Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam kehidupan seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari diri dari
bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek
kehidupannya termasuk kehidupan agamanya terutama dalam kehidupanekonomi. Juga tidak
bisa dipungkiri bahwa negara kita belum bisa lepas dari bank-bank konvensional yang
berorientasi pada bank-bank internasional dan tentunya menggunakan suku bunga dalam
berbagai transaksi, dan hingga saat ini pula masih banyak terjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama muslim tentang keharaman serta kehalalan riba itu sendiri.
Riba merupakan sebagian dari kegiatan ekonomi yang telah berkembang sejak zaman
jahiliyah hingga sekarang. Kehidupan masyarakat telah terbelenggu oleh sistem perkonomian
yang membiarkan praktek bunga berbunga. Sistem pinjam meminjam yang berlandaskan
bunga ini sangat menguntungkan kaum pemilik modal dan disisi lain telah menjerumuskan
kaum dhufa pada kemelaratan, hal ini secara keras ditentang atau dilarang oleh ajaran islam
yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Pada saat ini sebagian masyarakat masih menganggap bank (konvensional) sebagai solusi
untuk membantu memecahkan masalah perekonomiannya tetapi pada kenyataaannya bank
tidak membatu kepada masyarakat yang membutuhkannya tetapi malah mencekiknya atau
merugikannya dengan sistem bunga tersebut. Sehingga dari permasalahan tersebut muncullah
bank yang berlabel islam di sana tidak ada praktik bunga tetapi yang ada hanya sistem bagi
hasil.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas mengenai bunga dan riba. Apa yang
dimaksud dengan riba dan bunga? Macam-macam dari bunga dan riba, perbedaan antara
bunga dan riba, larangan riba, serta pendapat para ulama mengenai masalah bunga dan riba.
2. Rumusan Masalah
Membahas Larangan Riba
Membahas Larangan Gharar
Membahas Larangan Maysir
3. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian riba
Dapat mengetahui macam-macam riba
1 | Page

Dapat memahami larangan-larangan riba yang terdapat dalam Al Quran dan Al-

Hadist
Untuk mengetahui pengertian Gharar
Dapat memahami larangan-larangan Gharar yang terdapat dalam Al Quran dan Al-

Hadist
Untuk mengetahui pengertian Maysir
Dapat memahami larangan-larangan Maysir yang terdapat dalam Al Quran dan AlHadist

BAB II PEMBAHASAN
1. Pendekatan Totalitas Keuangan Islam

2 | Page

Upaya-upaya untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan keuangan


ekonomi islam dalam istilah-istilah analitas modern baru ditempuh dalam dua dekade terakhir
ini.Meskipun telah banyak sekali hasil penelitian dipublikasikan,namun masih terdapat
kebingungan (confusion) berkaitan dengan definisi yang tepat mengenai berbagai ilmu sosial
berkenaan dengan istilah Islamic,seperti dalam Islamic economics atau Islamic finance.
Alasan utama terjadinya kebingungan tersebut adalah kecenderungan untuk melihat berbagai
aspek sistem tersebut tidak dalam totalitasnya tetapi dalam kesendirian (in solation).
Misalnya, istilah Islamic finance sering dianggap semata terkait dengan suatu sisitem yang
melarang bunga(interest). Penggambaran secara sederhana seperti itu bukan saja tidak tepat,
tetapi bahkan makin menimbulkan kebingungan. Kita tidak mungkin mempelajari suatu aspek
atau bagian tertentu dari

sistem islam, misalnya mengenai sistem ekonominya, secara

terpisah tanpa memiliki pengetahuan

menyangkut kerangka kerja konseptual yang

merupakan bagian atau aspek tersebut (Iqbal & Mirakhor,2009:1-2).


Beranjak dari uaraian tersebut, di bawah ini di uraikan sekalipun tidak secara mendalam
pemahaman mengenai sifat islam sebagai agama dan pandangan islam mengenai ekonomi dan
keuangan islam. Tujuannya adalah agar pembaca dapat memahami dengan baik berbagai
Prinsip Syariah yang menjadi landasan atau fondasi bagi kegiatan usaha bank-bank syariah
secara totalitas dan tidak dalam kesendirian (in isolation). Artinya, sekalipun menurut Prinsip
Syariah suatu transaksi muamalah yang berdasarkan Prinsip Syariah dilarang dilakukan
dengan berbasis bunga (interes), yaitu karena bunga termasuk riba yang diharamkan
(dilarang) menurut Prinsip Syariah,tetapi perbankan Islam atau perbankan syariah harus
dipahami sebagai sistem perbankan yang bukan semata-mata melarang bunga. Terdapat
persepsi yang keliru di dalam masyrakat, termasuk masyarakat muslim sekalipun, bahwa
apabila suatu transaksi tidak berbasis bunga, maka transaksi itu sudah merupakan transaksi
yang berdasarkan Prinsip Syariah. Transaksi yang dilakukan oleh bank-bank syariah bukanlah
semata-mata transaksi yang tidak memungut atau membayar bunga, tetapi selain tidak
memungut atau membayar bunga juga harus memenuhi prinsip-prinsip syariah lainnya
sebagaimana prinsip-prinsip tersebut dijelaskan di dalam buku ini. Seperti dikemukakan oleh
Lee & Detta bahwa (Lee & Detta, 2007:15):
The Islamic financial system, therefore, cannot be introduced merely by eliminating
riba but only by adopting the Islamic principles of social justice and introducing laws,

3 | Page

practices, procedures and instruments which help in the maintenance and


dispensation of justice,equity,and fairness.
Perbankan Islam adalah sistem perbankan yang selain melarang bunga, juga merupakan
sistem perbankan yang harus menjauhi berbagai larangan seperti larangan melakukan
transaksi yang mengandung gharar (ketidakpastian), mengandung maysir (perjudian), dan
mentransaksikan objek yang dilarang, seperti daging babi, minuman keras, tembakau dan
pornografi. Disamping menjauhi larangan-larangan, perbankan syariah wajib melaksanakan
berbagai prinsip, yaitu prinsip keadilan, kesetaraan, kesukarelaan tanpa paksaan diantara
pihak yang bertransaksi, ketidaktamakan (mengambil untung yang sebesar-besarnya dari
suatu transaksi tanpa memperhatikan kepentingan mitra bisnisnya), musyawarah dalam
penyelesaian sengketa dan hal-hal lain.
Disamping itu, para pembaca buku ini dan anggota masyarakat yang terlibat dalam
berbagai transaksi perbankan syariah (transaksi muamalah) dengan memahami islam secara
benar akan memahami pula dengan baik bahwa dalam bertransaksi muamalah yang
berdasarkan prinsip syariah tujuan para pihak tidak boleh semata-mata untuk meraih
keuntungan tetapi juga harus bertujuan untuk memperoleh berkah (karunia Tuhan yang
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia) db ridha (perkenan) Allah SWT.Hanya
apabila dalam bertransaksi para pihak selain menghindarkan riba juga menjauhi laranganlarangan Allah lainnya dan melakukan perintah-perintah Allah seperti yang akan diuraikan
dalam buku ini,maka para pihak tersebut akan memperoleh berkah dan ridha Allah SWT.
2. Larangan Riba
2.1. Dampak Negatif Sistem Keuangan Berbasis Bunga
Muhammad Ayub, dalam bukunya yang berjudul Understanding Islamic Finance,telah
menuding bahwa skim dan konsep keuangan barat yang berdasarkan bunga sebagai penyebab
timbulnya permasalahan kemanusiaan di semua komunitas masyarakat dan banyak negara.
Konsep keuangan yang bernbasis bunga telah menimbulkan ketidakadilan (inequity).
Ketidakadilan (inequity) tersebut telah mengakibatkan banyak sekali orang, terutama di
negara-negara yang sedang berkembang (emerging/developing countries), baik negara-negara
islam maupun negara-negara non islam, dan bahkan juga negara-negara maju dan negaranegara industri,menghadapi nasib yang sama. Sistem keuangan yang berbasis bunga
merupakan penghalang terbesar bagi tercapainya keadilan yang merata. Sistem tersebut telah
4 | Page

mengakibatkan banyak hutang tidak terbayar, menciptakan hanya sekelompok orang kaya,
dan mengabaikan orang-orang lain menjadi semakin miskin dan tertindas.Dengan bahasanya
sendiri yang ditulis dalam bukunya itu,dikutip kata-kata Muhammad Ayub sebagai berikut
(Ayub,2007:4-5):
The grim situation briefly portrayed above is not limited to the poor or the least
delevoped countries in Africa,Asia,and other areas of the planet.Inequity has become the
hallmark and the most serious problem facing mankind in all societies.Masses of people
in almost all emerging/developing,Islamic and non- islamic,and even developed and
industrialized economics are facing the same fate.The interest-based financial system is a
major hurdle in achieving distributive justice.It is creating unrepayable debtmaking a
class of people richer and leaving others poorer and oppressed.
Excessive debt and its servicing are the striking features of the interest based
mechanism yesterdays debt can be repaid by taking out more debt today.It is not only
stifling economic growt but also crippling the efforts made by the World Ban,IMF and
other donors to reduce poverty in poor countries.It also distorts the payments system,on
account of which the concern for just and fair incomes and earnings is being accorded
the least consideration.No one cares who is going to pay the debt,which furure
generation and from where?This kind of behavour-avoiding the payment of currently
owed debt-is not acceptable under any divine relogion.In Islamic shariah,debt liability is
subject to strict accountability on the Day of Judgement.
The economic problem of underdeveloped countries(UDCs) have emanated largely from
their excessive debt accumulation.The cost incurred in the from of interest has to be paid
by successive goverment through increasing rates,taxes and charges on cunsumption
goods and utilities.For servicing the debts,governments raise taxes without providing any
socio-economic ameneties or quid pro quo.Their foregn exchange earnings,including
export proceeds and remittances of expantriates,are also consumed by debt servicing.
The has led to an ever-increasing share of risk-free capital,vis-a-vis risk based capital
and

business,resulting

in

business

failures,unemployment

and,untimately,gross

inequalities of income and wealth.It has exerted disastrous effects by reinforcing the
tendency towards unproductive and wasteful spending both by individuals and
governments,which the interest-based mechanism and easily available credit have the
5 | Page

tendency to promote,has led to a decline in savings,real investments and employment


opportunities.The system,combined with inflation,become a recipe for economic
instability and chaos.This affects the poor the level of national savings,leading the
economics into a vicious circle of poverty and gross injustice.
Tudingan Muhammad Ayub tersebut bukan hal baru,dan bukan hanya dia yang menuding
seperti itu.Sudah banyak ahli keuangan dan para ekonom yang berorientasi kepada ekonomi
kerakyatan yang merasakan dan berpendapat seperti yang dikemukakan oleh Muhammad
Ayub.Benar seperti yang dikatakan oleh Muhammad Ayub bahwa bukan hanya manusia di
banyak negara telah menderita akibat sistem keuangan berbasis bunga tersebut,tetapi juga
banyak negara miskin dan negara yang sedang berkembang yang merupakan negara-negara
pengutang menjadi semakin miskin.Negara-negara tersebut semakin tertimbun utang yang
makin lama makin besar jumlahnya akibat pembebanan bunga, namun sementara itu utang
yang telah diterima oleh negara-negara tersebut tidak sampai mencapai keberhasilan
mengentaskan rakyat negara-negara tersebut dari kemiskinan.
Berkenaan dengan sistem keuangan berbasis bunga yang telah menyengsarakan
kehidupan umat manusia itu, maka para ahli ekonomi mulai mencari-cari sisitem lain, apabila
perlu menciptakan sistem baru, yang tidak berbasis bunga. Dalam pencarian tersebut para ahli
ekonomi tertarik untuk menoleh pada sistem keuangan islam tersebut,yaitu sistem yang
disebut sistem keuangan yang berdasarkan Prinsip Syariah. Mereka berusaha memahami
sistem keuangan islam dan akhirnya berdasarkan keyakinan mereka bahwa sistem tersebut
merupakan sisitem keuangan yang baik, kemudian telah memulai menerapkan sistem tersebut.
Itu sebabnya mengapa sistem

keuangan islam yang berbasis Prinsip Syariah makin

digandrungi.
2.2.

Bunga dalam Ekonomi Islam


Ekonomi Islam yang didasarkan pada Prinsip Syariah tidak mengenal konsep bunga

karena menurut Islam bunga adalah riba yang haram (terlarang) hukumnya. Artinya,
bisnis dalam islam yang didasarkan pada Prinsip Syariah tidak mengenal pembebanan bunga
oleh pihak modal atau investor atau kreditur atas penggunaan uang yang dipinjamkan oleh
kreditur (pemilik modal atau investor) kepada debitur (peminjam uang). Konsep bunga adalah
konsep yang dipraktikkan dalam bisnis berdasarkan kapitalisme. Konsep bunga yang
diterapkan oleh kapitalisme tersebut tidak mempedulikan atau mempertimbangkan apakah
6 | Page

bisnis debitur mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian. Baik bisnis debitur
mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian, kreditur tetap saja menerima atau
sebaliknya debitur membayar bunga. Bahkan di hari-hari liburpun ketika bisnis secara resmi
dihentikan kegiatannya,bunga dihitung dan dibebankan terus oleh kreditur kepada debitur.
Dalam keadaan ekonomi makro mengalami krisis, baik secara nasional maupun global, tetap
tanpa ampun debitur berkewajiban membayar bunga kepada kreditur. Dengan lain perkataan,
kapitalisme tidak berdiri di atas norma-norma etika atau norma-norma tepo seliro atau
toleransi atau norma-norma perikemanusiaan.
Memang tidak selalu bunga ditetapkan tinggi oleh investor atau kreditur, misalnya oleh
bank. Penetapan tingkat bunga yang rendah akan dirasakan sangat membantu dan
menguntungkan bagi debitur hanya ketika bisnis debitur mengalami kemajuan. Namun ketika
bisnis debitur mengalami kegagalan dan tidak lagi dapat menjadi sumber untuk menghasilkan
uang bagi debitur untuk mencicil dan melunasi bunga dan pokok pinjamannya, maka bunga
rendah tersebut dapat berubah menjadi monster yang sangat menakutkan bagi debitur.
Menjadi lebih mengerikan lagi bila bunga tersebut dihitung secara berbunga-bunga
(compounded), yaitu terhadap bunga yang tertunggak dibebankan lagi bunga. Bila hal seperti
itu yang terjadi, maka setelah sekian lamanya sering jumlah keseluruhan bunga yang harus
dilunasi oleh debitur dapat berjumlah lebih besar daripada pokoknya. Sebagai mantan direktur
dari bank konvensional milik pemerintah,yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero), saya
mengetahui benar kekejaman bank konvensional yang berdasarkan perjanjian kredit
membebankan kewajiban bunga yang terakumulasi menjadi besar sekali melebihi pokok
pinjaman kepada debitur nasabah bank karena kredit nasabah tersebut mengalami kemacetan
sebagai akibat terpuruknya kegiatan usaha debitur.
Dalam syariah, imbalan dari modal (capital) tidak boleh berbentuk bunga (interest)
karena bunga dianggap riba yang hukumnya haram menurut syariah. Menurut syariah,
imbalan modal harus dalam bentuk keuntungan (profit). Oleh karena itu, modal tidak boleh
dipinjamkan kepada pihak lain kecuali dipinjamkan tanpa bunga. Modal dapat menghasilkan
bunga dalam bentuk bunga tetapi dalam bentuk keuntungan dengan cara menggunakan modal
tersebut untuk bertransaksi jual-beli (bai atau sale) antara pemillik nodal dengan pembeli.
Ashraf Usmani mengemukakan bahwa investasi dana berbasis bunga dapat menciptakan
monopoli, membuka keserakahan, ketidakadilan, dan penindasan oleh kreditur terhadap
7 | Page

debitur. Penipuan dan kecurangan marak didalam perdagangan dan bisnis (Ashraf
Usmani,t,th.:1).
Berhubungan dengan itu maka dapat dimengerti mengapa pada saat ini sebagian besar
ulama bersepakat bahwa bunga bank, baik ditetapkan rendah sekalipun adalah riba dan apa
dasar hukumnya menurut Al-Quran dan al-Hadits.
2.3.

Arti Harfiah dari Riba dan Larangan dalam Al-Quran dan al-Hadits
Arti harfiah dari riba ialah pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkak (swell),

bertambah

(increase),

dan

tambahan

(addition).

(Kmazarian,1993:49;lihat

pula

chapra,1985:56).
Tidak berlebihan kiranya apabila dikemukakan, terutama diperlukan bagi mereka yang
kurang memahami mengenai sumber-sumber hukum islam,bahwa sumber hukum islam yang
pertama dalah Al-Quran sementara itu apabila ketentuan mengenai masalah yang
bersangkutan tidak ada atau tidak jelas dalam al-quran, maka sumber hukum kedua yang
harus diacu adalah al-hadits. Apabila ternyata ketentuan mengenai hal itu tidak pula terdapat
atau tidak jelas dapat diketahui dari al-hadits, maka kaum muslim harus berijtihad. Artinya
memecahkan apa hukumnya mengenai masalah yang bersangkutan dengan menggunakan
akalnya. Ijtihad yang dianggap paling otoritatif adalah ijtihad yang diambil oleh sebagian
besar ulama (jumhur ulama).
2.4.

Larangan Riba dalam Al-Quran

Berdasarkan beberapa ayat dalam al-quran, terdapat konsensus diantara para ahli hukum
dan para ahli teologi muslim bahwa riba dilarang oleh islam (Kazarian,1993:48). Istilah riba
disebutkan dalam empat surah dalam al-quran yaitu surah al-Baqarah ayat 275, 276 dan ayat
278-280, surah Ali imran ayat 130, surah an-Nisa ayat 161, surah ar-Ruum ayat 39.
Surah-surah Al-Quran tersebut masing-masing menentukan mengenai larangan riba
sebagai berikut:
Orang-orang yang makan(mengambil)riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)penyakit gila.Keadaan mereka
yang demikian itu,adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
8 | Page

mengaharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari


Tuhannya, lalu terus berhenti(dari mengambil riba)maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu(sebelum datang larangan):dan urusannya(terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka:
mereka kekal didalamnya.(QS.al-Baqarah[2]:275).
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa.(QS.al-Baqarah[2]:276).
Hai orang-orang yang beriman,bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba(yang
belum dipungut)jika kamu oarang-orang yang beriman. (QS.al-Baqarah[2]:278).
Maka kamu tidak mengerjakan atau (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa
Allah dan rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba)
maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.QS.alBaqarah[2]:279).
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan.Dan

menyedekahkan

(sebagian

atau

semua

utang)itu,lebih

baik

bagimu,jika kamu mengetahui.QS.al-Baqarah[2]:280).


Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.Ali
Imran[3]:130).
Dan disebabkan mereka memakan riba,padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya,dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
(QS.an-Nisaa[4]:161)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia,maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,maka(yang berbuat
demikian)itulah orang-orang yang melipatgandakan(pahalanya).(QS.ar-Ruum[30]:39).
2.5.

Larangan Riba dalam al-Hadits


9 | Page

Beberapa Hadits Nabi juga mengemukakan mengenai larangan riba. Sebuah Hadits yang
diambil sebagai dasar para ulama untuk menerangkan riba adalah:
Dari Ubbadah katanyasaya mendengar Rasulullah SAW, melarang jual-beli (utang)
emas dengan emas,perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, kecuali sama dan seimbang. Barang siapa menambah atau meminta
tambahan, ia telah melakukan riba.
Hadits yang lain ialah yang diriwayatkan oleh Umar bin al-khattab: Rasulullah SAW
pernah bersabda, Emas dilunasi dengan emas itu riba, kecuali bila seimbang, gandum dengan
gandum juga riba, kecuali bila seimbang pula.
2.6.

Jenis-jenis Riba
Terdapat dua jenis riba,yaitu riba al-fadhl dan riba al-nasiah. Kedua jenis riba ini

tersebut keterangannya sebagaimana diuraikan dibawah ini.


Riba juga berarti kelebihan yang diperoleh atas pertukaran antara dua atau lebih barang
yang sejenis yang berlangsung di pasar. Misalnya, pertukaran gandum yang ditukarkan
dengan gandum yang lebih tinggi kualitasnya adalah melanggar hukum. Larangan ini
bertujuan untuk memastikan agar tidak akan digunakan tipu muslihat atau cara-cara yang
tidak sah sebagai jalan belakang bagi pemungutan riba berkaitan dengan transaksi yang
tertunda (Kazarian,1993:50). Riba yang demikian ini disebut riba al-fadhl (Chapra,1985:58).
Fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran barang yang sama jenisnya atau
bentuknya (Muslehuddin,1990:77). Islam melarang riba al-fadhl karena islam menginginkan
bukan hanya meniadakan eksploitasi berkaitan dengan lembaga bunga, tetapi juga yang
inheren dengan semua bentuk pertukaran yang tidak jujur dan tidak adil dalam transaksitransaksi bisnis (Chapra,1985:58). Pembahasan mengenai ribaal-fadhl telah muncul dari
adanya ketentuan al-hadits yang menghendaki apabila emas, perak, gandum, bariey (istilah
bahasa inggris). Barley diterjemahkan sebagai gerst (semacam gandum dipakai untuk
membuat bir) (Echols & Shadily, 1985:54), kurma dan garam dipertukarkan diantara barangbarang itu, maka barang-barang itu harus dipertukarkan seketika(tanpa penundaan) dan
dengan jumlah yang sama dan sejenis. Beberapa Hadits mengenai hal ini telah dikemukakan
diatas.

10 | P a g e

Jenis riba yang kedua adalah riba al-nasiah. Dilihat dari segi hukum, terdapat
perbedaan diantara riba al-nasiah dan riba al-fadhl. Riba al-nasiah terkait dengan tambahan
bayaran yang dibebankan dalam transaksi pinjaman, sedangkan riba al-fadhl terkait dengan
tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi penjualan. Riba al-nasiah dilarang oleh
Al-Quran dengan ayat-ayat yang jelas, sedangkan riba al-fadhl dilarang oleh Nabi SAW
dengan sunnah-nya (Muslehuddin,1990:77).
Menurut Ibnu Qaiyim, berdasarkan penggolongannya, riba al-nasiah adalah riba jali
atau riba yang nyata. Sementara itu, riba al-fadhl adalah riba khafi atau riba yang
tersembunyi (Muslehuddin,1990:77).
2.7.

Riba dalam Agama-agama Samawi selain Islam


Riba bukan saja dilarang oleh islam, tetapi juga dilarang oleh agama-agama samawi.

Setidaknya itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Dalam perjanjian lama larangan riba
dapat diketahui dari Leviticus 25:37, Deutronomy 23:19, Exodus 25:25, dan dalam
perjanjian baru dalam Luke 6:35 (PT.Bank Muamalat,1999). Sampai dengan abad ke-13,
ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja atau hukum
canon.Namun pada akhir abad ke-13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang
mulai kompromi dengan riba. Bacom, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse
Usury: karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia
enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia kan menerima suatu manfaat dari
pinjaman itu,maka bunga harus diperbolehkan. Secara perlahan tapi pasti larangan terhadap
riba di Eropa ditiadakan.Di Inggris,larangan itu dicabut pada tahun 1545, pada saat
pemerintah Raja Henry VIII. Pada zaman itulah istilah usury (riba) diganti dengan istilah
interest (bunga).
2.8.

Kontroversi Mengenai Bunga Bank


Penafsiran secara teknis dari pengertian riba menimbulkan masalah kontroversial diantara

para ahli hukum dan ilmuwan muslim. Kontroversi yang paling utama berkisar mengenai
masalah apakah islam melarang riba atau bunga (interest), ataukah islam melarang
pembebanan dan pembayaran dari kedua hal itu (Kazarian,1995:50). Terdapat tiga aliran
mengenai hal ini, yaitu aliran yang berpandangan pragmatis,aliran yang berpandangan
konservatif , dan aliran yang berpndangan sosio-ekonomis.
11 | P a g e

Timbulnya perbedaan poendapat mengenai ruang lingkup larangan riba muncul oleh
karena ayat tentang larangan riba di dalam Al-Quran diperkirakan turut menjelang
Rasulullah wafat.Beliau tidak sempat menjelaskan secara perinci tentang larangan riba
itu.Ketika bunga bank dikaitkan dengan larangan riba,dan oleh karena Rasulullah tidak pernah
membicarakan mengenai masalah bunga bank itu,maka hukum mengenai bunga bank harus
dipecahkan melalui ijtihad oleh para cendekiawan Muslim (Sumitro,1996:78).
Di bawah ini dijelaskan mengenai ketiga aliran atau pandangan tentang riba dan larangan
mengenai bunga bank dalam pandangan pragmatis, pandangan konservatif, dan
pandangan sosio-ekonomis.
a. Pandangan Pragmatis
Menurut pandangan yang pragmatis, Al-Quran melarang usury yang berlaku selama
sebelum era silam, tetapi tidak melarang bunga (interest) dalam sistem keuangan modern.
Pendapat ini didasarkan pada Al-Quran surah Ali Imran ayat 130, yang melarang
penggandaan pinjaman melalui proses yang usurious. Ayat ini mengemukakan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.Ali
Imran[3]:130)
Dengan demikian, menurut pandangan yang pragmatis, transaksi-transaksi yang
berdasarkan bunga dianggap sah, dan bunga menjadi dilarang secara hukum apabila jumlah
yang ditambahkan pada dana yang dipinjamkan itu luar biasa tingginya, yang bertujuan agar
pemberi pinjaman dapat mengeksploitasi penerima pinjaman. Kita mengenal di indonesia
pemungutan bunga yang luar biasa tingginya sehingga sangat mencekik leger dan dapat
memelaratkan kehidupan pinjamannya, yaitu pemungutan bunga oleh para lintah darat.
Lebih lanjut pandangan yang pragmatis itu berpendapat bahwa pembebanan bunga adalah
suatu kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara-negara muslim. Bunga dimaksudkan
untuk menggalakkan tabungan-tabungan dan mengarahkan modal untuk membiayai investasiinvestasi yang produktif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, penghapusan bunga akan
menghambat pembangunan ekonomi negara-negara Muslim, dan bahkan kebijakan untuk
menghapuskan bunga dari sistem keuangan akan bertentangan dengan semangat dan tujuantujuan Islam.
12 | P a g e

Kontroversi di antara para ahli Muslim mengenai penafsiran teknis dari riba berlangsung
sejak abad ke-18. Pandangan yang pragmatis berlaku selama paruh kedua dari abad ke-19
sampai permulaan abad ke-20. Pendapat ini telah diwakili oleh ulama-ulama terkamuka, di
antaranya adalah ulama-ulama yang menduduki jabatan syaikh/guru besar di Universitas AlAzhar adalah suatu universitas terkenal di Mesir, yang dianggap merupakan lembaga
pendidikan yang paling penting untuk ilmu hukum Islam bagi dunia Muslim. Para ahli hukum
Muslim yang mendukung diperkenankannya bunga bank adalah Muhammad Abduh, Rashid
Rida, Mahmud Shaltut, Abd. Al-Wahab al-Khallaf, dan Ibrahim Z.al-Badawi (Kazarian,
1995 : 51).
Di sekitar tahun 1903, hukum mengenai bunga yang dipungut oleh Tabungan Pos di
Mesir, telah dipersoalkan orang. Para ahli hukum Islam telah dituntut untuk mencurahkan
perhatian mereka guna menjawab masalah ini. Kontoversi antara yang menghalalkan dan
megharamkannya muncul. Beberapa tokoh tampil dengan menegaskan bahwa bunga
Tabungan Pos itu halal. Alasan yang dikemukan oleh Syaikh Mahmud Syaltut ( 1893
1963 ), yaitu seorang ulama besar Al-Azhar pada masanya, bahwa harta yang diserahkan oleh
penyimpanan dana bukan merupakan utang Tabungan Pos kepadanya. Ketika penyimpanan
dana menyerahkan uangnya di kantor Tabungan Pos, ia menyadari bahwa uangnya akan
digunakan untuk menghasilkan jasa/manfaat. Ia juga mengerti bahwa jasa Tabungan Pos yang
berupa pemutaran uang dalam bentuk perdagangan, dan jarang kalau bukan tidak ada,
terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut (zuhri, 1996:111). Mengenai pendapat Syaltut
itu, Zuhri mengemukakan bahwa tampaknya Syaltut berpendapat bahwa perdagangan yang
dilakukan oleh tabungan pos menitikberatkan pada adanya keuntungan kedua belah pihak,
yaitu penyimpanan dana dan penerima simpanan, kendati formula akadnya dapat
terperangkap dalam rumusan riba nasiah. Dalam hal ini, demikian lebih lanjut dikemukakan
oleh Zuhri, Syaltut mengartikan riba sebagai kegiatan ekonomi yang hanya mendatangkan
keuntungan sepihak dan kerugian bagi pihak lainnya (zuhri , 1996:112). Menurut Syaikh
Ali al-Khafif, muamalah dalam Tabungan Pos tidak termasuk kedalam riba (zuhri,
1996:112). Mengenai pendapat Syaikh Ali al-Khafif itu, zuhri berpendapat bahwa Syaikh
Ali al-Khafif melihat bahwa cara pembungaan dalam Tabungan Pos tersebut sesuai dengan
pembagian keuntungan dalam mudarabah (zuhri, 1996:112).

13 | P a g e

b. Pandangan Konservatif
Berlawanan dengan pandangan yang pragmatis, pandangan yang konservatif berpendapat
bahwa riba harus di artikan baik sebagai bunga (interest) maupun usury. Menurut pendapat
mereka, penafsiran yang demikian itu di dukung oleh Al-Quran, maupun oleh al-Hadits.
Setiap imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagi imbalan
(return) untuk pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba, dan oleh karena itu dilarang
oleh islam. Riba yang demikian ini disebut riba al-Nasiah (Kazarian,1993:50). Istilah
nasiah berasal dari kata dasar nasaa, yang berarti menunda atau menunggu yang mengacu
kepada waktu yang membolehkan penerima pinjaman membayar kembali pinjamannya yang
merupakan imbalan daritambahan atau Premium yang diberikannya (Chapra,1985:57).
Dengan kata lain,riba nasiah ialah imbalan yang diberikan oleh penerima pinjaman kepada
pemberi pinjaman karena penirima pinjamn telah diberi penundaan waktu untuk
mengembalikan pinjaman itu.
Chapra, yang merupakan penganut dari pandangan yang konservatif, dengan tegas
mengemukakan bahwa riba al-Nasiah mengacu pula kepada bunga pinjaman yang dikenal
didalam sistem perbankan modern (Chapra,1985:57). Menurutnya, adalah dalam pengertian
inilah istilah riba telah digunakan di dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 275. Chapra
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan apakah imbalan ditetapkan secara pasti atau
secara persentase terhadap pokok,atau ditetapkan suatu jumlah yang mutlak yang harus
dibayar dimuka atau pada waktu jatuh temponya, atau ditetapkan suatu pemberian atau jasa
yang diterima sebagai suatu syarat bagi pinjaman itu. Masalahnya adalah menyangkut
penetapan sebelumnya atas imbalan itu. Chapra mendalihkan bahwa menurut syariah,
penantian (selama waktu yang diberikan oleh pemberi pinjaman untuk penerima pinjaman
boleh membayar kembali pinjamannya, penulis) yang terkait didalam pembayaran kembali
suatu pinjaman tidaklah dengan sendirinya membenarkan adanya suatu imbalan yang positif
(keuntungan). Chapra memastikan bahwa secara mutlak tidak terdapat perbedaan diantara
semua aliran hukum islam bahwa riba al- nasiah adalah haram atau dilarang. Sifat larangan
itu tegas, mutlak, dan tidak dapat ditafsirkan lain (strict, absolute and unambigous). Tidak
dimungkinkan untuk memperdebatkan bahwa riba mengacu kepada usury dan bukan kepada
bunga, karena Nabi SAW melarang pengambilan, ang berupa pemberian, jasa, atau kebaikan
sebagai suatu syarat bagi pinjaman dimaksud sekalipun jumlah yang diambil itu sedikit, yang
dimaksudkan sebagai tambahan atas pokok pinjamn itu. Menurut Chapra, apabila imbalan
14 | P a g e

atas pokok pinjaman itu, baik itu imbalan yang positif atau negatif (kerugian) yang
bergantung pada hasil akhir dari bisnis yang bersangkutan, tidak dapat diketahui sebelumnya,
maka hal itu diperbolehkan asalkan imbalan itu dibagi sesuai dengan asas keadilan
sebagaimana ditentukan didalam syariah.
Dengan demikian, menurut interpretasi mengenai riba yang sempit, pemungutan dan
pembayaran bunga dilarang oleh islam tanpa memandang apakah tingkat bunga itu tinggi atau
rendah, tanpa memandang apakah dana itu akan digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau
konsumtif, dan tanpa memandang apakah pinjaman itu diperoleh oleh penerima pinjaman
swasta atau oleh pemerintah. Pembebanan riba dilarang baik oleh Al-Quran dan al-hadits,
sedangkan pembayaran bunga dilarang oleh al-Hadits saja (Kazarian,1993:50).
Selain dari segi hukum, alasan mengapa bunga dilarang tidak pernah diperdebatkan oleh
para ilmuwan muslim yang terdahulu. Banyak dari ilmuwan hukum yang ortodoks menolak
untuk memberikan pendapat intelektual mereka dalam rangka mendukung ketentuan islam
tersebut. Menurut Elias G.Kazarian, salah seorang ilmuwan, mengemukakan sebagai berikut
(Kazarian,1993:50):
Apabila sang pencipta sendiri telah melarang sesuatu, hal tersebut seyogyannya
merupakan pendapat intelektual yang paling tinggi dalam menunjang hal tersebut.
c. Pandangan Sosio-Ekonomis
Akhir-akhir ini, beberapa ilmuwan muslim dengan latar belakang pendidikan ekonomi
telah menawarkan sejumlah pendapat yang bersifat sosio-ekonomis (socio-economic) sebagai
alasan bagi larangan terhadap bunga. Pendapat yang terpenting mengemukakan bahwa bunga
mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan di tangan segelintir orang saja (baca pula
Ayub,2007:4-5). Pemasok dari dana yang berbunga itu seharusnya tidak tergantung pada
ketidakpastian yang dihadapi oleh penerima pinjaman. Pengalihan resiko dari satu pihak ke
pihak yang lain adalah melanggar hukum. Perjanjian yang demikian itu tidak adil dan dapat
menimbulkan rasa mementingkan diri sendiri saja (selfishness), yang bertentangan dengan
perintah islam mengenai persaudaraan. Menurut prinsip-prinsip keuangan islam, baik pemberi
pinjaman maupun penerima pinajaman harus menghadapi resiko atau mukhatara
(Kazarian,1993:51).

15 | P a g e

Pendapat lain mengenai larangan terhadap bunga dalah bahwa dalam kerangka ekonomi
islam, modal tidak merupakan suatu faktor produksi yang terpisah, tetapi merupakan bagian
dari faktor produksi yang terpisah,tetapi merupakan bagian dari faktor produksi yang lain,
yaitu perusahaan. Hal ini berarti bahwa mengambil keuntungan dari penyediaan modal tanpa
adanya keterlibatan pribadi terhadap resiko oleh pemilik dana (finance) tidak diinginkan oleh
islam. Lebih lanjut menurut islam,semua di dunia ini tergantung kepada hukum alam
mengenai penyusutan.semua uang harus susut setelah berjalannya waktu (Kazarian,1993:51).
d. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia,dalam Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI seIndonesia tentang Fatwa Bunga (Interest/Faidah)pada tanggal 22 syawwal 1424 H/16
Desember 2003 M,menetapkan bahwa bunga sama dengan riba,sehingga bunga haram
hukumnya. Keputusan ijma ulama tersebut berbunyi sebagai berikut:
1) Pengertian bunga (Interest) dan riba
Bunga (interest/faidah)adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman
uang

yang

diperhitungkan

dari

pokok

pinjamn

tanpa

mempertimbangkan

pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu dan diperhitungkan secara


pasti di muka berdasarkan persentase. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan
yang

terjadi

karena

penangguhan

dalam

pembayaran

yang

diperjanjikan

sebelumnya,inilah yang disebut riba nasiah.


2) Hukum Bunga (interest)
Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
zaman Rasulullah yakni riba nasiah. Dengan demikian,praktik pembungaan uang ini
termasuk salah satu bentuk riba,dan riba haram hukumnya. Praktik pembungaan ini
baik dilakukan oleh bank asuransi,pasar modal,pegadaian, koperasi dan lembaga
keuangan lainnya termasuk juga oleh individu.
3) Bermuamalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional
a) Untuk wilayah yang sudah ada kantor,jaringan lembaga keuangan syariah tidak
diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada kepentingan bunga.
b) Untuk wilayah yang belum ada jaringan keuangan syariah,diperbolehkan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional,berdasarkan
prinsip dharurat/hajat.
3. Larangan Gharar
3.1. Pengertian Gharar

16 | P a g e

Akad muamalah dilarang memperjanjikan hal yang keberadaanya tidak pasti. Artinya,
akad muamalah dilarang memperjanjikan sesuatu yang bersifat gharar dengan ancaman
kebatalan demi hukum atas akad tersebut. Gharar merupakan larangan utama kedua dalam
transaksi muamalah setelah riba.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No.10/16/PBI/2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam kegiatan penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah memberikan pengertian mengenai gharar sebagai transaksi yang objeknya tidak
jelas,tidak dimiliki,tidak diketahui keberdaannya,atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. Penjelasan Peraturan Bank Indonesia
tersebut kurang memadai untuk dapat memberikan pemahaman mengenai apa yang dimaksud
dengan gharar.
Gharar mengacu kepada ketidakpastian (uncertainty) atau hazard yang disebabkan
karena ketidakjelasan berkaitan dengan objek perjanjian atau harga objek yang diperjanjikan
di dalam akad. Setiap jual-beli atau akad/perjanjian yang mengandung unsur gharar adalah
dilarang.
3.2.

Contoh-Contoh Gharar
Imam Malik mendefinisikan gharar sebagai jual-beli objek yang belum ada dab

dengan demikian belum dapat diketahui kualitasnya oleh pembeli apakah kualitas barang itu
baik atau buruk; seperti jual-beli budak belian yang melarikan diri, atau jual-beli anak
binatang yang masih berada dalam kandungan induknya. Menurut Imam Malik,jual-beli
tersebut adalah jual beli yang haram karena mengandung unsur untung-untungan
(Ayub,2007:58).
Menurut Prinsip Syariah, komoditas yang diperjualbelikan harus diketahui dan
kuantitasnya harus dapat ditentukan oleh para pihak. Berdasarkan dengan itu,maka sejalan
dengan keterangan di atas, gharar terkait lebih kepada ketidakpastian (uncertainty)
daripada kepada risiko yang merupakan terminologi dagang. Ketidakpastian terkait dengan
eksistensi objek yang diperjanjikan,hak-hak atau manfaat dari para pihak terhadap
konsekuensi kontrak. Sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Hazim, terdapat gharar dalam
suatu jual-beli apabila pembeli tidak mengetahui apa yang dibelinya dan penjual tidak
mengetahui apa yang telah dijualnya. Mayoritas ahli hukum Islam berpendapat bahwa baik
17 | P a g e

ketidaktahuan (unknown) dan keraguan dari para pihak merupakan dasar untuk menentukan
apakah suatu transaksi bersifat gharar dan demikian dilarang untuk dilakukan.
Untuk menghindarkan ketidakpastian (uncertanty),menurut Muhammad Ayub hukum
islam melarang jual-beli dalam salah satu situasi berikut ini:
1. Barang-barang yang tidak eksis.
2. Barang-barang yang sudah eksis tetapi belum berada di dalam kekuasaan penjual atau
ketersediaan barang tersebut tidak dapat diharapkan.
3. Barang-barang yang dipertukarkan berdasarkan penyerahan dan pembayaran yang
tidak pasti.
Gharar e-kathir dan Gharar qalil

3.3.

Ketidakpastian (uncertainty) tidak mungkin dihindarkan sama sekali dalam bisnis.


Pengambilan resiko (risk-taking) merupakan kondisi yang harus dihadapi untuk memperoleh
keuntungan dalam bisnis. Masalahnya adalah sampai sejauh mana ketidakpastian yang
terdapat dalam suatu transaksi mengakibatkan transaksi teresbut dapat digolongkan dalam
transaksi yang haram. Muhammad Ayub mengemukakan belum ada definisi yang jelas
mengenai hal tersebut. Akhir-akhir ini para ilmuwan membedakan antara gharar-e-kathir
(ketidakpastian yang berlebihan) dan gharar qalil (ketidakpastian yang nominal) dan
menyatakan bahwa yang dilarang hanya transaksi-transaksi yang melibatkan ketidakpastian
yang berlebihan terkait dengan objek yang diperjanjikan dan harga yang disebutkan dalam
kontrak.
4. Larangan Maysir
4.1. Pengertian Maysir
Akad muamalah juga tidak boleh memperjanjikan maysir sebagai objek perjanjian
dengan ancaman bahwa akad yang demikian itu batal demi hukum. Menurut Penjelasan Pasal
2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No.10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, maysir adalah
transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untunguntungan. Identik dengan kata maysir adalah qimar.
Menurut Muhammad Ayub, baik maysir maupun qimar dimaksudkan sebagai permainan
untung-untungan (game of chance). Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan maysir
adalah perjudian (gembling dan wagering).
18 | P a g e

Istilah maysir digunakan dalam Al-Quran,yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 219 dan
surah al-Maaidah ayat 90-91. Sementara itu dalam buku-buku Hadits idisebutkan dengan
istilah qimar.
Dalam Al-Quran beberapa surah yang melarang maysir adalah:
Surah al-Maaidah ayat 90 :
Hai orang-orang yang beriman,sesungguhnya (meminum)khamar,berjudi,(berkorban
untuk)berhala,mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan.
Makajauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Surah al-Maaidah ayat 91 :
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebensian
diantar kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu,dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang;maka berhentilah kamu(dari mengerjakan pekerjaan itu).
Surah al-Baqarah ayat 219 :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:Pada keduanya terdapat
dosa berasal dari kata yusryang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaanya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah:yang lebih dari keoperluan. Demikianlah Allah menerangkjan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.
4.2.

Maysir dan Qimar


Menurut para ahli hukum islam, perbedaan antara maysir dan qimar dapat diterangkan

sebagai berikut: maysir berasal dari kata yusr, yang artinya menginginkan sesuatu yang
berharga dengan mudah tanpa harus membayar kompensasi yang seimbang (iwad) atau tanpa
bekerja untuk mendapatkan hal tersebut atau tanpa harus memikul tanggung jawab untuk
memperolehnya, dengan cara melakukan permainan untung-untungan (game og chance).
Sementara itu,qimar juga berarti menerima uang, manfaat atau hak yang halal atas beban
biaya atau kerugian pihak lainnya,yang untuk mendapatkan uang atau manfaat tersebut
dilakukan dengan cara untung-untungan.(Ayub,2007:61-62).
4.3.

Perbedaan Maysir dan Gharar


19 | P a g e

Saya sependapat dengan Muhammad Ayub bahwa perjudian (gambling) merupakan salah
satu bentuk gharar oleh karena sang penjudi tidak mengetajui apa hasil akhir dari perjudian
tersebut. Seseorang mempertaruhkan uangnya yang kemungkinannya dapat menghasilkan
uang banyak namun sebaliknya dapat kehilangan uang tersebut. Tidak mengherankan apabila
ada yang merancukan maysir dan gharar atau gharar dengan maysir. Maysir hanya terbatas
merujuk kepada pengertian perjudian (gambling),sedangkan gharar merujuk kepada
ketidakpastian (uncertainty). Dengan kata lain,gharar mengandung pengertian yang lebih luas
daripada maysir. Artinya maysir adalah salah satu bentuk dari gharar,tetapi ghrarar tidak
hanya berbentuk maysir.

Studi Kasus ( Undian Berhadiah )


Bank ABC yang beroperasikan konvensional memberikan hadiah undian mobil BMW
pada nasabah yang memiliki saldo minimal Rp 500.000,00. Sedangkan Bank XYZ
beroperasikan syariah juga ikut memberikan undian berhadiah bagi nasabahnya.
Definisi - Yang dimaksud undian berhadiah adalah undian yang dilaksanakan oleh
perusahaan barang atau jasa dengan tujuan menarik para pembeli dan melariskan dagangan
atau jasa yang mereka tawarkan dengan cara memberikan hadiah untuk para pemenang yang
ditentukan secara undian. Dalam hal ini tujuan bank memberikan hadiah atau undian memang
biasanya sebagai salah satu langkah promosi untuk menarik nasabah.
Hukum dan Beberapa Bentuk Undian Berhadiah
Hadiah itu pada dasarnya adalah halal dan mubah. Bahkan pada level tertentu bisa
menjadi sunnah. Sebab Rasulullah SAW telah bersabda, Saling bertukar hadiahlah kalian,
maka kalian akan tambah cinta. Namun yang namanya hadiah itu adalah akad yang tidak
mengharuskan ada imbalan. Ketika seseorang memberi hadiah, maka bukan untuk
mendapatkan suatu keinginan atau penebus sesuatu. Kalau untuk mendapatkan sesuatu,
namanya bukan hadiah tapi membeli atau membayar

Undian berhadiah tanpa menarik iuran dari peserta


Maksudnya kupon undian diberikan kepada peserta dengan cara cuma-cuma, maka

hukum undian ini dibolehkan syariat karena tidak ada dalil yang melarangnya dan juga gharar
yang terdapat dalam akad ini yang disebabkan ketidaktahuan peserta akan fisik hadiah yang
20 | P a g e

mereka terima tidak berdampak merusak akad. Karena gharar ini dalam akad hibah bukan
akad jual beli. Dan gharar dalam akad hibah seperti yang telah dijelaskan hukumnya mubah.

Undian berhadiah dengan membayar iuran,


Undian jenis ini diharamkan sekalipun jumlah iurannya sangat sedikit, karena ghararnya

nyata, dimana peserta membayar iuran yang kemungkinan ia mendapatkan hadiah sehingga
berlaba atau ia tidak mendapat apa-apa sehingga ia rugi, maka undian ini termasuk maysir.

Jika undian tersebut tidak menarik iuran secara khusus akan tetapi untuk dapat
mengikuti undian disyaratkan membeli barang
Seumpama kupon undian tertera pada majalah atau menempel pada suatu barang maka

hukum mengikuti undian ini dibolehkan karena keberadaan undian hanya sebagai pengikut
dalam akad. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa gharar yang hanya sebagai pengikut
dalam akad tidaklah diharamkan. Namun perlu diingat, jika pembeli membeli barang tersebut
dengan tujuan untuk mendapatkan kupon sedangkan ia tidak membutuhkan barangnya maka
hukumnya haram karena kupon dalam hal ini adalah tujuan pembelian dan bukan sebagai
pengikut.
Seperti pada jenis undian pada pusat perbelanjaan bahwa konsumen tujuan utamanya
adalah belanja dan ternyata mendapatkan kesempatan mengikuti undian, maka pada nasabah
bank pun berlaku demikian. Nasabah pada dasarnya menabung untuk menyimpan dana bukan
untuk mendapat kesempatan undian, maka jika dari saldo tabungan itu dia mendapatkan
kesempatan mengikuti undian, itu adalah hal yang melekat di dalamnya dan itu tidaklah
haram. Bank mengadakan undian atau hadiah biasanya adalah untuk menarik para nasabah
agar tertarik menabung di bank tersebut atau sebagai bentuk pelayanan terhadap nasabahnya.
Bila prinsipnya undian itu adalah hadiah yang diberikan pihak penyelenggara undian
yang sumber dananya dari penyelenggara tersebut, bukan dari iuran atau urunan para peserta
undian, maka bukan termasuk judi. Dana untuk hadiah diambilkan dari anggaran bidang
promosi penyelenggara itu, bukan dari setoran para peserta undian, maka ini bukanlah
perjudian. Tetapi merupakan taktik menggenjot angka penjualan. Hadiah atau undian di bank
konvensional berasal dari bagian bunga para nasabah sedangkan bank syariah berasal dari
bagi hasil antara nasabah dan bank itu sendiri. Bunga pada bank konvensional berasal dari
persentase bunga dari tabungan nasabah yang digunakan oleh bank bersama dengan tabungan
21 | P a g e

nasabah-nasabah lainnya adalah riba murni. Maka lebih baik untuk menghindarinya. Firman
Allah Ta'ala
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". (Al Baqarah: 278 -279).
Sedangkan hadiah dari bank syariah berasal dari bagi hasil yang dilaksanakan antara
bank dan nasabahnya. Pada dasarnya pemberian hadiah oleh bank syariah diperbolehkan
karena tidak mengandung riba dan nasabah tidak dirugikan atas pengadaan hadiah tersebut.
Menurut kaidah perbankan syariah, setiap investasi ataupun kegiatan perbankan ataupun
keuangan yang mengandung resiko tinggi tidak diperkenankan dalam kerangka hukum
syariah. Ada perbedaan mendasar antara judi dan pemberian hadiah sebagai dasar pemikiran
strategi pemberian hadiah pada nasabah.

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan
22 | P a g e

Perbankan Islam adalah sistem perbankan yang selain melarang bunga, juga
merupakan sistem perbankan yang harus menjauhi berbagai larangan seperti larangan
melakukan transaksi yang mengandung gharar (ketidakpastian), mengandung maysir
(perjudian), dan mentransaksikan objek yang dilarang, seperti daging babi, minuman

keras, tembakau dan pornografi.


Ekonomi Islam yang didasarkan pada Prinsip Syariah tidak mengenal konsep bunga
karena menurut Islan bunga adalah riba yang haram (terlarang) hukumnya. Artinya,
bisnis dalam islam yang didasarkan pada Prinsip Syariah tidak mengenal pembebanan
bunga oleh pihak modal atau investor atau kreditur atas penggunaan uang yang
dipinjamkan oleh kreditur (pemilik modal atau investor) kepada debitur (peminjam

uang).
Larangan riba disebutkan dalam empat surah dalam Al-Quran yaitu;
o Orang-orang yang makan(mengambil)riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)penyakit gila.Keadaan
mereka yang demikian itu,adalah disebabkan mereka berkata(berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengaharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan): dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu
adalah

penghuni-penghuni

neraka:

mereka

kekal

didalamnya.(QS.al-

Baqarah[2]:275).
o Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(QS.alBaqarah[2]:276).
o Hai orang-orang yang beriman,bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba(yang belum dipungut)jika kamu oarang-orang yang beriman.(QS.alBaqarah[2]:278).
o Maka kamu tidak mengerjakan atau (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu:kamu tidak menganiaya dan tidak
pula dianiaya.QS.al-Baqarah[2]:279).
o Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang)itu,lebih baik bagimu,jika kamu mengetahui.QS.al-Baqarah[2]:280).
23 | P a g e

o Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda

dan

bertakwalah

kamu

kepada

Allah

supaya

kamu

mendapat

keberuntungan.(QS.Ali Imran[3]:130).
o Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya,dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang
batil.Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih.(QS.an-Nisaa[4]:161)
o Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka

(yang

berbuat

demikian)itulah

orang-orang

yang

melipatgandakan(pahalanya).(QS.ar-Ruum[30]:39).
Terdapat dua jenis riba, yaitu riba al-fadhl dan riba al-nasiah
Akad muamalah dilarang memperjanjikan hal yang keberadaanya tidak pasti.
Artinya,akad muamalah dilarang memperjanjikan sesuatu yang bersifat gharar dengan

ancaman kebatalan demi hukum atas akad tersebut.


Menurut Muhammad Ayub,baik maysir maupun qimar dimaksudkan sebagai
permainan untung-untungan (game of chance). Dengan kata lain,yang dimaksudkan
dengan maysir adalah perjudian (gembling dan wagering).

2. Foto Kelompok

24 | P a g e

25 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai