Anda di halaman 1dari 13

Relevansi Hermeneutika dalam Penafsiran Ayat

Jihad QS. Al Hajj 39-40

ARTIKEL JURNAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“HERMENEUTIKA AL QUR’AN ”

Dosen Pengampu:
Dr. Wahidul Anam, M.Ag.

Oleh:
ABDUR ROHMAN
(22502001)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
Relevansi Hermeneutika dalam Penafsiran Ayat
Jihad QS. Al Hajj 39-40
Oleh : Abdurrohmam
Email : duroman21@gmail.com

Keywords : Abstract
Hermeneutik Penafsiran Al-Qur’an merupakan kegiatan para ulama’ yang sejak dahulu
Tafsir menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah keilmuan Islam.
Jihad Kegiatan itu berkembang dari yang awalnya menggunakan nukilan riwayat
(bi al-ma’tsur) hingga kemudian lebih banyak menggunakan ra’yu. Pada
tataran ini, para ulama tidak melepaskan sama sekali pemahaman historis
dari ayat yang ditafsirkan. Asbabun nuzul,
Makkiyah-Madaniyah, Nasikh-Mansukh merupakan komponen ulumul
Qur’an yang memperhatikan historis ayat.
Sebagaimana ulumul Qur’an klasik di atas, hermeneutika adalah metode
analisis terhadap teks yang konsep utamanya adalah dengan memperhatikan
konteks historisnya pada masa lalu untuk ditarik ke konteks saat
ini.Hermeneutika menjadi semakin ‘populer’ di kalangan akademisi, tidak
hanya dikaji sebagai metode analisis teks tetapi juga telah menjadi metode
yang diterapkan dalam meneliti teks. Beberapa cabang ilmu telah banyak
menggunakan analisis ini seperti sosiologi, antropologi, dan juga penelitan
teks yang lain.
maka dianggap penting untuk mengkaji hermenutika yang saat ini dalam
aplikasinya untuk menafsirkan Al- Qur’an berkembang semakin pesat,
termasuk di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai
hermeneutika dan penerapannya terhadap penafsiran Al-Qur’an dengan
konteks ke-Indonesia-an. Penulis membatasi masalah yang akan dibahas
dengan memusatkan pada sub-tema yang dianggap penting yang
berhubungan dengan hermeneutika dalam eksplorasi dan aplikasinya.
Article History : Received : Accepted :

A.Pendahuluan
Untuk membuktikan bahwa kandungan al-Qur‟an akan selalu relevan sepanjang zaman
(shȃlihun li kulli zamȃn wa makȃn), maka penafsiran al-Qur’an dituntut untuk mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat dengan berbagai
macam metode penafsiran yang berkembang saat ini, termasuk pendekatan kontekstual
dengan menggunakan metode hermeneutik historis. Teks al-Qur’an memang sudah selesai
dan tidak mengalami perubahan, namun kandungan maknanya akan selalu mengalami
2
perkembangan untuk bisa menjawab berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Berbagai
isu akan selalu muncul, seperti isu pluralisme agama yang sering menjadi bahan kajian
diskusimeskipun hasilnya masih terus menuai pro-kontra baik dikalangan pemikir
kontemporer maupun klasik.

B.Pembahasan
Hermeneutika
Hermeneutika secara etimologis diambil dari bahasa Yunani hermeneuin yang artinya
adalah menjelaskan. Kata hermeneuin diambil dari nama Hermes, yang merupakan
makhluk mitologi Yunani yang memiliki peran sebagai perantara pesan Tuhan kepada
manusia. Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman
Hermeneutik dan bahasa Inggris Hermeneutics.1

Adapun secara terminologis, hermeneutika didefiniskan sebagai sebuah istilah secara


beragam dan bertingkat oleh Hans Georg Gadamer dalam artikelnya ‚Classical and
Philoshophical Hemeneutics‛. Menurutnya sebelum menjadi sebuah displin keilmuan, kata
tersebut dia definisikan dengan mengatakan: Hermeneutika adalah seni praktis, takne
techne, yang digunakan dalam hal-hal seperti berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain,
menerangkan dan menjelaskan teks. Dan sebagai dasar dari semua kegiatan itu adalah seni
memahami, sebuah senikhusus yang dibutuhkan ketika makna teks itu tidak jelas.2

Berangkat dari makna yang diungkapkan oleh Gadamer, Friedrich Shleiernacher


mengartikan hermeneutika dengan seni memahami secara benar bahasa orang lain,
khususnya bahasa tulis. Menurut Gadamer, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Franz
Peter Burkard hermeneutika modern tidak hanya diartikan sebagai seni menafsirkan,
melainkan lebih dari itu ia menjelma sebagai disiplin ilmu yang merupakan refleksi teoritis
tentang metode-metode dan syarat-syarat pemahaman. 3 Sedangkan mengenai tingkatan
definisi hermeneutika dapat kita lihat dalam pemaparan Ben Vedder dalam bukunya Was ist

1 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea
Press, 2017), 13
2 Lihat Hans Georg Gadamer, ‚Classical and Philosophical Hermeneutics,‛ Dalam Theory, Culture and
Society(London: SAGE, 2006), vol. 23, 29
3 Lihat Franz-Peter Burkard, ‚Hermeneutik,‛ dalam Peter Prechtl dan Franz-Peter Burkarrd Metsler philosophie
Lexikon (Stuttgart: Metzler, 1999), 231
3
Hermeneutik?.4 Dalam buknya tersebut Vedder membedakan empat terma yang saling
terkait sebagai berikut:

Pertama, Hermeneuse (act of interpreting; aktifitas atau praktek menafsirkan dan


karya tafsir) adalah penjelasan atau interpretasi sebuah teks, karya seni atau perilaku
seseorang. dari pengetian tersebut dapat diketahui bahwa istilah itu merujuk pada aktivitas
penafsiran terhadap obyek-obyek tertentu seperti teks, simbol-simbol seni dan perilaku
manusia. Jadi istilah tersbut tidak terkait dengan metode-metode, syarat-syarat dan hal-hal
yang melandasi penafsiran.

Kedua, Hermeneutik (Hermeneutika). Menurut Vedder hermeneutik adalah teknik


menguak kesatuan makna teks. Istilah ini memiliki definisi regulasi, aturan, metode,
strategi atau langkah penafsiran. Yang termasuk dalam kategori hermeneutika adalah
misalnya, pemikiran-pemikiran J. Dannhaueser dalam bukunya Hermeneutica sarca sive
methodus exponendarum sacrarum literarum, yang memuat teori-teori dan prinsip-
prinsip penafsiran. Selain itu ada juga Shleiermacher yang tertarik dengan permasalahan
bahagaimana seseorang menafsirkan teks secara benar dan obyektif. Selain mereka berdua
ada lagi Grant R Osborne dengan buku Hermeneutical Spiral juga bisa digolongkan dalam
karya hermeneutik, karena di dalamnya dibahas teori, metode dan strategi penafsiran
dengan sangat detail.

Ketiga, Philocophisce Hermeneutik (Hermeneutika Filosofis). Hermeneutika


filosofis tidak lagi membicarakan metode penafsiran tertentu sebagai obyek pembahasan.
Hermeneutika filosofis, menurut Jung, lebih banyak berbicara mengenai jalan masuk ke
realitas dan kondisi-kondisi penafsiran. Istilah ini mengarah pada kondisi-kondisi
kemungkinan yang dengannya seseorang dapat memahami dan menafsirkan sebuah teks,
simbol atau perilaku.

Keempat, Hermeneutiche Philosophie (Filsafat Hermeneutis). Ia adalah bagian dari


pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab masalah dalam kehidupan manusia
dengan cara menafsirkan apa yang diterima oleh kehidupan manusia dari sejarah dan
tradisi. Manusia sendiri dipandang sebagai ‘makhluk hermeneutis, dalam arti makhluk yang
harus memahami dirinya. jadi hermeneutika ini terkait dengan hal-hal seperti epistemologi,
ontologi, etika dan estetika.

4 Tentang Ben Vedder, ‚Was Its Hermeneutik? Ein Weg von der Textdeutung zur Interpretation der
Wirklichkeit‛. dalam Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan…, 15
4
Sebagai kesimpulan, secara epistemologis, hermeneutika dalam pengertian sempit
adalah dispilin yang membahas metode-metode yang tepat untuk memahami dan
menafsirkan hal-hal yang perlu difsirkan. Sedangkan dalam pengertian luas, yang
mencakup empat macam tingkatan hermeneutika di atas, adalah cabang ilmu pengetahuan
yang membahas hakekat, metode, dan landasan filosofi dalam kegiatan penafsiran.

Menurut Sahiron Syamsuddin, sebagai contoh dari pengertian-pengertian di atas,


maka dalam tradisi Islam telah banyak lahir karya yang termasuk dalam hemeneuse dan
hermeneutika. Kitab-kitab tafsir seperti Ja>mi’ al-Baya>n karya Ibnu Jariri Ath-Thabari,
Mafa>t ih al-Ghai>b karya Fakhr Ad-Din Ar-Razi, dan Tafsir Al- Qur’an karya
Quraish Shihab adalah beberapa contoh produk Hermeneuse. Termasuk juga kitab-kitab
syarah Hadist seperti Subul as-Sala>m yang merupakan syarah haditshadist yang
dikumpulkan oleh Al-Asqalani dalam Bulu>gh al Mara>m.5
Adapun karya-karya yang di dalamnya memuat regulasi dan metode penafsiran maka
ia termasuk dalam kategori hermeneutika (dalam arti sempit). Hal ini seperti kitab-kitab
ulu>mul Qur’a>n antara lain sebagaimana Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al- Qur’a> n karya
Jalal ad-Din As-Suyuthi, Al-Burha>n fi> ‘Ulu> m al-Qur’a>n katya Az- Zarkasyi
dan Maba>hits fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya Shubhi Shalih. Juga kitab-kitab ushul
fiqh sepeti Al-Mustasyfa karya Abu Hamid Al-Ghazali dan al-Muwafaqa>t karya
Asy-Syathibi.6

Yang masih jarang ditemui dalam tradisi Islam saat ini adalah karya-karya yang
memuat apa yang disebut dengan philosophical hermeneutics dan hermeneutical
philosophy. Hal ini tidak terlepas mengenai bagaimana hermeneutika dipandang sebagai
tradisi kritik Bibel yang berusaha melepaskan sakralitas Bibel sendiri. Ketika
hermeneutika sebagai pengertian dalam tingkat filsafat hermeneutika, maka mejadikan
penafsir harus meminjam sudut pandang author of text-nya. Jadi Al- Qur’an ketika harus
melalui filasafat hermeneutika ini, melalui nalar epistemologis misalnya, maka kita harus
menggunakan pertanyaan; bagaimana author—yang dalam hal ini adalah Allah—
mendapatkan dan mentrasmisikan teks. Dan dapat dipastikan kita tidak dapat menjawab
pertanyaan filosofis yang transendental tersebut.

5
Ibid., 19
6

Ibid. 23
5
Potensi Hermeneutika dalam Pengembangan Tafsir Al-Qur’an
Meskipun hingga saat ini masih terjadi perdebatan mengenai penggunaan hermeneutika
dalam penafsiran Al-Qur’an, namun disini akan dipaparkan sebagian poin potensi relevansi
antara hermeneutika dari tokoh tertentu dan pengembangan kajian Al-Qur’an.

F. Schleiermacher
Pemikiran hermeneutika yang dikembangkannya dapat dipetakan ke kedalam; hermeneutika
gramatikal dan hermeneutika psikologis.

Hermeneutika Gramatikal adalah penafsiran yang didasarkan pada analisa bahasa. Prinsip
dan kaedah linguistik yang harus dipegang antara lain:

i. Seorang penafsir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh pengarang. Tentu saja
seorang mufassir harus mengerti dan memahami bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an,
yakni bahasa Arab, termasuk aturan dan kaedah gramatikal di dalamnya seperti nahw
dan sharf.

ii. Dalam proses penafsiran seorang mufassir harus melakukan analisa sitagmatis. Artinya
ketika seorang mufassir menafsirkan satu kata dalam ayat Al-Qur’an maka ia harus
memperhatikan kata-kata yang ada di sekelilingnya. Prinsip ini sangat bermanfaat untuk
penafsiran ayat- ayat Al-Qur’an dimana terdapat banyak kata-kata yang memiliki lebih
dari satu arti (musytarak al-ma’a>ni). Dalam upaya mencermati hal semacam itu,
karya-karya yang muncul dalam tradisi Islam adalah sebagai apa yang dibahasakan
dengan al-asybah wa an-nazha>’ir.

iii. Dalam proses penafsiran seorang mufassir harus memperhatikan hubungan antara
bagian-bagian dan kesluruhan. Prinsip ini sangat penting dalam penafsiran Al-Qur’an.
Dengan prinsip tersebut artinya seorang mufassir dalam proses pemahaman maksud
ayat maka harus memahami masing-masing arti kata didalamnya. Dan ayat atau
sekumpulan ayat dapat dipahami dengan memperhatikan kesulurahan pesan Al-Qur’an.
Prinsip ini dapat dikatakan sebagai perhatian terhadap konteks tekstual, dan hal ini
sangat membantu dalam proses penafsiran.

6
H.-G. Gadamer
Teori-teori Gadamer dalam hermenetika subjektifis telah dipaparkan dalam
penjelasan terdahulu. Maka dari teori-teori tersebut akan ada beberapa poin relevansi dalam
kaitannya dengan penafsiran Al-Qur’an.

a) Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah


Sejarah tradisi tidak membentuk jurang yang menganga, dan justru terjalin
kesinambungan. Oleh karena, pengetahuan merupakan hasil dari pengalaman yang
merupakan bentukan dari tradisi. Kaitan teori ini dengan penafsiran Al-Qur’an, adalah
bahwa seorang mufassir haruslah berhati-hati dalam menafsirkan teks dan menghindari
penafsiran dengan kehendaknya yang berasal dari keterpangaruhannya oleh sejarah baik
pengetahuan, pengalaman dan apa yang dirasakan semata. Dan hal ini tentu sangat
bermanfaat dalam proses penafsiran Al-Qur’an untuk mendapatkan penafsiran yang sesuai.
Hal ini bersesuaian dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad agar menghindari
‚man fassara al-Qur’a>n bi ghairi ‘ilm ‛, dalam artian jangan sampai kita menjadi orang
yang menafsirkan tanpa ilmu.

b) Teori Fusion of Horizons (Asimilasi Horison-horison)


Gadamer menegaskan bahwa dalam prose penafsiran terdapat dua horison utama;
horison teks dan horison penafsir. Kedua horison itu harurs diperhatikan dan
diasimilasikan oleh penafsir. Horison teks hanya dapat diketahui dengan
memperhatikan atau analisa apa yang disebut oleh Amin AlKhulli dengan ma> fi an-
nash (apa yang ada di dalam teks) dan ma> h}aula annash (sesuatu yang melingkupi
teks). Analisa terhadap ma> fi an-nash dapat dilakukan dengan analisis kebahasaan.
Sedangkan analisis terhadap ma> h}aula an-nash dapat dilakukan dengan melihat
asbab an-nuzul, baik makro maupun mikro.
c) Teori Aplikasi (Anwendung)

Setelah mufassir menemukan makna yang dimaksud secara kontekstual teks tersebut
muncul, maka mufassir melakukan reinterpretasi dan pengembangan penafsiran serta
aktualisasi dengan memperhatikan relevasinya dengan makna asal. Maka dalam hal ini
dalam tradisi Islam, Al- Ghazali mengungkapnya adanya ma’na zhahir dan ma’na
bathin. Atau ma’na dan maghza yang disebutkan Nashr Hamid Abu Zayd. Tentu saja

7
teori ini dapat diaplikasikan dalam penafsiran dan menjadi pengembangan ulumul
Qur’an yang siginifikan.

Relevansi Hermeneutika dalam Ayat Jihad QS. Al Hajj Ayat 29-40


Gejolak politik negara-negara dunia saat ini sedang menjadi isu internasional yang
aktual. Gejolak itu dikolaborasi dengan kebangkitan kembali gerakan ‘jihadis’ yang menjalar
di wilayah-wilayah negera mayoritas muslim, yang bahkan gerakan itu memiliki mimpi besar
mewujudkan kepemimpinan khilafah. Tidak dapat dipungkiri aroma jihad ini juga tercium di
Indonesia. Sementara Islam dengan pesan moral yang utama mengajarkan dan menekankan
pentingnya perdamaian.
Dalam contoh aplikasi penafsiran hermeneutis ini akan diangkat penafsiran tentang
ayat-ayat perang, dimana ayat-ayat itu—tidak jarang disalah-artikan dan disalah-pahami, dan
bahkan—menjadi alat legitimasi gerakan jihad, hingga jihad yang beraroma perebutan
kekuasaan di kancah internasional.

Penafsiran QS. Al-Hajj ayat 39-40

1. Konteks Historis Ayat

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena


Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung
halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan
Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa,‛

8
Ayat tersebut tergolong ayat Madaniyyah (diturunkan pada masa setelah Nabi
hijrah ke Madinah). Ath-Thabari menafsirkan ayat 29 dengan: ‚Tuhan mengizinkan kaum
mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik karena mereka menindas kaum mukmin
dengan menyerang mereka.‛6 Az-Zamakhsyari mengugkapkan bahwa kaum musyrik
Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi Muhammad dan menyakiti
beliau pula, tetapi Nabi Muhammad mengatakan kepada pengikutnya: ‚Sabarlah! Aku
belum diperintahkan untuk pergi berperang‛. 7 Ar-Ra>zi juga memberikan penjelasan
yang sama.35

Ath-Thabari mengutip pernyataan Ibnu Zayd yang manyatakan bahwa kebolehan


perang diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya bersabar terhadap perlakuan kaum
musyrik selama sepuluh tahun.36 Az-Zamakhsyari dan Ar-Ra>zi menegaskan bahwa
perang baru diizinkan dalam ayat yang turun, setelah diturukan tujuh puluh ayat yang
melarangnya.8

Dalam sejarah Islam, peperangan besar pertama yang terjadi antara kaum
mukmin dan kaum musyrik Makkah terjadi pada tahun 2 Hijriyah, yakni perang Badar
yang setelah hijrah ke Madinah. Dan ayat perang tersebut turun setelah memang tidak ada
jalan keluar lain untuk mengatasi kaum Musyrik Mekkah yang telah banyak melakukan
tindak kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Upaya bertahan
dengan bersabar dan membiarkan kaum musyrik telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap
melakukan tekanan dan serangan.
2. Analisis Bahasa

Dua ayat ini terdiri dari rangkaian idiom sebagai kunci pemaknaan, yang
menunjukkan situasi yang dapat menyebabkan diizinkannya berperang. Dan beberapa kata
menunjukkan makna yang memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Adapun urainya sebagai berikut.

6 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<>y al-Qur’a>n, (Kairo:
Hajar, 2001), Juz 16, 571.
7 Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasysya>f, (Kairo: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 199 .
35
Fakhr Ad-Di>n Ar-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 23, 40. 36 Ath-Thabari, Ja>mi’ al-
Baya>n, 575.
8 Az-Zamakhsyari, al-Kasysya>f, Juz 4, 199; Ar-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghaib, Juz 23, 40.
9
a.) Potongan ayat ini diartikan dengan: Telah diizinkan (berperang) bagi orang- orang
yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Di dalamnya terdapat
dua kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu ‚udzina‛ dan ‚zhulimu‛. Mengenai kata
udzina ia adalah bentuk pasif (mabni majhul) yang artinya diizinkan, sedangkan
bentuk aktifnya (mabni ma’lum) adalah adzina yang artinya mengizinkan. Ibnu
Mandzu>r menyebutkan kata adzina lahu fi asy-syai’ artinya sama dengan
abahahu lahu (seseroang membolehkan sesuatu kepada orang lain.9 Dengan bentuk
udzina menunjukkan bahwa perang hanyalah sesuatu yang diperbolehkan, dalam
artian lebih baik dihindari dan tidak harus menempuh jalan perang.
Sedangkan li al-ladzina yuqataluna (bagi mereka yang diperangi) dan biannahum
zhulimu (karena mereka ditindas), menunjukkan bahwa diperbolehkannya jalan
perang adalah ketika dalam kondisi penindasan. Dalam hal makna penindasan secara
konteks historis masa Nabi Muhammad, maka kita harus melihat rekam sejarah
bagaimana yang dialami olehnya dan para pengikutnya. Dan kita tidak bisa menrapkan
makna penindasan ini secara general. Secara implikasi hukum, ayat yang terdapat
struktur udzina lebih rendah kadar perintahnya dari pada ayat yang memuat perintah
langsung seperti qatil (berperanglah/perangilah) dalam surat Al-Baqarah ayat 190, Ali
Imran ayat 167, An-Nisa’ ayat 76 dan sejenisnya, dan infiru (berangkatlah untuk
berperang) seperti yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 38, 41. Namun ayat-ayat
yang mengandung bentuk perintah tersebut tidak seharusnya menjadi pemahaman
utama untuk berperang, akan tetapi bahwa bentuk perintah ini turun setelah diizinkan
(udzina) sebagai yang pertama turun dalam ‘kebolehan’ berperang.

b). Penggalan ayat tersebut diterjemahkan dengan: ‚ (yaitu) orang-orang yang telah
diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". Izin untuk berperang diberikan
dengan kondisi bahwa ketidak-adilan dan penindasan yang dilakukan terhadap orang
mukmin adalah yang hingga kaum musyrik Makkah mengusir mereka dari tanah
kelahiran tanpa alasan yang dapat diterima. Itu ditunjukkan pada bagian alladzi

9 Ibnu Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r Al-Ma’arif, tt.), 52


10
ukhriju min diya>rihim bi-ghairi haqq. Lanjutan dari potongan kalimat itu, illa an
yaqulu rabbuna Allah yang menunjukkan adalah bahwa kaum Mukmin diusir dari
sana karena perbedaan keyakinan dimana orang mukmin hanya mengakui Allah
sebagai Tuhan. Kaum musyrik Makkah memaksa setiap orang untuk mengikuti
kepercayaan politeisme mereka. Dan orang yang tidak menerimanya maka akan
mereka tekan dan mereka tindas.

c). Arti dari potongan ayat tersebut : dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-
biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-
masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Az-Zamakhsyari menafsirkannya dengan menyatakan: ‚Allah memberikan kekuatan
kepada kaum Muslim lebih daripada kaum kafir untuk berperang. Jika tidak, maka
kaum kafir akan menyerang pengikut agama lain pada masa itu, merebut tempat-tempat
ibadah mereka dan kemudian merusaknya. Mereka tidak akan membiarkan gereja dan
baira umat Kristen, sinagog kaum Yahudi dan masjid umat Islam.‛ 10 Ini menunjukkan
pelawanan yang dilakukan oleh kaum muslim terhadap kaum musyrik dalam semangat
melindungi kedamaian pemeluk agama-agama, termasuk agama selain Islam.

3. Pesan Utama Ayat


Ayat tersebut harus dipahami konsteks historis dan tekstualnya agar dapat
diperoleh pemahaman yang tepat. Bagian-bagian utama dalam penggalan- penggalan
ayat diatas menunjukkan beberapa maksud dan pesan utama ayat tersebut, yang
seharusnya bersesuaian maksud keseluruhan AlQur’an, dan Islam sebagai agama yang
menekankan pentingnya perdamaian dan kesetaraan, dan kebebasan beragama.

a) Penghapusan Penindasan
Penindasan dalam bahasa Arab diartikan dengan zhulm yang secara leksikal kata ini
bermakna wadh’ asy-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada

10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysya>f…,
199.
40
Ibnu Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab, 31.
11
tempatnya).40 Dalam Al-Qur’an, kata ini merujuk pada tindakan yang menyalahi
hukum dan aturan Allah. Sedangkan kata zhulm sendiri digunakan untuk menyifati
perbuatan syirik dengan ‚zhulm azhim‛. Arti lain dari zhulm adalah tindakan yang
dapat menyakiti orang lain. Apa yang dilakukan oleh kamu musyrik Makkah dengan
mengusir kamm mukmin merupakan tidakan zhulm. Dan kaum mukmin dalam
kondisi sebagai yang terzhalimi kemudian ‘diizinkan’ untuk melakukan perlawanan
dengan solusi terakhir perang.

b) Penegakan Kebebasan Beragama


Di dalam ayat 256 surat Al-Baqarah disebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam
agama. Izin melakukan peperangan pada waktu itu diberikan dalam rangka
menegakkan kebebasan beragama. Dimana saat itu kaum musyrik Makkah
melakukan penindasan terhadap setiap orang yang menolak keyakinan politeisme
mereka.

c) Penegakan Perdamaian
Meskipun perang merupakan jalan yang ditempuh oleh kaum muslim saat itu
mewujudkan perdamaian, akan tetapi ia bukanlah satu- satunya jalan. Penegakan
perdamaian merupakan salah satu pesan utama dari pembolehan melakukan perang.
Sikap Nabi Muhammad dan kaum muslim di Madinah. yang satu itu hidup
berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani, menunjukkan sikap damai yang
dicontohkan oleh Rasulullah. Maka atas dasar nilai-nilai dari Rasulullah ini, maka
ayat perang dalam QS. Al-Hajj ayat 39-40 tersebut seharusnya yang diambil bukanlah
perangnya, akan tetapi pesan utamanya yakni penegakan perdamaian.

C. Penutup
Bahwa hermenutika diperdebatkan penggunaannya dalam penafsiran Al-Qur’an
bukanlah suatu yang menghalangi mufassir abad ini untuk terus menggali relevansinya.
Hermeneutika sebagai tradisi kritik Bible dalam sejarah awalnya, menjadi embrio penting
perkembangnnya hingga ia menjadi metode penafsiran yang menyuarakan kebenaran. Dan
tidak ada yang salah ketika intelektual Islam mengembangkannya, dengan mengadopsi teori
dan metode analisis teks yang relevan untuk diterapkan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.

12
Pertimbangan antara konteks tekstual dan konteks historis ayat perlu diperhatikan
dalam proses penafsiran. Sehingga apa yang ditemukan sebagai maghza (pesan utama)
suatu ayat dapat berkesinambungan dengan konteks tekstualnya. Beberapa tafsir yang ada,
dalam hal ini tafsir maudhu’I dilihat dari beberapa kasus, melupakan kritik konteks histori
dari segi runtutan turunnya ayat ( tarti>b nuzu>l i). Satu ayat yang jadikan objek
kajian terkadang dipisahkan dari kaitannya dengan ayat lain yang satu tema. Dan hal ini
melahirkan pemahaman yang salah terhadap ayat yang ditafsirkan.

Dalam memahami ayat perang kaum fundamentalis melewatkan pesan-pesan utama


yang dikandungnya; (1) penghapusan penindasan, (2) penegakan kebebasan beragama, dan
(3) penegakan perdamaian. Oleh karenanya ayat itu mereka gunakan untuk melegalkan aksi
‘jihad’ yang mereka lakukan, yang bisa jadi karena didukung oleh kesalahan mereka dalam
pemahaman ayat tersebut atau karena memang ayat tersebut sengaja disalah-gunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, Nasr Hamid, Isyka>liya>t at-Ta’wi>ll wa Aliya>t al-Qira>’ah, Kairo:


al-Markaz al- Tsaqafi, tt.

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, I, Jakarta: Gramedia, 1981.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta:


Kalimedia, 2015.

Gadamer, Hans Georg, ‚Classical and Philosophical Hermeneutics,‛ Dalam Theory,


Culture and Society, London: SAGE, 2006, vol. 23.

Grodin, Jean,Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media, 2010.

Hanafi, Hasan, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, Yogyakarta:


Prisma, 2003.

Hardiman, F. Budi, ‚Ilmu-ilmu sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-


Modernisme,‛ dalam Jurnal Ulumul Quran Vol. 5 (1994).

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka,
1985.

Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:


Pesantren Nawasea Press, 2017.

Zamakhsyari (Az), Mahmud ibn Umar, Al-Kasysya>f, Kairo: Maktabah al-‘Abikan, 1998.
13

Anda mungkin juga menyukai