Anda di halaman 1dari 8

BANTUAN UNTUK PENYELAMATAN KRISIS KEUANGAN 1997

Masyarakat umumnya mengenal BLBI sebagai bentuk penyelamatan krisis keuangan


1997-1998. BLBI memang dimaksudkan untuk hal itu, tetapi BLBI bukan satu-satunya
bentuk penyelamatan krisis keuangan tersebut.
Bantuan untuk penyelamatan krisis keuangan 1997 berjumlah Rp 647.129 miliar dengan
perincian yang dapat dilihat dari tabel 28.2
Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998 telah
melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan kebijakan yang diambil
pemerintah waktu itu. Penyaluran BLBI paling banyak disorot Panitia Kerja (Panja
BLBI) Komisi IX DPR RI, yang ditindaklanjuti dengan audit investigasi oleh BPK. BLBI
menyangkut alira dana yang sangat besar dan berdampak negatif atas pengelolaan negara
pasca krisis.
Pengetatan likuiditas yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi depresiasi rupiah
memberikan dampak buruk bagi perbankan dan sektor riil. Penutupan 16 bank pada
tanggal 1 November 1997, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan
terhadap bank, justru mengakibatkan keadaan yang sebaliknya.
Masyarakat menarik simpanan dari perbankan secara besar-besaran dan perpindagan dari
satu bank yang dipandang kurang sehat ke bank lain yang dianggap lebih sehat. Uang
kartal yang dipegang masyarakat melonjak dari Rp 24,9 triliun pada akhir Oktober 1997
menjadi Rp 37,5 triliun pada akhir Januari 1998; jumlah ini terus meningkat hingga
puncaknya pada Juli 1998 sebesar Rp 45,4 triliun.
Dengan kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada tanggal 6 Februari
1999, posisi BLBI pada akhir Desember 1998 yang telah mencapai Rp 147,7 triliun
direvisi menjadi Rp 144.54 triliun..
Istilah BLBI dikenal sejak 15 Januari 199 dalam Letter of Intent pemerintah kepada
International Monetary Fund (IMF). Mantan Gubernur BI menulis:
"Meskipun bantuan likuiditas untuk menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dan
dipergunakan sejak lama, istilah BLBI baru digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1998.
Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjalankan program pemulihan ekonomi dengan
dukungan IMF yang menyebutkan berbagai fasilitas tadi sebagai liquidity support. Sebagai
terjemahan dari liquidity support dan untuk membedakan dari KLBI yang lebih dikenal di

masyarakat telh digunakan istilah BLBI.


BLBI meliputi 15 jenis bantuan yang dapat digolongkan ke dalam lima kelompok fasilitas sebagai
berikut:
1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistim pembayara yaang bisa
terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan
dana perbankan, yang disebut fasilitas dikonto (disingkat Fasdis). Fasdis diberikan untuk
jangka pendek (Fasdis 1) dan yang berjangka lebih panjang (Fasdis II).
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter
dalam bentuk SBPU lelang maupun bilateral.
3. Fasilitias dalam rangka penyehatan bank (nursing atau rescue) dalam bentk kredit
likuiditas darurat (LKD) dan kredit sub-ordinasi (SOL).
4. Fasilitas untuk mejaga kestabilan sistim perbankan dan sistem pembayaran sehubungan
dengan adanya penarikan dana perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush)
dalam bentuk penarikan cadangan wajib (GMW) atau adanya saldo negatif atau saldo
debet atau overdraft rekening bank di BI.

5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam


bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban yang timbul dari pelaksanaan janji
Pemerintah memperhatikan kepentingan deposan, dimulai dengan deposan kecil dan
kemudian keseluruhan deposan dan kreditur bank dalam sistim penjaminan menyeluruh
(blanket guarantee) dan membayar kewjiban luar negeri bank dalam rangka perjanjian
Frankfrut. "

Para bankir yang menikmati BLBI diminta meyeleseikan kewajiban mereka. Ada tiga bentuk:
Perjanjian Penyeleseian BLBI dengan Jaminan Aset (Master of Settlement an Acquisition
Agreement/MSAA), Perjanjian Penyeleseian BLBI dengan Jaminan Aset dan Jaminan Pribadi
(Master of Refinancing and Note Issance Agreement/MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang
(APU).
Dengan emenuhi permintaan DPR pada awal bulan Januari 2000, BPK memberi penjelasa berikut
dalam siaran persnya:
"Memenuhi permintaan DPR-RI sebagaimana tertuang dalam Surat Ketua DPR-RI Nomor
KS.021032/DPR RI/2000 tanggal 6 Januari 2000 Perihal: "Tindak Lanjut hasil audit atas neraca
awal BI", BPK RI telah selesai melakukan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan

BLBI pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank
take over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL)/
Laporan audit tersebut baru saja disampaikan oleh Pimpinan BPK RI kepad Pimpinan DPR-RI.
Dalam melakuka investigatif audit ini, BPK bekerja sama degan Badan Pengawas Keungan dan
Pembangunan (BPKP). Dalam kerja sama tersebut, BPK RI mengaudit penyaluran BLBI kepada
48 bank oleh Bank Indonesia, penggunaan BLBI oleh 10 BBO dan 18 BBKU.
Agar audit investigatif dapat mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana
atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka didalam setiap tahap audit, yaitu tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan, BPK RI melakukan konsultasi dengan pihak
Kejaksaan Agung. Audit dilaksanaka sejak akhir Februari 2000 sampai dengan 31 Juli 2000,
dengan periode udit sejak bank-bank menerima BLBI sampai dengan 29 Januari 1999. Audit ini
diarahkan pada penyaluran dan penggunaan BLBI yang telah dialihkan menjadi kewajiban
pemerintah per posisi tanggal 29 Januari 1999.
Pokok-pokok kesimpulan BPK berdasarkan audit investigatif tersebut adalah sebagai berikut.
Kelemahan Sistem Pembinaan dan Pengawasan Bank
1. Penyimpangan BI dalam menyalurkan BLBI selain karena faktor ekstern, yaitu krisis
moneter, juga tidak terlepas dari kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank
oleh BI pada waktu yang lalu.
2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, yang akhirnya tergantung pada
bantuan likuiditas dari BI, dalam berbagai bentuk (scheme).
3. Pada waktu-waktu yang lalu, BI tidak tegas dalam menerakan ketentuan tentang
prudential banking yang sudah ditetapkan sendiri oleh BI.
4. Jumlah bank dan cabang bank yang harus diawasi tidak seimbang dengan jumlah
pengawas bank yang ada di BI, sehingga frekuensi pemerikasaan langsung yan
semestinya sekurang-kurangnya setahun sekali tidak dapat terlaksana.
5. Laporan berkala yang dijadikan dasar penilaian kinerja dan kesehatan bank, ternyata
tidak menggambarkan kondisi nyatanya. Banyak bank melakukan rekayasa laporan,
sehingga penilaian tingkat kesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif.
6. Laporan berkala bank-bank tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Pengujian atas
kebenaran laporan tersebut baru dilakukan manakala BI melakukan pemeriksaan

langsung yang frekuensinya relatif jarang. Bahkan, ada beberapa bank yang dalam
beberapa tahun tidak dilakukan pemeriksaan langsung.
Kelemahan Manajemen Penyaluran BLBI
1. Kekeliruan pada saat BI tidak melakukan sanksi stop klirring kepada bank-bank yang
rekenong gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sesuai dengan ketentuan.
BI khawatir akan terjadi efek domino. Kekhawatiran ini merupakan suatu teori yang
belum pernah teruji kebenarannya. Permasalahan tersebut menjadi besar, karena sejak
awal BI tidak tegas dalam menerapkkan sanksi stop kliring. Beberapa bank yang sudah
lama bersaldo debet tidak dihentikan kliringnya tanpa alasan yang jelas. Sikap BI yang
tidak tegas tersebut dimanfaatkan oleh bankir nakal, sehingga mereka terus bersaldo
debet. Selain itu Direksi BI pernah membuat keputusan yang kurang berhati-jhati, yaitu
bersikukuh tidak akan melakukan stop kliring meskipun mengetahui bahwa BI overdraft
suatu bank sudah semakin membesar melebihi nilai asetnya. Salah satu keputusan yang
akhirnya menjadi bumerang adalah keputusan pada pertengahan Agustus 1997, yag
menyatakn bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI, diperbolehkan
untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan transfer dana ke cabangcabang, sampai kondisi pasar uang mereka. Keputusan ini tidak menyebut batas waktu
dan batas maksimal bagi suatu bank untuk overdraft. Keputusan tersebut nampaknya
bocor di kalangan bankir yang nakal, sehingga mereka beramai-ramai terus melakukan
overdraft, bahkan sampai melebihi jumlah aset bank yang bersangkutan.
2. Hakekat pemberian BLBI adalah untuk menanggulangi bank-bank yang mengalami
kesulitan likuiditas akibat di-rush

oleh nasabahnya. Namun karena penyaluran BLBI

tersebut dilakukan melalui mekanisme kliring, mka BI sesungguhnya tidak dapat


mengetahui

apakah

benar-benar

dana

BLBI

digunakan

sepenuhnya

untuk

menganggulangi rush dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank.
3. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar menukar warkat dalam rangka
memperlancar sistem pembayaran dan lalu lintas giral, berubah menjadi sarana
penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas.
4. Pemberian BLBI tidak terlepas dari program penjaminan kewajiban bank umum
sebagaimana ditetapkan dalam Keppres Nomor 26 tahu 1998. Namun dalam praktiknya,
program penjaminan yang sudah dicanangkan Pemerintah sejak 26 januari 1998. yang
diikuti dengan pembentukan BPPN, ternyata tidak dimanfaatkan oleh BI dan BPPN,
meskipun program penjaminan sudah disusun perangkat lunaknya sejak 6 Maret 1998

berupa SKB Direksi BI dan Ketua BPPN.


5. Bank-bank yang tidak mampu membayar kewajiban yang jatu tempo tidak diarahkan
utnuk memanfaatkan program penjaminan. BI tetap bertahan bahwa semua kewajiban
bank diselesaikan melalui mekaniseme kliring meskipun bank-bank yang sudah overdraft
dalam jumlah yang sangat besar. Padahal BI sadar bahwa melalui mekanisme kliring, BI
dan BPPN tidak mungkin mengetahui satu per satu transaksi yang dibayar oleh bank,
karena jumlah transaksi yang diselesaikan melalui kliring mencakup ratusan ribu warkat
tiap hari.
6. Sudah barang tentu para bankir enggan memanfaatkan program penjaminan, sebab
mereka berpikir untuk apa repot-repot melalui program penjaminan yang mengharuskan
bank mendaftarkan dulu kewajiban dalam jumlah tertentu dan selanjutnya jika akan
dibayar oleh BPPN, harus diverifikasi lebih dulu untuk memastikan bahwa kewajiban
tersebut adalah jenis kewajiban yang dijamin oleh pemerintah. Mereka tentu lebih
memilih menyelesaikan kewajiban banknya melalui mekanisme kliring, walau pun saldo
giro banknya sudah negatif dalam jumlah besar, karena melalui mekanisme kliring lebih
mudah, lebih cepat, tanpa diversifikasi, tidak perlu mendaftarkan diri lebih dulu dan
sebagainya.
7. BPK berkesimpulan bahwa salah satu penyebab membengkaknya BLBI adalah karena
BI dan BPPN tidak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten.
Penyaluran BLBI Berpotensi Menjadi Kerugian Negara
Dari hasil audit investigatif terhadap penyaluran BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, BPK menemukan
penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara
sebesar Rp 138,4 triliun atau 96% dari total BLBI yang disalurkan per 29 januari 1999.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. BI menyalurkan BLBI sebesar Rp144,5 triliun (per 29 Januari 1999)
2. Jumlah tersebut saat ini menjadi beban pemerintah dan pemerintah harus membayar
bunga kepada BI 3 pertahun
3. Sampai dengan saat ini, bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada
pemerintah
4. Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, maka sesuai

dengan Pedoman Akuntansi BI, untuk BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disishkan
sebagi kerugian sebesar 100% dan untuk BLBI kepada BTO sebesar 2-20%.
5. BPPN dan Tim likuidasi bank-bank dalam likuidasi saat ini sedang melakukan upaya
pengembalian (recovery) terhadap BLBI yang telah disalurkan kepada bank-bank
penerima.
6. BLBI kepada BTO telah/akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah.
Pengembalian BLBI tersebut sangat bergantng pada hasil divestasi yang akan dilakukan.
Dalam menyalurkan BLBI, terdapat penyimpangan dalam penyalurannya:
1. Saldo debet kepada 10 BBO, 1 BTO, dan 13 BDL.
2. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK) kepada 880 BPO, 3 BTO, dan
11 BBKU.
3. Fasilitas Saldo Debet kepada 3 BBO, 2 BTO dan 11 BBKU.
4. Fasilitas Diskonto (Fasdis) kepada 3 BTO, dan 2 BBKU.
5. Dana talangan rupiah kepada 2 BDL
6. Dana talangan valas kepada 5 BBO, 3 BTO, 5 BBKU, dan 3 BDL
Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI
Dari total penerimaan BLBI oleh 48 bank sebesar Rp 144,5 triliun ditemukan berbagai
pelanggaran sebesar Rp 84,8 triliun atau 59% dari jumlah BLBI.
Penyimpangan ini berupa penggunaan BLBI untuk:
1. membayar/melunasi modal pinjaman-pinjaman subordinasi
2. Membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaks sejenis.
3. Membayar kewahjiban kepada pihak terkait
4. Transaksi surat berharga
5. Membayar/melunasi dana dari pihak ketiag yang melanggar ketentuan
6. Membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian kakrena kontrak derivatif lama yang jatuh

tempo
7. Membiayai ekspansi kredit atau merealisaasikan kelonggaran tarik dari omitmen yang
sudah ada.
8. Membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen personel
baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistem baru.
9. Membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmene personel
baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistem baru.
10. Membiayai overhead bank umum
Dari uraian diatas, dapat disimpulakan bahwa penyaluran BLBI oleh BI dan penggunaan BLBI
oleh bank-bank penerima terdapat penyimpangan yang menimbulkan sangkaan tindak pidana
dan atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Oleh karena adanya sangkaan tindak
pidana, maka BPK juga memberitahukan hasil audit investigatif BLBI tersebut secara lengkap ke
Kejaksaan Agung Republik Indonesia."

Hasil pemerikasaan BPKP sama dengan hasil pemeriksaan BPK diatas. Kebakaran
gedung BI pada tanggal 8 Desember 1997 menjadi penyebab terhambatnya audit
investigatif BPK. Dari pernyataan yang ditulis di Harian Indonesia, gedung BI sengaja
dibakar untuk menghanguskan data BLBI yang baru dikumpulkan tim investigasi BPKP.
Dari hal ini, maka dimulailah penyelidikan lebih lanjut, penyidikan, penuntutan, sampai
proses pengadilan petinggi-petinggi BI dan bank-bank penerima BLBI. Namun
penyelesaian di pengadilan membawa berbagai hasil. Beberapa petinggi BI akhirnya
mendapat hukuman penjara namun akhirnya dibebaskan dari semua tuntutan. Karena
menurut majelis hakim, direksi tersebut terbukti bersalah namun tidak dapat dihukum
karena sekedar menjalankan kebijakan negara. Selain itu banyak juga pelaku BLBI yang
kabur ke luar negeri, baik ketika sudah menjadi tersangka maupun terdakwa.
Pada akhir tugas BPPN pada tanggal 30 April 2004, dari 46 pemegang saham yang
menandatangani perjanjian penyeleseian kewajiban pemegang saham (PKPS), 17
dinyatakan tidak atau belum selesai, dan 29 dinyatakan sudah selesai. Mereka yang
kasusnya tidak atau belum selesai ini kemudian dilimpahkan penanganannya ke Tim
Pemberesan (TP) BPPN.
Salah satu debitur yang melarikan diri keluar neger, David Nusa Wijaya, akhirnya
kembali ke tanah air, dan tak lama diikuti penyerahan diri yang dilakukan oleh Dadang

Latif. Lalu tiga debitor yang sowan ke istana pada Februari 2006, yaitu Ulung Bursa
(Lautan Berlian), Omar Putirai (Bank Tamara), dan James Januardy (Namura Internusa
Yasonta), termasuk dalam kelompok lima debitor yang belum selesai kewajiban
utangnya. Dua lainnya adalah Lidia Muchtar dan Dadang Latif.
Olehh BPPN, kelima debitor ini dikelompokkan sebagai kooperatif karena mereka
sebenarnanya ingin menyelesaikan kewajiban. Bahkan, ada yang sudah menyelesaikan
sebagian besar kewajibannya. Hanya karena BPPN terlanjur tutup, kelanjutan
penyelesaian kewajiban utang mereka terkatung-katung hingga kini. Pemerintahan
SBY/JK akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus tersebut secara perdata.
Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keunagan Nomor
151/KMK.01.2006 tanggal 16 Maret 2006 tentang prosedur operasi standar Penanganan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. KMK ini mengatur parameter penyelesaian, proses persetujuan dan mekanisme
PKPS.
Kerugian negara dari semua bantuan untuk menyelesaikan krisis keuangan, yaitu dari
seluruh aset yang berjumlah Rp 640 triliun, nilai dana yang kembali ke negera hanya 28
persen. Sehingga, dampaknya sampai saat ini bunga obligasi pertahun adalah Rp 14
triliun. Bunga keseluruhan dari keuangan negera yang dikeluarkan adalah Rp 63 triliun
pertahun. Indonesian Corruption Watch (ICW) mendesak KPK mengambil alih perkara
BLBI karena saat ini BLBI ditangani Polri dan Kejaksaan secara berlarut-larut tanpa ada
alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Anda mungkin juga menyukai