NIM: 043076811
Pada akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1959-1965) dikeluarkannya kebijakan yang
berdampak terhadap kinerja perbankan sampai awal tahun 1960-an, yaitu
dikeluarkannya peraturan pemerintah dalam pengendalian moneter tanggal 24 Agustus
1959 yang isinya:
1) Adanya kebijakan pemotongan nilai uang kertas atau sanering. Kebijakan ini
memotong uang Rp500,00 dan Rp1000,00 menjadi tinggal sepersepuluhnya (10
persennya).
2) Pembekuan simpanan di bank-bank sebesar 90 persen untuk jumlah simpanan di
atas Rp25.000,00.
3) Penghapusan sistem bukti ekspor menjadi pungutan ekspor dan pungutan impor.
Masa represi keuangan terjadi antara periode tahun 1966-1983, yakni pada saat
peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru. Kebijakan represi keuangan pemerintah
Orde Baru meliputi program stabilisasi dan rehabilitasi, sedangkan dalam jangka panjang
diarahkan dalam bentuk program pembangunan. Untuk menunjang program tersebut,
pada tanggal 3 Oktober 1966 pemerintah mengeluarkan peraturan yang berisi antara
lain:
Pada periode sebelum krisis yakni tahun 1983 sampai 1997 terdapat beberapa kebijakan
perbankan yang berpengaruh luas terhadap perekonomian. Paket kebijakan yang
pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun’83) dan yang kedua adalah Paket
Kebijakan Oktober 1988 (Pakto’88). Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk
mendorong ekspor non-migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa
dari minyak. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menerapkan
prinsip prinsip manajemen yang berorientasi pada pasar. Bentuk-bentuk subsidi bunga
dibatasi dan hanya diberikan untuk skala prioritas tertentu, sedangkan penentuan suku
bunga kredit non prioritas diserahkan pada pasar. Isi Paket Kebijakan Juni 1983 adalah:
1) Penghapusan pagu kredit sehingga perbankan dapat memberikan kredit secara lebih
fleksibel sesuai dengan kemampuan.
2) Bank diberi kebebasan dalam menentukan suku bunga, baik deposito, tabungan
maupun kredit dalam meningkatkan mobilisasi dana dari dan kepada masyarakat.
3) Pengaturan volume kredit likuiditas dapat mengurangi ketergantungan bank-bank
kepada bank sentral dengan memperkenalkan alat kebijakan moneter berupa
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan fasilitas diskonto.
Dengan kebijakan tersebut, pada bulan Mei 1983 tingkat suku bunga deposito jangka
waktu 6 bulan untuk bank-bank milik pemerintah dibebaskan. Pada bulan Juni 1983
pengendalian atas suku bunga dihilangkan.
Sementara itu paket kebijakan yang kedua (Pakto’88) dilakukan untuk: pertama
meningkatkan pengerahan dana masyarakat, kedua memperluas jangkauan layanan bagi
masyarakat terutama pelaku ekspor, ketiga mendorong tercapainya efisiensi dan
Profesionalisme dalam pengelolaan bank dengan kompetisi yang schat. Isi Paket
Kebijakan Oktober 1988 adalah:
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari krisis moneter melanda
Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai yang puncaknya
pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai
pilihan kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah pada waktu itu. Penyaluran
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling
banyak disorot karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat
berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis.
Mengingat kondisi perbankan saat itu yang kurang kondusif, maka pemerintah
melakukan penjaminan terselubung (implicit guarantee) dari Bank Sentral agar bank
yang tidak sehat tetap dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan sistemik
perbankan. Pengawasan bank sentral saat itu belum dapat mengimbangi perkembangan
perbankan yang begitu pesat dan makin kompleks. Hal itu membuat potensi krisis
menjadi terakumulasi, yang makin membuat perbankan nasional sangat sensitif
terhadap krisis. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan akibatnya fungsi
intermediasinya terganggu. Kondisi perbankan yang demikian menyebabkan dampak
yang negatif bagi perekonomian secara keseluruhan.
Sampai dengan periode tahun 2003-an, perbankan Indonesia boleh dikatakan disibukkan
oleh kegiatan konsolidasi, melakukan berbagai efisiensi dari soal operasional, jaringan,
kantor cabang, serta efisiensi biaya modal dengan membuang beban. Yang paling terlihat
adalah pergeseran sumber dana dari dana mahal berupa deposito ke dana murah
berupa tabungan dan giro.
Pada Juni 2003 posisi deposito berjangka masih 52 persen dari total dana pihak ketiga,
dan terus turun sehingga pada Desember 2003 menjadi 48 persen. Saat ini, total
deposito berjangka Rp405 triliun, atau 45 persen dari total dana pihak ketiga yang Rp897
triliun. Jadi, 55 persen dana pihak ketiga telah berbentuk dana murah berupa tabungan
dan giro. Struktur pendanaan ini lebih baik daripada masa sebelum krisis, di mana porsi
deposito di atas 50 persen bahkan bisa mencapai 54 persen dari dana pihak ketiga.
Tahun 2004, perbankan nasional memasuki pertumbuhan tinggi. Ini adalah tahun milik
sektor perbankan. Emiten perbankan memimpin pergerakan saham di pasar modal.
Penyelenggaraan pemilu memang sedikit menghambat laju penyaluran kredit di kuartal
pertama, tetapi fundamental yang kuat menghasilkan optimisme besar dalam
memandang perbankan.
H. KEUANGAN MIKRO
Menurut Krisnamurti (2013), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha
penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana
penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan
kelompok miskin dan peluang mereka untuk ke luar dari kemiskinan, melalui:
1) Tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
2) Mengelola resiko dengan lebih baik,
3) Secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
4) Mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
5) Menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan
6) Dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya,
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri
jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta
dapat memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan Misi OJK adalah:
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan
3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.