Anda di halaman 1dari 43

BI Tanggapi Laporan Audit BPK soal

Century ke DPR
Senin, 23 Nopember 2009 | 20:16 WIB | Posts by: Sugeng Wibowo | Kategori:
Berita Terkini, Nasional | ShareThis

JAKARTA | SURYA Online - Sehubungan dengan penyerahan hasil


pemeriksaaan investigatif kasus Bank Century oleh BPK kepada DPR, Bank
Indonesia (BI) memberikan tanggapan resmi. Melalui Direktur Direktorat
Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Dyah N K Makhijani, BI
memaparkan lima poin pernyataan sikapnya. Berikut pernyataan BI dalam siaran
persnya di Jakarta, Senin (23/11).

1. Selama proses audit investigasi, Bank Indonesia sudah bersikap kooperatif dan
terbuka dalam mendukung kelancaran proses tersebut, dengan memberikan
seluruh data dan informasi yang diperlukan. Bank Indonesia juga sudah
memberikan penjelasan maupun klarifikasi atas kebijakan maupun tindakan Bank
Indonesia dalam penanganan Bank Century dari saat proses merger hingga
keputusan penyelamatan Bank Century. Namun Bank Indonesia sangat
menyayangkan bahwa hasil audit BPK belum sepenuhnya menggambarkan fakta
dan permasalahan yang sesungguhnya sebagaimana respon yang telah
disampaikan Bank Indonesia kepada BPK.

2. Bank Indonesia juga menyayangkan bahwa pertimbangan kondisi krisis global


dan dampaknya pada perekonomian Indonesia yang melatarbelakangi
penyelamatan Bank Century tidak tampak dalam laporan audit tersebut. Dalamnya
ancaman dan ketidakpastian yang tinggi terkait dampak krisis keuangan global
terhadap perekonomian nasional, telah menuntut Pemerintah untuk menempuh
langkah hukum yang mendesak yaitu dengan menerbitkan Perpu sebagai dasar
bagi pengambilan kebijakan sektor keuangan oleh Pemerintah dan Bank
Indonesia.

3. Dalam upaya menangani dampak krisis global tersebut, hanya dalam kurun
waktu 2 bulan saja (Oktober - November 2008) Bank Indonesia telah menerbitkan
berbagai kebijakan, baik di bidang moneter maupun di bidang perbankan. Fokus
dari sebagian besar kebijakan tersebut adalah pada pelonggaran likuiditas
perbankan, antara lain dalam bentuk perubahan ketentuan Giro Wajib Minimum
(GWM) Rupiah dan valas, penurunan over night Repo Rate, penyesuaian Fasbi
rate, perpanjangan waktu Fine Tune Operation, peniadaan pembatasan saldo
harian pinjaman luar negeri jangka pendek, perpanjangan tenor forex swap,
komitmen penyediaan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan,
perubahan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intra-hari, perubahan ketentuan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek, serta penerbitan Peraturan Bank Indonesia mengenai
Fasilitas Pendanaan Darurat.
4. Oleh karena itu, penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks
penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan
yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak daripada krisis
perekonomian global yang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia
dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik,
merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya
penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem
keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia.

5. Pasca penyelamatan kondisi Bank Century, yang sekarang bernama Bank


Mutiara, telah menunjukkan perbaikan, baik dari segi likuiditas maupun
permodalannya. Oleh karena itu, dihimbau kepada semua pihak agar dapat
menjaga momentum yang kondusif agar bank tersebut dapat terjaga kelangsungan
usahanya sehingga pada saatnya penyertaan modal sementara LPS dapat
dikembalikan.

Perbankan : Penyelamatan Bank Century Sah [MenKeu]


By jakarta45 1 Comment
Categories: Artikel, Dokumen Bersejarah, Jiwa Semangat Nilai-nilai 45, News
and Opini
Tags: Bail Out, Banking, Century, Leadership, Nation & Character Building,
Nationalism, Statemanship
Menkeu: Penyelamatan Bank Century Sah

Minggu, 30 Agustus 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas – Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri


Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, seluruh keputusan
penyelamatan Bank Century pada 21 November 2008 merupakan kebijakan yang
sah karena didukung dua produk hukum sekaligus. Dasar pengambilan keputusan
pun berasal dari hasil penilaian Bank Indonesia, lembaga yang berwenang penuh
atas pengawasan dan penanganan perbankan.

”Seluruh putusan pemerintah—dalam hal ini Menteri Keuangan) selaku Ketua


KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan)—didasarkan pada landasan hukum
yang jelas, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Undang- Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,” ujar Sri Mulyani
di Jakarta, Sabtu (29/8).

Sebagaimana diberitakan, penyelamatan Bank Century yang telah mendapat


suntikan dana sampai Rp 6,7 triliun berpotensi merugikan negara saat pemerintah
(Lembaga Penjamin Simpanan/LPS) melepas kepemilikannya. Proses
penyelamatan yang diawali pernyataan BI bahwa Bank Century sebagai bank
gagal dan berpotensi sistemik dipertanyakan.
Menurut Sri Mulyani, seluruh keputusan KSSK (jika dasar hukum yang
digunakan Perppu No 4/2008) atau Komite Koordinasi (jika didasarkan atas UU
LPS) pada 21 November 2008 langsung dilaporkan kepada Wakil Presiden Jusuf
Kalla pada 22 November 2008. Saat itu, Wapres menginstruksikan Kepala Polri
menangkap Robert Tantular, pemilik Bank Century.

Sebelumnya, pada 13 November 2008, Menkeu juga melaporkan perkembangan


kondisi Bank Century kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat
menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Washington, Amerika Serikat. BI
melaporkan kepada Presiden setelah memberi tahu Menkeu selaku Ketua KSSK
atau Komite Koordinasi tentang memburuknya kondisi Bank Century serta
kemungkinan menjadi sebuah bank gagal dan berpotensi sistemik.

”Saat itu, BI melaporkan kondisi Century dan perbankan yang kritis dan terjadi
kemerosotan likuiditas di bank-bank kecil. Laporan Menkeu secara resmi kepada
Presiden baru disampaikan pada 25 November 2008 dan 4 Februari 2009 sebagai
bentuk pertanggungjawaban. Semua detail, termasuk kronologi dan angka yang
berasal dari BI dan LPS terkait Century, kami sampaikan,” ujar Menkeu.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, 27 Agustus 2009, Menkeu


memaparkan tiga alasan yang mendasari keputusan penyelamatan Bank Century.
Alasan itu juga digunakan sebagai dasar pemerintah tidak menutup Bank Century.

Pertama, terjadi penurunan kepercayaan nasabah. Penutupan Bank Century yang


memiliki 65.000 nasabah dikhawatirkan akan memicu kepanikan masyarakat.
Kedua, BI menyatakan penutupan Bank Century akan berdampak terhadap pasar
keuangan karena keadaan perekonomian sedang labil. Ketiga, BI juga menyatakan
penutupan Bank Century bisa mengancam sistem pembayaran.

Dukung BPK

Sri Mulyani menegaskan, dia mendukung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seluruh aspek keputusan
KSSK atau Komite Koordinasi sesegera mungkin. BPK juga dipersilakan meneliti
ketepatan masalah legal, tata kelola keputusan yang baik, dan penilaian yang
dilakukan KSSK saat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal dan
sistemik.

Sejak Juli

KPK telah meminta BPK memeriksa proses penyelamatan Bank Century sejak
Juli. Saat itu, LPS masih menyuntikkan dana untuk menutup kebutuhan modal
Bank Century. Ketua BPK Anwar Nasution mengungkapkan, BPK segera
merespons permintaan KPK. ”Kita periksa. Tadinya agak sulit. Setelah Pak
Darmin masuk, baru agak lancar,” ujar Anwar.
Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution mengonfirmasi audit BPK terhadap
BI terkait kasus Bank Century mulai dilakukan sekitar dua pekan lalu. ”Audit
BPK di BI dilakukan setelah saya masuk,” ujarnya.

Darmin menjelaskan, BPK memeriksa BI, bagaimana pengawasannya, bagaimana


prosesnya, sampai Bank Century ketika itu menjadi bank gagal lalu dibawa ke
KSSK dan diputuskan sebagai bank gagal yang sistemik.

Darmin mengatakan, penyuntikan dana oleh LPS secara bertahap ke Bank


Century memang dilakukan diam-diam agar tak menambah kepanikan nasabah.
”Sebenarnya dipublikasikan saat laporan keuangan, tetapi tak terlalu mengundang
perhatian publik,” ujarnya. (OIN/DAY)

1 Response to “Perbankan : Penyelamatan Bank Century


Sah [MenKeu]”
Feed for this Entry Trackback Address

1. 1 redaksi

September 9, 2009 at 2:22 pm

MENCIUM SKENARIO POLITIK DIBALIK PENGUCURAN DANA


BAILOUT 6,7 TRILIUN KE BANK CENTURY

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengucurkan dana sebesar


Rp6,7 triliun kepada Bank Century atas rekomendasi pemerintah dan Bank
Indonesia. Angka itu menjadi bengkak, padahal semula yang di setujui
DPR hanya sebesar Rp1,3 triliun. (Kompas 1 september 2009).

“ Betapa baiknya sikap pemerintah terhadap pemilik bank yang selama ini
bermasalah”. “Kenapa pemerintah selalu bersikap protektif terhadap bank-
bank yang pengelolaannya bermasalah??” semua itu Patut menjadi misteri
bagi kita.

*********************
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, mewajibkan semua bank
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun LPS mengabaikan
aturan tersebut.

Prinsip the five C’s of credit analysis yang menjadi dasar pemberian dana
talangan rupanya tidak diterapkan oleh LPS. LPS harusnya meneliti
Character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank),
capital (modal), capacity (kemampuan mengelola bank) dan condition of
economy sebelum boilout diberikan.

Dalam proses hukum bank Century, pemilik bank century Robert tantular
beserta pejabat bank Century telah ditetapkan sebagai terdakwa kasus
penggelapan dana nasabah. Bahkan manajemen Bank Century telah
terlibat dalam memasarkan produk reksadana PT Antaboga Sekuritas yang
jelas-jelas dalam pasal 10 UU Perbankan telah dilarang.

Artinya, dari segi the five C’s of credit analysis, Bank Century sebenarnya
tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Ironis nya
LPS justru mengucurkan dana sampai 6,7 triliun ke bank itu!!!

Muncul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi pemerintah memberian


dana boilout tersebut??? akan kemana larinya dana bailout 6,7 triliun itu?

Jawabnya, Kemungkinan: pertama, pejabat LPS ceroboh dalam bertindak


sehingga dianfaatkan oleh pejabat bank yang terafiliasi dengan partai
politik tertentu. Kedua, Pajabat LPS, pejabat bank bermasalah dan partai
politik tertentu bersekongkol bersekongkol mengemplang dana bailout.

Pengucuran Dana Pada Bank Century Bermasalah

Diterbitkan pada 29 Agustus 2009 oleh Nurmimi


Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati
menjelaskan suntikan dana talangan pemerintah untuk pemulihan Bank Century
dari sebelumnya Rp1,3 triliun menjadi Rp 6,7 triliun bukan berasal dari APBN,
tapi semuanya murni dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Kebijakan pemerintah mengucurkan dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century


memang pantas menuai kontroversial. Karena bank tersebut bukan bank besar
sehingga menjadi perdebatan apakah benar akan berdampak sistemik bagi dunia
perbankan jika bank tersebut tidak diberi bantuan dana.
Hal itu ditegaskan pengamat ekonomi dari UGM Sri Adiningsih, kemarin. “Kalau
bank besar seperti Bank Mandiri atau BNI mungkin bisa berdampak sistemik.
Tapi untuk Bank Century masih tandatanya? “ujarnya.
Menurut Adiningsih , pemerintah ( Menkeu dan BI) harus bisa menjelaskan pada
masyarakat bahwa kalau bank Century tidak dibailout (dibantu dana) akan
berdampak sistemik bagi dunia perbankan.
Sri Adiningsih mengatakan pemerintah mestinya belajar banyak dari kasus
sebelumnya (BLBI) yang hingga kini masih menyisakan kerugian besar. Pada
prinsipnya dalam menggunakan uang negara apakah APBN atau LPS harus
transparan dan didukung alasan yang jelas. Bukan atas dasar pesanan pihak
tertentu.
Dalam Raker Komisi XI dengan Menteri Keuangan kemarin terungkap bahwa
DPR sebenarnya hanya menyetujui Rp1,3 triliun. Tapi angka tersebut
membengkak menjadi Rp6,7 triliun.
Menkeu Sri Mulyani dalam raker tersebut beralasan jika Bank Century tidak
mendapat kucuran dana akan berdampak sistemik bagi dunia perbankkan dan
dana yang digunakan bukan APBN tapi LPS.
Namun alasan Menkeu ini dinilai anggota Komisi XI Harry Azhar Aziz tidak
tepat. Karena dana LPS terdiri beberapa sumber termasuk uang rakyat. Dari total
dana LPS sekarang Rp17 triliun , Rp 4 triliun merupakan modal negara berasal
dari uang rakyat.
Harry mencium ada kesan praktek persekongkolan dalam pengucuran dana ke
bank Century. “Saya dapat kesan bank Century gunakan BI, BI gunakan Menkeu
dan Menkeu gunakan presiden.

Pengamat ekonomi MRI Research Rizal Ismail meminta Presiden SBY


menjunjung tinggi azas tata kelola pemerintahan yang baik (Good Corporate
Governance) dengan membuka ke publik kasus penggelembungan dana bailout
Bank Century.
“Saya melihat penggelembungan ini di lakukan sengaja oleh Bank Century lewat
perangkat UU perbankan yang berlaku. Ini kepentingan pengusaha-pengusaha
besar, kita tahu Robert Tantular yang memiliki Bank Century kini tengah buron
dengan membawa dana bailout. Dana itu uang rakyat dan harus dikembalikan ke
rakyat,” tegas Rizal pada, Jumat malam [28/8].
Namun Rizal menilai jangan terburu-buru menyalahkan Sri Mulyani. “Meski
Menkeu tahu pasti pengucuran dana itu tapi harus dengan data yang jelas dan itu
bisa di dapat dari hasil due dilligence (tes) Bank Century atas rekomendasi audit
investigasi BPK,” kata dia. Kasus bailout (dana pinjaman) pemerintah sebesar
Rp6,7 triliun kepada Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
kata Rizal memang bisa jadi bola panas bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak akan menghentikan auditnya
terhadap masalah Bank Century itu.
Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Syafri Adnan Baharuddin menegaskan,
BPK sudah mengkomunikasikan kasus bailout antara BI dan LPS ini sebelumnya.
Di antaranya mengenai peningkatan pagu penyelamatan dari Rp1,3 triliun menjadi
Rp6,7 triliun. Syafri menegaskan BPK akan segera menindaklanjuti permintaan
audit khusus terkait kasus Bank Century. “Yang jelas audit terhadap Bank Century
akan terus dilakukan, BPK tidak akan mundur,” kata Syafri.
BPK juga meminta agar saat ini semua pihak tidak saling menyalahkan yang akan
membuat kasus ini menjadi bias. BPK memastikan audit investigasi awal terhadap
kasus Bank Century sudah bisa diselesaikan sebelum Idul Fitri 1430 H.
Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani tidak menjelaskan rinci soal pembengkakan bail
out itu. Menkeu lebih menjabarkan bantuan ke Bank Century secara hukum.
Sementara soal rincian dana akan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), selaku pengambil alih Bank Century.
“Sebelum 15 Oktober 2008, penanganan kasus Bank Century berlaku UU No
23/1999 kemudian diubah menjadi UU No 3/2004. Termasuk beberapa poin yang
menyangkut ke dalam kasus ini,” ungkap Sri.
Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution mengatakan sejak Bank Century
diambilalih oleh LPS, sampai dengan 24 Juli 2009 LPS telah membantu Rp6,762
triliun. Sehingga CAR Bank Century posisi 31 Juli 2009 berada di atas ketentuan
delapan persen yaitu 9,34 persen.
Bank Century dapat menjaga likuiditasnya sejak Februari 2009. Bank Century
sudah tidak lagi melanggar giro wajib minimun (GWM) dan dana pihak ketiga
(DPK). Hal ini terbukti DPK bank meningkat sebesar Rp937,7 miliar atau setara
19,48 persen. Total DPK menjadi Rp5,751 triliun dalam periode 31 Januari
sampai dengan 25 Agustus 2009.
Kasus Bank Century Dari Aspek Hukum Perusahaan

Kasus Bank Century


Peninjauan Dari Sisi Hukum Perusahaan

I. Posita Kasus
PT Bank Century Tbk (BCIC) pada tahun 2005 menjadi agen penjual produk
investasi yang dikeluarkan oleh PT Antaboga Delta Sekuritas.[1] Para nasabah
Bank Century dijanjikan bunga yang tinggi oleh pihak bank sehingga para
nasabah memindahkan uang mereka ke rekening PT Antaboga.[2] Seteleh
diselidiki, ternyata produk investasi tersebut ternyata tidak mempunyai izin dari
BAPEPAM-LK.[3] Setelah uang masuk ke dalam rekening PT Antaboga, dana
tersebut kemudian diambil oleh Robert Tantular, pemegang saham mayoritas dari
PT Bank Century Tbk. Robert Tantular juga mengajukan kredit kepada Bank
Century.[4]
BI sudah melarang pihak Bank Century untuk menjual produk investasi tersebut.
Pada tahun 2006 BI mendapati Bank Century masih menjual produk tersebut.[5]
Setelah diselidiki ternyata tidak ada pencatatan pembukuan terhadap pembelian
produk tersbut.[6] Temuan lain mencatatkan tidak adanya lambang Bank Century
pada produk tersebut, padahal waktu diluncurkan pada tahun 2005 tercantum logo
Bank Century.[7]
Pada Oktober 2008 pemegang saham mayoritas, yaitu: Robert Tantular, Rafat Ali
Rizfi, dan Hesyam Al Waraq, atas desakan BI, berjanji untuk membayar surat
berharga yang jatuh tempo serta menambah modal, hal ini dinyatakan dengan
adanya right issue.[8] Pemegang saham tersebut juga berjanji untuk mencari
investor baru guna menyelesaikan permasalahan bank. Akan tetapi janji tersebut
tidak dipenuhi sehingga pihak bank tidak dapat memnuhi kewajibannya kepada
nasabah. Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Century pun dibawah batas yang
ditetapkan oleh BI.
BI membantu likuiditas Bank Century dengan memberikan pinjaman jangka
pendek pada tanggal 14 November 2008 dengan syarat pemegang saham
mayoritas Bank Century harus menepati letter of commitment.[9] Letter of
commitment tersebut berisi antara lain komitmen untuk memindahkan surat
berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil
pembayaran surat berharga yang jatuh tempo, dan berjanji tidak akan menjadikan
surat berharga sebagai jaminan kepada pihak lain. Letter of commitment tersebut
tidak dipenuhi oleh pihak Bank Century.
BI kembali membantu likuiditas Bank Century pada tanggal 18 November 2008
karena Bank Century gagal kliring.[10] Namun kondisi Bank Century yang
semakin memburuk mengakibatkan Bank Century diserahkan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 21 November 2008.

II. Analisa Kasus


A. Kegiatan Usaha
Sebuah perusahaan perusahaan didirikan dengan maksud untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu.[11] Kegiatan usaha yang dimaksud tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.[12] Perusahaan perbankan bertujuan untuk
mengumpulkan dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan
kembali dana simpanan tersebut ke masyarakat dalam bentuk pinjaman.[13]
Simpanan sendiri dapat berupa tabungan, deposito, sertifikat deposito, giro, atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, yang terjadi berdasarkan perjanjian
penyimpanan.[14] Bank dapat juga menempatkan dana dari nasabah kepada
nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.[15]
Awal mula permasalahan Bank Century timbul karena PT Bank Century menjual
produk investasi (reksadana) kepada nasabahnya bekerja sama PT Antaboga Delta
Sekuritas. Sejumlah dana nasabah, berdasarkan keinginan nasabah, dipindahkan
ke dalam rekening PT Antaboga yang dibuktikan adanya sertifikat reksadana dari
PT Antaboga.[16] Akan tetapi masih perlu dicari tahu lebih lanjut apakah dalam
AD PT Bank Century menyebutkan reksadana sebagai salah satu kegiatan usaha
yang akan dijalankan oleh perusahaan tersebut. Hal ini mengingat usaha
perbankan berbeda dengan usaha reksadana karena adanya peraturan yang
mengatur bahwa reksadana hanya dapat dikeluarkan oleh perseroan terbatas
reksadana.
B Pengurusan
Sebuah perseroan dapat berjalan karena adanya organ-organ perseroan, yang
terdiri dari: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan
Komisaris. RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi ataupun Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan
oleh UUPT dan/atau dalam AD persero.[17] Direksi adalah organ persero yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan AD.[18] Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas untuk
melakukan pengawasan umum dan/atau khusus sesuai dengan AD serta memberi
nasihat kepada Direksi.[19]
Aturan di atas secara jelas menyebutkan bahwa Direksi adalah satu-satunya organ
dalam perseroan yang berwenang untuk melakukan pengurusan. Pada kasus Bank
Century banyak sekali keputusan usaha diambil oleh Robert Tantular, salah satu
pemegang saham terbesar PT Bank Century. Posisi pemegang saham mayoritas
tidak memberikan wewenang kepada Robert Tantular mengambil keputusan atas
pengurusan persero. Sebagai seorang pemegang saham Robert Tantular hanya
berhak atas menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS, menerima
pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi, dan menjalankan hak
lainnya berdasarkan UUPT.[20] Bahkan ada indikasi bahwa Robert mempunyai
itikad tidak baik dalam menjalankan persero. Ia menggunakan PT Bank Century
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan mengabaikan kepentingan
persero serta masyarakat luas.
Robert Tantular atas tindakannya tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban
jauh melebihi dari modal yang dia berikan kepada persero. Pada dasarnya dalam
sebuah persero ada pembedaan yang sangat jelas antara kekayaan persero dengan
kekayaan pribadi. Para pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas modal
yang dia setor kepada persero.[21] Akan tetapi pada saat ini perlindungan
terhadap pemegang seperti yang disebutkan tidak lagi menjadi sebuah hal yang
mutlak. Para pemegang saham kini dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi
atas tindakan yang dia lakukan terhadap persero atau atas nama persero. Doktrin
ini dikenal dengan istilah Piercing the Corporate Veil.[22] Pertanggungjawaban
yang dimaksud tidak hanya sebatas pertanggungjawaban perdata saja tetapi juga
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Seorang pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi jika:
pertama, pemegang saham bertindak atas nama persero ketika persyaratan persero
sebagai badan hukum belum terpenuhi.[23] Para pemegang saham ketika persero
belum berbadan hukum tidak ubahnya seperti sekutu dalam firma. Pemegang
saham bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap semua tindakan yang
dilakukan sebelum persero resmi menjadi badan hukum. Sebuah persero akan
resmi menjadi sebuah badan hukum ketika sudah diumumkan dalam Berita
Negara.
Kedua, para pemegang saham secara langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk menggunakan persero untuk kepentingan pribadi.[24] Pada kasus
Bank Century, Robert Tantular mengajukan kredit ke Bank Century dengan
menggunakan beberapa nama. Dia patut disangkakan telah menggunakan
wewenangnya sebagai pemegang saham terbesar untuk mempengaruhi keputusan
pemberian kredit oleh pihak bank. Ia juga telah mengambil dana yang disimpan
oleh nasabah di dalam rekening PT Antaboga. Padahal ia tidak mempunyai hak
untuk mengambil dana tersebut.
Robert Tantular, atas tindakannya tersebut, dapat dianggap telah membahayakan
kesehatan Bank Century. Salah satu kewajiban bank berdasarkan undang-undang
adalah menjaga tingkat kesehatan bank.[25] Tingkat kesehatan bank dapat diukur
melalui kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank. Bank juga berkewajiban untuk menjalankan usaha berdasarkan atas prinsip
kehati-hatian.
Bank juga wajib memberi tahu kepada nasabahnya akan adanya risiko kerugian
atas transaksi yang dilakukan nasabah melalui bank. Pada kasus ini Bank Century
lalai untuk memberi tahu kepada nasabahnya bahwa tidak lagi bekerja sama
dengan PT Antaboga dalam menjalankan produk reksadana tersebut.
Ketiga, pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh persero.[26] PT Bank Century telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan menjual produk reksadana yang mereka
tawarkan tidak terdaftar di BAPEPAM-LK. Keempat, pemegang saham
menggunakan harta persero yang mengakibatkan persero tidak dapat melunasi
hutang-hutang persero.[27] Tindakan Robert Tantular, mengambil dana dari
rekening PT Antaboga serta mengajukan kredit atas nama beberapa orang, telah
mengakibatkan menurunnya kualitas kesehatan Bank Century. Hal ini berujung
pada gagal kliring Bank Century yang menyebabkan Bank Century berada di
bawah pengawasan Lembaga Penjamin Simapanan (LPS).
C. Perubahan Nama
Perkembangan terakhir kasus Bank Century menyebutkan adanya kemungkinan
Bank Century berganti nama. Penggantian nama ini diambil sebagai langkah
menyelamatkan Bank Century. Nama baru tersebut diharapkan mampu untuk
menghapus citra buruk Bank Century di masyarakat.
Untuk dapat mengubah namanya maka harus dilakukan dahulu RUPS untuk
mengetahui keputusan para pemegang saham tentang rencana tersebut. RUPS juga
penting karena penggantian nama akan berakibat pada berubahnya AD persero.
Perubahan AD hanya dapat dilakukan dalam RUPS.[28]
Penggantian nama tersebut tidak menghapuskan kewajiban Bank Century
terhadap pihak ketiga sebelumnya. Bank Century tetap harus melunasi semua
kewajiban terhadap pihak ketiga setelah mereka berganti nama. Penggantian nama
tersebut tidak menghapuskan subjek hukumnya. Secara prinsipil subjeknya masih
sama hanya mengganti identitas saja. Oleh karena itu setelah berganti nama semua
kewajiban nasabah yang dirugikan semasa Bank Century harus dilunasi oleh bank
dengan nama yang baru, walaupun nasabah tersebut pada nantinya tidak menjadi
nasabah dengan nama baru tersebut.
Perubahan nama tersebut masih dimungkinkan mengingat Bank Century belum
berada dalam posisi pailit. Pasal 20 menyatakan perubahan AD tidak dapat
dilakukan pada persero yang dinyatakan pailit. Posisi pailit tidaklah sama dengan
posisi dalam pengawasan LPS, seperti yang dialami oleh Bank Century.
[1]Kronologi Kasus Bank Century: Bank Century Awalnya Agen Antaboga,
http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-
bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga, diakses pada tanggal 26
September 2009
[2]Berstaus Pemilik Baru Century, LPS Tolak Ganti Rugi Nasabah,
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21159&cl=Berita, diakses pada
tanggal 26 September 2009
[3]http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-
bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga
[4]http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21159&cl=Berita
[5]http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-
bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Surat Berharga Valas Bank Century Bermasalah,
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=22393&cl=Berita, diakses pada
tanggal 26 September 2009
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Lembaran Negara TAhun 2007 No 106, Psl 1.
[12]Ibid, Psl 2
[13]Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara tahun
1998 Nomor 182, Psl 1 angka 2
[14]Ibid, Psl 6 huruf a
[15]Ibid, Psl 6 huruf j
[16]Reksadana berdsarkan Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995
pasal 1, angka 27: “Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi”. Manager Investasi adalah Pihak
yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola Portofolio Investasi untuk sekelompok nasabah. Pada kasus ini tidak
diketahui apa peranan, hak dan kewajiban, PT Bank Century dengan PT Antaboga
dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasal 18, ayat
(1), bentuk hukum Reksadana di Indonesia ada dua, yakni Reksadana berbentuk
Perseroan Terbatas (PT. Reksa Dana) dan Reksadana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif (KIK). Perseroan terbatas yang dimaksud di atas harus mempunyai izin
terlebih dahulu dari BAPEPAM (UU Pasar Modal, Pasal 18 ayat (3). Reksadana
yang dituangkan dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat dijalankan
oleh Manager Investasi berdsarkan kontrak (UU Pasar Modal Pasal 18 ayat (4).
[17]Indonesia (a), Op. cit, Psl 1 angka 4
[18]Ibid, Psl 1 angka 5
[19]Ibid, Psl 1 angka 6
[20]Ibid, Psl 52
[21]Ibid, Psl 3 ayat (1)
Pada pasal 3 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa Pemegang Saham tidak
bertanggung jawab atas perikatan yang dibuat atas nama persero dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian persero melebihi saham yang dimiliki.
[22]Persero adalah salah satu bentuk subjek hukum, rechtpersoon. Persero dapat
melakukan perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan adanya hak dan
kewajiban. Untuk melakukan perbuatan hukum tersebut persero diperlengkapi
oleh organ-organ yang mempunyai fungsinya masing-masing. Organ-organ
tersebut menjalankan segala sesuatu demi kepentingan dan atas nama persero. Hal
ini mengingat persero bukanlah benda konkret yang dapat datang, menunjukan
diri, serta berbicara untuk dirinya sendiri seperti manusia.
Salah satu nilai lebih persero dari betuk-bentuk usaha lainnya adalah adanya
pemisahan yang jelas antara kekayaan persero dengan dengan kekayaan pribadi
pemegang sahamnya. Hal ini dikenal dengan istilah Corporate Veil Doctrine.
Permasalahan selanjutnya timbul sewaktu persero dituntut oleh pihak ketiga atas
kesalahan yang dibuat oleh pemegang saham. Apakah direksi juga bertanggung
jawab atas kesalahan pemegang saham hanya karena semata-mata direksi
bertanggung jawab atas pengurusan persero. Oleh karena itu doktrin Corporate
Veil lambat laun tidak dapat berlaku secara absolute. Pemegang saham juga dapat
dimintai pertanggungjawabannya atas beberapa kondisi tertentu. Pemegang saham
dapat dimintai pertanggungjawaban manakala pemegang saham telah gagal
memenuhi beberapa persyaratan dan formalitas tertentu.
[23]Ibid, Psl 3 ayat (2) huruf a
[24]Ibid, Psl 3 ayat (2) huruf b
[25]Indonesia (b), Op. cit, Psl 29 ayat (2)
[26]Indonesia (a), Op. cit, Psl 3 ayat (2) huruf c
[27]Ibid, Psl 3 ayat (2) huruf d
[28]Ibid, Psl 19 ayat (1)

Perbankan : Analisa Kasus Bank Century


By jakarta45 1 Comment
Categories: Artikel, Dokumen Bersejarah, Jiwa Semangat Nilai-nilai 45, News
and Opini
Tags: Banking, Economics, Leadership, Nation & Character Building,
Nationalism, politics, Statemanship

Rifky Pradana, Mediacare, 31 Agustus 2009

Tanpa diduga sebelumnya, upaya pemerintah menyelamatkan Bank Century dari


kehancuran akibat perampokan sistematis yang dilakukan pemiliknya berkembang
cepat dan langsung masuk ke pusat medan politik nan panas.

Sejatinya, pengucuran dana (yang menurut Menkeu Sri Mulyani sebatas


menaikkan CAR atau rasio kecukupan modal) sebesar Rp. 6,7 triliun hanya akan
berbuntut pada pengusutan hukum di BPK, KPK atau kepolisian jika terindikasi
ada oknum yang merekayasa pengucuran dana segar tersebut.

Artinya, dengan asumsi ada orang-orang di pemerintahan dan di manajemen Bank


Century yang menikmati keuntungan secara haram dari pengucuran dana, maka
kasus ini, seperti biasa, akan kembali menambah daftar panjang koruptor dan
penjahat berkerah putih Indonesia.

Tapi ternyata yang merebak belakangan adalah konflik horizontal antara Wakil
Presiden Jusuf Kalla, Menkeu Sri Mulyani dan Mantan Gubernur BI Boediono
yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2009-2014.
Jusuf Kalla yang merasa dirinya hendak dibenamkan dalam kasus ini langsung
bereaksi. Dia segera mengoreksi tanggal audiensi antara dirinya dengan Sri
Mulyani dan Boediono.

Sebelumnya Sri Mulyani mengaku melaporkan kasus Bank Century ke Wapres


Jusuf Kalla tanggal 22 November atau sehari sebelum LPS mengeluarkan dana
pertama sebesar RP. 2,7 triliun lebih. Tapi menurut JK, Menkeu baru menghadap
kepadanya (berhubung Presiden SBY masih berada di AS) tanggal 25 November
2009.

“Jadi, seolah-olah saya tahu pengucuran dana itu. Padahal, saya tidak tahu sama
sekali,” papar Wapres dalam sebuah jumpa pers yang dilengkapi dengan kronologi
lengkap kasus Bank Century (KOMPAS, 1/9).

Selain itu, JK juga memaparkan bahwa Boediono tidak berani melaporkan


pendiri Bank Century Robert Tantular yang jelas-jelas menipu banknya sendiri
senilai Rp. 1,4 triliun ke pihak kepolisian.

Karena Bank Indonesia tidak berani berbuat apa-apa dengan alasan tidak ada
landasan hukum, akhirnya Jusuf Kalla berinisiatif menginstruksikan kapolri
menangkap Robert Tantular.

Langkah JK ini bisa ditanggapi dengan pikiran positif dan negatif.

Bagi yang berpikiran positif, apa yang dilakukan oleh JK adalah langkah yang
tepat dalam rangka mendudukkan setiap perkara pada porsi yang sebenar-
benarnya. Termasuk soal aspek kriminal dan langkah pemerintah yang dinilai
tidak tegas dalam menangani kejahatan berkerah putih yang selalu berulang dari
zaman Edi Tansil hingga era Robert Tanular dengan nilai kerugian yang fantastik
hingga triliunan rupiah.

Tapi langkah JK ini juga bisa dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap
pemerintah terpilih. JK dinilai sedang berusaha mencitrakan sosok seorang
Boediono sebagai pemimpin yang tidak tegas.

Bila ini berkembang terus tanpa kendali politis dari partai penguasa dan pemenang
pemilu, tidak mustahil citra pemerintahan SBY-Boediono langsung merosot
bahkan sebelum mereka berdua dilantik Oktober nanti.

Tapi apapun penilaian orang terhadap pernyataan-pernyata an keras JK seputar


kasus Bank Century, saya sepakat 1000% dengan ucapkan JK berikut :

“Pendapat saya sejak awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak


dengan bail out karena sesuai pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan
negara sampai Rp 600 triliun dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia
(BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayar
dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN. Padahal,
seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab pengawas bank yang ketat dari
Bank Indonesia,” ujarnya.

Pertanyaannya, akankah Robert Tanular menjadi penjahat terakhir yang berhasil


menggerus uang negara dan masyarakat triliunan rupiah lewat jalur perbankan ?.

Atau besok kita kembali membaca kasus perampokan serupa ?.

Artikel ini dapat dibaca di :

Bank Century, Kartu Sakti Gembosi SBY-Boediono ?

http://iskandarjet. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-kartu- sakti-


gembosi- sby-boediono/

***

Berkali-kali Menkeu Nyonya Sri Mulyani menyatakan bahwa alasan


menyelamatkan Bank Century karena bank ini ‘berpotensi sistemik’ dalam
merusak sistem perbankan nasional. Karena ada ‘resiko sistemik’ maka Negara –
dalam hal ini LPS– bertanggung jawab untuk menyuntikkan dana 6,7 triliun
rupiah ke bank tersebut.

Sebuah argumen yang masih layak diperdebatkan, apakah sistemik yang


dimaksud ?. Benarkah hipotesis bahwa kalau Bank Century tidak diselamatkan –
alias langsung ditutup saja– akan ada potensi kerusakan sistemik ?.

Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan –ideologi yang
sama yang meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini ?.

Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan
ini telah melalui prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian
terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa Perpu JPS telah ditolak DPR; dan
bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuan lebih dahulu dari pemegang
mandat politik, yaitu Tuan Presiden / Wapres.

Khusus Tuan Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY
menyetujui hal ini pada pertemuan tanggal 13 November 2008.

Beberapa pengamat –diantaranya Tuan Antonius Tony Prasetyantono, Chief


Economist BNI dan dosen FE-UGM– menyatakan bahwa tidak ada potensi
kerugian dalam kasus ini.

Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa
kerugian negara dalam kasus Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual
dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya, sebuah mitos yang sejak
BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin Tuan dan Nyonya sekalian masih
ingat, recovery rate eks BPPN hanyalah sebesar 28%.

Saya kira kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan
pada publik belakangan ini.

Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah
menjelaskan dengan gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa
terjadi.

Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Tuan
Presiden dan Tuan Wapres sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008
saat Nyonya Sri Mulyani melapor pada Tuan Wapres, 2 hari setelah pengucuran
pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.

Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di
sebuah bank kecil yang diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya
dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada keseluruhan sistem perbankan
nasional.

Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan
menciptakan rush pada perbankan nasional perlu diuji : apakah benar ?.

Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini ?. Ataukah jangan-jangan ada deposan
besar tertentu yang perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS ?.

Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi
sistemik ?.

Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan
besar yang tersangkut uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut
penjelasan apa yang dimaksud sistemik tersebut.

Yang menyakitkan adanya pikiran bahwa karena kesalahan kriminal di sebuah


bank –ingat kasus Bank Century diawali oleh tindak penerbitan reksadana
bodong dan eksposure kredit yang nakal– dapat ‘dibantu negara’ ketika ia bersifat
sistemik. Apa ini ?.

Seperti berpesan : jadilah penjahat yang punya pengaruh sistemik, pastilah


dibantu negara.

Para pengamat dan juga Nyonya Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan
bukanlah uang negara. Apa benar ?.
Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta
penjaminan LPS pada akhirnya sebenarnya adalah uang rakyat.

Ketika premi dihabiskan –atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang
diciptakan para bankir nakal– maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan
dan kreditur.

SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus
ditanggung dengan membebankan premi pada ‘biaya’. Dan jatuhlah pada
tanggungan Anda, Tuan dan Nyonya para nasabah bank kita tercinta.

Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini
diambil secara sah.

Nyonya Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah
cukup. Ada azas lain yang lebih penting, yaitu adil.

Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern
juga sah karena secara administratif telah memenuhi syarat formal.

Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender,
ditetapkan melalui aturan formal dan sah. Memang sah tapi kok tidak adil ya ?.
Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama ?.

Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat –seperti Tuan Toni– bilang bahwa
tidak ada kerugian negara dalam kasus Bank Century. Apakah benar ?.

Bahkan bila Tuan Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana
ini pada 3 tahun mendatang; apakah tidak ada potensi kerugian ?.

Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank
Century lebih besar dari 6,7 triliun ?.

Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan
resiko manajemennya jauh lebih rendah dari angka itu ?.

Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah
28% ?.

Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat –misalnya
Tuan Toni– ini dinyatakan sebelum audit (BPK) dilakukan.

Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya
Bank Century, berapa kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa
aset bersih wajarnya ?.
Baiklah barangkali Tuan-tuan di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi
dengan bayangan kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi
kerugian merupakan imajinasi sesat.

Keempat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa beberapa pihak


yang terlibat merupakan jantung dari kabinet SBY, sekarang dan kabinet
mendatang.

BI bersalah karena gagal melakukan pengawasan yang baik; pimpinannya waktu


itu adalah Tuan Boediono yang sekarang jadi Wapres terpilih.

Tuan Boediono bahkan ditunjuk Jenderal SBY untuk memimpin penyusunan


program kerja 100 harinya. Pihak lain yang terlibat adalah Nyonya Sri Mulyani,
Menkeu sekarang dan dipastikan salah satu jantung mesin ekonomi SBY di kabinet
mendatang.

Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara
mengelola kebijakan publik yang sama; menurut saya mengkhawatirkan untuk
membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY mengolah kebijakan publik di
masa depan.

Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan
adanya keluaran kebijakan berbeda pada periode mendatang.

Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik
yang sama merupakan resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang.

Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang
melekat pada kabinet mendatang.

Resiko sistemik, resiko yang melekat pada sistem kerja sebuah organisasi.

Cilaka dua belas, Tuan dan Nyonya.

Artikel ini dapat dibaca di :

Bank Century: Risiko Sistemik Kabinet SBY

http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-resiko- sistemik-


kabinet-sby/

***

Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Boediono dinilai tidak berani
melaporkan pemilik Bank Century, Robert Tantular, kepada polisi untuk segera
ditangkap.
Karena ketidakberanian Boediono yang kini menjadi wakil presiden terpilih
mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, dirinya lantas mengambil inisiatif
menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum
yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera
bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan
polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujar JK (kompas online).

Membaca kutipan kompas online, kembali JK memunculkan klaim keberanian


dan kecepatan bertindak untuk menanggulangi masalah bank century.

Berita menjadi istimewa ketika khas karakter JK muncul, yaitu tanpa tedeng
aling-aling menyebutkan gubernur BI, yang saat itu dijabat boediono, tidak berani
mengungkap dan melaporkan kasus ini pada polisi.

Akhirnya inisiatif yang juga khas JK dalam pemerintahan SBY JK menjadi solusi
penangkapan.

Kebisaan bicara tanpa sensor dan selalu mengambil inisiatif justeru dianggap
sebagai wapres yang kurang sopan dan dianggap selalu mencari muka. Kedua hal
ini kurang disenangi penguasa, terlihat dari ungkapan ungkapan ketika kampanye.

Mungkin kita akan kehilangan inisiatif-inisiatif seperti ini, terlebih ada


perpindahan kantor wapres ke istana.

Akan menjadikan kekuatan yang solid satu pintu, dalam kacamata politik
mungkin itu baik agar kebijakan negara menjadi konvergen dalam mensukseskan
program besarnya. Tetapi jika berjalannya program menjadi lambat dan kurang
berani arah konvergen ini justeru merugikan rakyat karena telat merespon dan
bertindak akan selalu terjadi.

2010 adalah tahun tantangan tersendiri untuk Indonesia memasuki AFTA, AFTA
dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di
Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area
(AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk
membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Indonesia membutuhkan ekstra
keberanian dan kesiapan yang matang termasuk memberantas korupsi
sebagai terroris pengacau stabilitas bangsa ini. Juga sikap negara-negera yang
merendahkan bangsa ini butuh pengikapan yang berani dan cepat secepat
penanganan Manohara.

Mungkinkan budiono akan mengikuti langkah JK yang cukup berani dan banyak
berinisiatif dalam menangani berbagai permasalahan ?. Atau memang tidak
disiapkan untuk itu ?.

Artikel ini dapat dibaca di :


JK Belum Tamat

http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/jk- belum-tamat/

***

Menurut sumber LPS menyatakan bahwa semua besaran dana yang disuntikkan
ke Bank Century hingga Juli 2009 sebesar Rp 6,76 triliun, adalah berdasar
penilaian BI. Padahal, dana suntikan yang diketahui DPR hanya Rp 1,3 triliun,
apalagi ternyata dana yang disuntikkan dinilai terlalu besar dengan aset yang
dimiliki Bank Century. Aset yang dimiliki Bank Century hanya mencapai Rp 2
triliun.

Dana talangan tersebut didasari kekhawatiran akan dampak lanjutan atas


kegagalan Bank Century. Alasan ini juga dikemukakan oleh Sri Mulyani yang
bertindak sebagai Ketua Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK).

Suntikan modal sebesar Rp 6,76 triliun dinilai LPS sudah final. Ke depan,
kemungkinan besar tidak ada lagi penambahan modal dari LPS untuk Bank
Century.

Berdasarkan Undang-Undang LPS, LPS diharuskan menjual semua saham bank


yang diselamatkan paling lama tiga tahun dan dapat diperpanjang dua kali
masing-masing satu tahun sehingga keseluruhan menjadi lima tahun. Nilai
recovery atau pengembalian dari Bank Century kepada LPS sangat mungkin
mencapai Rp. 6,76 triliun, bahkan bisa lebih dari itu.

Hal itu karena sebagian besar modal yang telah disuntikkan bukanlah uang yang
hilang begitu saja, melainkan masih dalam bentuk aset berupa cadangan atau
aktiva produktif yang telah dihapus buku, yang di kemudian hari bisa dijual.

Saat ini, menurut Firdaus, LPS memiliki cadangan senilai Rp 2,2 triliun dalam
bentuk Surat Utang Negara dan Sertifikat Bank Indonesia, yang sangat likuid.
Selain itu, LPS juga memiliki sejumlah aktiva produktif yang telah dihapus dari
neraca, tetapi memiliki nilai recovery. Aset-aset tersebut berupa surat-surat
berharga yang telah jatuh tempo, tetapi belum bisa dicairkan dan aset-aset jaminan
dari kredit yang macet.

Belum bisa diketahui berapa besar nilai recovery yang bisa diupayakan dari aset-
aset kotor tersebut.

Pertanyaan besarnya ?, kalau saja LPS sudah memprediksikan akan kembali


menjual asset Bank Century 3 – 5 tahun ke depan dengan nilai minimal 6,7
trilliun, berdasarkan pengalaman BLBI yang malah sudah ditangani lembaga
BPPN alilh-alih semua aset itu bisa dijual malah mengalami penurunan nilai
likuiditas.
Siapa yang akan menjamin sejumlah aktiva produktif yang telah dihapus dari
neraca dapat memiliki nilai recovery lima tahun kemudian ?. karena wilayah ini
tidak lagi dijangkau pengawasan publik.

Aset-aset tersebut berupa surat-surat berharga yang telah jatuh tempo, tetapi
belum bisa dicairkan karena aset-aset jaminan dari kredit yang macet, nah…,
siapa yang berani menjamin aset-aset kotor ini bisa bernilai recovery juga selama
lima tahun ke depan ?. bagaimana cara menyelematkan dana kredit macet ini yang
disinyalir hanya kredit fiktif ?.

Alasan penyuntikan dana LPS adalah untuk menghindari kolapsnya beberapa


bank terkait menjadi perlu dipertanyakan karena kisruh bank century ini hanya
menguntungkan nasabah korporasi di Bank Century yang mencapai 60 persen
dari total dana pihak ketiga.

Untuk melindungi segelintir kelompok ini negara atau rakyat harus kembali
dirugikan trilliunan rupiah.

Menurut Sri Mulyani Menteri Keuangan plus PLT Menko Perekonomian bersama
Boediono yang kala itu menjabat Gubernur BI, demikian pula pendapat pejabat
sementara Gubernur BI Darmin Nasution bahwa scenario ini sah sesuai prosedur
dan landasan hukum dan perundang-undangan.

Inilah kelemahan hukum positif yang dibuat yang tidak mengacu pada visi
pembangunan ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan, artinya mengapa
perundangan itu perlu dipake kalau dikemudian hari malah merugikan negara dan
rakyat sendiri.

Seperti itulah yang terjadi pada kasus BLBI dengan kucuran dana 600 trilliun
pada tahun 1998 yang sampai saat ini tidak jelas juntrungannya.

Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani


mengatakan, pihaknya terus menyelidiki aset pemilik lama PT Bank Century Tbk,
yang dinyatakan sebagai bank gagal tahun lalu. Kabar terbaru, diduga aset pemilik
lama PT Bank Century Tbk tersimpan di Hongkong dalam jumlah besar.
“Nilainya, mencapai 1 juta dollar AS,” ujar Firdaus kepada para wartawan dalam
jumpa pers, Minggu (30/8) di Jakarta.

Direktur Pengawasan Bank Indonesia Heru Kristyana seusai jumpa pers di kantor
BI, Jakarta, Senin (31/8) menjelaskan, hitungan suntikan dana yang diperlukan
Century terus membengkak karena dari waktu ke waktu bank sentral menemukan
beragam catatan fiktif dalam pembukuan. Di samping itu, sebelum diambil alih
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Century yang lama
kurang transparan dalam membeberkan pembukuan. “Sebelumnya kami tidak tahu
karena dulu masih ditutupi pegawainya. Setelah manajemen diganti, barulah
mereka jauh lebih transparan,” ungkap Heru.
Salah satunya ialah transfer dana sebesar 18 juta dollar AS yang dilakukan Dewi
Tantular tanpa seizin pemiliknya, dan Letter of Credit (L/C) fiktif senilai lebih
besar dari 100 juta dollar AS. “Ada juga kredit fiktif yang kami temukan,” ujarnya.

Direktur Pengawasan BI Budi Armanto menyebutkan, faktor lain yang membuat


suntikan dana talangan melonjak ialah konservatisme penghitungan. Beragam
surat berharga milik Bank Century, terutama yang tidak mendapat peringkat
lembaga pemeringkat, meski dijamin dengan uang tunai, dinyatakan sebagai
kredit macet. “Berarti pencadangan yang disediakan Bank Century bertambah,
dan modalnya tergerus,” cetusnya.

Begitu modal tergerus, rasio kecukupan modal Bank Century otomatis berkurang.
Akhirnya, bertambahlah dana talangan yang diperlukan untuk mencapai batas
minimal 8 persen yang disyaratkan bank sentral.

Artinya dana Bank Century selama ini telah dilarikan keluar negeri oleh para
pemiliknya bersama korporasinya di mana salah satu korporasinya dimiliki grup
perusahaan PT. Sampeorna. Ibaratnya LPS muncul sebagai pahlawan kesiangan
belaka.

Tentu kasus pelarian dana ini akan menguntungkan para pejabat tinggi terkait
yang sebelumnya sudah mendapat fulus dan komisi dalam proses penyuntikan
dana.

Sekali lagi demikian inilah yang terjadi persis sama dengan kasus BLBI.

Anggota Komisi XI DPR Drajat H Wibowo menilai wajar atas timbulnya


kontroversi dan saling lepas tanggung jawab terkait proses penyelematan bank
Century. Menurutnya, setiap proses penyelamatan bank pasti menimbulkan
kontroversi. “Ini klasik, semua pihak jadi saling lempar” ujarnya ketika
dikonfirmasi mengenai pernyataan LPS bahwa besar dana yang disuntikkan ke
Century berdasar persetujuan BI, Jakarta, Senin (31/8).

Dia menjelaskan sebenarnya BI hanya melakukan pengawasan, pemeriksaan dan


penilaian atas kondisi likuiditas bank Century. Berdasarkan hasil pemeriksaan
inilah, BI menilai Bank Century sebagai Bank gagal dan merekomendasikan
untuk diselamatkan.

Namun, semua keputusan untuk penyelamatan Bank Century dan penyerahan ke


Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), merupakan keputusan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) dan Keputusan Komite Koordinasi (KK) tanggal 21
November 2008. “BI melakukannya berdasar posisi CAR Century saat itu. Tapi
bolongnya yang tahu Century dan LPS. Setelah diserahkan ke LPS, dia kan yang
tahu bolongnya,” ujarnya.
Dengan demikian patut diduga telah terjadi konspirasi di antara petinggi LPS, BI
dan para korporasi Bank Century ?. dan sepertinya otoritas KSSK hanya merestui
saja, mungkinkah ada uda udang dibalik batu ?.

Berbicara saat memberikan keterangan pers di kantornya, di kawasan Kebon


Sirih, Jakarta, Senin (31/8), Wapres menegaskan, masalah yang lahir di tubuh
Bank Century bukan karena krisis, melainkan akibat perampokan yang dilakukan
oleh pemiliknya sendiri. Dalam kondisi semacam ini yang diperlukan adalah
tindakan dari Bank Indonesia. Namun, kenyataannya tidak. “Pendapat saya sejak
awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak dengan bail out karena sesuai
pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan negara sampai Rp 600 triliun dalam
bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20
tahun mendatang rakyat harus membayar dengan bunga dan pokok sebesar Rp
60 triliun melalui APBN. Padahal, seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab
pengawas bank yang ketat dari Bank Indonesia,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Wapres, kasus Bank Century adalah kriminal. “Karena
pemilik bank merampok banknya sendiri dan dananya dilarikan ke luar negeri.
Padahal, obligasi yang diterbitkannya juga bodong atau tidak ada nilai.
Seharusnya ini diawasi dengan baik dan benar oleh BI,” tegasnya lagi.

Statement Wapres Pak Kalla ini juga patut menjadi perhatian, sebagai orang yang
lama berkecimpung malang melintang di dunia bisnis sebelum jadi wapres tentu
banyak tau di rimba moneter Indonesia. Pernyataan ini tentu karena sikap
kenegarawanan yang dimilikinya, karena sejak Pilpres usai beliau kontestan yang
sudah mengucapkan selamat atas kemenangan SBY, tentu ini bukan manuver
untuk memojokkan SBY.

“Menanggapi laporan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia


mengenai kasus Bank Century, yang saya nilai sebagai perampokan, saya sempat
meminta kepada Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia saat itu untuk segera
melapor ke polisi guna menangkap Robert Tantular dan direksi yang bertanggung
jawab dan menyita aset. Ternyata Bank Indonesia tidak berani. Alasannya, tidak
ada dasar hukum,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan di Istana
Wakil Presiden, Jakarta, Senin (31/8). Kalla menggelar jumpa pers khusus
menanggapi kasus Bank Century.

Karena ketidakberanian Boediono, lanjut Kalla, dirinya lantas mengambil inisiatif


menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum
yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera
bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan
polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujarnya.

Pandangan SBY soal Raibnya Dana BLBI Rp 600 Triliun


KORUPSI BLBI. Melihat cara pandang SBY seperti ini, maka mustahil dana
BLBI yang jumlahnya mencapai Rp. 600 triliun bisa kembali.

Jika untuk seorang Presiden SBY yang terpilih dua kali saja menganggap kasus
BLBI terjadi karena kondisi buruk yang ada, sehingga tidak ada langkah strategis
scenario penyelematan dana tersebut, lalu bagaimana Bank Century sendiri dapat
diselamatkan ?.

Akhirnya kembali lagi kita harus gigit jari, dana 6,7 trilliun akan raib entah ke
mana, assetnya mungkin hanya akan menjadi ibarat sejenis besi tua butut belaka
selama 5 tahun ke depan.

Kemudian tahun 2013-2014 semua kembali akan terlupakan, suksesi


kepemimpinan nasional jadi perbincangan, korporasi eks bank century kembali
jadi donasi seperti kala ini.

Artinya kita memang manusia penuh pelupa, lalu hati kecil kita hanya mampu
berucap getir, “selamat tinggal bank century ! dan para korporasinya tertawa
puas di luar negeri menikmatinya ?”.

Wallahualam.

Artikel ini dapat dibaca di :

Bank Century, Kasus BLBI Terulang Kembali Negara dan Rakyat Akan
Dirugikan 6,7 Trilliun ?

http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-kasus- blbi-terulang-


kembali-negara- dan-rakyat- akan-dirugikan- 67-trilliun/

***

Saat ini salah satu berita yang menarik perhatian saya adalah tentang empat kali
suntikan dana dari LPS ke Bank Century. Siapakah yang dirugikan ?. Negara ?.
Bank Anggota LPS ?. atau Nasabah ?.

Menurut Pradjoto, seperti yang dikutip Kompas pada artikelnya bertajuk


“Pengamat : Penyelamatan Century, Tidak Ada Kerugian” senin 31 Agustus
2009, kekayaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) per 31 Juli 2009 mencapai
Rp. 18 triliun. Dari jumlah itu, Rp. 14 triliun berasal dari premi bank peserta
penjaminan dan hasil investasi. Jadi menurut Prajoto, tidak ada kerugian negara
mengingat dana LPS tidak ada hubungannya dengan APBN.

Jika kita melihat dari sudut pandang tersebut, memang tidak ada kerugian negara.
Namun, jika kita fahami bahwa penyumbang terbesar kekayaan LPS itu berasal
dari premi bank peserta penjaminan maka ujung-ujungnya adalah berasal dari
dana masyarakat yang disimpan pada bank-bank tersebut.  Keputusan untuk
mengalokasikan dana yang sangat besar tersebut harus dipertanggungjawabk an
oleh LPS kepada bank-bank anggota dan bank anggota harus
mempertanggungjawab kan kepada nasabahnya.

Adakah mekanismenya ?. Seberapa efektif kah ?. Lalu, siapakah yang


memperhatikan dan membela kepentingan para nasabah bank-bank anggota LPS
tersebut ?.

Jika LPS dikemudian hari tidak bisa mendapatkan kembali jumlah uang yang
disuntikkan ke Century secara utuh alias merugi, kira-kira apa
pertanggungjawaban dari LPS terhadap Bank-Bank yang menjadi anggotanya ? .
Bisakah orang-orang yang bertanggungjawab di LPS, diberhentikan atau dituntut
ke pengadilan ?.  4 tahapan penyuntikan dana mengindikasikan apa ?.

Dalam artikel kompas sebelumnya bertajuk “Karena Century, Negara Bisa


Jeblok Rp 5 Triliun” tanggal 28 Agustus 2009, dinyatakan bahwa ada empat kali
suntikan dana dari LPS ke Bank Century, yakni :

 Pertama pada 23 November 2008 senilai Rp 2,776 triliun (modal yang


digunakan untuk mengembalikan rasio kecukupan modal/CAR Bank
Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen).
 Kedua, pada 5 Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun.
 Ketiga, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun untuk menutup
kekurangan CAR berdasarkan hasil perhitungan BI.
 Keempat, pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar.

Bertahapnya suntikan dana bisa disebabkan berbagai kemungkinan, yaitu :

 Pertama, LPS tidak bisa sekaligus menyuntik dana.


 Kedua, tidak adanya hitung-hitungan yang pasti pada saat penetapan
keputusuan penyelamatan Bank Century
 Ketiga, salah hitung-hitungan untuk menetapkan berapa dana yang
sebenarnya harus disuntikkan.
 Keempat, LPS dicurigai meloloskan kucuran dana 18 juta dollar AS dari
Bank Century kepada pihak tertentu, yang memiliki hubungan utang
piutang dengan pemegang saham lama, tetapi masih dalam proses
pengadilan.

Mari kita diskusikan kemungkinan yang kedua. Disinilah perlunya audit oleh BPK
untuk memastikan proses pengambilan keputusan pengucuran dana tersebut.
Dan BPK sebaiknya melihat apakah dalam pengambilan keputusan tersebut sudah
dilakukan identifikasi berbagai alternatif pilihan pengambilan keputusan ?.

Apakah sudah secara sistematis melaksanakan analisa cost, benefit dan risiko
yang terintegrasi ?.

Apakah ada data-data nyata untuk digunakan dalam membandingkan semua


alternatif pilihan ?.

Jika proses pengambilan keputusannya tidak bermutu, sebaiknya orang-orang


yang bertanggungjawab mengundurkan diri saja atau diberhentikan. Proses
pengambilan keputusan yang tidak mencukupi menggambarkan orang-orang yang
terkait tidak perform alias tidak profesional, minimal dalam pengambilan
keputusan yang bermutu.

Sekarang kita diskusikan kemungkinan yang ketiga. Secara teknis, salah


melakukan perhitungan bisa dikarenakan penggunaan data dan asumsi yang tidak
akurat serta penggunaan pendekatan kalkulasi yang tidak tepat.

Hal seperti itu, seharusnya mudah untuk diidentifikasi oleh BPK.

Jika terbukti terjadi salah perhitungan, itu artinya posisi awal hasil pembandingan
cost, benefit dan risiko sudah tidak tepat. Artinya, jika memang dana yang perlu
disuntikkan itu HARUS sebesar Rp. 6,77 triliun tersebut, mungkin keputusan
yang paling tepat adalah Bank Century tersebut ditutup saja. Ini juga bisa
dianalisa oleh BPK.

Kesalahan melakukan perhitungan yang menyebabkan kesalahan pengambilan


keputusan adalah tindakan tidak perform dari orang-orang yang terkait, alias tidak
profesional.

Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka diharapkan agar orang-orang yang
bertanggungjawab tersebut mengundurkan diri saja atau diberhentikan.

Sekarang kita diskusikan kemungkinan keempat. BPK harus membuktikan adanya


indikasi tersebut. Jika ada, maka KPK dapat melaksanakan penyidikan lebih
dalam.

Karena, meloloskan kucuran dana 18 juta dollar AS dari Bank Century kepada


pihak tertentu dapat dikategorisasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Berpotensi sistemik kah ?.

Berpotensi sistemik adalah isu utama yang menjadi alasan mengapa Bank Century
harus diselamatkan.
Saya tidak akan mendiskusikannya dari sudut aturan tetapi lebih melihat pada
substansi pengertian potensi sistemik tersebut.

Darmin Nasution mengatakan, Bank Century diselamatkan karena jika dibiarkan


mati, dikhawatirkan menyebabkan 23 bank lainnya juga bermasalah akibat di-
rush nasabahnya.

Ke-23 bank tersebut merupakan bank-bank yang selevel dan memiliki hubungan
bisnis dengan Bank Century. Di tengah krisis keuangan, kebangkrutan sebuah
bank bisa merembet cepat ke bank lain yang selevel.

Dengan menggunakan analisa hubungan sebab – akibat, maka alasan sistemik


memang masuk akal jika dijadikan sebagai dasar penyelamatan Bank Century.

Pertanyaannya adalah seberapa sistemik kah ?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data yang akurat dan model
perhitungan yang tepat. Kita berharap para auditor BPK dapat menganalisis
seberapa akurat data dan model perhitungan yang digunakan.

Faktor potensi sistemik tersebut termasuk dalam komponen risiko ketika kita
melakukan analisa cost, benefit, dan risiko dari semua alternatif pilihan
pengambilan keputusan yang ada.

Tentu saja kita berharap bahwa BPK juga melaksanakan analisis yang menyeluruh
mengenai kecukupan alternatif pilihan pengambilan keputusan yang relevan serta
kecukupan analisis cost, benefit dan risiko tersebut.

Pengukuran Potensi Sistemik.

Pradjoto mengatakan bahwa yang menjadi masalah sebetulnya adalah mengapa


Bank Century bisa dikatakan sistemik. Hanya saja, lanjut Pradjoto, hal itu sulit
diukur karena tidak mungkin menggunakan parameter yang berlaku saat ini untuk
menjangkau masa lampau.

”Jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Century pada saat ini,
kemungkinan besar bank bersangkutan akan ditutup. Artinya, persoalan sistemik
yang dialami Century sangat dipengaruhi krisis ekonomi global saat itu,”
katanya.

Terus terang pernyataan tersebut membingungkan bagi saya. Mengapa kita harus
mengukur potensi sitemik dengan parameter yang berlaku saat ini ?. Justru yang
paling tepat adalah menggunakan parameter saat lalu.

Ketidaktepatan pengambilan keputusan penyelamatan tidak hanya tergantung


pada ‘potensi sistemik’ tetapi juga pada aspek kecukupan dan kelengkapan
pertimbangan lainnya seperti aspek cost, benefit dan risiko juga tergantung pada
sudah diidentifikasinya semua alternatif pilihan penggambilan keputusan.

Tidak tercapainya tujuan pengambilan keputusan pada saat ini bisa juga dianalisis
dari kecukupan hal-hal tersebut.

Penyuntikan dana tersebut dapat menimbulkan kerugian atau tidak ?.

Tentu saja LPS berpotensi mengalami kerugian. Tepatnya ketika LPS tidak bisa
mendapatkan kembali uang yang sebesar Rp. 6,77 triliun yang sudah dikucurkan.

Kapankah itu ?. Penyelamatan Bank Century berpotensi merugikan negara, dalam


hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, pada tahun 2011 saat LPS harus melepas
kepemilikannya atau harus mendivestasi saham Century paling lambat tiga tahun
sejak pengambilalihan pada 21 November 2008, yaitu paling lambat November
2011.

“Dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp 500 miliar, saat dijual tiga tahun
lagi diperkirakan hanya menjadi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun,” ujar anggota Komisi
XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di Jakarta,
Kamis (27/8), dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana
Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Pejabat Sementara
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.

Kita tunggu saja apakah nanti LPS benar-benar akan merugi atau tidak.

Tetapi kabar yang menyedihkan adalah pernyataan Kepala Eksekutif LPS, Firdaus
Djaelani dalam konferensi persnya di Kantornya, Gedung BRI, Jakarta, Minggu
(30/08/2009) seperti yang diberitakan di Detik.com pada artikel bertajuk “LPS
Siap Jual Rugi Bank Century”

Setelah lima tahun kedepan, jika memang belum laku, kita bisa menjual Century
dibawah dana yang LPS kucurkan sebesar Rp 6,77 triliun, demikian perkataan
Firdaus Djaelani, karena memang diperkenankan oleh Undang-Undang.

Selanjutnya Firdaus menambahkan bahwa “Sesuai dengan Undang-undang LPS,


lembaga penjaminan ini akan menjual paling lama 3 tahun dan dapat
diperpanjang 2 kali masing-masing 1 tahun (5 tahun). Maka kita akan menjual
(divestasi) seluruh saham Bank Century dengan harga maksimal sebesar Rp 6,77
triliun”.

Jika mengacu pada pernyataan-pernyata an tersebut diatas, maka timbul beberapa


pertanyaan kita terhadap LPS. Apakah LPS benar-benar boleh merugi ?.

Adakah kriteria yang harus dipenuhi sehingga LPS boleh merugi ?.


Adakah batas kerugian yang boleh ditanggung ?.

Adakah mekanisme pembuktian untuk menghitung jumlah kerugian tersebut ?.

Bagaimanakah pertanggungjawaban kerugian LPS kepada Bank-Bank anggota ?.

Pembolehan dan kemudahan LPS dalam melakukan penyuntikan dana namun


merugi bisa menjadi peluang bagi orang-orang serakah dan loba untuk
mendapatkan uang dalam jumlah yang luar biasa banyak. Jika terjadi, hal itu
sangat menghina kecerdasan pemimpin dan rakyat negeri ini.

Adakah hubungan LPS dengan Pemerintah dan Negara ?.

Saya terusik ketika menyadari bahwa tidak ada dana APBN yang digunakan
dalam penyuntikan dana ke Bank Century, namun ternyata terdapat potensi
penggunaan dana masyarakat melalui bank dan LPS yang tidak dapat
dipertanggungjawabk an serta potensi upaya untuk mendapatkan keuntungan dari
dana Bank (baca: masyarakat) yang ada di LPS.

Dari perspektif pemerintahan, sudah jelas tidak ada hubungan penggunaan dana
LPS dengan pemerintah. Namun, upaya penyelamatan bank adalah usaha
bersama-sama yang dilakukan oleh Pemerintah, BI dan LPS.

Jadi kita harus melihat tugas LPS dari perspektif negara bukan pemerintah.

Itulah yang harus disadari oleh Pemerintah, BI dan LPS. Artinya masyarakat luas
adalah owner yang sesungguhnya dari permasalahan penyelamatan Bank oleh
Pemerintah dan BI dengan menggunakan dana LPS.

Semoga, BPK dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga kita semua
dapat mengetahui bahwa tindakan penyelamatan bank century tersebut adalah
memang tindakan yang benar-benar patut.

Jika memang harus masuk ke tingkatan penyidikan, maka kita berharap agar KPK
dapat meningkatkan ke penuntutan, tentunya dengan bukti-bukti yang valid.

Artikel ini dapat dibaca di :

Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi


Sistemik ?.

http://public. kompasiana. com/2009/ 08/31/apakah- benar-bank- century-


merupaka n-bank-gagal- yang-berpotensi- sistemik/

***
Uang sebesar Rp. 5.000.000.000. 000 (5 Trilyun Rupiah) itu buat saya suatu
jumlah uang yang sangat banyak. Jika dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia,
250 juta orang, maka masing-masing orang akan menerima sebesar Rp. 20.000
per orangnya.

Uang sebanyak Rp. 5 Trilyun itulah, konon katanya, potensi kerugian yang akan
diderita oleh negara ini akibat dari bailout Bank Century. Hitungan ini, konon
katanya, didapatkan dari jumlah dana bailout sebesar Rp. 6,7 Trilyun dikurangi
dengan nilai jual Bank Century jika nantinya dijual, saat kondisinya sudah sehat
kembali dan nilai sahamnya membaik kembali.

“Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasi saham Century paling


lambat tiga tahun sejak pengambilalihan pada 21 November 2008, yaitu paling
lambat November 2011. Artinya, dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp. 500
miliar, saat dijual tiga tahun lagi diperkirakan hanya menjadi Rp. 1,5 triliun-Rp.
2 triliun”, ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional,
Dradjad H Wibowo.

Dradjad juga mempertanyakan adanya pembengkakan angka penyelamatan


(bailout) Bank Century. Menurutnya, ada ketidakjelasan mengenai pencairan
deposito nasabah-nasabah tertentu, serta adanya indikasi perlakuan khusus
terhadap nasabah tertentu, sementara nasabah Century yang lainnya harus
berdemo dan tetap diabaikan.

Ah, ini lagi bulan Ramadhan, kata pak Ustadz sebaiknya tidaklah bijaksana ikut-
ikutan mengkritik dan berprasangka buruk terhadap pemerintah, karena kata pak
Ustadz, itu namanya ghibah (jika berita itu benar) atau fitnah (jika berita itu
salah) yang dua-duanya itu (ghibah dan fitnah) sama-sama berdosa lho. Maka,
katanya lebih baik tabayyun dulu, kalau sudah ada penjelasan pemerintah, ya
qonaah fikriyah saja terhadap apapun penjelasannya.

Nah, sambil menunggu ikhwan-ikhwan bertabayyun, kita bicarakan saja yang


jelas-jelas, apakah menurut anda, besarkah jumlah Rp. 5 Trilyun itu ?.

KASUS BANK CENTURY


Terjadi Tindak Pidana Kejahatan Perbankan
Sri Mulyani, Menteri Keuangan.

Kamis, 1 Oktober 2009

JAKARTA (Suara Karya): Komisi XI DPR mengumumkan hasil sementara audit


Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kasus Bank Century. Ketua Komisi XI
DPR Achmad Hafiz Zawawi dalam rapat tertutup yang dilakukan di gedung
DPR, Jakarta, Selasa malam, mengatakan, setelah DPR mempelajari hasil
audit investigasi BPK, maka secara garis besar memang telah terjadi berbagai
tindak pidana kejahatan perbankan.
"Tindak pidana tersebut, antara lain, adanya penyelewengan surat-
surat berharga, pemberian kredit fiktif, pelanggaran BMPK,
pengeluaran fiktif, dan pelanggaran posisi devisa," ujarnya.
Selain itu, dari hasil audit sementara, ia menambahkan, juga diduga
telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dan atau kesalahan dalam
penilaian oleh Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sektor
Keuangan (KSSK) sehingga menyebabkan kerugian negara dalam
jumlah yang besar. "Ada perubahan Peraturan BI (PBI) yang tidak
dilakukan melalui persetujuan DPR, yaitu mengubah CAR 8 persen
menjadi hanya positif dalam hal pemberian pembiayaan fasilitas
pembiayaan jangka pendek (FPJP)," ujarnya.
Perubahan itulah yang menyebabkan Bank Century mendapatkan FPJP
walau apabila mengikuti peraturan BI lama tidak berhak mendapatkan
FPJP. Selain itu, dalam rapat KSSK pun terdapat error of judgment di
mana kesalahan dalam penilaian terhadap Bank Century yang
berdampak sistemik itu mengakibatkan dana yang tadinya dikucurkan
hanya Rp 630 miliar menjadi Rp 6,76 triliun.
Sementara itu, Menteri Keuangan sekaligus Plt Menko Perekonomian
Sri Mulyani merasa "gerah" karena dirinya disebut-sebut terseret
melakukan pelanggaran dalam kasus bail-out atau penyelamatan Bank
Century yang menelan dana Rp 6,7 triliun.
Dia mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sedang
melakukan audit investigasi untuk "buka-bukaan" jika memang ada
indikasi korupsi yang terjadi pada proses bail-out Bank Century.
"Kalau BPK menemukan berbagai penyelewengan pidana,
penyalahgunaan kewenangan bahkan korupsi, saya senang. Silakan
diambil dan dibuka siapa yang korupsi dalam event apa, berapa
jumlahnya, menggunakan kewenangan apa, dan siapa yang
melakukan. Silakan dibuka, kapan korupsi, kejadian mana, yang
dikorupsi apa, siapa pelakunya. Indikasi itu silakan oleh BPK," katanya
menegaskan.
Berdasarkan temuan sementara ini, Komisi XI pun merekomendasikan
agar audit investigasi segera dituntaskan, terutama mengenai jumlah
dan penggunaan aliran dana dari LPS.
Anggota Komisi XI Drajad Wibowo mengatakan, audit sementara ini
belum banyak berbicara mengenai detail dan angka. Sebab, audit
investigasi ini masih bersifat sementara.
Sementara itu, pengusutan kasus PT Bank Century (Persero) Tbk
menjadi kian tidak jelas dan dipastikan terbengkalai. Ini seiring
dengan selesainya masa tugas anggota DPR periode 2004-2009 pada 1
Oktober 2009 ini dan perubahan susunan pengurus Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Ekonom Kwik Kian Gie mengatakan, ia belum bisa memprediksi nasib
kasus Bank Century ke depan dengan selesainya masa tugas anggota
DPR periode 2004-2009 pada 1 Oktober 2009 ini.
Namun, dia tidak dapat berasumsi jika BPK dan DPR dengan sengaja
membiarkan kasus Bank Century.
Dalam pandangan Kwik, hasil audit sementara BPK dibarengi dengan
sikap kerahasiaan, sehingga publik tidak mendapatkan informasi yang
transparan.
Sedangkan pengamat perbankan Aviliani berpendapat, dalam konteks
Bank Century lebih banyak aspek politisnya ketimbang aspek ekonomi.
Karena itu pula, menurutnya, kasus Bank Century hanya mencari-cari
kesalahan terhadap pemegang pemerintahan periode mendatang.
Menanggapi hasil sementara audit investigasi BPK, Aviliani menilai,
tidak ada hal yang perlu dikritisi. (Agus/Nunun/Sabpri)

Mengurai Lagi Kasus Bank Century  


Bogi Triyadi

16/09/2009 19:17
Pemberian bail out atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century
yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari semula hanya Rp 1,3 triliun terus
menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan hanya di media massa, di
kalangan para ahli, dan birokrasi pemerintahan, tapi juga di parlemen.  Anggota
Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) DPR RI terus mempersoalkannya.

Natsir Mansyur mensinyalir tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati


yang juga Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memberikan dana
penyertaan ke Bank Century merupakan tindak pidana yang meliputi dua aspek
yaitu politik serta hukum. "Jelas-jelas sudah dinyatakan sebagai bank gagal, kok
masih diberi tambahan Rp 4,9 triliun. Ini sudah tindakan pidana," kata anggota
Komisi XI DPR dari Partai Golkar itu.

Untuk itu, ia mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menonaktifkan


Ketua KSSK. "Lebih bagus Ketua KSSK yang juga dijabat Menteri Keuangan
harus dinonaktifkan dan hanya satu orang yang bisa, yaitu Presiden," ujar Natsir.

Namun menurut Menkeu, keputusan menyelamatkan Bank Century pada 21


November 2008 itu tidak bisa dinilai berdasarkan kondisi saat ini. Sebab ketika itu
kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis
global. Keputusan KSSK saat itu untuk menghindari terjadinya krisis secara
berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dasyat dari
1988. "Dengan meminimalkan ongkosnya dan dikelola oleh manajemen yang baik
maka Bank Century punya potensi untuk bisa dijual dengan harga yang baik,"
ucap Sri Mulyani. Menkeu pun siap dipanggil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
guna dimintai keterangan seputar pengambilan kebijakan penyelamatan bank yang
memiliki aset sekitar Rp 10 triliun itu.

Menkeu menyebutkan hingga Juli 2009 bank hasil penggabungan PT Bank CIC
Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko itu sudah untung sebesar Rp 139,9
miliar. Bahkan, menurut Bank Indonesia, jika dilihat posisinya sejak Desember
2008 sampai Agustus 2009, ada kenaikan simpanan nasabah sebesar Rp 1,1
triliun.

Namun, pemberian dana peryertaan Century yang sekarang terus dipersoalkan


membuat Menkeu cemas lantaran bisa berakibat buruk terhadap bank itu. "Isu
panas atas penyehatan Century yang tak sesuai dengan fakta bukan mustahil bisa
menjungkalkan kembali bank ini," tutur Sri Mulyani.

Kekhawatiran Menkeu setidaknya mulai terjadi. "Sejak Bank Century diributkan


akhir-akhir ini, tolong tulis yang besar ya, dana pihak ketiga Bank Century turun
Rp 431 miliar," ujar Deputi Gubernur BI Budi Rochadi di Gedung DPR/MPR,
Jakarat, Rabu (16/9). "Coba, kalau kasus Century didiamkan saja, pasti
kejadiannya tidak seperti itu. Itu sekarang salah siapa."

Selain besarnya dana penyertaan, hal lain yang dipersoalkan kenapa Bank Century
tak ditutup kabarnya ada nasabah besar yang dilindungi. Kabarnya, nasabah besar
itu memiliki dana sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun. Harry Azhar, anggota
Komisi XI DPR, menyebut nasabah besar itu antara lain Budi Sampoerna. Paman
Putera Sampoerna, mantan pemilik PT H.M. Sampoerna itu disinyalir punya dana
sebesar Rp 1,8 triliun di Century.

Munculnya Budi Sampoerna turut menyeret Komisaris Jenderal Susno Duadji. Isu
tidak sedap merebak di kalanggan anggota dewan. Kepala Badan Reserse
Kriminal Markas Besar Polri itu disebut-sebut dalam proses pencairan dana Budi
Sampoerna. Keterlibatan Susno, seperti ditulis Majalah Tempo, terlihat dari
dikeluarkannya surat Badan Reserse Kriminal pada 7 serta 17 April 2009. Surat
itu menyatakan dana milik Budi Sampoerna dan 18 juta dolar AS milik PT Lancar
Sampoerna Bestari di Bank Century "sudah tak ada masalah lagi".

Selain itu, Susno turut memfasilitasi beberapa pertemuan direksi Century dengan
pihak Budi di kantor Bareskrim. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan.
Salah satunya soal persetujuan pencarian dana senilai 58 juta dolar AS-dari total
Rp 2 triliun-milik Budi atas nama PT Lancar Sampoerna Bestari. Kesepakatan
lainnya, pencairan dilakukan dalam rupiah. Atas upaya tersebut, Susno dikabarkan
dijanjikan oleh Lucas, kuasa hukum Budi, komisi 10 persen dari jumlah uang
Budi yang akan cair.

Soal komisi 10 persen itu dibantah Susno. "Boro-boro dapat itu," ucap Susno.
"Ongkos saya ke luar negeri untuk mendapatkan aset-aset Robert (Tantular,
pemilik Bank Century) saja belum diganti. Bantahan serupa juga dikatakan Lucas.
"Maksudnya fee? Enggak ada sama sekali. itu fitnah," tegas Lucas seperti ditulis
Majalah Tempo.

***

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut ada perkara kriminal di Bank Century
sehingga tidak layak diselamatkan. Menurut Wapres, masalah yang dihadapi Bank
Century bukan lantaran krisis global. Melainkan karena pemiliknya yaitu Robert
Tantular merampok dana bank sendiri. "Masalah (Bank) Century itu bukan
masalah karena krisis, masalah perampokan, kriminal. Karena pengendali bank ini
merampok dana bank sendiri dengan segala cara termasuk obligasi bodong," ujar
Wapres Kalla.

Karena itu, Wapres Kalla lalu memerintahkan polisi menangkap Robert Tantular
serta direksi Bank Century. Dia khawatir Robert dan direksi Bank Century
melarikan diri. "Saat itu juga saya telepon (Kepala Polri Jenderal Bambang
Hendarso Danuri), Robert Tantular dan direksi yang bertanggung jawab ditangkap
dalam dua jam," kata Kalla.

Menurut Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian


Internasional Luar Negeri, seperti dimuat Majalah Tempo, modusnya yaitu
pemilik Bank Century membuat perusahaan atas nama orang lain untuk kelompok
mereka. Lantas, mereka mengajukan permohonan kredit. Tanpa prosedur
semestinya serta jaminan yang memadai, mereka dengan mudah mendapatkan
kredit. "Bahkan ada kredit Rp 98 miliar yang cair hanya dalam dua jam," kata
Arif. Jaminan mereka, tambahnya, hanya surat berharga yang ternyata bodong.

Robert sendiri sudah divonis penjara empat tahun serta denda Rp 50 miliar oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 10 September lalu. Vonis ini jauh lebih rendah
dibanding tuntutan jaksa yakni delapan tahun penjara. Karena itu, Kejaksaan
Agung langsung mengajukan banding atas putusan tersebut. Alasannya, majelis
hakim hanya mengenakan pada satu dakwaan dari tiga dakwaan yang diajukan
jaksa penuntut umum.

Tiga dakwaan tersebut pertama, Robert dianggap menyalahgunakan kewenangan


memindahbukukan dan mencairkan dana deposito valas sebesar 18 juta dolar AS
tanpa izin sang pemilik dana, Budi Sampoerna. Kedua, mengucurkan kredit
kepada PT Wibowo Wadah Rejeki Rp 121 miliar dan PT Accent Investindo Rp 60
miliar. Pengucuran dana ini diduga tak sesuai prosedur. Dakwaan yang ketiga
adalah melanggar letter of commitment dengan tidak mengembalikan surat-surat
berharga Bank Century di luar negeri dan menambah modal bank. Perbuatan
Robert dan pemegang saham lain berbuntut pada krisis Bank Century yang
berujung pada pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun.
Selain Robert, mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim,
juga sudah divonis tiga tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar. Sedangkan
mantan Direktur Treasur Bank Century Laurence Kusuma divonis tiga tahun
penjara dan denda Rp 5 miliar. Tersangka lainnya adalah Hesman Al Waraq Talaat
dan Rafat Ali Rizvi. Dua pemegang saham Bank Century ini juga dipersangkakan
dalam tindak pidana pencucian uang.

Polisi turut menetapkan Dewi Tantular selaku Kepala Divisi Bank Note Bank
Century sebagai tersangka. Dewi kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dua tersangka lainnya adalah Linda Wangsa Dinata, selaku pimpinan KPO
Senayan, dan Arga Tirta Kiranah, Kadiv legal Bank Century. Keduanya kini
dalam proses penyidikan.

Kini, pemerintah terus memburu aset Robert Tantular dan pemegang saham
lainnya di luar negeri dengan membentuk tim pemburu aset. Tim ini
beranggotakan staf Departemen Keuangan, Markas Besar Polri, Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan,
Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia.

Sejauh ini, kata Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Luar Negeri, tim sudah berhasil menelusuri aset itu di 13 yurisdiksi.
Namun, dia enggan membeberkan secara detail lokasi yurisdiksi tersebut. Sebab
jika lokasi aset itu dibuka, pemiliknya akan cepat-cepat menggugat banknya,
seperti yang terjadi di Hongkong.

Untuk di dalam negeri, jumlah aset yang disita polisi terkait kasus tindak pidana
perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191 miliar. Sementara di luar negeri,
polisi berhasil menemukan dan memblokir aset milik Robert Tantular senilai
19,25 juta dolar AS atau setara Rp 192,5 miliar. Uang sebesar itu antara lain
terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai 1,8 juta dolar AS, PJK Jersey
sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin Island (Inggris) sebesar 927 ribu
dolar AS.

Selain itu, polisi juga menemukan dan memblokir aset Hesham Al Waraq Talaat
serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp 11,64 triliun. Aset itu tersebar di UBS AG Bank
sejumlah 3,5 juta dolar AS, Standard Chartered Bank senilai 650 ribu dolar AS
dan sejumlah SGD 4.006, di ING Bank sebesar 388 ribu dolar AS.(*dari berbagai
sumber/VIN)

Reputasi PPATK Dipertaruhkan!


Senin, 30 November 2009, 00:00:25 WIB
Jakarta, RMOL. Aliran Century Jangan Diumpetin

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jadi sorotan publik
gara-gara umpetin aliran dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.

Lembaga yang dikomandoi Yunus Husein itu diduga sudah disetir pihak tertentu,
sehingga tidak berani membeberkan ke mana saja aliran dana Bank Century. 

Reputasi lembaga itu dipertaruhkan. Padahal,  sebelumnya sudah banyak prestasi


yang ditorehkan. Misalnya, membongkar aliran dana ke sejumlah anggota DPR
saat pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom.

Melihat hal itu, nilai PPATK dinilai jeblok. Sebab, berdasarkan pendapat
pengamat ekonomi, pengamat transaksi keuangan, pengamat hukum, pengamat
kebijakan publik, dan anggota DPR ada 8 kegagalannya. Sedangkan keberhasilan
6, sehingga tekor 2 (8 kegagalan – 6 keberhasilan = 2). 

Pengamat kebijakan publik, Tom Pasaribu mengatakan, PPATK pilih kasih dalam
membongkar aliran dana mencurigakan. Kasus Century begitu menarik perhatian
publik, tapi tidak dibeberkan kepada BPK, sehingga hasil auditnya kurang
lengkap.

‘’PPATK jadi sorotan publik, reputasinya dipertaruhkan. Jadi, beberkanlah aliran


dana talangan Century itu,’’ ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen
Indonesia (KP3I) itu, seharusnya  PPATK menjadi lembaga terdepan membongkar
aliran dana itu. Tapi kenapa itu tidak dilakukan.

“Jika mereka mengetahui prosesnya, namun mereka tidak melaporkan, mereka


juga bisa dinilai melanggar hukum,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi ini berbeda pada saat PPATK membongkar kasus pemilihan
Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom dengan menyatakan ada travel cek yang
mengalir ke beberapa orang anggota DPR.

“Dalam hal penangan Bank Century, PPATK terkesan melakukan tebang pilih.
Jangan sampai PPATK menjadi alat kekuasaan,” ucap Tom.

‘’Jumlahnya Meningkat Terus’’


Yunus Husein, Kepala PPATK

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein
mengatakan, kendala yang dihadapi lembaganya adalah kekurangan pegawai.

“Kami adalah lembaga baru dengan tenaga yang baru pula. Sedangkan pegawai
lama sudah keluar,” ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

 “Pegawai baru belum bisa mengisi pekerjaan pegawai lama. Oleh karena itu
mereka perlu diberikan latihan-latihan untuk perkembangan kinerja mereka,”
ucapnya.

PPATK, lanjutnya, sudah berhasil dalam menjalankan tugasnya, seperti


mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diper-
oleh PPATK.

“Tugas kami mencari tahu aliran dana dari hasil kejahatan. Dari analisis yang
kami lakukan jumlahnya meningkat terus. Biasanya hasil kerja kami itu
diteruskan kepada penyelidikan, dalam hal ini tugas aparat hukum,” tambahnya.

Menurutnya, dukungan pemerintah sudah bagus sekali kepada PPATK. “Masalah


anggaran dan gedung baru, sudah menjadi perhatian pemerintah. Jadi saya kira
suportnya mereka baik sekali,” tuturnya.

Sebelumnya Yunus Husein mengatakan, sesuai permintaan Badan Pemeriksa


Keuangan (BPK) agar PPATK membantu menelusuri aliran dana bailout Bank
Century, PPATK sudah menindaklanjuti dengan meminta informasi kepada 16
Penyedia Jasa Keuangan (PJK), terutama perbankan.

“Hasilnya, hingga tanggal 23 November 2009, telah diterima kurang lebih 50


Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) dari 10 PJK,” ungkapnya.
Menurut Yunus, hasil analisis terhadap transaksi mencurigakan tersebut sudah
diserahkan kepada BPK. “Hasil analisis yang ada menunjukkan setidaknya 17
penerima (dari transaksi mencurigakan) berupa perusahaan dan lainnya individu,”
katanya.

Yang dimaksud transaksi keuangan mencurigakan atau suspicious transaction


adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan atau tidak wajar dan tidak
selalu terkait dengan tindak pidana tertentu.

“Beberapa ciri transaksi mencurigakan adalah tidak memiliki tujuan ekonomis


dan bisnis yang jelas, menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar
dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran, dan di luar kebiasaan
dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah,’’ ujarnya.

‘’Belum Terlihat Terobosannya’’


Dasrul Djabar, Anggota Komisi III DPR

Kinerja PPATK biasa-biasa saja. Tidak ada langkah spektakuler yang bisa
dicatatkan sebagai keberhasilannya.

Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR, Dasrul Djabar, kepada Rakyat
Merdeka, di Jakarta, kemarin.

‘’Belum terlihat terobosannya,” katanya.

Bisa jadi, lanjutnya, gara-gara PPATK tidak bisa asal mempublikasikan temuan-
temuan aliran dana yang sifatnya ilegal. Alasannya, tidak menguntungkan pihak
perbankan. “Ini terkait dengan kepercayaan akan perbankan itu,” katanya.

Yang benar, kata dia, PPATK melaporkan aliran dana yang terindikasi ilegal itu
kepada aparat penegak hukum. “Nah aparat hukum yang menindaklanjuti temuan-
temuan itu,” ujarnya.

“Sebagai contoh kasus aliran dana pemilihan deputi BI yang di duga mengalir ke
beberapa anggota DPR,” tambahnya.

Diharapkannya, PPATK hendaknya konsisten dengan tugas dan fungsinya yaitu


mengendus dana-dana yang diduga ilegal.

Selain itu, lanjutnya, PPATK harus mendorong perbankan yang ada di Indonesia
untuk melaporkan transaksi-transaksi yang dicurigai ilegal dan berpotensi
membuat kerugian negara.

‘’Hendaknya Tidak Ikut Berpolitik’’


Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi
PPATK sudah bekerja sesuai diamanatkan peraturan. Memang kurang terlihat gre-
getnya. Sebab, lembaga ini kesannya hanya  yang disuruh-suruh.

‘’PPATK hendaknya tidak ikut berpolitik. Seharusnya mereka bekerja secara pro-
fesional, termasuk soal kasus aliran dana Bank Century terkait dana talangan Rp
6,7 triliun,’’ ujar pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, kepada Rakyat Mer-
deka, di Jakarta, kemarin.

Dikatakan, seharusnya PPATK memaparkan aliran dana itu, sehingga rakyat


mengetahuinya. Tapi kenapa mereka diam.

“Sepertinya PPATK tidak beritikad baik dalam menuntaskan kasus itu. Saya lihat
PPATK hanya main politik saja,” tambahnya.

‘’Kok Jadi Penakut’’


Arif Nur Alam, Pengamat Transaksi Keuangan

PPATK dinilai tidak serius  dalam menangani kasus Bank Century. Sebab, hasil
penelurusan mereka soal aliran dana kasus talangan sebesar Rp 6,7 triliun itu tidak
membukanya kepada publik

‘’Kok jadi penakut, kenapa aliran dana Century diumpetin  sih, ini ada apa,’’ ujar
pengamat transaksi keuangan, Arif Nur Alam, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta,
kemarin.

Menurutnya, kondisi ini berbeda saat PPATK membongkar   aliran transaksi keua-
ngan kesejumlah anggota DPR dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur BI.

“Dalam penanganan Bank Century mereka sekarang terkesan sangat tertutup. Se-
harusnya dengan kasus yang abnormal ini, PPATK dapat melakukan terobosan,”
ujarnya.

“Sekarang mereka malah terkesan setengah hati dalam penanganan aliran dana
Bank Century. Dalam kasus BI mereka unggul, namun dalam kasus Century
stagnan,” tambahnya.

Namun begitu, lanjutnya, di luar kasus Bank Cenduty,  PPATK sudah banyak me-
lakukan keberhasilan. Misalnya dengan melakukan kerjasama dengan KPK untuk
membongkar kasus korupsi, penertiban rekening liar dan pada pemilu kemarin
mereka berhasil melakukan pengawasan dana kampanye Pilpres dan Pileg.

“Namun temuan PPATK tidak ditindaklanjuti secara maksimal oleh Bawaslu,”


tandasnya.

‘’Yakin Dibeberkan Ke KPK Deh...’’


Boyamin Saiman, Pengamat Hukum

Kinerja PPATK sudah lumayan bagus dalam melakukan pengawasan transaksi ke-
uangan yang mencurigakan, sehingga bisa membongkar kasus korupsi yang
melibatkan anggota DPR.

Hal ini dikatakan pengamat hukum, Boyamin Saiman, kepada Rakyat Merdeka, di
Jakarta, kemarin.

Menurut Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) itu, dalam kasus
Agus Condro terkait dengan pemilihan  Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom,
PPATK berhasil menemukan adanya 400 travel chek ke anggota DPR.

“Banyaknya kasus korupsi yang dibongkar KPK juga tidak terlepas dari peran
PPATK,” katanya.

Terkait dengan kasus Bank Century, kata Boyamin, PPATK memang dibatasi
Undang-undang. Sebab dalam Undang-undang pencucian uang, PPATK hanya
boleh memberikan pelaporan transaksi keuangan ke polisi, jaksa dan KPK.

“Namun, saya yakin dibeberkan ke KPK deh soal transaksi keuangan Bank
Century itu kalau diminta. Kita lihat saja nanti,” tandasnya. RM

Century Gate
Mencari Pembenar Bailout
  Oleh: Hendri Saparini

  Tuntutan pengungkapan kasus Bank Century telah diawali oleh anggota DPR RI
periode 2004–2009. Penelusuran kasus ini dilanjutkan dengan permintaan DPR
dan KPK kepada BPK untuk mengaudit pengucuran dana talangan kepada Bank
Century selama periode 2008–2009.

Akhirnya, berdasarkan laporan sementara BPK, anggota Dewan bersepakat


memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar memeriksa keputusan
pengucuran dana kepada Bank Century karena diindikasikan terjadi pelampauan
kewenangan oleh para pengambil kebijakan. Pengungkapan kasus Bank Century
akhirnya mendapatkan dukungan luas dari publik seiring munculnya kasus Bibit-
Chandra. Publik mulai paham kaitan kasus Bibit-Chandra dengan Bank Century
serta pentingnya hak angket yang diajukan DPR.

Apalagi setelah beredarnya laporan final hasil investigasi BPK yang secara detail
membeberkan fakta-fakta adanya pelampauan kewewenangan pejabat publik
dalam pengucuran dana kepada Bank Century, gelombang dukungan publik sudah
tidak terbendung. Temuan-temuan BPK dalam kasus Bank Century memang
cukup luar biasa dengan ditunjukkan banyaknya lembaga negara yang tidak hati-
hati dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Bank Indonesia misalnya, dilaporkan telah mengubah dan merekayasa


peraturannya sendiri agar Bank Century berhak mendapatkan fasilitas
pembiayaan. Salah satu temuan pentingnya adalah ketidakhati-hatian Bank
Indonesia dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK),yang diketuai oleh
Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur Bank Indonesia,dalam menetapkan
Bank Century sebagai bank gagal yang bersifat sistemik. Padahal, keputusan
KSSK yang menetapkan Bank Century harus diselamatkan karena memiliki efek
domino bagi industri perbankan nasional memberikan konsekuensi besar, yakni
kewajiban memberikan dana penyelamatan.

Akibat Krisis Global?

Setelah DPR menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK terbuka bagi umum,
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan merasa perlu untuk melakukan
bantahan bersama atas laporan BPK. Bank Indonesia dan Departemen Keuangan
menilai BPK tidak mengungkap adanya ancaman dan ketidakpastian yang tinggi
terkait dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian nasional.

Padahal BPK telah memaparkan hal itu dalam laporannya. Alasan bahwa kasus
Bank Century muncul akibat krisis keuangan global memang sulit diterima.Jika
kasus Bank Century diakibatkan oleh krisis global, masalah yang dihadapi Bank
Century seharusnya juga akan terjadi pada hampir seluruh bank seperti halnya
terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1997/98. Pada saat itu hampir seluruh bank
mengalami kesulitan likuiditas akibat pelarian dana ke luar negeri.Faktanya
industri perbankan Indonesia tidak menunjukkan kondisi tengah mengalami
tekanan akibat krisis global.

Bahkan laporan BPK menyebutkan pada akhir September 2008 posisi CAR bank
umum berada di atas batas minimal, yakni 8%. Satusatunya bank yang CAR-nya
di bawah 8% adalah Bank Century. Data Bank Indonesia juga menunjukkan
bahwa CAR,NPL,aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit perbankan mengalami
peningkatan secara konsisten, bahkan sampai saat ini. Tambahan lagi,kesulitan
likuiditas perbankan yang normal adalah kesulitan likuiditas akibat operasi bank
sebagai lembaga intermediasi. Dana deposan yang biasanya berjangka pendek
disalurkan dalam bentuk kredit jangka panjang, misalnya KPR.

Jika berlangsung kejadian luar biasa yang mengakibatkan sebagian besar deposan
menarik dananya,bank-bank akan kesulitan likuiditas. Bila hal ini yang terjadi,
kesulitan likuiditas tersebut layak sebagai salah satu alasan dalam pemberian
bantuan pendanaan. Namun yang terjadi pada kasus Bank Century tidaklah
demikian. Kesulitan likuiditas yang terjadi pada Bank Century bukan akibat
pembiayaan kredit, tetapi akibat dirampok oleh atau melalui para pemilik bank.
Dengan demikian kesulitan likuiditas yang terjadi bukan karena adanya mismatch
dalam pembiayaan kredit.Dengan kondisi ini,bila Bank Century diberi dana
talangan, pemberian itu bukan dana talangan terhadap kredit, tetapi talangan
terhadap kasus perampokan. Alasan krisis global juga sulit diterima karena
menurut BPK,masalah di Bank Century sudah terjadi sejak 2004. Artinya Bank
Century telah bermasalah jauh sebelum krisis keuangan global tahun 2008 terjadi.

Saat Bank Century merger misalnya,Bank Indonesia tidak menerapkan aturan dan
persyaratan sebagaimana diatur dalam per-aturan Bank Indonesia. Bahkan sejak
2005–2008 Bank Century telah dibiarkan melakukan berbagai praktik perbankan
tidak sehat yang melanggar UU No 10 Tahun 1998 dan UU No 7 Tahun
1992.BPK menyimpulkan praktik ini telah merugikan Bank Century sekurang-
kurangnya sebesar Rp6,3 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup
dengan dana PMS dari LPS.

Berdampak Sistemik?

Keputusan Bank Indonesia dan KSSK bahwa Bank Century adalah bank gagal
yang bersifat sistemik juga sangat sulit diterima. Penutupan bank akan
menciptakan efek domino bila bank tersebut memang memiliki linkage yang erat
dengan industri perbankan, sektor riil, dan keuangan internasional.

Adapun Bank Century adalah bank yang perannya terhadap industri bank dan
industri lain relatif kecil. Bahkan Bank Century dapat dikatakan sebagai “bank nol
koma”. Dari sisi aset hanya 0,72%, DPK sebesar 0,68%, dan kredit sebesar
0,42%.Konon dalam rapat KSSK saat membahas dampak sistemik dari Bank
Century, seorang peserta menganalogikan Bank Century sebagai BPR di luar Jawa
untuk menunjukkan bahwa dampak penutupan Bank Century terhadap perbankan
nasional tidak cukup signifikan.

Sangat sulit dipahami bila pada akhirnya Ketua KSSK tetap memutuskan Bank
Century sebagai bank gagal bersifat sistemik hanya dengan memberikan bobot
yang besar pada aspek psikologi pasar karena aspek-aspek lain tidak memiliki
alasan cukup kuat. Memang pada awal krisis 2008 ada potensi risiko sistemik
yang terjadi pada perbankan Indonesia. Namun, risiko sistemik tersebut
meningkat justru akibat pilihan kebijakan pengetatan moneter oleh Gubernur
Bank Indonesia Boediono dilaksanakan dengan kebijakan meningkatkan suku
bunga, sesuai dengan nasihat IMF.

Risiko sistemik juga muncul dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan fiskal
atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah
menciptakan risiko sistemik pada perbankan nasional. Mempertanyakan pilihan
KSSK untuk memberikan talangan bagi Bank Century––bahkan dengan ongkos
berapa pun sebagaimana pernah dinyatakan Ketua KSSK–– menjadi sangat
beralasan.
Bank Century adalah kasus kriminal individu dari bank kecil yang pengaruhnya
tidak akan signifikan terhadap industri perbankan. Semestinya yang dilakukan
Bank Indonesia dan KSSK adalah menutup dan meyakinkan publik bahwa kasus
Bank Century murni kasus kriminal dan tidak terkait dengan krisis global maupun
kondisi makroekonomi dan perbankan nasional. Sayangnya, yang dilakukan
KSSK justru sebaliknya karena alasan sistemik akan menjadi alasan paling tepat
untuk mengucurkan dana.

Jangan Ada Rekayasa Baru

BPK menyimpulkan bahwa telah terjadi rekayasa hukum dan peraturan untuk
mendukung penyelamatan Bank Century. Hal ini tentu tidak mengherankan
karena terlalu lemah alasan untuk menyelamatkan Bank Century. Pemaksaan
inilah yang kemudian mengharuskan Bank Indonesia, KSSK maupun LPS
disimpulkan BPK melakukan berbagai pelanggaran.

Bank Indonesia misalnya, terpaksa mengubah PBI agar Bank Century layak
mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).Juga harus melanggar
peraturan agar Bank Century mendapat dispensasi denda atas ketentuan posisi
devisa neto (PDN). Rekayasa juga harus dilakukan LPS lewat perubahan PLPS
agar Bank Century memperoleh tambahan dana, selain untuk meningkatkan CAR,
juga untuk kebutuhan likuiditas lainnya. Rekayasa-rekayasa tersebut sudah sangat
cukup meruntuhkan kredibilitas otoritas keuangan Indonesia.

Jangan sampai ada rekayasa baru seperti rekayasa dokumen untuk melempar
tanggung jawab karena telah memutuskan kebijakan yang berpotensi melanggar
UU dan peraturan. Jangan juga dilakukan rekayasa politik baik lewat panitia
angket atau lembaga penegak hukum untuk menyelamatkan orangorang yang
semestinya bertanggung jawab. Tujuan penuntasan kasus Bank Century adalah
mengembalikan kredibilitas pemerintah.

Rekayasa tidak akan menuntaskan kasus dan bahkan akan semakin sulit
mengembalikan kepercayaan publik. Bila itu terjadi, ongkos finansial, ekonomi
maupun sosial politiknya menjadi sangat mahal.(*)

Anda mungkin juga menyukai