Anda di halaman 1dari 18

A.

Kondisi Perbankan
Deregulasi perbankan adalah keadaan dimana terjadinya perubahan
peraturan dalam perbankan, khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena
belum tangguhnya keadaan perbankan Indonesia, disebabkan perbankan
Indonesia adalah warisan dari negara penjajah di Indonesia sehingga tidak
memiliki kemampuan untuk mengelola perbankan dengan baik dan Indonesia
memang tidak didasari untuk belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih
lama mengatur soal bank.
Perkembangan faktor internal dan eksternal perbankan menyebabkan
kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat di kelompokkan dalam
empat periode, yaitu: (1) Kondisi perbankan di Indonesia sebelum
serangkaian paket- paket deregulasi di sektor riil dan moneter yang dimulai
sejak 1990-an; (2) Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya
deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir
1990-an; (3) Kondisi perbankan di Indonesia pada masa krisis ekonomi sejak
akhir 1990-an; (4) kondisi pasca krisis; dan (5) Kondisi perbankan di
Indonesia pada saat sekarang ini.

1. Kondisi Sebelum Deregulasi


Perbankan masa ini sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan
ekonomi dan politik dari penguasa, yang di dalam hal ini adalah
pemerintah. Fungsi utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan
sampai dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami
perubahan, dengan demikian fungsi utamanya adalah sebagai berikut :
a) Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana
investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar.
b) Memberikan jasa – jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan
besar.
c) Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan
pemerintah.
d) Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek
pada sektor sektor yang ingin di kembangkan oleh pemerintah.
Bank-bank yang ada tidak secara tegas di arahkan untuk
memobilisasikan dana seluas-luasnya dari seluruh anggota masyarakat,
dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat
seluas-luasnya. Kebijakan yang terkait dengan sektor perbankan hanya di
tekankan pada kegiatan usaha-usaha besar dan program-program
pemerintah. Selain karna pola kebijakan otoritas moneter pada waktu itu
yang belum mementingkan mobilisasi dana dari masyarakat luas, keadaan
di atas juga disebabkan oleh belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan.
Secara terperinci keadaan perbankan saat ini ialah sebagai berikut :
a) Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas
tentang perbankan di Indonesia.
b) Kredit likuiditas Bank Indonesia ( KLBI ) pada bank-bank tertentu.
c) Bank banyak menanggung program-program pemerintah.
d) Instrumen pasar uang yang terbatas.
e) Jumlah bank swasta yang relative sedikit.
f) Sulitnya pendirian bank baru.
g) Persaingan antar bank yang tidak ketat.
h) Posisi tawar-menawar bank relative lebih kuat daripada nasabah.
i) Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.
j) Bank bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk
menyimpan dan meminjam dana.
k) Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.

2. Kondisi Sesudah Deregulasi


Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi makro ekonomi secara
umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang
tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Untuk mengatasi situasi
yang serba tidak menguntungkan ini cara yang di tempuh pemerintah pada
waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa
deregulasi di sektor riil dan di sektor moneter. Kebijakan deregulasi yang
tidak dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan antara lain :
a) Paket 1 juni 1983 yang berisi tentang :
 Penghapusan pada kredit dan pembatasan aset lain.
 Pengurangan KLBI.
 Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga
simpanan dan pinjaman.
b) Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
c) Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan
SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
d) Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang :
 Pengerahan dana masyarakat yang meliputi :
1) Kemudahan pembukaan kantor bank.
2) Bank pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta
nasional, dan bank koperasi dapat membuka cabang di
seluruh wilayah Indonesia.
3) Kejelasan aturan pendirian bank swasta.
4) Modal disetor bank umum Rp. 10 Milliar.
5) Modal disetor BPR minimal 50 juta.
6) BPR dapat ditingkatkan menjadi bank umum.
 Efisiensi lembaga keuangan, yang meliputi hal – hal berikut :
1) BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai
dengan 50% dananya pada bank nasional manapun.
2) Bank maksimum pemberian kredit (BMPK) bagi bank dan
lembaga keuangan bukan bank.
 Pengendalian kebijakan moneter, yang meliputi hal – hal sebagai
berikut :
1) Likuiditas wajib minimum perbankan dan lembaga
keuangan bukan bank diturunkan dari 15% menjadi 2 %
dari jumlah dana pihak ketiga.
2) SBI dan SPBU yang semula hanya berjangka waktu 7 hari,
sekarang ditambah dengan berjangka waktu sampai dengan
6 bulan.
 Pengembangan pasar modal, yang meliputi sebagai berikut :
1) Bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan
pajak penghasilan sebesar 15% agar dunia perbankan
mendapat perlakukan yang sama dengan pasar modal.
2) Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga
tabungan.
3) Perluasan modal bank dan lembaga keuangan bukan bank
dapat dilakukan dengan penjualan saham baru melalui psar
saham.
e) Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang :
 Aturan penyelenggara bursa efek oleh swasta.
 Alternative sumber pembiayaan berupa sewa guna usaha, pajak,
piutang, modal ventura, perdagangan surat berharga.
f) Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang :
 Penyempurnaan paket sebelumnya
 Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat memliki met
open position maksimum sebesar 25% dari modal sendiri.
g) Paket 29 Januari 1990 yang berisi tentang :
h) Paket 28 Februari 1991 yang berisi tentang :
i) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
j) Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan
kesehatan bank meliputi :
 Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio).
 Batas maksimum kredit (BMPK).
 Kredit usaha kecil (KUK).
 Pembentukan cadangan piutang.
 Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposite
ratio).
Pada masa setelah deregulasi perbankan di Indonesia mempunyai ciri –
ciri sebagai berikut :
a) Peraturan yang memberikan kepastian hukum
b) Jumlah bank swasta banyak bertambah.
c) Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.
d) Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat.
e) Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.

3. Kondisi Saat Krisis Ekonomi (1997-1998)


Deregulasi dan penerapan kebijakan – kebijakan lain yang terkait
dengan sektor moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan leboh
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja makro ekonomi di
Indonesia. Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan
perbankan menjadi lebih besar peran sertanya dalam menunjang kegiatan
disektor rill melalui peningkatan produksi barang dan jasa. Deregulasi
diatas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen risiko perbankan
yang baik. Krisis ekonomi yang awalnya hanya dipandang sebagai krisis
moneter ini banyak menyebabkan perusahaan dalam kondisi perbankan di
Indonesia sehingga kondisi saat ini adalah :
a) Tingkat kepercayaan masayrakat dalam dan luar negeri terhadap
perbankan di Indonesia menurun drastis.
b) Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c) Adanya spread negative.
d) Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru.
e) Jumlah bank menurun.
Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 –
1998 memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan
pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi
sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah penting yang
dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
a) Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana
implementasi yang jelas.
b) Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang
menjadi standard internasional bagi pengawasan bank.
c) Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan
mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS).
d) Menerapkan Bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan
masyarakat di bank.
e) Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN,
Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency
(INDRA).
f) Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank
BUMN dan bank‐bank yang direkap.
g) Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.

Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik


arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis
keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga
lembaga‐lembaga internasional berupaya keras menanggulangi krisis
tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang
menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan
pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Secara spesifik
langkah‐langkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan
dan perbankan tersebut adalah :
a) Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
b) Mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih
memiliki potensi untuk melanjutkan kegiata usahanya dan bank‐bank
yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya.
c) Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi
perbankan dengan melakukan marger.
d) Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di
industri perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN).
e) Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan
perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang
Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam
penetapan kebijakan.
Meskipun istilah yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti
bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan
pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Deregulasi lebih tepat
diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas
moneter untuk meningkatkan dunia perbankan dan pada akhirnya juga
diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan :
a) Paket 1 Juni 1983 yang berisi tentang :
 Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai
instrumen pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
 Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
 Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga
simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
b) Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
c) Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan
SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
d) Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang : Pengerahan dana
masyarakat, yang meliputi : Kemudahan pembukaan kantor bank,
Kejelasan aturan pendirian bank, Bank dan lembaga keuangan bukan
bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin,
Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
e) Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket
sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan
prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
f) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
g) Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan
kesehatan bank meliputi :
 CAR (Capital Adequacy Ratio).
 Batas Maksimum Pemberian Kredit.
 Kredit Usaha Kecil.
 Pembentukan cadangan piutang.
 Loan to Deposit Ratio

4. Pasca Krisis
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan
tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para
pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target
pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa
yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya
dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya
Indonesia.
Ada kekhawatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri.
Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi
memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun
depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak
mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.

5. Kondisi Perbankan Terkini


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, sampai saat ini kondisi
kesehatan bank secara umum masih bagus. Dari 118 bank, sebagian besar
memiliki rating II atau bagus dan hanya sekitar 10 persen yang rating III
atau standar. Industri perbankan pada masih tumbuh. Kredit tumbuh 4,18
persen. Dana tumbuh sekitar 4,5 persen. Masih terdapat pertumbuhan
walaupun tidak secepat semester I 2015 (melambat karena pengaruh
kondisi ekonomi).
Sementara akibat depresiasi rupiah, yang terkait adalah risiko pasar
melalui neraca (liabilities dan aset valas) dan jenis banknya. Secara
regulasi, threshold (ambang batas) valas maksimal 20 persen dari modal.
Saat ini, secara industri posisi devisa netto (PDN) masih sekitar lima
persen.
Secara individual PDN 54 bank devisa ada di posisi PDN 2-10
persen jauh dari threshold. Dari 54 bank devisa itu, 51 bank posisinya
long (beli). Artinya meski rupiah melemah, balance sheet (neraca) bank
memberikan efek positif bagi laba-rugi. Sementara tiga bank posisi short
(jual), akan memberi efek negatif bagi laba-rugi. Akan tetapi posisi PDN
masih jauh di bawah threshold sehingga tidak terlalu berpengaruh.
Adapun dari sisi rasio kecukupan modal (CAR) 118 bank, menurut
profil risiko kisarannya 10-14 persen. Artinya, CAR bank semua
memenuhi CAR profil risiko. Paling rendah, secara individu CAR 11
persen, sementara yang paling tinggi bisa 35 persen. Rata-rata CAR
industri 20,19 persen.
B. Arsitektur Perbankan Indonesia
Pada tahun 2004 Bank Indonesia meluncurkan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) sebagai kelanjutan program restrukturisasi perbankan yang
sudah berjalan sejak krisis tahun 1998. API lahir bertitik tolak dari keinginan
untuk memiliki fundamental perbankan kuat. Pada Sub bab berikut akan
dijelaskan lebih mendalam mengenai API.

1. Pengertian dan Visi Arsitektur Perbankan Indonesia


Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah suatu kerangka dasar
sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan
arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima
sampai sepuluh tahun ke depan (Bank Indonesia, 2004). Jadi dapat
dikatakan bahwa API akan menjadi arah dan bentuk yang dituju oleh
perbankan nasional. Dengan arsitektur perbankan ini, perbankan nasional
akan memiliki fundamental yang kuat dalam kurun waktu sepuluh tahun
ke depan dari sisi struktur modal, regulasi, pengawasan, infrastruktur,
operasional perbankan dan keamanan nasabah.
Visi Arsitektur Perbankan Indonesia adalah menciptakan sistem
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan
sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional (Bank Indonesia, 2004). Krisis ekonomi 1998 menjadi
bukti bahwa perbankan nasional sangat rapuh menghadapi gejolak yang
terjadi. Arsitektur Perbankan Indonesia akan menjadi pondasi dasar
dalam mewujudkan sebuah sistem perbankan nasional yang tangguh
terhadap gejolak yang terjadi dan mampu menjadi lembaga intermediasi
bagi sektor riil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

2. Pilar-Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia


Bank Indonesia memperkenalkan adanya enam pilar Arsitektur
Perbankan Indonesia untuk mencapai visi Arsitektur Perbankan Indonesia
yaitu:
a) menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat, mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat, dan mendorong pembangunan
ekonomi nasional.
b) menciptakan sistem pengaturan bank yang efektif sesuai standar
internasional.
c) pengawasan bank yang independen dan efektif.
d) menciptakan industri perbankan yang kuat dan berdaya saing tinggi
serta memiliki ketahanan menghadapi resiko.
e) mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk terciptanya industri
perbankan yang sehat
f) perlindungan konsumen perbankan (nasabah).

Arsitektur Perbankan Indonesia juga memuat program-program dan


tahapan kegiatan yang bersifat konkrit mengenai implementasinya guna
mewujudkan pilar-pilar di atas. Berikut ini akan dijelaskan program-
program yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia beserta tahapannya:
a) Program Penguatan Struktur Perbankan
Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank
umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan
kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan
teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna
mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan.
Upaya peningkatan modal bank-bank tersebut dapat dilakukan
dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan
tahap pencapaian. Cara pencapaiannya melalui:
1) Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun
investor baru.
 Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank
umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD)
menjadi Rp. 80 milyar (periode 2007-2010).
 Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp. 3
triliun untuk oendirian bank umum konvensional sampai
dengan 1 Januari 2011 (periode 2004-2010).
 Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp. 1
triliun untuk pendirian bank umum syariah (periode 2005).
 Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp. 500 miliar bagi
bank umum syariah yang berasal dari spin off unit usaha
syariah (periode 2006).
 Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan
minimum modal disetor BPR yang semula tahun 2010
menjadi tahun 2008 (periode 2008)
2) Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai
persyaratan modal minimum baru.
3) Memperkuat daya saing BPR dan kelembagaan BPR dan BPRS
 Meningkatkan linkage program antara bank umum dengan
BPR (periode 2007).
 Implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan
syariah dengan BPRS melalui kemitraan strategis dalam
rangka pengembangan UMKM (periode 2007).
 Mendorong pendirian BPR dan BPRS di pulau Jawa dan
Bali (periode 2006- 2007).
 Mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS
yang telah memenuhi persyaratan (periode 204-2006).
 Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk
BPR dan BPRS (periode 2006-2007)
4) Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal.
5) Penerbitan subordinated loan.
6) Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKM
 Memfasiliasi pembentukan dan monitoring skim
penjaminan kredit dan pembiayaan (periode 2004-2007).
 Mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan
kepada UMKM khususnya bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah dan di daerah pedesaan (periode
2004-2009).
 Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi UMKM
dengan pengembangan skema jaminan bagi pembiayaan
syariah (periode 2010).
 Mendorong bank syariah untuk meningkatkan porsi
pembiayaan berbasis bagi hasil (periode 2010).
b) Program peningkatan kualitas pengaturan perbankan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada
international best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan
penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta
penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking
Supervision secara bertahap dan menyeluruh.
1) Memformalkan proses sindikasi dalam menyusun kebiajakan
perbankan.
 Melibatkan pihak II dalam setiap pembuatan kebijakan
perbankan (periode 2004).
 Membentuk panel ahli perbankan (periode 2004).
 Memfasilitasi pembentukan lembaga riset perbankan di
daerah tertentu maupun pusat (periode 2006).
2) Implementasi secara bertahap internasional best practices
 25 basel core principles for effective banking supervisor
(periode 2004-2013).
 Basel II (periode mulai 2008).
 Islamic financial service board (IFSB) bagi bank syariah
(periode 2005-2011).
c) Program peningkatan fungsi pengawasan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan independensi dan
efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia. Hal ini dicapai dengan:
1) Meningkatkan koordinasi dengan lembaga pengawas lain.
Membuat MOU dengan lembaga pengawas lembaga
keuangan lain dalam rangka peningkatan efektifitas pelaksanaan
pengawasan bank (kerjasama secara regular) (periode 2004-
2006).
2) Melakukan reorganisasi sektor perbankan di BI
 Menyempurnakan High Level Organization Structure
(HLOS) sector perbankan Bank Indonesia (periode 2004-
2006).
 Mengkonsolidasikan satker pengawasan dan pemeriksaan
termasuk pembentukan Pooling Spesialis (periode 2004-
2006).
 Mengkonsolidasikan Direktorat Pengawasan BPR dan Biro
Kredit di Bank Indonesia termsuk mengalihkan tugas
(periode 2006-2007):
 Penelitian dan pengembangan UMKM dari Biro Kredit
ke Direktorat Pengawasan BPR.
 Pemeriksaan kredit dari Biro Kredit ke Unit Khusus
Penyelesaian Aset.
 Penyempurnaan organisasi Direktorat Pengawasan BPR
(PBPR) untuk mengakomodasi pengalihan fungsi
penjaminan BPR ke Lembaga Penjamin Simpanan serta
pemindahan fungsi perijinan BPR baru dan fungsi penelitian
dan pengaturan ke satuan kerja lain di BI (periode 2005-
2006).
 Menyempurnakan organisasi Direktorat Perbankan Syariah
(periode 2005- 2006).
3) Menyempurnakan infrastruktur pendukung pengawasan Bank
 Meningkatkan kompetensi pengawas bank umum dan BPR
bank konvensional maupun syariah antara lain melalui
program sertifikasi dan attachment di lembaga pengawas
internasional (periode 2004-2005).
 Penyiapan SDM pengawas spesialis (periode 2006).
 Menyempurnakan IT pengawasan bank (periode 2005-
2006).
 Menyempurnakan sistem pelaporan BPR (periode 2005-
2007).
 Menyempurnakan manajemen dokumen pengawasan bank
(periode 2005- 2006)
4) Menyempurnakan implementasi sistem pengawasan berbasis
resiko
Menyempurnakan pedoman dan alat bantu pengawasan
dalam mendukung implementasi pengawasan berbasis resiko
bank umum konvensional dan syariah (periode 2004-2006).
5) Meningkatkan efektivitas enforcement
 Menyempurnakan proses investigasi kejahatan perbankan
(periode 2004-2005).
 Meningkatkan transparansi pengawasan dalam mendukung
efektifitas enforcement (periode 2006).
 Meningkatkan perlindungan hukum bagi pengawas bank
(periode 2006).
d) Program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate
governance (GCG), kualitas manajemen resiko dan kemampuan
operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan
didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko)
yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional
perbankan. Melalui program ini diharapkan kondisi internal
perbankan nasional menjadi semakin kuat. Program ini dapat dicapai
dengan:
1) Meningkatkan Good Corporate Governance
 Menetapkan minimum standar GCG untuk bank umum
konvensional dan syariah (periode 2004-2007).
 Mewajibkan bank untuk melakukan self assessment
pelaksana GCG (periode 2007).
 Mendorong bank untuk go public (periode 2004-2007)
2) Meningkatkan kualitas manajemen resiko perbankan.
 Mempersyaratkan sertifikasi manajer resiko bank umum
konvensional dan syariah (periode 2004-2007).
 Meningkatkan kualitas dan standar SDM BPR dan BPRS
antara lain melalui program sertifikasi professional bagi
pengurus BPR dan BPRS (periode 2005- 2008).
3) Meningkatkan kemampuan operasional bank
 Mendorong bank-bank untuk melakukan sharing
penggunaan fasilitas operasional guna menekan biaya
(periode 2006-2008).
 Memfasilitasi kebutuhan pendidikan dalam rangka
peningkatan operasional bank (periode 2006-2007).
e) Program pengembangan infrastruktur perbankan
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung
operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga
pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan skim penjaminan
kredit. Program ini dapat dicapai dengan:
1) Mengembangkan Credit Bureu (Biro Kredit)
 Melakukan pembentukan credit bureu (Biro Kredit)
(periode 2004-2005).
 Mengembangkan sistem informasi debitur untuk Lembaga
Keuangan Non Bank (periode 2006-2008).
2) Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah (Islamic
Financial Market)
 Menyusun dan menyempurnakan peraturan pasar keuangan
syariah (periode 2006-2010).
 Menyusun peraturan yang berkaitan dengan instrument
pasar keuangan syariah.
3) Meningkatkan peran lembaga fatwa dan lembaga arbitrase
syariah
Meningkatkan peran lembaga fatwa syariah dan lembaga
arbitrase syariah sebagai bagian dari upaya peningkatan
kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah
f) Program peningkatan perlindungan nasabah
Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui
penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah,
pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi
informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Program ini
dapat dicapai dengan:
1) Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah
 Menetapkan persayaratan minimum mekanisme pengaduan
nasabah (periode 2004-2005).
 Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang
mengatur mekanisme pengaduan nasabah (periode 2006-
2010).
2) Membentuk lembaga mediasi independen
Memfasilitasi pendirian lembaga mediasi perbankan
(periode 2004-2008).
3) Menyusun transparansi informasi produk
 Memfasilitasi penyusunan standar minimum transparansi
informasi produk bank (periode 2004-2005).
 Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan yang
mengatur transparansi informasi produk bank (periode
2006-2010) .
4) Mempromosikan edukasi untuk nasabah
 Mendorong bank untuk melakukan edukasi kepada nasabah
mengenai produk-produk finansial (periode mulai 2004).
 Meningkatkan efektifitas kegiatan edukasi masyarakat
mengenai perbankan syariah melalui Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah (PKSE) (periode mulai 2004).

3. Tantangan bagi dunia perbankan


Adapun tantangan yang dihadapi dalam dunia perbankan adalah sebagai
berikut:
a) Pertumbuhan kredit perbankan yang masih rendah .
b) Struktur perbankan yang belum stabil.
c) Pemenuhan kebutuhan layanan perbankan yang masih kurang.
d) Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan.
e) Kapabilitas pebankan yang masih lemah.
f) Profitabilitas dan efisiensi bank yang tidak mampu bertahan.
g) Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan.
h) Perkembangan teknologi informasi.

Anda mungkin juga menyukai