Century ke DPR
Senin, 23 Nopember 2009 | 20:16 WIB | Posts by: Sugeng Wibowo | Kategori:
Berita Terkini, Nasional | ShareThis
1. Selama proses audit investigasi, Bank Indonesia sudah bersikap kooperatif dan
terbuka dalam mendukung kelancaran proses tersebut, dengan memberikan
seluruh data dan informasi yang diperlukan. Bank Indonesia juga sudah
memberikan penjelasan maupun klarifikasi atas kebijakan maupun tindakan Bank
Indonesia dalam penanganan Bank Century dari saat proses merger hingga
keputusan penyelamatan Bank Century. Namun Bank Indonesia sangat
menyayangkan bahwa hasil audit BPK belum sepenuhnya menggambarkan fakta
dan permasalahan yang sesungguhnya sebagaimana respon yang telah
disampaikan Bank Indonesia kepada BPK.
3. Dalam upaya menangani dampak krisis global tersebut, hanya dalam kurun
waktu 2 bulan saja (Oktober - November 2008) Bank Indonesia telah menerbitkan
berbagai kebijakan, baik di bidang moneter maupun di bidang perbankan. Fokus
dari sebagian besar kebijakan tersebut adalah pada pelonggaran likuiditas
perbankan, antara lain dalam bentuk perubahan ketentuan Giro Wajib Minimum
(GWM) Rupiah dan valas, penurunan over night Repo Rate, penyesuaian Fasbi
rate, perpanjangan waktu Fine Tune Operation, peniadaan pembatasan saldo
harian pinjaman luar negeri jangka pendek, perpanjangan tenor forex swap,
komitmen penyediaan valas bagi korporasi domestik melalui perbankan,
perubahan ketentuan Fasilitas Likuiditas Intra-hari, perubahan ketentuan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek, serta penerbitan Peraturan Bank Indonesia mengenai
Fasilitas Pendanaan Darurat.
4. Oleh karena itu, penyelamatan Bank Century harus dilihat dalam konteks
penyelamatan sistem keuangan, perbankan dan perekonomian secara keseluruhan
yang pada periode tersebut diambang krisis sebagai dampak daripada krisis
perekonomian global yang saat itu tengah berlangsung. Kebijakan Bank Indonesia
dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik,
merupakan bagian dari kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam upaya
penanganan dampak krisis global, dengan maksud untuk menyelamatkan sistem
keuangan, perbankan dan perekonomian Indonesia.
”Saat itu, BI melaporkan kondisi Century dan perbankan yang kritis dan terjadi
kemerosotan likuiditas di bank-bank kecil. Laporan Menkeu secara resmi kepada
Presiden baru disampaikan pada 25 November 2008 dan 4 Februari 2009 sebagai
bentuk pertanggungjawaban. Semua detail, termasuk kronologi dan angka yang
berasal dari BI dan LPS terkait Century, kami sampaikan,” ujar Menkeu.
Dukung BPK
Sri Mulyani menegaskan, dia mendukung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seluruh aspek keputusan
KSSK atau Komite Koordinasi sesegera mungkin. BPK juga dipersilakan meneliti
ketepatan masalah legal, tata kelola keputusan yang baik, dan penilaian yang
dilakukan KSSK saat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal dan
sistemik.
Sejak Juli
KPK telah meminta BPK memeriksa proses penyelamatan Bank Century sejak
Juli. Saat itu, LPS masih menyuntikkan dana untuk menutup kebutuhan modal
Bank Century. Ketua BPK Anwar Nasution mengungkapkan, BPK segera
merespons permintaan KPK. ”Kita periksa. Tadinya agak sulit. Setelah Pak
Darmin masuk, baru agak lancar,” ujar Anwar.
Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution mengonfirmasi audit BPK terhadap
BI terkait kasus Bank Century mulai dilakukan sekitar dua pekan lalu. ”Audit
BPK di BI dilakukan setelah saya masuk,” ujarnya.
1. 1 redaksi
“ Betapa baiknya sikap pemerintah terhadap pemilik bank yang selama ini
bermasalah”. “Kenapa pemerintah selalu bersikap protektif terhadap bank-
bank yang pengelolaannya bermasalah??” semua itu Patut menjadi misteri
bagi kita.
*********************
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, mewajibkan semua bank
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun LPS mengabaikan
aturan tersebut.
Prinsip the five C’s of credit analysis yang menjadi dasar pemberian dana
talangan rupanya tidak diterapkan oleh LPS. LPS harusnya meneliti
Character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank),
capital (modal), capacity (kemampuan mengelola bank) dan condition of
economy sebelum boilout diberikan.
Dalam proses hukum bank Century, pemilik bank century Robert tantular
beserta pejabat bank Century telah ditetapkan sebagai terdakwa kasus
penggelapan dana nasabah. Bahkan manajemen Bank Century telah
terlibat dalam memasarkan produk reksadana PT Antaboga Sekuritas yang
jelas-jelas dalam pasal 10 UU Perbankan telah dilarang.
Artinya, dari segi the five C’s of credit analysis, Bank Century sebenarnya
tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Ironis nya
LPS justru mengucurkan dana sampai 6,7 triliun ke bank itu!!!
I. Posita Kasus
PT Bank Century Tbk (BCIC) pada tahun 2005 menjadi agen penjual produk
investasi yang dikeluarkan oleh PT Antaboga Delta Sekuritas.[1] Para nasabah
Bank Century dijanjikan bunga yang tinggi oleh pihak bank sehingga para
nasabah memindahkan uang mereka ke rekening PT Antaboga.[2] Seteleh
diselidiki, ternyata produk investasi tersebut ternyata tidak mempunyai izin dari
BAPEPAM-LK.[3] Setelah uang masuk ke dalam rekening PT Antaboga, dana
tersebut kemudian diambil oleh Robert Tantular, pemegang saham mayoritas dari
PT Bank Century Tbk. Robert Tantular juga mengajukan kredit kepada Bank
Century.[4]
BI sudah melarang pihak Bank Century untuk menjual produk investasi tersebut.
Pada tahun 2006 BI mendapati Bank Century masih menjual produk tersebut.[5]
Setelah diselidiki ternyata tidak ada pencatatan pembukuan terhadap pembelian
produk tersbut.[6] Temuan lain mencatatkan tidak adanya lambang Bank Century
pada produk tersebut, padahal waktu diluncurkan pada tahun 2005 tercantum logo
Bank Century.[7]
Pada Oktober 2008 pemegang saham mayoritas, yaitu: Robert Tantular, Rafat Ali
Rizfi, dan Hesyam Al Waraq, atas desakan BI, berjanji untuk membayar surat
berharga yang jatuh tempo serta menambah modal, hal ini dinyatakan dengan
adanya right issue.[8] Pemegang saham tersebut juga berjanji untuk mencari
investor baru guna menyelesaikan permasalahan bank. Akan tetapi janji tersebut
tidak dipenuhi sehingga pihak bank tidak dapat memnuhi kewajibannya kepada
nasabah. Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Century pun dibawah batas yang
ditetapkan oleh BI.
BI membantu likuiditas Bank Century dengan memberikan pinjaman jangka
pendek pada tanggal 14 November 2008 dengan syarat pemegang saham
mayoritas Bank Century harus menepati letter of commitment.[9] Letter of
commitment tersebut berisi antara lain komitmen untuk memindahkan surat
berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil
pembayaran surat berharga yang jatuh tempo, dan berjanji tidak akan menjadikan
surat berharga sebagai jaminan kepada pihak lain. Letter of commitment tersebut
tidak dipenuhi oleh pihak Bank Century.
BI kembali membantu likuiditas Bank Century pada tanggal 18 November 2008
karena Bank Century gagal kliring.[10] Namun kondisi Bank Century yang
semakin memburuk mengakibatkan Bank Century diserahkan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 21 November 2008.
Tapi ternyata yang merebak belakangan adalah konflik horizontal antara Wakil
Presiden Jusuf Kalla, Menkeu Sri Mulyani dan Mantan Gubernur BI Boediono
yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2009-2014.
Jusuf Kalla yang merasa dirinya hendak dibenamkan dalam kasus ini langsung
bereaksi. Dia segera mengoreksi tanggal audiensi antara dirinya dengan Sri
Mulyani dan Boediono.
“Jadi, seolah-olah saya tahu pengucuran dana itu. Padahal, saya tidak tahu sama
sekali,” papar Wapres dalam sebuah jumpa pers yang dilengkapi dengan kronologi
lengkap kasus Bank Century (KOMPAS, 1/9).
Karena Bank Indonesia tidak berani berbuat apa-apa dengan alasan tidak ada
landasan hukum, akhirnya Jusuf Kalla berinisiatif menginstruksikan kapolri
menangkap Robert Tantular.
Bagi yang berpikiran positif, apa yang dilakukan oleh JK adalah langkah yang
tepat dalam rangka mendudukkan setiap perkara pada porsi yang sebenar-
benarnya. Termasuk soal aspek kriminal dan langkah pemerintah yang dinilai
tidak tegas dalam menangani kejahatan berkerah putih yang selalu berulang dari
zaman Edi Tansil hingga era Robert Tanular dengan nilai kerugian yang fantastik
hingga triliunan rupiah.
Tapi langkah JK ini juga bisa dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap
pemerintah terpilih. JK dinilai sedang berusaha mencitrakan sosok seorang
Boediono sebagai pemimpin yang tidak tegas.
Bila ini berkembang terus tanpa kendali politis dari partai penguasa dan pemenang
pemilu, tidak mustahil citra pemerintahan SBY-Boediono langsung merosot
bahkan sebelum mereka berdua dilantik Oktober nanti.
***
Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan –ideologi yang
sama yang meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini ?.
Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan
ini telah melalui prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian
terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa Perpu JPS telah ditolak DPR; dan
bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuan lebih dahulu dari pemegang
mandat politik, yaitu Tuan Presiden / Wapres.
Khusus Tuan Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY
menyetujui hal ini pada pertemuan tanggal 13 November 2008.
Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa
kerugian negara dalam kasus Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual
dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya, sebuah mitos yang sejak
BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin Tuan dan Nyonya sekalian masih
ingat, recovery rate eks BPPN hanyalah sebesar 28%.
Saya kira kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan
pada publik belakangan ini.
Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah
menjelaskan dengan gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa
terjadi.
Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Tuan
Presiden dan Tuan Wapres sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008
saat Nyonya Sri Mulyani melapor pada Tuan Wapres, 2 hari setelah pengucuran
pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.
Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di
sebuah bank kecil yang diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya
dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada keseluruhan sistem perbankan
nasional.
Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan
menciptakan rush pada perbankan nasional perlu diuji : apakah benar ?.
Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini ?. Ataukah jangan-jangan ada deposan
besar tertentu yang perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS ?.
Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi
sistemik ?.
Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan
besar yang tersangkut uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut
penjelasan apa yang dimaksud sistemik tersebut.
Para pengamat dan juga Nyonya Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan
bukanlah uang negara. Apa benar ?.
Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta
penjaminan LPS pada akhirnya sebenarnya adalah uang rakyat.
Ketika premi dihabiskan –atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang
diciptakan para bankir nakal– maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan
dan kreditur.
SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus
ditanggung dengan membebankan premi pada ‘biaya’. Dan jatuhlah pada
tanggungan Anda, Tuan dan Nyonya para nasabah bank kita tercinta.
Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini
diambil secara sah.
Nyonya Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah
cukup. Ada azas lain yang lebih penting, yaitu adil.
Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern
juga sah karena secara administratif telah memenuhi syarat formal.
Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender,
ditetapkan melalui aturan formal dan sah. Memang sah tapi kok tidak adil ya ?.
Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama ?.
Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat –seperti Tuan Toni– bilang bahwa
tidak ada kerugian negara dalam kasus Bank Century. Apakah benar ?.
Bahkan bila Tuan Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana
ini pada 3 tahun mendatang; apakah tidak ada potensi kerugian ?.
Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank
Century lebih besar dari 6,7 triliun ?.
Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan
resiko manajemennya jauh lebih rendah dari angka itu ?.
Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah
28% ?.
Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat –misalnya
Tuan Toni– ini dinyatakan sebelum audit (BPK) dilakukan.
Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya
Bank Century, berapa kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa
aset bersih wajarnya ?.
Baiklah barangkali Tuan-tuan di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi
dengan bayangan kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi
kerugian merupakan imajinasi sesat.
Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara
mengelola kebijakan publik yang sama; menurut saya mengkhawatirkan untuk
membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY mengolah kebijakan publik di
masa depan.
Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan
adanya keluaran kebijakan berbeda pada periode mendatang.
Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik
yang sama merupakan resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang.
Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang
melekat pada kabinet mendatang.
Resiko sistemik, resiko yang melekat pada sistem kerja sebuah organisasi.
***
Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Boediono dinilai tidak berani
melaporkan pemilik Bank Century, Robert Tantular, kepada polisi untuk segera
ditangkap.
Karena ketidakberanian Boediono yang kini menjadi wakil presiden terpilih
mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, dirinya lantas mengambil inisiatif
menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum
yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera
bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan
polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujar JK (kompas online).
Berita menjadi istimewa ketika khas karakter JK muncul, yaitu tanpa tedeng
aling-aling menyebutkan gubernur BI, yang saat itu dijabat boediono, tidak berani
mengungkap dan melaporkan kasus ini pada polisi.
Akhirnya inisiatif yang juga khas JK dalam pemerintahan SBY JK menjadi solusi
penangkapan.
Kebisaan bicara tanpa sensor dan selalu mengambil inisiatif justeru dianggap
sebagai wapres yang kurang sopan dan dianggap selalu mencari muka. Kedua hal
ini kurang disenangi penguasa, terlihat dari ungkapan ungkapan ketika kampanye.
Akan menjadikan kekuatan yang solid satu pintu, dalam kacamata politik
mungkin itu baik agar kebijakan negara menjadi konvergen dalam mensukseskan
program besarnya. Tetapi jika berjalannya program menjadi lambat dan kurang
berani arah konvergen ini justeru merugikan rakyat karena telat merespon dan
bertindak akan selalu terjadi.
2010 adalah tahun tantangan tersendiri untuk Indonesia memasuki AFTA, AFTA
dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di
Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area
(AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk
membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Indonesia membutuhkan ekstra
keberanian dan kesiapan yang matang termasuk memberantas korupsi
sebagai terroris pengacau stabilitas bangsa ini. Juga sikap negara-negera yang
merendahkan bangsa ini butuh pengikapan yang berani dan cepat secepat
penanganan Manohara.
Mungkinkan budiono akan mengikuti langkah JK yang cukup berani dan banyak
berinisiatif dalam menangani berbagai permasalahan ?. Atau memang tidak
disiapkan untuk itu ?.
***
Menurut sumber LPS menyatakan bahwa semua besaran dana yang disuntikkan
ke Bank Century hingga Juli 2009 sebesar Rp 6,76 triliun, adalah berdasar
penilaian BI. Padahal, dana suntikan yang diketahui DPR hanya Rp 1,3 triliun,
apalagi ternyata dana yang disuntikkan dinilai terlalu besar dengan aset yang
dimiliki Bank Century. Aset yang dimiliki Bank Century hanya mencapai Rp 2
triliun.
Suntikan modal sebesar Rp 6,76 triliun dinilai LPS sudah final. Ke depan,
kemungkinan besar tidak ada lagi penambahan modal dari LPS untuk Bank
Century.
Hal itu karena sebagian besar modal yang telah disuntikkan bukanlah uang yang
hilang begitu saja, melainkan masih dalam bentuk aset berupa cadangan atau
aktiva produktif yang telah dihapus buku, yang di kemudian hari bisa dijual.
Saat ini, menurut Firdaus, LPS memiliki cadangan senilai Rp 2,2 triliun dalam
bentuk Surat Utang Negara dan Sertifikat Bank Indonesia, yang sangat likuid.
Selain itu, LPS juga memiliki sejumlah aktiva produktif yang telah dihapus dari
neraca, tetapi memiliki nilai recovery. Aset-aset tersebut berupa surat-surat
berharga yang telah jatuh tempo, tetapi belum bisa dicairkan dan aset-aset jaminan
dari kredit yang macet.
Belum bisa diketahui berapa besar nilai recovery yang bisa diupayakan dari aset-
aset kotor tersebut.
Aset-aset tersebut berupa surat-surat berharga yang telah jatuh tempo, tetapi
belum bisa dicairkan karena aset-aset jaminan dari kredit yang macet, nah…,
siapa yang berani menjamin aset-aset kotor ini bisa bernilai recovery juga selama
lima tahun ke depan ?. bagaimana cara menyelematkan dana kredit macet ini yang
disinyalir hanya kredit fiktif ?.
Untuk melindungi segelintir kelompok ini negara atau rakyat harus kembali
dirugikan trilliunan rupiah.
Menurut Sri Mulyani Menteri Keuangan plus PLT Menko Perekonomian bersama
Boediono yang kala itu menjabat Gubernur BI, demikian pula pendapat pejabat
sementara Gubernur BI Darmin Nasution bahwa scenario ini sah sesuai prosedur
dan landasan hukum dan perundang-undangan.
Inilah kelemahan hukum positif yang dibuat yang tidak mengacu pada visi
pembangunan ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan, artinya mengapa
perundangan itu perlu dipake kalau dikemudian hari malah merugikan negara dan
rakyat sendiri.
Seperti itulah yang terjadi pada kasus BLBI dengan kucuran dana 600 trilliun
pada tahun 1998 yang sampai saat ini tidak jelas juntrungannya.
Direktur Pengawasan Bank Indonesia Heru Kristyana seusai jumpa pers di kantor
BI, Jakarta, Senin (31/8) menjelaskan, hitungan suntikan dana yang diperlukan
Century terus membengkak karena dari waktu ke waktu bank sentral menemukan
beragam catatan fiktif dalam pembukuan. Di samping itu, sebelum diambil alih
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Century yang lama
kurang transparan dalam membeberkan pembukuan. “Sebelumnya kami tidak tahu
karena dulu masih ditutupi pegawainya. Setelah manajemen diganti, barulah
mereka jauh lebih transparan,” ungkap Heru.
Salah satunya ialah transfer dana sebesar 18 juta dollar AS yang dilakukan Dewi
Tantular tanpa seizin pemiliknya, dan Letter of Credit (L/C) fiktif senilai lebih
besar dari 100 juta dollar AS. “Ada juga kredit fiktif yang kami temukan,” ujarnya.
Begitu modal tergerus, rasio kecukupan modal Bank Century otomatis berkurang.
Akhirnya, bertambahlah dana talangan yang diperlukan untuk mencapai batas
minimal 8 persen yang disyaratkan bank sentral.
Artinya dana Bank Century selama ini telah dilarikan keluar negeri oleh para
pemiliknya bersama korporasinya di mana salah satu korporasinya dimiliki grup
perusahaan PT. Sampeorna. Ibaratnya LPS muncul sebagai pahlawan kesiangan
belaka.
Tentu kasus pelarian dana ini akan menguntungkan para pejabat tinggi terkait
yang sebelumnya sudah mendapat fulus dan komisi dalam proses penyuntikan
dana.
Sekali lagi demikian inilah yang terjadi persis sama dengan kasus BLBI.
Oleh sebab itu, kata Wapres, kasus Bank Century adalah kriminal. “Karena
pemilik bank merampok banknya sendiri dan dananya dilarikan ke luar negeri.
Padahal, obligasi yang diterbitkannya juga bodong atau tidak ada nilai.
Seharusnya ini diawasi dengan baik dan benar oleh BI,” tegasnya lagi.
Statement Wapres Pak Kalla ini juga patut menjadi perhatian, sebagai orang yang
lama berkecimpung malang melintang di dunia bisnis sebelum jadi wapres tentu
banyak tau di rimba moneter Indonesia. Pernyataan ini tentu karena sikap
kenegarawanan yang dimilikinya, karena sejak Pilpres usai beliau kontestan yang
sudah mengucapkan selamat atas kemenangan SBY, tentu ini bukan manuver
untuk memojokkan SBY.
Jika untuk seorang Presiden SBY yang terpilih dua kali saja menganggap kasus
BLBI terjadi karena kondisi buruk yang ada, sehingga tidak ada langkah strategis
scenario penyelematan dana tersebut, lalu bagaimana Bank Century sendiri dapat
diselamatkan ?.
Akhirnya kembali lagi kita harus gigit jari, dana 6,7 trilliun akan raib entah ke
mana, assetnya mungkin hanya akan menjadi ibarat sejenis besi tua butut belaka
selama 5 tahun ke depan.
Artinya kita memang manusia penuh pelupa, lalu hati kecil kita hanya mampu
berucap getir, “selamat tinggal bank century ! dan para korporasinya tertawa
puas di luar negeri menikmatinya ?”.
Wallahualam.
Bank Century, Kasus BLBI Terulang Kembali Negara dan Rakyat Akan
Dirugikan 6,7 Trilliun ?
***
Saat ini salah satu berita yang menarik perhatian saya adalah tentang empat kali
suntikan dana dari LPS ke Bank Century. Siapakah yang dirugikan ?. Negara ?.
Bank Anggota LPS ?. atau Nasabah ?.
Jika kita melihat dari sudut pandang tersebut, memang tidak ada kerugian negara.
Namun, jika kita fahami bahwa penyumbang terbesar kekayaan LPS itu berasal
dari premi bank peserta penjaminan maka ujung-ujungnya adalah berasal dari
dana masyarakat yang disimpan pada bank-bank tersebut. Keputusan untuk
mengalokasikan dana yang sangat besar tersebut harus dipertanggungjawabk an
oleh LPS kepada bank-bank anggota dan bank anggota harus
mempertanggungjawab kan kepada nasabahnya.
Jika LPS dikemudian hari tidak bisa mendapatkan kembali jumlah uang yang
disuntikkan ke Century secara utuh alias merugi, kira-kira apa
pertanggungjawaban dari LPS terhadap Bank-Bank yang menjadi anggotanya ? .
Bisakah orang-orang yang bertanggungjawab di LPS, diberhentikan atau dituntut
ke pengadilan ?. 4 tahapan penyuntikan dana mengindikasikan apa ?.
Mari kita diskusikan kemungkinan yang kedua. Disinilah perlunya audit oleh BPK
untuk memastikan proses pengambilan keputusan pengucuran dana tersebut.
Dan BPK sebaiknya melihat apakah dalam pengambilan keputusan tersebut sudah
dilakukan identifikasi berbagai alternatif pilihan pengambilan keputusan ?.
Apakah sudah secara sistematis melaksanakan analisa cost, benefit dan risiko
yang terintegrasi ?.
Jika terbukti terjadi salah perhitungan, itu artinya posisi awal hasil pembandingan
cost, benefit dan risiko sudah tidak tepat. Artinya, jika memang dana yang perlu
disuntikkan itu HARUS sebesar Rp. 6,77 triliun tersebut, mungkin keputusan
yang paling tepat adalah Bank Century tersebut ditutup saja. Ini juga bisa
dianalisa oleh BPK.
Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka diharapkan agar orang-orang yang
bertanggungjawab tersebut mengundurkan diri saja atau diberhentikan.
Berpotensi sistemik adalah isu utama yang menjadi alasan mengapa Bank Century
harus diselamatkan.
Saya tidak akan mendiskusikannya dari sudut aturan tetapi lebih melihat pada
substansi pengertian potensi sistemik tersebut.
Ke-23 bank tersebut merupakan bank-bank yang selevel dan memiliki hubungan
bisnis dengan Bank Century. Di tengah krisis keuangan, kebangkrutan sebuah
bank bisa merembet cepat ke bank lain yang selevel.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data yang akurat dan model
perhitungan yang tepat. Kita berharap para auditor BPK dapat menganalisis
seberapa akurat data dan model perhitungan yang digunakan.
Faktor potensi sistemik tersebut termasuk dalam komponen risiko ketika kita
melakukan analisa cost, benefit, dan risiko dari semua alternatif pilihan
pengambilan keputusan yang ada.
Tentu saja kita berharap bahwa BPK juga melaksanakan analisis yang menyeluruh
mengenai kecukupan alternatif pilihan pengambilan keputusan yang relevan serta
kecukupan analisis cost, benefit dan risiko tersebut.
”Jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Century pada saat ini,
kemungkinan besar bank bersangkutan akan ditutup. Artinya, persoalan sistemik
yang dialami Century sangat dipengaruhi krisis ekonomi global saat itu,”
katanya.
Terus terang pernyataan tersebut membingungkan bagi saya. Mengapa kita harus
mengukur potensi sitemik dengan parameter yang berlaku saat ini ?. Justru yang
paling tepat adalah menggunakan parameter saat lalu.
Tidak tercapainya tujuan pengambilan keputusan pada saat ini bisa juga dianalisis
dari kecukupan hal-hal tersebut.
Tentu saja LPS berpotensi mengalami kerugian. Tepatnya ketika LPS tidak bisa
mendapatkan kembali uang yang sebesar Rp. 6,77 triliun yang sudah dikucurkan.
“Dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp 500 miliar, saat dijual tiga tahun
lagi diperkirakan hanya menjadi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun,” ujar anggota Komisi
XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di Jakarta,
Kamis (27/8), dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana
Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Pejabat Sementara
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.
Kita tunggu saja apakah nanti LPS benar-benar akan merugi atau tidak.
Tetapi kabar yang menyedihkan adalah pernyataan Kepala Eksekutif LPS, Firdaus
Djaelani dalam konferensi persnya di Kantornya, Gedung BRI, Jakarta, Minggu
(30/08/2009) seperti yang diberitakan di Detik.com pada artikel bertajuk “LPS
Siap Jual Rugi Bank Century”
Setelah lima tahun kedepan, jika memang belum laku, kita bisa menjual Century
dibawah dana yang LPS kucurkan sebesar Rp 6,77 triliun, demikian perkataan
Firdaus Djaelani, karena memang diperkenankan oleh Undang-Undang.
Saya terusik ketika menyadari bahwa tidak ada dana APBN yang digunakan
dalam penyuntikan dana ke Bank Century, namun ternyata terdapat potensi
penggunaan dana masyarakat melalui bank dan LPS yang tidak dapat
dipertanggungjawabk an serta potensi upaya untuk mendapatkan keuntungan dari
dana Bank (baca: masyarakat) yang ada di LPS.
Dari perspektif pemerintahan, sudah jelas tidak ada hubungan penggunaan dana
LPS dengan pemerintah. Namun, upaya penyelamatan bank adalah usaha
bersama-sama yang dilakukan oleh Pemerintah, BI dan LPS.
Jadi kita harus melihat tugas LPS dari perspektif negara bukan pemerintah.
Itulah yang harus disadari oleh Pemerintah, BI dan LPS. Artinya masyarakat luas
adalah owner yang sesungguhnya dari permasalahan penyelamatan Bank oleh
Pemerintah dan BI dengan menggunakan dana LPS.
Semoga, BPK dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga kita semua
dapat mengetahui bahwa tindakan penyelamatan bank century tersebut adalah
memang tindakan yang benar-benar patut.
Jika memang harus masuk ke tingkatan penyidikan, maka kita berharap agar KPK
dapat meningkatkan ke penuntutan, tentunya dengan bukti-bukti yang valid.
***
Uang sebesar Rp. 5.000.000.000. 000 (5 Trilyun Rupiah) itu buat saya suatu
jumlah uang yang sangat banyak. Jika dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia,
250 juta orang, maka masing-masing orang akan menerima sebesar Rp. 20.000
per orangnya.
Uang sebanyak Rp. 5 Trilyun itulah, konon katanya, potensi kerugian yang akan
diderita oleh negara ini akibat dari bailout Bank Century. Hitungan ini, konon
katanya, didapatkan dari jumlah dana bailout sebesar Rp. 6,7 Trilyun dikurangi
dengan nilai jual Bank Century jika nantinya dijual, saat kondisinya sudah sehat
kembali dan nilai sahamnya membaik kembali.
Ah, ini lagi bulan Ramadhan, kata pak Ustadz sebaiknya tidaklah bijaksana ikut-
ikutan mengkritik dan berprasangka buruk terhadap pemerintah, karena kata pak
Ustadz, itu namanya ghibah (jika berita itu benar) atau fitnah (jika berita itu
salah) yang dua-duanya itu (ghibah dan fitnah) sama-sama berdosa lho. Maka,
katanya lebih baik tabayyun dulu, kalau sudah ada penjelasan pemerintah, ya
qonaah fikriyah saja terhadap apapun penjelasannya.
16/09/2009 19:17
Pemberian bail out atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century
yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari semula hanya Rp 1,3 triliun terus
menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan hanya di media massa, di
kalangan para ahli, dan birokrasi pemerintahan, tapi juga di parlemen. Anggota
Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) DPR RI terus mempersoalkannya.
Menkeu menyebutkan hingga Juli 2009 bank hasil penggabungan PT Bank CIC
Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko itu sudah untung sebesar Rp 139,9
miliar. Bahkan, menurut Bank Indonesia, jika dilihat posisinya sejak Desember
2008 sampai Agustus 2009, ada kenaikan simpanan nasabah sebesar Rp 1,1
triliun.
Selain besarnya dana penyertaan, hal lain yang dipersoalkan kenapa Bank Century
tak ditutup kabarnya ada nasabah besar yang dilindungi. Kabarnya, nasabah besar
itu memiliki dana sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun. Harry Azhar, anggota
Komisi XI DPR, menyebut nasabah besar itu antara lain Budi Sampoerna. Paman
Putera Sampoerna, mantan pemilik PT H.M. Sampoerna itu disinyalir punya dana
sebesar Rp 1,8 triliun di Century.
Munculnya Budi Sampoerna turut menyeret Komisaris Jenderal Susno Duadji. Isu
tidak sedap merebak di kalanggan anggota dewan. Kepala Badan Reserse
Kriminal Markas Besar Polri itu disebut-sebut dalam proses pencairan dana Budi
Sampoerna. Keterlibatan Susno, seperti ditulis Majalah Tempo, terlihat dari
dikeluarkannya surat Badan Reserse Kriminal pada 7 serta 17 April 2009. Surat
itu menyatakan dana milik Budi Sampoerna dan 18 juta dolar AS milik PT Lancar
Sampoerna Bestari di Bank Century "sudah tak ada masalah lagi".
Selain itu, Susno turut memfasilitasi beberapa pertemuan direksi Century dengan
pihak Budi di kantor Bareskrim. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan.
Salah satunya soal persetujuan pencarian dana senilai 58 juta dolar AS-dari total
Rp 2 triliun-milik Budi atas nama PT Lancar Sampoerna Bestari. Kesepakatan
lainnya, pencairan dilakukan dalam rupiah. Atas upaya tersebut, Susno dikabarkan
dijanjikan oleh Lucas, kuasa hukum Budi, komisi 10 persen dari jumlah uang
Budi yang akan cair.
Soal komisi 10 persen itu dibantah Susno. "Boro-boro dapat itu," ucap Susno.
"Ongkos saya ke luar negeri untuk mendapatkan aset-aset Robert (Tantular,
pemilik Bank Century) saja belum diganti. Bantahan serupa juga dikatakan Lucas.
"Maksudnya fee? Enggak ada sama sekali. itu fitnah," tegas Lucas seperti ditulis
Majalah Tempo.
***
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut ada perkara kriminal di Bank Century
sehingga tidak layak diselamatkan. Menurut Wapres, masalah yang dihadapi Bank
Century bukan lantaran krisis global. Melainkan karena pemiliknya yaitu Robert
Tantular merampok dana bank sendiri. "Masalah (Bank) Century itu bukan
masalah karena krisis, masalah perampokan, kriminal. Karena pengendali bank ini
merampok dana bank sendiri dengan segala cara termasuk obligasi bodong," ujar
Wapres Kalla.
Karena itu, Wapres Kalla lalu memerintahkan polisi menangkap Robert Tantular
serta direksi Bank Century. Dia khawatir Robert dan direksi Bank Century
melarikan diri. "Saat itu juga saya telepon (Kepala Polri Jenderal Bambang
Hendarso Danuri), Robert Tantular dan direksi yang bertanggung jawab ditangkap
dalam dua jam," kata Kalla.
Robert sendiri sudah divonis penjara empat tahun serta denda Rp 50 miliar oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 10 September lalu. Vonis ini jauh lebih rendah
dibanding tuntutan jaksa yakni delapan tahun penjara. Karena itu, Kejaksaan
Agung langsung mengajukan banding atas putusan tersebut. Alasannya, majelis
hakim hanya mengenakan pada satu dakwaan dari tiga dakwaan yang diajukan
jaksa penuntut umum.
Polisi turut menetapkan Dewi Tantular selaku Kepala Divisi Bank Note Bank
Century sebagai tersangka. Dewi kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dua tersangka lainnya adalah Linda Wangsa Dinata, selaku pimpinan KPO
Senayan, dan Arga Tirta Kiranah, Kadiv legal Bank Century. Keduanya kini
dalam proses penyidikan.
Kini, pemerintah terus memburu aset Robert Tantular dan pemegang saham
lainnya di luar negeri dengan membentuk tim pemburu aset. Tim ini
beranggotakan staf Departemen Keuangan, Markas Besar Polri, Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan,
Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Sejauh ini, kata Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Luar Negeri, tim sudah berhasil menelusuri aset itu di 13 yurisdiksi.
Namun, dia enggan membeberkan secara detail lokasi yurisdiksi tersebut. Sebab
jika lokasi aset itu dibuka, pemiliknya akan cepat-cepat menggugat banknya,
seperti yang terjadi di Hongkong.
Untuk di dalam negeri, jumlah aset yang disita polisi terkait kasus tindak pidana
perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191 miliar. Sementara di luar negeri,
polisi berhasil menemukan dan memblokir aset milik Robert Tantular senilai
19,25 juta dolar AS atau setara Rp 192,5 miliar. Uang sebesar itu antara lain
terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai 1,8 juta dolar AS, PJK Jersey
sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin Island (Inggris) sebesar 927 ribu
dolar AS.
Selain itu, polisi juga menemukan dan memblokir aset Hesham Al Waraq Talaat
serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp 11,64 triliun. Aset itu tersebar di UBS AG Bank
sejumlah 3,5 juta dolar AS, Standard Chartered Bank senilai 650 ribu dolar AS
dan sejumlah SGD 4.006, di ING Bank sebesar 388 ribu dolar AS.(*dari berbagai
sumber/VIN)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jadi sorotan publik
gara-gara umpetin aliran dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.
Lembaga yang dikomandoi Yunus Husein itu diduga sudah disetir pihak tertentu,
sehingga tidak berani membeberkan ke mana saja aliran dana Bank Century.
Melihat hal itu, nilai PPATK dinilai jeblok. Sebab, berdasarkan pendapat
pengamat ekonomi, pengamat transaksi keuangan, pengamat hukum, pengamat
kebijakan publik, dan anggota DPR ada 8 kegagalannya. Sedangkan keberhasilan
6, sehingga tekor 2 (8 kegagalan – 6 keberhasilan = 2).
Pengamat kebijakan publik, Tom Pasaribu mengatakan, PPATK pilih kasih dalam
membongkar aliran dana mencurigakan. Kasus Century begitu menarik perhatian
publik, tapi tidak dibeberkan kepada BPK, sehingga hasil auditnya kurang
lengkap.
Menurutnya, kondisi ini berbeda pada saat PPATK membongkar kasus pemilihan
Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom dengan menyatakan ada travel cek yang
mengalir ke beberapa orang anggota DPR.
“Dalam hal penangan Bank Century, PPATK terkesan melakukan tebang pilih.
Jangan sampai PPATK menjadi alat kekuasaan,” ucap Tom.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein
mengatakan, kendala yang dihadapi lembaganya adalah kekurangan pegawai.
“Kami adalah lembaga baru dengan tenaga yang baru pula. Sedangkan pegawai
lama sudah keluar,” ujarnya di Jakarta, belum lama ini.
“Pegawai baru belum bisa mengisi pekerjaan pegawai lama. Oleh karena itu
mereka perlu diberikan latihan-latihan untuk perkembangan kinerja mereka,”
ucapnya.
“Tugas kami mencari tahu aliran dana dari hasil kejahatan. Dari analisis yang
kami lakukan jumlahnya meningkat terus. Biasanya hasil kerja kami itu
diteruskan kepada penyelidikan, dalam hal ini tugas aparat hukum,” tambahnya.
Kinerja PPATK biasa-biasa saja. Tidak ada langkah spektakuler yang bisa
dicatatkan sebagai keberhasilannya.
Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR, Dasrul Djabar, kepada Rakyat
Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Bisa jadi, lanjutnya, gara-gara PPATK tidak bisa asal mempublikasikan temuan-
temuan aliran dana yang sifatnya ilegal. Alasannya, tidak menguntungkan pihak
perbankan. “Ini terkait dengan kepercayaan akan perbankan itu,” katanya.
Yang benar, kata dia, PPATK melaporkan aliran dana yang terindikasi ilegal itu
kepada aparat penegak hukum. “Nah aparat hukum yang menindaklanjuti temuan-
temuan itu,” ujarnya.
“Sebagai contoh kasus aliran dana pemilihan deputi BI yang di duga mengalir ke
beberapa anggota DPR,” tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, PPATK harus mendorong perbankan yang ada di Indonesia
untuk melaporkan transaksi-transaksi yang dicurigai ilegal dan berpotensi
membuat kerugian negara.
‘’PPATK hendaknya tidak ikut berpolitik. Seharusnya mereka bekerja secara pro-
fesional, termasuk soal kasus aliran dana Bank Century terkait dana talangan Rp
6,7 triliun,’’ ujar pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, kepada Rakyat Mer-
deka, di Jakarta, kemarin.
“Sepertinya PPATK tidak beritikad baik dalam menuntaskan kasus itu. Saya lihat
PPATK hanya main politik saja,” tambahnya.
PPATK dinilai tidak serius dalam menangani kasus Bank Century. Sebab, hasil
penelurusan mereka soal aliran dana kasus talangan sebesar Rp 6,7 triliun itu tidak
membukanya kepada publik
‘’Kok jadi penakut, kenapa aliran dana Century diumpetin sih, ini ada apa,’’ ujar
pengamat transaksi keuangan, Arif Nur Alam, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta,
kemarin.
Menurutnya, kondisi ini berbeda saat PPATK membongkar aliran transaksi keua-
ngan kesejumlah anggota DPR dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur BI.
“Dalam penanganan Bank Century mereka sekarang terkesan sangat tertutup. Se-
harusnya dengan kasus yang abnormal ini, PPATK dapat melakukan terobosan,”
ujarnya.
“Sekarang mereka malah terkesan setengah hati dalam penanganan aliran dana
Bank Century. Dalam kasus BI mereka unggul, namun dalam kasus Century
stagnan,” tambahnya.
Namun begitu, lanjutnya, di luar kasus Bank Cenduty, PPATK sudah banyak me-
lakukan keberhasilan. Misalnya dengan melakukan kerjasama dengan KPK untuk
membongkar kasus korupsi, penertiban rekening liar dan pada pemilu kemarin
mereka berhasil melakukan pengawasan dana kampanye Pilpres dan Pileg.
Kinerja PPATK sudah lumayan bagus dalam melakukan pengawasan transaksi ke-
uangan yang mencurigakan, sehingga bisa membongkar kasus korupsi yang
melibatkan anggota DPR.
Hal ini dikatakan pengamat hukum, Boyamin Saiman, kepada Rakyat Merdeka, di
Jakarta, kemarin.
Menurut Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) itu, dalam kasus
Agus Condro terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom,
PPATK berhasil menemukan adanya 400 travel chek ke anggota DPR.
“Banyaknya kasus korupsi yang dibongkar KPK juga tidak terlepas dari peran
PPATK,” katanya.
Terkait dengan kasus Bank Century, kata Boyamin, PPATK memang dibatasi
Undang-undang. Sebab dalam Undang-undang pencucian uang, PPATK hanya
boleh memberikan pelaporan transaksi keuangan ke polisi, jaksa dan KPK.
“Namun, saya yakin dibeberkan ke KPK deh soal transaksi keuangan Bank
Century itu kalau diminta. Kita lihat saja nanti,” tandasnya. RM
Century Gate
Mencari Pembenar Bailout
Oleh: Hendri Saparini
Tuntutan pengungkapan kasus Bank Century telah diawali oleh anggota DPR RI
periode 2004–2009. Penelusuran kasus ini dilanjutkan dengan permintaan DPR
dan KPK kepada BPK untuk mengaudit pengucuran dana talangan kepada Bank
Century selama periode 2008–2009.
Apalagi setelah beredarnya laporan final hasil investigasi BPK yang secara detail
membeberkan fakta-fakta adanya pelampauan kewewenangan pejabat publik
dalam pengucuran dana kepada Bank Century, gelombang dukungan publik sudah
tidak terbendung. Temuan-temuan BPK dalam kasus Bank Century memang
cukup luar biasa dengan ditunjukkan banyaknya lembaga negara yang tidak hati-
hati dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Setelah DPR menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK terbuka bagi umum,
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan merasa perlu untuk melakukan
bantahan bersama atas laporan BPK. Bank Indonesia dan Departemen Keuangan
menilai BPK tidak mengungkap adanya ancaman dan ketidakpastian yang tinggi
terkait dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian nasional.
Padahal BPK telah memaparkan hal itu dalam laporannya. Alasan bahwa kasus
Bank Century muncul akibat krisis keuangan global memang sulit diterima.Jika
kasus Bank Century diakibatkan oleh krisis global, masalah yang dihadapi Bank
Century seharusnya juga akan terjadi pada hampir seluruh bank seperti halnya
terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1997/98. Pada saat itu hampir seluruh bank
mengalami kesulitan likuiditas akibat pelarian dana ke luar negeri.Faktanya
industri perbankan Indonesia tidak menunjukkan kondisi tengah mengalami
tekanan akibat krisis global.
Bahkan laporan BPK menyebutkan pada akhir September 2008 posisi CAR bank
umum berada di atas batas minimal, yakni 8%. Satusatunya bank yang CAR-nya
di bawah 8% adalah Bank Century. Data Bank Indonesia juga menunjukkan
bahwa CAR,NPL,aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit perbankan mengalami
peningkatan secara konsisten, bahkan sampai saat ini. Tambahan lagi,kesulitan
likuiditas perbankan yang normal adalah kesulitan likuiditas akibat operasi bank
sebagai lembaga intermediasi. Dana deposan yang biasanya berjangka pendek
disalurkan dalam bentuk kredit jangka panjang, misalnya KPR.
Jika berlangsung kejadian luar biasa yang mengakibatkan sebagian besar deposan
menarik dananya,bank-bank akan kesulitan likuiditas. Bila hal ini yang terjadi,
kesulitan likuiditas tersebut layak sebagai salah satu alasan dalam pemberian
bantuan pendanaan. Namun yang terjadi pada kasus Bank Century tidaklah
demikian. Kesulitan likuiditas yang terjadi pada Bank Century bukan akibat
pembiayaan kredit, tetapi akibat dirampok oleh atau melalui para pemilik bank.
Dengan demikian kesulitan likuiditas yang terjadi bukan karena adanya mismatch
dalam pembiayaan kredit.Dengan kondisi ini,bila Bank Century diberi dana
talangan, pemberian itu bukan dana talangan terhadap kredit, tetapi talangan
terhadap kasus perampokan. Alasan krisis global juga sulit diterima karena
menurut BPK,masalah di Bank Century sudah terjadi sejak 2004. Artinya Bank
Century telah bermasalah jauh sebelum krisis keuangan global tahun 2008 terjadi.
Saat Bank Century merger misalnya,Bank Indonesia tidak menerapkan aturan dan
persyaratan sebagaimana diatur dalam per-aturan Bank Indonesia. Bahkan sejak
2005–2008 Bank Century telah dibiarkan melakukan berbagai praktik perbankan
tidak sehat yang melanggar UU No 10 Tahun 1998 dan UU No 7 Tahun
1992.BPK menyimpulkan praktik ini telah merugikan Bank Century sekurang-
kurangnya sebesar Rp6,3 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup
dengan dana PMS dari LPS.
Berdampak Sistemik?
Keputusan Bank Indonesia dan KSSK bahwa Bank Century adalah bank gagal
yang bersifat sistemik juga sangat sulit diterima. Penutupan bank akan
menciptakan efek domino bila bank tersebut memang memiliki linkage yang erat
dengan industri perbankan, sektor riil, dan keuangan internasional.
Adapun Bank Century adalah bank yang perannya terhadap industri bank dan
industri lain relatif kecil. Bahkan Bank Century dapat dikatakan sebagai “bank nol
koma”. Dari sisi aset hanya 0,72%, DPK sebesar 0,68%, dan kredit sebesar
0,42%.Konon dalam rapat KSSK saat membahas dampak sistemik dari Bank
Century, seorang peserta menganalogikan Bank Century sebagai BPR di luar Jawa
untuk menunjukkan bahwa dampak penutupan Bank Century terhadap perbankan
nasional tidak cukup signifikan.
Sangat sulit dipahami bila pada akhirnya Ketua KSSK tetap memutuskan Bank
Century sebagai bank gagal bersifat sistemik hanya dengan memberikan bobot
yang besar pada aspek psikologi pasar karena aspek-aspek lain tidak memiliki
alasan cukup kuat. Memang pada awal krisis 2008 ada potensi risiko sistemik
yang terjadi pada perbankan Indonesia. Namun, risiko sistemik tersebut
meningkat justru akibat pilihan kebijakan pengetatan moneter oleh Gubernur
Bank Indonesia Boediono dilaksanakan dengan kebijakan meningkatkan suku
bunga, sesuai dengan nasihat IMF.
Risiko sistemik juga muncul dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan fiskal
atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah
menciptakan risiko sistemik pada perbankan nasional. Mempertanyakan pilihan
KSSK untuk memberikan talangan bagi Bank Century––bahkan dengan ongkos
berapa pun sebagaimana pernah dinyatakan Ketua KSSK–– menjadi sangat
beralasan.
Bank Century adalah kasus kriminal individu dari bank kecil yang pengaruhnya
tidak akan signifikan terhadap industri perbankan. Semestinya yang dilakukan
Bank Indonesia dan KSSK adalah menutup dan meyakinkan publik bahwa kasus
Bank Century murni kasus kriminal dan tidak terkait dengan krisis global maupun
kondisi makroekonomi dan perbankan nasional. Sayangnya, yang dilakukan
KSSK justru sebaliknya karena alasan sistemik akan menjadi alasan paling tepat
untuk mengucurkan dana.
BPK menyimpulkan bahwa telah terjadi rekayasa hukum dan peraturan untuk
mendukung penyelamatan Bank Century. Hal ini tentu tidak mengherankan
karena terlalu lemah alasan untuk menyelamatkan Bank Century. Pemaksaan
inilah yang kemudian mengharuskan Bank Indonesia, KSSK maupun LPS
disimpulkan BPK melakukan berbagai pelanggaran.
Bank Indonesia misalnya, terpaksa mengubah PBI agar Bank Century layak
mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).Juga harus melanggar
peraturan agar Bank Century mendapat dispensasi denda atas ketentuan posisi
devisa neto (PDN). Rekayasa juga harus dilakukan LPS lewat perubahan PLPS
agar Bank Century memperoleh tambahan dana, selain untuk meningkatkan CAR,
juga untuk kebutuhan likuiditas lainnya. Rekayasa-rekayasa tersebut sudah sangat
cukup meruntuhkan kredibilitas otoritas keuangan Indonesia.
Jangan sampai ada rekayasa baru seperti rekayasa dokumen untuk melempar
tanggung jawab karena telah memutuskan kebijakan yang berpotensi melanggar
UU dan peraturan. Jangan juga dilakukan rekayasa politik baik lewat panitia
angket atau lembaga penegak hukum untuk menyelamatkan orangorang yang
semestinya bertanggung jawab. Tujuan penuntasan kasus Bank Century adalah
mengembalikan kredibilitas pemerintah.
Rekayasa tidak akan menuntaskan kasus dan bahkan akan semakin sulit
mengembalikan kepercayaan publik. Bila itu terjadi, ongkos finansial, ekonomi
maupun sosial politiknya menjadi sangat mahal.(*)