Anda di halaman 1dari 7

DISKUSI 8

Nama : Juniar Tigva Boru

NIM : 041339237 (ganjil)

Resume yang saya pilih dari Modul 3 “Keuangan dan Perbankan Indonesia” kegiatan belajar
1 tentang keuangan dan perbankan

A. Sejarah perkembangan dan Kebijakan Perbankan


Pada akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1959-1965) dikeluarkan kebijakan yang
berdampak terhadap kinerja perbankan sampai awal tahun 1960-an, yaitu dikeluarkannya
peraturan pemerintah dalam pengendalian moneter tanggal 24 Agustus 1959 yang isinya:
1) Adanya kebijakan pemotongan nilai uang kertas atau sanering. Kebijakan ini
memotong uang Rp500,00 dan Rp1000,00 menjadi tinggal sepersepuluhnya (10
persennya)
2) Pembekuan simpanan di bank-bank sebesar 90% untuk jumlah simpanan di atas
Rp25.000,00
3) Penghapusan system bukti ekspor menjadi pungutan ekspor dan pungutan impor.

Kebijakan ini merugikan bank dan masyarakat yang menyimpan uang di bank.

Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pusat nomor 41 tentang


pembentukan Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN), tugas BKTN adalah
menyediakan kredit bagi Petani dan nelayan yang disertai dengan pendidikan, pelatihan,
bimbingan dan pengawasan. Pada tahun 1965 terjadi perubahan pada bank-bank milik
pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 1965 memutuskan untuk
mengintegrasikan BTN ke dalam Bank Indonesia. Sementara Penpres No.9 tahun 1965
mengitegrasikan BTN ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia urusan
Koperasi, tani dan Nelayan (BIUKTN). Masa represi keuangan terjadi antara periode
tahun 1966-1983, yakni pada saat peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Kebijakan
represi Keuangan pemerintah Orde Baru meliputi program stabilitas dan rehabilitasi,
sedangkan dalam jangka panjang diarahkan dalam program pembangunan.

Setelah periode tersebut mulailah terkjadi perubahan system perbankan diantaranya


melalui pembentukan BRI unit desa dan kredit program (subsidized credit). BRI sebagai
bank pelaksana penyaluran program Bimbingan Massal (BIMAS). Permasalahan yang
terjadi pada program BIMAS adalah tingkat pengembalian kredit cenderung menurun,
sehingga bank pelaksana kurang terpacu untuk bekerja keras pada program BIMAS.
B. Deregulasi Perbankan
Paket kebijakan pertama adalah paket kebijakan Juni 1983 (Pakjun’83), ditujukan untuk
mendorong ekspor non migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa dari
minyak. Dan yang kedua adalah Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto ’88) isi
kebijakannya adalah:
1) Pembukaan pasar bagi industry perbankan nasional dengan cara member
kemudahan perijinan bagi bank devisa dan memudahkan membuka kantoe cabang
2) Penetapan pajak atas bunga deposito sebesar 15%, sama halnya dengan pajak
keuntungan dari sekuritas dan obligasi
3) Penurunan giro wajib minimum (GWM) dari 15% utang lancer menjadi 2% DPK
(Dana Pihak Ketiga)
4) Penetian BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan batasan sampai
dengan 20% dari total modal kepada peminjam tunggal atau 50% kepada
peminjam grup
5) Penempatan dana BUMN di bank-bank pemerintahan sampai 50% dan 20% pada
setiap bank lainnya
6) Diperbolehkannya bank-bank untuk melakukan diferensiasi produk DPK baik
dalam tabungan maupun deposito
7) Adanya kelonggaran persyaratan untuk memperoleh ijin perdagangan valuta
asing.

Sebelum krisi ekonomi dan financial melanda Indonesia, perbankan Indonesia mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah
bank di Indonesia tetapi diikuti dengan pertumbunan suku bunga riil yang negative.

Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada tahun 1974 dan 1983 mendorong
ditetapkannya plafon kredit bagi setiap bank, tingkat reserve reqirement yang tinggi, dan
kredit yang selektif. Kebijakan tersebut menyebabkan lembaga keuangan menjadi
terfokus pada bank-bank milik pemerintah atau BUMN.

Peran bank pemerintah mulai menurun pada tahun 1984 sampai dengan 1992, walaupun
masih mendominasi jumlah pemberian kredit yaitu 75,6% pada tahun 1984 dan mulai
menurun pada tahun 1992 menjadi hanya 55,8%. Hal ini memberikan peluang bagi
swasta untuk berkembang, mengingat pangsa pasar perbankan Indonesia besar denagn
jumlah penduduk yang banyak.

C. Perbankan pada Periode Krisi Moneter 1997/1988


Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan
kebijakan yang paling banyak disorot karena menyangkut aliran dana yang sangat besar
dan berpengaruh bagi pengelolaan keuangan Negara pasca krisis. Sejak dikeluarkannya
Pakto’88 terjadinya pesinagn antar bank yang tinggi. Di bank milik pemerintah terjadi
campur tangan berlebihan sehingga sangat rentan terhadap penyelewengan wewnang oleh
oknum pejabat.
Kredit macet yang terjadi pada tahun 1997 mencapai 7,7% atau sebesar Rp10,2
triliun. Ini disebabkan oleh pelanggaran BMPK bagi bank0bank swasta yang bermodal
kecil pasca deregulasi. Kondisi bank yang kurang kondusif membuat pemerintah
melakukan peminjaman terselunung (implicit guarantee) dari bank sentral agar bak yang
tidak sehat tetap dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan sistematik perbankan.

D. Dampak Krisi bagi Perbankan


dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap bank. Lumpuhnya sector perbankan saat itu sangat berpengaruh
dalam kegiatan ekonomi masyarakat, terutama yang menggunakan fasilitas bank.
Upaya menyehatkan bank dimulai pada tahun 1998 dengan prose due diligence
oleh BPPN terhadap 176 bank nasional dalam rangka rekapitulasi perbankan. Kemudian
diabualah kategoro bank berdasarkan Kecukupan Modal/CAR (capital Adequacy
Ratio)dengan syarat dan jumlah bank yang termasuk sebagai berikut:
kategori B
• bank yang memiliki
CAR antara 4%-
25%
• ada 49 bank
Kategori A kategori C
• untuk bank yang • bank yang memiliki
memiliki CAR diatas CAR dibawah 25%
4% • ada 28 bank
• ada 99 bank

BANK

Ada beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan
Indonesia, yaitu:

penggabungan restrukturisai rekapitalisasi


likuidisi bank
bank (merger) Perbankan Perbankan
E. Perbankan Pasca Krisis
Sampai pada periode tahun 2003an, perbankan Indonesia boleh dikatakan
disibukkan oleh kegiatan konsoludasi, melakukan berbagai efisiensi dari soal operasional,
jaringan, kantor cabang, serta efisiensi biaya modal dengan membuang beban. Yang
paling terlihat adalah pergeseran sumber dana dari dana mahal berupa deposito ke dana
murah berupa tabungan dan giro.
Pada tahun 2003 dari juni hingga desember 2003 struktur pendanaan menjadi
lebih baik dibandingkan masa krisis, dimana porsi deposito diatas 50% bahkan bisa
mencapai 54% dari dana pihak ketiga. Tahun 2004, perbankan nasional memasuki
pertumbuhan tinggi. Ini adalah tahun milik sector perbankan., emiten perbankan
memimpin pergerakan saham dipasar modal.
Perkembangan jumlah bank dari tahun 1998-2004 dapat dilihat pada table berikut:

Indicator Perbankan Tahun 1998-2004 (dalam triliun rupiah)

F. Arsitektur Perbankan Indonesia)


Merupakan sebuah kerangka dasar system perbankan Indonesia yang bersifat
menyeluruh memberikan arah, bentuk, dan tatanan industry perbankan untuk rentang
waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industry
perbankan di masa dating oleh API dilandasi oleh visi mencapai tujuan system keuangan
dalam rangka membantu mendorong pertumbunan ekonomi nasional.
6 pilar perbankan Indonesia dalam API yaitu:
1. Struktur perbankan yang sehat
2. Sistem pengaturan yang efektif
3. Sestem pengawasan yang independen dan efektif
4. Industry perbankan yang kuat
5. Infrastruktur yang mencukupi
6. Perlindungan konsumen

Pada tahun 2013 Bank Indonesia mengklasifikasi bank-bank di Indonesia menjadi 4


kelas, yaitu:

Bank Internasional

•jumlah modal Rp50 triliun keatas

Bank nasional

•Jumlah modal Rp10 triliun -Rp50 triliun

Bank dengan Fokus

•yang memiliki modal Rp0,1triliun - Rp10 triliun

bank dengan kegiatan usaha terbatas

•meliputu BPR
•ban kecil yang modalnya dubawah Rp100 miliar

G. Perbankan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat


salah satu upaya adalah memberikan akses dalam mendapatkan fasilitas financial, seperti
kredit mikro dari sector perbankan. Peran lainnya adalah penyerapan tenaga kerja.
Banyak unit usaha yang bisa diciptakan dengan investasu terbatas di usaha kecil,
mencerminkan juga banyakknya kesempatan kerja baru yabg dapat diciptakan jika unit
usaha tersebut didorong untuk tumbuh dan berkembang.

H. Keuangan Mikro
Menurut Krisnamurti (2013), keuangan mikro dapat menjadi factor kritikal dalam usaha
penanggulangan kemiskinan yang efektif. peningkatan akses dan pengadaan saran
penyimpanan, pembiayaan, dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan
kelompok miskin dan peluang mereka ke luar dari kemiskinan, melalui:
1. Tingkat konsumisi yang lebih pasti dan tidak berfluktasi
2. Mengelola resiko dengan lebih baik
3. Secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun asset
4. Mengembangkan kegiatan usaha mikrinya
5. Mengutkan kapasitas perolehan pendapatannya,
6. Dapat merasakan tingkat hidup yang lebig baik.

Keuangan mikro dan dampaknya bagi kemiskinan:


I. Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dibentuk pada 2011 berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 tahun 2011 tentan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa OJK adala lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai funsi, tugas, dan wewenang pengaturam,
pengawasan, pemeriksaan dan penyedikan. OJK juga melakukan peran melindungi
konsumen.
Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industry jasa keuangan yang
terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu mewujudkan
industry jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global
serta dapat memajukan kesejahteraan umum.
Misi OJK:
1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sector jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel
2. Mewujudkan system keuangan yang tumbug secara berkelanjutan dan
stabil
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Sumber: Modul 3 BMP ESPA4314

Anda mungkin juga menyukai