ke 'bagi kepentingan orang banyak' yang identik
dengan istilah stakeholder atau pernangku kepentingan. Para analis
kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kernudian muncul
sebagai profesi baruyang banyak berperan mengkritisi beroperasinya
kebijakan sosial dan kernudian rnengajukan saran-saran
perbaikannnya derni terwujudnya good governance sejalan dengan
menguatnya sernangat dernokratisasi, civil sociery dan transparansi.

13

14

Petnbangunan
So sial

While humanity shares one planet, it is a planet on which there


are two worlds, the world of the rich and the world of the poor.

Raanan Weitz (1986)

Paradoks antara pembangunan sosial dan ekonomi sangat disadari


sebagai masalah paling krusial saat ini. Kemiskinan dan
pengangguran yang meluas sangat mudah ditemukan di negaranegara yang telah menganggap keberhasilan membangun ekonomi,
teknologi dan industri. Ini berarti disintegrasi antara pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial telah terjadi, sehingga golongan
mayoritas masyarakat bawah di suatu negara sering menjadi tumbal
dari pilihan kebijakan pembangunan ekonomi tersebut.
Pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan
sosial akan memarjinalkan golongan-golongan yang tidak memiliki
akses terhadap kebijakan, pembangunan, proses politik, serta
sumber-sumber ekonomi yang ada. Keberhasilan pembangunan
ekonomi justru dibangun atas biaya sosial golongan marjinal tadi,
15

yang disisihkan dari keberlangsungan proses pembangunan.


Pembangunan ekonomi kemudian hanya dinikmati sekelompok kecil
dalam tatanan sistem sosial dan politik masyarakat.
Meskipun secara normatif, masalah-masalah kemiskinan, kesehatan,
pengangguran, keadilan sosial telah termuat dalam naskah-naskah
perencanaan pembangunan nasional, implementasinya masih jauh
dari memuaskan. Karena itu konsepsi pembangunan sosial dalam
konteks pembangunan nasional Indonesia, memberikan kerangka
bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek-aspek sosial
dalam proses pembangunan ekonomi yang dominan pada saat ini.

Tiga Dimensi Pembangunan Sosial


Pembangunan sosial kini semakin mendapat perhatian dunia. Salah
satu bentuk perhatian tersebut adalah Konferensi Tingkat Tinggi.
(KTT) Dunia Untuk Pembangunan Sosial (World Summit on Social
Development) di Kopenhagen, Denmark, pada tanggal 6-12 Maret
1995. KTT dihadiri oleh perwakilan dari 135 negara yang melibatkan
tidak kurang dari 90 Kepala Negara/Pemerintahan, 5 Wakil
Presiden, 40 Perdana Menteri/Menteri serta pimpinan organisasi
intemasional dan lembaga swadaya masyarakat. Sejak KTT terse but,
visi pembangunan sosial terus bergulir hingga kini.
Tujuan utama KTT tersebut adalah untuk mengembangkan
lingkungan agar tercipta hubungan antar manusia dan antar bangsa
secara harmonis yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan
umat manusia di seluruh dunia. KTT telah menghasilkan deklarasi
dan program aksi yang dirumuskan berdasarkan konsep
pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat
pembangunan (people-centered development). Hampit seluruh negara
yang hadir menyetujui dan meratifikasi prinsip-prinsip yang memberi
penekanan pada perlunya diciptakan kondisi yang menunjang upaya
perlindungan dan penegakan hak azasi manusia, demokrasi dan
partisipasi masyarakat. Deklarasi dan program aksi pada intinya

16

memuat kornitmen tegas dan kuat mengenai perlunya penanganan


segera terhadap penyebab utama dan penyebab struktural terjadinya
masalah sosial yang dikemas dalam tiga agenda besar:

3.

Pengentasan kemiskinan,
Perluasan kerja produktif dan pengvrangan pengangguran,
dan

Peningkatan integrasi sosial.

1.

Dimensi Kemiskinan

1.
2.

Tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat kategori, yakni


kemiskinan absolut, kerniskinan relatif, kemiskinan kultural dan
kerniskinan struktural.
Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan,
pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan
kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui 'batas kemiskinan'
atau 'garis kerniskinan' (poverty line) baik yang berupa indikator
tung gal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan,
pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator.
Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut umumnya
dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran).
Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang
kemampuan ekonominya berada di bawah garis kemiskinan,
dikategorikan sebagai miskin secara absolut.
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami
individu atau kelompok dibandingkan dengan 'kondisi umum' suatu
masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 100.000 per kapita
per bulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 125.000
per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika pendapatan ratarata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per bulan,
maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin.

17

Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai,


orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan
dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak
memiliki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis,
berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah
beberapa karakteristik yang umunmya dianggap sebagai ciri-ciri
kemiskinan kultural.
Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang cliakibatkan
oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur
politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber
penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan
praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi, misalnya,
melahirkan mata rantai 'pemiskinan' yang sulit dipatahkan. Sekuat
apapun motivasi dan kerja keras sese orang, dalam kondisi struktural
demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu
kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumbersumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang
tertentu. Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau memiliki
hanya sedikit tanah, para nelayan yang tidak mempunyai perahu,
para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam
mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.

Berterima kasih pada komitmen dan kebijakan pemerintah dalam


menangani kemiskinan, secara nasional jumlah kemiskinan absolut
di Tanah Air mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika pada
tahun 1970, terdapat 70 juta atau 60 persen penduduk Indonesia
terhimpit kemiskinan, maka hanya dalam dua dasawarsa jumlah
tersebut telah menjadi 27,7 juta atau 15, 08 persen saja dari populasi
keseluruhan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk yang masih berada
di garis kemiskinan menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen. Pada tahun
1996, prosentase penduduk miskin menurun lagi menjadi 11,3%
dari total penduduk Indonesia. Namun demikian, akibat krisis
18

multidimensi yang menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin


pada: periode 1996-1998 melonjak kembali dari 22,5 juta jiwa
(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak
27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Pada akhir tahun 1999, bternational
Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin
mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari keseluruhan
penduduk Indonesia.
Jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa
dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin.
Secara keseluruhan, prosentase penduduk rriiskin dan fakir miskin
terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan
7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang
Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang
miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang
fakir miskin (BPS dan Depsos, 2002:9).
Tentu saja, data-data makro tersebut belum mengungkap dimensi
kemiskinan relatif yang berujud ketimpangan sektoral maupun
ketimpangan regional antar wilayah. Belum lagi persoalan indikator
kemiskinan yang oleh sebagian ahli masih dipandang sebagai 'tidak
mencerminkan kebutuhan manusia secara manusiawi'. Batas
kemiskinan yang ditetapkan sebesar 2.100 kalori atau sekitar Rp.
100.000 per kapita per bulan untuk tahun 2003 (dibulatkan untuk
wilayah perkotaan dan per desaan), dipandang masih terlalu rendah.
Pendapatan sebesar itu tentunya hanya 'cukup' untuk memenuhi
kebutuhan 'sangat dasar'. Dengan batas kemiskinan yang rendah
ini, sangat dimaklumi jika banyak penduduk yang sebenarnya masih
dalam kategori miskin, misalnya pendapatannya Rp. 105.000 per
kapita per bulan, terangkat menjadi kelompok 'tidak miskin' atau
'agak miskin' (near!J poor). Sebagai perbandingan, Bank Dunia
menetapkan garis kemiskinan sebesar $US2 per kapita per hari. Jika
kurs rupiah terhadap dollar Amerika saat ini dihitung sebesar
Rp.9 ,000, maka garis kemiskinan per orang per bulan adalah sebesar
19

Rp.540.000. Jika garis kemiskinan ini yang dipergunakan, maka


tentunya jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan bisa
mencapai lebih dari 60% dari total penduduk saat ini.

2.

Dimensi Ketenagakerjaan

Sekarang ini tengah terjadi pergesaran pandangan yang menyangkut


ketenagakerjaan, yakni dari yang berorientasi pada keunggulan
komparatif (comparatif advantages) ke keunggulan kompetitif (competitive advantages). Pada masa Orde Baru, Indonesia telah
memperoleh keberhasilan pembangunan nasional yang
mengandalkan pada faktor keunggulan komparatif yang menentukan daya saing kita. Namun demikian; era globalisasi telah membuka
peluang dan tantangan baru. Terbukanya arus informasi telah
memungkinkan percepatan teknologi, mempercepat perputaran roda
ekonomi yang memungkinkan akselerasi arus modal, bararig dan
jasa berputar dengan cepat dan luas, serta menembus sekat-sekat
pasar antar kawasan. Dalam era globalisasi dan teknologi,
keunggulan komparatif yang terutama mengandalkan tenaga kerja
yang murah set"ta sumber daya alam yang melimpah tidak lagi
memberi daya saing yang menguntungkan, seperti di masa lalu. 0 leh
karena itu, pada saat ini sektor ketenagakerjaan harus bertumpu
pada keunggulan kompetitif. Satu aspek penting yang menentukan
keunggulan kompetitif adalah kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) yang tinggi yang mampu menguasai teknologi dan memberi
nilai lebih (added values) pada setiap aktivitas dan produktivitas
pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi kita dewasa ini sebagian besar masih
didukung oleh komponen kapital sebesar 70 persen. Sedangkan
faktor produktivitas hanya menyumbang 11 persen dan faktor tenaga
kerja 19 persen. Bila dibandingkan dengan negara-negara maju,
angka ini masih sangat kecil, dimana sumbangan total
produktivitasnya telah mencapai antara 50 sampai 70 persen.
Rendahnya dukungan faktor produktivitas tersebut erat terkait
20

dengan rendahnya kualitas SDM. Jika dibandingkan dengan negaranegara lain di wilayah ASEAN, SDM di negara kita masih tergolong
rendah. Dengan menggunakan ukuran Human Development Index
(HDI), UNDP (2004) melaporkan bahwa dari 175 negara, Indonesia masuk peringkat ke 111. Sementara negara-negara tetangga,
seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan :ipina berada diperingkat
yang lebih tinggi dari Indonesia. Singapura, misalnya, negara 'kecil'
yang penduduknya tidak lebih dari jumlah penduduk Jakarta,
menempati peringkat 25. Brunei Darussalam yang negaranya tidak
seluas Jakarta berada di peringkat 33. Malaysia yang penduduknya
pernah menjadi murid Indonesia ada di peringkat 58. Sedangkan
Thailand dan Filipina yang tujuh tahun lalu sama-sama mengalami
krisis ekonomi, masing-masing di peringkat 76 dan 83.
HDI merupakan salah satu ukuran untuk menentukan kualitas SDM
yang digunakan UNDP sejak tahun 1990. HDI ini mencerrninlr..an
kualitas hidup manusia (penduduk) yang dirangkum dari indikator
umur har~p~n. hidup, pendidikan dan pendapatan perkapita
penduduk Kualitas HDI y~1,1g rendah mendekati angka 0 dan
kualitas HDI yang baik mendekatLmgka 1. Meskipun HDI belum
sepenuhnya menggambarkan kualitas SDM, kita dapat menilai
sejauhmana keadaan kualitas SDM yang telah kita capai.
Rendahnya kualitas SDM dapat pula dilihat dari tingginya angka
pengangguran dan tingkat pendidikan angkatan kerja. Menurut
Menakertrans RI, pada tahun 2003, angka pengangguran di Indonesia mencapai 38,3 juta jiwa angkatan kerja. Sebanyak 30,2 juta
jiwa (78,85%) diantaranya adalah pengangguran terbuka. Tingginya
jumlah pengangguran ini selain dikarenakan masih rendahnya
kualitas SDM juga disebabkan oleh tidak sebandingnya kesempatan
kerja dengan para pencari kerja. Ketimpangan antara permintaan
dan penawaran tenaga kerja ini antara lain berkaitan dengan
kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang terlalu mengandalkan
sektor tenaga kerja formal. Padahal sektor informal, terutama di
21

perkotaan, mampu menyediakan sekitar 83 persen kesempatan kerja.


Sektor informal masih belum mendapat pengakuan dan penanganan
secara tepat dan proporsional.
Menilik tingkat pendidikan angkatan kerja, diketahui bahwa ternyata
kualitas SDM Indonesia juga masih rendah. Dari jumlah angkatan
kerja tahun 2002 sebesar 94 juta orang, sebagian besar pendidikan
tenaga kerja adalah tamat SD sebesar 34 juta jiwa (36,2%). Tenaga
kerja yang tidak sekolah adalah sebanyak 7 juta orang (7,4%), dan
tidak tamat SD sebanyak 16 jutaorang (17,02%). Tenagakerjayang
tamat SLTP adalah sebesar 14 juta orang (14,9%), tamat SLTA
sebesar 18 juta orang (19,1%). Sedangkan yang tamat diploma ke
atas sama besarnya dengan yang tamat SL1P, yakni hany'a sebesar
14 juta orang saja (14,9%).

3.

Dimensi Integrasi Sosial

Pengangguran, kemiskinan, dan integrasi sosial sangatlah erat


kaitannya. Pengangguran dapat menimbulkan kemiskinan, dan
sebaliknya kemiskinan dapat pula menyebabkan pengangguran.
Orang yang tidak bekerja, secara otomatis tidak memiliki
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia berada dalam
kondisi miskin. Sebaliknya, kemiskinan dapat melahirkan
pengangguran. Orang miskin yang ditandai oleh rendahnya
pendapatan, rendahnya pendidikan, keterampilan dan akses pada
sumber-sumber informasi dan kesempatan sosial, akan sangat sulit
memperoleh pekerjaan. Pengangguran dan kemiskinan pada
gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi sosial.
Kekurangmerataan penguasaan sumber-sumber ekonomi, sosial dan
politik dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang akan mudah
menyulut berbagai kerusuhan sosial. Bebagai kerusuhan yang terjadi
eli akhir tahun 1996 dan awal tahun 1997 di Situbondo, Jakarta,
Tasikn:1alaya, Sanggau Ledo, Rengasdengklok dan lain-lain tempat
di Indonesia, dalam beberapa hal menunjukkan adanya gejala
kecemburuan sosial dan disintegrasi sosial yang bersinggungan
22

dengan faktor pengangguran dan kemiskinan.


Disintegrasi sosial selain dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi,
dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik.
Heterogenitas kultural, institusi-institusi politik yang kurang
demokratis, rendahnya penghargaan terhadap hak azasi manusia,
diskriminasi sosial dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial.

Potret Negara Berkembang


Pembangunan sosial adalah strategi yang bertujuan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia secara paripurna. Pembangunan sosial
lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial ketimbang
pertumbuhan ekonomi. Beberapa sektor yang menjadi pusat
perhatian pendekatan ini mencakup pendidikan, kesehatan,
ketenagaketjaan, jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan. Secara
sempit, pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai
pembangunan kesejahteraan sosial. Ia berorientasi pada peningkatan
keberfungsian sosial (social functioniniJ kelompok-kelompok tidak
beruntung (disadvantage groups) atau Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS), yang meliputi fakir miskin, anak
terlantar, anak jalanan, pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan
sosial ekonomi, dan komunitas adat lokal.
Pembangunan sosial dapat dilihat dari output indicators (indikator
keluaran), seperti tingkat kemiskinan, melek hurup, harapan hidup,
dan partisipasi sosial. Indikator standar hidup ini telah dikembangkan
sejak tahun 1970an. Misalnya, Social Accounting Matrix (SAM) yang
digagas oleh Pyatt dan Round (1977); Physical Quali!J of Lzfe Index
(PQLI) oleh Morris (1977), dan Human Development Index oleh tim
UNDP (Mahbub U1 Haq, Amartya Sen, Paul Streeten dkk.).
Pembangunan sosial bisa pula diukur dari input indicators (mdikator
masukan) yang umumnya dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk
sektor pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial. Daiam kaitannya
dengan indikator masukan ini, masih berkembang anggapan bahwa
23

pembangunan sosial adalah "pengeluaran mahal" yang tidak akan


mampu dilakukan oleh negara-negara berkembang. Hanya negaranegara kaya saja yang pantas melakukan investasi sosial yang mewah
llll.

Tabel2.1 dan 2.2 mengilustrasikan pembangunan sosial di beberapa


negara berkembang di Asia Tenggara di lihat dari output indicators
dan input indicators. Secara sederhana, data terse but
menginformasikan bahwa:
1.
Pembangunan ekonomi yang berhasil umumnya diikuti oleh
membaiknya kualitas hidup. lni menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi penting bagi peningkatan kualitas
hidup manusia.
2.

Tingginya pendapatan nasional senantiasa diikuti oleh


tingginya pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial. Artinya,
semakin kaya suatu negara semakin besar pemerintah terse but
mengeluarkan anggaran sosial.

3.

Tingkat kualitas hidup ternyata ditunjang pula oleh tingkat


pengeluaran sosial. Dapat dikatakan bahwa kemajuan sosial
tidak hanya ditentukan oleh kemajuan ekonomi, melainkan
pula oleh adanya proporsi pengeluaran sosial yang memadai.

Tabel 2.1: Pembangunan Sosial eli Asia Tenggara berdasar Indikator


Keluaran
Negara

GDPper
Kapita (US$)
(1997) 1

Penduduk
Miskin (%)

Tingkat Melek
Huruf Dewasa
(%) (1997)

Harapan
Hidup (tahun)
(1997)

AnakKurang
Gizi (%)
(19901997)

Malaysia
Thailand
Filipina
Indonesia
Vietnam
Kamboja
Laos

7.730
6490
3670
3390
1590
1290
1300

10(1998)
13(1998)
38 (1997)
24 (1998)2
97 (1997/98)
36 (1997)
46 {1993)

84
94
95
84
94
65
57

72
69
68
65
68
54
53

Data tidak ada


16
30
42
44
56
47

Sumber. d1olah dan Knowles (2000:2-3)

24

--------------

---------------~lm~~~t~:

Tabel 2.2: Pembangunan Sosial di Asia Tenggara berdasar Indikator


Masukan (1990 -1995)
Negara

Pengeluaran
Pemerintah
PP (%)GOP

Pengeluaran
Pendidikan
(%) pp

Malaysia
Thailand
Filip ina
Indonesia

26,1
14,9
19
17,3

16,6
19,8
10,5
10,5

Pengeluaran
Pendidikan
Kesehatan dan Kesehatan
(%) pp
(%) pp

5,6
8,1
3
2,7

5,8 .
4,2
2,6
2,3

Sumber. diolah dari Ranis dan Stewart (1999:11 0)

1)

Berdasarkan proporsi orang yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan


negara-negara yang bersangkutan.

2)

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) (1999)

Negara Lemah versus Negara Sejahtera


Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi tidak selalu berjalan linier dengan perbaikan standar hidup.
Alasannya sederhana. Pertumbuhan ekonomi baru berdampak-pada
perkembangan hidup, jika disistribusikan secara proporsional untuk
pembangunan sosial (Ranis dan Stewart, 1999). 3 Menurut Haq
(1995), idealnya negara berkembang dan maju dapat mengeluarkan
anggaran untuk pembangunan sosial antara 15 - 20 persen dari
pengeluaran pemerintahnya. Penelitian UNDP (1990) membuktikan
bahwa "developing countries are not too poor to pqy for human development". Karenanya, negara berkembang tidak perlu menunggu
perekonomiannya tumbuh terlebih dahulu, baru melakukan investasi
so sial.
Studi di negara-negara Eropa, Amerik.a, Australia dan Selandia Baru
yang dilakukan penulis (Suharto, 2002) memperlihatkan bahwa
pembangunan ekonomi (GDP) tidak selalu diikuti dengan tingginya
pengeluaran sosial. Begitu pula pengeluaran sosial yang rendah di
suatu negara tidak selalu dikarenakan pembangunan ekonominya
25

yang rendah. Spektrum mengenai hubungan antara pembangunan


ekonomi (PE) dan pengeluaran sosial (PS) tersebut dapat
dikategorikan kedalam empat model, yaitu: 4
1.

Negara Lemah. Negara ini ditandai dengan PE yang rendah


dan PS yang rendah pula. Indonesia, Kamboja, Vietnam
termasuk dalam kategori ini. GDP negara-negara ini 'masih
dibawah US$5.000 dan mengeluarkan belanja sosial kurang
dari 3 persen dari pengeluaran pemerintahnya.

2.

N egara Pelit. Meskipun negara ini memiliki PE yang tinggi,


tetapi PS-nya relatif rendah. Amerika Serikat, Australia dan
Jepang termasuk dalam kategori ini. Secara berturut-turut
negara ini memiliki pendapatan (GDP) sebesar US$21.449;
US$17.215; dan US$23.801. Namun, mereka hanya
membelanjakan anggaran negara untuk pembangunan sosial
sebesar 14,6 persen, 13,0 persen dan 11,6 persen.

3.

Negara Baik Hati. PE di negara ini relatif rendah. Kondisi


ini tidak menghalangi negara untuk memberi porsi besar
terhadap PS. Yunani dan Portugal merniliki GDP sebesar
US$6.505 dan US$6.085. Namun negara-negara ini
mengeluarkan belanja sosial sebesar 20,9 persen dan 15,3
persen.

4.

Negara Sejahtera. Negara sejahteramerupakan sosok negara


ideal, karena memiliki PE dan PS yang tinggi. Posisi negara
sejahtera diduduki terutama oleh negara-negara Skandinavia
yang menerapkan sistem welfare state murni, seperti Swedia
(PE US$26.652- PS 33,1 %); Norwegia (PE US$24.924 - PS
28,7%); Denmark (PE US$25.150- PS 27,8%); dan Finlandia

1)

Gustav Ranis dan Frances Stewart (1999:108) menjelaskan bahwa "Human


development is the outcome of the rate qf economic growth an the wqy that is generated
and distributed."
Data GDP dan pengeluaran sosial diolah dari Hill (1996:41)

2)

26

(PE US$27.527- PS 27,1 %). Negara-negara Eropa Barat juga


termasuk kategori ini: Belanda (PE US$18.676 - PS 28,8);
Prancis (PE US$21.105- PS 26,5%); Austria (PE US$20.391
- PS 24,5%);Jerman (PE US$23.536- PS 23,5%); dan Inggris
(PE US$16.985 - PE 22,3%). Dengan PE US$13.020 dan
PS 19,0%, Sela..1dia Baru termasuk kategori negara sejahtera.

Mobil Mewah dan Baju Dinas


Saat ini, lebih dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia
hidup di bawah garis kemiskinan dan 12,7 juta diantaranya adalah
fakir miskin (Republika, 5 Mei 2003); Selain kemiskinan, Indonesia juga masih dililit problema pengangguran yang mencapai 38,3
juta jiwa angkatan kerja. Sebanyak 30,2 juta jiwa diantaranya adalah
pengangguran terbuka yang mencapai 78,85 persen (Republika, 21
Agustus 2003). Haryanto (12 tahun), seorang murid SD di
Kabupaten Garut menggantung diri karena malu tidak mampu
membayar Rp.2.500 untuk kegiatan ekstrakurikuler. Ayahnya adalah
buruh pikul di pasar Garut yang penghasilannya sehari Rp.20.000
(Media Indonesia, 3 September 2003).
Gambaran makro dan mikro di atas menunjukkan masih banyaknya
penduduk di Indonesia yang hidup serba kekurangan. Pendidikan,
sebagai salah satu kebutuhan dasar dan vital juga masih atau bahkan
semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
Itu artinya, betapa buramnya potret pembangunan sosial di Indonesia. Memang benar, pembangunan sosial adalah tanggungjawab
bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun, hila kita cermati
praktik di negara lain, baik negara maju maupun berkembang,
pemerintah mengemban amanat yang besar untuk mengalokasikan
dananya bagi sektor sosial secara lebih proporsional.
Keterbatasan dana sudah tidak memadai lagi dijadikan alasan
ketertinggalan ini. Dengan komitmen dan pengaturan yang baik,
pemerintah di negara-negara berkembang sesungguhnya sudah
27

mampu untuk meningkatkan anggarannya lebih besar lagi bagi


pembangunan sosial. Persoalannya kerapkali terletak pada misalokasi dan mismanajemen anggaran pembangunan. Seperti banyak
dilaporkan mass media, anggaran belanja pemerintah pusat maupun
daerah seringkali tidak mengedepankan kepentingan masyarakat
banyak(lihatUtomo,2003a). PadaKTT ASEAN diBali7-8 Oktober
2003, pemerintah berencana menyediakan mobil BMW Seri 7 untuk
para kepala negara dan Seri 5 untuk pejabat setingkat menteri.
Jumlah kepala negara yang akan diundang (berikut negara tamu Cina,
Jepang, Korea, dan India) adalah sebanyak 14 orang. Apabila setiap
negara membawa dua menteri, maka akan hadir 28 menteri. Harga
BMW Seri 7 yang termurah (735Li) adalah Rp. 1,88 miliar. Sedangkan
harga termurah BMW Seri 5 (tipe 530) adalah Rp. 815 juta. Dengan
demikian, dana yang dip~rlukan untuk kendaraan kepala negara
adalah Rp. 26,32 miliar dan untuk para menteri sebesar Rp. 22,82
miliar.
Parodi mobil mewah dan kamuflase kemiskinan gaya Orde Mega
ini tampaknya diwariskan dari orde sebelumnya: Orde Gus Dur
maupun Orde Baru. Pada KTT G-15 (negara-negara yang terbilang
miskin) pemerintahan Gus Dur menyediakan 50 mobil mewah (dari
rencana sebelumnya 400 unit). Mercedes Benz Seri S-500, S-600,
ML-320, Audi A~6, Nissan Patrol, dan VW Garavelle adalah
beberapa merk yang disediakan untuk para delegasi. Untuk para
kepala ekonomi negara-negara APEC pada pertemuan di Istana Bogor
tahun 1994, pemerintahan Soeharto mengimpor 200 mobil mewah,
seperti Mercedes Benz S-600 dan BMW 740. Sebelumnya, pada
KTT ke-10 Nonblok tahun 1992, pemerintah Soeharto juga
mengimpor mobilluks built up seperti Mercedes Benz 300 SEL (110
unit), Volvo 960 (210 unit), Nissan Patrol (210 unit), dan VW
Caravelle (210 unit) untuk para delegasi.
Conscious crue!ry pemerintah daerah ternyata sami mawon. Danarakyat
tidak jarang digunakan oleh eksekutif dan legislatif dengan semenamena untuk 'kebutuhan dinas', seperti rumah dinas, mobil dinas,
28

baju dinas atau paket-paket 'kadeudeuh' lainnya di luar kewajaran.


Di DKI Jakarta, misalnya, anggaran baju dinas untuk 85 anggota
DPRD adalah sebesar Rp. 1,04 miliar dan untuk gubernur sebesar
Rp. 65 juta. Anggaran ini ternyata masih kurang, untuk tahun
anggaran berikutnya anggaran ini minta dinaikan lagi sebesar Rp.
434,7 juta. Ketidakwajaran anggaran ini tidak hanya di Jakarta.
DPRD Riau juga menganggarkan Rp. 850 juta untuk anggotanya
yang berjumlah 55 orang (Utomo, 2003b).

Refleksi
Mencermati situasi dan kondisi di atas, maka perlu dibuat suatu
kebijakan yang mendukung pembangunan sosial. Kebijakan yang
dirumuskan hendaknya difokuskan pada tiga dimensi pembangunan
sosial, yakni dalam hal pengentasan kemiskinan, penciptaan
lapangan kerja produktif dan peningkatan integrasi sosial. Kebijakan
tersebut kemudian perlu diimplementasikan dalam berbagai program aksi yang sesuai dengan karakteristik permasalahan dan
kebutuhan yang akan diantisipasi dan dipenuhi. Beberapa saran yang
kiranya perlu dipertimbangkan berdasarkan konsepsi pembangunan
sosial adalah:
1.

Pengembangan kebijakan sosial yang 'memihak' (aj}irmative


action) pada kelompok marjinal melalui pembuatan peraturan
dan perundangan yang melindungi pengusaha kecil dari
dominasi perilaku ekonomi monopolistik. Peningkatan,
perluasan dan permudahan perkreditan dan institusi
permodalan lain yang lebih kondusif perlu terus digalakkan.

2.

Program-program penanggulangan kemiskinan dan


pengangguran, keterbelakangan, serta peningkatan kualitas
kesehatan, selain diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan
langsung (direct policies) yang dampaknya terbatas, perlu pula
dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan tidak langsung (indirect policies). Kebijakan tidak langsung ini, yang merupakan
29

intervensi kualitatif dari pemerintah, akan lebih memiliki


dampak luas dan berjangka panjang (sustainable). Kebijakan
tentang pengupahan nasional, pertanahan, kebijakan
keuangan, sistem perpajakan serta seluruh elemen
pembangunan nasional diarahkan untuk lebih memeratakan
hasil-hasil pembangunan.
3.

Penegakan hukum atau law enforcement perlu pula ditingkatkan


terutama untuk meningkatkan keterlibatan pihak-pihak
swasta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Sebagian dana
keuntungan BUMN, alih saham perusahaan, serta alokasi dana
dari bank-bank swasta perlu dikelola secara kreatif, effektif
dan efisien untuk dimobilisasi bagi kepentingan industri rumah
tangga, sektor informal serta usaha-usaha kecil bmnya, agar
partisipasi ekonomi lebih meluas dan merata.

4.

Manajemen dan pelaksanaan program-program di atas


seyogyanya dilakukan secara integral antar sektoral dan antar
profesional. Para ekonom, sosiolog, psikolog, antropolog dan
pekerja sosial perlu bahu membahu memainkan peran dan
tanggung jawab profesionalnya.

Potret pembangunan di negara-negara berkembang di Asia Tenggara


menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi berhubungan
secara positif dengan tingkat pengeluaran sosial. Namun demikian,
melihat masih kecilnya pengeluaran sosial di negara-negara ini
(antara 2-6 persen) dapat dinyatakan bahwa komitmen pemerintah
terhadap pembangunan sosial masih rendah. Anggapan bahwa
pengeluaran sosial yang tinggi merupakan "kemewahan" dan hanya
mampu dilakukan oleh negara-negara kaya temyata tidak terbukti.
Kenyataan di banyak negara menunjukkan bahwa tingginya
pengeluaran sosial tidak selalu ditentukan oleh tingginya GDP,
seperti diperlihatkan. model negara lemah versus negara sejahtera.
Sebagai contoh, GDP AS, Australia dan Jepang lebih besar dari
Yunani dan Portugal, tetapi pengeluaran sosial ketiga negara terse but
30

---------

--------~~~~~~~~~~~~~~~

jauh di bawah Portugal dan Yunani. GDP Malaysia (US$ 7.730)


juga lebih besar dari GDP Yunani (US$ 6.505) dan Portugal (US$
6.085), tetapi pengeluaran sosial Malaysia (5,8%) jauh di bawah
kedua negara tersebut (20,9% dan 15,3%). Pendapatan Thailand
(US$ 6,490) hanya terpaut sedikit di bawah Portugal dan Yunani,
namun pengeluaran sosial Thailar1J (4,2) jauh tertinggal oleh Portugal dan Yunani.
Laporan tahunan UNDP, Human Development Report, yang kini
menjadi acuan di berbagai negara di dunia, secara konsisten
menunjukkan bahwa pembangunan manusia mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak
memperhatikan pembangunan manusia tidak akan bertahan lama
(sustainable). Ini sejalan dengan temuan pakar ekonomi pemenang
Nobell998, Amartya Sen. Ia dengan sempuma membuktikan bahwa
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial
tidaklah otomatis. Agar berjalan positif dan berkelanjutan harus
ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro
pembangunan kesejahteraan sosial.

31

32

Petnbangunan
Kesejahteraan Sosial

Secara konseptual, sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya,


pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian dari
pembangunan so sial. Dalam konteks Pembangunan N asional,
kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari pembangunan
bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan.
Pembangunan kesejahteraan rakyat ini selaras dengan konsepsi
pembangunan sosial, yang dalam literatur mencakup pembangunan
di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan (Hardiman dan
Midgley, 1982). Oleh karena itu, di Indonesia kesejahteraan sosial
secara luas merujuk pada pembangunan sosial, sedangkan secara
sempit mengacu pada pembangunan kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial memberikan batasan
kesejahteraan sosial sebagai:
33

-------------~SIIIIfi~-----------S uatu tata kehidupan dan penghidupan sosiaf, material maupun


spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap
warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan so sialyang sebaik-baik'!)'a
bagi dirz~ keluarga, serta ma.ryarakat dengan me'!}ur!Jung tinggi.
hak-hak atau kewqji'ban manusia sesuai dengan Pancasila.

Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan sosial adalah kegiatankegiatan yangterorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu
atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya
dan meningkatkan kesejahteraan. selaras dengan kepentingan
keluarga dan masyarakat. Kesejahteraan sosial sebagai suatu institusi
dan bidang kegiatan menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang
terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga
pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah,
mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah
sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan
masyarakat. Kegiatan terse but melibatkan berbagai profesi dan ilmu,
seperti pekerjaan sosial, kedokteran, keperawatan, kependidikan
(guru), psikologi, psikiatri, hukum, dll. Organisasai yang
melaksanakan kegiatan-kegiatan kesejahteraan sosial disebut
lembaga kesejahteraan sosial yang merupakan salah satu sub-sistem
dalam sistem kesejahteraan sosial.
Pengertian kesejahteraan sosial sebagaimana dikemukakan di atas
mengandung pokok-pokok pikiran bahwa konsepsi kesejahteraan
sosial merujuk pada:

Kondisi statis atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya


kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.

Kondisi dinamis, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha


yang terorganisir untuk mencapai kondisi statis di atas.

lnstitusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga


kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang

34

,... '

~--:_,s;:.-

.. -(.

menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan atau


pelayanan sosial.

Pembangunan Kesejahteraan Sosial


Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha ;rang terencana dan
terarah yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial' dan
pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah
dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi
sosial. Ciri utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah holistikkomprehensif dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan
senantiasa menempatkan penerima pelayanan (beneficiaries) sebagai
manusia, baik dalam arti individu maupun kolektifitas, yang tidak
terlepas dari sistem lingkungan sosiokulturalnya.
Pengertian tersebut mengandung pokok-pokok pikiran bahwa tujuan
pembangunan kesejahteraan sosial mencakup seluruh masyarakat
dan bangsa Indonesia, dengan fokus utama pada kelompok yang
kurang beruntung atau warga masyarakat yang mengalami masalah
sosial. Lembaga pemerintah yang bertanggungjawab secara langsung
dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah Departemen Sosial,
sebagaimana Departemen Kesehatan melaksanakan pembangunan
kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional melaksanakan
pembangunan pendidikan, dan Departemen Agama melaksanakan
pembangunan moral dalam struktrur pemerintahan di Tanah Air.
Keempat departemen di atas berada di bawah koordinasi Menteri
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat(Menko Kesra). Dengan demikian,
karena arti kesejahteraan rakyat di sini mengacu pada konsep
pembangunan sosial yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, dan agama, maka dalam arti sempit, Departemen
Sosial dapatlah dikatakan sebagai Departemen 'Kesejahteraan
Sosial'. Semen tara itu, lembaga non pemerintah yang
menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial adalah
masyarakat, yang biasanya dilaksanakan melalui organisasi-organisasi
sosial, seperti organisasi lokal dan lembaga swadaya masyarakat.
35

Pandangan di atas mencerminkan bahwa pembangunan


kesejahteraan sosial berorientasi dan berwawasan ke depan searah
dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Pembangunan
kesejahteraan sosial bukan hanya bersifat residual, reaktif dan
karitatif dalam arti hadir hanya sebagai pelipur lara terhadap para
penyandang masalah sosial dan memainkan peran hanya sebagai
'penyapu sampah-sampah pembangunan'. Pendekatan
pembangunan kesejahteraan sosial bersifat universal, institusional,
dan proaktif terhadap kondisi kehidupan masyarakat dan masalah
sosial. Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial adalah seluruh
masyarakat dari berbagai latar dan golongan dengan prioritas utama
para penyandang masalah sosial atau pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial (PPKS). Pembangunan kesejahteraan sosial
dilaksanakan secara bertahap, terarah, terpadu, berencana,
berkelanjutan, terorganisasi dan melembaga.
Pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada keberfungsian
sosial (social functioning) manusia dalam kehidupan sosial
masyarakatnya. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah
tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta
berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan
melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar kemanusiaan.
Sebagai salah satu sektor dari bidang kesejahteraan rakyat, sektor
kesejahteraan sosial melaksanakan amanat UUD 1945 melalui
pelayanan sosial yang diwujudkan dengan usaha kesejahteraan sosial
(UKS). UKS dilaksanakan melalui penyuluhan dan bimbingan sosial,
pembinaan, rehabilitasi sosial, pemberian bantuan dan santunan,
serta pencegahan munculnya permasalahan sosial yang baru dan
pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial dalam rangka
meningkatkan tara kesejahteraan sosial.

36

,uya interaksi antar peradaban


dunia telah memperkuat
faham ekonomi kapitalistme
dalam berbagai pendekatan pembangunan. Berbagai sektor
pembangunan terobsesi oleh pendekatan-pendekatan efisi~nsi,
rasionalisasi dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Sektor
kesejahteraan sosial termasu:k kedalam bidang yang terpengaruh
oleh gelagat ini (Suharto, 1997, Suharto,2002b).
Secara makro, masuknya faham ekonomi kapitalisme ini telah
rnelahirkan kritikan tajam terhadap faham welftre state (negara
kesejahteraan). Sehingga berkembang anggapan bahwa we!fere state
rnerupakan sistem yang boros, tidak mampu memberdayakan
rnasyarakat, menimbulkan stigmatisasi dan bahkan jebakan
kemiskinan (poverry trap) terhadap populasi sasarannya.
Meskipun kritik terse but tidak sepenuhnya akurat, anggapan ini telah
rnenyebabkan menurunnya anggaran pembangunan yang
dialokasikan untuk usaha kesejahteraan sosial. Usaha ini dipandang
sebagai kegiatan yang tidak memiliki indikator keberhasilan yang
terukur secara ekonomis.
Menghadapi tantangan ini, pembangunan kesejahteraan sosial
rnengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Dimensi teoritis
ini sedikitnya menyentuh empat gelagat perubahan perspektif
kesejahteraan sosial, yaitu: dari masalah ke kebutuhan, dari
stigmatisasi ke hak azasi manusia, dari penerima pasif ke pelaku
aktif, dan dari bantuan sosial ke pemberdayaan.
J,
Dari masalah ke kebutuhan
l ... ,.., ......

Selama ini, pembangunan kesejahteraan sosiallebih berorientasi pada


penanganan masalah (problem), khuususnya masalah kesejahteraan
sosial. Meskipun ini bukan kekeliruan, pendekatan semacam ini
seringkali menggiring pada pembuat keputusan dan pelaku
pembangunan kesejahteraan sosial kepada pendekatan yang bersifat
reaktif. Program pembangunan kesejahteraan sosial dirancang hanya
37

'tttt#'~lllll---------untuk mengatasi amsalah yang sudah ada di wilayah hilir. Sedangkan


sering dicontohkan, para pekerja sosial berperilaku seperti "tukang
sampah" yang setiap hari membersihkan "sampah", tanpa pernah
berusaha untuk merespon sumber penghasil sampah.
Disadari bahwa kesejahteraan sosial bersifat multidimensional,
penangganannya membutuhkan pendekatan terpadu yang tidak
hanya difokuskan pada gejala masalah, melainkan pada berbagai
determinan yang mempengaruhinya. Di banyak negara, perancangan
kebijakan sosial pada skala makro merupakan salah satu contoh.
Perspektif penanganan masalah yang berorientasi pada kebutuhan
(need) ini dapat dilihat dari program-program kesejahteraan sosial
yang bersifat pencegahan dan pengembangan yang kini banyak
dikembangkan baik di negara maju dan berkembang.
2.

Dari stigmatisasi ke hak azasi manusia

Pada masyarakat barat, sejarah perkembangan usaha kesejahteraan


sosial tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan karitatif untuk
menolong kelompok masyarakat miskin, baik akibat korban
peperangan maupun korban persaingan industrialisasi. Para
penerima pelayanan diberi bantuan uang , barang atau pelayamnan
sosial untuk menunjang hidupnya . karena prasyarat menerima
bantuan adalah memenuhi kriteria "rniskin" dan "tidak mampu"
(mean test), para penerima pelayanan ini dengan sendirinya termasuk
kedalam kelompok khusus. Mereka mengalarni stigmatisasi sebagai
warga kelas dua pada strutur sosial masyarakat. Konsep wa!fere
(kesejahteraan) kemudian sangat identik dengan opemberian
tunjangan pendapatan (dol~ atau tunjangan pengangguran (unemployment benefits) bagi golongan masyrakat yang papa, cacat atau
menganggur.
Dewasa ini dengan diratifikasinya berbagai konvensi hak azasi
manusia, bantuan terhadap kaum papa sekalipun tidak lagi dilihat
sebagai usaha belas kasihan. Melainkan sebagai hak mereka sebagai
warga negara untuk menerima pelayanan sosial dasar dari negara
38

sebagai representasi masyarakat. Beberapa istilah yang telah


bertahun-tahun digunakan dalam arena kesejahteraan sosial pada
gilirannya juga mengalami berbagai penyelarasan. Misalnya, "orang
miskin" (the poor), menjadi "pemerlu" (the neecfy), "orang cacat"
(handicaped/ disabled people) menjadi "orang dengan kecacatan" (people
with disabilities) atau "orang dengan kemampuan khusus (people~- ith
specific capacities). Kelompok sasaran ini yang tadinya hanya
dipandang sebagai "penerima pelayanan" (beneficiaries) atau "klien"
(client), kemudian sering dinamakan "pengguna" (user). lstilah
pengguna dimasukkan sebagai salah satu popu1asi dalam "kelompok
yang berkepentingan" (stakeholders) dan dipandang sebagai kelompok
penentu proses keberhasilan pertolorigan.

3.

Dari penerima pasif ke pelaku aktif

Salah satu kritik yang sering dilontarkan kepada sistem we!fere state
adalah terlalu dominannya peran negara dalam merancang dan
sekaligus melakukan intervensi terhadap popu1asi yang mengalami
masalah. Selain menimbulkan beban pada anggaran negara,
pendekatan ini sering menimbulkan ketergantungan kepada para
penerima pelayanan sosial. Dalam praktik pekerjaan sosial, pekerja
sosial dipandang sebagai p enolong yang serba bisa. Sementara klien
dilihat sebagai penerima bantuan yang seakan-akan tidak memiliki
kemampuan untuk menolong dirinya.
Pandangan di atas kini telah banyak bergeser. Negara kini banyak
menyerahkan sebagian peran sosialnya kepada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai mitra kerjasama pembengunan
kesejahteraan sosial. Klien kini dipandang sebagai aktor yang juga
memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk menghadapi
masalahnya sendiri. Konsep pemberdayaan menyeruak sebagai
strategi pembangunan kesejahteraan sosial yang menempatkan
penerima pelayanan bukan semata-mata "klien", melainkan
"partisipan" dan pelak.u aktif" pemenuhan kebutuhan mereka
sendiri.
39

4. Dari bantuan sosial ke pemberdayaan

Dengan menguatnya embusan demokrasi dan semangat civil sociery,


konsep mengenai pemberdayaan masyarakat (communiry empowerment)
semakin mendapat tempat dalam relung kesadaran publik. Hampir
semua kajian ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan seakanakan belum lengkap tanpa memuat konsep pemberdayaal'l, baik
sebagai cara pencapaian tujuan (means), maupun tujuan (ends) itu
sendiri. Dua karya akademis, yakni Social Work: An Empowering
Profession karya DuBois dan Miley (1992), dan The Integration of
Social Work Practice, buah pikir Parsons et al (1994) adalah contoh
buku teks pekerjaan sosial yang menekankan pentingnya
pemberdayaan dalam pendekatan pekerjaan sosial. Dalam konteks
makro diskursus pembangunan kesejahteraan sosial (social welfare
discourse), menguatnya nilai pemberdayaan didorong oleh pergeseran
paradigma (paradigm shift) dan transformasi sosial yang terjadi baik
pada aras global maupun nasional.
Pada aras global, kemenangan ideologi kapitalisme atas rivalnya
sosialisme dan komunisme telah memperkuat hegemoni globalisasi
dan merriperlemah faham welfare state (negara kesejahteraan). Sejak
Francis Fukuyama melahirkan buku bestse//er-nya yang pertama, The
End of History and The Last Man (1992) kapitalisme yang
mengedepankan demokrasi liberal, hak azasi manusia dan pasar
bebas kini semakin ditengarai menjadi nilai-nilai universal bangsa
man usia, karena nilai-nilai lain telah dianggap buntu serta menemui
akhir sejarahnya (the end of history). Semenjak itu, model negara
kesejahteraan di berbagai belahan dunia mengalami transisi dan
dekonstruksi yang luar biasa. Meskipun negara-negara Skandinavia
(Denmark, Swedia, Norwegia) masih menerapkan model negara
kesejahteraan yang mendekati 'murni', AS, Kanada dan sebagian
besar negara-negara di Eropa Barat kini telah menyesuaikan model
negara kesejahteraan ini dengan apa yang dikenal sebagai we(fare
pluralism, contributory welfare state atau participatory welfare state. 6

40

Pembangunan kesejahteraan sosial yang semula didominasi negara,


kini dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan organisasiorganisasi sosial. Karena belanja negara untuk program kesejahteraan
sosial mengalami kontraksi, program-program jaminan sosial dan
pelayanan sosial yang semula bersifat universal, kini semakin bergeser
menjadi selektif berdasarkan pendekatan means-test. Isu-isu mengenai
stigma, ketergantungan dan "jebakan kemiskinan" (poverty trap)
yang dianggap sering melekat pada pelayanan dan bantuan sosial,
telah menjadi justifikasi logis bagi masuknya nuansa pemberdayaan
pada mainstream pembangunan kesejahteraan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, sebagai ilustrasi, menguatnya aspek
pemberdayaan pada program-program kesejahteraan sosial berwujud
dalam bentuk "welfare-to-work programmes", yakni program-program kesejahteraan sosial yang senantiasa direkatkan dengan
peningkatan kapasitas (capacity building) para penerima pelayanan
agar kelak mampu memasuki dunia kerja atau mampu berusaha
mandiri.
Pada aras nasional, kegagalan pendekatan pembangunan yang
berporos pada pertumbuhan ekonomi yang berwajah sentralistis dan
bersifat top-down telah menumbuhkan kesadaran sekaligus tekad para
pegiat pembangunan di Indonesia untuk memasukan dimensi
pemberdayaan kedalam strategi pembangunan nasional. Masyarakat
yang menjadi sasaran pembangunan, yang tadinya tidak dilibatkan
dan bahkan diasingkan dari proses pembangunan, kini dipandang
sebagai aktor sentral yang memiliki potensi dan kemampuan dalam
mengembangkan kualitas hidupnya. Mereka tidak lagi dianggap
hanya sebagai penerima pasif dari berbagai ragam kegiatan
pembangunan. Mereka diberdayakan agar memiliki kapasitas dalam
mengorganisir dan mengambil keputusan, merespon berbagai
permasalahan, serta mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara
mandiri dan berkelanjutan. Konsep dan terma-terma pembangu.11.an
yang bermatra pemberdayaan, seperti partisipatoris, emansipatoris,

41

inisiatif lokal, kearifan lokal, berbasis masyarakat, 'berpusat pada


rakyat' kini semakin dipandang sebagai keniscayaan strategi
pembangunan nasional.

42

Kebijakan Publik,
Peran N egara dan
Pembangunan Sosial

Bah ini menyampaikan beberapa gagasan mengenai peran negara


dalam kebijakan publik dan pembangunan sosial, khususnya yang
menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Tulisan
ini dilandasi argumen bahwa menguatnya arus globalisasi dan
liberalisasi ekonomi melahirkan kesempatan-kesempatan dan
pilihan-pilihan baru dalam berbagai bidang pembangunan. Namun
demikian, kapitalisme sebagai anak kandung globalisasi dan
sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi juga menciptakan
tantangan-tantangan baru bagi pembangunan di Indonesia.
Kebijakan publik yang pro pembangunan sosial diperlukan guna
me-rebounding dominasi globalisasi dan kapitalisme sehingga tidak
menabrak keadilan dan kesejahteraan sosial.
43

Kebijakan Publik
Literatur mengenai kebijakan publik telah banyak menyajikan
berbagai definisi kebijakan publik, baik dalam arti luas maupun
sempit. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2002:5) memberikan
definisi kebijakan publik secara luas, yakni sebagai "wh~tever governments choose to do or not to do." Sementara itu, Anderson yan'g juga
dikutip oleh Young dan Quinn, menyampaikan definisi kebijakan
publik yang relatif lebih spesifik, yaitu sebagai "a purposive course of
action followed ly an actor or set of actors in. dealing with a problem or matter
of concern." Untuk memahami berbagai definisi kebijakan publik,

ada baiknya jika kita membahas beberapa konsep kunci yang


termuat dalam kebijakan publik (lihat Young dan Quinn,
2002:5-6):

44

Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik


adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh
badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis
dan finansial untuk melakukannya.
Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata.
Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan
kongkrit yang berkembang di masyarakat.
Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan
publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal,
melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi
yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan
orang banyak.
Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan
kolektif untuk memecahkan masalah sosial. N amun, kebijakan
publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa
masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan
yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan
tertentu.

-----------t'llllllla~~~
~~~~~~~

Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang


aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau
justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan
yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang
belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam
ke:_,ijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah,
maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pernerintah.

Globalisasi
Konstelasi dunia dan peradaban manusia dimana pembangunan
ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan beroperasi telah~dantengah
berubah secara dramatis dewasa ini. Menurut Mayo (1998),
perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh proses
globalisasi: sebuah ekspresi yang sangat populer yang oleh Dominelly
dan Hoogvelts {1996:46) disebut sebagai "pengintensifan jaringanjaringan hubungan sosial dan ekonorni yang luar biasa." Dalam kajian
Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), serta Penna
dan O-Brien {1996), perubahan sosial dan ekonorni tersebut juga
sejalan dengan munculnya sejumlah terma yang ditandai dengan
awalan "post", seperti "post-industrialism", "post-fordism", "poststructuralism" dan "post-modernism". Dua istilah pertama menunjuk
pada perdebatan dalam wacana ekonorni-politik, sedangkan dua
istilah terakhir lebih merujuk pada perdebatan dalam aras budaya.
Meskipun konsep-konsep di atas memiliki perbedaan dalarn rnakna
dan kontekstualisasinya, secara garis besar kesemuanya memiliki
kesamaan pandangan bahwa tatanan lama,yakni masyarakat industri
modern sedang berada dalam masa perubahan atau transisi dalam
skala global; dan bahwa perubahan-perubahan terse but dipengaruhi
terutama oleh menguatnya sistem ekonorni-politik kapitalisme yang
berporos padaideologineoliberalisme (Suharto, 1997; 2001b; 2001c;
2001d; Mishra, 1999; Singh, 2000; Mkandawire dan Rodriguez,
2000; Yang 2000; Moore, 2000).
45

---

Kapitalisme yang mengedepankan demoktasi liberal, hak azasi


manusia dan ekonomi pasar bebas, kini bukan saja telah merasuki
hampir seluruh pendekatan pembangunan, melainkan pula ditengarai
telah menjadi pandangan hidup universal seluruh bangsa manusia
(Suharto, 2001c). Pendekatan lain dianggap telah menemui jalan
buntu dan akhir sejarahnya (the end of history). Jargon yang te.rkenal
adalah TINA (There Is No Alternative). Maksudnya, hanya melalui
cara kapitaslime sajalah kebahagiaan dan kesejahteraan umat
manusia dapat dicapai.
Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda berbagai negeri,
hampir semua strategi pemulihan ekonomi berpijak pada paradigma
kapitalisme. Banyak negara mengikuti resep-resep Th1F dan Bank
Dunia, dua lembaga internasional dan simbol hegemotii kapitalisme
global. Liberalisasi kebijakan perdagangan, pembukaan pasar modal
bagi investor asing, rekapitalisasi industri besar, dan pengurangan
campur tangan negara dalam pembangunan ekonomi, dipercayai
sebagai obat mujarab bagi pemulihan ekonomi. Keyakinan ini
semakin disulut oleh gagasan Milton Friedman dan Fukuyama;
bahwa kalau pembangunan ekonomi ingin maju, maka peran negara
harus diminimalisir dan kekuasaan bisnis harus diutamakan.
Karena pembangunan sosial kerap dipandang hanya sebagai beban
pertumbuhan ekonomi dan simbol intervensi negara, maka
berkembanglah suatu keyakinan nihilistis bahwa institusi-institusi
kesejahteraan sosial secara intrinsik bersifat tidak ekonomis dan
bahkan patologis, dimanapun dan dalarri kondisi apapun.
Pertanyannya adalah: benarkah kapitalisme merupakan sebuah
keniscayaan sejarah? Tepatkah kalau suatu negara menerapkan
sistem ekonomi kapitalis maka peran dan komitmen negara untuk
menyangga keadilan dan kesejahteraan sosial mesti dikikis habis?
Apakah peran negara dalam pembangunan sosial di AS dan Eropa
Barat - yang sering dijadikan rujukan sistem ekonomi kapitalis juga sudah dihilangkan sama sekali?
46

Keunggulan dan Kelemahan Kapitalisme

Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang sangat


mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku The Wealth
of Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi
kapitalistik berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi
lain. Pada akhir Perang Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang
tidak komunis, otoriter, merkantilistik atau sosialis, yakni Amerika
Utara dan Swis. Kini selain kita menyaksikan negara-negara komunis
rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun Iiegara yang saat ini
bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang
supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad
21.

Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh


sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat
apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu
menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global. Sejarah
juga menunjukkan bahwa kapitalisme bukanlah piranti paripurna
yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan, terdapat
banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus
sungai kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan,
meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial,
meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta
berbagai masalah degradasi morallainnya ditengarai sebagai dampak
langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi
kapitalistik.
Sinyalemen tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan studinya di
negara-negara berkembang, Haque dalam Restructuring Development
Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa kapitalisme bukan
saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan justru
lebih memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga.
Menurutnya:

47

Compared to the socioeconomic situation under the statist governments during the 1960s and 1970s, under the pro-market
regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverry has
worsened in matry African and Latin American countries in
terms of an increase in the number of people in poverry, and,a
decline in economic-growth rate, per capita income, and living
standards (Haque, 1999:xi).

Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam


guna menjamin mekanisme pasar betialan lancar dan campur tangan
negara yang terlalu hesar dianggap hanya akan mengganggu
beroperasinya pasar. Karenanya, dalam situasi yang tanpa "tangan
pengatur keadilan" seperti itu, kapitalisme mudah terpeleset kedalam
arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang melihat
mariusia hanya sebatas "binatang ekonomi" (homo economicus) yang
motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan
fisik-materi. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas
"sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan".
Dalam praktiknya, "manfaat" di sini kerap merosot maknanya
menjadi sekadar "konsumerisine-materialisme" dari "pengorbanan"
sering terpeleset menjadi penindasan terselubung "si kuat terhadap
si lemah", "majikan terhadap buruh", "penguasa terhadap yang
terkuasai". Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan,
sementara solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.
Menurut kaum utopiawan revolusioner, seperti Horkheimer,
Marcuse, Adorno, dan Roszak, apabila skenario pembangunan
seperti ini dibiarkan, maka wajah pembangunan akan diformat dan
dikuasai oleh elit teknokrat dan elit konglomeratyang berkolaborasi
mereduksi pembangunan yang tahap demi tahap diarahkan menujti
teknokrasi totaliter dan "work-fare state" (bukan welfare state) yang
mematikan kesejatian manusia, kebebasan, kebahagiaan,
48

--

keselarasan, keharmonisan dan yang mengasingkan manusia dari


semesta dan sesamanya (Suharto, 1997).
Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang
sebagai dua "sektor" yang berlainan dan berlawanan. Keduanya
dijalankan secara serasi dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi
historis dan sosiologis yang bernama "negara kesejahteraan" (welfare state) (Suharto, 200la; 200lb; 2001c; 2001d). Sebagaimana
dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner (1976),
negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan
sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif
kapitalisme. Karena menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme
di masa depan memang tidak dapat dan sudah seharusnya tidak
diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan untuk
mengubah sistem yang "unggul" ini agar lebih berwajah manusia-wi
(compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme
pasar yang tidak sempurna.
Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan
pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of socioeconomic development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas
mendorong. pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas
distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam
APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam poliry
pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan
terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan
alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi
bagi mereka yang tercecer da~ pe~saingan pembangunan.
Dalam negara kesejahtenian, pemecahan masalah kesejahteraan
sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan
keterlantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial
yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), pelayanan sosial,
49

rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan,


hari tua, dan pengangguran.

Negara Kesejahteraan
Merujuk pada Spieker (1988:77) negara kesejahteraan dapat
didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial' yang
memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk
mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya
kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) negara
kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern
yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik
demokratis. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah
lnggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru serta sebagian besar
negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak
dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah
negara-negara bekas U ni Soviet dan "Blok Timur", karena mereka
tidak termasuk negara-negarademokratis maupun kapitalis (Spieker,
1988:78).
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS
pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi
lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini,
negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari
gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan
masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya
anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan
ke dalam empat model, yakni:

1.

so

Model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia,


seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam
model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada.
semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggatan
negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari
total belanja negara.

2.

Model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria.


Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara
melembaga dan luas. Akan tetapikontribusi terhadap berbagai
skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).

3.

Model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan


Selandia Baru. J aminan so sial dari pemerintah le bih
diutamakan kepada kelompok leinah, seperti orang miskin,
cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian
perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian
subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial "swasta".

4.

Model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin


(Prancis, Spanyol, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan,
Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial
sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara.
J aminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis,
temperer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada
pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.

Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara


kesejahteraan adalah bentuk perlindungan negara terhadap
masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat,
penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme.
Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus melindungi
kelompok lemah, seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa)
bekerja? Ada beberapa alasan mengapa negara diperlukan dalam
mengatur dan melaksanakan pembangunan sosial (Suharto, 1999;
2000):
Pertama, pembangunan sosial merupakan salah satu piranti keadilan
sosial yang kongkret, terencana dan terarah, serta manifestasi
pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga
negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam
51

--

memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan


menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan
pembangunan.
Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang ada
di suatu negara bahkan seluruh bumi kita ini sang at terbatas. Dengan
demikian, jika ada seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih
makmur pada dasarnya hanya dimungkinkan jika kelompok lain
bersedia atau terpaksa hidup tidak makmur.
Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan Iomba
memperebutkan kue tart, maka seseorang yang memperoleh
potongan kue lebih besar pada dasarnya dimungkinkan karena yang
lain mendapat bagian yang lebih kecil. Sekalipun setiap orang
memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap orang
akan memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue
itu di simpan di tengah lapangan dan setiap orang memiliki jarak
sama untuk memperoleh kue itu. Tetapi tetap saja orang yang kuat
akan melesat lebih cepat dan mendapat potongan kue yang lebih
besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya.
Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran suatu
kelompok sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya.
Maka, selain negara wajib memberi kesempatan sama kepada setiap
orang untuk berusaha, ia harus tetap memperhatikan keterbatasan
kelompok lemah sebagai kompensasi dan wujud keadilan sosial.
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan
kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial
yang tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan
semakin melemah. Pembangunan sosial seringkali tidak
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga
kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang
ini. Dengan kebijakan yang didukung l.JU, negara memiliki legitimasi
kuat melaksanakan investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across

52

populations" yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber


pembangunan lainnya.
Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan sosial adalah
pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro jangka
panjang ia dapat menjadi investasi sosial yang menguntungkan.
Pembangunan sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan
sosial yang merupakan prasyarat dan rahasia tercapainya
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang berkesinambungan,
stabilitas politik dan kesejahteraan bersama.
Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services)
kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap
rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik
kepada negara adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya,
prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu memberikan
jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di
atas termasuk dalam kategori "hak-hak dasar warga negara" yang
wajib dipenuhi oleh negara sebagai wujud pertanggungjawaban
moral terhadap konstituen yang telah mernilihnya.
Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek)
sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka
panjang. Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu
memberikan jaminan sosial secara luas dan merata guna menghadapi
resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit, kematian,
pensiun, kecacatan, bencana alam, dan sebagainya.

Pembangunan Nasional
Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya
adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan.
Meskipun beberapa tahun sebelum krisis ekonomi, Indonesia
tercatat sebagai salah satu macan ekonomi Asia dengan pertumbuhan
53

-'111----

ekonomi lebih dari 7 persen per tahun, angka pertumbuhan yang


tinggi ini ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Studi BPS (1997)
menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen
bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional
yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya
mencapai 97,J persen dari keseluruhan dunia usaha.
Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini terlihat pula dari masih
meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun waktu 19761996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1
persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali
dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. International Labour
Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3
persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori
kemiskinan dimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang.
PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu,
jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki
pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih
memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki
kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan
politik.
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat
kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang
sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara
otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan
masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang
membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu
menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang
54

.......
optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan
memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak
tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada
mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya
(orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun struk.turalnya
(penganggur), tidak mampu .merespon secepat perubahan sosial di
sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang
tidak adil.

Kebijakan Publik yang Pro Pembangunan Sosial


Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita
kemerdekaan dan muara dari agenda pembangunan ekonomi. Pasal
33 UUD 1945 yang merupakan pasal mengenai keekonomian berada
pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul "Kesejahteraan Sosial".
Menurut Sri-Edi Swasono (2001), "Dengan menempatkan Pasal
33 1945 di bawah judul Bab "Kesejahteraan Sosial" itu, berarti
pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada
peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial
merupakan tes untuk keberhasilan pembangunan, bukan sematamata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan
fisikal." Dengan demikian, dilihat dari perspektif pembangunan
sosial, Indonesia menganut negara kesejahteraan, meskipun dengan
model residual atau bahkan model minimal. Indonesia menganut
prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit
konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan
tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan sosia.
Namun demikian, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi
saat ini, pembangunan sosial baru sebatas jargon dan belum
terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi. Penanganan
masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta
55

belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin


dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang
harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang,
barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan,
tanpa konsep dan visi yang jelas. .
Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan
terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide
liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada
bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya,
termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan
tanggungjawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan
sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Bergulimya otonomi daerah juga bukannya semakin memperkuat
komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan
masyarakat kelas bawah. Pemberian wewenang yang lebih besar
kepada Pemda dalam mengelola pernbangunan daerah belurn diikuti
dengan penguatan piranti kebijakan dan strategi pembangunan
sosial. Bahkan terdapat ironi di beberapa daerah dimana institusiinstitusi kesejahteraan sosial yang sudah mapan, alih-alih dibinakembangkan malahan dibumihanguskan begitu saja.
Terkesan kuat, pengalihan pembangunan sosial hanya dianggap
sebagai beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak
sedikit Pemda yang hanya mau menerima penguatan dan peralihan
wewenang dalam pengelolaan dan peningkatan sumber-sumber
"Pendapatan Asli Daerah" (PAD). Sedangkan peralihan tugas dan
peran menangani "Permasalahan Sosial Asli Daerah" (PSAD)
inginnya diserahkan kepada masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan
keagamaan.
Oleh karena itu, dalam mengahadapi globalisasi dan menguatnya.
ide kapitalisme ini, visi, misi dan strategi kebijakan publik dan
pembangunan sosial di Indonesia perlu direvitalisasi dan bukan di56

deligitimasi. Sehingga bidang ini tidak menjadi sekadar kegiatan


amal atau usaha sporadis setengah hati yang tidak terencana dan
jauh dari prinsip dan wawasan keadilan sosial. Bila Indonesia dewasa
ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang
berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba
pengalaman dari negara-negara maju ketika merekc.. memanusiawikan
kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh
kebijakan publik, seperti b~rbagai skim jaminan sosial yang benarbenar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh
masyarakat kelas bawah.
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika negara
menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka
itu tidak berarti pemeri..r1tah harus "cuci tangan" dalam kebijakan
publik yang menyangkut pembangunan sosial. Karena, sistem
ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan
pembangunan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara
adil dan merata.
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja
bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak
boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan
perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang Ianjut
usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah
orang tu~ dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara
bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.

57

58

Kebijakan Sosial
dan Perencanaan Sosial

Pembangunan selalu mengakibatkan perubahan sosial. Bahkan


pembangunan adalah perubahan sosial itu sendiri. Perubahanperubahan sosial yang diakibatkan pembangunan tidak saja bersifat
positif, melainkan dapat pula bersifat negatif. Dampak positif dan
negatif pembangunan ini, baik secara alternatif maupun kumulatif,
mendorong munculnya perhatian terhadap pentingnya kebijakan
sosial dalam memandu kegiatan-kegiatan pembangunan.
Di negara-negara berkembang, pengangguran, kemiskinan,
kesenjangan sosial, kelangkaan pelayanan sosial merupakan masalah
sosial utama sejak dulu sampai sekarang. Bahkan di negara-negara
dunia ketiga ini terjadi kecenderungan penurunan standar kehidupan
karena berbagai perubahan sosial sejalan dengan proses transisi dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Sementara masalahmasalah sosial konvensional seperti kemiskinan, keterbelakangan
59

masih belum sepenuhnya teratasi, masalah-masalah sosial


'k.ontemporer', seperti perdagangan manusia, pengangguran,
perilaku menyimpang, kenakalan remaja, perlakuan salah terhadap
anak atau pasangan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak,
kini muncul mewarnai fenomena kehidupan masyarakat modem.
Keadaan ini tentunya akan menghambat individu dan anggota
masyara..bt dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih bagi
mereka yang tergolong kelompok masyarakat rentan yang mudah
goyah diterpa perubahan sosial. Para penderita cacat, keluarga
berpendapatan rendah, anak yatim piatu, anak"anak yang bekerja
di sektor informal, para lanjut usia yang tidak memiliki keluarga,
korban bencana, tergolong ke dalam kelompok rawan sosial ekonomi
yang sulit mempertahankan kehidupan tanpa dukungan dan
sokongan pelayanan sosial. Ketidakmampuan mereka dalam
mempertahankan kehidupan tidak selalu dikarenakan hambatanhanlbatan pribadi, melainkan pula oleh ha.mbatan-ha.mbatan kultural
dan struktural. Misalnya, tertutupnya akses dan kesempatankesempatan berusaha akibat struktur perekonomian yang
monopolistik di daerah perkotaan akan melahirkan pengangguran
atau memunculkan pekerja-pekerja sektor informal yang kurang
menguntungkan dan tanpa perlindungan. Masalah ini pada gilirannya
dapat menimbulkan kawasan-kawasan kumuh (Jium areaJ) yang
kemudian bersinggungan dengan masalah-masalah sosiallainnya,
seperti buruknya kesehatan lingkungan, rendahnya tingkat
pendidikan, disorganisasi keluarga, penyimpangan perilaku dan
kriminalitas.
Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah sosial di atas
diperlukan perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat menunjang
peningkatan tara hidup, menjamin keadilan sosial, dan memperluas
kesempatan bagi setiap orang untuk mengembangkan secant
maksimal kapasitasnya sebagai warga negara yang sehat, terdidik,
pa.rtsisipatif, dan ma.mpu menjalankan peranan-peranan sosialnya
di masyarakat. Dala.m kaitan ini, tidak dapat diragukan lagi bahwa
60

pengadaan berbagai fasilitas pemenuhan kebutuhan, pemerataan


antar golongan, pengintegrasian masyarakat, pengentasan
kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan keadilan
sosial harus diantisipasi melalui berbagai pelayanan sosial.
Kebijakan sosial kemudian hadir sebagai cara untuk memecahkan
masalah sosial dan memenuhi kebutuha_rl sosial bagi semua golongan
masyarakat yang mempermudah dan meningkatkan kemampuan
mereka dalam menanggapi perubahan sosial.

Tujuan Kebijakan Sosial


Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan
suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan
dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial
senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan
sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yak.ni:
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Memecahkan
Masalah Sosial

Kebijakan Sosial

Tujuan Sosial

Memenuhi
Kebutuhan Sosial

Gambar 5.1: Tujuan Kebijakan Sosial

Tujuan pemecahan masalah mengandung arti mengusahakan atau


mengadakan perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak
diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang bersifat
destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan
masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan
kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan

61

sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun


tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah
terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi
masalah, atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan
(meningkatkan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan
sebelumnya). Secara lebih rinci, tujuun-tujuan kebijakan. sosial
adalah:

Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah


sosial yang terjadi eli masyarakat.

Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga,


kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi
secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan
kolektif.

Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan


mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang
disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun
eksternal-struktural.

Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang


kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan
pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat
dan martabat kemanusiaan.

Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumbersumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial
dan keadilan sosial.
Menurut David Gil (1973), untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan
sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakatan yang
perlu diubah, yaitu yang menyangkut:
1.
2.
3.

Pengembangan sumber-sumber
Pengalokasian status
Pendistribusian hak.

Pengembangan sumber-sumber meliputi pembuatan keputusankeputusan masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan
62

berkenaan dengan jenis, kualitas, dan kuantitas semua barang-barang


dan pelayanan-pelayanan yang ada dalam masyarakat. Pengalokasian
status menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta
keterbukaan kriteria dalam menentukan akses terse but bagi seluruh
anggota masyarakat. Kebijakan sosial harus memiliki efek pada
penghilangan segala bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial harus
mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk memperoleh penclidikan, pekerjaan yang layak,
berserikat dan berkumpul dalam organisasi sosial, tanpa
mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras,
suku bangsa dan agama. Pendistribusian hak menunjuk pada
perluasan kesempatan inclividu dan kelompok dalam mengontrol
sumber-sumber material dan non material. Apakah semua anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi
dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang menyangkut
kehidupan mereka? Sejauhmana individu dan kelompok dapat
mengontrol distribusi dan kesempatan dalam pengambilan
keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya? Dengan kata
lain, pendistribusian hak berkaitan dengan pendistribusian
kekuasaan atau penguasaan sumber-sumber yang lebih adil. Selain
itu, pendistribusian hak juga menunjuk pada usaha-usaha pemerataan
sumber-sumber dari golongan kaya ke golong<m miskin.
Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka acuan dalam
menentukan tujuan kebijakan sosial. Kebijakan sosial harus
memperhatikan distribusi barang dan pelayanan, kesempatan, dan
kekuasaan yang lebih luas, adil dan merata bagi segenap warga
masyarakat.

Perencanaan Sosial
Konsepsi mengenai kebijakan sosial sangat berkaitan erat dengan
konsepsi mengenai perencanaan sosial. Keduanya seringkali sangat
sulit dipisahkan, karena masing-masing konsep dalam kenyataannya
seringkali dipertukarkan satu sama lain. Apa yang disebut formulasi
63

(perumusan) kebijakan dan apa yang disebut perencanaan kebijakan


sangat sulit dibedakan. Bahkan di kalangan perencana dan pembuat
kebijakan, kedua konsepsi tersebut kerap dianggap sebagai sesuatu
hal yang sama.
Perencanaan (planning) adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
guna mem.ilih alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang ada
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara singkat, perencanaan adalah
proses membuat 'rencana' (plan). Dengan deniikian perencanaan
sosial adalah proses membuat 'rencana sosial'. Sebagaimana
tercermin dari pernyataan Conyers (1984), perencanaan sebaiknya
tidak dipandang sebagai aktivitas yang terpisah dari kebijakan, tetapi
sesuatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat
kompleks yang dimulai dari perumusan tujuan kebijakan serta sasaran
yang lebih luas, kemudian dikembangkan melalui tahapan-tahapan
dimana tujuan kebijakan ini diterjemahkan ke dalam bentuk rencana
(plan) yang lebih rinci bagi program dan proyek khusus, yang
selanjutnya dilaksanakan secara nyata. Gambaran ini menunjukan
bahwa perencanaan dan kebijakan (dalam arti pengambilan
keputusan), bertalian secara erat, dimana perencanaan so sial
merupakan suatu aktivitas yang melekat pada proses perumusan
kebijakan.
Dapatkah kita membedakan atau memisahkan antara perumusan
kebijakan dan perencanaan? Secara teoritik dan dalam hal tertentu,
hal ini dimungkinkan. Perumusan kebijakan dan perencanaan dapat
saja dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan/atau oleh orang
yang berbeda pula. Untuk melihat bahwa kebijakan sosial dan
perencanaan sosial dibuat secara terpisah dan dalam waktu yang
berbeda, terdapat dua pendekatan.
Pendekatan pertama melihat perencanaan sosial sebagai suatu proses
kegiatan dalam perumusan kebijakan sosial. Secara sederhana, kita
dapat menyatakan bahwa perumusan kebijakan adalah membuat
keputusan tentang jenis perubahan atau perkembangan yang

64

diinginkan. Sedangkan perencanaan adalah suatu proses penentuan


tentang bagaimana mewujudkan perubahan atau perkembangan yang
paling baik (Conyers, 1992). Sebagai contoh, kebijakan di sektor
kesejahteraan sosial menyatakan bahwa pelayanan sosial akan lebih
diprioritaskan bagi perawatan dan perlindungan anak daripada untuk
perawatan jompo. Maka berdasarkan kebijakan tersebut,
dilakukanlah perencanaan sosial yang meliputi pembuatan
keputusan tentang bagaimana sejumlah anggaran harus dialokasikan
selama periode tertentu, bagaimana lembaga-lembaga sosial bagi
anak harus dibangun dan diperbanyak, bagaimana para pekerja sosial
harus dilatih dan seterusnya, dengan maksud untuk melaksanakan
kebijakan di atas. Pendekatan pertama ini menempatkan kebijakan
sosial sebagai 'rencana induk' (standing plan) yang dijadikan patokan
dalam membmt perencanaan sosial. Perencanaan sosial dipandang
sebagai bagian dari, dan dilakukan setelah, kebijakan sosial.
Pendekatan kedua melihat sebaliknya, dimana kebijakan sosial
merupakan bagian dari perencanaan sosial. Kebijakan sosial dilihat
sebagai 'produk' yang akan dihasilkan oleh atau setelah perencanaan
sosial. Mengacu pada contoh di atas, maka perencanaan sosial dibuat
terdahulu untuk menentukan prioritas dan tujuan pelayanan sosial,
apakah untuk anak atau untuk jompo. Berdasarkan hasil
pengumpulan dan analisis data di lapangan, misalnya, diketahui
bahwa pelayanan sosial sangat mendesak dibutuhkan oleh anak
daripada oleh jompo. Kemudian, seperti halnya pada pendekatan
pertama, dibuatlah berbagai rencana untuk menentukan jumlah dan
alokasi anggaran, untuk membangun lembaga-lembaga sosial yang
baru, untuk melatih para pekerja sosial. Mengacu pada rencanarencana ini, dirumuskanlah berbagai kebijakan sebagai pedoman,
peraturan atau mungkin perangkat hukum untuk melaksanakan
rencana tersebut. Pendekatan kedua ini, menempatkan kebijakan
sosial sebagai bagian dari, dan dilakukan setelah, perencanaan sosial.
Lebih jauh, operasionalisasi kebijakan sosial dan perencanaan sosial
(baik menurut pendekatan pertama maupun kedua) dirumuskan
65

dalam bentuk pelayanan sosial dan atau program sosial. Pelayanan


sosial di sini dilihat sebagai seperangkat usaha, upaya atau kegiatan
yang terorganisir yang didalamnya memuat berbagai program sosial.
Selanjutnya, untuk mengimplementasikan (dalam arti
melaksanakan/to execute) salah satu atau lebih dari program sosial
tersebut dibuatlah proyek sosial yang merupakan unit kegiatan
terkecil yang memiliki cakupan wilayah dan periode waktu tertentu.
Gambar 5.2 memperjelas hubungan antara kebijakan sosial,
perencanaan sosial, pelayanan sosial, program sosial dan proyek
sosial berdasarkan dua pendekatan di atas.

Kebijakan
So sial

Pendekatan 1: Kebijakan Sosial Sebagai Rencana Induk

Perencanaan
So sial
Pendekatan

Gambar 5.2:

2: Kebijakan Sosial Sebagai Produk


Hubungan Antara Kebijakan Sosial dan
Perencanaan Sosial

Selanjutnya, apakah mungkin kebijakan sosial dan perencanaan


sosial dilakukan oleh orang yang berbeda? Di dalam banyak kasus, .
kebijakan sosial dan perencanaan sosial dibuat oleh orang yang
berbeda. Perumusan kebijakan lebih banyak dilakukan oleh para
politisi, sedangkan perencanaan dibuat oleh para perencana, baik

66

yang ada di badan-badan perencanaan nasional maupun yang bekerja


pada suatu bagian khusus di suatu departemen (misalnya, di
Departemen Sosial terdapat Biro Perencanaan). Meskipun demikian,
keputusan-keputusan kebijakan yang dibuat oleh para politisi
tersebut seringkali didasari oleh informasi dan alternatif-alternatif
yang diajukan oleh staf perencana.

67

68

Model-Model
Kebijakan Sosial

Model adalah wakil ideal dari situasi-situasi dunia nyata. Model


adalah penyederhanaan dari realitas yang diwakili. Model dapat
dibedakan atas model fisik dan model abstrak. Model fisik adalah
reproduksi ukuran kecil dari benda atau objek fisik. Model pesawat
terbang, model pakaian, model rumah (maket atau sketsa) dibuat
untuk menggambarkan bentuk asli dari benda yang ingin
digambarkannya. Model abstrak adalah penyederhanaan fenomena
sosial atau konsep-konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk
pernyataan-pernyataan teoritis, simbol-simbol, gambar atau
rumusan-rumusan matematis mengenai fenomena yang
dideskripsikannya. Konsep mengenai birokrasi, misalnya, dapat
digambarkan dengan model struktur organisasi melalui garis-garis
komando dan koordinasi. Model abstrak seperti inilah yang
digunakan dalam kebijakan sosial.
Secara umum, suatu model memiliki beberapa aspek (Conyers,
1984). Agar model dapat mewakili realitas yang digambarkannya,
maka model yang baik mentransformasikan aspek-aspek di atas
69

secara lengkap dan terintegrasi. Semakin banyak aspek yang


digambarkan semakin baik suatu model.

Tiruan realitas (imitation of reality), yakni idealisasi atau


abstraksi mengenai beberapa bagian dunia nyata. Model
merupakan wakil tidak lengkap dari benda nyata.

Parameter, yakni nilai konstan atau standar umutn yang


digunakan untuk menerangkan atau menyesuaikan struktur
model umum ke dalam situasi dunia nyata.

Variabel atau konsep yang memiliki variasi nilai.

Hubungan struktur yang dapat berbentuk rumus atau


pemyataan matematis yang menyatakan hubungan parameter
atau variabel.

Algoritma yang dipakai untuk mengidentifikasi langkahlangkah yang mesti diikuti atau untuk menghitung atributatribut model dan menghasilkan solusi.
Fungsi utama model adalah untuk mempermudah kita menerangkan
suatu benda atau konsep. Dalam beberapa kasus, model dapat
didasari suatu teori, tetapi model juga dapat dipakai untuk menguji
atau menjelaskan hipotesis sebagai bagian dari proses perumusan
teori. Untuk mempermudah dalam menjelaskan gedung, pasar,
pemerintahan, partisipasi, atau negara kesejahteraan tentunya
diperlukan suatu model. Benda dan konsep di atas tidak mungkin
kita bawa kemana-mana. Kita hanya dapat membawa benda dan
konsep tersebut dalam bentuk model. Oleh karena itu, model
memiliki fungsi:
1.

Membantu kita. untuk memperoleh pemahaman tentang


beroperasinya sistem alamiah atau sistem buatan manusia.
Model membantu kita menjelaskan sistem apa, dan bagaimana
sistem tersebut beroperasi;

2.

Membantu kita dalam menjelaskan permasalahan dan


memilah-milah elemen-elemen tententu yang relevan dengan
permasalahan;.

70

3.

Membantu kita memperjelas hubungan antara elemen-elemen


terse but;

4.

Membantu kita dalam merumuskan kesimpulan dan hipotesis


mengenai hakekat hubungan antar elemen.

Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, model terutama dibuat


untuk menjelaskan proses, karakteristik, mekanisme, serta
menentukan strategi-strategi kebijakan sosial. Tujuan apa yang akan
dicapai oleh kebijakan sosial? Pelayanan sosial apa yang akan
diberikan dan siapa yang akan menjadi sasaran pelayanan tersebut?
Metode apa yang akan digunakan untuk mengefekti:fkan dan mengefisienkan pemberian pelayanan sosial? Peranyaan-pertanyaan
tersebut biasanya merupakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh
sebuah model kebijakan sosial.

Model Kebijakan Sosial


Model kebijakan sosial dapat dikelompokan menjadi beberapa
kategori berdasarkan pelaksali.aannya, ruang lingkupnya,
keberlanjutannya, dan permasalahannya.
1.

Berdasarkan pelaksanaannya

Berdasarkan pelaksanaannya, model kebijakan sosial dapat dibagi


dua, yakni Model Imperatif dan Model Indikatif. Model kebijakan
sosial imperatif adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh
tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial,
seluruhnya telah ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan seperti ini
menunjuk pada pengertian kebijakan sosial yang dinyatakan oleh
Dye (1976): "Social poliry is concerned with what governments do, whqy
thry do it, and what difference it makes." ..
Kebijakan indikatif adalah kebijakan sosial yang mengupayakan
kesamaan visi dan aspirasi seluruh masyarakat Pemerintah biasanya
hanya menentukan sasaran kebijakan secara garis besar, sedangkan
71

pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat atau badanbadan swasta (Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi sosial).
Kebijakan sosial indikatif sering pula disebut sebagai kebijakan sosial
partisipatif.
Kebijakan imperatif banyak dipraktikkan di negara-negara sosialis
selama lebih dari setengah abad. Meski dengan wajah yang agak
berbeda, negara-negara berkembang seperti India, Afrika dan
Amerika Latin juga menerapkan tipe kebijakan ini. Sementara itu,
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan
Jepang, kebijakan sosialnya lebih bersifat indikatif. Usaha-usaha
kesejahteraan sosial yang dikelola sektor masyarakat dan swasta
tidak dikontrol secara ketat. Pemerintah hanya menyediakan
berbagai fasilitas dasar dan mengindikasikan bidang-bidang pelayanan
sosial tertentu yang menjadi prioritas bersama. Kebijakan sosial
indikatif erat kaitannya dengan sistem demokrasi, karena penentuan
kebijakan sosial dirumuskan melalui persetujuan rakyat menurut
sistem demokrasi yang dianutnya.
Pernilihan model kebijakan imperatif dan indikatif selain banyak
ditentukan oleh sistem politik negara yang bersangkutan, juga
ditentukan pula oleh kesiapan SDM, tersedianya fasilitas dan dana,
serta oleh berjalannya mekanisme pasar. Di negara-negara
berkembang, dimana tingkat kesejahteraan sosialnya masih rendah
serta mekanisme pasar belum berjalan optimal, permasalahan
kebijakan sosial masih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar
dan pemecahan masalah sosial massal seperi kemiskinan dan
keterbelakangan. Permasalahan sosial ini satu sama lain saling terkait
sehingga diperlukan kebijakan yang terintegrasi dan menyeluruh.
Karena alasan inilah, pemerintah di negara-negara berkembang
seringkali lebih memilih kebijakan imperatif dimana peran
perencanaan pembangunan sebagian besar dilaksanakan oleh
pemerintah.

72

,1

2.

Berdasarkan ruang ringkup atau cakupannya

Dilihat dari cakupannya (coverage), dikenal Model Universal dan


Model Selektifitas. Model universal adalah kebijakan sosial yang
diarahkan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan pelayanan
sosial warga masyarakat secara menyeluruh, tanpa membedakan
usia, jenis kelamin, dan status sosial. Dengan demikian, setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan sosial.
Pelayanan sosial disediakan bagi semua orang atau setidaknya semua
orang dalam kelompok tertentu, tanpa dibatasi oleh kemampuan
dan karakteristik tertentu. Setiap orang dapat dan bebas untuk
menggunakan pelayanan sosial yang tersedia, tergantung pada
kemauannya.
Gagasan model kebijakan universal pertama kali diperkenalkan di
Inggris oleh Beatrice Sydney Webb dan Sir William Beveridge.
Selepas Perang Dunia II yang diliputi suasana egalitarian (persamaan
dan pemerataan), pemerintah Inggris menyelenggarakan sistem
kesejahteraan sosial, khususnya asuransi sosial, atas dasar
perhitungan yang sama bagi setiap orang. Prinsip kebijakan model
ini adalah pencapaian 'social minimum', yakni semua orang membayar
tingkatan jumlah yang sama dan menerima tingkatan jumlah yang
sama pula.
Berbeda dengan model universal, kebijakan sosial yang bersifat
selektifitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga
masyarakat tertentu saja. Prinsip selektifitas menyatakan bahwa
pelayanan sosial hanya diberikan pada mereka yang membutuhkan
saja, yaitu mereka yang mengalami masalah dan membutuhkan
pelayanan tertentu. Syarat utama untuk memperoleh pelayanan
biasanya ditentukan atas dasar 'ketidakmampuannya' yang umumnya
dilihat dari aspek pendapatan (income). Warga masyarakat yang
berpendapatan di bawah garis kemiskinan, para orang tua terlantar,
anak terlantar yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
secara adekuat adalah mereka yang dianggap layak menjadi saaran
73

~.'.~~~

kebijakan sosial, baik dalam bentuk asuransi kesejahteraan (welfare insurance) maupun bantuan sosial (social assistance). Karena itu,
model ini biasanya menggunakan pendekatan means-test (test
kemiskinan) atau needs-test (test kebutuhan) untuk menentukan
elijibilit<J.s pelayanan sosial.
Sebagian besar negara-negara industri maju yang memiliki sumber
dana yang cukup besar menerapkan model universal. Model ini
selaras dengan kenyataan modern yang semakin memerlukan
pelayanan sosial yang menyeluruh serta mampu memenuhi keadilan
sosial dan kesamaan kesempatan. Pendidikan, perpustakaan,
fasilitas-fasilitas umum yang dibiayai oleh negara dapat dimanfaatkan
baik oleh orang miskin maupun kaya, tua maupun muda. Seluruh
anggota masyarakat terpenuhi haknya sebagai warga negara, karena
mereka, langsung atau tidak, dianggap telah membayar semua
fasilitas tersebut (misalnya melalui pajak). Model universal dapat
melengkapi atau bahkan menyediakan pelayanan sosial yang tidak
dapat disediakan oleh pihak swasta.
Selain di beberapa negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia,
dan Denmark, dewasa ini model universal sudah banyak
dimodifikasi, terutama karena membutuhkan dana yang sangat besar.
Di Amerika sekalipun yang memiliki anggaran belanja negara san gat
besar, model universal yang erat kaitannya dengan konsepsi we(fare
state banyak menimbulkan kontroversi. Situasi ekonomi dan politik
dunia yang semakin sulit, persaingan yang semakin ketat, menuntut
effisiensi dan mengharuskan pengelolaan anggaran negara yang
ekstra ketat dan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sosial saja,
melainkan pula diperlukan untuk mempercepat dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang produktif.
Model selektifitas selanjutnya dianggap obat mujarab yang dapat
melindungi negara dari kebangkrutan, dan menjamin pelaksanaan
pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Model selektifitas
dianggap lebih efisien, karena hanya diberikan bagi mereka yang

74

.........

membutuhkan melalui redistribusi anggaran secara selektif. Bantuan


modallunak, pemberian makanan (food-stamp) atau pelayanan
kesehatan gratis (medicaid), bantuan perumahan murah, hanya
diberikan bagi golongan tertentu saja yang benar-benar
membutuhkan.
N amun demikian, model selektifitas pun tidak terlepas dari kritik
atas kelemahan-kelemahan yang masih melekat padanya. Model
selektifitas tak dapat menghindari kenyataan dimana melalui 'test
kemiskinan', masyarakat secara perlahan dikelompokkan menjadi
'golongan miskin' dan 'golongan kaya', yang pada gilirannya
menimbulkan stigma negatif terhadap para penerima pelayanan.
Pelayanan sosial di bawah model ini seringkali kurang berkualitas.
Para penyandang cacat, para jompo, misalnya, hanya dapat
menerima perawatan dan perlindungan sekadarnya. Sementara
golongan kaya karena mampu membayar pelayanan sosial yang
disediakan lembaga swasta dapat memperoleh perawatan yang
mahal dan berkualitas.
3.

Berdasarkan keajegan atau keberlanjutannya

Model Residual dan Model Institusional adalah dua model


kebijakan sosial dilihat dari keberlanjutan atau keajegan pelayanan
sosial. Sejarah kesejahteraan sosial berawal dari konsepsi mengenai
'normal' dan 'tidak normal' yang menunjuk pada kemampuan
manusia dalam melaksanakan peranan-peranan sosialnya
(keberfungsian sosial). Manusia normal dengan sendirinya akan
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya melalui
kekuatannya sendiri dan dengan dukungan dari lembaga-lembaga
primer dan alamiah, yakni keluarga dan pasar. Menurut model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga
alamiah, yang karena suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan
pencari nafkah karena meninggal dunia) tidak dapat menjalankan
peranannya. Pelayanan sosial yang diberikan biasanya bersifat
temporer, dalam arti segera dihentikan manakala lembaga tersebut
75

dapat berfungsi kembali. Bantuan finansial untuk pengangguran atau


korban bencana alam, umumnya diberikan melalui model residual.
Menurut model institusional, kebijakan sosial perlu dinnnuskan
tanpa mempertimbangkan berfungsi-tidaknya lembaga-lembaga
alamiah. Pelayanan sosial yang diberikan bersifat ajeg, melembag<'t
dan berkesinambungan. Skema bantuan pendidikan, peruinahan
biasanya dilaksanakan berdasarkan model institusional.
Merujuk pada sifat-sifat di atas, maka model kebijakan sosial residual sering disebut sebagai model kuratif, sementara model
kebijakan sosial institusional tidak jara:ng disebut sebagai model
antisipatif.
.

4.

Berdasarkan jenis permasalahan atau sasarannya

Menurut jenis permasalahannya, kebijakan sosial dapat


dikelompokkan ke dalam Model Kategorikal dan Model
Komprehensif. Kebijakan sosial kategorikal adalah kebijakan yang
hanya difokuskan untuk mengatasi suatu permasalahan sosial
berdasarkan sektor permasalahan tertentu. Kebijakan sosial di bidang
pendidikan, bidang perumahan, bidang ketenagakerjaan adalah
contoh kebijakan sosial yang bersifat kategorikal. Berbeda dengan
model kategorikal yang bersifat spesifik dan parsial, model
komprehensif diarahkan tidak hanya untuk mengatasi satu bidang
masalah saja, melainkan beberapa masalah sosial yang terkait diatur
dan dirumuskan secara terintegrasi dalam satu formulasi kebijakan
sosial terpadu.
Model-mode di atas dalam kenyataannya seringkali sulit untuk
dipisahkan secara tegas satu sama lain. Karena antara satu model
kebijakan dengan modellainnya saling terkait secara simultan.
Model-model kebijakan tidaklah bersifat alternatif, melainkan
bersifatkonvergensi dan sinergis. Namun demikian, pengkategorian
model-model kebijakan di atas tentunya dapat membantu kita dalam
menentukan fokus, tujuan dan sasaran kebijakan sosial.
76

Model Perwnusan Kebijakan Sosial


Selain model kebijakan sosial menunjuk pada bentuk dan
pendekatan kebijakan sosial, model kebijakan sosial juga dapat
dibuat dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan sosial. Model
seperti ini menunjuk pada proses perumusan kebijakan sc.sial.
Namun demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa model tersebut
bukanlah suatu proses yang kaku. Karenanya tidak ada 'cetak biru'
khusus yang harus diikuti secara tertutup. Langkah-langkah dalam
model perumusan kebijakan sosial di bawah ini hanyalah berfungsi
sebagai pedoman yang memandu proses perumusan kebijakan.
Menurut Gilbert dan Specht (1986), sedikitnya ada tiga model yang
dapat diikuti untuk merumuskan kebijakan sosial, sebagaimana
dijelaskan oleh tabel 6.1 berikut ini:
Tabel6.1: Model-Model Perumusan Kebijakan Sosial

1. Dorongan Perencanaan
2. EksplorasVPenelitian

3. Pendefinisian Tugas-tugas
Perencanaan
4. Perumusan Kebijakan
5. Perumusan Program
6. Evaluasi

1. Pengidentifikasian
Masalah
2. Perumusan Kebijakan

3. Legitimasi K~bijakan

1. Perencanaan
Kebijakan
2. Pengembangan
dan lmplementasi Program
3. Evaluasi

4. lmplementasi Kebijakan
5. Evaluasi Kebijakan

Tabel di atas memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan dapat


dilakukan melalui beberapa tahap yang berbeda namun memiliki
kesamaan. Model A yang dikembangkan oleh Alfred J. Kahn
menekankan perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan
perencanaan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagiari dari suatu

77

proses perencanaan yang terdiri dari 6 langkah. Model ini disebut


sebagai Model 'Proses Perencanaan' (Planning Process Mode~. Model
B yang dikembangkan oleh Dinino dan Dye merumuskan kebijakan
dalam lima tahap. Model ini dikenal dengan istilah Model 'Proses
Pembuatan Kebijakan' (poiici-making process mode~. Freeman dan
Sherwood yang mengembangkan Model C, yakni Model.'Proses
Pengembangan Kebijakan' (social-poliry development process mode~
mengkemas proses pembuatan kebijakan hanya dalam 3 tahap. Bila
diamati, meskipun masing-masing model memiliki tahap yang
berbeda, pada dasarnya memiliki kesamaan dimana model C
merupakan penyederhanaan dari model B dan A, atau sebaliknya,
model A merupakan pengembangan dari model B dan C.
Berdasarkan model-model tersebut, kita dapat merumuskan
kebijakan yang dikelompokkan dalam 3 tahap: Identifikasi,
implementasi dan evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa
langkah yang saling terkait. Karena melibatkan tiga tahapan yang
saling terkait, model perumusan kebijakan dapat disebut sebagai
'segitiga perumusan kebijakan' (Gambar 6.1).
IDENTIFIKASI

/
EVALUASI

~
IMPLEMENTASI

Gambar 6.1: Model Segitiga Perumusan Kebijakan

1.

Tahap Identifikasi

Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam


perumusan kebijakan sosial adalah mengumpulkan data
mengenai permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
belum terpenuhi (unmet needs).

78

.......

Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah


mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan
kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan
ditransfor masikan kedalam laporan yang terorganisasi.
Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab
masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang
mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan
kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang
terkena masalah?
Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan
hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini
kemudian disampaikan kepada berbagai subsistem masyarakat
yang terkait dengan isu-isu kebijakan sosial untuk
memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula
diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk
dibahas dan disetujui.
Perrunusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai
saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan
pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif
kebijakan. Beberapa alternatif kemudian di analisis kembali
dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan
dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda
dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuantujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan
untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan
sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan
pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif,
maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang
berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana
tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.

79

Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada


tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan
yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai
pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi,
negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok
masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai
kebijakan sosial yang .akan diterapkan.

2.

Tahap Implementasi

Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah


disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan
tindakan beserta pedoman pe~aturan pelaksanaannya.

Perancangan dan lmplementasi Program: Kegiatan utama


pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan kedalam
usulan-usulan program (program proposals) atau proyek sosial
untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.

3.

TahapEvaluasi

Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap


proses maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap
proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan,
terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta
sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan
yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk
melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan
mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi
ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan
dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau
permusan kebijakan baru

80

Analisis Kebijakan
So sial

Metoda pekerjaan sosial meliputi tiga aras, intervensi mikro (individu


dan keluarga), mezzo (kelompok) dan makro (masyarakat dan sistem
sosial). Diantara ketiga aras tersebut, satu tragedi dalam perjalanan
perkembangan metoda pekerjaan sosial adalah terjadinya
'penyempitan' dan 'pembuntuan' makna intervensi makro. Praktik
intervensi makro selama ini terlalu terkesima oleh konteks lokal
sehingga melahirkan lokalisme dan 'KUBE'isme dalam pekerjaan
sosial. Ini bisa dilihat antara lain dari dominannya promosi ekonomi
mikro, pemberian modal, warungisasi, pelatihan, atau bantuan
ternak dalam setiap proyek pengembangan masyarakat. Sedangkan
konteks sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut relasi
kekuasaan, ketidakadilan jender, inklusifisme, pembelaan hak-hak
publik, dan kesetaraan sosial kurang. mendapat perhatian. Analisis
kebijakan ~osW (AKS),yang merupakan piranti penting pekerjaan
sosial seakan-akan hanya merupakan 'senjata pusaka' yang dianggap
81

wajib diajarkan di kelas, namun tidak pernah dipraktikkan di


lapangan.
Analisis kebijakan sosial adalah salah satu keahlian yang penting
dimiliki oleh calon pekerja sosial, terutama yang akan bekerja pada
setting makro. lntervensi makro bukan hanya melibatkan seperangkat
keahlian dalam melakukan 'pengembangan' dan 'pemberdayaan'
masyarakat seperti selama ini dioperasikan. Melainkan, mencakup
pula keahlian merumuskan kebijakan sosial dan menganalisis
implikasi-implikasi yang ditimbulkannya dalam konteks sistem sosial
yang holistik. Oleh karena itu, pemahainan dan penguasaan materi
analisis kebijakan sosial akan menjadi sebuah lompatan besar bagi
pengembangan metoda pekerjaan sosial khususnya dan ilmu sosial
pada umumnya. Selain analisis kebijakan sosial merupakan metode
pekerjaan sosial yang 'market friendjy' (diperlukan oleh LSM dan
Badan-badan dunia), penguatan metode ini akan menjadi semacam
fjtihad akademis untuk menghindari kejumudan dan ketaklidan
berfikir di kalangan pekerja sosial, khususnya pengembang
masyarakat, yang tanda-tandanya kini membayang di kedekatan.

Redefinisi Kebijakan Sosial


Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action),
kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (pian), peta
(map) atau strategi, yang dirancang untuk menterjemahkan visi
politis pemerintah atau lembaga pemerintah kedalam program dan
tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan
sosial (social welfare). Karena urusan kesejahteraan sosial senantiasa
menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali
diidentikan dengan kebijakan publik. Buku ini mengambil posisi
seperti ini.
Banyak arti yang diberikan pada istilah kesejahteraan sosial. Namun,
menurut Howard Jones (1990), tujuan utama kesejahteraan sosial,
yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam
82

berbagai manifestasinya. "The achievement of social welfare means, first


and foremost, the alleviation of poverty in its matry manifestations" ones,
1990: 281). Makna "kemiskinan dalam berbagai manifestasinya"
menekankan bahwa masalah kemiskinan di sini tidak hanya
menunjuk pada "kemiskinan fisik", seperti rendahnya pendapatan
(incoMe poverry) atau rumah tidak layak huni, melainkan pula
mencakup berbagai bentuk masalah sosial lain yang terkait
dengannya, seperti anak jalanan, pekerja anak, pedagangan manusia,
pelacuran, pengemisan, pekerja migran, termasuk di dalamnya
menyangkut masalah kebodohan, keterbelakangan, serta kapasitas
dan efektifitas lembaga-lembaga pelayanan sosial pemerintah dan
swasta (LSM, Orsos, institusi lokal) yang terlibat dalam
penanggulangan kemiskinan.

Kebijakan sosial seringkali menyentuh, berkaitan, atau bahkan,


selintas, bertumpang-tindih (overlapin~ dengan bidang lain yang
umumnya dikategorikan sebagai 'bidang sosial', semisal kesehatan,
pendidikan, perumahan, atau makanan. Le bih dari itu, makna
'sosial' tidak jarang diartikan secara luas sebagai, rnisalnya, kegiatan
kesukarelawanan, hiburan, rekreasi, sesuatu yang bersifat non-fisik
atau non-ekonomi. Spieker (1995: 5) membantu mempertegas
substansi kebijakan sosial dengan menyajikan tiga karakteristik atau
aras pendefinisi kebijakan sosial.
1.

Social policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang


'kebijakan'. Artinya, meskipun kebijakan sosial bersentuhan
dengan bidang makanan, pendidikan, dan kesehatan, ia
memiliki fokus dan urusannya sendiri, yakni menyangkut
urusan 'kebijakan~. Elemen utama 'kebijakan' adalah tujuan,
proses implementasi dan pencapaian hasil suatu inisiatif atau
keputusan kolektif yang dibuat oleh, misalnya, departemendepartemen pemerintah (pada tingkat makro) atau lembagalmbaga pelayanan sosial (pada skala mikro). Karenanya,
meskipun kebijakan sosial tidak jarang berhubungan dengan
83

'makanan', ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan


itu sendiri; melainkan dengan regulasi dan distribusi makanan
tersebut. Kebijakan sosial tidak secara langsung berhubungan
dengan perkembangan anak (child development), tetapi
dengan pendidikan dan pelayanan sosial untuk membantu
mengatasi kesulitan anak-anak tumbuh dan berkembang.
Kebijakan sosial juga tidak mengurusi persoalan kesehatan
fisik - karena merupakan domain kedokteran, tetapi ia sangat
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan untuk mempromosikan
kesehatan dan pemberian perawatan .kesehatan, khususnya
yang menyangkut jaminan sosial kesehatan (di AS disebut
Medicare dan Medicaid).
2.

Social policy is concerned with issues that are social.


Kebijakan sosial berurusan dengan isu-isu yang bersifat sosial.
Namun, seperti dijelaskan di muka, arti sosial di sini tidak
bersifat luas. Melainkan merujuk pada beragam respon
kolektif yang dibuat guna mengatasi masalah sosial yang
dirasakan oleh publik. Istilah sosial menunjuk pada " ... some
kind of collective social response made to perceived problems,"
demikian kata Spieker.

3.

Social policy is about welfare. Secara luas, we(fare dapat


diartikan sebagai 'well-being' atau 'kondisi sejahtera". Namun,
we(fare juga berarti "The provision of social services provided by the
state" dan sebagai "Certain types of benefit, especiallY means-tested
social security, aimed at poor people."

Pengertian Analisis Kebijakan Sosial


Mengacu pada Dunn (1991), analisis kebijakan sosial (AKS) adalah
ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian
dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam
menganilisis masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat
diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis
84

kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebabsebab dan akibat-akibat suatu kebijakan. AK.S, merujuk Quade
(1995), adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi
sedemikian rupa yangdapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan para
pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap
penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif
perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat
formal dan hati-hati yang mdibatkan penelitian mendalam terhadap
isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu
program yang akan maupun telah dilaksanakan. Namun demikian,
beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal
yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara
cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak kebijakan terhadap
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, AKS dapat diartikan sebagai usaha yang
terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen
akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baik
sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan
(Suharto, 2004a; lihat Sheafor, Horejsi dan Horejsi, 2000).

Model Analisis Kebijakan

----~-----------------------------

Menurut Dunn (1991: 51-54), ada tiga bentuk atau model analisis
kebijakan, yaitu model prospektif, model retrospektif dan model
integratif. Gambar 7.1 memvisualkan model analisis kebijakan.

85

Model Prospektif

Model lntegratif

~--~ Model Retrospektif

. Gambar 7.1: Model Analisis Kebijakan

1.

Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang


mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi
kebijakan 'sebelum' suatu kebijakan diterapkan. Model ini
dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan (forecasting) untuk
memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul
dari suatu kebijakan yang akan diusulkan.

2.

Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan


terhadap akibat-akibat kebijakan 'setelah' suatu kebijakan
diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model
evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi
terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah
diterapkan.

3.

Model integratif adalah model perpaduan an tara kedua


model di atas. Model ini kerap disebut sebagai model
komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan
terhadap konsekuansi-konsekuensi kebijakan yang mungkin
timbul, baik 'sebelum' maupun 'sesudah' suatu kebijakan
dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan
teknik-teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

86

--

Kerangka Analisis

Penelaahan terhadap kebijakan sosial, baik menggunakan model


prospektif, retrospektif, maupun integratif, didasari oleh oleh prinsipprinsip atau patokan-patokan umum yang membentuk kerangka
analisis. Kerangka analisis tersebut secara umum berpijak pada dua
pedoman, yaitu 'fokus' dan 'parameter' analisis. Analisis kebijakan
dapat difokuskan kedalam berbagai aras. Namun, tiga fokus utama
yang umumnya dipilih dalam analisis kebijakan sosial meliputi:

1.

Definisi masalah sosial. Perumusan atau penyataan masalah


sosial yang akan direspon atau ingin ditanggulangi oleh
kebijakan.

2.

Implementasi kebijaka..r1 sosial. Pernyataan mengenai cara atau


metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut
diimplementasikan atau diterapkan. Implementasi kebijakan
juga mencakup pengoperasian ;;~lternatif kebijakan yang dipilih
melalui beberapa program atau kegiatan.

3.

Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan


mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibatakibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya
suatu kebijakan sosial. Konsekuensi atau dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan bisa bersifat positif (manfaat),
maupun negatif (biaya). Akibat kebijakan bisa diprediksi
sebelum kebijakan diimplementasikan (model prospektiQ,
sesudah diimplementasikan (model retrospektiQ, ataupun
sebelum dan sesudah diimplementasikan (model integratiQ.

Dalam menganalisis ketiga fokus tersebut, diperlukan pendekatan


atau parameter analisis yang dapat dijadikan basis bagi pengambilan
keputusan atas pilihan-pilihan kebijakan.

1.

Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin


keilmiahan dari analisis yang dilakukan. Penelitian dan
rasionalisasi merupakan dua aspek yang berbeda, namun saling
87

terkait. Penelitian menunjuk pada pengetahuan yang cliperoleh


melalui observasi dan eksperimen yang dapat membantu
membuat pilihan-pilihan kebijakan. Rasionalisasi menunjuk
pada logika dan konsistensi internal. Misalnya, apakah
berbagai bagian kebijakan berkaitan secara rasional? Apakah
kebijakan sudah bersifat konsisten secara logis dan in,ternal?
2.

Orientasi nilai yang clijadikan patokan atau kriteria untuk


menilai kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai baik dan
buruk. Nilai-nilai merupakan keyakinan dan opini masyarakat
mengenai baik dan buruk. Nilai juga inerupakan sesuatu yang
diharapkan atau kriteria untuk membuat keputusan mengenai
sesuatu yang diharapkan.

3.

Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk


menjamin keamanan dan stabilitas. Politik berkenaari dengan
suatu cara bagaimana kebijakan-kebijakan dirumuskan,
dikembangkan dan diubah dalam konteks demokrasi. Lebih
khusus lagi, politik menunjuk pada individu-individu dan
kelompok-kelompok kepentinga.n yang berpartisipasi atau
berusaha mempengaruhi proses perumusan dan
pengembangan kebijakan.

Kerangka analisis dari Quade (1995:172-173) memberikan pedoman


dalam menelisik pendefinisian masalah sosial, implementasi
kebijakan sosial dan akibat-akibat kebijakan clilihat dari tiga parameter: penelitian, nilai dan politik ~ihat tabel 7.1).

88

Tabel 7.1: Kerangka Analisis Kebijakan


Fokus

DEFINISI KEBIJAKAN
SOSIAL
Apa masalah
sosialnya?
Faktor apa yang
mempengan1hi
masalah tersebut
Siapa yang
terpengaruh secara
langsung oleh
masalah terse but

.
.
.

IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN SOSIAL
Apa tujuan kebijakan
sosial?
Program dan
pelayanan sosial apa
yang diberikan?
Bagaimana kebijakan
tersebut didanai?

KONSEKUENSI
KEBIJAKAN SOSIAL
Apa keuntungan dan
kerugian kebijakan?
Apa konsekuensi
kebijakan bagi klien,
sistem sosial, dan
sistem pelayanan
sosial?

Parameter
Nilai-nilai

Penelitian & Rasionalisasi

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Apakah defenisi masalah


rasional dan konsisten
dengan penelitian yang
ada?
Apakah defenisi kelompok
sasaran pada tingkat
generalisasi tertentu
sudah sesuai dengan
penelitian?
Apakah kriteria yang
digunakan untuk
menyeleksi kelompok
sasaran didukung oleh
rasionalisasi dan
penelitian?
Apalakah penelitian yang
ada mendukung
penJ_ebab masalah?
Apakah tujuan kebijakan
konsisten dengan
penelitian dan
pendefinisian masalah?
Apa bentuk pelayanan
sosial yang diberikan?
Apakah penelitian
mendukung pelayanan
sosial yang dipilih?
Apakah struktur
organisasi sudah sesuai
dengan kebijakannya?
Apakah pendanaan
memadai, teramalkan,
dan tersedia sesuai
dengan penelitian dan
rasionalisasi?

Apakah keuntungan dan


kerugian sejalan dengan
penelitian dan
rasionalisasi?
Apa konsekuensi yang
diharapkan dan tidak
diharapkan dari kebijakan
dalam kaitannya dengan
penelitian dan
rasionalisasi?

.
.
.

.
.
.
.
.
.

Apakah ini merupakan


masalah sosial yang
penting?
Nilai-nilai apa yang penting
dalam melakukan seleksi
kelompok sasaran?
Apakah nilai-nilai tersebut
sudah sesuautepat?
Nilai-nilai apa yang penting
dalam rilenentukan
penyebab masalah?
Apakah nilai-nilai tersebut
sudah tepa!?

Nilai-nilai apa yang


mempe-ngaruhi tujuan
kebijakan? Apakah nilainilai tersebut sudah tepat?
Apakah kebijakan
memperlakukan klien
secara tepa! sesuai
dengan kesamaan,
kesetaraan, kelayakan dan
penentuan nasib sendiri
klien?
Apakah struktur organisasi
mendukung efektivitas dan
efisiensi pemberian
pelayananan?
Apakah pendanaan
memadai, teramalkan, dan
tersedia sejalan dengan
nilai?
Apakah keuntungan dan
kerugian sejalan dengan
nilai-nilai?
Apa konsekuensi yang
diharapkan dan fidak
diharapkan dari kebijakan
dalam kaitannya dengan
nilai?

Politik

.
.
.
.
.
.
.
.

Apakah dele nisi


masalah secara politik
dapat diterima?
lndividu atau kefompok
mana yang mendukung
dan menentang
pendefinisian kelompok
sasaran? Apa
akibatnya terhadap
pendefinisian masalah
sosial?
Apa akibat penentuan
masalah tersebut
terhadap individu atau
kelompok sasaran?

Seberapa besar tingkat


.kekuasaan yang
menentang kebijakan?
Bagaimana hal ini
mempengaruhi
kebijakan?
Adakah dukungan yang
memadai yang dapat
memung-kinkan
kebijakan diterapkan?
lndividu dan kelompok
mana yang akan diuntungkar. oleh kebijakan
ini? Apa darnpaknya
bagi implementasi
kebijakan?
Apakah pendanaan
memadai, teramalkan,
dan tersedia sejalan
denqan politik
Apakah keuntungan
dan kerugian sejalan
dengan politik?
Bagaimana dukungan
dan penentangan
terhadap kebijakan
pada tingkat
masyarakat
mempengaruhi
pemberian pelayanan?

Sumber. dikembangkan dari Quede (1995: 172173)

89

"1'111.
.. .

:-~~
-~~

90

Naskah Kebijakan

(Policy Paper)

Setelah seorang analis memaharni substansi kebijakan sosial dan


model-model analisisnya, selanjutnya ia harus mampu membuat
sebuah laporan analisis kebijakan. Laporan ini bisanya dirumuskan
dalam bentuk naskah atau makalah kebijakan (policy paper). Naskah
kebijakan adalah alat komunikasi dan pembuatan keputusan yang
bersifat terapan, berorientasi pada masalah (problem-oriented), dan
membela-nilai (value-driven). Perumusan naskah kebijakan ditujukan
untuk memberikan argumen komprehensif dan persuasif yang
menjustifikasi rekomendasi-rekomendasi atau opsi-opsi tindakan
pada naskah kebijakan yang dibuat. Dengan dernikian fungsi naskah
kebijakan adalah sebagai sebuah alat pembuatan keputusan dan
panggilan terhadap sasaran/ audien kebijakan untuk melakukan
tindakan (rnisalnya, membuat atau mengubah agenda kebijakannya).

Membuat outline naskah kebijakan


Sebelum kita menulis poliry paper, dianjurkan untu..~ membuat outline atau kerangka terlebih dahulu. Proses pembuatan outline ini akan
membantu kita dalam merencanakan keseluruhan fokus dan alasan
logis policy paper. Dengan kata lain, proses tersebut akan

91

memungkinkan kita dalam menentukan pesan utama paper dan


pendekatan yang paling efektif mengenai bagaimana paper kita
dapat menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya
secara meyakinkan. Salah satu teknik membuat outline polity paper
adalah dengan memulai menulis pernyataan tujuan (working statement of intem/purpose dari paper kita) (lihat Kotak 8.1).
Langkah berikutnya adalah memikirkan mengenai bagaimana kita
akan menjelaskan deskripsi masalah dalam bagian paper kita dengan
mencatat beberapa poin kunci mengenai latar belakang dan isu-isu
kebijakan yang akan didiskusikan secara komprehensif. Di bawah
masing-masing isu tersebut kita dapat membuat catatan mengenai
poin-poin yang akan kita tunjukan sebagai hukti untuk mendukung
argumen kita. Setelah selesai merumuskan rancangan pernyataan
tujuan tersebut, buatlah outline mengenai elemen-elemen polity paper berikutnya. Misalnya mengenai opsi-opsi kebijakan sampai
kesimpulan menurut cara yang sama seperti di atas. Kita dapat
membuat outline naskah kebijakan dengan mengikuti prosedur formal maupun informal, dengan menggunakan sistem penulisan atau
penomoran (misalnya .APA system) atau gaya manual yang
dikemukakan oleh Gibaldi (1995) (Young dan Quinn, 2002).

Komunitas atau Audien Kebijakan: Stakeholders


Sebagai bagian dari kebijakan publik, perumusan kebijakan sosial
memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat. Karenanya orang-orang yang terlibat dalam berbagai tingkat proses perumusan
tersebut sangat beragam. Sekelompok individu atau kelompok yang
memiliki perhatian langsung maupun tidak langsung dalam sebuah
hasil keputusan kebijakan sosial disebut sebagai komunitas atau
stakeholders kebijakan sosial. Komunitas kebijakan sosial umumnya
terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah, penasihat-penasihat
kebijakan serta beragam kelompok-kelompok individu, masyarakat,
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Pada tingkat pusat,
komunitas kebijakan sosial adalah lembaga pemerintah yang relevan
92

KOTAK8.1:
CEKLIS DALAM MERANCANG OUTL/NENASKAH KEBIJAKAN
Dalam menyiapkan atau merencanakan policy paper, perhatikanlah pertanyaanpertanyaan di bawah ini:
Tujuan dan Audien:

Apa tujuan paper kita?

Apa yang ingin dicapai oleh kita atau lembaga kita melalui penulisan dan
publikasi policy paper?

Siapa audien atau target utama dari paper kita?

Siapa audien kedua dari paper kita?


Menulis dan Mempublikasikan Paper:

Apakah saudara penulis tung gal policy paper? Jika tidak, apakah saudara
sudah memutuskan pendekatan apa yang akan digunakan dalam menulis
paper bersama partner saudara tersebut?

Apakah saudara dan partner saudara telah memiliki pemahaman yang sama
mengenai apa itu policy paper?

Apakah saudara mengetahui harapan-harapan penerbit terhadap paper


yang ditulis?
A.
Simpulkan Ide saudara
Bayangkan bahwa saudara sedang berada dalam sebuah taksi. Supirtaksi tersebut
bertanya kepada saudara mengenai proyek policy paper yang sedang saudara
kerjakan. Rumuskan jawaban saudara secara ringkas dan jelas dalam tiga kalimat.
Pastikan bahwa sopir taksi terse but memahami penjelasan saudara. Ketika saya
bertugas sebagai International Policy Analyst di Centre for Policy Studies (CPS),
Central European University, Hungaria, para analis kebijakan tingkat dunia seperti
Pamela Kilpadi, Nicholas White dan ProfThomas limar, menekankan bahwa: "Jika
anda bertemu target policyanda di lift lantai 1Gedung Woodrow Centre di Wahisngton,
maka anda harus mampu menjelaskan gagasan policy paperanda kepada dia secara
ringkas, cerdas dan jelas; sehingga di tingkat 10, dia memahami dan terpengaruh
oleh rekomendasi anda." Para ahli menyatakan bahwa jika kita tidak dapat menjelaskan
secara ringkas dan jelas mengenai ide kita dengan cara tersebut, kita perlu memperjelas
kembali ide-ide yang akan kita rumuskan ke dalam policy paper tersebut, karena kita
sendiri belum memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang.sedang dikerjakan.

atau lembaga yang ditunjuk untuk menangani masalah dan isu


pembangunan yang diajukan atau dipertanyakan, misalnya
BAPPENAS atau DEPSOS. Secara sederhana, komunitas kebijakan
sosial dapat dilihat dalam Gambar 8.1.
93

Peneliti/Pusat
Perumusan
Kebijakan

Analisis/Pusat
Perumusan
Kebijakan

_ _ _ _ Output Kebijakan
- - - - - - Permintaan/Saran/Reaksi
Rekomendasi Kebijakan
Sumber. Young dan Quinn (2002:7)

Gambar 8.1: Komunitas Kebijakan Sosial


Dalam beberapa kasus, seorang analis kebijakan, pusat perumusan
kebijakan atau lembaga pemikir (think thank) dapat masuk kedalam
hubungan kepenasehatan (advisory) langsung dengan lembaga
pemerintah sebagai kliennya. Pada tingkat provinsi, maka lembaga
pemerintah dapat berupa Pemerintah Daerah, Bappeda dan DinasDinas, khususnya Dinas Sosial. Sedangkan stekeholders-nya dapat
meliputi DPRD, partai politik, dan berbagai lembaga swadaya
masyarakat (LSM) serta organisasi-organisasi sosiallainnya. Dalam
konteks ini, lembaga pemerintah merninta analis atau pusat
perumusan kebijakan untuk melaksanakan studi mendalam
mengenai isu-isu pembangunan tertentu dan membuat rekomendasirekomendasi kebijakan yang kemudian akan dijadikan dasar dalam
merumuskan kebijakan pemerintah.

94

Jenis dan Struktur Naskah Kebijakan


Ada tiga jenis naskah kebijakan, yaitu: penelitian kebijakan (policy
study), ringkasan kebijakan (policy brieQ dan memo kebijakan
(policy memo) (Young dan Quinn, 2002; Suharto, 2004b).
Pengertian dan perbedaan ketiganya digambarkae1 oleh Tabe,l 8.1.
Struktur makalah kebijakan sangat beragam. Namun, dalam garis
besar elemen-elemen struktural naskah kebijakan sosial dapat dilihat
pada Gambar 8.2 (lihat Young dan Quinn, 2002; Suharto, 2004b).

Tabel 8.1: Jenis-Jenis Makalah Kebijakan


Perbedaan

Penelilian Kebijakan
(Policy Study)

Ringkasan Kebijakan
(Policy Brief)

Memo Kebijakan
(policy Memo)

Audien!Sasaran Spesialis Kebijakan

Pembuat keputusan

Beragam stakeholder

Fokus

Value-driven:
Rekomendasi umum dan
analisis isu-isu kebijakan

Audience-driven:
Pesan kebijakan khusus untuk stakeholder

Audience-driven:
Pesan kebijakan utk
stakeholder kunci

Konteksisu

Desimenasi dan debat


mengenai hasil-hasil
penelitian kebijakan

Digunakan untuk
tujuan advokasi dan
lobi

Digunakan utk tujuan


advokasi dan lobi

Metodologi

Dapat memuat
penelilian primer

Jarang memuat penelitian primer

Jarang memuat
penelnian primer

Bahasa

Sangat akademislteknis

Harusjelas

Harusjelas

Panjang

Maksimum 60 halaman

Antara6-15hlm

Maks. 2 him

Sumber. Young and Quinn (2002)

Naskah Kebijakan

Judul
Daftar lsi
Abstrak atau Executive Summary
Pendahuluan
Deskripsi Masalah
Pilihan-pilihan Kebijakan
Kesimpulan dan Rekomendasi
Catatan Akhir
Apendik/Lampiran
Bibliography

Gambar 8.2: Elemen-elemen Struktural Naskah Kebijakan


95

1.

]udul

Elemen pertama dari sebuah poliry paper adalah judul. Pembuatan


judul seringkali kurang mendapat perhatian. Padahal komponen ini
sangat penting, mengingat judul adalah bagian pertama yang dilihat
oleh pembaca. Judul harus menarik perhatian pembaca. Se buah judul
yang efektif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut ini:

Bersifat deskriptif: menjelaskan subjek dan masalah yang


dibahas

Jelas

Ringkas dan tegas

Menarik pembaca
Beberapa prinsip judul adalah:
e

2.

Sebagian besar judul tidak terdiri dari kalimat-kalimat penuh


Kata-kata kunci merupakan dasar sebuah judul
Beberapa penulis membagi judul ke dalam dua bagian dengan
menggunakan colon. Misalnya: "Pelayanan Kesejahteraan
Sosial Bagi Anak: Dari Residual ke Institusional"
Beberapa penulis mengindikasikan beberapa penemuan utama
dalam judul policy paper
Hurup kapital biasanya digunakan untuk keseluruhan kalimat,
kecuali kata sambung (dan), cof!jttnction (tetapi), preposition
(dari), pronoun (kita).

Daftar lsi

Format naskah kebijakan sangat berpengaruh dalam memberi


gambaran mengenai suatu laporan dan daftar isi merupakan salah
satu format struktural yang penting bagi sebuah policy paper. Daftar
isi menggambarkan organisasi dan pengorganisasian sebuah paper.
Daftar isi merupakan kerangka atau pengantaryang menggambarkan
struktur policy paper. Ia terdiri dari system heading dan sub-heading
yang menunjukkan bukan saja organisasi keseluruhan dari sebuah
paper, melainkan pulamengilustrasikan bagian-bagian utama beserta

96

sub-sub bagiannya dari sebuah policy paper. Daftar isi dalam sebuah
po!iry paper membantu pembaca dalam beberapa hal:

Daftar isi berperan sebagai pembimbing yang membantu


pembaca memahami keseluruhan paper.
Daftar isi membantu pembaca yang berminat mengetahui
bagian-bagian tertentu (saja) dari sebuah paper.
Sistem penomoran dalam daftar isi dapat membedakan bagianbagian dan sub-subnya dari suatu paper.

Sistem penomoran juga sangat umum digunakan dalam kaitannya


dengan heading sebagai alat atau sarana dalam menjelaskan bagianbagian dan hubungan antar bagian dalam sebuah teks. Fungsi lain
dari daftar isi adalah penggunaan nomor-nomor halaman yang
berhubungan langsung dengan lokasi bagian-bagian khusus dalam
tubuh utama sebuah paper.

3.

Abstrak atau Executive Summary

Abstrak dan executive summary (ringkasan eksekuti~ adalah dua hal


yang sangat berkaitan, meskipun keduanya rnemiliki struktur dan
fungsi yang betbeda: Persamaan antara abstrak dan executive summary dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini (Gambar 8.3).

Abstrak secara ringkas menggambarkan sebuah paper,


sedangkan executive summary memberikan synopsis yang lebih
detail mengenai keseluruhan paper.
Tampilan antara abstrak dan executive summary seringkali serupa,
namun fokus dan skopenya berbeda. Sebuah executive summary
memuat diskusi yang lebih detail daripada abstrak.

97

Abstrak atau Executive


Summary

Definisi dan deskripsi masalah


kebijakan
Tujuan naskah kebijakan
Evaluasi kebijakan yang ada
Alternatif-alternatif kebijakan yang
diusulkan
Kesimpulan dan rekomendasi

Gambar 8.3: Persamaan antara Abstrak dan Executive Slllllffiary

4.

Pendahuluan

Pendahuluan dalam sebuah poliry paper menjelaskan dan menegaskan


isi atau kajian utama yang akan dijelaskan dalam pembahasan
berikutnya. Karenanya, pendahuluan harus mampu membuka paper dan menarik perhatian pembaca dengan menyajikan konteks
dan hakekat masalah kebijakan serta latar belakang dari studi yang
dilakukan. Pendahuluan pada umumnya memuat: konteks masalah
kebijakan, definisi masalah kebijakan, pernyataan tujuan,
metodologi dan keterbatasan studi, alur atau ringkasan isi paper.

5.

Deskripsi Masalah

Deskripsi masalah memuat dua hal penting: (a) latar belakang


masalah dan (b) masalah dalam konteks kebijakan saat ini. Deskripsi
masalah dalam sebuah poliry paper harus mampu:

Menjelaskan masalah yang menjadi fokus analisis kebijakan.


Bisa dimulai dengan mendiskusikan beberapa isu atau masalah
sosial yang 'serumpun' atau berkaitan. Kemudian menyatakan
satu isu atau masalah kebijakan yang dipilih.

Meyakinkan pembaca bahwa isu yang diangkat memerlukan


perhatian audien kebijakan (pemerintah, LSM atau analis
kebijakan yang lain). Karenanya, isu yang diangkat hendaknya
lebih dari sekadar asumsi, hipotesis dan apalagi gossip.
Sebaiknya diback-up oleh data hasil penelitian kita mapun
penelitian orang lain (boleh juga mengemukakan informasi
dari ahli, media massa, pejabat pemerintah sebagai pendukung
data).
98

Memfokuskan dan menggarisbawahi masalah dalam


konteksnya secara spesifik, termasuk di dalamnya
mendiskusikan sebab-sebab dan akibat-akibat dari masalah
terse but.

Membangun kerangka dengan mana pilihan-pilihan kebijakan


memiliki dasar argumen secara komprehensif.

6.

Pilihan-pilihan Kebijakan

Bagian ini mendiskusikan beberapa alternatif kebijakan (biasanya


antara 5 sd 7 opsi). Kemudian diikuti dengan alternatif kebijakan
yang dipilih (bisanya antara 2 sd 3 opsi). Pilihan-pilihan kebijakan
(atau alternatif kebijakan yang dipilih) terdiri dari dua elemen
penting: (a) kerangka analisis, dan (b) evaluasi alternatif-alternatif
kebijakan. Pilihan-pilihan kebijakan bersandar pada kaidah-kaidah
sebagai berikut:

Menggarisbawahi, mengevaluasi dan membandingkan


alternatif-alternatif kebijakan yang mungkin.

7.

Memberikan argumen meyakinkan bagi alternatif kebijakan


yang paling baik.
Memfokuskan pada sebuah keputusan yang dibuat.
Menjelaskan strategi atau cara-cara tertentu yang akan
memudahkan audien menerapkan opsi kebijakan tersebut.
Membangun kaitan yang jelas dan koheren dengan
kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi-rekomendasi pada
poliry paper.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Ada tiga elemen penting yang harus termuat dalam kesimpulan dan
rekomendasi:

Sintesis temuan-temuan utama (~nthesis of mqjor findings).

Seperangkat rekomendasi-rekomendasi kebijakan (set ofpoliry


recommendations).

Kalimat atau pernyataan penutup (concluding remarks).


99

8.

Catatan Akhir (endnotes)

Fungsi catatan akhir:

Memberikan diskusi dan penjelasan tambahan atau definisi


terhadap beberepa istilah.

U ntuk menarik pembaca kepada sumber-sumber yang


menjelaskan latarbelakang informasi yang didiskusikart pada
teks.
9.

Apendik

Apendik atau lampiran-lampiran tidak selalu harus ada dalam po!iry


paper. Hanya dicantumkan sepanjang diperlukan.

Apendik bersifat mendukung argumen-argumen utama yang


dikembangkan dalam keseluruhan po!iry paper. Bagi naskah
kebijakan yang berupa poliry brief dan poliry memo, apendik
menyediakan informasi atau data pendukung isi teks pada
tubuh naskah.

Kriteria umum yang digunakan dalam menentukan apa yang


harus dimuat dalam apendik adalah tipe, panjang dan rincian
informasi.

Apendik biasanya dibagi dan diidentifikasi melalui


penggunaan judul.

10.

Bibliography atau Daftar Pustaka

Daftar pustaka sangat penting dalam sebuah po!iry paper. Ia


memungkinkan pembaca dapat mengakses sumber-sumber bacaan
yang mendasari argumen penulisnya. Daftar pustaka juga berfungsi
sebagai pembeda antara naskah akademis dengan naskah nonakademis (novel, cerita, pendek). Selain pencantuman daftar pustaka
merupakan kewajiban insan akademis (agar tidak tergelincir menjadi plagiator- pelanggaran sangat serius dalam dunia akademis).

100

Proses Analisis

Kebijakan Sosial

Pada bab ini dan bab berikutnya, disajikan pedoman praktis


melakukan analisis kebijakan sosial dan advokasi kebijakan sosial.
Selain konsep-konsep dasar mengenai topik yang bersagkutan
disajikan, pembaca juga sekaligus diajak melakukan latihan.
Langkah-langkah melakukan analisis kebijakan bukanlah proses yang
kaku. Ia dinamis dan cair. Hakekat masalah, tujuan analisis, strategi
yang akan diterapkan, ketersediaan sumberdaya adalah beberapa
faktoryang mempengaruhi proses analisis kebijakan. Enam tahapan
di bawah ini bisa dijadikan panduan dalam melakukan analisis
kebijakan, seperti diperlihatkan Gambar 9.1.7

7)

Dikembangkan dari: http:/ /www.maxwell.syr.edu/plegal!TIPS/


strat2.html(diakses tanggal18 April2004)

101

I. Mendefinisikan
masalah kebijkan
(masalah sosial)

6. Menyeleksi
atematifkebijakan
terbaik

2. Mengwnpulkan
bukti tentang
masalah

[ Mengkaji
renyebab masalhh

r------,

5. Mengembangkan
altematifkebijakan

Gambar 9.1: Proses Analisis Kebijakan Sosial

Mendefinisikan masalah kebijakan


Mendefinisikan masalah kebijakan pada intinya merujuk pada
kegiatan untuk mengeksplorasi berbagai isu-isu atau masalah sosial,
dan kemudian menetapkan satu masalah sosial yang akan menjadi
fokus analisis kebijakan. Pemilihan masalah sosial didasari beberapa
pertimbangan, antara lain: masalah tersebut bersifat aktual '(sedang
menjadi perhatian masyarakat saat ini), penting dan mendesak,
relevan dengan kebutuhan dan aspirasi publik, berdampak luas dan
positif, dan sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial (artinya
masalah tersebut sejalan dengan transformasi sosial yang sedang
bergerak di masyarakat, misalnya penguatan demokratisasi, hak azasi
manusia atau transparansi dan good governance).
Pertimbangan lain dalam menetapkan masalah sosial yang akan
dijadikan pusat kajian kebijakan adalah penentuan apakah masalah
tersebut termasuk kategori masalah sosial strategis atau tidak.
Suharto (2004c) mengajukan empat parameter yang dapat dijadikan
pedoman untuk menetapkan strategis tidaknya suatu masalah sosial.
Ia memformulasikannya dalam akronim FDKN (Faktor, Dampak,
Kecenderungan, dan Nilai) seperti diperlihatkan Gambar 9.2.
102

Faktor
Factor

Nilai
Value

MASALAH
STRATEGIS

Dampak
Impact

Kecenderungan
Trend

Gambar 9.2: Parameter Masalah Strategis

1.

Faktor

Apakah masalah tersebut merupakan faktor penentu (kry factor to


problem solving) dalam mengatasi masalah lain yang lebih luas?
Apakah masalah tersebut bersifat causai!J accountable, secara kausal
dapat diperhitungkan (diukur)?

2.

Dampak

Apakah jika masalah terse but ditangani atau direspon oleh kebijakan
maka akan membawa manfaat kepada masyarakat luas atau
berdampak pada peningkatan kesejahteraan publik? Apakah
penanganan masalah tersebut bermatra sociai!J and economicallY profitable, secara ekonomi dan sosial menguntungkan masyarakat banyak?

3.

Kecenderungan

Apakah masalah terse but sejalan dengan kecenderungan global dan


nasional? Apakah masalah tersebut bersifat globalfy and nationallY
visible, sedang menjadi perhatian, dianggap penting atau terekam
oleh memori publik dalam skala nasional dan global?
103

4.

Nilai

Apakah masalah tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan harapanharapan kultural yang berkembang pada masyarakat lokal? Apakah
masalah tersebut secara budaya diterima atau diakui keberadaannya
(culturally acceptable)?
Sebagai analis kebijakan publik, saudara atau kelompok saudara
pertama-tama perlu menyeleksi satu topik masalah (dari beragam
masalah yang teridentifikasi) dan kemudian secara specifik
mendefinisikannya sebagai sebuah masalah sosial. Karena saudara
akan menghabiskan banyak waktu dalam mempelajari dan berdebat
mengenai masalah yang diangkat dan mengembangkan solusi pemecahannya, maka pilihlah masalah yang menjadi perhatian semua atau
sebagian orang dalam kelompok saudara (dengan asumsi setiap
anggota kelompok adalah seorang profesional yang pengetahuan
dan keputusannya senantiasa didasari basis kompetensi dan nilai
yang dapat dipertanggungjawabkan).
Ada beberapa langkah dalarn mendefiniskan masalah sosial untuk
analisis kebijakan sosial:

1.

Buatlah daftar masalah berdasarkan curah pendapat


(branstorming) atau diskusi kelompok. Sajikan dalam kertas
manila atau white bo.ard sehingga dapat dilihat oleh semua
anggota kelompok.

2.

Dari daftar masalah terse but, review dan pilihlah satu masalah
sosial dengan mana setiap orang akan tertarik menganalisisnya.

3.

Tunjukkan pada konteks atau wilayah masyarakat mana


masalah tersebut terjadi dan dapat digali lebih jauh.
Masyarakat bisa didefinisikan sebagai community atau
komunitas yang secara geografis dan administratif dapat
diidentifikasi (misalnya, desa, kecamatan, kabupaten dst).
Masyarakat bisa pula didefinisikan sebagai socie!J atau sosietas
yang meskipun secara geografis tidak berada dalam satu lokasi
(tinggal di satu desa atau kampung) mereka memiliki ikatan

104

--------------~~-----------psikologis, sosial, kultural atau politis (geopolitis), misalnya


perasaan 'senasib sepenanggungan'. Dalam kategori ini,
ODHA (Orang Dengan HIVI AIDS), ODK (Orang Dengan
Kecacatan) atau para wanita korban tindak kekerasan dapat
dikelompokkan sebagai sebuah sosietas. Para penerima
pelayanan sosial yang berada di panti rehabilitasi $Osial,
misalnya, juga dapat dikategorikan sebagai sebuah sosietas.
Dengan demikian, setting analisis kebijakan dapat dilakukan
di sebuah komunitas (desa, kelurahan, kecamatan), maupuan
di sosietas Oembaga, panti sosial, sekolah, rumah sakit, kantor
kabupaten, kantor gubernuran).
4.

Defininiskan masalah tersebut dengan rumusan kalimatyang


jelas dan spesifik.

Latihan 1:

Mendefinisikan masalah sosial

Tang gal:
Anggota Kelompok:
a.

Dalam satu atau dua kalimat, nyatakan hakekat atau substansi


masalah sosial yang akan dianalisis.

b.

Apakah lokasi spesifik masyarakat yang dirujuk dan terkait


dengan masalah sosial tersebut? Ingat, jawaban kita bisa
merujuk pada makna masyarakat secara komunitas maupun
sostetas.

c.

Sebutkan sedikitnya tiga kondisi atau keadaan yang dapat


ditimbulkan oleh masalah ini. Penjelasan ini diperlukan untuk
menarik perhatian audien kebijakan bahwa jika masalah
tersebut tidak ditangani akan berdampak serius bagi kehidupan
masyarakat. Dalam menjelaskan akibat, kita bisa membuat
asumsi dan prediksi logis. Misalnya, jika di Bandung sekarang
105

ini terdapat pengidap HIVI AIDS sebanyak 1.000 orang, dan


dalam setahun setiap orang menularkan kepada satu orang
lain atau pasangannya, maka dalam lima tahun ke depan akan
ada ODHA sebanyak 6.000 orang. Eisa dibayangkan, bila
setiap orang menyebarkan virus kepada 10 orang?

d.

106

Tulislah sebuah kalimat pendek yang menyatakan atau


mendeskripsikan masalah sosial dan lokasi geopolitisnya.
Ingat, pernyataan masalah sosial jangan bersifat umum
(Misalnya: kemiskinan atau pengangguran), melainkan khusus
dan terukur (Misalnya: pendapatan rendah penduduk Desa
Mandala-vvangi; upah di bawah UMR para buruh Pabrik Tekstil
Kahadetex; buta huruf di Desa Jatimulya; anak-anak
kekurangan gizi di Kabupaten Cianjur; kejahatan kebencian
atau permusuhan rasialis di Kota Ambon; kenakalan remaja
atau vandalisme di SMA 2 Cimareme; kematian akibat
kecelakaan lalulintas di Kota Malang; defisit anggaran
pembangunan di Kabupaten Majalengka; langkanya air bersih
di Desa Nanggewer; penyakit kulit pada masyarakat sekitar
Sungai Cikapundung; masalah psikososial ODHA di Lembaga
Sayap Burung, Bekasi.

Mengumpulkan Bukti tentang Masalah


Kebijakan adalah seperangkat pernyataan strategis yang didukung
oleh fakta, bukan oleh gossip atau 'kabar burung'. Pernyataan
masalah kebijakan, karenanya, harus didukung oleh bukti atau fakta
yang relevan, terbaru, akurat dan memadai. Pernyataan masalah
tanpa bukti tidak akan meyakinkan pihak-pihak yang akan me~jadi
target naskah kebijakan kita. Bukti yang disertakan bisa berdasarkan
hasil penelitian kita (data primer), khususnya pada naskah kebijakan
yang berbentuk poliry stucfy. Data bisa pula berasal dari data sekunder,
yakni hasil temuan orang lain yang dipublikasikan di buku, koran,
internet, dokumen pemerintah. Naskah kebijakan yang berbentuk
poliry brief dan poliry memo jarang menyertakan bukti berdasarkan
hasil penelitian primer.
Statistik yang memuat data secara langsung mengenai masalal1 sosial
dan wilayah geopolitisnya umumnya merupakan sumber informasi
yang sangat baik untuk mendukung bukti pernyataan masalah. Akan
tetapi, kadang-kadang data tersebut berasal dari statistik nasional
yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan kita, misalnya, karena
lokasi masalah k.ita berpusat di suatu kota. Jika demikian, kita masih
bisa menggunakan data tersebut dan menyatakan bahwa rnasalah
di kota yang kita teliti konsisten atau sejalan dengan data nasional.
Cara yang rnudah untuk memperoleh data yang spesifik adalah
rnelalui website (situs) di internet ~isalnya: www.google.corn). Kita
bisa rnenulis krywords (kata-kata kunci) seperti 'usia harapan hidup'
dan 'Jakarta'. Biasanya, akan muncul berbagai situs yang rnernuat
data yang diperlukan di lokasi yang spesiftk Oihat Kotak 9.1).

107

KOTAK 9.1: MENGUMPULKAN BUKTI UNTUK MENDUKUNG MASALAH

Masalah: Mabuk dan menyetir di kalangan remaja di JakartaPada tahun 2002,


sebanyak 2.315 pemuda meninggal dikarenakan kecelakaan lalu lintas terkait dengan
alkohol (http://www.bps.go.id/kecelakaan/alkohollhtrni).Apabila tingkat kecelakaan fatal
para sopir dihitung berdasarkan perjalanan tahunan, angka tertinggi ditemukan
dikalangdn sopir yang berusia muda. Tingkat kecelakaan dikalangan remaja berusia
16 sd 19 tahun adalah 4 kali lebih tinggi dibandingkan kecelakaan sopir yang berusia
25 sd 35 tahun; dan 9 kali lebih tinggi dibandingkan kecelakaan yang dialami sopir
beru~ia 50 sd 60 tahun (Kecelakaan Lalulintas dikalangan Remaja, Buletin2an,
Polda Metro Jaya, 2003).Tabrakan antara speda motor dan mobil merupakan
penyebab utama kematian pada korban berusia 16 sd 19 tahun. Pada tahun 2001,
sebanyak 3.336 remaja berusia 16 sd 19 ta.hun meninggal dunia dan 365.000
mengalami luka-luka dalam kecelakaan maut di jalan raya. Menu rut sumber yang
sama, sekitar 21 persen dari mereka ditemukan alkohol dalam darahnya (Blood
Alcohol Concentraiion/BAC). Data juga menunjukkan bahwa sebanyak 50 persen
korban yang mengalami luka-luka ternyata mengenakan sabuk pengaman pada
saat mengemudi.Sumber: http//www.datafiktif.com

Latihan 2: Menghimpun bukti untuk mendukung pernyataan


masalah
Tang gal:
Anggota Kelompok:
a.

Masalah yang dipilih (phrase)

b.

Presentasikan bukti yang mendukung masalah. Bukti yang


ditampilkan sebaiknya sangat spesifik dan sitat atau kutip
sekurang-kurangnya satu sumber data sebagai rujukan:

Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengembangkan keterampilan


merumuskan masalah dan menelusuri sumber data melalui
108

penggunaan internet. Karenanya, sebaiknya para analis kebijakan


mampu mengakses sedikitnya tiga sumber data (website/situs) untuk
mendukung keberadaan masalah yang dikajinya. Sebuah situs
umumnya memiliki banyak hubungan (link) dengan berbagai sumber
data yang dikategorikan sebagai masalah sosial. Misalnya, kategori
'kejahatan' (termasuk narkoba dan kejahatan); 'lingkungan' pan
'pendidikan'. Beberapa dari situs tersebut memuat statistik terbaru
mengenai masalah-masalah sosial tersebut di wilayah atau kota
tertentu. Ada pula yang memuat artikel-artikel yang ditulis para ah1i
dibidangnya dan studi-studi kasus yang mungkin relevan dengan
masalah yang akan kita kaji.
Sebagai contoh, saudara hendak menganalisis sebuah masalah sosial
di lingkungan sekolah. Tentukan lokasi geopolitis masalah tersebut
sesuai dengan tipe wilayah sekolah, umpamanya, sekolal1 perkotaan
atau perdesaan di kotamadya atau kabupaten. Misalkan masalah
sosial yang dikaji adalah rendahnya pengetahuan pelajar mengenai
HIVI AIDS. Tentu saja, sang at sulit memperoleh sumber data seperti
ini dari internet. Dalam kondisi ini, saudara dapat mengembangkan
sebuah survey ringkas dan mengirimkannyake situs internet sekolah
atau menyebarkannya secara langsung kepada mereka. Doronglah
para pelajar untuk mengisi kuesioner yang kita kirim. Survey seperti
ini akan memberikan bukti yang cukup terhadap masalah yang kita
kaji. Namun demikian, responden harus mewakili populasi di
sekolah tersebut.

Mengkaji Penyebab Masalah


Para peneliti kedokteran terus berupaya untuk mengidentifikasi
berbagai penyebab penyakit. Mereka dapat mengembangkan vaksin
untuk mengimunisasi orang agar terhindar dari penyakit. Sebagai
contoh, Dr Jonas Salk berjasa mengeliminasi polio ketika ia mampu
mengidentifikasi virus yang menyebabkan penyakit itu, dan
mengembangkan vaksin penangkalnya. Seperti halnya para dokter,
109

para analis dan pembuat kebijak.an dapat mengidentifikasi penyebab


atau faktor yang memberi kontribusi terhadap masalah sosial.
Mereka dapat mengembangkan kebijakan publik untuk
mengeliminasi atau mengurangi penyebab atau fak.tor tersebut.
Namun demikian, berbeda dengan virus tertentu yang menyebabkan
polio, sebagian besar masalah sosial memiliki banyakpenyebap dan
fak.tor-fak.tor penentu. Beberapa situs yang memuat masalah sosial
biasanya juga memuat sebab-sebab atau faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah terse but (Kotak. 9.2).
KOTAK 9.2: MENGIDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH
Masalah (phrase): Banyaknya rernaja di Kota Jakarta yang rnabuk dan rnengendarai
kendaraan.Rernaja yang rnabukdan rnengendarai kendaraan didorong oleh beberapa
a!asan:
yang rnudah terhadap alkohol
IAkses
klan alkohol dalarn hiburan dan olah raga

Pengernudi rernaja yang agresif

Dorongan atau pengaruh ternan-ternan sebayanya

Penggunaan narkoba oleh atlit dan rnusisi

Kurangnya
kepercayaan diri pada rernaja

Tingginya rasa ingin tahu (prilaku coba-coba) pada rernaja

Latihan 3: Mengidentifikasi penyebab masalah


Tang gal:
Anggota kelompok:
Masalah (phrase):

Buatlah beberapa faktor penting yang berkontribusi terhadap


masalah sosial yang telah diidentifikasi. Dukung faktor tersebut
dengan bukti.

110

Mengevaluasi Kebijakan yang Ada (existing policy)


Mengevaluasi kebijakan atau produk yang ada saat ini dapat
mengarah pada perbaikan-perbaikan. Pabrik mobil, sebagai ilustrasi,
mengevaluasi kelebihan dan kekurangan model-model mobil yang
beredar setiap tahunnya untuk memhuat penyempurnaanpenyempurnaan produksi tahun-tahun berikutnya. Beberapa model
mobil baru mungkin hanya memerlukan sedikit perubahan, seperti
mengurangi bobot untuk menghemat bensin atau mengubah bocfynya lebih aerodinamis supaya lebih gesit dan kencarig larinya. N amun
demikian, evaluasi juga sering menghasilkan keputusan-keputusan
untuk mengganti secara total model"yang ada (pelajari Kotak 9.3).
KOTAK 9.3: MENGEVALUASI KEBIJAKAN YANG ADA

Masalah: Banyaknya remaja di Kota Jakarta yang mabuk dan mengendarai .


l<endaraan.Kebijakan yang ada saat ini: Pemeriksaan ketat polisi di jalan raya untuk
menangkap pengemudi yang kedapatan mabuk.Apa kelebihan kebijakan ini?
(perhatikan efektifitas, biaya, penegakkan, dan penerimaan publik). Kelebihan: Jika
diimplementasikan secara sungguh-sungguh, bersih dan berwibawa sejalan dengan
kebijakan tatakelola yang bersih (good governance), pemeriksaan ketat polisi di jalan
raya mampu menjadi alat penegakkan hukum yang efekt~ untuk memerangi pengemudi
mabuk. Apa kekurangan kebijakan ini? (perhatikan efektifitas, biaya, penegakkan,
dan penerimaan publik). Kekurangan: Terdapat beberapa masalah konstitusi dan
transparansi yang terkait dengan kebijakan ini. Misalnya, tokoh-tokoh LSM pembela
HAM dan hak-hak konsumen berpendapat bahwa menyetop pengendara tanpa
alasan yang nyata adalah pelanggaran HAM. Apalagi jika hal in dilakukan di jalan
bebas hambatan, selain melanggar konstitusi juga sangat membahayakan (ingat
peristiwa tabrakan maul di Tol Jagorawi, akibat polisi menyetop mobil karena presiden
akan melewati tol tersebut). Selain itu, mental korup yang melanda 'oknum' polisi
(untuk tidak menyatakan sebagian besar polisi) menyebabkan kebijakan ini tidak
efektik, karena hanya akan menjadi lahan polisi mencari mangsa dan 'memeras'
pengemudi. Bahkan, pengemudi yang mabuk sekalipun pada kenyataannya dapat
bebas, jika memberi tips kepada polisi (ingat berita Dr Azahari yang telah berkali-kali
distop polisi, tetapi bisa lewat karena menyogok polisi yang memberhentikannya).
Bersandar pada evaluasi terhadap kelebihan dan kekurangan kebijakan yang ada,

111

haruskah kebijakan tersebut secara total diganti, diperkuat atau diperbaiki? Kelebihan
apa, jika ada, dari kebijakan saat ini yang masih perlu dipertahankan? Kekurangan
apa, jika ada, yang harus dieliminasi? Pemeriksaan polisi di jalan raya sebagian
dapat merupakan strategi yang efektif dalam mengurangi pengemudi mabuk. Namun,
secara realistis pemeriksaan hanya dapat dilakukan satu atau dua kali dalam sehari.
lni berarti, polisi terikat untl 1 ~ melakukan pemeriksaan rutin di jalan ketimbang
melaksanakan tugas penegakan hukum lainnya. Juga, publik akan terganggu dengan
pemeriksaan yang terlalu sering dan dapat menimbulkan masalah kemacetan yang
menghambat orang pergi dan pulang kerja. Kebijakan pemeriksaan saja tidak akan
sanggup mengatasi masalah pengemudi mabuk. Jika kita sampai pada kesimpulan
seperti ini, maka kita dapat memulai mengkampanyekan sebuah gerakan untuk yang
menentang kebijakan pemeriksaan polisi di jalan raya:
"TANPA KONSTITUSI DAN TRANSPARANSI, KATAKAN TIDAK PADA
PEMERIKSAAN POLISI Dl JALAN RAYA"

Beberapa tahun lalu, sebagian besar sekolah-sekolah negeri eli AS


memiliki kebijakan keamanan yang sangat longgar. Setiap orang
dapat masuk dan keluar gedung sekolah dengan leluasa. Kemuelian,
peningkatan kekerasan dan terorisme mendorong dewan sekolah
untuk mengevaluasi kebijakan keamanan sekolah yang ada. Banyak
sekolah yang memiliki kebijakan sekadarnya dengan hanya
menempatkan tanda 'setiap pengunjung wajib lapor petugas' pada
gerbang masuk sekolah. Kelebihan utama dari kebijakan ini adalah
biayanya sangat murah, karena hanya memerlukan dana untuk
membuat tanda peringatan. Tetapi, kekurangannya adalah tidak ada
cara atau mekanisme untuk menegakk.annya. Anggota-anggota geng,
remaja-remaja nakal atau para pencuri yang bukan pelajar eli sekolah
yang bersangkutan dapat tetap masuk gedung sekolah tanpa melalui
gerbang depan. Juga, pelajar-pelajar sekolah tersebut dapat dengan
mudah membawa senjata ke sekolah. Mereviu kelebihan dan
kekurangan kebijakan keamanan sekolah tersebut akhirnya
menuntut perubahan kebijakan secara lebih signifikan. Sekolahsekolah eli kota-kota besar mulai menetapkan semua pengunjung
untuk melewati detektor logam eli pintu masuk. Kebijakan-kebijakan
112

yang baru sama sekali juga muncul, yakni pengalokasian anggaran


yang lebih besar untuk menyewa SATPAM atau polisi yang bertugas
secara penuh di sekolah.
Mengevaluasi kebijakan saat ini yang berkaitan dengan
penanggulangan masalah sosial merupakan sebuah langkah penting
dalam proses analisis kebijakan publik. Menganalisis kelebihart dan
kekurangan kebijakan sosial yang sedang diterapkan dapat
melahirkan rekomendasi bagian-bagian mana saja dari kebjakan yang
sedang beroperasi harus dipertahankan, diperkuat atau diubah. Jika
kebijakan yang ada dipandang tidak efektif secara menyeluruh, maka
kebijakan tersebut perlu diganti secara total pula.

Latihan 4: Mengevaluasi kebijakan yang ada


Tang gal:
Anggota Kelompok:
Masalah (phrase):

satu
penting yang
saat illl yang secara
langsung ditujukkan untuk mengatasi masalah sosial di atas:
aLc1Jt\..d.J.1

b.

Apa kelebihan kebijakan ini (perhatikan efektifitas, biaya,


penegakkan dan penerimaan publik):

c.

Apa
illl
penegakkan dan penerimaan publik):

d.

Berdasarkan evaluasi terhadap kelebihan dan kekurangan


kebijakan yang ada, haruskah kebijakan tersebut secara total
113

diganti, diperkuat atau diperbaiki? Kelebihan apa, jika ada,


dari kebijakan saat ini yang masih perlu dipertahankan?
Kekurangan apa, jika ada, yang harus dieliminasi?

Mengembangkan Alternatif atau Opsi-Opsi Kebijakan


Apabila sebuah kelompok membuat rencana mengenai apa yang
akan dilakukan Hari Senin yang akan datang, para anggota kelompok
pertama-tama akan mengidentifikasi beberapa alternatif kegiatan.
Serupa dengan itu, mengembangkan solusi k~bijakan publik untuk
mengatasi masalah sosial juga perlu mempertimbangkan beberapa
alternatif. Dua langkah utama akan sangat bermanfaat bagi
pengembangan alternatif kebijakan publik:

1.

Mengembangkan alternatif kebijakan untuk memecahkan


masalah sosial adalah mengelimnasi atau mengurangi sebabsebab atau faktor-faktor penyumbang terhadap masalah.
Sebagai contoh, kebijakan untuk eks narapidana yang diberi
pembebasan bersyarat adalah bahwa mereka tidak boleh berhubungan dengan penjahat lainnya. Alasan kebijakan ini adalah
mencoba mengeliminasi satu dari beberapa penyebab
kejahatan. Reviu sebab-sebab dan faktor-faktor pendukung
yang telah dibahas pada Latihan 3. Adakah dari sebab-sebab
tersebut yang dapat dikurangi atau dihilangkan?

2.

Menelisik kebijakan yang ada saat ini. Reviu Latihan 4,


khususnya jawaban untuk pertanyaan point d. Barangkali
kelompok saudara berpendapat bahwa kebijakan yang ada
gagal mengatasi masalah dan karenanya kebijakan itu harus
diganti secara total. Atau mungkin kebijakan yang ada hanya
perlu diperkuat atau disempurnakan. Misalnya, hukuman yang
lebih keras, pendidikan publik mengenai kebijakan, praturanperaturan tambahan, petunjuk yang lebih jelas, dst.).

114

Pastikan bahwa kelompok saudara mengembangkan 'alternatif


kebijakan' yang orisinil dan baru, bukan 'tujuan kebijakan'. Contoh:
berikut ini adalah bukan alternatif kebijakan, melainkan tujuan
kebijakan: "untuk memperbaiki pendidikan, mengurangi polusi, dan
menurunkan tingkat kejahatan". Para politisi seringkali memenuhi
pidato mereka dengan tujuan-tujuan kebijakan, supaya me.narik
perhatian banyak orang. Sebuah alternatif kebijakan harus
mencerminkan sebuah 'jenis tindakan/aksi pemerintah tertentu'
untuk mencapai sebuah tujuan kebijakan secara spesifik. Akhirnya,
pastikan bahwa seluruh alternatif kebijakan berada pada tingkat
geopolitis yang sama deng@ masalah .sosial yang ditanganinya (lihat
Kotak 9.4).
KOTAK 9.4: MENGEMBANGKAN ALTERNATIF KEBIJAKAN
Masalah: sanyaknya remaja di Kota Jakarta yang mabuk dan mengendarai
kendaraan.Buatlah sedikitnya tiga alternatif kebijakan. Pastikan bahwa seluruh alternatif
kebijakan berada pada tingkat geopolitis yang sama dengan masalah sosial yang
diresponnya. Masing-masing alternatif harus menyatakan secara aktual pemerintah atau
lembaga pemerintah mana yang akan melaksanakan tindakan atau opsi yang diajukan.
Tiga proposal yang layak dipertimbangkan untuk mengurangi kematian remaja akibat
mabuk sambil menyetir adalah:
1.
Mengurangi produksi minuman keras, misalnya, dari 2 juta botol per tahun
menjadi 1juta (tingkat nasional)
2.
Meningkatkan usia memperoleh SIM dari 16 tahun menjadi 20 tahun (tingkat
nasional).
3.
Meningkatkan kampanye dan penyuluhan mengenai alkohol dan akibatnya jika
mabuk sambil mengemudi (tingkat sekolah kabupaten).

Latihan 5: Mengembangkan alternatif kebijakan


Tang gal:
Anggota Kelompok:
Masalah (phrase):

115

Buatlah sedikitnya tiga alternatif kebijakan. Pastikan bahwa seluruh


alternatif kebijakan berada pada tingkat geopolitis yang sama dengan
masalah sosial yang diresponnya. Setiap alternatif harus menyatakan
secara aktual pemerintah atau lembaga pemerintah mana yang akan
melaksanakan tindakan atau opsi yang diajukan. Urutkan, proposal
atau alternatif kebijakan berdasar~an alternatif yang paling
menjanjikan.

Menyeleksi Alternatif Terbaik


Pada langkah ke 5, kita telah membuat tiga alternatif kebijakan
dan penyeleksian awal dengan mengurutkan alternatif terse but mulai
dari yang paling menjanjikan ke yang kurang menjanjikan. Dua
kriteria yang dapat membantu menentukan alternatif yang paling
baik adalah fisibilitas (feasibility) dan efektifitas (effectiveness).
Kebijakan yang terbaik harus memenuhi dua kriteria tersebut
(memiliki .nilai tinggi), jika memungkinkan.
Fisibilitas adalah kemungkinan atau probabilitas mengenai apakah
kebijakan yang diusulkan akan diterima oleh audien kebijakan
(misalnya, oleh pemerintah atau badan pemerintah). Fisibilitas
dipengaruhi oleh faktor- faktor seperti penerimaan kultural dan biayabiaya yang terantisipasi dibandingka.n dengan manfaat-manfaat yang
akan diperoleh. Sebagai contoh, sebuah kebijakan untuk memotong
tangan pencuri mungkin sangat efektif dalam mengurangi pencurian,
tetapi mungkin secara kultural agak sulit diterima di Amerika Serikat.
Kebijakan melipatgandakan jumlah polisi di kota-kota besar
mungkin memiliki manfaat dalam menurunkan tingkat kriminalitas,
tetapi meningkatnya biaya yang akan membebani para pembayar
116

pajak dapat menurunkan probabilitas diterimanya atau disahkannya


kebijakan tersebut oleh para pengambil keputusan.
Efektifitas menunjuk pada kemungkinan bahwa kebijakan kita akan
menghasilkan manfaat-manfat yang dapat mengurangi masalah
sosial. Untuk mencapai tingkat efektifitas yang tinggi, langkah ke 1
di atas sangat penting, yakni mendefinisikan masalah keoijakan
secara sempit dan spesifik. Kebijakan yang memiliki nilai tinggi
dalam satu kriteria biasanya memiliki nilai rendah dalam kriteria
lainnya. Prinsip urnurn menunjukkan bahwa fisibilitas biasanya
dipandang sebagai kriteria yang lebih penting daripada efektifitas.
Dengan kata lain, kebijakan yang memiliki kemungkinan diterima
(fisibilitas) secara rasional dipandang lebih utama, meskipun hanya
memiliki tingkat efektifitas sedang.
Cara yang sederhana untuk memilih alternatif kebijakan adalah
dengan mengurutkan terlebih dahulu berdasarkan prakiraan kas::~r
(asumsi-asumsi logis) mengenai kemungkinan diterimanya kebijakan
yang diusulkan. Kemudian, pada masing-masing alternatif kebijakan
diberikan ringkasan pendek untuk mempermudah penilaian kita
terhadap opsi-opsi yang ditulis Oihat Kotak 9.5).
KOTAK 9.5; MEMILIH ALTERNATIF KEBIJAKAN TERBAIK

Masalah: Mabuk dan menyetir di kalangan remaja di JakartaBuatlah dan urutkan tiga
alternatif kebijakan yang dibuat pada Latihan 5. Tulislah kata pendek atau singkatan
untuk meringkas masing-masing kebijakan pada akhir setiap kebijakan (lihat contoh
yang menggunakan hurup miring):
1.
Mengurangi produksi minuman keras, misalnya, dari 2 juta botol per tahun
menjadi 1juta (tingkat nasional)- Mengurangi atau menurunkan jumlah
2.
Meningkatkan usia memperoleh SIM dari 16 tahun menjadi 20 tahun (tingkat
nasional) - Meningkatkan usia.
3.
Meningkatkan kampanye dan penyuluhan mengenai alkohol dan akibatnya
jika mabuk sambil mengemudi (tingkat sekolah kabupaten)- Pendidikan.

117

Latihan 6:'Menyeleksi solusi kebijakan terbaik


Tang gal:
Anggota Kelompok:
Masalah (phrase):

Urutkan tiga alternatif kebijakan yang dibuat pada Latihan. 5.


Tulislah kata pendek atau singkatan untuk meringkas masing-masing
kebijakan pada akhir setiap kebijakan (lihat contoh pada Kotak 8.6
yang menggunakan hurup miring):

Langkah ke 6 ini menandai bahwa kita telah menyeleksi beberapa


alternatif kebijakan dan memilih sebuah kebijakan publik. Pilihan
kita didasarkan prakiraan awal mengenai kriteria fisibilitas dan
efektifitas. Sekarang, kita akan mendiskusikan kriteria efektifitas _
lebih mendalam lagi. Seperti telah disinggung, penyeleksian alternatif
kebijakan didasari oleh keyakinan bahwa alternatif tersebut akan
membawa dampak yang baik atau diharapkan. Konsekuensikonsekuensi masa depan yang baik tersebut dinamakan 'manfaat'
(benefit). Alternatif kebijakan juga tidak mustahil menimbulkan
dampak yang buruk atau tidak diharapkan. Inilah yang dinamakan
'biaya' atau 'kerugian' (cost). Proses menelaah manfaat dan biaya
dalam kebijakan publik dinamakan evaluasi.
Mengevaluasi kebijakan publik dapat dibuat pada saat merumuskan
kebijakan. Artinya, sebelum kebijakan diimplementasikan, kita bisa
melakukan evaluasi. Inilah yang disebut sebagai model analisis
pi'ospektif. Evaluasi juga dapat dilakukan terhadap kebijakan yang
sedang diimplementasikan. Artinya, evaluasi dilakukan terhadap
118

akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut 'setelah'


kebijakan tersebut terumuskan. Inilah yang dinamakan analisis
kebijakan retrospektif. Model kebijakan integratif adalah evaluasi
terhadap konsekuensi kebijakan baik sebelum maupun sesudah
kebijakan diformulasikan atau diimplementasikan. Kegagalan
melakukan evaluasi dan memilih ketiga model analisis terse but ~apat
mempengaruhi kualitas pembuatan kebijakan dalam beragam
bentuk. Kondisi ini pada gilirannya bisa merugikan publik.

Kebijakan-kebijakan yang tidak berhasil akan terus diterapkan


Kebijakan-kebijakan yang berhasil malah dihentikan atau
diganti
Pelajaran-pelajaran yang berharga dari kegagalan-kegagalan
menjadi hilang
Para pembuat kebijakan tidak dapat dipantau akuntabilitasnya
terkait dengan apa yang telah mereka kerjakan untuk rakyat
banyak

Mengidentifikasi Manfaat (Benefit)


Manfaat adalah konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang baik bagi
masyarakata atu sebagian besar anggota masyarakat. Beberapa
manfaat bersifat 'kelihatan' (tangible) dan mudah diukur dalam rupiah atau jumlah. Contoh manfaat yang terukur antara lain:

Menghemat pembayar pajak sebesar Rp 5 miliar

Berkurangnya kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 20


persen

Meningkatnya jumlah kelulusan sebesar 7 persen.


Beberapa manfaat bersifat 'tidak kelihatan' (intangible) dan sulit
diukur. Kamera keamanan di tempat parkir mungkin membuat orang merasa aman. Kebijakan sekolah, seperti penerapan disiplin
kehadiran, juga dapat meningkatkan moral pelajar. Kedua manfaat
dari kebijakan tersebut, yaitu 'perasaan aman' dan 'moral pelajar'
sulit diukur. Tiga sumber manfaat mencakup:
119

Tindakan itu sendiri


Konsekuensi yang diharapkan dari kebijakan
Konsekuensi yang tidak diharapkan dari kebijakan

Pada A bad ke-19, UU di AS memberikan hak kepada wanita untuk


mengikuti Pemilihan U mum. Amandemen ke-26 UU terse but
menurunkan usia pemilih menjadi 18 tahun. Kedua kebijakan ittl
memiliki tindakan-tindakan yang baik. Kebijakan itu sendiri
membuat masyarakat AS lebih demokratis. Sebagai ilustrasi,
pemerintah kota menerapkan 'tanda berhenti' untuk mengganti
'tanda jalan terus' di sebuah perempatan jalan. Setahun kemudian,
jumlah kecelakaan di perempatan menurun hingga 30 persen. Tanda
berhenti yang baru juga memiliki dampak yang tidak direncanakan.
Semakin banyak orang tua yang berjalan mengantarkan anaknya ke
taman kota, karena mereka merasa bahwa perempatan jalan itu kini
sangat aman.
Mengidentifikasi manfaat dapat dilakukan dengan langkah sebagai
berikut:
1.
Nyatakan kebijakan yang diharapkan. Misalnya, 'menerapkan
peradilan anak'.
2.
Identifikasi tiga manfaat kebijakan yang paling penting.
Umpamanya: (a) Anak akan menerima konseling dan
rehabilitasi; (b) Anak akan terhindar dari penggunaan obatobat terlarang; (c) Kenakalan anak di masyarakat akan
menurun.

Latihan 7: M engidentifikasi manfaat


Tang gal:
Anggota Kelompok:
a.

120

Nyatakan kebijakan yang diharapkan atau telah ditetapkan:

b.

Identifikasi tiga manfaat kebijakan yang paling penting:

Mengidentifikasi Biaya atau Kerugian


Biaya atau kerugian adalah konsekuensi kebijakan yang bersifat
buruk atau negatif terhadap masyarakat atau sebagian besar anggota
masyarakat. Beberapa kerugian bersifat 'kelihatan' (tangible) dan
mudah diukur dalam rupiah atau jumlah. Contoh kerugian yang
terukur antara lain:

Meningkatnya beban pembayar pajak sebesar Rp.10 miliar

Meningkatnya kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 20


persen

Menurunnya jumlah lulusan sebanyak 7 persen.


Beberapa kerugian adalah bersifat 'tidak kelihatan' (intangible) dan
tidak mudah diukur. Kamera keamaan di tempat parkir bisa
membuat orang merasa kehilangan privasinya. Kebijakan sekolah,
seperti penerapan disiplin kehadiran, juga bisa saja menurunkan
moral pelajar. Seperti halnya manfaat, kerugian juga memiliki tiga
sumber:

Tindakan itu sendiri

Konsekuensi yang diharapkan dari kebijakan

Konsekuensi yang tidak diharapkan dari kebijakan


Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi masalah sosial kelangkaan bahan
bakar, dibuadah kebijakan meningkatkan harga bahan bakar. Harga
bahan bakar merugikan pembeli, karena harus mengeluarkan uang
lebih besar untuk membeli bahan bakar. Karenanya, tindakan itu
sendiri adalah se buah biaya atau kerugian. Konsekuensi yang
diharapkan dari peningkatan harga bahan bakar ini mungkin menurunkan konsumsi. Ini berarti bahwa para pengendara harus
121

mengurangi perjalanan-perjalanan yang tidak perlu. Itulah dampak


negatif yang dihasilkan kebijakan. Mungkin juga terdapat kerugian
jangka panjang dari kebijakan ini. lndustri pariwisata memiliki
tempat-tempat menarik yang mengharuskan orang melakukan
perjalanan. Kebijakan menaikan harga bahan bakar akan
menghantam industri pariwisata yang pada giliranny~ bisa
menimbulkan pengangguran.
Mengidentifikasi kerugian dapat dilakukan melalui tahapan seperti
llll:

1.

Nyatakan kebijakan yang diharapkan. Misalnya, kebijakan


menerapkan peradilan anak.

2.

Identifikasi tiga kerugian yang paling penting: (a) .Semakin


menurun jumlah tenaga sukarela yang mau bekerja untuk
organisasi-organisasi lain; (b) Semakin banyak anak yang
menggunakan narkoba, karena peradilan anak cenderung
sangat bebas (mudah dimasuki pengedar narkoba); dan (c)
Meningkatnya biaya untuk pegawai pengadilan yang bertugas
mengatur peradilan.

Latihan 8: Mengidentifikasi kerugian


Tang gal:
Anggota kelompok:
a.

Nyatakan kebijakan yang diharapkan atau telah ditetapkan:

b.

Identifikasi tiga manfaat kebijakan yang paling penting:

122

Advokasi Kebijakan
So sial

Setelah seorang analis kebijakan mampu merumuskan alternatif


kebijakan yang terbaik dan menuliskannya dalam sebuah naskah
kebijakan, langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah
melakukan advokasi terhadap;,,hasil analisnya. Advokasi ini pada
dasarnya dimaksudkan untuk menyebarluaskan makalah kebijakan
yang ia buat, baik melalui media cetak maupun media lainnya (radio, TV, public hearing, kampanye, testimoni, seminar, dst).
Advokasi ini adakalanya dilakukan oleh analis kebijakan dengan
timnya. N amun, dalam situasi lain, advokasi dilakukan oleh pihak
lain, sedangkan tugas analis kebijakan cukup hanya sampai merancang strategi advokasi yang dapat dijadikan pedoman oleh pihak
lain ketika mereka akan melakukan advokasi.
123

Berpijak pada Young dan Quinn (2002), Suharto (2004c)


mengajukan beberapa definisi advokasi, khususnya yang
berkaitan dengan analisis kebijakan sosial.

Advokasi adalah upaya untuk mempengaruhi ke bijakan publik


melalui berbagai bentuk komunikasi persuasif.

Advokasi berkaitan dengan strategi memenangkan argumen


dan mengubah perilaku.

Advokasi menunjuk pada usaha untuk mempengaruhi


kebijakan-kebijakan pemerintah.

Advokasi merupakan proses yang disengaja untuk


mempengaruhi mereka yang membuat keputusan-keputusan
kebijakan. Advokasi adalah sebuah strategi untuk
mempengaruhi para pembuat kebijakan ketika mereka
membuat hukum dan peraturan, mendistribusikan sumbersumber) serta membuat keputusan-keputusan lain yang
mempengaruhi hidup orang. Tujuan utama advokasi adalah
menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan, dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan.

Advokasi adalah sebuah proses yang melibatkan seperangkat


tindakan politis yang dilakukan oleh warga negara yang
terorganisir untuk mentransformasikan hubungan-hubungan
kekuasaan. Tujuan advokasi adalah untuk mencapai
perubahan kebijakan tertentu yang bermanfaat bagi penduduk
yang terlibat dalam proses tersebut. Advokasi yang efektif
dilakukan sesuai dengan rencana stategis dan dalam kerangka
waktu yang masuk akal.

Keberhasilan advokasi banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor.


Antara lain, kemahiran analis kebijakan dalam memilih isu dan
strategi kampanye, dukungan stakeholders, dan kejelasan sasaran atau
audien advokasi. Advokasi yang efektif memiliki karakteristik
sebagai berikut: jelas sasaran/ audienya, beorientasi pada hasil,
124

terencana, kreatif, hemat biaya, relevan dengan kebutuhan kolektif,


kolaboratif, persuasif, politis, strategis, berpengaruh, menarik
perhatian, terukur, dan fokus pada satu isu kebijakan tertentu.
Namun demikian, ada dua faktor penting yang sangat menentukan
keberhasilan advokasi, yaitu:
1.

Pengetahuan mengenai siapa yang terlibat dalam, atau


terpengaruh oleh proses kebijakan sosial; dan

2.

Pengetahuan mengenai perangkat kelembagaan apa saja yang


diperlukan bagi pengimplementasian kebijakan.

Oleh karena itu, dua kegiatan yang perlu dilakukan analis kebijakan
dalam merancang advokasi kebijakan adalah melakukan analisis
stakeholders atau Analisis Pemangku Kepentingan (APKep) dan
Analisis Perangkat Kelembagaan (APKel) bagi implementasi
kebijakan

Analisis Pemangku Kepentingan


Usulan kebijakan publik yang baik sekalipun, belum tentu diterima
tanpa dukungan politis yang kuat. Oleh karena itu, langkah penting
dalam advokasi kebijakan adalah mengetahui stakeholder atau
pemangku kepentingan, yakni mereka yang terlibat dan terpengaruh
oleh kebijakan. Pendekatan untuk meramalkan kemungkinan
diterimanya kebijakan adalah analisis pemangku kepentingan (stakeholder).
Menurut Allen dan Kilvington (2004), pemangku kepentingan
adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan dalam sebuah kebijakan, program atau proyek. Ada
dua jenis stakeholders, yaitu: stakeholder primer, yakni masyarakat yang
memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan; dan stakeholder
sekunder, yaitu lembaga perantara dan pelaksana dalam proses
permusan kebijakan dan implementasinya. Stakeholder sekunder
meliputi lembaga-lembaga pemerintah dan bdan-badan publik
125

lainnya. Seringkali, kelompok-kelompok ini tidak menyadari bahwa


mereka adalah stakeholder, karena mereka merasa merupakan bagian
dari proses itu sendiri atau sebaliknya. Aturan umum (a rule of
thumb) untuk memastikan bahwa stakeholder kunci dilibatkan dalam
proses perumusan dan implementasi kebijakan adalah
mengidentifikasi siapa-siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan
oleh kebijakan. Pengetahuan mengenai the winners dan the losers ini
sangat menentukan untuk mengetahui siapa yang akan mendukung
atau menolak kebijakan.
Analisis stakeholder adalah sebuah teknik yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kepentingan orang-orang kunci, kelompokkelompok orang, atau lembaga-lembaga yang secara signifikan
mempengaruhi keberhasilan penerapan kebijakan. Analisis stakeholdersangat berpengaruh pada rancangan advokasi kebijakan karena
menyediakan informasi mengenai tujuan-tujuan, sikap-sikap dan
peranan-peranan berbagai kelompok kepentingan yang berbeda dan
rekomendasi-rekomendasi mengenai cara-cara melibatkan mereka
dalam proses advokasi. Analisis stakeholder merupakan salah satu
langkah penting dalam membangun hubungan dan jaringan yang
diperlukan bagi keberhasilan penerapan kebijakan yang partisipatis.
Ia memberikan langkah awal dengan menerangkan kelompokkelompok mana saja yang bisa diajak kerjasama dalam merancang
proses dan tujuan advokasi. Dengan cara ini, analisis stakeholder
membantu seorang inisiator dan analis kebijakan dalam menelisik
lingkungan sosial dengan mana advokasi kebijakan akan dilakukan.
Dalam kaitannya dengan advokasi kebijakan, analisis stakeholder
dapat digunakan untuk:

126

Mengidentifikasi karakteristik dan pengaruh orang-orang,


kelompok dan lembaga yang akan terkait dengan proses
advokasi kebijakan.

'lillllll!i'iilll~-----------

Mengidentifikasi konflik kepentingan, relasi dan kapasitas


diantara stakeholder yang memungkinkan terciptanya
partisipasi dan koalisi diantara mereka.

Mengembangkan strategi yang tepat untuk meningkatkan


dukungan dan mengurangi hambatan sehingga alternatifalternatifkebijakan yang diusulkan dapat diterima oleh sasaran
kebijakan (policy audience) Oihat MHW dan UNICEF, 2004
dan Allen dan Kilvington, 2004).

Salah satu cara melakukan analisis stakeholder adalah dengan


menggunakan Metoda Sistem Sang Pangeran (the Prince System).
Nama ini diambil dari buku terkenal Machiavelli yaitu 'The Prince'.
Metode ini merupakan cara untuk meramalkan atau
mengidentifikasi dukungan dan penentangan (oposisi) dari berbagai
individu, kelompok dan organisasi-organisasi publik dalam
pengambilan keputusan-keputusan publik. Metode Sang Pangeran
memberikan pedoman dalam menganalisis berbagai stakeholders. Ia
melibatkan proses sebagai berikut
1.

Identifikasi para pemain (orang-orang yang terkait kebijakan)


yang kemungkinan memiliki dampak langsung dan tidak
langsung terhadap pembuatan keputusan.

2.

Tentukan posisi isunya - apakah masing-masing pemain


mendukung, menentang atau netral terhadap keputusan.

3.

Tentukan kekuasaan - bagaimana keefektifan setiap pemain


dalam menghadang keputusan, atau mendukung keputusan
atau mempengaruhi implementasi sebuah keputusan.

4.

Tentukan prioritas berdasarkan penting tidaknya keputusan


bagi masing-masing pemain.

5.

Perhitungkan kemungkinan bahwa kebijakan yang diusulkan


akan diterima dan diimplementasikan.

127

Latihan 1: Analisis Pemangku Kepentingan


Tang gal:
Anggota kelompok:
a.

Identiftkasi orang-orang kunci, kelompok atau lembaga yanga


akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan: ,

b.

Reviu daftar stakeholder di atas dan gali apa kepentingankepentingan mereka dalam kaitannya dengan kebijakan yang
diajukan. Pertimbangkan isu-isu seperti: manfaat kebijakan
bagi stakeholder, perubahan-perubahan dari stakeholder yang
dituntut oleh kebijakan; dan penerapan program atau kegiatan
yang mungkin merugikan atau menimbulkan konflik terhadap
stakeholder.

c.

Kaji kembali masing-masing stakeholder yang ditulis pada


kolom a. Ajukan pertanyaan: seberapa berpengaruh
kepentingan-kepentingan stakeholdertersebut bagi keberhasilan
kebijakan yang diusulkan? Pertimbangkan: peranan stakeholder
yang harus dimainkan agar usulan kebijakan diterima dan
kemungkinan stakeholder ini akan memainkan peran itu;
kemungkinan dan dampak respon negatif stakeholder terhadap
usulan kebijakan. Beri skor/nilai 3 jika pengaruh stakeholder
tersebut sangat penting; 2 jika cukup penting; dan 1 apabila
tidak penting.

c.

Rumuskanlah strategi atau cara-cara yang dapat dilakukan


agar stakeholder mendukung atau mengurangi penolakannya.
Pertimbangkan bagaimana kita akan mendekati setiap stakeholder. Informasi apa yang akan diperlukan mereka? Seberapa
penting informasi terse but dapat meningkatkan keterlibatkan

128

stakeholder dalam proses perumusan kebijakan (pada model


prospektiQ atau pada penerapan kebijakan (pada model
retrospektiQ atau pada keduanya Gika model integratiQ.
Adakah individu-individu atau kelompok-kelompok lain yang
mungkin mempengaruhi stakeholderdalam mendukung usulan
kebijakan?
.

Analisis Perangkat Kelembagaan


Pada Analisis Pemangku Kepentingan atau the Prince System, pada
intinya seorang analis menerapkan teknik untuk meramakan
mengenai kemungkinan diterima atau tidaknya usulan kebijakan.
Analisis tersebut didasari informasi mengenai dukungan atau
penolakan politis pada waktu tertentu. Akan tetapi, dukungan
maupun penolakan politis dapat berubah secara konstan dan tibatiba, karena, misalnya Pemilihan Ummn, kondisi sosial baru, atau
kecelakaan. Sebagai contoh, dukungan terhadap kebijakan
peningkatan anggaran belanja pemerintah untuk penanggulangan
HIVI AIDS meningkat tajam, katakan pada tahun 1999 ketika Indonesia dipimpin Gus Dur. Kebijakan ini terutama di dukung oleh
lembaga donor internasional dan LSM dalam negeri melihat begitu
banyaknya korban berjatuhan. Namun, ketika beberapa surat kabar
memberitakan bahwa banyak dari korban adalah mereka yang
pecandu narkoba, pelaku seks bebas, dan kalangan homoseksual,
beberapa tokoh masyarakat dan diantaranya dari LSM mulai
mempertanyakan kebijakan tersebut yang dipandang sebagai bentuk
persetujuan pemerintah terhadap perilaku menyimpang.
Analisis Perangkat Kelembagaan {APK) memberikan cara lain dalam
menganalisis dukungan dan penentangan, khususnya pada tingkat
penerapan kebijakan. Analisis ini pada hakekatnya merupakan teknik
untuk menganalisis perangk.at kelembagaan, seperti struktur birokrasi
pemerintah, peraturan dan perundangan yang dapat mendukung
penerapan kebijakan. Seorang analis perlu melakukan kegiatan ini
129

untuk memastikan bahwa jika kebijakan diterima dan kemudian


diimplementasikan, infrastruktur dan suprastruktur yang akan
mendukungnya telah disiapkan dengan baik.
Mulailah dengan mendeskripsikan secara jelas mengenai kebijakan
yang akan diajukan dan diterapkan. Dengan mengacu pada langkah
ke-6 pada bab sebelumnya, yaitu 'Memilih Alternatif Terbaik',
himpunlah informasi mengenai:
1.

Tingkat pemerintahan dengan mana kebijakan akan


diterapkan; apakah pusat, provinsi atau lokal atau bahkan
internasional

2.

Perangkat-perangkat hukum; apakah kebijakan yang diusulkan


memerlukan hukum yang baru atau revisi UU?

3.

Perangkat administrasi dan fmansial; lembaga apa yang akan


bertanggungjawab mendanai dan dana apa yang diperlukan
(misalnya, dana APBN atau pinjaman luar negeri)?

4.

Keputusan-keputusan pengadilan; bagaimana interpretasi


lembaga peradilan mempengaruhi kebijakan itu?

Pastikan bahwa saudara telah mendefinisikan sebuah kebijakan,


bukan tujuan kebijakan. Contoh: 'mengurangi pengangguran'
bukanlah kebijakan, tetapi tujuan kebijakan. 'Membelanjakan 100
miliar rupiah dana APBN untuk menyelenggarakan program
pelatihan kerja' adalah sebuah kebijakan. Langkah-langkah yang
dapat dilakukan dalam Analisis Perangkat kelembagaan meliputi:
1.

130

Secara singkat, deskripsikan kebijakan yang ingin


diimplementasikan. Masukan unit-unit pemerintah yang perlu
dilibatkan. Misalnya: Departemen Kehakiman dan HAM perlu
memiliki sebuah pengadilan bagi anak-anak untuk mengadili
mereka yang berusia eli bawah 18 tahun yang terbukti terlibat
pembelian, penjualan atau penggunaan narkoba. Lembaga
pengadilan tersebut dapat 'mengadili' (bukan menghukum)
pelaku dengan mengirimkannya ke lembaga rehabilitasi atau

pelayanan masyarakat. Kebijakan ini akan dikontrol oleh,


misalnya, Direktorat Pelayanan Sosial Anak Depkeh dan
HAM di tingkat provinsi.
2.

Indikasikan perangkat-perangkat hukum untuk kebijakan yang


diajukan. Misalnya: Tidak diperlukan UU baru untuk
pengimplementasian kebijakan di atas, dan semua kewajiban
dan tugas-tugas administratif akan dilakukan oleh manajer
program.

3.

Indikasikan persyaratan administrasi dan finansial. Misalnya:


Pengadilan akan dipimpin oleh seorang staf baru dan akan
memerlukan biaya sebesar Rp. 100 juta per bulan, termasuk
untuk gaji staff, biaya administrasi dan pengeluaran lainnya.

4.

Indikasikan persyaratan-persyaratan yuridis. Misalnya: Tidak


diperlukan tindakan peradilan formal, karenanya jaksa
penuntut dan hakim perlu menyepakati agar peradilan berjalan
secara informal.

Latihan 2: Analisis Perangkat Kelembagaan


Tang gal:
Anggota kelompok:
a.

Secara singkat, deskripsikan kebijakan yang ingin


diimplementasikan. Masukan unit-unit pemerintah yang perlu
dilibatkan.

b.

Indikasikan perangkat-perangkat hukum untuk kebijakan yang


diajukan.

131

c.

Indikasikan persyaratan administrasi dan finansial

d.

Indikasikan persyaratan-persyaratan yuridis.

132

Tantangan

Kebijakan Sosial

Saat ini setiap negara di dunia dihadapkan pada berbagai tantangan


yang menuntut antisipasi secara cermat dan tepat. Salah satu
gelombang besar yang kini sedang bergerak secara cepat dan luas
adalah globalisasi. Menurut Ginandjar Kartasasmita (1996), proses
transformasi global yang kini tengah berlangsung pada dasarnya
digerakan oleh dua kekuatan besar: perdagangan dan kemajuan
teknologi yang keduanya saling menunjang satu sama lain.
Peningkatan perdagangan selain mendorong alih teknologi juga
penguatan teknologi. Sebaliknya, peningkatan teknologi memperluas
dan memperlancar arus barang, jasa dan informasi. lnteraksi
keduanya telah mendorong terjadinya penyesuaian struktural
perekonomian di banyak negara di dunia. Keseluruhan proses
tersebut menghasilkan tatanan perekonomian dunia yang makin
133

terintegrasi dan transparan yang pada gilirannya melahirkan


perubahan politik, sosial dan kultural yang cepat dan luas di setiap
belahan bumi ini. Sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli, maka
keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh bagaimana suatu
negara memberi tanggapan terhadap tantangan yang menyertai
gelombang globalisasi ter=ebut.
Dari pengalaman yang kita ikuti dan amati selama ini menunjukkan
bahwa negara-negara maju yang berhasil melaksanakan
pembangunannya ternyata tidak hanya memfokuskan kebijakan
pembangunannya pada aspek ekonomi semata melainkan pula sangat
memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya. Karena keberhasilan
suatu negara dalam menjalankan pembangunannya selain dipengaruhi oleh kemampuannya mengatasi dan memenej hambatanhambatan ekonomi dan politik, juga dipengaruhi oleh
kemampuannya mengatasi kendala-kendala sosial dan kultural.
Sedikitnya terdapat tujuh kendala sosial yang menghambat
pembangunan.
1.

Tatanan dan ikatan-ikatan tradisional serta primodial yang


kurang mendukung semangat pembangunan. Misalnya, nilainilai sosial yang kurang berorientasi ke masa depan, bahkan
senantiasa menolak setiap usaha-usaha perubahan
(modernisasi) walaupun membawa dampak positif sekalipun.

2.

Sikap otoriterisme, monopolisme, birokratisme, sukuisme,


keluargaisme paternalisme, dan patrilinealisme (terutama
dalam kaitannya dengan ketidak setaraan relasi jender). Sikapsikap seperti ini dapat menyebabkan membudayanya praktek
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), serta sikap-sikap yang
lebih menonjolkan kepentingan pribadi atau golongannya.

3.

Lemahnya solidaritas sosial antar kelompok dalam masyarakat.


Kelompok yang kuat kurang melindungi kelompok lemah,
serta kurangnya kerjasama dan kemitraan antar kelompok
dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Keadaan ini

134

seringkali diperparah dengan tidak adanya sistem perlindungan


dan jaminan sosial dari negara sehingga kelompok-kelompok
lemah semakin terjerumus dalam situasi kesengsaraan yang
mendalam.
4.

Terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu menguasai


teknologi, terutama teknologi tepat guna yang sesuai dengan
kondisi struktural dan kultural masyarakat setempat. Hal ini
terutama dipengaruhi oleh kinerja sistem pendidikan yang
belum berjalan secara optimal serta belum sejalan dengan
tuntutan dan kebutuhan industrialisasi.

5.

Lembaga-lembaga dalam masyarakat belum berfungsi secara


optimal dalam melaksanakan peranan-peranannya. Lembagalembaga seperti lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga
kesejahteraan sosial yang ada belum sepenuhnya responsif
terhadap kebutuhan dan permasalahan yang berkembang di
masyarakat.

6.

Masih rendahnya partisipasi masyarakat luas dalam


melaksanakan proses pembangunan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai pengawasan jalannya pembangunan.

7.

Masih enggannya lembaga-lembaga pemerintah untuk


menjalankan nilai-nilai transparansi dan good governance.
Keadaan ini menjadi faktor yang menimbulkan pemborosan
sumbedaya yang luar biasa, disamping menghambat
pencapaian tujuan pembangunan nasional secara optimal.

Kegagalan Kebijakan Sosial


Sebagai perubahan sosial yang direncanakan, pembangunan
senantiasa membawa dampak yang luas terhadap kehidupan
masyarakat. Meskipun pembangunan telah direncanakan dengan
sebaik-baiknya, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan selain
membawa dampak positif juga menimbulkan dampak negatif.
135

Dalam kaitannya dengan pembangunan ini, fungsi utama kebijakan


secara umum adalah mengoptimalkan dampak positif pembangunan
dan meminimalkan dampak negatif pembangunan.
N amun demikian, kegagalan di berbagai negara berkembang, seperti
Afrika, Amerika Latin dan India dalam melaksanakan sistem
perencanaan kebijakan terpusat, memunculkan suatu anggapan
bahwa kebijakan tidak diperlukan karena akan menghambat sistem
pasar yang secara alamiah mengatur mekanisme pengadaan dan
pendistribusian barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.
Anggapan skeptis seperti ini tentunya tidak sepenuhnya benar,
karena kegagalan kebijakan sosial seringkali terjadi bukan karena
adanya kebijakan sosial itu sendiri, melainkan bersumber pada
beberapa faktor lain, seperti:

1.

Mekanisme dan proses perumusan kebijakan tidak tepat.


Informasi yang kurang lengkap dan akurat, metodologi yang
tidak tepat, atau formulasi kebijakan yang tidak realistis dapat
menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan sosial.

2.

Tidak sejalannya perencanaan dan implementasi kebijakan.


Kebijakan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Keadan ini dapat
disebabkan oleh kurangya pengetahuan dan keterampilan para
pelaksana kebijakan, lemahnya sistem pengawasan, atau
karena kurangnya dukungan sumber dana.

3.

Orientasi kebijakan tidak sesuai dengan permasalahan dan


kebutuhan masyarakat. Misalnya, kebijakan sosial yang terlalu
berorientasi pada bantuan-bantuan konsumtif, tanpa
memperhatikan pada peningkatan kemampuan dan
kemandirian masyarakat setempat. Kebijakan seperti ini dapat
menimbulkan sikap malas, fatalistik, bahkan stigma di
kalangan penerima bantuan. Dengan demikian, yang keliru
bukan kebijakannya tetapi paradigma atau falsafah di balik

136

--

kebijakan itu yang tidak menganut prinsip 'menolong orang


agar dapat menolong dirinya sendiri' (to help people to help themselves).
4.

Ke bijakan terlalu kaku clan mengatur seluruh aspek kehidupan


masyarakat sampai yang sekecil-kecilnya. Kebijakan ini tidak
mempertimbangkan keunikan manusia clan hukum 'penawaran
dan permintaan' (supp!J and demand) karena semua kegiatan
diatur seluruhnya oleh pemerintah.

5.

Kebijakan bersifat 'top down' dan elitis dalam arti hanya


melibatkan kelompok tertentu saja yang dianggap ahli.
Kebijakan yang menganut 'bias profesional' (professional bias)
ini tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan peiaksanaan kebijakan. Rakyat hanya dituntut
untuk mengikuti kebijakan, tanpa harus mengetahui apa
manfaat kebijakan dan mengapa mereka harus mentaatinya.
Kebijakan seperti ini seringkali gagal karena tidak mendapat
dukungan dari masyarakat.

Tantangan Kebijakan Sosial


Satu aspek yang sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan
pembangunan adalah memasukan orientasi sosial ke dalam
kebijakan-kebijakan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya
difujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas,
karenanya kebijakan pembangunan memerlukan orientasi sosial
yang difokuskan pada peningkatan kualitas kehidupan manusia,
seperti terpenuhinya kebutuhan akan makanan, pakaian, pendidikan,
kesehatan, perumahan yang diperlukan oleh manusia sebagai
makhluk sosial, anggota masyarakat, atau sebagai warga negara.
Munculnya perhatian terhadap pentingnya aspek sosial di Indonesia sejalan dengan semakin kompleksnya tantangan pembangunan
137

Anda mungkin juga menyukai