Anda di halaman 1dari 35

IMPLEMENTASI BASEL III DENGAN PENERAPAN

NET STABLE FUNDING RATIO (NSFR) UNTUK


MENINGKATKAN KESEHATAN PERBANKAN

MAKALAH

Oleh:

Seno Sasongko
NIM 55120120147

Pembimbing
Dr. Sudjono, M.Acc.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAGEMENT


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
2022
ABSTRAK

Sistem perbankan yang menjadi salah satu pilar perekonomian harusnya


selalu dapat dipastikan stabilitasnya. Beberapa kali gonjangan ekonomi telah
mengajarkan bahwa perbaikan dalam penyediaan modal dan perhitungan likuiditas
bank harus dijalankan dengan ketentuan yang lebih ketat, hal ini untuk memastikan
tidak terjadi kegagalan systemic yang bisa berujung pada kerugian ekonomi yang
lebih besar. Basel III telah membuat rekomendasi perbaikan atas isu-isu penting
dalam operasional perbankan.
Likuiditas didefinisikan sebagai kapabilitas bank dalam mencukupi
kewajibannya, likuiditas kuat menjadi salah satu indikator kesehatan bank yang
harus dijalankan. Rekomendasi penyempurnaan dari Basel III yaitu perhitungan
likuiditas dengan kerangka LCR (Liquidity Coverage Ratio) dan NSFR (Net
Stable Funding Ratio). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban
bahwa penerapan NSFR dalam perbankan akan memperbaiki tingkat
kesehatannya, yang diharapkan akan sanggup menahan gonjangan ekonomi yang
dapat terjadi kembali di masa yang akan datang. Penelitian ini menemukan bahwa
NSFR dalam penerapannya akan memperbaiki kualitas pendanaan bank dalam
jangka panjang yang pada ujungnya memperkuat kondisi bank dari risiko
likuiditas yang bisa terjadi kapan saja.
Kata Kunci: Basel III, Likuiditas, Net Stable Funding Ratio
-----------------------------------------------------------------------------------------------
The stability of the banking system, which is one of the pillars of the
economy, must always be ensured. Several times of economic shocks have taught
that improvements in the provision of capital and the calculation of bank liquidity
must be carried out with stricter provisions, this is to ensure that there is no
systemic failure that can lead to greater economic losses. Basel III has made
recommendations for improvement on important issues in banking operations.
Liquidity is defined as a bank's capability to meet its obligations, strong
liquidity is an indicator of a bank's health that must be implemented. The
recommendation for improvement from Basel III is the calculation of liquidity
using the LCR (Liquidity Coverage Ratio) and NSFR (Net Stable Funding Ratio)
framework. This study aims to find answers that the implementation of the NSFR
in banking will improve the level of soundness, which is expected to be able to
withstand of economic shocks that may occur in the future. This study finds that
the NSFR in its application will improve the quality of bank funding in the long
term, of which will led to strengthens the bank's condition from liquidity risk that
could be occurred any time.

Keywords: Basel III, Liquidity, Net Stable Funding Ratio

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan karunia, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah dengan judul “Implementasi Basel III dengan

Penerapan Net Stable Funding Ratio (NSFR) Untuk Meningkatkan

Kesehatan Perbankan”.

Makalah ini menyajikan pembahasan mengenai penerapan NSFR

(Net Stable Funding Ratio) sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan

perbankan sesuai dengan kesepakatan pada Basel III. Dengan nilai NSFR

yang terjaga dan terpenuhi diharapkan perbankan dapat mengelola risiko

likuiditas dengan lebih baik.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah

membutuhkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan

ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Sudjono, M.Acc. selaku dosen pembimbing dan pengampu

mata kuliah Risk Management.

2. Keluarga saya, terutama istri tercinta yang memberikan dukungan

penuh atas penyusunan dan penyelesaian makalah ini.

3. Bapak dan Ibu dosen dan rekan-rekan mahasiswa beserta seluruh

Civitas Akademika Universitas Mercu Buana.

iii
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena

itu, penulis memohon maaf apabila masih banyak kekurangan karena

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.

Akhir kata dengan rasa rendah hati, penyusun berharap semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Kritik

dan saran sangat diharapkan penulis untuk kesempurnaan penelitian

selanjutnya.

Jakarta, 16 Mei 2022

Penulis

iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................6
1.3. Batasan Masalah ..........................................................................6
1.4. Tujuan Penelitian .........................................................................7
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................9
2.1 Perkembangan Kesepakatan Basel ............................................12
2.2 Teori Permodalan.......................................................................13
2.3 Liquidity Coverage Ratio (LCR) ...............................................14
2.4 Net Stable Funding Ratio (NSFR) .............................................15
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................20
3.1 Peraturan Regulator ...................................................................20
3.2 Hasil Penelitian Sebelumnya .....................................................21
BAB IV PENUTUP ...........................................................................................26
4.1. Kesimpulan ................................................................................26
4.2. Keterbatasan Penelitian..............................................................27
4.3. Saran ..........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
DAFTAR TABEL

2.5.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu………………………........ 15

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bank sebagai lembaga intermediary sangat memerlukan partisipasi dari

masyarakat. Salah satu kegiatan usaha bank adalah menghimpun dan

menyalurkan dana yang dipercayakan masyarakat, sehingga bank harus

dikelola dengan prinsip kehati-hatian agar dapat terus terpelihara kondisi

kesehatannya.

Saat krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 banyak bank

mengalami permasalahan, hal ini disebabkan tidak dijalankan operasional

dengan hati-hati sehingga berdampak terganggunya kelangsungan usaha bank,

walaupun sebernarnya banyak bank yang telah memiliki permodalan sesuai

dengan persyaratan regulator. Permasalahan utama yang

ditemui dari kejadian krisis tahun 2008 diantaranya adalah ketidakmampuan

bank dalam memenuhi standar terkait prinsip dasar pengukuran dan penerapan

manajemen risiko likuiditas.

Pentingnya pengelolaan likuiditas bank tercermin dalam kerangka

Basel III yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision

(BCBS), yang mana tujuannya adalah penyempurnaan kerangka permodalan

yang sebelumnya yaitu kerangka Basel II.


Perbankan di Indonesia telah menjalankan sepenuhnya aturan Basel II

pada tahun 2012, dimana dalam proses penerapan tersebut, dilakukan secara

bertahap sejak tahun 2007.

Diterbitkannya Basel III bertujuan untuk memperkokoh sisi

pengaturan mikroprudensial guna menaikkan standar kesehatan dan daya

tahan individual bank dalam menghadapi krisis. Dalam kerangka Basel III

sebagaimana ditegaskan dalam PBI No. 15/12/PBI/2013 yang mengatur

mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bagi Bank

Umum, yaitu bahwa kewajiban penyediaan rasio permodalan yang terdiri

dari rasio modal inti paling rendah sebesar 6% dari Aktiva Tertimbang

Menurut Risiko (ATMR) dan rasio modal inti utama paling rendah sebesar

4,5% dari ATMR, sedangkan kewajiban penyedian tambahan modal

sebagai penyangga (buffer) di atas kewajiban penyediaan modal minimum,

adalah sesuai profil risiko bank (BI, 2012).

Basel III mencakup pula aspek makroprudensial dengan

mengembangkan indikator untuk memantau tingkat procyclicality sistem

keuangan dan mensyaratkan bank terutama bank/institusi keuangan yang

bersifat sistemik untuk menyiapkan buffer (penyangga) di saat ekonomi

baik (boom period) guna menyerap kerugian saat terjadi krisis (boost

period), yaitu countercyclical capital buffer serta capital surcharge

(penambahan modal).

Basel III juga memperkenalkan standar likuiditas baik untuk jangka

pendek yaitu Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan untuk jangka yang lebih
panjang yaitu Net Stable Funding Ratio (NSFR). Secara mendasar, kedua

standar ini dimaksudkan untuk melengkapi sarana pemantauan (monitoring

tools) yang sudah ada untuk memantau bank dan sekaligus dapat digunakan

sebagai pembanding kondisi likuiditas antar bank (BI, 2012).

Kedua standar diatas mempunyai tujuan yang berbeda namun saling

melengkapi. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 42/POJK.03/2015 Tentang

Kewajiban Pemenuhan Kecukupan Likuiditas (Liquid Coverage

Ratio/LCR) bagi Bank Umum. Ketentuan ini bertujuan untuk menciptakan

sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara

nasional dan internasional, sehingga bank perlu memiliki kecukupan

likuiditas yang memadai untuk mengantisipasi kondisi krisis. P eraturan

OJK mengenai LCR bertujuan untuk meningkatkan ketahanan jangka

pendek bank dengan memastikan bank memiliki ketercukupan persediaan

High Quality Liquid Asset (HQLA) yang bebas dari segala klaim.

Sebagai tindak lanjut kewajiban penerapan NSFR, OJK telah

menerbitkan POJK No: 50/POJK.03/2017 Tentang Kewajiban Pemenuhan

Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio), yang bertujuan

mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu

yang lebih panjang dengan mensyaratkan bank untuk mendanai aktivitas

dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko

kesulitan pendanaan pada masa depan.


Kepekaan akan pentingnya likuiditas yang terkelola dengan baik

terlihat dalam kerangka Basel III yang dikeluarkan BCBS dengan tujuan

mengatasi krisis global pada tahun 2007/2008. Dua standar perhitungan

likuiditas yang baru yaitu Net Stable Funding Ratio (NSFR) dan Liquidity

Coverage Ratio (LCR) diperkenalkan dalam kerangka Basel III selain

konsep permodalan yang diperkuat. Berdasarkan agenda BCBS, LCR

berlaku efektif sejak 1 Januari 2013 sedangkan NSFR berlaku efektif sejak

1 Januari 2018. Memandang perlunya likuiditas yang terkelola dengan hati-

hati (prudent) untuk bank dan searah dengan keterikatan Indonesia sebagai

anggota BCBS dalam rangka adopsi kerangka Basel III termasuk kerangka

LCR dan NSFR, dengan demikian menjadi sangat relevan penerapan

standar likuiditas baru ini untuk Indonesia, namun dalam pelaksanaannya

mempertimbangkan akibat yang akan terjadi pada perbankan nasional.

Kedua standar tersebut dibuat agar dapat memperoleh dua tujuan

yang tidak sama tetapi bisa saling melengkapi. Tujuan dari standar yang

pertama adalah untuk menambah ketahanan profil risiko likuiditas bank

jangka pendek dengan tetap memastikan bahwa bank mempunyai High

Quality Liquid Asset (HQLA) yang mencukupi untuk tetap bertahan selama

periode scenario stress yang signifikan pada 30 hari kedepan. Kondisi ini

menjadi standar yang dikenal dengan istilah Liquidity Coverage Ratio

(LCR). Tujuan selanjutnya yang kedua adalah menurunkan risiko

pendanaan dalam jangka waktu yang lebih lama dengan memberi syarat

kepada bank agar mendanai aktivitasnya dari sumber dana yang stabil dan
memadai untuk dapat memitigasi risiko pada pendanaan dimasa yang akan

datang. Dalam rangka pemenuhan kedua tujuan ini maka dikembangkanlah

standar untuk NSFR. Dua standar ini, LCR dan NSFR, secara bersama-

sama dengan liquidity risk monitoring tools akan digunakan menjadi alat

dalam rangka mengukur risiko likudiitas bank yang saling melengkapi

sifatnya. POJK No. 42/POJK.03/2015 yang telah dikeluarkan, menjadikan

kerangka LCR diimplementasikan lebih dahulu di Indonesia. Lebih lanjut

ketentuan mengenai penerapan NSFR diatur dalam POJK No.

50/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan

Stabil/Net Stable Funding Ratio (NSFR).

Salah satu wujud dari reformasi kebijakan yang dikeluarkan oleh

BCBS untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan adalah Net stable

Funding Ratio (NSFR). Standar NSFR mensyaratkan bank untuk menjaga

dana-dana stabil (stable funding) yang dipadankan dengan struktur aset dan

aktivitas rekening administratif yang dimilikinya. Stuktur dana yang dijaga

pada tingkatan tertentu ini ditujukan agar dapat menurunkan kemungkinan

masalah pada sumber-sumber pendanaan reguler yang dapat mengurangi

posisi likuiditas bank sehingga menambah risiko kegagalan bank dan

memiliki potensi systemic stress dengan cakupan yang lebih luas.

Ketergantungan yang melebihi sumber pendanaan jangka pendek yang

berawal dari wholesale dibatasi oleh NSFR, mendesak untuk melakukan

penilaian risiko pendanaan dari semua bagian di neraca maupun di rekening


administratif yang lebih menguntungkan dalam peningkatan stabilitas

pendanaan bank.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka

penelitian ini akan mengkaji dan mengalisis implementasi NSFR sebagai

upaya pengelolaan likuiditas Bank untuk memenuhi ketentuan Basel III,

sebagai upaya menciptakan perbankan yang sehat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan-

permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dapat dilakukan oleh perbankan dalam meningkatkan kualitas

pengelolaan likuiditas berdasarkan pemenuhan standar Basel III ?

2. Pendekatan apakah yang sesuai dengan implementasi Basel III yang dapat

digunakan agar bank dapat menjaga tingkat kesehatannya dan tahan dalam

menghadapi kondisi krisis.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka

permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini perlu dibatasi agar cakupan

bahasan tidak meluas dan tetap relevan. yaitu sebagai berikut:

1. Kerangka NSFR yang disyaratkan BCBS untuk diaplikasikan secara

berkelanjutan dan sistematis sesuai dengan yang terdapat dalam

ketentuan Basel III.


2. Lingkup pembahasan pada penerapan NSFR menyesuaikan dengan

lingkup aplikasi dari konsep kerangka Basel III.

3. Berdasarkan aturan PJOK mengenai standar NSFR maka bank

diwajibkan untuk dapat menjaga kestabilan pendanaan yang mencukupi

yang dihitung dengan menggunakan NSFR dengan nilai paling rendah

yang ditetapkan yaitu 100%.

4. NSFR merupakan proporsi antara kestabilan pendanaan yang ada

(Available Stable Funding / ASF) dengan pendanaan stabil yang

dibutuhkan (Required Stable Funding / RSF). Bank-bank yang

diwajibkan untuk melakukan pemenuhan ketentuan NSFR yaitu (PJOK,

2017):

a. Bank yang tergolong dalam kelompok bank umum kegiatan usaha

(BUKU) 3

b. Bank yang tergolong dalam kelompok bank umum kegiatan usaha

(BUKU) 4

c. Bank asing meliputi kantor cabang yang beroperasi di luar negeri dan

pihak asing yang memiliki sebagian saham bank tersebut, baik secara

konsolidasi ataupun indvidu.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka, tujuan dari

penulisan ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui apakah yang dapat dilakukan oleh perbankan dalam

meningkatkan kualitas pengelolaan likuiditas berdasarkan pemenuhan

standar Basel III.

2. Untuk mengetahui pendekatan apakah yang sesuai dengan implementasi

Basel III yang dapat digunakan agar bank dapat menjaga tingkat

kesehatannya dan tahan dalam menghadapi kondisi krisis.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademisi

Implikasi dari penelitian ini yaitu para peneliti dapat menilai arti

penting penerapan NSFR sebagai salah satu pemenuhan ketentuan pada

Basel III untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi Investor

Untuk melakukan evalusi kepada entitas bank, dimana akan

bermanfaat untuk menilai tingkat kesehatannya yang akan berguna untuk

kepentingan investasi yang telah atau akan dilakukan.

3. Bagi Pemerintah dan Pembuat Kebijakan

Dengan terus dilakukannya monitor atas pemenuhan NSFR dari

perbankan maka mitigasi atas kemungkinan adanya gonjangan dapat

dimimalisir dan dapat dijadikan rumusan kebijakan perbankan kedepan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Kesepakatan Basel

Hingga saat ini, telah terdapat tiga adaptasi peraturan Basel, yaitu Basel

I (1988), Basel II (2004), dan Basel III (2010). Peraturan dalam Basel tujuan

utamanya adalah pengaturan dalam permodalan bank, ukuran tingkat risiko

yang terkait dengan aset bank, aturan yang berkaitan dengan modal minimum

yang harus dimiliki, untuk mencakup risiko dan tindakan analisis, pengawasan

dan disiplin pasar.

Basel I, yaitu kesepakatan Basel Pertama mengacu pada standar modal

yang dikenakan pada lembaga kredit dan dengan ketentuan sebagai berikut

definisi modal yang terdiri dari modal inti dan modal pelengkap (mewakili

hingga 100% dari modal inti). Menentukan bobot risiko aset bank masing-

masing: 0% risiko nol, risiko rendah 20%, risiko sedang 50% dan risiko tinggi

100%, serta menetapkan aset yang termasuk dalam masing-masing kategori

risiko. Kecukupan modal, yaitu tingkat minimum yang harus dijaga bank

antara modal dan aset yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko. Nilai

minimum indikator ini bervariasi tergantung pada metode perhitungan, artinya

harus minimal 8% ketika menyatakan rasio total modal (modal inti ditambah

modal tambahan) dan aset yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko atau

setidaknya minimal 4 % jika dihitung sebagai rasio antara modal inti dan aset

yang ditimbang berdasarkan tingkat risiko.


Basel II, yaitu kesepakatan Basel yang kedua. Kesepakatan Basel II

didasarkan pada tiga pilar yang saling memperkuat. Persyaratan minimum dana

sendiri – rasio kecukupan modal harus minimal 8%, dihitung sebagai rasio

antara ekuitas bank dan aset, tetapi kali ini aset ditimbang menurut tiga risiko,

yaitu resiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Proses pengawasan

kegiatan bank yang meliputi prosedur penilaian kinerja internalnya ekuitas

sendiri, otoritas pengawas bertanggung jawab atas penilaian yang dilakukan

oleh bank, meningkatkan dialog bank-supervisor, dan intervensi cepat untuk

mencegah penurunan modal. Disiplin pasar yang mensyaratkan persyaratan

pelaporan yang lebih rinci oleh Bank Sentral dan publik mengenai struktur

kepemilikan, eksposur risiko, kecukupan modal hingga profil risiko.

Persyaratan ini mencakup publikasi informasi secara berkala (setiap enam

bulan oleh bank nasional dan setiap triwulan oleh bank yang aktif secara

internasional).

Basel III, yaitu kesepakatan Basel terbaru dari Basel Accords dan

merupakan standar peraturan global yang ditetapkan oleh BCBS (Basel

Committee on Banking Supervision) tentang kecukupan modal (termasuk rasio

leverage baru dan buffer modal), risiko likuiditas pasar (dengan jangka pendek

dan jangka panjang), dan stress testing yang berfokus pada stabilitas.

Reformasi Basel III terhadap standar regulasi global disepakati oleh G-20 pada

November 2010 dan kemudian dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking

Supervision pada Desember 2010 (BCBS, 2010). Tujuan utama dari reformasi

tersebut adalah untuk memperkuat persyaratan kecukupan modal dengan


memperhatikan kualitas dan kuantitas permodalan yang harus dimiliki bank

untuk menyerap kerugian. Kerangka Basel III tujuan utamanya adalah

meningkatkan keamanan dan stabilitas sektor perbankan, menekankan

perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas komponen permodalan, rasio

leverage, standar likuiditas, dan pengungkapan yang ditingkatkan. Oleh karena

itu, Basel III merupakan upaya untuk mengendalikan penyebab krisis terkini.

Basel III memperkenalkan aturan baru dan yang disempurnakan, ini

termasuk pengenalan definisi modal yang baru dan lebih ketat – yang dirancang

untuk meningkatkan konsistensi, transparansi, dan kualitas basis modal – dan

pengenalan standar likuiditas global (BCBS, 2010). Dua rasio likuiditas baru –

Net Stable Funding Ratio (NSFR) jangka panjang dan Liquidity Coverage

Ratio (LCR) jangka pendek, akan mengharuskan bank untuk meningkatkan

aset likuid berkualitas tinggi dan memperoleh sumber pendanaan yang lebih

stabil, memastikan bahwa bank telah sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen

risiko likuiditas. Selain itu, Basel III memperkenalkan rasio leverage baru,

pengganti kerangka kerja Basel II berbasis risiko. Dengan menetapkan 3 persen

sebagai rasio Tier 1 Capital terhadap total eksposur, rasio leverage yang baru

dapat membatasi ruang lingkup tindakan bank (BCBS, 2010).

Selain itu, Basel III meningkatkan kebutuhan modal untuk aktivitas

pembiayaan surat berharga, perjanjian pembelian kembali dan risiko kredit

pihak lawan yang timbul dari derivatif. Lebih lagi kerangka kerja baru telah

merumuskan cara untuk mengurangi risiko sistemik dan efek siklus Basel II.
Misalnya, memperkenalkan penyangga modal countercyclical dan capital

convervation.

Basel III memberikan dampak signifikan pada sistem keuangan dan

ekonomi dunia. Implikasi bagi industri perbankan dari Basel III bisa sangat

besar. Menurut BCBS (BCBS, 2010) perubahan standar modal minimum yang

baru dikombinasikan dengan biaya modal yang lebih tinggi untuk trading book

membuat beberapa model bisnis kurang menguntungkan atau bahkan tidak

menguntungkan ke depan dan bank perlu memikirkan kembali strategi dan

portofolio bisnis mereka sehubungan dengan perubahan tersebut.

Potensi dampak Basel III terhadap sistem perbankan cukup signifikan.

Bank akan mengalami peningkatan tekanan pada Return on Equity (RoE)

karena meningkatnya likuiditas dan biaya modal. Secara khusus, Basel III

menciptakan insentif bagi bank untuk meningkatkan proses operasinya, tidak

hanya untuk memenuhi persyaratan tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi

dan menurunkan biaya (BCBS, 2010). Bank dipaksa untuk meningkatkan

capital buffer (modal penyangga) melalui peningkatan persyaratan kecukupan

modal, serta pengenalan persyaratan likuiditas dan langkah-langkah kehati-

hatian makro countercyclical (BCBS, 2010).

2.2 Teori Permodalan Bank

Teori permodalan bank ditemukan oleh W.L Megginson pada tahun

1997. Secara khusus, bank hanya akan memberikan pinjaman jangka pendek

yang dapat dengan mudah dicairkan atau likuid dengan pembayaran kembali
(secara mencicil) pinjaman tersebut. Pelunasan pinjaman ini dilakukan dengan

arus kas dari modal kerja (Hermina, 2014).

Modal kerja adalah sejumlah uang yang dibutuhkan bisnis untuk

membayar operasi bisnis sehari-hari. Memiliki modal kerja yang cukup akan

mendukung usaha.

Modal kerja berkaitan erat dengan profitabilitas. Profitabilitas adalah

kemampuan bisnis untuk menghasilkan keuntungan selama periode waktu

tertentu. Laba yang dihasilkan oleh usaha akan menjadi ukuran keberhasilan

atau kegagalan manajemen dalam menjalankan usaha, termasuk penggunaan

modal kerja. Modal kerja yang diatur dengan baik dapat meningkatkan

keuntungan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kinerja keuangan

perusahaan dalam kondisi yang baik (Susanti, Suhadak dan Azizah, 2017).

2.3 Liquidity Coverage Ratio (LCR)

Basel III menjelaskan bahwa Liquidity Coverage Ratio (LCR)

mengharuskan bank memiliki alat likuid berkualitas tinggi untuk memenuhi

kebutuhan likuiditas 30 hari. Jika jangka waktunya kurang dari 30 hari, bank

dapat mengalami tekanan likuiditas yang parah. Likuiditas coverage ratio

(LCR) memiliki batasan pada rasio risiko likuiditas jangka pendek bank

dengan aset likuid berkualitas tinggi. (Jane Gathigia Muriithi, 2017).

Menurut Rasidah Mohd Kata (2014), Liquidity Coverage Ratio (LCR)

adalah rasio alat likuid untuk memperkirakan arus kas dalam kondisi stres.

Standar ini mensyaratkan bahwa nilai rasio ini tidak kurang dari 100 bank
harus selalu memenuhi persyaratan ini. Tujuannya adalah untuk memastikan

ketahanan bank terhadap guncangan yang merugikan.

2.4 Net Stable Funding Ratio (NSFR)

Net Stable Funding Ratio (NSFR) didefinisikan oleh Basel III sebagai

jumlah yang tersedia sebagai pendanaan yang stabil relatif terhadap jumlah

yang diperlukan pada pendanaan yang stabil. Standar ini mensyaratkan jumlah

minimum dana yang diperkirakan akan stabil selama satu tahun berdasarkan

faktor-faktor risiko likuiditas seperti aset dan off-balance sheet eksposur

likuiditas. Rasio ini dimaksudkan untuk mempromosikan dana struktural

jangka panjang dari neraca bank, off-balance sheet eksposur dan kegiatan pasar

modal. rasio ini harus sama dengan minimal 100% secara terus-menerus (Jane

Gathigia Muriithi, 2017).

Menurut peraturan OJK No. 50/POJK.03/2017 Net Stable Funding

Ratio (NSFR) bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait sumber

pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank

mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka

memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan. Bank wajib

memelihara pendanaan stabil yang memadai yang dihitung dengan

menggunakan Net Stable Funding Ratio (NSFR) dan ditetapkan paling rendah

100% (seratus persen).


2.5 Penelitian Terdahulu (Literature Review)

2.5.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Judul dan Peneliti Rujukan Teori Hasil Penelitian

1. Market Power and The Menunjukkan pengaruh market


Bank Liquidity Risk: competition- power terhadap risiko likuiditas
Implementations of stability theory bank terbukti. Kekuatan pasar
Basel III using Net akan meningkatkan NSFR,
Stable Funding Ratio yang berarti semakin tinggi
Approaach kekuatan pasar, semakin baik
Fadli, dkk (2021) pengelolaan risiko likuiditas.
Penerapan Basel III melalui
pendekatan NSFR, pengukuran
terkini untuk risiko likuiditas
bank dan konsolidasi keuangan
untuk meningkatkan market
power dapat menjadi solusi
untuk mendorong likuiditas
perbankan.
2. Determinan Teori NSFR tidak berpengaruh
Profitabilitas Permodalan terhadap Profitabilitas
Perbankan Bank Buku Bank perbankan pada buku IV
IV Era Implementasi Indonesia. Saat perbankan
Penuh Regulasi Basel berada pada kondisi sehat dan
III Perbankan mempunyai kinerja baik yang
Indonesia diperlihatkan dari output rasio-
Gunawan (2021) rasio di atas threshold, hal
tersebut menunjukkan bahwa
regulasi Basel III cenderung
tidak memengaruhi
profitabilitas secara signifikan.
Kinerja keuangan perbankan
dalam mengelola
profitabilitasnya lebih
ditekankan pada kemampuan
dari manajemen dalam
mengelola efisiensi dari kualitas
asset secara hati-hati dan lebih
mengutamakan pada
tumbuhnya kualitas kredit yang
baik yang mampu menambah
aktiva dalam pengelolaan
prifitabilitas. Penerapan
implementasi Basel III pada
perbankan Buku IV
menunjukkan trend penurunan
profitabilitas dari tahun 2018 ke
tahun 2019. Hal ini terjadi
sebagai akibat adanya
kewajiban perbankan default
dalam pencadangan modal
kualitas tinggi dari asset
kemudian ditambah dengan
modal penyangga apabila
terjadi gejolak sebagai dampak
dari kondisi ekonomi
Sekuensi bank yang tidak
terencana dari rasio standar
likuiditas baru sehingga bank
dipaksa untuk mengurangi asset
yang likuid yang ada di neraca
saat kondisi stress berperan
dalam menurunkan kemampuan
profitabilitas.
3. Pengaruh Struktur Teori Rasio pendanaan memiliki
Pendanaan Terhadap Permodalan pengaruh terhadap risiko
Risiko Likuiditas Pada Bank likuiditas di perbankan
Sektor Perbankan Di Indonesia. Konsentrasi
Indonesia pendanaan dan stabilitas
Zahra dan Rizal struktur pendanaan memiliki
(2020) pengaruh yang signifikan
terhadap risiko likuiditas.
Pelaku pasar di sektor
perbankan harus prudent dalam
melakukan pendanaan.
4. Implementasi Basel III Teori NSFR memiliki pengaruh
Terhadap Kinerja Permodalan terhadap kinerja keuangan di
Keuangan Pada Bank Bank empat negara yang ada di
Di Negara ASEAN ASEAN yaitu negara Filipina,
Periode 2013 – 2017 Indonesia, Thailand dan
Trijayanti (2019) Singapura. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa NSFR
mempunyai pendanaan dari
pihak ketiga yang stabil, tetapi
tidak berpengaruh di negara
Malaysia dan Kamboja.
5. Implementasi Basel III 1. Teori NSFR memiliki pengaruh
Terhadap Kinerja Permodalan terhadap kinerja keuangan di
Keuangan Pada Bank Bank enam negara yang ada di
Di Negara ASEAN 2. Teori ASEAN yaitu negara Filifina,
Periode 2013 – 2017 Signaling Indonesia, Thailand, Singapura,
Lestari (2019) Malaysia dan Kamboja. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa
NSFR mempunyai pendanaan
dari pihak ketiga yang stabil.
6. Regulasi Pengelolaan Teori Kewajiban dalam pemenuhan
Likuiditas Bank Permodalan proporsi Net Stable Funding
melalui Kewajiban Bank Ratio (NSFR) dalam PJOK
Net Stable Funding (2017) merupakan salah satu
Ratio (NSFR) sebagai upaya untuk dapat mengelola
Upaya Menciptakan likuiditas Bank. Tujuan
Perbankan yang Sehat pemenuhan NSFR adalah untuk
Handayani dan menjaga tingkat kesehatan bank
Abubakar (2018) agar mampu bersaing.
Pemenuhan NSFR adalah
bagian pengawasan
mikroprudensial OJK dan
pengawasan makroprudensial
Bank Indonesia.
7. From Basel I to Basel Teori Salah satu fungsi terpenting dari
II to Basel III Permodalan sistem keuangan adalah
Shakdwipee and Bank membagi risiko yang sebagian
Mehta (2017) besar dilayani oleh sektor
perbankan. Bank meyakinkan
bahwa individu dan perusahaan
kepada siapa mereka
meminjamkan modal akan
mendapatkan cukup uang untuk
membayar kembali pinjaman
mereka. Basel III merupakan
tonggak penting dalam
pengembangan kebutuhan
modal yang seragam. Secara
khusus, penekanan Basel III
pada kualitas dan kuantitas
modal inti - dengan tujuan
utama memperkuat kebijakan
permodalan bank secara global -
adalah landasan utama kerangka
kerja tersebut. Selanjutnya,
dalam upaya untuk
memperbaiki kelemahan Basel I
dan Basel II, BCBS telah
merancang sistem yang
menggabungkan persyaratan
likuiditas serta sejumlah alat
makroprudensial yang
diarahkan pada pengurangan
risiko sistemik. Namun, tak satu
pun dari reformasi ini
diharapkan dapat dilaksanakan
dengan biaya murah. Modal
memang penting, tapi modal
juga mahal. Selama beberapa
tahun ke depan, regulator harus
selalu mempertimbangkan
biaya dan manfaat Basel III
pada setiap tahap implementasi
rezim baru. Pada saat yang
sama, bank di seluruh dunia
harus mengubah model bisnis
mereka ke berbagai tingkat agar
dapat berkembang di bawah
Basel III
8. Kerangka Basel III: Teori Memberikan representasi
The Net Stable Permodalan tentang rencana pengaturan
Funding Ratio (NSFR) Bank yang akan dilaksanakan oleh
OJK (2016) otoritas yang searah dengan
standar internasional. Dengan
demikian, kerangka ini
berdasarkan pada prinsip
kerangka Basel III: the Net
Stable Funding Ratio yang
diterbitkan oleh Basel
Committee on Banking
Supervision (BCBS) pada
Oktober 2014 dan Net Stable
Funding Ratio Disclosure
Standard yang diterbitkan pada
Juni 2015. Sebagai bagian dari
pengaturan prinsip kehati-
hatian dalam menjalankan
usaha perbankan, OJK
memandang perlu diakukan
langkah-langkah untuk
menyiapkan implementasi
kerangka NSFR dengan baik
agar sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan dan
berkontribusi positif dalam
perkembangan industri
perbankan Indonesia ke depan.
9 Bank Liquidity-Stress Teori Hasil penelitian menunjukkan
Testing and Basel III Permodalan bahwa sektor perbankan
Implementation in Bank Indonesia memiliki nilai yang
Indonesia luar biasa jika standar Basel III
Adam, dkk (2015) diterapkan di Indonesia. Bank
BCA memiliki nilai terendah
dengan skor 8,89 sedangkan
Bank BRI memiliki nilai
tertinggi dengan skor 9,68.
Studi ini menyimpulkan bahwa
aturan baku Basel III akan dapat
diterapkan di Indonesia.

10. Rigorous Capital Teori Sistem perbankan Turki yang


Requirements Under Permodalan tangguh mampu menyerap
Basel III Possible Bank goncangan selama tekanan
Impact On Turkey’s keuangan, berkat kerja luar
Financial Sector biasa BRSA, stabilitas politik
Taskinsoy (2013) selama satu dekade (pemerintah
satu partai sejak 2002) bersama
dengan peningkatan
kepercayaan investor global
memungkinkan Turki menjadi
ekonomi terbesar ke-16 di
dunia dengan PDB lebih dari $1
triliun. Pembuat kebijakan
perbankan Turki percaya
bahwa pengelolaan modal
berdasarkan ketentuan Basel III
akan berdampak kecil atau
tidak sama sekali pada sektor
perbankan Turki yang saat ini
memiliki modal rasio
kecukupan (CAR) sedikit di
atas 16%, yang secara
signifikan lebih tinggi dari
Basel III 10,5% yang berlaku
pada Januari 2019.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Peraturan Regulator

Penerapan Kebijakan Perbankan Setelah UU No. 9 Tahun 2016 Tentang

Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK)

Dorongan pemerintah dalam melakukan upaya perbaikan pada krisis

keuangan tahun 1997-1998 dan krisis keuangan global tahun 2008 menjadi

pengalaman dimana kelembagaan dilakukan penataan ulang, kebijakan yang

antisipatif menghadapi perkembangan ekonomi global serta dasar dan prinsip

pengawasan oleh sector jasa keuangan.

Berdasarkan UU PPKSK beserta aturan-aturan pelaksanaannya, maka

regulasi mengenai menyelamatkan bank yang gagal dalam operasionalnya

dibedakan menjadi:

1. Aturan perihal antisipasi krisis sistenm keuangan

2. Aturan perihal menangani krisis keuangan.

Mengacu pada dasar yang terdapat pada UU PPKSK, maka untuk dapat

melakukan penanganan dalam rangka penyelamatan bank yang gagal harus

melalui mekanisme bail in yang memiliki arti bahwa menangani masalah

likuiditas dan solvabilitas bank adalah dengan memanfaatkan sumber daya

yang terdapat di dalam bank itu sendiri yang berasal dari stockholder dan

kreditur bank, hasil penanganan asset dan kewajiban bank. Kebijakan bail in
ini searah dengan perkembangan praktik perbankan secara global dan

disesuaikan dengan rekomendasi dari Financial Stability Board (FSB).

Salah satu yang menjadi perhatian saat mengantisipasi krisis sistem

keuangan yaitu masalah dalam hal likuiditas bank. Risiko likuiditas akan sering

muncul saat terjadi krisis keuangan. Kemampuan dalam melakukan

perdagangan asset atau instrument keuangan dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan membentuk harga secara wajar merupakan tanda pasar yang likuid.

Kunci dari penciptaan perbankan yang sehat dan mampu bersaing

secara domestik dan global yaitu dengan melakukan pengelolaan likuiditas

bank, mengingat fungsi bank sangat penting dan dominan pada sistem

keuangan di Indonesia.

3.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Kewajiban Pemenuhan NSFR Bank dalam Rangka Pengelolaan

Likuiditas

Sangatlah penting untuk dilakukan pengelolaan risiko dalam perbankan.

Hal tersebut dapat memberi dampak pada kemampuan bank dalam

berkompetisi. Potensi risiko yang akan muncul dan menimbulkan kerugian

dapat ditekan apabila manajemen risiko mempunyai keahlian dan kompetensi

yang mencukupi. Kepentingan dalam mengelola risiko likuiditas bank

merupakan tindakan yang dilakukan untuk menjadikan kegiatan perbankan

yang sehat dan mampu bertahan dalam kondisi krisis. Bank harus menjaga dan

menaikkan tingkat kesehatan bank dengan selalu menerapkan prudential


banking principle (prinsip kehati-hatian) dan manajemen risiko dalam

melakukan kegiatan usahanya.

Risiko likuiditas merupakan salah satu risiko yang harus dilakukan

pengelolaannya dikarenakan risiko likuiditas adalah risiko sebagai akibat dari

kualitas asset likuid yang tinggi yang dapat dijaminkan dengan tidak

terganggunya aktivitas kondisi keuangan bank. Dengan demikian bank harus

mampu menjaga likuiditasnya untuk mencegah terjadinya kerugian sebagai

akibat terjadinya peristiwa yang dapat mengganggu kegiatan dan kondisi

keuangan bank.

Searah dengan perkembangan kebijakan secara global, maka OJK yang

merupakan salah satu lembaga pengawasan pemerintah di sektor keuangan,

merasa bahwa sangat diperlukan pengembangan standar dari pengukuran risiko

likuiditas dengan cara melakukan kewajiban pemenuhan proporsi pendanaan

stabil bersih (Net Stable Funding Ratio), yang ditujukan untuk menurunkan

risiko likuiditas yang dikaitkan dengan sumber pendanaan jangka panjang,

dimana bank disyaratkan untuk mendanai aktivitas dari sumber dana yang

stabil dan mencukupi sehingga dapat memitigasi risiko akan sulitnya

pendanaan di waktu yang akan datang. Mengacu hal tersebut, maka PJOK No.

50/PJOK.03/2017 Tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil

Bersih/Net Stable Funding Ratio Bagi Bank Umum (POJK NSFR)

diterbitkan oleh OJK dan tujuannya adalah untuk dapat menstabilkan

likuiditas bank.
Rehana (2016) menyatakan bahwa konsep likuiditas umumnya terdiri

dari tiga jenis yaitu likuiditas pendanaan, likuiditas pasar, dan penciptaan

likuiditas. NSFR diterbitkan dalam rangka mengatasi permasalahan likuiditas

pendanaan dengan melakukan pengurangan risiko pendanaan yang terjadi yang

disebabkan adanya ketidaksamaan antara asset dengan kewajiban. Dengan

mengacu pada PJOK NSFR, maka bank mempunyai kewajiban untuk memenuhi

NSFR agar dapat menurunkan risiko likuiditas yang berhubungan dengan

sumber pendanaan jangka panjang, dimana bank disyaratkan untuk melakukan

pendanaan aktivitasnya dari sumber dana yang stabil dan mencukupi. Dengan

memenuhi kewajiban NSFR, diharapkan bank dapat memelihara pendanaan

yang stabil terkait dengan proporsi asset dan aktivitas di luar neraca.

Kerangka Basel III yang diterbitkan Basel Committee on Banking

Supervision (Supervision, 2014) menegaskan bahwa struktur pendanaan bank

yang berkesinambungan ditujukan agar bank dapat mengurangi risiko yang

mungkin terjadi dan mengganggu sumber pendanaan regular bank yang dapat

menambah risiko kegagalan yang memiliki potensi memberi pengaruh sistemik

yang lebih luas.

Indikasi dari pemenuhan kewajiban pendanaan NSFR yaitu timbulnya

kewajiban bagi Bank Umum untuk memantau pemenuhan NSFR dan

memberikan laporan dari perhitungan NSFR secara individu maupun

konsolidasi kepada OJK. Tujuan utama kewajiban pemenuhan NSFR sebagai

salah satu alat pemantau likuiditas bank yaitu bank tidak diperkenankan lagi

lebih besar pengeluarannya dibandingkan pemasukannya dalam kerangka


likuiditas. Bank wajib mengumumkan dan mengungkapkan laporan NSFR yang

dibuat pada situs web masing-masing bank dengan posisi akhir triwulan laporan;

dan paling sedikit melalui surat kabar media cetak dengan Bahasa Indonesia.

Apabila bank tidak melakukan ketentuan ini maka akan diberlakukan dan

dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sampai dengan denda atau

sanksi administrative lainnya.

Salah satu upaya pengelolaan likuiditas dengan melakukan pemenuhan

kewajiban NSFR untuk bank umum tidak hanya terkait dengan hal-hal yang

dipersiapkan bank dari sudut pandang ekonomi saja, namun terkait erat juga

dengan kewajiban hukum Bank dalam melakukan penerapan prudential banking

principle dan penerapan tata kelola yang baik. Dengan memastikan pengelolaan

risiko likuiditas bank, NSFR juga merupakan hal utama dari pendekatan

dilakukannya pengawasan terhadap risiko pendanaan. Bank disyaratkan oleh

OJK untuk mengaplikasikan standar maupun persyaratan minimum yang lebih

baik dengan disesuaikan kepada profil risiko pendanaan dan hasil pengawasan

yang diperoleh atas kesesuaian penerapan manajemen risiko likuiditas bank.

Berdasarkan ketentuan Basel III tentang pengaturan pendanaan yang

stabil, dengan demikian ketentuan NSFR ini dapat dijadikan salah satu upaya

atau alat untuk mengukur risiko likuiditas yang dapat dipercaya mampu

mengatur dan mengantisipasi bank dalam kesulitan likuiditasnya di waktu yang

akan datang. Rehana (2016) menyatakan bahwa penerapan Basel III

memberikan dampak yang baik dan positif untuk perbankan Indonesia. Terkait

dengan hal tersebut, maka NSFR merupakan bentuk kemajuan baru dalam
kerangka Basel III yang diharapkan memberikan dampak positif terhadap

profitabilitas dan kinerja keuangan perbankan di Indonesia, sehingga bank-bank

memiliki struktur pendanaan yang stabil dan sehat agar terhindar dari kesulitan

dalam hal likuiditas.

Dalam penelitian Trijayanti (2019) dan Lestari (2019) juga didapatkan

bahwa perbankan di negara ASEAN yaitu diantaranya Filiphina, Indonesia,

Thailand dan Singapura bahwa NSFR mempunya pengaruh terhadap kinerja

perbankan dan dalam jangka Panjang pendaannya lebih stabil.

OJK sebagai regulator perbankan di Indonesia telah membuat peraturan

atas implementasi rekomendasi Basel III terkait dengan NSFR, walaupun

memang terdapat penundaan pelaksanaan, namun hal ini disebabkan oleh

pandemic Covid-19.

Adam (2015) menemukan bahwa sektor perbankan di Indonesia

mempunyai nilai yang bagus jika standar Basel III diterapkan. Hal ini

menunjukkan bahwa kesiapan bank di Indonesia atas standar baru Basel III telah

baik, hal ini akan memberikan angin positif pada perekonomian Indonesia

kedepannya.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Resolusi Basel III merupakan penyusunan kembali yang penting dalam

penyempurnaan perhitungan penyediaan kebutuhan modal bank, untuk lebih

tahan dan stabil dalam menghadapi goncangan ekonomi dan risiko yang dapat

timbul dalam operasional bank dimasa yang akan datang. Kajian ini telah

mengungkapkan bahwa sasaran pokok untuk memperkuat permodalan bank

dapat diterapkan, dan akan membuat bank lebih kuat dalam menghadapi

tantangan yang bisa terjadi kapan saja.

Basel III secara prinsip telah memperbaiki kelemahan Basel I dan Basel

II. Penggabungan persyaratan likuiditas serta sejumlah alat makroprudensial

yang diarahkan pada pengurangan risiko sistemik diharapkan akan menjadi

standar baru perbankan dalam mengelola risiko.

Namun, perubahan dan penguatan ini akan memerlukan biaya yang

tidak sedikit. Penguatan modal dan perbaikan likuiditas yang menjadi fokus

akan memegang peranan penting, dimana penambahan modal membutuhkan

komitmen baru dari pemegang saham dan investor.

Selama beberapa tahun ini, regulator terus berupaya melakukan

pemenuhan atas aturan Basel III secara bertahap, sehingga kedepannya

termasuk perbankan di Indonesia akan mampu memenuhi berbagai

persyaratan yang ditentukan oleh Basel III untuk meningkatkan kualitas

kesehatannya.Ketentuan Basel III merupakan pengaturan yang penting dalam


perbaikan penyediaan kebutuhan modal bank, untuk lebih tahan dan stabil

dalam menghadapi goncangan ekonomi dan risiko yang dapat timbul dalam

operasional bank dimasa yang akan datang. Penelitian ini telah menunjukkan

bahwa tujuan utama untuk memperkuat bantalan permodalan bank dapat

dijalankan, dan akan membuat bank lebih kuat dalam menghadapi tantangan

yang bisa terjadi kapan saja.

4.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih terbatas pada ketentuan Basel III yang terkait

dengan pemenuhan bank atas kebutuhan modal minimum. Fokusnya juga

hanya terkait dengan Pilar 1 mengenai Net Stable Funding Ratio (NSFR)

untuk menjaga risiko likuiditas.

4.3 Saran

Perbaikan pada penelitian selanjutnya masih sangat terbuka untuk

dilakukan. Ketentuan lain mengenai pilar 1, 2 dan 3 dalam Basel III masih

sangat luas untuk dilakukan kajian. Basel III diharapkan dapat meningkatkan

kinerja dan juga meningkatkan ketahanan perbankan dimasa krisis.


DAFTAR PUSTAKA

Adam, M., Taufik, T., & Prathama, M. A. E. (2015). Bank liquidity-stress testing
and Basel III implementation in Indonesia. Economic Journal of Emerging
Markets, 7(1), 12–23. https://doi.org/10.20885/ejem.vol7.iss1.art2
Akkizidis, Ioannis. , & Kalyvas, Lamvros. (2018). Final Basel III Modelling
Implementation, Impact and Implications. Switzerland : Palgrave MacMillan.
BI. (2012). Global Regulatory Framework for More resilient Banks and Banking
Systems. Consultative Paper Basel III, 3. https://www.bi.go.id/id/ruang-
media/info-terbaru/Pages/InfoTerbaru 2206.aspx
Fadli, J. A., Sakti, I. M., & Jumono, S. (2021). Market Power and Bank Liquidity
Risk: Implementations of Basel III using Net Stable Funding Ratio Approach.
Jurnal Keuangan Dan Perbankan, 25(2), 434–449.
https://doi.org/10.26905/jkdp.v25i2.5525
Ferreira, C., Jenkinson, N., & Wilson, C. (2019). From Basel I to Basel III. IMF
Working Papers, 19(127). https://doi.org/10.5089/9781498315227.001
Gregoriou, N Greg. (2009). Operational Risk Toward Basel III Best Practices and
Issues in Modeling, Regulation. New Jersey : 2009.
Gunawan, Arif. (2021). Determinan Profitabilitas Perbankan Bank Buku IV Era
Implementasi Penuh Regulasi Basel III Perbankan Indonesia. Jurnal Ilmiah
Indonesia, Syntax Literate. 6(6). http://dx.doi.org/10.36418/
syntaxliterate.v6i6.2325
Handayani, T., & Abubakar, L. (2018). Regulasi Pengelolaan Likuiditas Bank
melalui Kewajiban Penerapan Net Stable Funding Ratio (NSFR) sebagai
Upaya Menciptakan Perbankan yang Sehat. Varia Justicia, 14(1), 10–20.
https://doi.org/10.31603/variajusticia.v14i1.2039
Izzi, dkk. (2012). Basel III Credit Rating System. Newyork : Palgrave MacMillan.
Kurniawan, A. T., & Lestari, S. (2014). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Capital Adequacy Ratio ( Car ). Jp Journal & Proceeding, 4(1),
908–918. http://jp.feb.unsoed.ac.id/index.php/sca-1/article/view/727
Lestari, M Putri. (2019). Implementasi Basel III Terhadap Kinerja Keuangan Pada
Bank Di Negara ASEAN Periode 2013 – 2017. Skripsi. Surabaya : STIE
Perbanas.
Mirchandani, A., & Rathore, S. (2013). Basel III Implementation : Readiness of
Public Sector Banks in India Corresponding Author : Anita Mirchandani.
Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences, 4(6),
547–553.
Muriithin, J., & Waweru, . (2017). Liquidity Risk And Financial Performance Of
CommercialBanks In Kenya. InternationalJournal Of Economic And Finance,
3-19
OJK. (2016). Kerangka Basel III: The Net Stable Funding Ratio (NSFR).
Consultative Paper.
Nucu, A. E. (2011). The Challenges of Basel III for Romanian Banking System.
Applied Economics, XVIII(12), 59–70.
Putri, Y. A., & Sari, P. Y. (2019). Rasio Likuiditas dan NPL Terhadap Rasio
Kecukupan Modal Setelah Implementasi BASEL III. Edunomic Jurnal
Pendidikan Ekonomi, 7(1), 16. https://doi.org/10.33603/ejpe.v7i1.1876
Rehana, K. et. a. (2016). Impact of Net Stable Funding Ratio Regulations on Net
Interest Margin. A Multi-Country Comparative Analysis, Journal of
Accounting an Finance in Emerging Economics, 2(2), 101.
Shakdwipee, Pushpkant, and Masuma Mehta. (2017). From Basel I to Basel II to
Basel III. International Journal of New Technology and Research, vol. 3, no.
1.
Sbârcea, I. R. (2014). International Concerns for Evaluating and Preventing the
Bank Risks – Basel I Versus Basel II Versus Basel III. Procedia Economics
and Finance, 16(May), 336–341. https://doi.org/10.1016/s2212-
5671(14)00811-9
Smith, Martin. (2017). Handbook of Basel III Enhancing Bank Capital in Practice.
United Kingdom : John Willey & Son.
Solissa, D. N. (2018). Kesiapan Perbankan Syari’Ah Di Indonesia Dalam
Penerapan Liquidity Coverage Ratio Basel Iii. EkBis: Jurnal Ekonomi Dan
Bisnis, 1(2), 165. https://doi.org/10.14421/ekbis.2017.1.2.1025
Suryanto, D. A., Campuran, B., & Sementara, A. (2019). Pertumbuhan Kredit Di
Indonesia : Sebuah Analisis Kepatuhan Bank Terhadap Implementasi Basel
Accord I-Iii. Jurnal ASET (Akuntansi Riset), 11(2), 224–237.
Supervision, B. C. on B. (2014). Basel III : The Net Stable Ratio.
Taskinsoy, J. (2013). Rigorous Capital Requirements Under Basel III Possible
Impact on Turkey ’ S Financial Sector. 2(1), 29–59.
Trijayanti, Linda. (2019). Implementasi Basel III Terhadap Kinerja Keuangan Pada
Bank Di Negara ASEAN Periode 2013 – 2017. Skripsi. Surabaya : STIE
Perbanas.
Zahra, L. T. & N. A. R. (2020). Pengaruh Struktur Pendanaan Terhadap Risiko
Likuiditas Pada Sektor Perbankan Di Indonesia. E-Proceeding of
Management, 7(2), 2517–2525.
https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/managemen
t/article/download/12216/13236

Anda mungkin juga menyukai