Anda di halaman 1dari 50

KETERKAITAN ANTARA KONSUMSI ENERGI DAN

SUBSIDI ENERGI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI


INDONESIA

TRISA MAULIDYA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keterkaitan antara


Konsumsi Energi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Trisa Maulidya
NIM H14100076
ABSTRAK

TRISA MAULIDYA. Keterkaitan antara Konsumsi Energi dan Subsidi Energi


terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh ALLA ASMARA.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak konsumsi energi dan


subsidi energi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model Vector Error Correction (VECM).
Penelitian ini menggunakan data time series tahunan tahun 1986 sampai 2014.
Hasil menunjukan bahwa pada jangka panjang, harga minyak mentah (CPO)
memiliki pengaruh positif dan subsidi energi berpengaruh negatif pada
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan hasil analisis Impulse Response
Function (IRF) jika seluruh variabel diberi guncangan (shock) perekonomian tetap
akan merespon secara positif kecuali untuk subsidi energi. Hasil analisis Forecast
Error Variance Decompotition (FEDV) menunjukan bahwa konsumsi energi
sektor industri dan harga minyak mentah merupakan variabel yang paling
memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Kata kunci: konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, VAR

ABSTRACT

TRISA MAULIDYA. Impact of Energy Consumption and Energy Subsidy on


Economic Growth of Indonesia. Guided by ALLA ASMARA.

This study aimed to analyze impact of energy consumption and energy


subsidy to economic growth of Indonesia. Method used in this study is Vector
Error Correction (VECM) model. This study used time series data from 1986
until 2014. The result shows in long term, crude oil price has positive impact
meanwhile energy subsidy has negative impact to economic growth in Indonesia.
Based on Impulse Response Function (IRF) in long term shows that economic
growth give positive responds to all variables shock but negative respond to
energy subsidy. Result from Forecast Error Variance Decompotition (FEDV)
analyzes shows that energy consumption from industry sector and crude price oil
are variables with the biggest impact to economic growth in Indonesia.

Key words: Economic Growth, energy consumption, VAR


KETERKAITAN ANTARA KONSUMSI ENERGI DAN
SUBSIDI ENERGI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
INDONESIA

TRISA MAULIDYA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penyusuna
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Muhammad Ace
Suhendar, Ibu Yulias Nuryatin Riani, serta adik dari penulis Muhammad Ihsan
Faturahman, atas doa, motivasi, dan dukungan baik moril maupun materil bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun
moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan
baik.
2. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan Ibu Heni
Hasanah, M.Si selaku penguji dari komisi pendidikan
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas academia Deparemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Aditya, Dian, dan Yola
5. Sahabat penulis, Tisa, Astika Triana, Masyitoh, Lia, Annisa, Vina, Lastiti,
Zurahmi dan Keluarga Besar KAREMATA FEM IPB yang selalu
memberikan keceriaan, masukan dan semnagat kepada penulis.
6. Keluarga besar IE 47 yang selama ini telah bersama-sama menuntut ilmu di
IPB
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2016

Trisa Maulidya
DAFTAR ISI

ABSTRAK iii
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA 7
Penelitian Terdahulu 13
Kerangka Penelitian 14
METODELOGI PENELITIAN 16
Jenis dan Sumber Data 16
Metode Analisis dan Pengolahan Data 16
HASIL DAN PEMBAHASAN 19
Gambaran Umum 19
Hasil Penelitian 23
SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
DAFTAR TABEL

1 Pengeluaran pemerintah pusat untuk subsidi tahun 2004 - 2014 4


2 Ringkasan hasil penelitian terdahulu 12
3 Data dan sumber data 16
4 Hasil estimasi VECM pada model pertumbuhan 24

DAFTAR GAMBAR

1 Daftar 19 negara dengan konsumsi energi primer tertinggi pada 2014 1


2 Laju pertumbuhan ekonomi & konsumsi energi final Indonesia tahun 2
2000 -2014
3 Konsumsi energi final per sektor tahun 2000 - 2013 2
4 Konsumsi energi final per jenis tahun 2000 – 2013 3
5 Kerangka pemikiran penelitian 15
6 Pergerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1986 – 2014 19
7 Pergerakan konsumsi akhir rumah tangga & industri tahun 1986 - 21
2014
8 Pergerakan harga minyak mentah Indonesia tahun 1986 - 2014 22
9 Pergerakan jumlah realisasi anggaran subsidi energi 1986 - 2014 23
10 Response Function (IRF) pertumbuhan ekonomi Indonesia 26
11 Hasil analisis FEDV pertumbuhan ekonomi Indonesia 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi rumah tangga, 32


konsumsi energi industri, subsidi energi, dan harga minyak
2 Hasil uji akar unit pada level 33
3 Hasil uji akar pada first difference 34
4 Hasil uji lag optimum 35
5 Uji stabilitas VAR 35
6 Hasil uji kausalitas granger 35
7 Hasil uji kointegrasi 36
8 Estimasi jangka panjang VECM 37
9 Impulse response function variabel GR 38
10 Variance decomposition variabel GR 39
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebutuhan energi dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia yang memberikan pengaruh penting bagi
pertumbuhan ekonomi dunia juga memiliki kontribusi cukup besar terhadap
permintaan energi dunia. Total konsumsi energi di seluruh dunia hingga akhir
tahun 2014 mencapai 12.347,4 juta ton minyak dengan konsumsi energi
didominasi oleh negara industri besar seperti Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan
Jepang. Cina merupakan konsumen terbesar energi dunia yang mencapai setara
2.502 juta ton minyak atau lebih dari 20,3 persen dari seluruh konsumsi energi
dunia. Amerika Serikat menjadi konsumen energi kedua terbesar dengan
konsumsi sebesar 2.372 juta ton minyak atau 19,2 persen. Sedangkan Indonesia
berada pada posisi ke 15 yang naik dari peringkat ke 20 pada tahun 2004 menjadi
negara dengan konsumsi energi primer terbesar di dunia yang mencapai 171 juta
ton minyak atau setara 1,4 persen dari seluruh konsumsi dunia.
Spain
South Africa
Italy
Australia
Indonesia
United Kingdom
Mexico
France
Minyak
Saudi Arabia
Iran (Islamic Republic of) Batu Bara
Republic of Korea Gas
Brazil
Germany Nuklir
Canada Lain-Lain
Japan
India
Russian Federation & U.S.S.R.
United States of America
China
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Juta Ton Minyak

Sumber : The Shift Project Data Portal 2014


Gambar 1 Daftar 19 negara dengan konsumsi energi primer tertinggi pada 2014

Konsumsi terhadap energi di Indonesia yang terus mengalami peningkatan


antara lain dipicu oleh laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung menguat,
pertumbuhan populasi yang sangat tinggi, serta diiringi perubahan pola hidup
masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Hal ini terjadi karena energi
sudah menjadi kebutuhan dasar untuk menunjang aktivitas hampir di seluruh
sektor seperti industri, rumah tangga, transportasi, komersil, dan kegiatan
produksi lainnya. International Energy Agency (IEA) pada tahun 2013
memperkirakan dalam 20 tahun ke depan, konsumsi energi pada negara
2

berkembang akan tumbuh pesat dengan menyumbang 74 persen bagian dari total
konsumsi energi dunia.
Setara Barrel Minyak/ Kapita 1400000 8
1200000
1000000 6

Persen
800000
4
600000
400000 2
200000
0 0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Konsumsi Energi Final Laju Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Badan Pusat Statistik RI & Pusdatin ESDM 2014


Gambar 2 Laju pertumbuhan ekonomi & konsumsi energi final Indonesia tahun
2002 - 2014

Selama tahun 2000-2013, konsumsi energi final Indonesia (termasuk


biomassa) meningkat dari 0,764 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 2000
menjadi 1,151 juta SBM pada tahun 2013 atau meningkat rata-rata 2,87 persen per
tahun seperti yang ditunjukan oleh Gambar 3. Pangsa konsumsi energi final tahun
2000 didominasi oleh sektor rumah tangga sebesar 38,8 persen tetapi komposisi
tersebut berubah pada tahun 2013 yang didominasi oleh sektor industri sebesar
37,2 persen. Tingginya pertumbuhan konsumsi energi final pada sektor industri
diperkirakan karena pesatnya pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
Sedangkan menurunnya laju pertumbuhan konsumsi energi final sektor rumah
tangga disebabkan oleh substitusi minyak tanah dan gas LPG (Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi, 2013).
SBM (Setara Barel Minyak)

1200000
1000000
Lain-lain
800000
Komersil
600000
Transportasi
400000
Industri
200000
Rumah Tangga
0

Sumber : Indonesia Energy Outlook, 2014


Gambar 3 Konsumsi energi final per sektor tahun 2000 - 2013

Untuk jenis energi final yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia dapat
dilihat pada Gambar 4 adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan rata-rata
konsumsi mencapai 332.667 SBM atau sekitar 40 juta Liter per tahun. Demi
memenuhi kebutuhan konsumsi BBM yang begitu besar, pemerintah tidak hanya
mengandalkan produksi minyak mentah dari kilang-kilang minyak aktif di
3

Indonesia tetapi juga melalui jalur impor. Menurut laporan Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) oleh Bank Indonesia, pada tahun 2013 impor minyak meningkat
11,9 persen mencapai nilai US$ 10,7 miliar.

SBM (Setara Barrel 1200000


LPG
1000000
800000 Listrik
Minyak)

600000 Batubara
400000 Gas Bumi
200000 Biomassa
0 BBM
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Indonesia Energy Outlook, 2014
Gambar 4 Konsumsi energi final per jenis tahun 2000 - 2013

Indonesia pernah mengalami kejayaan energi pada tahun 1970 dengan


produksi minyak mencapai 1,6 juta barrel per hari dan konsumsi energi sebesar
800 ribu barrel per hari. Kondisi tersebut melatarbelakangi Indonesia untuk
mengekspor sebagian besar minyak bumi dan memanfaatkannya sebagai devisa
serta pendapatan negara. Prestasi tersebut membawa Indonesia menjadi anggota
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Tetapi, laju
peningkatan permintaan energi yang semakin cepat tidak sebanding dengan
ketersediaan sumber energi yang ada di Indonesia. Pencapaian lifting minyak
menunjukan adanya penurunan dan selalu berada di bawah target. Pada November
2013, pencapaian lifting minyak berada di kisaran 820 juta barel per hari dari
target yang seharusnya mencapai 840 ribu barel per hari (Kementrian ESDM
Direktorat Minyak dan Gas Bumi, 2013). Oleh karena itu, Indonesia tidak lagi
menjadi negara net exporter tetapi sebalikya sejak tahun 2004 Indonesia menjadi
negara net importer dan pada tahun 2009 Indonesia resmi keluar dari keanggotaan
OPEC. Semakin besarnya jumlah kebutuhan impor minyak mentah menyebabkan
harga BBM domestik menjadi fluktuatif karena rentan terhadap perubahan harga
minyak dunia.
Ketidakstabilan harga BBM dalam negeri dapat berdampak negatif pada
sektor-sektor yang mengandalkan BBM sebagai bahan bakar utama. Maka,
dibutuhkan peran pemerintah untuk menjaga kestabilan harga agar dapat
dijangkau oleh daya beli seluruh masyarakat dan mencegah kepanikan pasar.
Salah satunya ditempuh melalui kebijakan subsidi energi. Setiap tahun subsidi
energi yang dianggarkan dalam APBN cenderung meningkat dan cukup besar jika
dibandingkan dengan komponen pengeluaran APBN lainnya. Subsidi energi, yang
termasuk di dalamnya adalah subsidi BBM dan subsidi listrik, untuk tahun 2014
dialokasikan 32,2 persen dari total belanja pemerintah pusat atau sebesar 350,3
triliun rupiah. Alokasi subsidi energi BBM tersebut mengalami peningkatan 36,5
triliun rupiah dari tahun sebelumnya, begitu pula dengan subsidi listrik mengalami
peningkatan sebesar 3,8 triliun rupiah.
4

Tabel 1 Pengeluaran Pemerintah Pusat untuk Subsidi, Tahun 2004 - 2014


Subsidi (Triliun Rp) Persentase
Belanja Persentase
Energi Subsidi
Pem. Subsidi
Energi
Tahun Pusat Non terhadap
Jumlah terhadap
(Triliun BBM Listrik Energi Belanja Pem.
Total Subsidi
Rp) Pusat (%)
(%)
2004 300,0 69,0 2,3 20,2 91,5 30,5 77,9
2005 361,1 95,6 8,9 16,3 120,8 33,4 86,5
2006 440,0 64,2 30,4 12,8 107,4 24,4 88,1
2007 504,6 83,8 33,1 33,3 150,2 29,7 77,8
2008 693,4 139,1 83,9 52,3 275,3 39,7 81,0
2009 628,8 45,0 49,5 43,5 138,0 21,9 68,5
2010 697,4 82,4 57,6 52,8 192,8 27,6 72,6
2011 883,7 165,2 90,4 39,7 295,3 33,4 86,5
2012 1010,5 211,9 94,6 39,9 346,4 34,2 88,5
2013 1196,8 210,0 100,0 45,1 355,1 29,7 87,3
2014 1249,9 246,5 103,8 52,7 403,0 32,2 86,9
Sumber: Kementerian Keuangan, 2014

Gie (2004) menyatakan bahwa ketergantungan Indonesia pada impor


minyak mentah (crude oil), BBM (oil base fuels) maupun produk minyak lainnya
yang semakin membesar tidak akan menjadi beban APBN apabila pendapatan
ekspor minyak dan gas juga meningkat. Tetapi, dengan situasi harga BBM dan
tarif listrik di Indonesia yang ditentukan oleh pemerintah selalu berada pada
tingkat lebih rendah dibandingkan biaya pokok penyediaannya, tidak mustahil
akan menghasilkan net outflow secara finansial atau APBN mengalami defisit.
Dalam hal ini, menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut guna
mengidentifikasi dampak konsumsi energi dan kebijakan subsidi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Permintaan energi di masyarakat terus
mengalami peningkatan, disamping itu pemerintah harus mengucurkan subsidi
energi cukup besar dari anggaran belanja pemerintah. Jika kebijakan tidak
ditetapkan dengan tepat, maka akan mengganggu stabilitas perekonomian. Dari
kebijakan yang tepat akan tercipta pemerataan distribusi pendapatan (pro growth),
sehingga menambah ruang bagi terbukanya kesempatan kerja (pro job) dan
mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat (pro poor) sebagaimana tujuan
pembangunan nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.

Perumusan Masalah
Subsidi energi telah diterapkan oleh banyak negara dan kenaikan harga
minyak dunia yang fluktuatif cenderung menjadi alasan pengadaan subsidi energi
tersebut. Kebijakan subsidi energi BBM dan listrik yang diterapkan di Indonesia
bertujuan supaya harga energi dapat dijangkau, khususnya oleh kalangan
berpendapatan rendah. Diharapkan dengan pengeluaran yang lebih sedikit untuk
biaya BBM dan listrik, masyarakat akan memiliki pendapatan yang lebih besar
untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Tetapi sejumlah penelitian menunjukan
sebagian besar manfaat subsidi dinikmati oleh golongan dengan pendapatan tinggi
karena dengan penggunaan energi yang lebih banyak, maka semakin besar pula
manfaat yang diperoleh. Kementerian Koordinator Ekonomi menyatakan 40
5

persen kalangan terkaya menikmati 70 persen subsidi, sementara 40 persen


kalangan termiskin hanya menikmati 15 persen dari subsidi tersebut
(Mourougane, 2010).
Ketidakmerataan distribusi bukan satu-satunya masalah yang dihadapi
pada penerapan subsidi energi. Rekayasa harga energi yang lebih rendah, akan
mendorong konsumsi energi secara berlebihan dan penggunaanya tidak efisien.
Selain itu, ketimpangan jumlah distribusi antara subsidi energi dan subsidi non
energi pada APBN akan mengurangi insentif bagi pengeluaran di bidang padat
karya lain seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Akibatnya, jika posisi
fiskal Indonesia lemah akan berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap
pembangunan dan daya saing ekonomi secara keseluruhan.
Dari uraian penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa pemenuhan kebutuhan
energi nasional berkaitan erat dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Pertemuan The 31st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) pada 25
September 2013 di Bali yang menghasilkan rencana aksi atau ASEAN Plan of
Action for Energy Cooperation (APAEC) 2010-2015. Pertemuan tersebut adalah
salah satu bentuk komitmen Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi
regional dan menciptakan kebijakan energi regional yang responsif yang dapat
mendorong reformasi pasar dan lingkungan hidup berkelanjutan, serta upaya
mengamankan cadangan energi regional. Karena pada akhirnya, hasil kebijakan
energi yang kurang tepat akan memengaruhi aksesibilitas, keamanan, dan
keberlanjutan bidang energi serta menghambat pertumbuhan ekonomi.
Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan keterkaitan antara
konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi di negara maju maupun negara
berkembang. Diantaranya pada penelitian Dristaki (2014) yang menyatakan
tingkat konsumsi energi perkapita pada negara Yunani, Spanyol, dan Portugal
dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan begitu sebaliknya pada jangka
panjang yang dikenal dengan bi-directional atau hubungan dua arah. Kemudian,
Binh (2011) mengindikasi adanya keterkaitan yang kuat dari pertumbuhan
ekonomi Vietnam terhadap konsumsi energi tapi tidak sebaliknya atau uni-
directional yaitu hubungan hanya memengaruhi satu arah. Selain itu, penelitian di
Algeria oleh Souhila dan Kourbali (2012) menunjukan adanya keterkaitan uni-
directional antara pertumbuhan ekonomi terhadap konsumsi energi tetapi tidak
sebaliknya.
Penelitian mengenai hubungan subsidi energi dan output nasional terdapat
pada penelitian Aprilta (2011) yang menganalisis dampak fluktuasi harga minyak
dunia terhadap kebijakan subsidi BBM, output nasional dan tingkat inflasi.
Penelitian menunjukan dalam jangka pendek fluktuasi harga minyak dunia tidak
memengaruhi pertumbuhan output nasional, inflasi dan BBM tetapi dalam jangka
panjang secara signifikan memengaruhi output nasional, inflasi, dan subsidi BBM.
Artinya, apabila tejadi peningkatan harga maka respon pemerintah berupa
peningkatan subsidi pada masyarakat. Penelitian penurunan dampak subsidi
terhadap pendapatan nasional juga dilakukan oleh Susylawaty (2013) dengan hasil
penurunan 10 persen pada anggaran subsidi BBM akan menyebabkan turunnya
pendapatan nasional sebesar 0,093 persen.
Namun masih jarang penelitian yang menggabungkan isu dampak
konsumsi energi yang dikaitkan terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara
berkembang dengan memasukan variabel subsidi dalam model penelitian.
6

Berdasarkan masalah tersebut, dibutuhkan suatu analisis yang dapat menjelaskan


bagaimana hubungan keterkaitan antara konsumsi energi dan subsidi energi serta
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum kondisi konsumsi energi, subsidi energi, dan
harga minyak mentah di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh konsumsi energi, subsidi energi, dan harga minyak
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dinamika kondisi konsumsi energi, subsidi energi, dan harga
minyak di Indonesia.
2. Menganalisis dampak konsumsi energi, subsidi energi, dan harga minyak
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi penulis ataupun
bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
lain adalah:
1. Bagi penulis, sebagai salah satu media latih untuk meningkatkan keterampilan
dan kemampuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
menjadikan penelitian ini sebagai referensi dan tolak ukur untuk penelitian
selanjutnya terkait konsumsi energi.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
pemerintah dalam membuat kebijakan yang komprehensif dan tepat sasaran
serta dapat mendorong perekonomian nasional.

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini menganalisis hubungan keterkaitan antara konsumsi energi,
subsidi di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan
analisis deskriptif dan model ekonometrika. Data analisis merupakan data time
series dengan periode dari tahun 1986 sampai 2014. Data yang digunakan
meliputi data konsumsi energi rumah tangga, konsumsi energi industri, realisasi
subsidi energi pada APBN, harga minyak mentah Indonesia, dan pertumbuhan
ekonomi.
7

TINJAUAN PUSTAKA

Energi

Energi adalah faktor terpenting dalam suatu proses produksi yang


melibatkan transformasi ataupun pergerakan material. Energi juga merupakan
input bagi pengembangan dan kemajuan teknologi yang berperan dalam
pembangunan ekonomi. Substitusi sarana produksi dan berbagai bentuk barang
modal dengan tenaga kerja, maupun sebaliknya, merupakan bagian dari proses
pembangunan ekonomi yang keseluruhannya membutuhkan input energi. Oleh
karena itu, energi dapat dipandang sebagai penyebab dari pertumbuhan ekonomi
(Stern, 2003).
Energi terdiri dari dua macam yaitu energi primer dan energi final. Energi
final merupakan bentuk transfornasi dari energi primer yang digunakan setelah
melalui beberapa proses, misalnya proses pada kilang minyak, kilang LPG,
pembangkit listrik, dan gas kota. Energi final dapat langsung digunakan oleh
pelaku ekonomi seperti sektor industri, transportasi, rumah tangga, komersil atau
jasa, dan sektor lainnya. Energi final dapat berupa energi listrik, bahan bakar
olahan (minyak tanah, solar, premium, dll), briket, LPG, dan bentuk energi olahan
lainnya (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 1996). Berdasarkan
ketersediaannya sumber energi dibagi dua yaitu energi fosil yang tidak dapat
diperbaharui (non-renewable energy) dan energi yang dapat diperbaharui
(renewable energy). Energi yang tidak dapat diperbaharui terdiri dari minyak
bumi, gas bumi, batu bara, uranium, dan sebagainya. Sedangkan energi yang
dapat diperbaharui contohnya seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga
angin, dan sebagainya.
Konsumsi energi dapat digunakan sebagai acuan untuk memberikan
gambaran tentang kuantitas kebutuhan energi yang digunakan dalam aktivitas-
aktivitas ekonomi. Konsumsi energi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
konsumsi energi final. Konsumsi energi final meliputi pengiriman komoditas
kepada konsumen untuk kegiatan yang bukan dikorversi namun ditransformasi ke
bentuk lain. Sektor dengan konsumsi energi final terbesar di Indonesia adalah
sektor industri dan sektor rumah tangga.
Konsumsi energi industri adalah komoditas energi yang digunakan untuk
menghasilkan panas untuk pemakaian sendiri. Statistik bahan bakar yang dipakai
perusahaan diperoleh dari survei perusahaan atau diperkirakan dari pengiriman
bahan bakar untuk mereka. Sektor industri dibagi menjadi dua cabang. Pertama
adalah cabang industri kimia, dimana kuantitas yang tercatat sebagai konsumsi
industri meliputi penggunaan sebagai bahan bakar dan sebagai bahan baku.
Cabang kedua adalah industri besi dan baja yang mencangkup kebutuhan
pembakaran untuk pemanasan coke oven (dapur kokas) dan metal finishing
(pengerjaan akhir logam). Tetapi pada penelitian ini, konsumsi energi total sektor
industri tidak termasuk yang dipakai oleh sektor energi dan yang digunakan
sebagai input dalam industri konversi energi, serta konsumsi industri kimia yang
digunakan sebagai bahan bakar.
Konsumsi energi rumah tangga terdiri dari pertanian (berburu, kehutanan,
dan nelayan), perdagangan, penerangan umum, dan sektor lainnya (perdagangan,
8

komunikasi, jasa, dan aktivitas lainnya). Data konsumsi gas dan listrik rumah
tangga biasanya diperoleh dari pembacaan meteran yang dipasang oleh
perusahaan gas atau listrik.

Energi dan Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan bertambahnya produksi barang dan
jasa dalam masyarakat serta meningkatnya kemakmuran masyarakat (Sukirno,
1995). Indikator dalam mengukur pertumbuhan ekonomi tersebut menurut
Mankiw (2007) adalah dengan melihat perubahan Gross Domestic Product atau
Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dengan dibandingkan pada periode
sebelumnya. Produk Domestik Bruto sendiri dapat diartikan sebagai pendapatan
total dari setiap orang di dalam perkonomian atau sebagai pengeluaran total atas
output barang dan jasa perekonomian.
Dalam menghitung pendapatan nasional melalui pendekatan pendapatan,
diperoleh dengan menjumlahkan pendapatan atau penerimaan yang diterima
pemilik faktor produksi dalam suatu negara selama satu tahun. Faktor produksi
terdiri dari tenaga kerja, modal, tanah, dan kewirausahaan. Pendapatan dari
masing-masing faktor produksi akan berbeda-beda, seperti tenaga kerja akan
mendapat penghasilan berupa gaji atau upah, kemudian pemilik modal akan
mendapatkan bunga, pemilik tanah akan memperoleh sewa, dan kewirausahaan
akan memperoleh laba yang dirumuskan sebagai :
Y=r+w+i+p (1)
dimana :
Y = pendapatan nasional (GDP)
r = pendapatan dari upah, gaji
w = pendapatan bersih dari sewa
i = pendapatan dari bunga
p = pendapatan dari keuntungan usaha
Sedangkan pendekatan pengeluaran adalah penjumlahan nilai pasar dari
permintaan sektor rumah tangga untuk barang-barang konsumsi dan jasa (C),
pengeluaran sektor bisnis untuk barang investasi (I) pengeluaran sektor
Pemerintah untuk barang dan jasa (G), dan pengeluaran sektor luar negeri untuk
ekspor dan impor (X-M). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = C + I + G + (X-M) (2)
dimana :
Y = pendapatan nasional (GDP)
C = nilai pasar pengeluaran konsumsi barang dan jasa oleh rumah tangga
I = nilai pasar pengeluaran investasi untuk barang modal
G = nilai pasar pengeluaran sektor pemerintah untuk barang dan jasa
X = nilai pasar pengeluaran atas barang dan jasa yang diekspor
M = nilai pasar pengeluaran untuk barang dan jasa yang diimpor

Setiap aktivitas ekonomi memerlukan input agar aktivitas tersebut dapat


berlangsung seperti input sumber daya energi, finansial, kapital (peralatan dan
mesin), teknologi, sumber daya manusia serta berbagai input lainnya. Energi
adalah elemen yang paling dominan dalam mendukung dalam setiap aktivitas baik
secara langsung ataupun tidak langsung, contohnya dalam penerangan dan
pemakaian alat-alat elektronik memerlukan energi listrik dan baterai. Lalu
9

kegiatan distribusi barang antar wilayah yang menggunakan alat transportasi


memerlukan energi bahan bakar minyak. Peran energi tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan perkonomian pada umumnya oleh
karena itu energi merupakan input penting dalam pergerakan roda perekonomian
suatu negara.
Terdapat beberapa penelitian empiris yang mempelajari hubungan
langsung antara energi dan pertumbuhan ekonomi seperti Bernt dan Wood (1975)
yang pertama kali melihat keterkaitan energi dengan input lain serta pada
pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang di Amerika Serikat. Model jangka
panjang yang digunakan adalah modifikasi dari model neoklasik model sumber
daya menjadi :
Y = F (K, L, E, M) (3)
Pada penelitian tersebut menghasilkan permintaan energi yang responsif
terhadap harga energi sendiri, energi dan tenaga kerja memiliki hubungan yang
substitusif, serta energi dan modal yang bersifat komplementer. Implikasi
penelitian ini menunjukan permintaan energi bisa digunakan untuk proyeksi
output jangka panjang.
Stern (2003) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi hubungan
penggunaan energi dengan aktifitas ekonomi dengan menggunakan perspektif
fungsi produksi neoklasik. Secara umum fungsi produksi tersebut dirumuskan
sebagai :
(Q1,…Qm) = f(A,X1,…, Xn, E1,…, Ep) (4)
Dimana Qi menyatakan berbagai output seperti barang manufaktur atau
jasa. Xi menyatakan berbagai input seperti modal, tenaga kerja, dan lainnya. Ei
menyatakan berbagai jenis input energi, seperti batubara, bahan bakar minyak, gas
dan lainnya. A menyatakan total produktifitas faktor-faktor produksi. Dalam
model dijelaskan bahwa peningkatan PDB dapat dipengaruhi oleh substitusi
energi dan input lainnya, perubahan teknologi (perubahan pada A), pergeseran
komposisi input energi, dan pergeseran komposisi output. Pergeseran dari capital
intensive dalam perekonomian yang sebelumnya labor intensive juga dapat
mempengaruhi hubungan antara energi dan output.

Subsidi

Kebijkan subsidi energi khususnya BBM merupakan bentuk kebijakan


fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy) sebagai pengalokasian anggaran agar
terlaksananya kegiatan dan program-program pemerintah dalam rangka
mensejahterakan masyarakat. Menurut Moor (2001) definisi subsidi adalah
seluruh kebijakan yang ditujukan untuk membantu konsumen tertentu agar dapat
membayar produk dengan harga di bawah harga pasar, atau dapat juga berupa
kebijakan yang ditujukan untuk membantu produsen agar memperoleh pendapatan
di atas harga yang dibayar oleh konsumen, dengan memberikan bantuan secara
langsung maupun tidak langsung. Menurut Nota Keuangan dan RAPBN 2014,
subsidi adalah salah satu mekanisme dalam RAPBN yang digunakan untuk
melaksanakan fungsi distribusi. Penerapan fungsi distribusi pemerintah dalam
RAPBN dijalankan dalam kaitannya dengan upaya pemerataan kesejahteraan
masyarakat.
10

Terdapat dua model pembiayaan subsidi dalam kebijakan fiskal yaitu :


1. Model subsidi langsung yang diterima secara langsung oleh kelompok target
sasaran dari program subsidi tersebut. Contoh dari kebijakan subsidi langsung
yang pernah diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah subsidi beras untuk
masyarakat miskin.
2. Model subsidi tidak langsung yang berupa intervensi terhadap pasar, biasanya
subsidi terhadap harga seperti subsidi BBM dan subsidi pupuk.
Belanja subsidi pemerintah terdiri dari subsidi energi yang subsidi
nonenergi. Subsidi energi terdiri dari subsidi BBM, subsidi Bahan Bakar Nabati
(BBN), LPG tabung 3 kg, Liquefied Gas for Vehicles (LGV), dan subsidi listrik.
Sedangkan subsidi nonenergi terdiri dari subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi
benih, subsidi Public Service Obligation (PSO), subsidi bunga kredit program,
dan subsidi pajak atau DTP.

Subsidi BBM
Berdasarkan RAPBN 2014 dan nota keuangan dijelaskan bahwa subsidi
BBM adalah pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada
PERTAMINA dalam situasi ketika pendapatan yang diperoleh PERTAMINA dari
tugas menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah dibandingkan biaya
yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut atau yang disebut laba
bersih minyak.
BBM yang didedifinisikan oleh Pemerintah Indonesia untuk keperluan
pengaturan harga dan subsidi meliputi: (i) bensin (premium gasoline), (ii) solar,
dan (iii) minyak tanah (kerosene). Definisi ini merupakan perkembangan dari
periode sebelum tahun 2001 yang masih mencantumkan avgas (aviation
gasoline), avtur (aviation turbo gasoline), miyak bakar (FO: Fuel Oil), dan diesel
(IDO & ADO: Industrial Diesel Oil & Automotive Diesel Oil). Hal tersebut
dilakukan pemerintah karena konsumen jenis bahan bakar tersebut adalah
golongan menengah ke atas yang menggunakan jasa penerbangan, sektor industri,
serta kapal pelayaran jarak jauh.
Landasan Kebijakan Subsidi BBM terdapat pada :
1. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3
2. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
(ESDM) Nomor 18 Tahun 2013, tentang harga jual eceran minyak bakar
tertentu untuk konsumen pengguna tertentu
4. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi pada Pasal 7 ayat 2
yang menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana
subsidi untuk krlompok masyarakat tidak mampu
5. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengendalian
Penggunaan Bahan Bakar Minyak.
Formula perhitungan subsidi BBM menurut PP No. 71 Tahun 2005 pasal 1 ayat 4
adalah
Subsidi BBM = [Harga Patokan BBM – (Harga Jual Eceran BBM-Pajak)] (5)
x Volume BBM
Dimana:
1. Harga jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam
negeri
11

2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor (PBBKB) 5%
3. Harga patokan BBM dalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS ditambah
biaya distribusi dan margin
4. Harga patoka BBM = MOPS + α
- α adalah biaya distribusi + margin
- Mid Oil Platt Singapore (MOPS) adalah harga transaksi jual beli pada bursa
minyak di Singapora
Riwayat subsidi BBM sendiri bermula pada tahun 1968 dimana subsidi
hanya diberikan pada minyak tanah sebgai bahan bakar rumah tangga dengan
harapan dapat meringankan beban pengeluaran masyarakat Indonesia.
Selanjutnya, subsidi diberikan pada komoditi solar karena solar adalah bahan
bakar kendaraan barang dan transportasi umum. Subsidi untuk premium masih
relatif kecil karena premium hanya digunakan kendaraan pribadi yang
perekonomiannya baik. Saat ini yang terjadi adalah pengguna subsidi bukan
hanya golongan masyarakat tidak mampu tetapi yang kondisi perekonomiannya
baik pula.
Volume konsumsi BBM bersubsidi yang terus over quota setiap tahunnya
mulai menjadi perhatian pemerintah karena akan menyebabakan belanja subsidi
yang telah dianggarkan APBN selalu membengkak pada realisasinya. Subsidi
BBM saat ini telah dianggap mencapai angka yang tidak menyehatkan keuangan
negara dan telah melenceng dari fungsi utamanya sebagai pelindung
perekonomian masyarakat miskin tetapi penggunaaanya saat ini terbatas pada
gologan masyarakat yang memiliki kendaraan dan relatif mampu.

Subsidi listrik
Subsidi energi listrik merupakan jumlah dana yang harus dibayarkan
Pemerintah kepada PT. PLN (Persero) yang dihitung berdasarkan selisih negatif
antara harga jual tenaga listrik rat-rata (Rp/kWh) dari masing masing golongan
tarif dikurangi biaya pokok penyediaan/BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing
masing golongan tarif ditambah margin (persentase dari BPP) dikalikan volume
penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif (Peraturan Menteri Keuangan, 2007).
Penyesuaian tarif listrik dilihat dari evaluasi nilai tukar rupiah terhadap US dolar
(USD), harga minyak mentah Indonesia (CPO), dan tingkat inflasi.
Anggaran subsidi listrik dialokasikan untuk mendukung ketersediaan
listrik bagi industri, komersial, dan pelayanan masyarakat. Terutama sambungan
tegangan rendah di kelas <1000 V seperti perumahan, bisnis, dan industri yang
merupakan kelompok konsumen terbesar dengan 53,85 juta konsumen yang salah
satu bahan bakar utamanya adalah BBM. Pemberian subsidi listrik juga
diharapkan dapat menjamin program investasi dan rehabilitasi sarana dan
prasarana dalam penyediaan tenaga listrik.

Subsidi dan Pertumbuhan Ekonomi


Peran penting input energi yang diantaranya adalah bahan bakar minyak
dan listrik untuk menunjang perekonomian serta pembangunan sosial yang
ditunjang oleh subsidi pemerintah selalu menghasilkan banyak pro dan kotra di
berbagai negara. Harga energi yang murah disertai kualitas yang baik akan
membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan akses lebih
12

mudah terhadap energi modern serta membantu pemerintah melindungi


pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Mempertahankan harga
energi dalam negeri juga dilakukan untuk mencegah pengaruh fluktuasi harga
komoditas di pasar internasional. Oleh karena itu, kontrol harga energi dianggap
sebagai alat makroekonomi yang penting terutama untuk mencegah inflasi.
Tetapi disamping manfaatnya untuk melindungi masyarakat miskin dan
membantu perekonomian, subsidi energi memiliki efek negatif. Dampak tersebut
diantaranya, inefisiensi dalam pemanfaatan energi seperti pemborosan yang
disebabkan harga murah, tidak optimalnya pemanfaatan sumber energi lain, dan
ketidakseimbangan anggaran belanja pemerintah untuk alokasi subsidi energi
yang dapat mengancam keberangsungan fiskal sebuah negara.
Penelitian yang mempelajari hubungan antara subsidi energi dengan
pertumbuhan ekonomi menunjukan hasil yang berbeda-beda disetiap negara.
Mundaca (2015) menyatakan pada negara di wilayah Timur Tengah dan Afrika
Timur (MENA) berdasarkan teori model pertumbuhan, akan mendapatkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi jika pemerintah mengurangi subsidi
energi. Kebijakan yang awalnya mensubsidi bahan bakar fosil lalu mengurangi
subsidi tersebut akan berakibat pada kenaikan PDB per kapita, mengurangi
pengangguran, dan semakin tingginya angkatan tenaga kerja khususnya yang
berusia muda. Anggaran subsidi dapat dialokasikan untuk anggaran kesehatan,
pendidikan, dan investasi untuk pembangunan infrastruktur.
Pada penelitian Glomm dan Jung (2010) di Yunani sebagai negara
ekonomi terbuka menunjukan hasil untuk setiap pengurangan 15 persen subsidi
energi pada rumah tangga dan perusahaan, akan menurunkan PDB sebesar 3
persen. Hasil tersebut masih akan tergantung pada kebijakan yang diambil
pemerintah setelah pengurangan subsidi. Jika alokasi dana dialihkan pada
perbaikan infrastruktur maka penurunan PDB dapat dihindari.

Penelitian Terdahulu

Isu energi global telah mendorong penelitian tentang keterkaitan sektor


energi dan kinerja ekonomi suatu negara atau kawasan. Berbagai model empiris
telah diadopsi untuk mengkaji hubungan ini. Stern dan Cleveland (2004)
menekankan pentingnya mempertimbangkan efek dari perubahan pasokan energi
pada pertumbuhan ekonomi baik negara maju maupun berkembang. Jika pasokan
energi dianggap sebgai inpit proses produksi, maka kebijakan pemerintah yang
membatasi pasokan energi akan merugikan pembangunan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Yazdani M (2013) menganalisis hubugan
kausalitas pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi pada negara eksporter dan
importer minyak yaitu Iran, Arab Saudi, Turki, Korea Selatan, Malaysia, India
dan Pakistan. Berdasarkan penelitian, pada importer terdapat keterkaitan dari PDB
terhadap konsumsi energi. Artinya, pertumbuhan pada konsumsi energi akan
mempengaruhi PDB tetapi tidak sebaliknya. Sedangkan untuk negara eksporter,
pertumbuhan PDB akan mempengaruhi konsumsi energi tetapi tidak sebaliknya.
Razzaqi et al (2012) meneliti hubungan energi dan pertumbuhan ekonomi
di Banglades, Mesir, Iran, Malaysia, Nigeria, Turki, Pakistan, dan termasuk
Indonesia. Terdapat hubungan uni-directional (satu arah) dan bi-directional (dua
arah) dalam jangka panjang dan jangka pendek pada seluruh negara kecuali
13

Indonesia yang tidak memiliki keterkaitan antara dua variabel pada jangka
pendek.

Tabel 2 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu


Penulis Judul Metode Observasi Hasil
Yazdani & Causal Panel Iran, Arab Pada negara importer
Faaltofighi Relationship Data Saudi, Turki, terdapat keterkaitan
(2013) between Economic Korea Selatan, konsumsi energi terhadap
Growth and Energy Malaysia, dari PDB. Jadi pertumbuhan
Consumptions in India, dan konsumsi energi akan
Energy Oil Pakistan meningkatkan GDP, tetapi
Exporting & Tahun 1980- tidak sebaliknya.
Importing 2007 Pada negara eksporter
Countries terdapat kaualitas dari GDP
terhadap konsumsi energi.
Razzaqi & Dynamic VAR Banglades, Terdapat hubungan uni-
Sherbaz Relationship Granger Mesir, directinal (satu arah) dan bi-
(2012) between Energy Causality Indonesia, Iran, directinal (dua arah) dalam
and Economic Malaysia, jangka panjang & jangka
Growth Nigeria, Turki, pendek pada seluruh negara
dan Pakistan kecuali Indonesia yang tidak
Tahun 1980- memiliki keterkaitan antara
2007 dua variabel pada jangka
pendek.
Dartanto Reducing Fuel CGE-MS Data Mengurangi subsidi bahan
(2012) Subsidies and the SUSENAS bakar 25 persen akan
Implication on Indonesia meningkatkan kemiskinan
Fiscal Balance and Tahun 2005 0.253 persen. Tetapi jika
Poverty in penghematan dialokasikan
Indonesia dengan tepat pada
pengeluaran pemerintah,
transfer, dan subsidi lain
kemiskinan akan turun
0.270 persen.
Hendri Dampak Defisit Generalized Indonesia Defisit anggaran
(2006) Anggaran terhadap Evaluation Tahun 1986- berpengaruh negatif
Pertumbuhan Estimator 2005 terhadap pertumbuhan
Ekonomi ekonomi.
Iyke (2014) Electricity Dynamic Nigeria Terdapat hub. keterkaitan
Consumption, Causality Tahun 1971- dari konsumsi listrik menuju
Inflation, and Test 2012 pertumbuhan ekonomi, baik
Economic Growth pada jangka panjang
in Nigeria maupun jangka pendek.
Parikh and Impact of Removal VAR India Pada jangka pendek
other of Diesel Subsidy Tahun 2011- kenaikan harga pada solar
(2012) on Inflation and 2015 akan menurunkan dampak
Economic Growth inflasi 1,5 poin lebih rendah
dan menambah
pertumbuhan ekonomi 0,7
poin lebih tinggi
dibandingkan
mempertahankan harga
sebelum penyesuain.
14

Jumbe (2004) menyatakan negara importer yang didominasi oleh negara-


negara berkembang memiliki ketergantungan pada energi sebagai modal
pertumbuhan berarti energi adalah stimulus bagi pertumbuhan ekonomi yang
menyiratkan kekurangan energi akan berdampak negatif pada pertumbuhan
ekonomi. Sementara kausalitas energi yang berjalan dari PDB terhadap konsumsi
energi, maka hal ini menyiratkan bahwa perekonomian tidak bergantung pada
konsumsi energi. Dengan demikian, kebijakan konservasi energi dapat diterapkan
tanpa merugikan kinerja perekonomian (Masih, 1997).
Negara Indonesia khususnya sebagai negara pengimpor energi, masih
bergantung pada anggaran subsidi BBM untuk memenuhi kebutuhan energi di
masyarakat. Penelitian Pamuji (2012) berfokus pada dampak pengurangan subsidi
BBM terhadap keseimbangan fiskal dan kemiskinan di Indonesia. Hasilnya
menunjukan skema mengurangi subsidi bahan bakar sebesar 25 persen, akan
meningkatkan kemiskinan sebesar 0,253 persen. Tetapi jika pemerintah
menerapkan kebijakan pengalihan alokasi subsidi pada anggran pembangunan
yang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan infratruktur maka kemiskinan
akan turun 0,270 persen.
Penelitian lain mengenai pengurangan subsidi dilakukan oleh Patrick
(2015) di Nigeria sebagai salah satu negara pengekspor energi. Dimana pada
jangka pendek kenaikan harga pada solar akan menurunkan dampak inflasi 1,5
poin lebih rendah dan menambah pertumbuhan ekonomi 0,7 poin lebih tinggi
dibandingkan mempertahankan harga sebelum penyesuaian.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat seiring dengan laju


pertumbuhan ekonomi, populasi penduduk yang kian bertambah, serta perubahan
pola hidup di masyarakat. Energi kini telah berubah menjadi kebutuhan dasar
dalam menjalankan berbagai sektor perekonomian. Sumber energi yang
digunakan untuk memenuhi permintaan masyarakat Indonesia tidak hanya berasal
dari kilang domestik tetapi juga berasal dari impor bahan bakar luar negeri.
Kebutuhan impor yang semakin tinggi menyebakan harga BBM menjadi
sangat renta terhadap perubahan harga energi dunia. Maka dari itu, untuk
melindungi masyarakat dari ketidakstabilan harga bahan bakar, pemerintah
Indonesia menerapkan kebijakan subsidi bahan bakar. Tetapi, data dari
Kementerian Keuangan pada tahun 2014 menunjukan anggaran subsidi energi
telah memakan sebagian besar anggaran pengeluaran pemerintah sehingga
menekan anggaran pengeluaran untuk sektor pembangunan lainnya. Disamping
itu, distribusi subsidi energi di masyarakat tidak teralokasi dengan baik sehingga
banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan manfaatnya.
Penelitian ini fokus pada hubungan antara konsumsi energi dan subsidi
energi terhadap pertumbuhan Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode
VECM dengan analisis impulse response function dan variance decomposition
untuk melihat pengaruh subsidi energi dan konsumsi energi terhadap
pertumbuhan Indonesia baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
15

Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan secara


ringkas oleh bagan berikut:

Pertumbuhan konsumsi energi di masyarakat

KeterbatasanHARGA
produksi minyak domestik
menyebabkan kenaikan impor minyak mentah

Kenaikan anggaran subsidi energi sehingga


menekan anggaran subsidi non-energi

Dampak konsumsi energi dan subsidi energi


terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia

Gambaran umum kondisi Hubungan antara konsumsi


konsumsi energi dan subsidi energi dan subsidi terhadap
energi Indonesia pertumbuhan ekonomi

Analisis Deskriptif Metode VECM

Menguji hubungan Mengukur respon yang Mengukur pengaruh


kausalitas antara diberikan suatu antara variabel :
konsumsi energi, variabel karena Forecast Error
subsidi energi dan METODE
variabel lain : Impulse Variance
pertumbuhan ekonomi : Responnse Function Decomposition
Uji Kausalitas Granger

Implikasi kebijakan pemerintah

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, berikut dirumuskan


hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Konsumsi energi mencerminkan pergerakan produktifitas dalam
perekonomian. Diharapkan baik konsumsi energi industri dan konsumsi
energi rumah tangga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Pengeluaran subsidi energi yang tinggi menurut Tambunan (2006) akan
menghasilkan elastisitas energi yang tinggi. Maka diharapkan subsidi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
16

3. Harga minyak mentah merupakan variabel yang sangat fluktuatif. Kenaikan


harga energi akan mempengaruhi intensitas energi. Diharapkan kenaikan
harga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

METODELOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data time series tahunan selama kurun waktu 1986 hingga 2014. Variabel
yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 5 variabel dan dikonversi ke dalam
logaritma natural, kecuali inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Data diperoleh dari
berbagai sumber, di antaranya World Development Indocator (World Bank),
Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI,
Kementerian Keuangan RI, dan sumber lainnya.

Tabel 3 Data dan Sumber Data


No Data Sumber
World Development
1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)
Indicator (World Bank)
Kementerian Energi dan
Harga Minyak Mentah Indonesia (US$ per
2 Sumber Daya Mineral
Barrel)
RI
Konsumsi Energi Total Rumah Tangga
3 Badan Pusat Statistik RI
(terajoule)
4 Konsumsi Energi Total Industri (terajoule) Badan Pusat Statistik RI
Kementerian Energi dan
5 Subsidi Energi (miliar rupiah) Sumber Daya Mineral
RI

Metode Analisis Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Error
Correction Model (VECM) dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Eviews 8. Analisis VECM digunakan dalam penelitian karena VECM dapat
menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang dinamis
dalam multiple time series, serta dapat melihat pelaku jangka pendek dan jangka
panjang variabel pertumbuhan ekonomi terhadap guncangan konsumsi energi dan
kebijakan subsidi.

Model Vector Error Correction


Vector Error Correction (VECM) merupakan bentuk VAR yang
terestriksi. Restreksi diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner
pada level, tetapi terkointegrasi. Informasi restriksi kointegrasi tersebut kemudian
dimanfaatkan oleh VECM ke dalam spesifikasinya. VECM sering disebut sebagai
desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.
17

Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek
ke jangka panjang.
Spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut :
∑ (6)
dimana :
= vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian
= vektor intercept
= vektor koefisien regresi
t = tren waktu
= dimana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang
= variabel pada level
= matriks koefisien regresi
k-1 = ordo VECM dari VAR
= error term

Model Kausalitas Granger


Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel
bebas (independent variable) meningkatkan kinerja forecasting dari variabel tidak
bebas (dependent variable). Menurut Granger (1969), dengan menggunakan F-test
untuk menguji apakah lag informasi dalam variabel Y memberikan informasi
statistik yang signifikan tentang variabel X dalam menjelaskan perubahan X. Jika
tidak, Y tidak ada hubungan sebab akibat Granger dengan X. Eviews akan
menjelaskan estimasi dengan bentuk persamaan :
(7)
(8)

Nilai F-statistik dihitung berdasarkan Wald statistic untuk hipotesis:


(9)
Untuk setiap persamaan. Pada persamaan pertama, hipotesis nol-nya
adalah x tidak memengaruhi Granger y sedangkan y tidak memengaruhi Granger
x pada persamaan kedua.

Pengujian Pra Estimasi

Langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan estimasi model VECM


adalah pengujian pra estimasi yang terdiri dari uji stasioneritas data, uji lag
optimum, dan uji stabilitas.

Uji Stasioner
Uji stasioneritas dilakukan untuk menghindari terjadinya spurious
regression atau regresi semu, dimana nilai R2 tinggi, t statistik dan F statistik
signifikan tetapi dw relatif kecil atau < 0,5. Terdapat beberapa metode untuk
melakukan uji stasioneritas diantaranya Dickey-Fuller (DF Test), Augmented
Dickey-Fuller Test, Philips-Perron, dan lain-lain. Pada pengujian stasioneritas
dengan Augmented Dickey-Fuller Test digunakan taraf nyata lima persen. Nilai t-
statistik yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t-McKinnon Critical
Values. Jika t-statistik lebih besar dari nilai kritisnya pada tingkat 5 persen maka
18

dapat disimpulkan bahwa data tersebut mengandung akar unit atau tidak stasioner,
dan begitu juga sebaliknya.

Uji Lag Optimum


Uji lag optimum dilakukan untuk membentuk model VAR/VECM yang
baik dengan menentukan jumlah lag yang optimal yang digunakan dalam model.
Lag berguna untuk menunjukan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap
variabel lainnya, dan menghilangkan autokorelasi dalam sebuah sistem
VAR/VECM (Firdaus, 2011). Pengujian panjang lag yang optimal dapat
menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information
Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Lag yang dipilih adalah model
dengan nilai yang lebih kecil untuk dapat memperkecil error.

Uji Stabilitas VAR


Uji stabilitas dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi
polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua
akar dalam unit circle atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut
dianggap stabil sehingga Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error
Variance Decomposition (FEDV) yang dihasilkan dianggap valid (Firdaus, 2011).

Uji Kointegrasi
Uji Kointegrasi dilakukan untuk menentukan kointegrasi antar variabel
yang tidak stasioner. Kointegrasi dapat diinterpretasikan sebagai hubungan jangka
panjang antar variabel yang terintegrasi pada derajat sama yaitu 1, I(1). Uji
kointegrasi dengan pendekatan Johansen membandingkan antara trance statistic
dengan critical value yang digunakan (lima persen). Jika trance statistic > critical
value, maka variabel tersebut terjadi kointegrasi. Analisis Vector Error Correction
(VECM) dapat dilanjutkan setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah
diketahui.

Model VECM

Model yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

(10)

[ ] [ ][ ][ ] [ ]
dimana :
Growth = Pertumbuhan ekonomi Indonesia (dalam %)
LnKRT = Konsumsi energi total rumah tangga (dalam terajoule)
LnKI = Konsumsi energi total industri (dalam terajoule)
LnSub = Total jumlah subsidi listrik dan BBM (dalam miliar)
LnOil = Harga minyak mintah (dalam dollar per barrel)
= Koefisien regresi model VAR
= Error term
19

Impulse Response Function (IRF)


Hasil yang didapat menggunakan metode VECM salah satunya adalah
Impulse Response Function (IRF). IRF digunakan untuk melihat respon suatu
variabel endogen terhadap suatu guncangan tertentu. Guncangan tersebut tidak
hanya dapat mempengaruhi satu variabel tetapi juga dapat mempengaruhi semua
variabel endogen pada saat tersebut dan pada masa yang akan datang (Firdaus,
2011).

Forecast Error Variance Decompotition (FEVD)


Hasil berikutnya yang dihasilkan metode VECM dalah Forecast Error
Variance Decompotition (FEVD). FEVD merupakan metode yang digunakan
untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukan oleh
perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya (Firdaus,
2011). Dari FEDV dapat diketahui besar kontribusi masing-masing variabel
terhadap variabel lainnya dalam periode tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Gambaran Umum Kondisi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1986-
2014 dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan gambar diketahui bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak cukup fluktuatif pada kisaran 5 sampai
10 persen pada periode 1986 sampai 1996. Kemudian pada pertengahan tahun
1997, krisis ekonomi melanda Indonesia yang berdampak pada menurunnya
kinerja perekonomian nasional menjadi 4,7 persen dibandingkan tahun 1996 yang
mencapai 7,82 persen atau menurun sekitar 3 persen dan mencapai titik terendah
pada 1998 yaitu -13 persen.
20
10
Persen

0
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

-10
-20
Sumber : World Development Indicator (World Bank) 2014 (Diolah)
Gambar 6 Pergerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1986-2014

Krisis ekonomi bermula dari krisis moneter ketika pemerintah menerapkan


free floating exchange rate (sistem nilai tukar bebas) pada pertengahan Agustus
1997 sehingga nilai tukar terdepresasi terhadap dollar AS pada level yang sangat
rendah dalam waktu singkat. Melemahnya nilai tukar rupiah mempersulit pihak
swasta dalam menyelesaikan utang luar negeri dan beberapa bank mengalami
kesulitan likuiditas perbankan yang pada akhirnya menimbulkan krisis perbankan
dengan tindakan dari pemerintah yaitu menglikuiditaskan 16 bank swasta nasional
serta inflasi yang mencapai 77,63 persen pada tahun 1998 (Basalim et al, 2000).
Krisis ekonomi tersebut berakibat negatif pada semakin tingginya jumlah
pengangguran, semakin buruknya kesejahteraan masyarakat yang ditandai oleh
20

berkurangnya pendapatan perkapita dan mengakibatkan peningkatan jumlah


penduduk miskin sebesar 49,5 juta jiwa pada akhir Desember 1998.
Untuk memulihkan perekonomian negara pemerintah menetapkan
beberapa kebijakan di bidang ekonomi baik yang bersifat makro dan mikro.
Mencakup antara lain, pemberian bantuan dana talangan kepada lembaga
perbankan untuk mengimbangi tingkat kecukupan modal, kebijakan fiskal dan
moneter serta restrukturisasi utang luar negeri. Kebijakan pembaharuan aturan
hukum juga dilakukan, terutama UU yang memiliki hubungan langsung dengan
ekonomi kerakyatan, seperti: UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan dan
sebagainya.
Kondisi perekonomian Indonesia kemudian perlahan mengalami
perkembangan yang sangat baik. Pada tahun 2008 hingga 2009, perekonomian
Indonesia juga terbukti dapat bertahan dari pengaruh krisis ekonomi global. Salah
satu pendukung kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan
pemerintah yang fokus pada disiplin fiskal dan pengurangan hutang luar negeri.
Namun tidak dipungkiri, masih terdapat masalah lain antara lain pertumbuhan
ekonomi yang tinggi belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Gambaran Umum Perkembangan Konsumsi Energi Total Sektor Rumah


Tangga dan Sektor Industri
Konsumsi energi total dibagi dalam beberapa sektor yaitu diantaranya,
sektor rumah tangga, sektor industri, sektor transportasi, dan sektor komersil.
Jenis-jenis energi yang dikonsumsi terdiri dari LPG, listrik, batubara, gas bumi,
biomassa, dan BBM. Sektor rumah tangga dan sektor industri adalah sektor yang
selalu mendominasi dibandingkan dengan sektor lainnya. Konsumsi oleh sektor
rumah tangga termasuk di dalamnya adalah pertanian, perdagangan, penerangan
umum, dan sektor-sektor lainnya. Pertanian termasuk berburu, kehutanan, dan
nelayan, sedangkan konsumsi lainnya termasuk perdagangan, komunikasi, jasa
dan aktivitas lain yang belum disebutkan. Konsumsi oleh sektor industri termasuk
didalamnya adalah pertambangan, pengolahan, dan konstruksi. Industri
pengolahan terdiri dari industri besar (makanan, tekstil, kayu, kimia, logam dasar ,
dan lainnya), industri sedang dan industri rumah tangga. Untuk konsumsi pada
industri kimia hanya yang digunakan sebagai bahan bakar.
Dapat terlihat dari Gambar 7, pertumbuhan konsumsi energi rumah tangga
dan industri dalam jangka waktu penelitian mengalami fluktuasi dengan
kecenderungan pertumbuhan yang lambat. Pada krisis ekonomi tahun 1997 dan
1998, sektor industri adalah yang terkena dampak dengan menurunnya kuantitas
konsumsi energi dari 839.691 Terajoule atau 137.252.333,4 SBM pada tahun
1996 menjadi 423.296 Terajoule atau 69.190.170,84 SBM pada akhir tahun 1997.
Sedangkan konsumsi energi total sektor rumah tangga konstan pada kisaran 1,3
juta Terajoule. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan konsumsi gas bumi domestik
terutama di sektor industri yang menyebabkan kenaikan signifikan pada konsumsi
energi total sektor industri. Pengalihan bahan bakar gas secara besar-besaran
dilakukan dalam rangka menekan biaya produksi dan meningkatakan efisiensi
mesin. Selain itu harga gas yang sangat kompetitif dan relatif stabil serta ramah
lingkungan juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk kebijakan pengelolaan
gas (ESDM, 2009).
21

Tetapi mulai tahun 2012 sampai 2014 konsumsi energi final sektor industri
kembali melemah dipicu oleh menurunnya kinerja ekspor Indonesia yang hanya
mencapai USD 188 miliar atau turun 6,1 persen dari periode sebelumnya. Belum
pulihnya kondisi ekonomi global akibat resesi ekonomi pada tahun 2011 juga
berdampak pada merosotnya harga beberapa komoditas ekpor terutama komoditas
sumber daya alam (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ESDM, 2013).

4000000
Terajoule

3000000
2000000
1000000
0
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Konsumsi Rumah Tangga (Terajoule) Konsumsi Industri (Terajoule)

Sumber : Neraca Energi Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) 2014 (Diolah)
Gambar 7 Pergerakan konsumsi skhir rumah tangga & industri tahun 1986-2014

Sektor rumah tangga selalu mendominasi pangsa konsumsi energi hingga


tahun 2001 tetapi komposisi tersebut berubah pada tahun 2002 yang didominasi
oleh sektor industri. Tingginya pertumbuhan konsumsi energi final pada sektor
industri diperkirakan karena pesatnya pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
Sedangkan menurunnya laju pertumbuhan konsumsi enenrgi final sektor rumah
tangga disebabkan oleh substitusi minyak tanah dan gas LPG (Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi ESDM, 2013).

Gambaran Umum Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia


Harga minyak dunia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang pertama
faktor permintaan dari banyak negara terutama negara berkembang yang ingin
mengenjot pertumbuhan ekonomi. Kondisi dimana negara berkembang
memerlukan bahan bakar minyak dalam jumlah besar untuk melakukan aktivitas
ekonomi terutama produksi dan distribusi. Selanjutnya dari sisi penawaran berupa
ketersediaan pasokan yang ditawarkan oleh negara-negara penghasil minyak yang
tergabung dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Minyak
mentah dunia banyak dipasok dari negara-negara seperti Timur Tengah, Amerika,
dan Rusia. Kondisi geografis dan politik negara-negara tersebut menjadi sangat
vital dalam menentukan ketersediaan pasokan minyak mentah untuk memenuhi
kebutuhan minyak dunia. Selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi harga
minyak adalah nilai tukar dolar AS, kondisi cuaca yang tidak kondusif, dan
spekulasi posisi kekuatan pasar.
Harga minyak mentah Indonesia memiliki trend meningkat. Pada tahun
2006 terjadi fluktuasi yang dipengaruhi dari harga minyak mentah dunia sebesar
66,25 US dollar per barrel dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar 25
sampai 30 US dollar per barrel dan mencapai harga yang cukup tinggi pada tahun
2008 dengan rata-rata 99,75 US dollar per barrel. Tetapi karena krisis finansial
global yang terjadi pada kuartal ke empat tahun 2008 yang menyebabkan
melemahnya perekonomian Indonesia, harga minyak juga mengalami penurunan
yang cukup drastis. Pasca krisis finansial global mengalami pemulihan secara
22

perlahan, aktivitas perekonomian pun kembali berjalan dan harga minyak pun
kembali menguat. Tetapi pada tahun 2012 hingga tahun 2014, harga minyak
cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena hasil persetujuan
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang setuju untuk tidak
mengurangi produksi sehingga pasokan di pasar dunia cukup melimpah.

150
Dollar per
Barrel

100
50
0
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2014 (Diolah)
Gambar 8 Pergerakan harga minyak mentah Indonesia (OCP) tahun 1986-2014

Hubungan antara harga minyak dan pertumbuhan ekonomi sudah sering


menjadi bahan penelitian diseluruh dunia. Hasil penelitian Narayan et.al (2014)
selama 17 tahun yang diuji pada 28 negara maju dan 17 negara berkembang
menunjukan hasil bahwa pada beberapa negara maju, harga minyak riil dan harga
minyak nominal memiliki efek positif pada pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
pada beberapa negara berkembang seperti Meksiko, volatilitas harga minyak
menunjukan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Harga minyak juga memiliki pengaruh yang berbeda pada perekonomian
di negara eksporter maupun negara importer. Du et.al (2010) melakukan
penelitian di Cina sebagai negara importer yang menunjukan hasil bahwa harga
minyak dunia memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan
inflasi di negara tersebut. Sedangkan penelitian di Iran sebagai negara importer
oleh Asgari (2013) menunjukan hasil bahwa harga minyak dunia memiliki efek
yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Gambaran Umum Perkembangan Realisasi Anggaran Subsidi Energi


Indonesia
Subsidi energi yang terdiri dari subsidi BMM dan subsidi listrik yang
diberikan pemerintah selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada awal
penerapannya, subsidi BBM hanya diberikan pada minyak tanah sebagai bahan
bakar utama rumah tangga yang diharapkan mampu mengurangi beban
pengeluaran rumah tangga. Selanjutnya subsidi ditujukan untuk bahan bakar solar
karena solar merupakan bahan bakar kendaraan barang dan transportasi umum,
sedangkan subsidi premium masih relatif kecil karena premium hanya digunakan
kendaraan pribadi oleh masyaraat yang perekonomiannya baik. Tetapi keadaan
saat ini berubah dimana pengguna subsidi bukan lagi golongan masyarakat yang
tidak mampu tetapi justru dinikmati oleh masyarakat golongan mampu.
Subsidi listrik mulai diterapkan pada tahun 1998. Dapat dilihat pada
Gambar 9 dimana terjadi lonjakan anggaran yang berasal dari akumulasi subsidi
BBM dan subsidi listrik. Jika subsidi BBM diberikan pada konsumen agar dapat
menjangkau komoditas dengan harga terjangkau, subsidi listrik diberikan kepada
produsen dalam hal ini PLN agar dapat memproduksi listrik pada kuantitas yang
23

lebih banyak dengan harga relatif sama. Subsidi listrik diberikan pada sambungan
tegangan rendah di kelas <1000V pada perumahan, bisnis, dan industri.

400000
Miliar Rupiah

200000

0 1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2014 (Diolah)
Gambar 9 Pergerakan jumlah realisasi anggaran subsidi energi 1986-2014

Setiap tahunnya permintaan dan kebutuhan masyarakat akan bahan bakar


dan tenaga listrik semakin tinggi karena beberapa faktor diantaranya,
pertumbuhan populasi yang pesat, perubahan gaya hidup, serta program
pemerintah dan PLN untuk meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Tetapi
pertumbuhan konsumsi tersebut tidak disertai dengan peningkatan produksi energi
nasional. Sejak tahun 2004 Indonesia resmi keluar dari keanggotaan OPEC
sebagai negara eksporter minyak dan beralih menjadi negara importir miyak.
Anggaran subsidi energi pemerintah kemudian semakin membengkak karena
harus menyesuaikan dengan ketentuan harga minyak di dalam negeri yang rentan
dipengaruhi oleh fluktuatif harga minyak dunia.
Kenaikan cukup drastis yang terjadi pada tahun 2008 dimana subsidi
pemerintah untuk BBM mencapai Rp 139,106 miliar adalah hasil dari kenaikan
harga minyak pada tahun yang sama menjadi 99,75 US dollar per barrel, sehingga
pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang lebih banyak untuk
menyeimbangkan harga BBM di dalam negeri

Hasil Penelitian

Hasil Uji Praestimasi


Tahap pengujian pra estimasi data meliputi uji akar unit (unit root test),
pengujian stabilitas VAR, dan pengujian lag optimal. Hasil pengujian akar unit
dengan menggunakan uji ADF menunjukan bahwa variabel-variabel yang
digunakan pada penelitian ini tidak seluruhnya stasioner pada tingkat level, hanya
variabel Pertumbuhan Ekonomi (GR) yang stasioner pada tingkat level dengan
taraf nyata signifikan 5% (lihat Lampiran 2). Selanjutnya untuk variabel
Konsumsi Energi Rumah Tangga (KRT), Konsumsi Energi Industri (KI), Subsidi
Energi (SB), dan Harga Minyak Mentah (OIL) dilakukan uji akar unit pada
tingkat first difference dan hasil menunjukan bahwa variabel stasioner di tingkat
first difference pada taraf nyata 1%, 5% dan 10% (lihat Lampiran 3).
Pada uji stabilitas VAR, mempunyai modulus yang lebih kecil dari satu
dan semuanya berada pada unit circle yang menunjukan bahwa model telah stabil
sehingga Impulse Response Function dan Forecast Error Variance
Decomposition dianggap valid. Selanjutnya penentuan lag optimum yang
didasarkan pada nilai Schwarz Information Criterion (SIC) minimum menujukan
model akan optimum pada lag 1. Selang optimum tersebut kemudian digunakan
pada tahap berikutnya yaitu uji kointegrasi atau Johansen Cointegration test yang
mengindikasi adanya hubugan kointegrasi pada model penelitian (lihat Lampiran
24

7), maka dapat dikatakan terjadi keseimbangan pada jangka panjang sehingga
VECM dipilih sebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian.

Hubungan Sebab Akibat antar Variabel


Metode uji Granger digunakan untuk melihat hubungan sebab akibat antar
variabel dengan beberapa variabel lainnya yang diduga sebagai faktor yang
memengaruhinya. Berdasarkan hasil uji Granger seperti pada Lampiran 6, jika
variabel tersebut memiliki nilai probabilitas yang lebih kecil dari critical value
lima persen maka dinyatakan memiliki hubungan kausalitas. Terdapat hubungan
kausalitas satu arah yang terjadi antara variabel harga minyak mentah dengan
konsumsi energi industri. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa konsumsi tentunya
akan dipengaruhi oleh harga dimana minyak mentah adalah salah satu bahan
bakar utama sektor industri. Selain itu variabel subsidi energi juga memengaruhi
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa jumlah
anggaran subsidi energi melampaui rata-rata 30 persen pada anggaran APBN
selama 10 tahun terakhir.

Faktor – Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi


Untuk melihat variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada
jangka pendek dan jangka panjang, digunakan analisis VECM. Berdasarkan hasil
estimasi VECM, diketahui bahwa pada jangka pendek ada beberapa variabel yang
siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada lag 1, yaitu konsumsi energi
rumah tangga, konsumsi energi industri dan subsidi energi sedangkan variabel
lainnya tidak signifikan (Tabel 4). Dari model juga terlihat bahwa dugaan
parameter error correction (variabel Cointeq1) yang signifikan membuktikan
adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Besaran
penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yaitu sebesar -0,63 persen.
Tabel 4 Hasil Estimasi VECM pada model pertumbuhan
Jangka Pendek
Variabel Koefisien t-Statistik
CointEq1 -0,638214 -2,36889
D(GR(-1)) -0,128994 -0,53392
D(LNKRT(-1)) -7,788644 -2,25865
D(LNKI(-1)) 6,473718 3,0051
D(LNSB(-1)) -1,548195 -1,77499
D(LOIL(-1)) 2,672323 0,81237
Jangka Panjang
Variabel Koefisien t-Statistik
GR(-1) -1.000000
LNKRT(-1) 0,245247 -0,11211
LNKI(-1) -0,713482 0,29046
LNSB(-1) -1,841743 4,10909
LOIL(-1) 5,030793 -3,86306
C 12,32654 -0,93038
Ket: cetak tebal signifikan pada taraf 5%
Nilai t-ADF untuk nilai kritis sepuluh persen sama dengan 1,96
25

Pada jangka pendek, terdapat dua variabel yang siginifkan pengaruhnya


terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi energi rumah tangga, konsumsi
energi industri. Hasil estimasi menunjukan jika terdapat kenaikan konsumsi energi
pada sektor industri sebesar satu persen pada 1 tahun sebelumnya, maka kenaikan
atau percepatan pertumbuhan ekonomi akan bertambah sebesar 6,47 satuan pada
tahun sekarang. Hasil penelitian ini mengindikasi hubungan positif antara
konsumsi energi di sektor industri dengan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut
terjadi karena energi adalah input utama bagi aktivitas sektor industri dalam
menghasilkan barang dan jasa. Semakin tinggi produktivitas sebuah industri,
maka akan semakin mendorong kinerja perekonomian sebuah negara.
Hasil estimasi untuk kenaikan konsumsi energi rumah tangga menunjukan
hubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia ditunjukan dengan
kenaikan konsumsi energi rumah tangga sebesar satu persen pada 1 tahun
sebelumnya, akan menurunkan percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun sekarang sebesar 7,78 satuan. Nuryanti (2007) menyatakan kelompok
rumah tangga kaya mendominasi konsumsi energi komersial bersubsidi terkait
dengan alasan kepraktisan dan gaya hidup. Sedangkan kelompok rumah tangga
miskin mengkonsumsi energi komersial bersubsidi dalam porsi yang relatif kecil.
Hal ini menunjukan konsumsi energi pada sektor rumah tangga masih mengalami
disparitas atau ketidakmerataan dan tujuan dari subsidi energi tidak tercapai.
Disisi lain, pengeluaran pemerintah untuk subsidi energi selama 10 tahun terakhir
mencapai 80 persen dari alokasi subsidi keseluruhan (tabel 1). Kondisi yang
disebabkan oleh sektor rumah tangga yang bersifat konsumtif tidak akan
membantu mendorong perekonomian.
Pada jangka panjang ada dua variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu subsidi energi dan harga minyak mentah.
Harga minyak mentah berpengaruh positif sedangkan subsidi energi memiliki
pengaruh negatif. Ketika terjadi kenaikan sebesar satu persen harga minyak
mentah, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomin sebesar 5,03 persen.
Hal ini sesuai dengan hukum permintaan dimana kenaikan harga energi akan
menyebabkan permintaan terhadap energi turun kemudian menyebabkan
penurunan intensitas energi. Oseni (2011) menyatakan harga energi adalah salah
satu faktor kunci yang mempengaruhi indeks intensitas energi. Nilai intensitas
menyatakan besar konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memperoleh satu
satuan PDB. Konsep ini dapat menunjukan seberapa besar kemampuan negara
dalam mengelola energi secara efektif untuk menghasilkan satu satuan PDB.
Rasio yang semakin kecil menunjukan sebuah negara semakin baik dalam
mengelola energi dalam proses produksinya. Dengan tingginya harga energi akan
meningkatkan biaya produksi sehingga produsen akan berinovasi dengan sumber
energi alternatif yang lebih hemat untuk digunakan. Produktivitas yang semakin
efisien dan hemat akan memberikan dampak positif bagi perekonomian sebuah
negara.
Selanjutnya, adanya kenaikan subsidi energi sebesar satu persen akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,84 persen. Hal ini sedikit bertolak
belakang dengan fungsi penawaran dimana kebijakan subsidi pada keseimbangan
pasar seharusnya mendorong permintaan konsumen yang lebih tinggi karena
harga yang lebih murah sehingga jumlah produksi bertambah dan mampu
mendorong perekonomian.
26

Respon Pertumbuhan Ekonomi terhadap Guncangan (Shock)


Melalui analisis Impulse Response Function (IRF), kita dapat melihat
respons suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock) baik dari variabel itu
sendiri maupun variabel lain, serta pengaruh guncangan pada periode tertentu atau
di masa yang akan datang. Pada simulasi kali ini waktu yang akan diproyeksikan
adalah 28 tahun ke depan seperti pada gambar di bawah ini.
Response of GR to GR Response of GR to LNKI
4
4

3 3

2 2

1 1

0 0

-1 -1

-2 -2
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Response of GR to LNKRT Response of GR to LNSB


4 4

3 3

2 2

1 1

0 0

-1 -1

-2 -2
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Response of GR to LOIL
4

-1

-2
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Keterangan
GR : Pertumbuhan ekonomi Indonesia LNKRT : Konsumsi energi rumah tangga
LNKI : Konsumsi energi industry LNOIL : Harga minyak mentah
LNSB : Realisasi subsidi energi pada APBN
Gambar 10 Impulse Response Function (IRF) pertumbuhan ekonomi Indonesia
27

Pada Gambar 10 menunjukan bahwa jika setiap terjadi guncangan (shock)


pada masing-masing variabel akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia mengalami perubahan. Pada analisis IRF, peneliti akan menjelaskan
variabel-variabel yang memiliki hubungan signifikan dalam jangka panjang
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan model VECM yaitu
subsidi energi dan harga minyak mentah Indonesia.
Guncangan pada alokasi subsidi energi yang diberikan oleh pemerintah
direspon negarif oleh pertumbuhan ekonomi tetapi kemudian cenderung akan
stabil pada jangka panjang. Pada periode ke-2 atau tahun ke-2 merupakan periode
yang memiliki respon paling tinggi yaitu mencapai -0,85 persen. Setelah itu
respon dari pertumbuhan ekonomi akan cenderung stabil pada level -0,29 persen.
Sedangkan shock atau guncangan pada harga minyak mentah direspon positif oleh
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ke-2 sebanyak 0,84 persen. Namun
pada tahun ke-3 dan selanjutnya akan semakin berkurang dan stabil pada level
0,65 persen.
Untuk keseluruhan hasil analisis IRF dapat disimpulkan bahwa respon
terbesar diantara seluruh variabel berasal dari guncangan pertumbuhan ekonomi
itu sendiri sebesar 3,36 persen pada tahun pertama dan mengalami penurunan
pada periode selanjutnya. Pada ramalan lima periode awal, konsumsi energi di
sektor rumah tangga yang memberikan pengaruh terbesar untuk pertumbuhan
ekonomi. Sementara pada periode selanjutnya shock dari harga minyak dan
konsumsi energi di sektor industri yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Konstribusi Variabel dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi


Hasil simulasi Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) pada
Gambar 11 menunjukan pada periode awal variabel yang berkontribusi paling
dominan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi
itu sendiri, dengan kontribusi sebesar 74,47 persen. Kontribusinya sedikit
berkurang hingga akhir periode menjadi 73 persen. Kontribusi konsumsi energi
pada sektor rumah tangga awalnya cukup besar dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, yaitu sebesar 10,42 persen di tahun ke-2 kemudian turun
pada akhir periode menjadi 3,83 persen. Nilai kontribusi subsidi energi dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tahun ke-2 sebesar 2,89 persen juga
semakin berkurang hingga akhir periode yang mencapai 2,13 persen. Sedangkan
kontribusi harga minyak dan konsumsi energi pada sektor industri yang pada awal
periode memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing
sebesar 2,80 persen dan 9,38 persen terus mengalami peningkatan hingga akhir
periode mencapai 9,48 persen dan 10,75 persen. Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Kartiasih (2012) juga menunjukan pengaruh harga energi terhadap
konsumsi energi perkapita yang cenderung meningkat.
28

Variance Dec om pos ition of GR


105

100

95

90

85

80

75

70
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

GR LNKI LNKRT
LNSB LOIL

Gambar 11 Hasil analisis FEVD pertumbuhan ekonomi Indonesia

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa


kesimpulan dari penelitian ini, yaitu :
1. Kondisi umum pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak cukup fluktuatif
pada kisaran 5 sampai 9 persen sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997.
Krisis tersebut menyebabkan resesi hebat selama 3 periode, setelah itu
perlahan perekonomian Indonesia kembali pulih dan mempertahan laju
pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5 sampai 6 persen. Konsumsi energi
sektor rumah tangga dan konsumsi energi sektor industri dalam jangka waktu
penelitian mengalami fluktuasi dengan kecendrungan kenaikan yang lambat.
Realisasi anggaran subsidi energi mengalami kenaikan pesat pada tahun 1998
akibat penambahan subsidi listrik dengan trend yang terus meningkat seiring
dengan trend positif dari harga minyak mentah dunia.
2. Hasil estimasi Vector Error Correction (VECM) pada jangka pendek
menunjukan variabel konsumsi energi sektor rumah tangga berpengaruh
negatif dan variabel konsumsi energi sektor industri berpengaruh postitif
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan pada jangka panjang
variabel subsidi energi berpengaruh negatif dan harga minyak mentah
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
3. Hasil Impulse Response Function (IRF) menunjukan respon terbesar ketika
masing masing variabel diberi shock, berasal dari guncangan pertumbuhan
ekonomi itu sendiri.
4. Hasil Forecast Error Variance Decompotition (FEVD) menunjukan variabel
yang berkontribusi paling dominan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi
adalah pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Variabel lain seperti konsumsi
energi sektor industri dan harga minyak juga memiliki kontribusi dalam
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan konsumsi rumah tangga dan anggaran
subsidi energi memberikan kontribusi yang lebih kecil dalam pertumbuhan
ekonomi
29

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang


dapat diajukan, diantaranya :
1. Konsumsi energi memiliki peran vital sebagai pendorong kegiatan di berbagai
sektor-sektor perekonomian, termasuk sektor rumah tangga dan sektor
industri. Oleh karena itu peran pemerintah diperlukan untuk menjaga
ketersediaan energi, salah satunya dengan memaksimalkan fungsi lumbung
minyak domestik untuk sektor-sektor pembangunan nasional dan
mengendalikan impor migas.
2. Subsidi energi diperlukan untuk membantu mensejahterakan rakyat kecil.
Tetapi jika komposisinya sudah melampaui subsidi non-energi maka akan
berdampak negatif bagi pertumbuhan Indonesia pada jangka panjang
sebagaimana hasil analisis. Maka dari itu pemerintah perlu mematok target
subsidi secara konsisten dan mulai mengembangkan energi alternatif non
BBM atau sumber energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan
masyarakat pada pemakaian bahan bakar minyak dan melindungi anggaran
negara.
3. Hasil analisis menunjukan konsumsi energi sektor industri lebih berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan konsumsi
energi sektor rumah tangga. Oleh sebab itu pemerintah disarankan lebih
mengutamakan kebijakan efisiensi harga bahan bakar bagi sektor industri,
baik dari tingkat besar sampai rumah tangga.
4. Saran untuk penelitian selanjutnya agar dapat meneliti tentang efektifitas
kebijakan subsidi energi yang selama ini diterapkan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Aprilta F. 2011. Analisis Dampak Fuktuasi Harga Minyak Dunia terhadap
Variabel Makroekonomi dan Kebijakan Subsidi Indonesia Periode 1980-
2010 [Skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor
Basalim U, Alim M, Oesman H. 2000. Perekonomian Indonesia : Krisis dan
Strategi Alteratif. Jakarta (ID) : Pustaka Cidesindo-UNAS
Binh PT. 2011. Energy Consumption and Economic Growth in Vietnam:
Threshold Cointegration and Causal Analysis. International Journal of
Energy Economics and Policy. 1(1):1-17
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Neraca Energi Indonesia. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik
Bernt ER, Wood DO. 1975. Technology, Prices and The Derived Demand for
Energy. Review of Economics and Statistics. 57:259-268
Dartanto, T. 2012. Reducing Fuel Subsidies and the Implication on Fiscal
Balance and Poverty in Indonesia. Indonesia(ID): Universitas Indonesia.
2(6)
Dritsaki M, Dristaki C. 2014. Causal Relationship between Energy Consumption,
Economic Growth and CO2 Emissions. International Journal of Energy
Economics and Policy. 4(2):125-136
30

Du L, Yanan H, Wei C. 2010. The Relationship between Oil Price Shocks and
China’s Macro-Economy: An Empirical Analysis. Energy Policy.
28(2010): 4142-4151
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor (ID) : IPB Press
Gie K.K. 2004.Apakah Subsidi BBM Sama dengan Uang Keluar.Bisnis Indonesia
[Internet]. [diunduh 2015 Januari]. Tersedia pada: www.bisnis.com
Glomm G, Jung J. 2010. A Macroeconomic Analysis of the Fiscal System in
Egypt. Maryland (US):Towson University. 2010(17)
Iyke DN. 2014. Electricity Consumption, Inflation and Economic Growth in
Nigeria. Pretoria (ZA): UNISA. MPRA 57818(8)
Kartiasih F. 2012. Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia [Tesis].
Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
[KEMENKEU] Kementerian Keuangan Republik Indonesia . 2014. Nota
Keuangan dan Rancangan APBN. [Internet]. [diunduh 2015 Februari].
Tersedia pada: http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-
view.asp?id=958
_______ Kementerian Keuangan Republik Indonesia . 2007. Peraturan Menteri
Keuangan NOMOR111/PMK.02/2007. [Internet]. [diunduh 2015
Februari]. Tersedia pada: http://www.anggaran.depkeu.go.id
/peraturan/PMK%20170%202013.pdf.
[KESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2013. Indonesia
Energy Outlook 2013. [Internet]. [diunduh 2015 Februari]. Tersedia pada:
http://kip.esdm.go.id/pusdatin/index.php/data-informasi/data-statistik
/publikasi/indonesia-energy-outlook
_______ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2014. Indonesia Energy
Outlook 2014. [Internet]. [diunduh 2015 Februari]. Tersedia pada:
http://kip.esdm.go.id/pusdatin/index.php/data-informasi/data-statistik
/publikasi/indonesia-energy-outlook
_______ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.2014. Harga Minyak
Mentah Indonesia (ICP) 1986-2014 [Internet]. [diunduh 2015 Februari]
Tersedia pada: http://www.esdm.go.id/publikasi/harga-energi/harga-
minyak-mentah-indonesia-icp.html
_______ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2014. Realisasi Subsidi
Energi [Internet]. [diunduh 2015 Februari]. Diajukan melalui e-mail
Mankiw NG. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Liza F, Nurmawan J,
penerjemah : Hardini W, Barnadi D. Saat S, editor. Jakarta (ID) : Penerbit
Erlangga
Moor. 2001. Towards a Grand Deal on Subsidies and Climate Change. Natural
Resources Forum. JNRF:25(2)
Mourougane A. 2010. Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia. OECD
Economics Departement Working Paper. ECO/WKP(2010)64
Mundaca G. 2015. Energy Subsidies, Public Investment and Endogenous Growth.
[Internet]. [diunduh 2016 Februari] Tersedia pada; http://mpra.ub.uni-
muenchen.de/65741/
Nugroho H. 2012. Energi dalam Pembangunan.Bogor (ID) : IPB Press
Nuryanti, Herdinie S. 2007. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi pada Sektor
Rumah Tangga di Indonesia (Jurnal). Jakarta [ID] : PPEN BATAN
31

Oseni M. 2011. Analysis of Energy Intensity and Its Determinants in 16 OECD


Countries. Energy and Development, (13):101-104
Pamuji T. 2008. Analisis Dampak Defisit Anggaran terhadap Ekonomi Makro di
Indonesia. Indonesia (IN): Universitas Diponegoro
Patrick A, Echekoba FN. 2015. Inflation and Growth in Developing Countries:
The Nigeria Experience. IOSR Journal of Business and Management.
17(2):95-109
Razzaqi S, Sherbaz S. 2012. Dynamic Relationship between Energy dan
Economic Growth. The Pakistan Development Review. 50(4):437-458
Roubini N, Brad S. 2004. The Effect of Recent Oil Price Shock on the US and
Global Economy.[Internet]. [diunduh 2015 Juni]. Tersedia pada:
http://people.stern.nyu.edu/nroubini/papers/Roubini-Setser-US-External-
Imbalances.pdf
Sadono, Sukirno. 1995. Pengantar Teori Ekonomi Mikro Edisi kedua. Jakarta. PT.
Karya Grafindo Persada
Stern D. 2003. Economic Growth and Energy. [Internet]. [diunduh 2016
Februari]. Tersedia pada: http://sterndavidi.com/Publications/Growth.pdf
Stern D, Cleveland CJ. 2004. Energy and Economic Growth. Internet]. [diunduh
2016 Februari]. Tersedia pada:
http://www.rpi.edu/dept/economics/www/workingpapers/
Souhila C, Kourbali B. 2012. Energy Consumption and Economic Growth in
Algeria : Cointegration and Causal Analysis. International Journal of
Energy Economics and Policy. 2(4):238-249
Susylawaty I. 2013.Analisis Pengaruh Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) terhadap Kemiskinan di Indonesia.[Skripsi]. Bogor (ID) :Institut
Pertanian Bogor
[TSP] The Shift Project. 2014. www.tsp-dataportal.org
[WDI] World Development Index. 2014. www.worldbank.org
Yazdani M, Faaltofighi M. 2013. Causal Relationship between Economic Growth
and Energy Consumption in Energy Exporting and Importing Countries.
Australian Journal Basic & Applied Sience. 7(4):500
32

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi rumah tangga,


konsumsi energi industri, subsidi energi, dan harga minyak

Pertumbuhan Subsidi Konsumsi Rumah Konsumsi


Harga Minyak
Ekonomi Energi Tangga Industri
Tahun
(Miliar (Dollar per
(%) (Terajoule) (Terajoule)
Rupiah) Barel)
1986 6 550 371628 204959 26.05
1987 5.3 602 385247 209275 19.15
1988 6.4 582 398299 222085 18.96
1989 9.1 1224.2 413303 236051 20.58
1990 9 3415 422370 237237 24.50
1991 8.9 930 1114911 447610 21.50
1992 7.2 692 1152739 593802 20.58
1993 7.3 1280 1210427 581004 18.48
1994 7.5 687 1253230 632027 17.19
1995 8.4 1145 1285866 637389 28.40
1996 7.6 1416 1294115 839691 22.03
1997 4.7 9814 1338950 423296 20.61
1998 -13.1 30537 1426001 969267 10.40
1999 0.8 5480 1501987 916494 19.30
2000 4.9 57739.6 1499893 1071052 20.26
2001 3.6 73001 1493000 1038503 25.95
2002 4.5 35262 1083990 1232404 26.15
2003 4.8 33398 1091726 1347351 30.99
2004 5 72335 1077414 1310831 41.47
2005 5.7 106238.5 1151529 2891779 56.70
2006 5.5 98112.1 884142 1170204 66.25
2007 6.3 121272.3 1011731 1744698 72.41
2008 6 217686.7 1021691 1465915 99.75
2009 4.6 98759.4 1084298 1884299 62.09
2010 6.2 140461.4 1418082 1891620 79.61
2011 6.5 258341.34 1417567 2266533 111.55
2012 6.3 315225.71 1472812 2170361 112.73
2013 5.8 311210 1248173 1801342 105.84
2014 5.02 348300 1488910 1078484 96.51
33

Lampiran 2 Hasil Uji Akar unit pada Level


Null Hypothesis: GR has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.483747 0.0162


Test critical values: 1% level -3.689194
5% level -2.971853
10% level -2.625121

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: LNKI has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.763090 0.2214


Test critical values: 1% level -4.323979
5% level -3.580623
10% level -3.225334

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: LNKRT has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.972325 0.5905


Test critical values: 1% level -4.323979
5% level -3.580623
10% level -3.225334

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: LNSB has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.219776 0.1010


Test critical values: 1% level -4.323979
5% level -3.580623
10% level -3.225334

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: LOIL has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)
34

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.560628 0.2993


Test critical values: 1% level -4.323979
5% level -3.580623
10% level -3.225334

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Lampiran 3 Hasil Uji Akar pada First Difference


Null Hypothesis: D(LNKI) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.227933 0.0000


Test critical values: 1% level -4.339330
5% level -3.587527
10% level -3.229230

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(LNKRT) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.402879 0.0009


Test critical values: 1% level -4.339330
5% level -3.587527
10% level -3.229230

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(LNSB) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.864440 0.0003


Test critical values: 1% level -4.356068
5% level -3.595026
10% level -3.233456

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=6)

t-Statistic Prob.*
35

Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.533722 0.0001


Test critical values: 1% level -4.339330
5% level -3.587527
10% level -3.229230

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Lampiran 4 Hasil Uji Lag Optimum


VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: GR LNKRT LNKI LNSB LOIL
Exogenous variables: C
Date: 03/05/16 Time: 19:37
Sample: 1986 2014
Included observations: 26

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -144.3742 NA 0.067281 11.49032 11.73227 11.55999


1 -74.69558 107.1979* 0.002257 8.053507 9.505156* 8.471529
2 -42.34627 37.32613 0.001633* 7.488175 10.14953 8.254550*
3 -17.11749 19.40676 0.003355 7.470576* 11.34164 8.585303

* indicates lag order selected by the criterion


LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion

Lampiran 5 Hasil Uji Stabilitas VAR


Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: GR LNKRT LNKI LNSB LOIL
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 03/05/16 Time: 19:38

Root Modulus

0.928156 0.928156
0.768693 0.768693
0.613303 0.613303
0.147432 - 0.131382i 0.197478
0.147432 + 0.131382i 0.197478

No root lies outside the unit circle.


VAR satisfies the stability condition.

Lampiran 6 Hasil Uji Kausalitas Granger


Pairwise Granger Causality Tests
Date: 07/18/16 Time: 09:49
Sample: 1986 2014
Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

LNKI does not Granger Cause GR 27 2.83037 0.0806


GR does not Granger Cause LNKI 0.55482 0.5820
36

LNKRT does not Granger Cause GR 27 1.19382 0.3219


GR does not Granger Cause LNKRT 0.18760 0.8303

LNSB does not Granger Cause GR 27 2.42266 0.1120


GR does not Granger Cause LNSB 6.17970 0.0074

LOIL does not Granger Cause GR 27 0.01476 0.9854


GR does not Granger Cause LOIL 1.86724 0.1782

LNKRT does not Granger Cause LNKI 27 1.59618 0.2253


LNKI does not Granger Cause LNKRT 0.24272 0.7866

LNSB does not Granger Cause LNKI 27 0.81321 0.4563


LNKI does not Granger Cause LNSB 3.48163 0.0486

LOIL does not Granger Cause LNKI 27 0.51202 0.6063


LNKI does not Granger Cause LOIL 4.67528 0.0203

LNSB does not Granger Cause LNKRT 27 0.12328 0.8846


LNKRT does not Granger Cause LNSB 0.89743 0.4220

LOIL does not Granger Cause LNKRT 27 0.13993 0.8702


LNKRT does not Granger Cause LOIL 0.10098 0.9044

LOIL does not Granger Cause LNSB 27 1.15089 0.3347


LNSB does not Granger Cause LOIL 3.12730 0.0638

Lampiran 7 Hasil Uji Kointegrasi


Date: 03/05/16 Time: 19:38
Sample (adjusted): 1988 2014
Included observations: 27 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant)
Series: GR LNKRT LNKI LNSB LOIL
Lags interval (in first differences): 1 to 1

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05


No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.710185 77.43604 76.97277 0.0461


At most 1 0.451816 43.99625 54.07904 0.2880
At most 2 0.382099 27.76535 35.19275 0.2519
At most 3 0.273070 14.76683 20.26184 0.2400
At most 4 0.203872 6.155862 9.164546 0.1790

Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05


No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.710185 33.43980 34.80587 0.0721


At most 1 0.451816 16.23090 28.58808 0.7242
At most 2 0.382099 12.99851 22.29962 0.5569
37

At most 3 0.273070 8.610969 15.89210 0.4766


At most 4 0.203872 6.155862 9.164546 0.1790

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Lampiran 8 Hasil Estimasi Jangka Panjang VECM


Vector Error Correction Estimates
Date: 03/05/16 Time: 19:39
Sample (adjusted): 1988 2014
Included observations: 27 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

Cointegrating Eq: CointEq1

GR(-1) 1.000000

LNKRT(-1) -0.245247
(2.18764)
[-0.11211]

LNKI(-1) 0.713482
(2.45638)
[ 0.29046]

LNSB(-1) 1.841743
(0.44821)
[ 4.10909]

LOIL(-1) -5.030793
(1.30228)
[-3.86306]

C -12.32654
(13.2489)
[-0.93038]

Error Correction: D(GR) D(LNKRT) D(LNKI) D(LNSB) D(LOIL)

CointEq1 -0.638214 -0.009148 -0.025535 -0.098000 -0.007237


(0.26941) (0.01921) (0.02449) (0.05889) (0.02064)
[-2.36889] [-0.47624] [-1.04252] [-1.66400] [-0.35064]

D(GR(-1)) -0.128994 0.006514 -0.018170 0.184235 0.004353


(0.24160) (0.01722) (0.02197) (0.05281) (0.01851)
[-0.53392] [ 0.37816] [-0.82724] [ 3.48841] [ 0.23520]

D(LNKRT(-1)) -7.788644 0.082858 0.813141 -0.025039 -0.337782


(3.44836) (0.24585) (0.31351) (0.75382) (0.26416)
[-2.25865] [ 0.33702] [ 2.59367] [-0.03322] [-1.27871]

D(LNKI(-1)) 6.473718 -0.098096 -0.750387 -0.059717 0.460799


(2.15425) (0.15359) (0.19585) (0.47092) (0.16502)
[ 3.00510] [-0.63870] [-3.83134] [-0.12681] [ 2.79232]

D(LNSB(-1)) -1.548195 0.053051 0.072727 0.152414 -0.020681


(0.87223) (0.06219) (0.07930) (0.19067) (0.06682)
[-1.77499] [ 0.85311] [ 0.91713] [ 0.79936] [-0.30953]
38

D(LOIL(-1)) 2.672323 -0.119148 0.391720 -0.691927 -0.081917


(3.28953) (0.23453) (0.29907) (0.71909) (0.25199)
[ 0.81237] [-0.50803] [ 1.30980] [-0.96222] [-0.32508]

R-squared 0.573471 0.010268 0.472419 0.413894 0.291643


Adj. R-squared 0.471916 -0.225382 0.346805 0.274345 0.122986
Sum sq. resids 237.8223 1.208864 1.965758 11.36469 1.395574
S.E. equation 3.365245 0.239927 0.305953 0.735647 0.257790
F-statistic 5.646919 0.043573 3.760868 2.965936 1.729210
Log likelihood -67.68311 3.621763 -2.941893 -26.62945 1.682828
Akaike AIC 5.458008 0.176166 0.662362 2.416996 0.319791
Schwarz SC 5.745972 0.464129 0.950326 2.704960 0.607754
Mean dependent -0.010370 0.050071 0.060728 0.235576 0.059902
S.D. dependent 4.630897 0.216742 0.378559 0.863583 0.275273

Determinant resid covariance (dof adj.) 0.000370


Determinant resid covariance 0.000105
Log likelihood -67.91781
Akaike information criterion 7.697616
Schwarz criterion 9.425398

Lampiran 9 Impulse Response Function Variabel GR


Period GR LNKI LNKRT LNSB LOIL

1 3.365245 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000


2 2.758977 1.544987 -1.628456 -0.858657 0.844233
3 1.114807 0.646127 0.002389 -0.089301 1.225949
4 1.779034 0.592685 -0.040404 -0.132832 0.210527
5 2.271872 0.616558 -0.471025 -0.343517 0.682031
6 1.680666 0.939826 -0.551661 -0.417739 0.782677
7 1.566822 0.533525 -0.048738 -0.158570 0.704226
8 1.912121 0.700073 -0.347914 -0.310411 0.503222
9 1.837892 0.690978 -0.369874 -0.320234 0.747656
10 1.678110 0.733679 -0.311266 -0.298491 0.664386
11 1.765947 0.618948 -0.229921 -0.251611 0.645552
12 1.823924 0.716948 -0.358823 -0.318664 0.629786
13 1.753494 0.679767 -0.302701 -0.290048 0.698054
14 1.748301 0.691105 -0.296328 -0.288319 0.641287
15 1.786099 0.666470 -0.293954 -0.284967 0.657076
16 1.777200 0.700958 -0.325584 -0.302366 0.656022
17 1.758829 0.676916 -0.294311 -0.286101 0.668574
18 1.770732 0.686737 -0.305175 -0.291903 0.648472
19 1.775855 0.680369 -0.304689 -0.291084 0.661556
20 1.768220 0.689865 -0.309748 -0.294239 0.657640
21 1.767665 0.680069 -0.299782 -0.288857 0.660046
22 1.772288 0.686202 -0.307195 -0.292756 0.654920
23 1.770741 0.683132 -0.304698 -0.291347 0.660451
24 1.768991 0.685819 -0.305772 -0.292080 0.657302
25 1.770260 0.682648 -0.303421 -0.290730 0.658579
26 1.770894 0.685376 -0.306280 -0.292267 0.657326
27 1.769893 0.683705 -0.304483 -0.291305 0.659053
28 1.769976 0.684741 -0.305208 -0.291727 0.657565

Cholensky Ordering: GR LNKi LNKRT LNSB LNOIL


39

Lampiran 10 Variance Decomposition Variabel GR


Period S.E. GR LNKI LNKRT LNSB LOIL

1 3.365245 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000


2 5.042391 74.47907 9.388082 10.42987 2.899788 2.803185
3 5.347608 70.56575 9.806887 9.273289 2.606107 7.747969
4 5.672455 72.55111 9.807525 8.246658 2.371000 7.023709
5 6.206716 73.99669 9.178558 7.463974 2.286705 7.074071
6 6.581995 72.31926 10.20057 7.339579 2.436186 7.704401
7 6.825371 72.52346 10.09711 6.830587 2.319522 8.229319
8 7.155601 73.12469 10.14383 6.451075 2.298554 7.981850
9 7.473706 73.07972 10.15349 6.158533 2.290647 8.317610
10 7.735503 72.92299 10.37743 5.910647 2.287119 8.501815
11 7.992032 73.19922 10.32171 5.620060 2.241767 8.617242
12 8.266814 73.28178 10.39908 5.441058 2.243805 8.634278
13 8.517046 73.27766 10.43401 5.252350 2.229869 8.806115
14 8.755367 73.33007 10.49679 5.084855 2.218570 8.869719
15 8.993895 73.43586 10.49652 4.925542 2.202843 8.939236
16 9.228636 73.45601 10.54624 4.802621 2.199552 8.995574
17 9.451713 73.49234 10.56721 4.675556 2.188576 9.076317
18 9.671651 73.53985 10.59624 4.564887 2.181261 9.117765
19 9.888004 73.58241 10.61106 4.462260 2.173512 9.170757
20 10.09902 73.60520 10.63890 4.371807 2.168519 9.215576
21 10.30467 73.63919 10.65404 4.283683 2.161405 9.261689
22 10.50748 73.66888 10.67322 4.205390 2.156401 9.296104
23 10.70622 73.69467 10.68777 4.131703 2.151138 9.334718
24 10.90109 73.71688 10.70488 4.063986 2.146708 9.367541
25 11.09252 73.74145 10.71733 3.999753 2.141950 9.399513
26 11.28100 73.76213 10.73130 3.940923 2.138093 9.427558
27 11.46616 73.78170 10.74306 3.885188 2.134141 9.455907
28 11.64840 73.80004 10.75510 3.833225 2.130609 9.481023

Cholensky Ordering: GR LNKI LNKRT LNSB LNOIL


40

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 September 1992 dari ayah


Muhammad Ace Suhendar dan ibu Yulias Nuryatin Riani. Penulis merupakan
anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD
Negeri Cibuluh 1Kota Bogor, SMP Negeri 5 Kota Bogor, SMA Negeri 2 Kota
Bogor dan pada tahun 2010 mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
diterima dan melanjutkan studi di Departemen Ilmu Ekonomi, Program Studi
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi pecinta alam KAREMATA
FEM IPB sebagai Sekretaris pada periode 2012-2013 dan sebagai Ketua Divisi
Hubungan Eksternal pada periode 2013-2014. Selain aktif dalam organisasi,
penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan seperti anggota Divisi Logistik
di Trees For Green Village (TFGV) bersama HIMPRO REESA ESL pada tahun
2011 dan anggota Divisi Humas di FEM Healthy and Care pada tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai