Anda di halaman 1dari 8

Nama : Fahrurrozi Nul Hakim

No. Bp : 1810112084
Kelas : Hukum Perbankan 3.2 (S2)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Apakah Lembaga Penjamin Simpanan?
Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian
nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan eknonomi nasional. Stabilitas
industri perbankan dimaksud sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Beberapa peristiwa pada penghujung tahun 1997 di antaranya likuidasi 16 Bank yang diikuti
dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan
masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia menurun, sehingga terjadi penarikan dana
masyarakat dari sistem perbankan (Bank Runs) dalam jumlah yang sangat signifikan. Untuk
meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus guna
menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, Pemerintah memberikan jaminan atas seluruh
kewajiban pembayaran Bank, termasuk simpanan masyarakat (Blanket Guarantee). Pemberian
jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Sejak 1998 hingga Februari 2004 program penjaminan Pemerintah dilaksanakan oleh
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini menangani pelaksanaan penjaminan
Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran 52 Bank yang dibekukan operasi atau kegiatan
usahanya sejak 1998.
Pada saat BPPN berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004, pelaksanaan program
penjaminan Pemerintah dialihkan ke Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Presiden nomor
17 Tahun 2004. Program penjaminan yang belum diselesaikan oleh BPPN selanjutnya
dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. Untuk melaksanakan program penjaminan Pemerintah ini,
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk membentuk unit pelaksana penjaminan Pemerintah
dalam lingkungan Departemen Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 27 Februari
2004 Menteri Keuangan membentuk Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3).
Dalam pelaksanaannya, penjaminan yang sangat luas tersebut memang terbukti dapat
menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Namun demikian,
luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat
menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari pengelola Bank maupun dari masyarakat.
Pengelola Bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah
tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan Bank karena simpanannya dijamin secara penuh
oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban Bank kurang
mendorong terciptanya disiplin pasar. Selain itu, penerapan penjaminan secara luas ini yang
berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum sehingga
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh karena itu diperlukan dasar
hukum yang lebih kuat dalam bentuk Undang-Undang.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah
penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas
tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan untuk membentuk suatu Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September
2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24
tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk LPS,
suatu lembaga independen, yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Undang-undang
tersebut berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi
beroperasi.
Siapa yang dijamin:
1. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2. Simpanan nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dijamin meliputi:
a. Giro berdasarkan Prinsip Wadiah.
b. Tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah.
c. Tabungan berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah
muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh Bank.
d. Deposito berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah
muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh Bank dan/atau
e. Simpanan berdasarkan Prinsip Syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah
mendapat pertimbangan LPP.
3. Simpanan yang dijamin merupakan simpanan yang berasal dari masyarakat, termasuk yang
berasal dari Bank lain.
4. Nilai Simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha
Bank.
5. Saldo tersebut berupa:
a. Pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang
memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari transaksi dengan prinsip syariah.
b. Pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang
memiliki komponen bunga.
c. Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan menggunakan tingkat
diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk Simpanan yang memiliki komponen diskonto.
6. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu Bank adalah hasil penjumlahan saldo
seluruh rekening Simpanan nasabah pada Bank tersebut, baik rekening tunggal maupun
rekening gabungan (joint account).
7. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang diperhitungkan bagi satu
nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut yang dibagi secara prorata dengan jumlah
pemilik rekening.
8. Dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi
kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai
saldo rekening pihak lain (beneficiary) yang bersangkutan.
9. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu Bank adalah:
a. Seluruhnya, sejak tanggal 22 September 2005 sampai dengan 21 Maret 2006.
b. Paling tinggi sebesar Rp 5,000,000,000 (lima miliar rupiah), sejak tanggal 22 Maret
2006 sampai dengan 21 September 2006.
c. Paling tinggi sebesar Rp 1,000,000,000 (satu miliar rupiah), sejak tanggal 22
September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007.
d. Paling tinggi sebesar Rp 100,000,000 (seratus juta rupiah), sejak tanggal 22 Maret
2007.

Latar Belakang Berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Dengan melihat salah satu sisi negatif blanket guarantee dan setelah mempertimbangkan
faktor lainnya serta semakin membaiknya kondisi perbankan, kebijakan blanket
guarantee akhirnya diputuskan untuk diakhiri. Namun pemerintah menilai bahwa penjaminan
simpanan masih tetap diperlukan untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
dan meminimalkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral
hazard. Sehingga penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut diganti dengan sistem
penjaminan yang terbatas.
Maka dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yaitu lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (UU LPS) yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009. UU LPS
diundangkan tanggal 22 September 2004 dan mulai berlaku 12 bulan setelah diundangkan, yaitu
tanggal 22 September 2005. Dengan berlakunya UU LPS, maka LPS mulai beroperasi sejak
tanggal 22 September 2005. Perubahan yang signifikan dalam penjaminan melalui LPS adalah
dihapuskannya blanket guarantee, yaitu penjaminan seluruh kewajiban bank, tanpa ada batasan
nilai menjadi limited guarantee, yaitu penjaminan secara terbatas.
Tugas dan Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS merupakan lembaga independen yang
berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem
perbankan sesuai kewenangannnya. Simpanan nasabah bank konvensional yang dijamin LPS
berbentuk: tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito, dan bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu. Selain itu, LPS juga menjamin simpanan nasabah bank syariah yang berbentuk: giro
wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Secara detil, LPS mempunyai beberapa tugas dalam menjalankan fungsinya, antara lain:
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan
2. Melaksanakan penjaminan simpanan
3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas
sistem perbankan
4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang
tidak berdampak sistemik
5. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik
Untuk menunjang tugas dan fungsi tersebut, LPS diberikan wewenang antara lain:
1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan dan kontribusi ketika bank pertama kali
menjadi peserta sekaligus melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS
2. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan
laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank sekaligus
melakukan rekonsiliasi, verifikasi dan konfirmasi atas data tersebut
3. Menetapkan syarat, tata cara dan ketentuan pembayaran klaim
4. Menunjuk, menguasakan, dan menugaskan pihak lain bertindak atas nama LPS, untuk
melaksanakan sebagian tugas tertentu
5. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan
termasuk menjatuhkan sanksi administratif bagi yang melanggar ketentuan
Untuk transaksi transfer masuk dan keluar serta inkaso bukan merupakan bentuk simpanan,
sehingga tidak dijamin. Kecuali transfer keluar dari simpanan yang belum keluar dari bank masih
diperlakukan sebagai simpanan. Begitu juga transfer masuk yang sudah diterima bank untuk
nasabah diperlakukan sebagai simpanan, meskipun belum dibukukan ke rekening.

Nilai Simpanan yang Dijamin LPS


Nilai simpanan yang dijamin LPS adalah Rp2 miliar maksimal per nasabah per bank.
Apabila nasabah mempunyai beberapa rekening simpanan dalam satu bank, maka simpanan yang
dijamin dihitung dari jumlah saldo seluruh rekening. Nilai simpanan yang dijamin meliputi:
simpanan pokok ditambah bunga untuk bank konvensional dan simpanan pokok ditambah bagi
hasil untuk bank syariah. Sedangkan untuk simpanan diatas Rp2 miliar diselesaikan Tim Likuidasi
berdasarkan likuidasi kekayaan bank. Untuk nasabah yang mempunyai rekening gabungan (joint
account), maka saldo pada rekening gabungan dibagi sama besar antar pemilik rekening.
Proses dan Cara Pembayaran Klaim Nasabah pada LPS
Jika terjadi risiko terhadap bank di mana nasabah menyimpan uang didalamnya dan masih
masuk dalam nilai simpanan yang dijamin LPS, maka nasabah bisa melakukan klaim kepada LPS.
Apabila nasabah mempunyai kewajiban pada bank, maka pembayaran klaim penjaminan terhadap
nasabah terlebih dahulu memperhitungkan kewajibannya (set off). Adapun cara pembayaran klaim
nasabah adalah sebagai berikut:
1. LPS menentukan simpanan nasabah yang layak bayar, setelah rekonsiliasi dan verifikasi
data simpanan nasabah bank yang dicabut izin usahanya dalam waktu 90 hari kerja sejak
izin usaha bank dicabut
2. LPS mulai membayar simpanan yang layak bayar selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak
verifikasi dimulai
3. Jangka waktu pengajuan klaim penjaminan adalah 5 tahun sejak izin usaha dicabut
Bagi nasabah yang merasa dirugikan, dapat mengajukan keberatan kepada LPS yang
didukung dengan bukti nyata dan jelas, serta melakukan upaya hukum melalui pengadilan. LPS
menjamin simpanan seluruh bank konvensional dan bank syariah di wilayah Republik Indonesia,
baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Syarat Berlakunya Simpanan yang Dijamin LPS


Apabila nasabah mendapatkan bunga simpanan melebihi suku bunga wajar yang
ditetapkan LPS, maka simpanan tersebut tidak dijamin LPS, baik simpanan pokok maupun
bunganya. Nasabah dapat menunggu pengumuman hasil rekonsiliasi dan verifikasi simpanan
tahap I di kantor bank, media cetak dan website LPS. Selain itu nasabah harus memenuhi syarat-
syarat berikut ini agar klaimnya dibayar LPS:
1. Simpanan nasabah tercatat dalam pembukuan bank
2. Nasabah tidak memperoleh bunga simpanan yang melebihi tingkat suku bunga wajar yang
ditetapkan LPS atau nasabah tidak menerima imbalan yang tidak wajar dari bank
3. Nasabah tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, seperti: memiliki kredit macet
Sesuai Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan, setiap bank
wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Sehingga untuk
menjamin simpanan masyarakat pada bank tersebut dibentuk LPS. Ketentuan tersebut dipertegas
kembali dalam Pasal 12 UU LPS yang menyebutkan bahwa setiap bank yang melakukan kegiatan
usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.
Semua biaya peserta penjaminan simpanan LPS akan ditanggung oleh bank yang
bersangkutan, sehingga nasabah tidak dibebani biaya apapun. Namun hak nasabah atas bunga
simpanan terhenti ketika bank tersebut dicabut izin usahanya. Jenis bank peserta penjaminan LPS
meliputi: bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta
bank konvensional dan bank syariah.

Kewajiban Bank Terkait Simpanan yang Dijamin LPS


Agar simpanan nasabah di bank mendapatkan jaminan oleh LPS, maka sebagai peserta
penjaminan LPS, setiap bank wajib:
1. Menyerahkan dokumen, antara lain:
a. Salinan anggaran dasar dan akta pendirian bank
b. Salinan dokumen perizinan bank
c. Surat keterangan dari LPP mengenai tingkat kesehatan bank
d. Surat pernyataan dari pemegang saham atau pengendali bagi yang berbadan hukum
koperasi serta kantor pusat dari cabang bank asing, direksi dan komisaris
e. Menyampaikan laporan secara berkala, membayar kontribusi kepesertaan dan premi
penjaminan
2. Memberikan data, informasi dan dokumen yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
penjaminan
3. Menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya
agar mudah diketahui masyarakat
4. Menempatkan pengumuman pada seluruh kantor bank agar diketahui dengan mudah oleh
nasabah, mengenai:
a. Maksimum tingkat bunga yang dianggap wajar dan ditetapkan LPS
b. Maksimum nilai simpanan yang dijamin LPS
Pemerintah mempunyai komitmen untuk tetap menjaga keberlangsungan LPS, serta
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap LPS. Untuk menjalankan fungsi tersebut LPS bisa
mengambil sumber pendanaan yang berasal dari:
1. Modal awal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebesar Rp4 triliun
2. Kontribusi kepesertaan yang dibayarkan ketika bank pertama kali menjadi peserta
3. Premi penjaminan yang dibayar bank tiap semester
4. Hasil investasi cadangan penjaminan
Di dalam UU LPS, sudah diatur jika LPS sampai kekurangan modal awal, maka pemerintah
akan menutup kekurangan tersebut setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Sedangkan jika
LPS mengalami kesulitan likuiditas dalam pembayaran klaim penjaminan, maka Pemerintah akan
memberikan pinjaman kepada LPS. Stuktur Organisasi LPS terdiri dari: Dewan Komisioner dan
Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner merupakan pimpinan LPS, yang dipimpin seorang Ketua
Dewan Komisioner. Dewan Komisioner LPS diangkat oleh Presiden. Sedangkan Kepala Eksekutif
merupakan Anggota Dewan Komisioner yang bertugas melaksanakan kegiatan operasional LPS.
Peran LPS sebagai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Nasional
Sebelum menjelaskan peran LPS dalam menjamin simpanan nasabah dan memelihara
stabilitas sistem perbankan dikemukakan terlebih dahulu hubungan kelembagaan atau koordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, LPS, Kementerian Keuangan, dan Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).
Menurut paparan beberapa pakar, untuk pengamanan sistem perbankan nasional
penerapannya dapat dianalogikan sebagai tim sepak bola ada penyerang, pemain tengah, bek
(pemain belakang) dan kiper. Setiap posisi punya peran masing-masing. Jika dianalogikan dengan
sistem perbankan kita memiliki fungsi masing-masing. OJK berperan sebagai ujung tombak (front
office). Dengan perannya mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif. OJK
diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai tujuan, yaitu sistem perbankan yang
sehat, stabil, bertumbuh, dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi
permasalahan secara dini dan prompt corrective actions diharapkan permasalahan perbankan dapat
diatasi pada stadium awal.
Adapun tujuan OJK dibentuk agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
Berdasarkan Pasal 41 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, bahwa OJK menginformasikan
kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya di belakang OJK berdiri BI sebagai lini tengah berperan mengatur kebijakan
makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi industri perbankan
sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal. Peran konkrit BI, saat sebuah
bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas pinjaman likuiditas sebagai
bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi Indonesia.
LPS berada pada posisi belakang/bertahan, LPS melakukan penyelamatan, dalam arti
menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan melaksanakan resolusi (penyehatan)
bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya mengalami permasalahan
solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa
aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana talangan dari LPS akan
hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan
sebagai penyertaan sementara. Jangka waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali
sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan.
Di samping itu, berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 OJK, LPS dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya serta
berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK, karena pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap
bank adalah wewenang OJK. Berdasarkan undang-undang, lingkup pemeriksaan LPS terhadap
bank meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank
bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan.10 Selanjutnya BI dan LPS wajib
membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.
Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan adalah
pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu sebagai
pemegang otoritas terhadap fiskal dan koordinator jaminan pengaman keuangan, Financial Safety
Nets (FSN), mampu memberikan kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. Untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan dibentuklah FKSSK.
Berkenaan dengan pengambilan keputusan dalam kondisi kesulitan keuangan yang
berdampak sistemik dan mengantipasi ancaman krisis keuangan global yang dapat membahayakan
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, maka pemerintah membuat suatu landasan
hukum yang kuat, mekanisme koordinasi antar lembaga, serta mekanisme pengambilan keputusan
yang efektif dan tepat sehingga tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara
terpadu, efisien, dan efektif

Anda mungkin juga menyukai