Anda di halaman 1dari 6

NAMA: ACHMAD ALI RIDHA

NIM: 043076811

DISKUSI RESUME BMP PEREKONOMIAN INDONESIA


MODUL 3 KEUANGAN DAN PERBANKAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN

Pada akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1959-1965) dikeluarkannya kebijakan yang
berdampak terhadap kinerja perbankan sampai awal tahun 1960-an, yaitu
dikeluarkannya peraturan pemerintah dalam pengendalian moneter tanggal 24 Agustus
1959 yang isinya:

1) Adanya kebijakan pemotongan nilai uang kertas atau sanering. Kebijakan ini
memotong uang Rp500,00 dan Rp1000,00 menjadi tinggal sepersepuluhnya (10
persennya).
2) Pembekuan simpanan di bank-bank sebesar 90 persen untuk jumlah simpanan di
atas Rp25.000,00.
3) Penghapusan sistem bukti ekspor menjadi pungutan ekspor dan pungutan impor.

Masa represi keuangan terjadi antara periode tahun 1966-1983, yakni pada saat
peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru. Kebijakan represi keuangan pemerintah
Orde Baru meliputi program stabilisasi dan rehabilitasi, sedangkan dalam jangka panjang
diarahkan dalam bentuk program pembangunan. Untuk menunjang program tersebut,
pada tanggal 3 Oktober 1966 pemerintah mengeluarkan peraturan yang berisi antara
lain:

1) Peninjauan kembali kredit perbankan dengan memberikan batasan dalam jumlah


kredit, agunan, dan tingkat suku bunga.
2) Diberlakukan prinsip anggaran pendapatan dan belanja negara berimbang sebagai
Salah satu upaya pengendalian inflasi.
3) Adanya kebijakan debirokratisasi yang ditujukan untuk mengurangi intervensi
Pemerintah dalam perekonomian agar tercipta sistem ekonomi yang demokratis.
4) Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang bertujuan memberikan porsi yang
lebih besar bagi eksportir dan mengurangi intervensi pemerintah dalam tata niaga
ekspor dengan sistem insentif ekspor.
5) Kebijakan penundaan pembayaran utang luar negeri dan penarikan utang-utang luar
negeri baru yang tujuannya untuk mengurangi tekanan neraca pembayaran.
Setelah periode tersebut mulailah terjadi perubahan sistem perbankan di antaranya
melalui pembentukan BRI unit desa dan kredit program (subsidized credit). Dalam
penyaluran kredit program Bimbingan Massal (BIMAS), BRI menjadi bank pelaksana yang
ditunjuk oleh pemerintah. Salah satu tugas dari bank pelaksana program ini adalah
menyediakan kebutuhan dana bagi pembiayaan sarana produksi seperti bibit, pupuk,
dan pestisida. Koperasi juga berperan dalam program BIMAS melalui pembentukan
Badan Usaha Unit Desa (BUUD).
B. DEREGULASI PERBANKAN

Pada periode sebelum krisis yakni tahun 1983 sampai 1997 terdapat beberapa kebijakan
perbankan yang berpengaruh luas terhadap perekonomian. Paket kebijakan yang
pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun’83) dan yang kedua adalah Paket
Kebijakan Oktober 1988 (Pakto’88). Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk
mendorong ekspor non-migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa
dari minyak. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menerapkan
prinsip prinsip manajemen yang berorientasi pada pasar. Bentuk-bentuk subsidi bunga
dibatasi dan hanya diberikan untuk skala prioritas tertentu, sedangkan penentuan suku
bunga kredit non prioritas diserahkan pada pasar. Isi Paket Kebijakan Juni 1983 adalah:

1) Penghapusan pagu kredit sehingga perbankan dapat memberikan kredit secara lebih
fleksibel sesuai dengan kemampuan.
2) Bank diberi kebebasan dalam menentukan suku bunga, baik deposito, tabungan
maupun kredit dalam meningkatkan mobilisasi dana dari dan kepada masyarakat.
3) Pengaturan volume kredit likuiditas dapat mengurangi ketergantungan bank-bank
kepada bank sentral dengan memperkenalkan alat kebijakan moneter berupa
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan fasilitas diskonto.

Dengan kebijakan tersebut, pada bulan Mei 1983 tingkat suku bunga deposito jangka
waktu 6 bulan untuk bank-bank milik pemerintah dibebaskan. Pada bulan Juni 1983
pengendalian atas suku bunga dihilangkan.
Sementara itu paket kebijakan yang kedua (Pakto’88) dilakukan untuk: pertama
meningkatkan pengerahan dana masyarakat, kedua memperluas jangkauan layanan bagi
masyarakat terutama pelaku ekspor, ketiga mendorong tercapainya efisiensi dan
Profesionalisme dalam pengelolaan bank dengan kompetisi yang schat. Isi Paket
Kebijakan Oktober 1988 adalah:

1) Pembukaan pasar bagi industri perbankan nasional dengan cara memberi


kemudahan perijinan bagi bank devisa dan kemudahan untuk membuka kantor
cabang.
2) Penetapan pajak atas bunga deposito sebesar 15 persen, sama halnya dengan Pajak
keuntungan dari sekuritas dan obligasi.
3) Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 15 persen utang lancar menjadi 2
Persen dari DPK (Dana Pihak Ketiga).
4) Penentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan batasan sampai
dengan 20 persen dari total modal kepada peminjam tunggal atau 50 persen kepada
peminjam grup.
5) Penempatan dana BUMN di bank-bank pemerintah sampai 50 persen dan 20 Persen
pada setiap bank lainnya.
6) Diperbolehkannya bank-bank untuk melakukan diferensiasi produk DPK baik dalam
tabungan maupun deposito.
7) Adanya kelonggaran persyaratan untuk memperoleh ijin perdagangan valuta asing.

C. PERBANKAN PADA PERIODE KRISIS MONETER 1997/1998

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari krisis moneter melanda
Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai yang puncaknya
pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai
pilihan kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah pada waktu itu. Penyaluran
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling
banyak disorot karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat
berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis.

Mengingat kondisi perbankan saat itu yang kurang kondusif, maka pemerintah
melakukan penjaminan terselubung (implicit guarantee) dari Bank Sentral agar bank
yang tidak sehat tetap dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan sistemik
perbankan. Pengawasan bank sentral saat itu belum dapat mengimbangi perkembangan
perbankan yang begitu pesat dan makin kompleks. Hal itu membuat potensi krisis
menjadi terakumulasi, yang makin membuat perbankan nasional sangat sensitif
terhadap krisis. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan akibatnya fungsi
intermediasinya terganggu. Kondisi perbankan yang demikian menyebabkan dampak
yang negatif bagi perekonomian secara keseluruhan.

D. DAMPAK KRISIS TERHADAP PERBANKAN

Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunya kepercayaan


masyarakat terhadap bank. Dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997 merupakan bukti
perbankan Indonesia sangat rapuh. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat
berpengaruh dalam kegiatan ekonomi masyarakat, terutama yang menggunakan fasilitas
bank.
Ada beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan
Indonesia, yaitu:
1. Likuidasi Bank
Kebijakan pemerintah untuk melikuidasi 16 bank pada bulan November 1997
menimbulkan biaya sosial yang besar, yaitu anjloknya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan. Tidak berjalannya mekanisme intermediasi bank berdampak
buruk bagi perekonomian. Adanya kontraksi penawaran agregat dan sisi lain terjadi
pula ekspansi permintaan agregat mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
2. Penggabungan Bank (merger)
Salah satu cara menyehatkan bank adalah dengan menggabungkan beberapa bank
yang dinilai efektif untuk menghasilkan bank yang kuat dan tahan terhadap
goncangan ekonomi, Merger akan meningkatkan efisiensi yang berasal dari
penghematan biaya operasional bank. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1997 dapat memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk
melaksanakan segala kewenangan pemegang saham untuk melakukan
penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan bank tanpa melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
3. Restrukturisasi Perbankan
Restrukturisasi perbankan bertujuan untuk mengubah perbankan dari yang tidak
schat menjadi sehat dengan berbagai strategi. Untuk jangka pendek restrukturisasi
ditujukan untuk, memulihkan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan,
penggunaan sumber daya secara efisien, dan memiliki investor dan pengelola yang
profesional. Dalam jangka panjang, restrukturisasi ditujukan untuk menciptakan
stabilitas sistem keuangan jangka panjang dan menciptakan pelaku ekonomi dan
keuangan yang handal.
4. Rekapitalisasi Perbankan
Untuk mengikuti skema rekapitalisasi, bank diwajibkan dapat mencapai CAR tidak
kurang dari 25 persen. Target adanya rekapitalisasi adalah menjadikan bank domestik
mencapai CAR sampai 4 persen pada saat setelah krisis. Besarnya CAR ini
setengahnya dari standar yang ditetapkan oleh BIS (Bank for International
Settlement), yakni 8 persen.

E. PERBANKAN PASCA KRISIS

Sampai dengan periode tahun 2003-an, perbankan Indonesia boleh dikatakan disibukkan
oleh kegiatan konsolidasi, melakukan berbagai efisiensi dari soal operasional, jaringan,
kantor cabang, serta efisiensi biaya modal dengan membuang beban. Yang paling terlihat
adalah pergeseran sumber dana dari dana mahal berupa deposito ke dana murah
berupa tabungan dan giro.

Pada Juni 2003 posisi deposito berjangka masih 52 persen dari total dana pihak ketiga,
dan terus turun sehingga pada Desember 2003 menjadi 48 persen. Saat ini, total
deposito berjangka Rp405 triliun, atau 45 persen dari total dana pihak ketiga yang Rp897
triliun. Jadi, 55 persen dana pihak ketiga telah berbentuk dana murah berupa tabungan
dan giro. Struktur pendanaan ini lebih baik daripada masa sebelum krisis, di mana porsi
deposito di atas 50 persen bahkan bisa mencapai 54 persen dari dana pihak ketiga.

Tahun 2004, perbankan nasional memasuki pertumbuhan tinggi. Ini adalah tahun milik
sektor perbankan. Emiten perbankan memimpin pergerakan saham di pasar modal.
Penyelenggaraan pemilu memang sedikit menghambat laju penyaluran kredit di kuartal
pertama, tetapi fundamental yang kuat menghasilkan optimisme besar dalam
memandang perbankan.

F. ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA (API)


Mengingat API merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program restrukturisasi
perbankan maupun white paper penyehatan perbankan nasional pasca IMF, maka Bank
Indonesia akan mulai mengimplementasikan API pada tahun 2004.

Ada enam pilar sistem perbankan nasional dalam API yaitu:


1. Struktur perbankan yang sehat,
2. Sistem pengaturan yang efektif,
3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif,
4. industri perbankan yang kuat,
5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi,
6. Perlindungan konsumen.

Pada tahun 2013 Bank Indonesia akan mengklasifikasikan bank-bank di Indonesia


menjadi empat kelas, yaitu:
1. Bank internasional dengan jumlah modal Rp.50 triliun ke atas,
2. Bank nasional dengan jumlah modal antara Rp.10 triliun-Rp.50 triliun,
3. Bank dengan fokus, yaitu yang memiliki modal Rp.0,1 triliun-Rp.10 triliun,
4. Bank dengan kegiatan usaha terbatas yang meliputi BPR dan bank bank kecil yang
modalnya di bawah Rp.100 miliar.

G. PERBANKAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT

Pengembangan ekonomi rakyat merupakan cara untuk menanggulangi kemiskinan ini.


Menanggulangi kemiskinan berarti memberikan akses pada si miskin untuk bisa terlibat
dalam produksi dan distribusi tersebut. Namun demikian, keterbatasan aset produktif
yang dimiliki dan keterbataan pendidikan serta ketrampilan telah membatasi si miskin
untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi ini.
Salah satu upaya tersebut misalnya memberikan akses dalam mendapatkan fasilitas
finansial, seperti kredit mikro dari sektor perbankan. Sejauh ini alokasi kredit yang
diberikan kepada bank-bank lebih banyak masuk ke sektor modern, yang secara relatif
hanya sebagian kecil masyarakat menggelutinya.
Peran penting lain dari ekonomi rakyat adalah dalam penyerapan tenaga kerja, yang
sangat terkait dengan permasalahan kemiskinan. Masalah kekurangan kapital (investasi)
yang dihadapi Indonesia dipecahkan dengan pola investasi yang padat tenaga kerja. Data
empirik menunjukkan dengan investasi terbatas unit usaha ekonomi rakyat bisa
menciptakan lebih banyak unit usaha dan juga kesempatan kerja.

H. KEUANGAN MIKRO

Menurut Krisnamurti (2013), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha
penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana
penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan
kelompok miskin dan peluang mereka untuk ke luar dari kemiskinan, melalui:
1) Tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
2) Mengelola resiko dengan lebih baik,
3) Secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
4) Mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
5) Menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan
6) Dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.

I. OTORITAS JASA KEUANGAN

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.

Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya,
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri
jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta
dapat memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan Misi OJK adalah:

1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan


secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan
3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang


terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. OJK mempunyai
tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.

Anda mungkin juga menyukai