Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

KRISIS EKONOMI
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Perekonomian Indonesia
Dosen Pengampu: Larasati Widoningtyas, M.Pd.

Disusun oleh Kelompok 4:

1. Yessy Nur Nilam Sari 126402212103


2. Amanatus Sholihah 126402212116
3. Amelita Kharismatun Nikmah 126402212122
4. Ferdian Dwi Prawira 126402212135
5. Isna Rif‘atul Laila 126402212156

SEMESTER 5
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penyusunan
makalah yang berjudul ―Krisis Ekonomi‖ dapat terselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia yang dibimbing oleh
Ibu Larasati Widoningtyas, M. Pd. Selain itu, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk menambah wawasan bagi pembaca maupun penulis.
Atas dukungan moral dan material yang diberikan dalam penyusun makalah
ini, tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor Universitas Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Bapak Dr. H. Dede Nurohman, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam.
3. Ibu Dr. Binti Nur Asiyah, M.Si. selaku Koordinator Prodi Ekonomi Syariah.
4. Ibu Larasati Widoningtyas, M.Pd. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Perekonomian Indonesia.
5. Teman-teman ES 5C.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.

Tulungagung, 17 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Jenis-Jenis Krisis Ekonomi dan Jalur Transmisi Dampaknya ......................... 3
B. Jalur Transmisi Kunci dan Indikator Monitoring Dampak Krisis ................. 16
C. Beberapa Teori alternatif ............................................................................... 20
D. Analisis Empiris ............................................................................................. 24
E. Studi Kasus .................................................................................................... 29
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 32
A. Kesimpulan .................................................................................................... 32
B. Saran .............................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Market Business News, krisis ekonomi adalah keadaan di mana
perekonomian di suatu negara mengalami penurunan secara drastis. Secara
umum, negara yang menghadapi keadaan tersebut akan mengalami penurunan
PDB (produk domestik bruto), anjloknya harga properti dan saham, serta naik
turunnya harga karena inflasi. Krisis keuangan Asia 1997-1998 berawal dari
larinya modal asing jangka pendek secara mendadak dan dalam jumlah besar
dari Thailand (dianggap sebagai pemicu utama krisis keuangan Asia 1997-
1998), dan dalam waktu yang tidak lama diikuti oleh kejadian yang sama di
sejumlah negara Asia lainnya, khususnya Indonesia, Korea Selatan dan Filipina
yang memang paling parah waktu itu.
Krisis ekonomi global 2008-2009 diawali dengan krisis perumahan atau
keuangan di AS, dan dalam hitungan beberapa bulan saja menjalar ke Jepang
dan Uni Eropa (UE) sebelum akhirnya juga mempengaruhi perekonomian
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Krisis keuangan merembet
hampir ke semua aspek perekonomian, sehingga menjelma menjadi krisis
ekonomi berkepanjangan dalam berbagai bidang. Krisis ekonomi merupakan
salah satu dimensi yng telah membawa sebagian besarrakyat masuk lebih
dalam ke suasanakehidupan yang memprihatinkan.
Dengan latar belakang kondisi seperti yang telah diuraikan, pertanyaan
paling relevan yang kemudian muncul adalah seberapa jauh krisis ini akan
mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pembahasan krisis ekonomi ini
diawali dengan jenis krisis ekonomi dan jalur transmisi dampaknya.
Selanjutnya pembahasan dilengkapi dengan jalur transmisi kunci, teori
alternative serta analisis empirisnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis krisis ekonomi dan jalur transmisi dampaknya?
2. Bagaimana jalur transmisi kunci dan indikator monitoring dampak krisis?

1
3. Bagaimana beberapa teori alternatif dalam krisis ekonomi?
4. Bagaimana analisis empiris krisis ekonomi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja jenis krisis ekonomi dan jalur transmisi
dampaknya.
2. Untuk mengetahui jalur transmisi kunci dan indikator monitoring dampak
krisis.
3. Untuk mengetahui beberapa teori alternatif dalam krisis ekonomi.
4. Untuk mengetahui analisis empiris krisis ekonomi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Krisis Ekonomi dan Jalur Transmisi Dampaknya


Krisis ekonomi adalah kondisi dimana perekonomian suatu negara
mengalami penurunan yang sangat signifikan.1 Dilihat dari proses
terjadinya, krisis ekonomi mempunyai dua sifat yang berbeda. Pertama,
krisis ekonomi yang terjadi secara mendadak atau muncul tanpa ada tanda-
tanda sebelumnya, yang umum disebut goncangan ekonomi tak terduga.
Misalnya, kenaikan harga minyak mentah yang sangat besar di pasar
internasional pada tahun 1974, yang dilakukan oleh OPEC. Kedua, krisis
ekonomi yang sifatnya tidak mendadak melainkan melewati suatu proses
akumulasi yang cukup panjang. Seperti krisis ekonomi global yang terjadi
pada periode 2008-2009.
Suatu krisis ekonomi di suatu negara atau wilayah bisa berasal dari
luar atau dari dalam negara/wilayah tersebut. Dari dalam, misalnya, suatu
penurunan produksi suatu komoditas secara mendadak. Di sektor pertanian,
misalnya, gagal panen akibat suatu perubahan cuaca yang ekstrem yang
tidak terantisipasi sebelumnya, atau karena suatu bencana alam seperti
banjir besar yang menggenangi lahan persawahan. Bersumber dari luar
adalah seperti krisis ekonomi global 2008-2009 (terkecuali bagi AS, krisis
ini berasal dari dalam), atau krisis minyak pertama pada tahun 1974 atau
kedua pada tahun 1979 bagi negara-negara pengimpor minyak.2
Krisis-krisis ekonomi yang berasal dari sumber-sumber berbeda juga
mempunyai proses-proses atau jalur-jalur transmisi dampak yang berbeda,
dan sektor-sektor ekonomi yang langsung terkena dampaknya juga berbeda.
Tergantung pada sifat dan besarnya keterkaitan-keterkaitan produksi,
konsumsi, dan investasi dari sektor-sektor tersebut dengan sisa dari ekonomi
domestik, krisis-krisis ekonomi dengan sumber-sumber berbeda pada

1
Anugrah Dwi, ―Penyebab Utama Terjadinya Krisis Ekonomi”, dalam
https://feb.umsu.ac.id/penyebab-terjadinya-krisis-ekonomi/, diakses 12 September 2023
2
Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia 1965-2018, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2018),
Hlm 50

3
akhirnya membentuk dampak total yang juga berbeda terhadap ekonomi
suatu negara. Berikut ini akan dibahas sejumlah tipe krisis ekonomi yang
mana dunia atau banyak Negara pernah mengalaminya dalam 50 tahun
belakangan ini, atau yang kemungkinan besar akan terjadi lagi di masa
mendatang:
1. Krisis produksi
Krisis produksi adalah termasuk tipe krisis ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri. Krisis tersebut bisa dalam bentuk suatu
penurunan produksi domestik secara mendadak dari sebuah (atau
sejumlah) komoditas. Biasanya dalam sektor ekonomi, sektor
pertanian yang sering mengalami krisis tipe ini, misalnya, padi/beras.
Penurunan produksi tersebut berakibat langsung pada penurunan
tingkat pendapatan riil dari para petani dan buruh tani padi.3
Di wilayah-wilayah (misalnya, provinsi-provinsi di Indonesia)
di mana produksi padi merupakan sektor ekonomi kunci, tidak hanya
dalam bentuk pangsa output di dalam pembentukan produk domestik
regional bruto (PDRB), tetapi juga sebagai sumber terbesar bagi
kesempatan kerja atau pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah
tersebut, jumlah rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan
akan sangat banyak. Ini adalah dampak langsung dari krisis tersebut.
Selanjutnya, apabila padi/beras selain dikonsumsi langsung juga
digunakan sebagai bahan baku utama oleh sektor-sektor ekonomi
lainnya, misalnya, industri-industri makanan, maka volume produksi,
kesempatan kerja dan pendaptan di sektor-sektor terkait tersebut juga
akan mengalami penurunan, dan ini merupakan suatu efek tidak
langsung dari krisis tersebut. Dan jika pemerintah di sebuah provinsi
yang mengalami penurunan produksi padi tidak melakukan impor padi
untuk mengkompensasi kekurangan beras di pasar lokal akibat
penurunan produksi tersebut (dan juga sektor-sektor lain di provinsi
tersebut yang mempunyai keterkaitan-keterkaitan produksi ke
belakang dengan subsektor padi tidak membeli padi dari provinsi-
3
Ibid., Hlm 51

4
provinsi lain), maka akan terjadi kelebihan permintaan terhadap padi
di provinsi tersebut akan melonjak tinggi yang berakir dengan laju
inflasi yang tinggi.

Gambar 1.1: Krisis Produksi Domestik dan Dampakanya terhadap


Kemiskinan

Dalam tipe krisis ini, jalur-jalur transmisi dampaknya terhadap


kemiskinan adalah perubahan-perubahan dalam harga (inflasi), jumlah
kesempatan kerja dan tingkat pendapatan. Kelompok-kelompok
masyarakat yang paling rentan terhadap tipe krisis ini adalah petani
dan keluarganya, buruh tani dan keluarganya, dan pada peringkat
berikutnya adalah para pekerja dan pemilik-pemilik usaha serta
keluarga-keluarga mereka di sektor-sektor lainnya yang terkait lewat
produksi dengan subsektor padi.4
2. Krisis Perbankan
Dampak langsung atau fase pertama dari efek dari suatu krisis
perbankan adalah kesempatan kerja dan pendapatan yang menurun di
subsektor keuangan tersebut. Pada fase kedua, krisis perbankan
merembet ke perusahaan-perusahaan yang sangat tergantung pada
sektor perbankan dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan produksi bisnis
mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa lagi mendapatkan
pinjaman dari perbankan karena subsektor keuangan tersebut sedang
mengalami kekurangan dana atau bangkrut/tutup, atau perusahaan-
perusahaan masih bisa mendapatkan kredit tetapi dengan tingkat suku
bunga pinjaman (R) yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat

4
Ibid., Hlm 52

5
perbankan dalam keadaan sehat/normal. Kenaikan suku bunga
tersebut disebabkan terutama oleh permintaan kredit dari dunia usaha
yang besar, di satu sisi, dan, di sisi lain, dana yang terkumpul dari
pihak ketiga (masyakarat) untuk disalurkan sebagai kredit usaha
terbatas.

Gambar 1.2: Krisis Perbankan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan

Rumah tangga-rumah tangga juga terkena dampaknya. Ada dua


macam dampak terhadap rumah tangga dan dua tipe kelompok rumah
tangga yang terkena dampaknya. Pertama, kelompok rumah tangga
kaya; tabungan mereka hilang karena bank-bank yang menyimpan
uang mereka bangkrut. Di banyak negara, termasuk Indonesia,
pemerintah memberikan jaminan keamanan bagi pemilik-pemilik
rekening tabungan di perbankan, tetapi hanya hingga suatu batas
(jumlah) tertentu saja. Jadi, dalam krisis perbankan seperti ini,
penabung-penabung kaya akan mengalami kerugian lebih besar
dibandingkan penabung-penabung dari kelompok berpendapatan lebih
rendah. Kedua, kelompok rumah tangga non-kaya; pengeluaran-
pengeluaran mereka terutama untuk barang-barang bukan kebutuhan
pokok (seperti rumah, mobil, naik haji) menurun karena mereka tidak
bisa lagi meminjam dari bank, atau masih tetap bisa mendapatkan
kredit konsumen namun dengan tingkat bunga pinjaman yang sangat
tinggi yang membuat biaya pinjaman menjadi terlalu mahal.5
Dalam tipe krisis ekonomi ini, jalur-jalur transmisi paling utama
lewat mana krisis tersebut berdampak pada tingkat kemiskinan adalah
5
Ibid., Hlm 53

6
perubahan-perubahan dalam arus kredit dari perbankan ke dunia usaha
dan/atau tingkat suku bunga pinjaman, volume produksi (output),
jumlah kesempatan kerja, dan tingkat pendapatan masyarakat.
Kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap krisis
ini adalah bukan masyarakat miskin seperti dalam kasus krisis
produksi pertanian yang telah dibahas sebelumnya, melainkan
masyarakat kelas menengah dan atas seperti pegawai dan pemilik
bank. Tergantung pada sektor-sektor ekonomi apa (pertanian atau
industri manufaktur atau lainnya) yang paling tergantung pada
perbankan untuk pendanaan atau jasa perbankan lainnya, kelompok-
kelompok yang rentan berikutnya bisa masyarakat miskin (terutama
jika pertanian adalah sektor ekonomi yang paling tergantung pada
kredit perbankan untuk kegiatan produksinya), atau semua kelompok
pendapatan (dalam proporsi yang sama atau bervariasi menurut
kelompok) yakni pekerja dan pemilik perusahaan-perusahaan di
berbagai industri (seperti makanan dan minuman, tekstil dan pakaian
jadi, sepatu, meubel, kendaraan bermotor, elektronik, mesin, dan
lainnya) jika perusahaan-perusahaan tersebut lebih tergantung pada
pinjaman bank daripada dana masyarakat yang dihimpun lewat pasar
modal.6
3. Krisis Nilai Tukar
Suatu perubahan kurs dari sebuah mata uang (misalnya, rupiah)
terhadap misalnya, dolar AS dianggap krisis apabila kurs dari mata
uang tersebut mengalami penurunan atau depresiasi yang sangat besar
yang prosesnya mendadak atau berlangsung terus-menerus yang
membentuk sebuah tren yang meningkat (rupiah mengenai per satu
dolar AS). Dampak langsung dari perubahan tersebut adalah pada
ekspor dan impor. Paling tidak, menurut teori konvensional
perdagangan internasional, depresiasi nilai tukar dari suatu mata uang
terhadap misalnya dolar AS akan membuat daya saing harga (dalam
dolar AS) dari produk- produk buatan negara dari mata uang tersebut

6
Ibid., Hlm 54

7
membaik yang selanjutnya membuat volume ekspornya meningkat.
Tentu teori ini didasarkan pada asumsi bahwa faktor faktor lain yang
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung volume
ekspor konstan tidak berubah. Berikut, kenaikan volume ekspor
menambah volume produksi dan meningkatkan jumlah kesempatan
kerja di perusahaan-perusahaan eksportir. Jika perusahaan-perusahaan
tersebut mempunyai keterkaitan-keterkaitan produksi ke belakang
yang kuat dengan perusahaan-perusahaan di sektor-sektor hulu, seperti
perusahaan-perusahaan pemasok bahan baku, barang-barang setengah
jadi, dan barang-barang modal dan pembantu, maupun keterkaitan
produksi ke depan dengan perusahaan-perusahaan di sektor-sektor
hilir seperti transportasi komunikasi, distributor, dan jasa pemasaran,
maka kenaikan volume ekspor tidak hanya meningkatkan pendapatan
di kelompok perusahaan eksportir, tetapi juga perusahaan-perusahaan
hulu dan hilir tersebut. Namun demikian, peningkatan volume ekspor
sebagai respons langsung terhadap harga jual yang semakin kompetitif
di pasar dunia tentu sangat tergantung pada banyak hal di dalam
negeri, terutama kapasitas produksi, serta ketersediaan bahan baku
sumber daya manusia (SDM), modal infrastruktur, dan input-input
lainnya.7

Gambar 1.3: Krisis Nilai Tukar dan Dampaknya terhadap Kemiskinan

7
Ibid., Hlm 55

8
Di sisi impor, akibat kurs mata uang nasional melemah, maka
harga-harga dalam rupiah di pasar dalam negeri dan produk-produk
impor akan naik, yang bahkan bisa mengakibatkan meningkatnya laju
inflasi di Indonesia. Besar pengaruhnya terhadap laju inflasi sangat
tergantung pada jenis produk yang paling banyak diimpor (apakah
barang-barang kebutuhan pokok atau bahan baku) dan keterkaitan
antara barang-barang yang diimpor dengan kegiatan-kegiatan produksi
di dalam negeri. Sebagai suatu respons langsung dari kenaikan harga
tersebut, ada dua kemungkinan Skenario. Pertama, volume impor
menurun, dan apabila barang impor tersebut adalah bahan baku atau
kebutuhan lainnya untuk kegiatan produksi domestik, maka produksi
di dalam negeri juga akan berkurang (terkecuali apabila bisa
dilakukan substitusi dengan bahan baku buatan dalam negeri), yang
berakibat selanjutnya pada peningkatan jumlah pengangguran dan
tingkat kemiskinan di dalam negeri. Kedua, volume impor mungkin
tetap tidak berkurang, karena sangat dibutuhkan di dalam negeri (tidak
bisa dilakukan substitusi karena industri dalam negeri masih belum
mampu memproduksinya atau karena kondisi internal yang tidak
kondusif membuat produksi dalam negeri tidak efisien). Jika barang
impor tersebut adalah bahan baku, maka biaya produksi di dalam
negeri akan meningkat (terkecuali apabila bisa dilakukan efisiensi
dalam pemakaian bahan baku tersebut di dalam proses produksi dan
hasil berikutnya adalah peningkatan laju inflasi lewat suatu efek
penggandaan.8
Dari pembahasan di atas, jelas bahwa depresiasi nilai tukar dari
suatu mata uang pada dasarnya berdampak positif terhadap ekonomi
dari negara yang mata uangnya mengalami pelemahan tersebut lewat
sisi ekspor dan berdampak negatif lewat sisi impor. Oleh karena itu,
efek neto dari krisis nilai tukar terhadap kemiskinan bisa negatit,
positif atau nol, tergantung pada selisih antara kedua efek tersebut.
Efek netonya positif apabila efek ekspornya lebih besar daripada efek
8
Ibid., Hlm 56

9
impornya, atau kenaikan produksi dan kesempatan kerja di dalam
negeri karena volume ekspor meningkat lebih besar daripada
penurunan produksi dan kesempatan kerja akibat impor bahan baku
menurun atau biaya produk meningkat (untuk kasus volume impor
tetap). Sebaliknya, efek netonya negatif apabila efek ekspor lebih
kecil daripada efek impor Atau, efek netonya negatif apabila efek
positifnya sama besarnya dengan efek negatifnya, misalnya produksi
bertambah di perusahaan-perusahaan eksportir dalam jumlah yang
sama dengan produksi yang merosot di perusahaan-perusahaan yang
mengalami kenaikan biaya produksi atau terpaksa mengurangi impor
bahan baku, dengan asumsi rasio-rasio lainnya, di antaranya elastisitas
produksi dari kesempatan kerja, di dua kelompok perusahaan tersebut
konstan.9
Tentu, efek impor yang dibahas di atas tersebut hanya berlaku
pada kasus impor bahan-bahan baku, komponen, barang-barang modal
dan pembantu/perantara dan input lainnya untuk kebutuhan produksi
di dalam negeri, bukan untuk barang- barang jadi/konsumen akhir.
Pada kasus terakhir ini, ceritanya sedikit berbeda. Jika impor barang-
barang konsumen menurun karena harga-harganya dalam mata uang
nasional terlalu mahal volume produksi di industri-industri substitusi
impor di dalam negeri yang membuat barang-barang yang sama bisa
meningkat. Namun, ini perlu waktu (tidak bisa berlangsung dalam
waktu pendek), tergantung pada banyak faktor termasuk kapasitas
produksi dari industri-industri tersebut dan industri-industri
pendukungnya, ketersediaan SDM, modal, dan bahan baku yang
diperlukan, serta penguasaan teknologi dari barang-barang impor yang
digantikan. Jika kasus ini yang terjadi, dampak keseluruhan dari krisis
nilai tukar adalah positif, yaitu jumlah dari efek ekspor yang positif
dan efek impor yang juga positif (tidak negatif seperti dalam kasus
impor barang-barang non-konsumsi), dalam arti produksi dalam
negeri meningkat karena menggantikan barang-barang impor.

9
Ibid., Hlm 56

10
Dalam tipe krisis ekonomi ini, jalur-jalur transmisi kuncinya
adalah perubahan-perubahan dalam volume ekspor dan impor jika
volume impor tidak berubah, maka nilainya yang berubah).
Sedangkan jalur-jalur sekundernya adalah pemilihan perubahan dalam
volume produksi, jumlah kesempatan kerja, tingkat pendapatan dan
laju inflasi. Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap krisis
nilai tukar adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang
berurusan langsung maupun tidak langsung dengan impor. Namun, di
antara kelompok tersebut, siapa yang paling terkena dampaknya
tergantung pada industri atau sektor apa yang paling terhimbas oleh
kenaikan biaya impor (dalam mata uang nasional), dan bagaimana
resposnya terhadap kenaikan tersebut: tetap impor dalam jumlah yang
sama seperti sebelum terjadi depresiasi, dan tanpa melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kegiatan produksi seperti
pengurangan volume produksi dan terhadap tenaga kerja seperti
melakukan pemberhentian, pengurangan jam kerja, penghapusan
bonus, dan pemotongan gaji, atau mengurangi volume impor yang
berarti pengurangan volume produksi (terkecuali jika masih bisa
dilakukan efniensi terhadap pemakaian input yang diimpor tanpa
harus mengurangi volume produksi dan menurunkan kualitas produk
yang dibuat) dan jumlah tenaga kerja.10
4. Krisis Perdagangan
Dalam hal krisis-krisis ekonomi yang berasal dari sumber-
sumber eksternal, ada dua jalur utama, yakni perdagangan dan
investasi arus modal. Dan di dalam jalur perdagangan itu sendiri ada
dua sub-jalur, yakni ekspor dan impor (barang dan jasa).
Dalam jalur ekspor, misalnya ekspor barang, suatu krisis bagi
negara eksportir bisa terjadi baik karena harga di pasar internasional
dari komoditas yang diekspor turun secara drastis atau permintaan
dunia terhadap komoditas tersebut menurun secara signifikan. Sebagai
contoh, dimisalkan harga dunia atau permintaan global bagi ekspor-

10
Ibid., Hlm 57

11
ekspor utama Indonesia dari komoditas-komoditas pertanian menurun,
maka pendapatan petani dan buruh tani dari komoditas-komoditas
tersebut di dalam negeri juga merosot, penurunan pendapatan dan
buruh tani membuat permintaan konsumsi maupun permintaan
perantara (antar sektor) di pedesaan berkurang, dan sebagai suatu hasil
akhir, pendapatan rill masyarakat per kapita menurun dan tingkat
kemiskinan di pedesaan meningkat. Di dalam kasus ini, jalur-jalur
transmisi paling penting adalah perubahan-perubahan dalam ekspor,
output, pendapatan dan kesempatan kerja. Kelompok-kelompok
masyarakat paling rentan adalah petani, buruh tani dan perusahaan-
perusahaan eksportir, termasuk pekerja dan keluarga mereka. Menurut
suatu laporan dari Bank Dunia dan Sekretariat ASEAN tahun 2009,
diperkirakan bahwa pengaruh dari krisis ekonomi global 2008/2009
terhadap Indonesia kemungkinan sekali paling dirasakan hanya di
sejumlah kecil wilayah yang memproduksi sejumlah komoditas
perkebunan, seperti kelapa sawit, yang pada periode tersebut harga-
harganya di pasar dunia mengalami penurunan-penurunan yang
signifikan. Selain itu, wilayah-wilayah di mana terdapat industri-
industri berorientasi ekspor, seperti pakaian jadi (misalnya Bandung di
Provinsi Jawa Barat dan Jakarta dan kawasan sekitarnya) juga
diperkirakan waktu itu akan merasakan efek yang serius dari krisis
2008/09 tersebut (World Bank dan ASEAN, 2009).11

Gambar 1.4: Krisis Perdagangan (Harga/Permintaan Ekspor) dam


Dampaknya

11
Ibid., Hlm 58

12
Dalam ekspor jasa, suatu krisis bisa terjadi jika, misalnya,
jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke dalam negeri menurun
secara drastis atau jumlah pengiriman uang ke Indonesia dari tenaga
kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri mengalami
pengurangan secara signifikan. Masih menurut laporan dari Bank
Dunia dan ASEAN tersebut (World Bank dan ASEAN, 2009), krisis
ekonomi global 2008/2009 tersebut berdampak terhadap ekonomi-
ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN lewat sejumlah jalur
transmisi, dan di antaranya yang paling penting adalah jumlah
wisatawan asing ke wilayah tersebut yang sangat berkurang, dan
jumlah pengiriman uang dari pekerja-pekerja migran yang juga
merosot selama periode krisis tersebut.12
Dalam hal impor, suatu kenaikan harga dunia yang signifikan
atau suatu penurunan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar
dari persediaan dunia untuk suatu komoditas yang diperdagangkan di
pasar global dapat menjadi suatu krisis ekonomi yang serius bagi
negara-negara importir jika komoditas itu sangat krusial, misalnya
beras atau minyak, yang juga sering merupakan komoditas-komoditas
kunci bagi masyarakat miskin. Kenaikan harga minyak mentah
berakibat pada kenaikan harga-harga dari bahan bakar minyak, listrik,
pupuk, dan juga biaya-biaya produksi dari sejumlah produk. Misalnya,
pada tahun 1974, keputusan yang diambil secara mendadak yang tidak
diduga sebelumnya dari negara-negara penghasil minyak yang
tergabung dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak
(OPEC) untuk menaikkan harga minyak mereka (embargo) sebagai
suatu respons kolektif terhadap pertikaian antara Arab dan Israel
adalah sebuah krisis besar untuk semua negara pengimpor minyak
mentah, terutama ekonomi-ekonomi yang sudah maju, seperti AS,
Jepang, Kanada, dan Eropa yang pada waktu itu masih sangat
tergantung pada minyak dari Timur Tengah. Dengan tidak ada
perubahan dalam jumlah impor minyak karena waktu itu masih
12
Ibid., Hlm 58

13
merupakan sumber kunci bagi kebutuham energi dunia, krisis minyak
pertama tersebut telah menyebabkan biaya energi dan biaya-biaya
produksi dalam negeri di negara-negara pengimpor minyak meningkat
tajam yang berakhir dengan laju inflasi yang sangat tinggi (hyper
inflation) di dunia. Paling tidak secara teori, dampak dari krisis
ekonomi tipe ini bisa relatif kecil jika negara-negara pengimpor
minyak membuat suatu penyesuaian, misalnya dengan cara
mensubstitusi minyak dengan sumber-sumber energi alternatif atau
dengan memperbaiki efisiensi dalam pemakaian minyak di dalam
produksi domestik mereka. Langkah ini terbukti pada era krisis
minyak kedua' yang terjadi pada akhir 1970-an atau awal tahun 1980-
an, yang menunjukkan bahwa dampak global dari kenaikan harga
minyak di pasar dunia jauh lebih kecil dibandingkan pada era krisis
minyak pertama sebelumnya.13

Gambar 1. 5: Krisis Minyak dan Dampaknya pada Kemiskinan di Negara


Pengimpor Minyak

Dalam kasus ini, jalur-jalur transmisi paling utama adalah


perubahan-perubahan dalam output, inflasi dan kesempatan kerja.
Kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap krisis
tipe ini adalah, pertama, perusahaan-perusahaan yang sangat
13
Ibid., Hlm 59

14
tergantung pada minyak sebagai sumber energi atau bahan baku utama
dan pekerja-pekerja (dan keluarga-keluarga mereka) di perusahaan-
perusahaan tersebut, dan, kedua, lewat keterkaitan-keterkaitan
produksi dan konsumsi/pendapatan domestik, adalah perusahaan-
perusahaan atau sektor-sektor terkait lainnya, termasuk pekerja-
pekerja mereka (dan keluarga-keluarga mereka).14
5. Krisis Modal
Suatu pengurangan modal di dalam negeri dalam jumlah besar
atau penghentian bantuan atau pinjaman luar negeri akan menjadi
sebuah krisis ekonomi bagi banyak negara miskin di dunia seperti di
Afrika dan Asia Tengah yang ekonomi mereka selama ini sangat
tergantung pada utang luar negeri (ULN) atau hibah internasional.
Atau, suatu pelarian modal, baik yang berasal dari sumber dalam
negeri maupun modal asing, terutama investasi asing jangka pendek,
dalam jumlah yang besar dan secara mendadak bisa menjelma
menjadi sebuah krisis besar bagi ekonomi dari negara-negara yang
sangat memerlukan modal investasi.
Proses mulai dari larinya modal ke luar negeri hingga menjadi
sebuah krisis ekonomi sangat sederhana yaitu dana investasi di dalam
negeri berkurang, investasi (pembentukan modal tetap bruto)
menurun, kegiatan/volume produksi dan tingkat produktivitas
menurun, pertumbuhan ekonomi merosot, jumlah angkatan kerja
(penduduk dalam kategori umur antar 15 hingga 65 tahun) yang bisa
bekerja (terutama di sektor formal) berkurang, tingkat pendapatan riil
menurun, dan pada akhirnya, tingkat kemiskinan bertambah. Di sisi
lain, suatu pelarian modal dalam jumlah besar akan menyebabkan
depresiasi nilai tukar mata uang dari negara bersangkutan seperti yang
telah dibahas sebelumnya.

14
Ibid., Hlm 60

15
Gambar 1.6: Krisis Modal dan Dampaknya terhadap Kemiskinan

Dalam kasus ini, jalur-jalur transmisi dampak utama adalah


perubahan-perubahan dalam jumlah investasi, khususnya investasi
jangka panjang (volume atau unit proyek), volume produksi dan
jumlah tenaga kerja yang bekerja. Kelompok-kelompok masyarakat
yang paling rentan terhadap krisis ekonomi dari kategori ini bisa
kelompok miskin tetapi bisa juga kelompok non-miskin, tergantung
pada sektor atau industri yang paling dirugikan dengan
pelarian/kekurangan modal investasi.15

B. Jalur Transmisi Kunci dan Indikator Monitoring Dampak Krisis


Pada pembahasan di atas telah dijelaskan mengenai tipe krisis yang
pernah dialami dunia dalam setengah abad, dan kemungkinan krisis tersebut
dapat terjadi kebali di masa depan. Jika melihat adanya kenyataan bahwa
perekonomian dunia khususnya perdagangan, produksi, investasi, keuangan
dan pasar faktor-faktor produksi semakin terintegrasi, dengan kata lain di
masa sekarang lebih sulit menemukan negara-negara yang tidak menjalin
hubungan perdagangan, investasi, dan sebagainya seperti yang telah
disebutkan diatas, atau apabila mungkin masih ada jumlahnya jauh lebih
sedikit dibandingkan lima puluh tahun yang lalu atau mungkin sebelum
perang kedua dimulai. Adapun hal tersebut menjelaskan bahwasannya

15
Ibid., Hlm 60—61

16
berdasarkan sumber-sumber awalnya, sebuah krisis ekonomi dibedakan
menjadi dua, yaitu internal dan eksternal, atau bahkan keduanya.
Pada tabel 1.1 dijelaskan mengenai daftar dari jalur-jalur transmisi
dampak utama berdasarkan jenis-jenis krisis ekonomi itu sendiri. Jalur-jalur
transmisi tersebut diperingkat berdasarkan proses munculnya akibat-akibat
dari suatu krisis diantaranya yaitu: Jalur pertama atau primer (*), merupakan
akibat pertama yang muncul; Jalur kedua atau sekunder (**); Jalur ketiga
(***), dan seterusnya. Suatu krisis ekonomi bisa saja mempunyai jalur
pertama, kedua, dan ketiga sekaligus tergantung pada jenus krisis itu sendiri.
Begitupun juga pada suatu krisis ekonomi yang mempengaruhi lebih dari
satu sektor ekonomi, suatu jalur transmisi ini dapat masuk dalam kategori
primer untuk satu sektor sedangkan sektor lain yang juga terkena dampak
dapat masuk dalam kategori sekunder.
Contohnya, pada suatu kasus krisis perbankan, jalur output adalah
jalur primer (*) yaitu output dari sektor tersebut yang merosot, tetapi
merupakan jalur sekunder (**) bagi perusahaan non-bank yang bergantung
pada perbankan untuk pendanaan kegiatan produksinya. Kesempatan kerja
adalah jalur sekunder bagi perbankan, namun merupakan jalur tersier (***)
bagi perusahaannya. Pendapatan sektor keuangan tersebut bisa merupakan
jalur sekunder, yaitu pendapatan yang menurun dari pemilik bank/saham,
dan pada waktu yang sama pula dapat dikategorikan sebagai jalur tersier,
yaitu pendapatan yang hilang dari pegawai-pegawai yang di PHK.16

Tabel 1.1: Jalur Transmisi Dampak Utama Dan Indikator-Indikator Utama Untuk
Memonitor Pengaruh Dari Krisis Ekonomi Menurut Tipe Krisis
Tipe krisis Jalur transmisi utama Indikator utama
ekonomi untuk memonitor
dampak
Krisis produksi Kesempatan kerja* a. Output menurut
Pendapatan* sektor dan
Inflasi* wilayah
b. Kesempatan
kerja menurut
sektor dan

16
Ibid., Hlm 62—63

17
wilayah
c. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
d. Inflasi (IHK)
menurut
wilayah
e. Kemiskinan
menurut
wilayah

Krisis Perbankan Kredit* a. Output menurut


Suku bunga Pinjaman* sektor dan
Output* ** wilayah
Kesempatan kerja** *** b. Kesempatan
Pendapatan** *** kerja menurut
sektor dan
wilayah
c. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
d. Kemiskinan
menurut
wilayah
Krisis nilai tukar Ekspor* a. Ekspor menurut
Impor* sektor dan
Output** wilayah
Kesempatan kerja*** b. Impor menurut
Pendapatan** *** sektor dan
Inflasi*** wilayah
c. Output menurut
sektor dan
wilayah
d. Inflasi menurut
wiayah
e. Kesempatan
kerja menurut
sektor dan
wilayah
f. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
g. Kemiskinan
menurut
wilayah17
Krisis ekspor Output* a. Ekspor menurut

17
Ibid., Hlm. 63

18
Kesempatan kerja** sektor dan
Pendapatan** wilayah
Inflasi** b. Output menurut
sektor dan
wilayah
c. Kesempatan
kerja menurut
sektor dan
wilayah
d. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
e. Kemiskinan
menurut
wilayah
Krisis impor Output* a. Output menurut
Kesempatan kerja** sektor dan
Pendapatan** wilayah
Inflation** b. Kesempatan
kerja menurut
sektor dan
wilayah
c. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
d. Kemiskinan
menurut
wilayah
e. Inflasi menurut
wilayah
Krisis modal Output* a. Output menurut
Nilai tukar* sektor dan
Kesempatan kerja** wilayah
Pendapatan** b. Kesempatan
Inflasi** kerja menurut
sektor dan
wilayah
c. Pendapatan
menurut sektor
dan wilayah
d. Inflasi menurut
wilayah
e. Kemiskinan
menurut
wilayah18

18
Ibid., Hlm. 63

19
Tabel diatas mengusulkan sejumlah indikator utama yang bisa digunakan
sebagai monitor dampak dari suatu krisis ekonomi, khususnya yaitu
terhadap19 kemiskinan menurut setiap tipe krisis. Misalnya, untuk kasus
krisis produksi, yang perlu dimonitor adalah apakah jumlah output dan
kesempatan kerja di sektor bersangkutan mengalami penurunan dan di
wilayah mana telah terjadi penurunan yang paling besar (di wilayah mana
sektor tersebut merupakan sektor terbesar) dan juga apakah akibat dari
penurunan volume produksi, misalnya gagal panen padi, harga-harga
kebutuhan pokok atau laju inflasi meroket, dan di wilayah-wilayah mana
persentase kenaikannya sangat besar, selain itu yang terpenting adalah
mengetahui seberapa besar persentase dari kenaikan jumlah orang miskin
akibat (langsung maupun tidak langsung) dari krisis ekonomi tersebut.
Dalam kaitan ini, yang perlu dimonitor terlebih dahulu adalah kenaikan
jumlah orang miskin di wilayah-wilayah dimana sektor bersangkutan
berada, kemudian setelah itu dilihat pada tingkat nasional (kenaikan total
kemiskinan). Hipotesisnya adalah bahwa di wilayah-wilayah di mana sektor
tersebut adalah sektor kunci dalam arti sumbangan pada PDRB maupun
jumlah kesempatan kerja adalah paling besar dibandingkan kontribusi-
kontribusi dari sektor-sektor ekonomi lainnya di wilayah- wilayah tersebut,
kenaikan tingkat kemiskinan dan inflasinya paling besar akibat dari krisis
tersebut.

C. Beberapa Teori Alternatif


Selain beberapa jenis krisis ekonomi dan penyebab-penyebabnya serta
jalur-jalur utama transisi dampak utamanya, selama dua periode krisis yang
dialami Indonesia, khususnya pada era 1997 – 1998, ada tiga teori alternatif
yaitu teori konspirasi, teori penularan, dan teori konjungtur atau siklus
bisnis.

19
Ibid., Hlm. 63

20
1. Teori Konspirasi
Teori konspirasi sering juga disebut teori persekongkolan, yang
intinya adalah bahwa penyebab utama dari satu atau serangkaian
peristiwa adalah suatu yang disengaja atau direncanakan secara
rahasia oleh pihak-pihak tertentu, bisa sekelompok orang atau
organisasi atau bahkan pemerintah di sebuah negara dengan tujuan
untuk menghancurkan negara atau pihak yang menjadi sasarannya.20
Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa sejarah-sejarah besar
dalam sejarah dunia didominasi oleh para konspirator belakang layar
yang memanipulasi kejadian-kejadian politik.
Jadi, jika teori konspirasi dipercaya sebagai teori yang paling
tepat untuk menjelaskan penyebab terjadinya krisis keuangan Asia
1997/1998, maka hal itu menyatakan bahwa krisis keuangan tidak
terjadi sebagai sesuatu yang alamiah, misalnya terjadi karena
kesalahan kebijakan ekonomi di negara-negara yang terkena krisis
keuangan, seperti Indonesia, Thailand dan Korea Selatan yang sudah
berlangsung lama tanpa disadari sudah membuat fundamental
ekonomi menjadi sangat lemah, meskipun laju pertumbuhan
ekonominya selalu tinggi. Melainkan disengaja oleh pihak-pihak
tertentu lewat cara, misalnya, menyebarkan berita bohong bahwa
dalam waktu dekat otoritas moneter atau pemerintah akan melakukan
devaluasi nilai tukar uang nasional, atau banyak bank yang ternyata
sudah tidak sehat dan dalam waktu dekat akan bangkrut, dan
pemerintah tidak mempunyai rencana untuk membantu bank-bank
tersebut. Tentu hal tersebut membuat masyarakat menjadi panik dan
berbondong-bondong ke bank untuk mengambil tabungan mereka
hingga membuat bank-bank rontok. Pihak-pihak tersebut bisa sebuah
sekelompok organisasi bisnis atau perusahaan yang selama ini
dirugikan oleh pemerintah di negara yang terkena krisis keuangan,
atau pemerintah di sebuah negara lain yang ingin menghancurkan

20
Ibid., Hlm. 64

21
ekonomi dari ketiga negara tersebut yang semakin kuat yang kalu
dibiarkan akan melemahkan ekonomi dari negara pertama.
2. Teori Penularan
Mengenai efek penularan (efek contagion) terdapat banyak
definisi. Misalnya, Barry, dkk. (1997) menjelaskan bahwa efek
penularan berasal dari saling ketergantungan ekonomi antarnegara,
terutama lewat perdagangan (ekspor dan impor), investasi (baik dalam
bentuk PMA atau portofolio), dan pinjaman dari bank.21 Berdasarkan
fakta menunjukkan bahwa berkat kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT) dan didorong oleh semakin meluasnya bukan hanya
ekspor dan impor antarnegara, tetapi juga dalam proses produksi lewat
rantai suplai regional/global, hubungan antarnegara dalam sektor
keuangan jauh lebih kuat dibandingkan dengan perdagangan. Hal ini
akan memperbesar efek penularan apabila terjadi sebuah krisis
keuangan atau ekonomi di salah satu negara. Dalam kaitannya,
Dornbusch, dkk. (2000); mengatakan bahwa akibat hubungan yang
signifikan di beberapa pasar keuangan di dunia, suatu kejutan atau
krisis yang terjadi di sebuah negara atau kawasan ditransmisikan ke
beberapa negara atau kawasan lainnya.
Berdasarkan teori ini, dilihat dari sejarah awal krisis keuangan
Asia melanda Indonesia adalah dengan merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, dan hal ini terjadi sesaat setelah nilai tukar mata
uang Thailand bath mengalami depresiasi yang besar terhadap dolar
AS. Dalam kata lain, bisa saja benar bahwa dalam kasus krisis
1997/1998 di Indonesia telah terjadi efek penularan yang
ditransmisikan oleh sebuah kejutan (depresiasi bath) di negara
tetangga Thailand.
3. Teori Konjungtur
Teori konjungtur disebut juga dengan teori siklus bisnis adalah
mengenai dinamika ekonomi dunia/kawasan/negara dalam suatu
periode jangka panjang (10 tahun atau lebih), yang menggambarkan

21
Ibid., hlm. 65

22
bahwa kegiatan ekonomi (misalnya produksi) tidak berkembang
secara teratur tetapi mengalami kenaikan (ekspansi) atau kemunduran
(resesi) yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Misalnya,
seperti yang diilustrasikan pada gambar grafik di bawah, pada periode
‗a‘ ekonomi mengalami depresi selama beberapa tahun berturut-turut,
yang ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah
(jumlah pengangguran yang tinggi). Periode ini umumnya disebut
ekonomi sedang mengalami kelesuan. pada periode ‗b‘, ekonomi
mulai bangkit atau pulih kembali dalam beberapa tahun berikutnya
mengalami ekspansi terus-menerus yang ditandai dengan laju
pertumbuhan PDB22 yang semakin besar setiap tahunnya, atau terjadi
akselerasi laju pertumbuhan (misalnya, tahun 2016: 3%, 2017: 5%,
2018: 7%). Namun, ekspansi ekonomi tidak akan terjadi selamanya.
Suatu ketika gerakan menaik ini mencapai titik tertinggi, misalnya
pada tahun ‗c‘ (pada tahun 2019: 10%). Titik ini disebut titik puncak
atau kulminasi. Setelah mencapai titik kulminasi, pada periode ‗d‘,
perekonomian akan kembali mengalami penurunan resesi hingga
akhirnya kembali mengalami depresi pada periode ‗e‘. Proses ini akan
kembali lagi ekspansi, mencapai titik tertinggi (puncak), resesi,
depresi, dan seterusnya.

Gambar 2.1: Siklus Ekonomi

22
Ibid., Hlm. 66

23
Ekspansi ekonomi bisa disebabkan oleh banyak hal, misalnya
oleh sebuah paket kebijakan ekonomi yang khusus dikeluarkan
pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi (kebijakan
stimulus fiskal lewat pengeluaran pemerintah yang besar), atau bisa
juga karena konsumsi masyarakat meningkat pesat menjelang hari
raya Idul Fitri atau hari Natal dan Tahun Baru. Sedangkan resesi
dikarenakan harga-harga komoditas di pasar dunia menurun drastis
(terutama bagi negara-negara yang ekonominya sangat bergantung
pada ekspor komoditas-komoditas tersebut), atau suku bunga terpaksa
dinaikkan oleh otoritas moneter atau bank sentral untuk memerangi
inflasi yang semakin tidak terkontrol, atau alasan-alasan lainnya yang
memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.23

D. Analisis Empiris
1. Krisis Keuangan Asia 1997-1998
Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997 adalah krisis ekonomi
yang terjadi di sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, Thailand,
Malaysia, dan Korea Selatan. Krisis ini dimulai sekitar pertengahan
tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998. Krisis ini
ditandai oleh depresiasi nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS,
yang memicu berbagai dampak ekonomi dan keuangan yang serius.
Pemicu krisis tersebut adalah arus masuk modal asing yang
besar, terutama dalam bentuk investasi jangka pendek, yang membuat
negara-negara tersebut sangat rentan terhadap perubahan sentimen
investor. Ketika ada gejolak ekonomi global, investor asing mulai
menarik modal mereka secara tiba-tiba, yang mengakibatkan
depresiasi nilai tukar mata uang lokal.
Krisis ini berdampak buruk pada sektor perbankan, banyak bank
mengalami kesulitan likuiditas dan terpaksa menutup. Ini memicu
kepanikan di masyarakat, yang menarik uang mereka dari bank,
memperburuk masalah keuangan. Selain itu, banyak perusahaan yang

23
Ibid., hlm. 67

24
bergantung pada impor bahan baku mengalami kesulitan karena nilai
tukar mata uang mereka melemah, sehingga mengganggu produksi.
Indonesia mengalami resesi ekonomi yang sangat dalam selama
krisis tersebut, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai minus 13,7
persen pada tahun 1998. Pemerintah Indonesia kemudian mengambil
berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini, termasuk upaya untuk
mengurangi ketergantungan pada impor, memperkuat sektor
perbankan, dan memperbaiki mekanisme penentuan kurs mata uang.
Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997 mengajarkan banyak
pelajaran penting tentang risiko ekonomi global dan pentingnya
kebijakan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Upaya pemulihan
ekonomi setelah krisis tersebut memerlukan koordinasi yang baik
antara berbagai lembaga pemerintah dan langkah-langkah yang tepat
untuk menghindari krisis serupa di masa depan.
2. Krisis Keuangan Global 2008/2009
Krisis keuangan global 2008 adalah kejadian berdampak global
yang berawal dari AS dan menyebar ke seluruh dunia melalui
interkoneksi keuangan global. Krisis ini disebut sebagai krisis
ekonomi terburuk sejak Depresi Besar, menyebabkan penurunan
ekonomi global, aktivitas bisnis, dan pendapatan riil per kapita.
Dampaknya di Asia, termasuk India dan Indonesia, bervariasi
tergantung pada ketergantungan ekonomi mereka pada AS dan pasar
global. Negara-negara yang sangat tergantung pada ekspor ke AS,
seperti China, Korea Selatan, dan lainnya, terkena dampak lebih besar
dibandingkan negara-negara yang berfokus pada pasar domestik
seperti Indonesia.
Krisis mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, terutama ekspor,
investasi, dan pengiriman uang dari pekerja migran. Konsumsi
domestik, terutama konsumsi rumah tangga dan pengeluaran
pemerintah, membantu Indonesia mempertahankan pertumbuhan
positif.24

24
Ibid., Hlm. 73—74

25
Indonesia menghadapi krisis ini secara berbeda dari krisis Asia
1997/1998. Krisis 2008/2009 adalah dampak eksternal dan krisis
permintaan dunia, sedangkan krisis 1997/1998 dimulai sebagai krisis
mata uang dan ekonomi internal.
Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi
positif karena konsumsi domestik yang kuat, terutama konsumsi
rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Meskipun mengalami
perlambatan pertumbuhan, dampaknya tidak seberat negara-negara
lain di kawasan tersebut.25
3. Krisis Utang Zona Euro
Krisis keuangan global pada tahun 2008 berdampak pada
Eurozone (ZE), yang terdiri dari 17 negara yang menggunakan mata
uang euro. Krisis ini semakin memburuk pada tahun 2011,
mengancam stabilitas mata uang tunggal tersebut.
Krisis Eurozone berpotensi mempengaruhi ekonomi global
karena Eurozone sangat terintegrasi dengan ekonomi global melalui
perdagangan, produksi, dan keuangan. Terutama, krisis ini dapat
merugikan AS, yang juga bermitra ekonomi besar Eurozone, dan
menyebabkan dampak ganda jika ekonomi AS juga terganggu.
Pertumbuhan ekonomi Eurozone menurun pada tahun 2010 dan
2011, dengan beberapa negara seperti Jerman, Prancis, dan Italia yang
awalnya mencatat pertumbuhan positif, mulai menghadapi tekanan.
Krisis ini juga mempengaruhi pertumbuhan global dan perdagangan
dunia.
Terlebih lagi, perkiraan pertumbuhan ekonomi global terus
direvisi turun, dan dampaknya terhadap Indonesia sangat tergantung
pada perkembangan ekonomi global, terutama Eurozone. Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai revisi dalam perkiraan
pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi pertumbuhan global yang lebih
rendah. Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turun dari yang
sebelumnya diharapkan. Penting untuk diingat bahwa situasi ekonomi

25
Ibid., Hlm. 74—75

26
dan perkiraan dapat berubah seiring berjalannya waktu dan
perkembangan global yang dinamis.
4. Beberapa Pelajaran
Sejak tahun 1990-an hingga saat ini, Indonesia mengalami tiga
krisis ekonomi berturut-turut:
a. Krisis Keuangan Asia pada akhir 1990-an: Krisis ini dimulai
menjelang akhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada
pertengahan tahun 1998. Ini adalah krisis ekonomi regional yang
terutama mempengaruhi Asia Tenggara dan Timur.
b. Krisis Keuangan Global 2008-2009: Krisis ini berasal dari krisis
keuangan di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia
melalui pasar uang global. Dampaknya juga dirasakan di
Indonesia.
c. Krisis Eropa Barat atau Krisis Utang Zona Euro: Krisis ini
muncul setelah tahun 2010 dan disebabkan oleh beberapa negara
anggota Uni Eropa (EU) yang mengalami masalah utang.
Dampak ketiga krisis tersebut berbeda-beda terhadap ekonomi
Indonesia, dengan dampak terburuk terjadi pada Krisis 1997/1998.
Hal ini terjadi karena sumber krisis yang berbeda dan karena
pemerintah. Indonesia belajar dari pengalaman krisis sebelumnya,
yang membuatnya lebih siap menghadapi krisis berikutnya. Beberapa
pelajaran penting dari pengalaman krisis tersebut adalah:
a. Sektor keuangan, terutama perbankan, harus selalu dijaga agar
tetap stabil.
b. Sistem penentuan nilai tukar mata uang yang fleksibel adalah
yang paling tepat, asalkan bank sentral memiliki cadangan
valuta asing yang cukup.
c. Stabilitas nilai tukar dan tingkat inflasi yang rendah sangat
penting untuk menjaga kestabilan ekonomi.
d. Kebijakan fiskal ekspansif jangka pendek dapat membantu
mengatasi melemahnya perekonomian.26

26
Ibid., Hlm. 78—80

27
e. Ketergantungan pada ekspor komoditas primer harus dikurangi,
dan diversifikasi pasar ekspor adalah strategi yang tepat.
f. Ketergantungan pada impor juga harus dikurangi melalui
kebijakan substitusi impor yang berfokus pada peningkatan daya
saing dan kapasitas produksi.
g. Keunggulan komparatif dan kompetitif harus menjadi dasar
untuk menentukan barang-barang yang tepat untuk diproduksi di
dalam negeri.27

27
Ibid., Hlm. 80—82

28
E. Studi Kasus

Pandemi Covid-19 Dan Menurunnya Perekonomian Indonesia

Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap


perekonomian Indonesia, mulai dari perubahan rantai pasok dunia hingga
penurunan investasi asing ke Indonesia. Penurunan tersebut dapat dilihat
melalui perlambatan pertumbuhan ekonomi yang turun dari 5,02 Persen di
tahun 2019 menjadi 2,97 Persen pada tahun 2020. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi tersebut juga diikuti dengan peningkatan jumlah
pengangguran, yang menurut data Bank Dunia, meningkat dari 5,28 Persen
pada tahun 2019 menjadi 7,07 Persen pada tahun 2020.
Cepatnya penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat dunia
ternyata telah mengubah tatanan hidup dan hubungan antar manusia.
Masyarakat diminta untuk selalu menggunakan masker, menjaga jarak dan
menghindari kerumunan. Hal tersebut secara langsung membatasi aktivitas-
aktivitas ekonomi di tengah masyarakat, misalnya terganggunya proses
produksi barang, distribusi produk, hingga proses pemasaran barang dan
jasa di seluruh dunia.
Seluruh dunia terhubung dalam rantai pasok global yang merupakan
jejaring kompleks antar pelaku pasar di seluruh dunia dalam melakukan
aktivitas-aktivitas ekonomi. Tidak berhenti pada terganggunya kegiatan
produksi dalam skala kecil, pandemi Covid-19 ternyata memegang andil
besar pada terganggunya rantai pasok global tersebut, misalnya penutupan
pabrik-pabrik dan gangguan jalur distribusi barang akibat lockdown dan
pembatasan wilayah di sejumlah wilayah dunia, termasuk Indonesia.
Dengan kata lain, pandemi memperlambat seluruh siklus di dalam rantai
pasok dunia.
Indonesia yang juga berpartisipasi di dalam rantai pasok dunia
tersebut terkena dampak yang cukup serius karena sekitar 18,5 Persen dari
Gross Domestic Product Indonesia berasal dari sektor ekspor. Dampak
tersebut tercermin dari data Badan Pusat Statistik, dimana ekspor di

29
Indonesia menurun sekitar 2,6 Persen pada tahun 2020 jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.28

Tangapan Kelompok :
Menurut pandangan kelompok kami, kesimpulan yang dapat
diambil dari kasus tersebut yaitu, bahwa Pandemi Covid-19 telah benar-
benar mengguncang perekonomian Indonesia, dengan perubahan yang
signifikan. Terlihat jelas dalam penurunan pertumbuhan ekonomi dari 5,02
Persen di tahun 2019 menjadi hanya 2,97 Persen di tahun 2020. Ini adalah
penurunan yang tajam yang tercermin dalam aktivitas ekonomi yang
melambat, yang dipengaruhi oleh pembatasan dan penutupan yang
diterapkan untuk mengendalikan penyebaran virus.
Sektor ketenagakerjaan juga terkena dampak serius, dengan
peningkatan jumlah pengangguran yang mencolok dari 5,28 Persen pada
tahun 2019 menjadi 7,07 Persen pada tahun 2020. Orang-orang kehilangan
pekerjaan mereka karena aktivitas ekonomi terganggu.
Rantai pasok global juga menderita akibat pandemi. Indonesia, yang
memiliki sekitar 18,5 Persen dari GDP yang berasal dari sektor ekspor,
mengalami penurunan ekspor sekitar 2,6 Persen. Penutupan pabrik dan
gangguan distribusi barang menghentikan aliran perdagangan internasional.
Ini adalah tantangan besar bagi perekonomian Indonesia, dan pemerintah
perlu terus mencari solusi untuk mengatasi dampak negatif ini dan
memulihkan pertumbuhan ekonomi. Diversifikasi ekonomi dan ketahanan
terhadap gangguan eksternal akan menjadi kunci untuk menghadapi masa
depan yang penuh ketidakpastian.

Saran :
Pandemi Covid-19 benar-benar memberikan dampak yang sangat serius
pada perekonomian Indonesia. Penurunan pertumbuhan ekonomi dari 5,02
Persen di tahun 2019 menjadi hanya 2,97 Persen di tahun 2020 adalah hal

28
Kementerian Keuangan RI, ―Pandemi Covid-19 Dan Menurunnya Perekonomian Indonesia―,
dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16064/Pandemi-Covid-19-Dan-
Menurunnya-Perekonomian-Indonesia.html, diakses 18 September 2023

30
yang mengkhawatirkan. Ini adalah pertanda langsung bahwa pandemi telah
menghambat aktivitas ekonomi secara signifikan.
Dalam menghadapi situasi ini, pemerintah harus memprioritaskan
kesehatan publik, memastikan vaksinasi dan pengendalian penyebaran virus.
Selain itu, upaya untuk mendiversifikasi ekonomi, mendukung sektor-sektor
dalam negeri, mendorong investasi asing yang berkelanjutan, melindungi
pekerja yang terdampak, dan kerja sama internasional dalam mengelola
rantai pasok global yang lebih tangguh dan berkelanjutan harus diupayakan.
Indonesia dapat berperan aktif dalam memastikan stabilitas rantai pasok
regional dan global, sehingga negara ini dapat memitigasi dampak serupa di
masa depan. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat bergerak menuju
pemulihan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan di era pasca-
pandemi.

31
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Krisis ekonomi adalah kondisi dimana perekonomian suatu negara
mengalami penurunan yang sangat signifikan. Dilihat dari proses terjadinya,
krisis ekonomi mempunyai dua sifat yang berbeda. Pertama, krisis ekonomi
yang terjadi secara mendadak atau muncul tanpa ada tanda-tanda
sebelumnya. Kedua, krisis ekonomi yang sifatnya tidak mendadak
melainkan melewati suatu proses akumulasi yang cukup panjang. Terdapat
beberapa jenis krisis ekonomi diantaranya yaitu krisis produksi, krisis
perbankan, krisis nilai tukar, krisis perdagangan, dan krisis modal.
Pada jalur transmisi dampak, Jalur-jalur transmisi diperingkat
berdasarkan proses munculnya akibat-akibat dari suatu krisis diantaranya
jalur pertama atau primer, merupakan akibat pertama yang muncul; Jalur
kedua atau sekunder; Jalur ketiga, dan seterusnya. Suatu krisis ekonomi bisa
saja mempunyai jalur pertama, kedua, dan ketiga sekaligus tergantung pada
jenus krisis itu sendiri. Begitupun juga pada suatu krisis ekonomi yang
mempengaruhi lebih dari satu sektor ekonomi, suatu jalur transmisi ini dapat
masuk dalam kategori primer untuk satu sektor sedangkan sektor lain yang
juga terkena dampak dapat masuk dalam kategori sekunder.
Selain itu, juga terdapat beberapa teori alternatif dalam krisis ekonomi
seperti teori konspirasi, teori penularan, dan teori konjungtur atau siklus
bisnis. Sedangkan, dalam analisis empiris terdapat beberapa pelajaran yang
dapat diambil dari adanya krisis ekonomi itu sendiri, dengan harapan
perekonomian Indonesia kedepannya dapat berjalan lebih baik dan sesuai
dengan yang diharapkan, adapun pelajaran yang dapat diambil diantaranya
Sektor keuangan, terutama perbankan, harus selalu dijaga agar tetap stabil,
sistem penentuan nilai tukar mata uang yang fleksibel adalah yang paling
tepat, asalkan bank sentral memiliki cadangan valuta asing yang cukup,
stabilitas nilai tukar dan tingkat inflasi yang rendah sangat penting untuk
menjaga kestabilan ekonomi, kebijakan fiskal ekspansif jangka pendek
dapat membantu mengatasi melemahnya perekonomian.

32
B. Saran
Dengan membahas materi tersebut mahasiswa diharapkan dapat memahami
mengenai apa itu surat pemberitahuan. Semoga makalah yang kami buat
bisa bermanfaat bagi kami selaku penulis dan para pembaca sekalian.
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak
orang.

33
DAFTAR PUSTAKA

Dwi, Anugrah. 2023. “Penyebab Utama Terjadinya Krisis Ekonomi”, dalam


https://feb.umsu.ac.id/penyebab-terjadinya-krisis-ekonomi/, diakses 12
September 2023.
Kementerian Keuangan RI. 2020. “Pandemi Covid-19 Dan Menurunnya
Perekonomian Indonesia“, dalam
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16064/Pandemi-Covid-19-
Dan-Menurunnya-Perekonomian-Indonesia.html, diakses 18 September
2023.
Tambunan, Tulus TH. 2018. Perekonomian Indonesia 1965-2018. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.

34

Anda mungkin juga menyukai