Anda di halaman 1dari 25

TAFSIR TARBAWI:

Stunami dan likuivasi dalam al-Qur’an


Siti, Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah dalam al-Qur’an
Email·(anissabau@gmail.com)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian bencana likuifaksi dalam
perspektif Al-Qur’an dan Sains, karena para pakar ilmu bumi menyatakan bahwa bumi ini
terbagi menjadi lempeng-lempeng (plate) tektonik, yang saling bergerak dengan kecepatan 5-10
cm/tahun. Di Indonesia terdapat 3 lempeng besar yang saling berinteraksi, yaitu lempeng
Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Interaksi ini menghasilkan serangkaian gunung api aktif
yang dikenal dengan “Ring of Fire” (cincin api). Peristiwa ini menyebabkan gempa bumi yang
memiliki kekuatan guncangan yang sangat dahsyat, sehingga menyebabkan perubahan struktur
tanah. Kondisi tanah yang padat menjadi lunak sehingga tidak mampu menahan beban benda
yang berada di atas permukaan tanah tersebut, oleh para ilmuwan sains peristiwa ini dinamakan
likuifaksi.

Beberapa kajian pustaka yang ditemukan, sebagian besar membahas bencana likuifaksi
secara umum atau dari sisi sains, sedangkan dalam disertasi ini penulis menganalisis dan
mendeskripsikan bencana likuifaksi dalam kajian Al-Qur’an. Kajian Al-Qur’an inilah yang
menjadi perbedaan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Kata kunci: likuifaksi, sains dan Al-Qur’an

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian bencana likuifaksi dalam
perspektif Al-Qur’an dan Sains, karena para pakar ilmu bumi menyatakan bahwa bumi ini
terbagi menjadi lempeng-lempeng (plate) tektonik, yang saling bergerak dengan kecepatan 5-10
cm/tahun. Di Indonesia terdapat 3 lempeng besar yang saling berinteraksi, yaitu lempeng
Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Interaksi ini menghasilkan serangkaian gunung api aktif
yang dikenal dengan “Ring of Fire” (cincin api). Peristiwa ini menyebabkan gempa bumi yang
memiliki kekuatan guncangan yang sangat dahsyat, sehingga menyebabkan perubahan struktur
tanah. Kondisi tanah yang padat menjadi lunak sehingga tidak mampu menahan beban benda
yang berada di atas permukaan tanah tersebut, oleh para ilmuwan sains peristiwa ini dinamakan
likuifaksi.

Beberapa kajian pustaka yang ditemukan, sebagian besar membahas bencana likuifaksi
secara umum atau dari sisi sains, sedangkan dalam disertasi ini penulis menganalisis dan
mendeskripsikan bencana likuifaksi dalam kajian Al-Qur’an. Kajian Al-Qur’an inilah yang
menjadi perbedaan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Kata kunci: likuifaksi, sains dan Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diyakini memiliki kebenaran


mutlak. Kemutlakan kebenaran Al-Qur’an bisa diamati melalui sisi otentisitas
ayat yang diturunkan, bahasa yang digunakan, sampai materi yang
dikandungnya. Materi yang terdapat pada redaksi ayat-ayat Al-Qur’an di
antaranya berisi tentang sejarah peristiwa terdahulu, kemukjizatan para
Nabi, gaya dan diksi bahasa, sastra, ilmu pengetahuan dan lainnya Semua
yang ada di dalam Al-Qur’an menjadi sesuatu yang mutlak dan harus
diimani oleh setiap muslim karena ini merupakan kebenaran yang berasal
dari Allah Swt. Namun demikian, manusia dituntut dalam Al-Qur’an untuk
selalu dan senantiasa menggunakan akal untuk melihat tanda-tanda
kebesaran dan kebenaran Allah. Salah satu yang menarik dalam kajian
tafsir adalah menghubungkan kesesuaian ayat dalam Al-Qur’an, karena
mempunyai kandungan atau isi ilmu pengetahuan yang membahas tentang
fenomena alam sehingga mampu mendapatkan perhatian dari kalangan
sainstis modern.

Ayat Al-Qur’an banyak yang menceritakan tentang fenomena alam,


seperti fenomena gunung sebagai pasak bumi (QS. An-Naba [78]: 7), gempa
bumi (QS. Al-Ankabut [29]: 37), pembenaman bumi (QS. Al-Qashas [28]: 81),
penciptaan langit dan bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 164). Semua fenomena
alam tersebut, mendapatkan perhatian khusus dari kalangan saintis modern
yang dianggap sebagai fenomena alam yang masih menyimpan rahasia
besar sehingga para saintis modern meneliti dengan seksama fenomena
tersebut

Hasil dari penelitian dan kajian yang dilakukan oleh kalangan saintis
modern tentu mendapat legitimasi ilmiah karena dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip utama dalam ilmu pengetahuan yang menekankan pada
metode ilmiah. Kajian mereka atas peristiwa alam sering dipublikasikan
dalam bentuk buku atau jurnal bereputasi yang memiliki tingkat keilmiahan
tertinggi dan bergengsi. Sementara itu, ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an
yang berisi tentang fenomena alam, para ulama menjelaskannya dengan
bersandarkan pada kemampuan nalar mereka dalam memahami firman
Allah dengan melalui metode rasional (bi al-ra’yi) dan berdasarkan kutipan
dari khazanah Islam seperti ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw (bi al-
ma’tsur) dan pendapat ulama (qawl al-‘ulama’)

Pengamatan sekilas tentang metode yang digunakan oleh mufasir dan


saintis tentang fenomena alam terkesan berbeda dan akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda. Namun akan dilihat sebaliknya, bahwa banyak
kesesuaian yang dapat dilihat dari kesimpulan antara keduanya ketika
memandang tentang fenomena alam yang terjadi pada kehidupan sehari-
hari. Hal ini dikarenakan manusia berusaha menemukan berbagai
pendekatan dalam upaya untuk menemukan pemahaman yang tepat
dalam menyingkap fenomena alam. Baik para mufasir maupun saintis

tentang fenomena alam terkesan berbeda dan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Namun akan dilihat sebaliknya, bahwa banyak kesesuaian yang dapat dilihat dari kesimpulan
antara keduanya ketika memandang tentang fenomena alam yang terjadi pada kehidupan sehari-
hari. Hal ini dikarenakan manusia berusaha menemukan berbagai pendekatan dalam upaya untuk
menemukan pemahaman yang tepat dalam menyingkap fenomena alam. Baik para mufasir
maupun saintis sama-sama melakukan pengamatan langsung terhadap fenomena alam kemudian
dielaborasi dengan penemuan-penemuan lain yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
Salah satu fenomena yang menarik untuk dibicarakan adalah munculnya musibah atau serentetan
musibah yang kemunculannya diduga-duga erat kaitannya dengan manusia. Baik dalam sisi
teologis maupun sains, hal ini menjelaskan adanya hubungan kausalitas antara manusia dan
alam, tidak hanya itu melainkan terdapat adanya hubungan antara Tuhan, alam dan manusia itu
sendiri. Bencana yang terjadi seakan buah dari sebuah hubungan, baik itu hubungan antara
Tuhan dengan alam, alam dengan manusia, manusia dengan tuhan, dan manusia dengan
manusia. Musibah yang terjadi disini mengindikasikan kearah adanya musibah yang tidak
berhubungan dengan manusia dan ada musibah yang berhubungan dengan manusia

Bila dicermati dengan seksama, bahwa perintah untuk terus belajar dan mendapatkan
berbagai ilmu pengetahuan telah Allah Swt perintahkan di dalam Al-Qur’an:
‫م ر بك الز ي خلق خلق اال نسا ن من علق اقر ا ور بك اال كر م الز ي علم با‬
‫لقلم ال نسا ن ما لم يءلم‬

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al Alaq [96]: 1-5)

Kata Iqra’ memiliki makna membaca yang tersirat maupun yang tersurat, menganalisis serta
memberikan pemahaman untuk membaca berupa teks tertulis ataupun isyarat. Secara umum kata
Iqra tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya
membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Namun, dalam hal ini memahami Iqra’ untuk membaca diri sendiri, alam,
lingkungan dan hal lain yang berkaitan dengan ke-Maha Besaran Allah Swt, termasuk setiap
peristiwa yang terjadi di muka bumi ini. Dengan banyak bermuhasabah, maka akan terbentuk
akal yang sempurna dan juga kecerdasan emosional untuk bisa mengenal diri sendiri, Sang
Khalik dan alam. Dari terbentuknya kecerdasan emosional yang baik dan seimbang, maka akan
memiliki kecerdasan spiritual yang baik pula dan hal ini akan menyebabkan kecerdasan
interpersonal yang lebih kuat.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika kemudian Husein Nasr (lahir 1933 M)
menyatakan bahwa dalam perspektif Islam, sebenarnya akalah yang memelihara manusia
sehingga ia mengarah pada jalan yang lurus. Namun perlu dikemukakan bahwa dalam Islam,
penggunaan akal tidak memiliki kebebasan mutlak. Sebagaimana yang dikedepankan oleh
Harun Nasution (L. 23 September 1919/w. 18 September 1998 M) bahwa dalam berpikir akal
harus dikendalikan dengan baik agar tidak terjadi independensi, hal ini bertujuan agar ilmuwan
Islam tetap berada pada jalur yang sudah disepakati yaitu yang berpedoman kapada Al-Qur’an
dan Hadis dan sebaliknya ia tidak pula dipasung atau diikat secara ketat agar pemikiran Islam
tetap dapat berkembang tanpa keluar dari ajaran Islam yang esensial. Dengan situasi seperti itu
maka Djohan Efendi menyatakan bahwa Al-Qur’an itu hendaknya dibedah dan ditelaah secara
kritis, dikupas dan dicarik secara serius dengan menggunakan sarana ilmu pengetahuan modern
yang berkembang dewasa ini. Jangan dibiarkan Al-Qur’an hanya untuk dibaca dan dihafal
namun kering makna penalaran, gersang ide dan inspirasi, miskin perspektif dan alternatif.
Hal ini sudah bukan rahasia lagi bagi umat manusia, bahwa mukjizat ilmiah yang
terkandung dalam Al-Qur’an seperti mata air yang tidak pernah kering. Karena ilmu sains
(ilmiah) bersifat dinamis, setiap saat selalu muncul dengan penemuan-penemuan baru dan
ketetapan ilmiah yang sebenarnya sudah ada sejak 14 abad lalu di dalam Al-Qur’an. Oleh karena
itu kajian yang bersifat ilmiah selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dan
observasi ini selalu berusaha mengungkap hakikat keilmiahan dan rahasia alam yang terdapat di
alam semesta ini, yang disandingkan dengan pengungkapan ayat-ayat kauniyah.
Seperti pendapat Syaikh Thanthawi Jauhari yang dikutip oleh Agus Purwanto (lahir 1964),
menjelaskan terdapat ± 750 ayat kauniyah di dalam Al-Qur’an, yaitu ayat-ayat yang membahas
tentang alam semesta dan hanya 150 ayat yang membahas fiqh. Namun, para ulama lebih banyak
membahas tentang fiqh namun sangat sedikit yang membahas tentang alam raya dan isinya.
Sedangkan menurut Muhammad Ahmad al-Ghamrawi tak kurang terdapat 800 ayat-ayat
kauniyah dan menurut Zaghlul al-Najjar ada 1000 ayat yang tegas (shorih) tentang ayat
kauniyah, hal inipun disampaikan oleh Abdus Salam, bahwa ayat kauniyah berjumlah ± 750.

Untuk mempelajari dan bisa mengungkap segala fenomena alam, maka kita dituntut untuk
menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bidang tersebut. Sebagaimana Allah Swt berfirman

)melintasi( ‫يمءشر الجن واال نس ان استطءتم ان تنفزوا من اقطا ر السمو تواال رض فا نفذؤن اال بسلطن‬

:menembus sanggup kamu Jika manusia! dan jin golongan Wahai Artinya
penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya
kecuali dengan kekuatan (dari Allah). (QS. Ar Rahman [55]: 33)
Jika melihat dan menelaah ayat di atas, dapat dilihat bahwa agama Islam menganjurkan
untuk melakukan penelitian atau observasi dalam bidang apapun termasuk penelitian ilmiah
dengan kapasitas keilmuan masing-masing, dalam hal ini menunjukkan bahwa umat Islam harus
mengkorelasikan antara Al-Qur’an dan pelajaran yang berkaitan dengan dunia sains atau hal
ilmiah. Selain itu, kita harus mengeksplorasi dan menginterpretasi ayat-ayat kauniyah untuk
menjelaskan dan membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak pernah berlawanan dengan hakikat ilmiah
yang sudah baku.
Persamaan dan perbedaan dalam sebuah penafsiran merupakan fenomena yang tidak bisa
dihindarkan, karena kitab tafsir adalah hasil olah dan karya manusia yang bersifat relatif.
Berbagai faktor yang dapat menimbulkan keragaman corak, diantaranya: perbedaan
kecenderungan, interest dan motivasi mufasir, perbedaan misi, perbedaan masa dan lingkungan,
perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan situasi dan kondisi yang
dihadapi, dan sebagainya. Semua itu menimbulkan munculnya berbagai macam corak
penafsiran. Seperti corak Tafsir bil ma’tsur, tafsir bi arra’y tafsir shufi , tafsir adabul ijtima’i,
tafsir falsafy tafsir fiqhi dan tafsir ilmi.

Mufasir klasik Islam yang mempunyai andil besar dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan
pendekatan tafsir ilmi adalah Fakhr alDin al-Razi (L. 25 Ramadhan 544 H/1150 M dan w. 1
Syawal 606 H/1209). Ia melakukan beberapa tafsiran yang berbasis pada ilmu pengetahuan
dalam tafsir Mafatih E al-Ghayb. Selain al-Razi, mufasir pertengahan abad 20 yang menafsirkan
ayat Al-Qur’an dengan pendekatan ilmu pengetahuan adalah ahli tafsir asal Mesir yang bernama
Thanthawi Jauhari (l.1287H/1862M dan w. 1940M/1358H), Dalam Al-Jawahir fî Tafsir Al-
Qur’an al-Karim, ia mampu menafsirkan 750 ayat Al-Qur’an dengan pendekatan ilmu
pengetahuan untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an lah yang lebih dahulu mengungkapkan sains
dengan penemuan terbaru oleh orang Barat sehingga Al-Qur’an adalah sumber segala ilmu. Jika
ada penemuan terbaru itu hanya rahmat dari Allah Swt.
Pemahaman para ulama terhadap tafsir ilmi atau sains, terpecah menjadi dua bagian.
Pertama, para ulama yang menerima atau memperbolehkan penggunaan tafsir sains, sedangkan
yang kedua adalah para ulama yang melarang menggunakan tafsir sains. Kelompok pertama
dengan landasan pada surat Qaf [50] ayat 6; sebagaimana berikut:

‫افلم ينظر ؤالئ السما ء فوقهم كيف بيها وز ينها وزينها وما لها من فرؤج‬

Artinya: Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya dan tidak terdapat retak-retak
sedikit pun? (QS. Qaf [50]: 6)

Di antara ulama tafsir yang memperbolehkan adalah Syaikh Thanthawi Jauhari, al-
Ghazali al-Suyuthi, Fakhr al-Din al-Razi.

Menurut Al-Ghazali bahwa segala macam ilmu pengetahuan baik yang terdahulu maupun
yang kemudian, baik yang sudah diketahui dan belum diketahui semua bersumber dari Al-
Qur’an.

Adapun golongan yang kontra dengan tafsir ilmi adalah kaum khawarij, mereka
berargumen bahwa mereka khawatir akan ada ketidaksesuaian terhadap hakikat diturunkannya
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Khawarij berpendapat tidak ada hukum kecuali
hukum Allah Swt, semua harus tekstual, tidak boleh di ta’wilkan, termasuk tidak boleh
menafsirkan fenomena alam kauniyah murni, yang memang tidak disebutkan periwayatannya
di dalam Al-Qur’an. Karena itu, jika kemudian diyakini bahwa ayat-ayat kauniyah dalam Al-
Qur’an hanya bisa dikaji dengan menggunakan teori sains yang bersifat dinamis sesuai
perkembangan zaman, maka hal ini merupakan sebuah penyimpangan aqidah, karena telah
menempatkan sebuah teori ilmiah yang bersifat relatif sebagai kebenaran yang mutlak, padahal
teori ilmiah ini bisa saja tidak digunakan lagi pada periode perkembangan selanjutnya.

Salah satu fenomena alam yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah bencana alam.
Sebuah fenomena yang sangat akrab dengan kehidupan manusia, kehadirannya bisa terjadi kapan
saja dan dimana saja dan kepada siapa bencana itu turun.

Bencana alam dahsyat yang masih segar dalam ingatan adalah tragedi gempa bumi
terdahsyat telah menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 dengan
kekuatan 9,3 SR, kemudian disusul dengan terjangan tsunami, yang meluluhlantakan kota
tersebut hingga memakan korban sekitar ±132.000 orang. Selain itu, Yogyakarta mengalami
bencana gempabumi dahsyat yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 SR.
Walaupun kekuatan gempabumi ini lebih kecil dari gempa yang terjadi di Aceh, namun efek
kerusakannya sangat parah dan menelan korban meninggal dunia ± 4.772 orang. Pada hari
senin 17 Juli 2006, Indonesia kembali digemparkan oleh bencana alam berupa tsunami di
daerah Pangandaran dengan kekuatan 6,8 SR dan menelan korban meninggal ± 378 orang. Hal
yang unik dari bencana tsunami yang terjadi di Pangandaran ini adalah, tidak ada tanda-tanda
akan terjadi tsunami, bahkan gempa bumi pun tidak terasa. Tahun 2018 bertepatan dengan
tanggal 28 di bulan September, terjadi bencana terdahsyat berikutnya yaitu bencana gempa
bumi di kota Palu-Donggala, yang diikuti oleh tsunami dan pergeseran tanah hingga ratusan
meter bahkan semua benda yang berada di atas tanah amblas masuk ke dalam tanah seolaholah
tanah berubah menjadi monster hidup yang memangsa apa saja yang ada di dekatnya.
Gempabumi dengan kekuatan 7,4 SR telah meluluhlantakan wilayah tersebut dengan memakan
korban meninggal
±2.113 orang. Bencana-bencana tersebut sangat menarik untuk dibahas secara terperinci baik
dari sisi sains maupun dari sisi teologi yang berlandaskan kepada penjelasan kitab suci Al-
Qur’an dan ilmiah.

Ketika berbagai macam bencana alam datang silih berganti menimpa manusia, maka dapat
direnungkan dan tentunya dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, bahwa ternyata
kejadian alam yang dialami saat ini adalah bencana alam yang pernah dialami juga pada umat-
umat terdahulu. Baik itu gempabumi, tsunami, banjir, badai dan topan, kekeringan, tanah
longsor, hujan batu, penenggelaman bumi seperti yang terjadi di kota Palu dan bencana lainnya.
Seperti bencana penenggelaman yang ditimpakan kepada kaum Nabi Nuh, yang ditenggelamkan
oleh Allah Swt melalui banjir bandang yang sangat luar biasa namun Nabi Nuh bersama
kaumnya yang taat diselamatkan oleh Allah Swt dari bencana tersebut, Kisah kaum Nabi Luth
yang Allah Swt jungkirbalikkan buminya karena telah bertindak terlalu jauh, yaitu melakukan
hubungan seks sesama jenis.

Berbagai macam penafsiran dalam sudut pandang manusia terus bermunculan untuk
mengetahui dan menganalisis kenapa bencana alam itu bisa terjadi. Ada yang menafsirkan
bahwa “bencana yang terjadi di atas muka bumi ini merupakan peringatan dari Allah Swt, agar
manusia menjadi sadar dan ingat akan kemahabesaran dan kekuasaan Allah Swt.” Disisi lain,
terdapat sebuah penafsiran mengenai bencana menyatakan hal ini terjadi merupakan kehendak
Allah Swt atau bencana tersebut merupakan siksaan atas dosa masyarakat di mana bencana alam
itu terjadi. Namun di sisi mitologi bencana ada juga yang menafsirkan bahwa bencana alam yang
terjadi akibat ada sosok lain yang sedang murka, yang disebut dengan “penunggu” pada tempat
terjadinya bencana tersebut dan ada juga yang menafsirkan tentang bencana dalam sudut
pandang manusia, bahwa hal itu bukanlah bencana melainkan kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh kelalaian manusia itu sendiri dan dapat dibuktikan secara ilmiah Dari sinilah
akhirnya banyak masyarakat yang memiliki pemahaman yang beraneka ragam terhadap
peristiwa alam.
Ketua pusat kajian hadis Luthfi Fathullah (lahir 1964 M) mengatakan, bahwa “bencana
faktor alamnya lebih dominan, yaitu faktor kesalahan tangan manusia yang keliru dalam
mengolah alam, sedangkan azab kaitannya dengan dosa kepada Allah Swt dan azab karena
ingkar kepada Nabi Saw.”

Dengan banyaknya bencana alam yang terjadi, maka banyak para akademisi yang menulis
buku dan mengaitkan kejadian bencana alam pada masa umat terdahulu, dimana bencana
tersebut digambarkan sebagai hukum sebab akibat dari ketidaktaatan atau penolakan para
kaumnya terhadap ajaran atau seruan para Nabi untuk bertauhid dan mengamalkan ajarannya
sehingga mengundang kemurkaan Allah Swt kepada kaum yang membangkang tersebut. Dalam
hal ini dapat dipahami bahwa bencana yang sedang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari
ujian untuk manusia yang beriman dan sebagai peringatan bagi manusia yang sudah lupa akan
keberadaan Allah Swt dan azab bagi manusia yang tidak taat terhadap ajaran dan perintah Allah
Swt.

Mengutip sebuah tulisan dari Imam Ibnu Muhammad al Manbaji (w. 784 H) yang
membahas tema: dasar atau landasan sebuah konsep dalam mengambil inti sari pemahaman
sebuah bencana:

Keingkaran terhadap nabi Hud yang dilakukan oleh kaumnya, itu sama saja memberikan
pernyataan ingkar terhadap ketetapan Ilahi. Apakah mereka itu lupa, bahwa dirinya adalah
makhluk yang lemah, hina dina, tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan apapun tanpa seizin
Allah Swt. Karena ketika hadir ke dunia, tidak ada satu makhluk pun yang memakai sehelai
benang bahkan tanpa memiliki pengetahuan apapun, lalu kenapa sampai berani menantang
Allah sang pencipta? Bila kita pahami, maka Allah Swt bisa marah dan geram kepada umat itu
bila selalu membangkang dan berbuat dzolim. Lalu kemudian Allah Swt mengirimkan badai dan
topan yang sangat kencang dan keras (angin shar-shar) selama tujuh malam delapan hari sebagai
azab yang diberikan kepada kaum ‘Ad. Sehingga kaum tersebut jatuh dalam kondisi yang
bercerai berai antara satu dengan yang lainnya dan semuanya kaku dalam keadaan yang sangat
mengenaskan, hal ini merupakan balasan untuk mereka yang selalu bersikap sombong dan
durhaka kepada Rasulullah Saw dan Allah Swt.

Musibah atau bencana yang terjadi merupakan proses untuk menghapus dosa atau
menambah pahala, menjadi perselisihan para mufassir. Para mufassir menyatakan bencana atau
musibah menjadi pahala bagi yang mengalami, sedangkan sebagian mengatakan musibah yang
terjadi bisa menjadi penghapus dosa bila manusia tersebut mau ikhlas dan bersabar menerima
musibah tersebut.

Kutipan tersebut mengingatkan manusia bahwa musibah yang terjadi merupakan tindakan
langsung dari Allah Swt dan bila Allah Swt sudah berkehendak maka manusia tidak memiliki
kekuatan apapun untuk mencegahnya. Hal ini menjadi kemelut untuk menerima seutuhnya
dengan ikhlas menjadi bencana alam alami atau mengkaitkannya atas keputusan dari Penguasa
dan hal ini menjadi perdebatan yang tidak berujung untuk membahas apakah musibah ini sebagai
penghapus dosa atau penambah pahala bagi manusia yang mengalami musibah tersebut.

Karya yang patut menjadi rujukan dalam memahami reaksi alam adalah sebuah buku yang
berjudul “Mengapa Alamku Mengamuk” dengan pembahasan bahwa di Era Reformasi muncul
dengan satu pendapat “tiada hari tanpa demonstrasi” tidak hanya individu yang selalu bisa
seperti itu, ternyata alampun mulai ikut berpartisipasi dalam aksi tersebut, kita bisa lihat
gunung- gunung unjuk rasa dengan batuknya yang mengeluarkan awan panas, lahar, lava, air
pun unjuk rasa dengan luapan dahsyatnya yang menimbulkan banjir dan tsunami, tanahpun ikut
berunjuk rasa dengan adanya gempabumi, tanah longsor dan likuifaksi, dan ternyata anginpun
ikut unjuk rasa dengan adanya puting beliung.”

Bumi Indonesia pun ikut berunjuk rasa dengan terjadinya bencana yang sangat dahsyat,
yang terjadi di Palu-Donggala, berupa gempabumi yang disusul dengan tsunami dan bencana
likuifaksi yang menenggelamkan satu kampung dan menghisap apa saja yang ada di atasnya,
hingga memakan ribuan korban. Banyak rumah, pohon-pohon dan sebagainya bergeser hingga
ratusan meter. Bencana ini banyak melibatkan peran manusia sebagai bentuk dari keserakahan
dan kelalaiannya, yang telah mempertuhankan kemaksiatan di atas segalanya untuk memenuhi
hawa nafsunya. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

‫ظهر الفسا د في البر ؤالبحر بما كسبت ايدئ النا س ليزيقهم بءض الز ي عملوا لءلهم ير جءؤن‬

٤١

Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Ruum [30]: 41)

Hadirnya berbagai interpretasi serta penafsiran yang bermacammacam, tidak bisa lepas
dari tarik menarik pemahaman tentang posisi transedental wahyu Al-Qur’an yang bersifat abadi,
kekal dan shalih li kulli zaman wa makan di satu sisi, dengan sisi historis wahyu AlQur’an yang
menyentuh budaya lokalitas tertentu, sehingga tidak heran bila korelasi antara wahyu yang
bersifat normatif dengan sisi historisitasnya melahirkan penafsiran yang berkesinambungan
dalam pentas sejarah Islam.

Quraish Shihab berpendapat, bahwa bencana gempabumi adalah peristiwa alam yang tidak
ada campur tangan Allah Swt dalam peristiwa tersebut, dikarenakan landasan dalam memahami
keikutsertaan Allah Swt sudah final ketika proses penciptaan alam itu sudah selesai. Quraish
Shihab berpendapat bahwa bencana gempabumi adalah sebuah keinginan Allah yang bersifat
mutlak yang tidak bisa diganggu gugat, disisi lain ada yang berpendapat bahwa bencana
gempabumi merupakan peristiwa alam namun Allah Swt tetap berperan dalam rangka
memberikan rahmat dan pemeliharaannya.

Namun untuk kajian tersebut, keseimbangan ilmu sains dan AlQur’an harus diperhatikan.
Termasuk pembahasan tentang bencana alam ini, kita tidak serta merta menerima semua
informasi berdasarkan wahyu Ilahi, namun harus diimbangi secara rasional untuk menganalisis
hasil research yang telah dilakukan para ilmuwan yang sudah mempelajari ilmu geologi.
Menurut para ahli sains, bahwa “bencana alam geologi merupakan kejadian alam ekstrim yang
diakibatkan oleh berbagai fenomena geologi dan geofisika.” 44 Aktivitas tektonik yang terjadi di
permukaan bumi dapat menjadi salah satu penyebabnya, demikian halnya dengan aktivitas
vulkanik yang terjadi di bawah permukaan bumi yang juga mungkin sampai di permukaan
Aktivitas tektonik yang terjadi di permukaan bumi dapat menjadi salah satu penyebabnya,
demikian halnya dengan aktivitas vulkanik yang terjadi di bawah permukaan bumi yang juga
mungkin sampai di permukaan.

Allah Swt menjadikan planet bumi ini untuk dihuni oleh makhluknya, salah satunya
adalah manusia, tetapi dalam proses perjalanannya bumi harus mengalami proses geologi baik
yang berasal dari dalam ataupun dari luar bumi, yang tentunya akan mengakibatkan bencana
alam yang akan mengancam kehidupan manusia tersebut. Bencana alam yang ditimbulkan
akibat semua aktivitas yang terjadi di dalam dan permukaan bumi disebut peristiwa geologi,
seperti tanah longsor, erupsi gunung, gempa bumi, banjir dan sebagainya. Hal ini pasti akan
memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi aktivitas kehidupan manusia

Salah satu bencana geologi yaitu gempa bumi, yaitu berupa getaran dari dalam bumi yang
terjadi akibat terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami
deformasi (perubahan yang baik menjadi kurang baik) selain itu perubahan struktur bumi atau
lempeng tektonik bumi menjadi salah satu hal yang mendukung terjadinya getaran tersebut,
kekuatan getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda, berikut penjelasan gempa bumi
berdasarkan Al-Qur’an:

‫ا‬٢ ‫اذا زاز لت اال ز لز الها واخر جت اال ر ض ا نفا له‬

Artinya: Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah
mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, (QS. Az Zalzalah [99]: 1-2)

Gerakan atau getaran di atas permukaan bumi terjadi karena dari dalam bumi ada
pembentukan gelombang seismic (gelombang gempa) secara instan yang mampu melepaskan
energi luar biasa ke permukaan bumi, gelombang ini menjalar dengan sangat cepat ke berbagai
permukaan bumi yang disebut sebagai sumber gempa

Perhitungan para ilmuwan terkait gempa bumi, mendeteksi bahwa getaran tersebut yang
hanya bisa terjadi di permukaan saja. Ternyata hal ini dapat dipatahkan ketika mengetahui
adanya getaran lain yang terjadi di bawah permukaan bumi, yang mengakibatkan hilangnya
kestabilan tanah pada daerah tersebut (kegagalan struktur bagian bawah). Peristiwa ini hanya
terjadi pada tanah yang memiliki sifat jenuh dan memiliki kadar yang sama, peristiwa ini oleh
para ahli geologi disebut likuifaksi

Peristiwa likuifaksi di Indonesia pernah terjadi di daerah Palu dan Donggala Sulawesi
Tengah. Di daerah tersebut tanah yang padat dengan berbagai perkampungan di atasnya,
seakan- akan dibuat lenyap habis di telan bumi. Tanah yang tadinya padat menjadi lumpur
seperti tanah yang bercampur air, sehingga apapun yang ada di atas permukaan tanah tersebut
masuk semua ke dalam bumi. Peristiwa yang sangat mengerikan, seolah-olah tanah tersebut
menjadi monster lapar yang sedang lahap memangsa buruannya.

Para pakar ilmu bumi menyatakan bahwa bumi ini terbagi menjadi lempeng-lempeng
(plate) tektonik, yang saling bergerak dengan kecepatan 5-10 cm/tahun. Di Indonesia terdapat 3
lempeng besar yang saling berinteraksi, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik.
Interaksi ini menghasilkan serangkaian gunung api aktif yang dikenal dengan “Ring of fire”
(cincin api)

Aktivitas pertemuan lempengan bumi satu dengan yang lainnya menjadi penyebab
ketidakstabilan struktur bumi sehingga terjadilah gempa. Cincin api (Ring of fire) yang ada di
Indonesia memberikan gambaran bahwa wilayah Indonesia bagian selatan merupakan jalur
gempa yang saling bersambut, terutama daerah Sumatera dan Jawa.

Berdasarkan penjelasan para ahli ilmu kebumian tersebut, penulis mendapatkan gambaran
yang jelas, yaitu tentang kondisi tektonik yang berada di Indonesia. Sekitar 150 juta tahun yang
lalu, lempeng tektonik mengalami perubahan yang sangat rumit dan panjang sehingga bisa
tercipta lingkaran gempa yang sangat teratur yang disebut cincin api. Ketika malaikat dan
Tuhan berdialog terkait penciptaan manusia, alam semesta ini sudah terbentuk dengan sangat
rapih, sehingga dapat kita simpulkan bahwa lempeng tektonik dan cincin api di bawah
permukaan tanah sudah terbentuk ketika manusia itu belum diciptakan. Ketika semua sudah
siap, maka dibutuhkan siapa yang akan memainkan peran di muka bumi tersebut, apakah
manusia yang beriman ataukah manusia yang ingkar terhadap Rabb-nya..

Melihat penjelasan di atas, ada sebuah pelajaran yang dapat diambil yaitu dalam
memahami alam ini harus ada ikatan yang kokoh antara ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah
dengan Al-Qur’an agar menghasilkan takdir terbaik bagi umat Islam Indonesia. Karena suatu
displin keilmuan tidak bisa berdiri sendiri, harus mengawinkan antara pengetahuan satu dengan
yang lainnya agar informasi yang diperoleh lebih akurat dan bermanfaat.

Hubungan Islam dan sains tidak lepas dari kemajuan dan kemunduran sains dalam
peradaban Islam. Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak
generasi pertama sampai abad kelima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor
ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah menjadi pelopor dalam research
tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang
melakukan experimental science atau ilmu thabi’i yang berlandaskan penelitian sehingga
berkembang menjadi applied science atau technology.

Hal yang paling mendasar dalam kajian ilmu pengetahuan di dalam Islam yaitu selalu
memadukan kajian ilmiah, sehingga setiap hal yang dipelajari selalu memberikan keterangan
yang dapat dipertanggung jawabkan secara logika dan iman. Di dalam Al-Qur’an dan as-
Sunnah dijelaskan, manusia yang paling tinggi derajatnya adalah orang-orang yang berilmu,
inilah yang menjadi pedoman para umat Islam untuk terus belajar.

Tuntutan bagi penulis dalam karya ilmiah ini adalah belajar dan mempelajari fenomena
alam, yaitu bencana penenggelaman bumi yang disebut likuifaksi dari perspektif Al-Qur’an dan
ilmiah/sains, sebagaimana yang telah penulis kutip dari salah satu situs, yang menjelaskan bahwa
Laboratorium Propulsi Jet NASA (JPL) di Pasadena, California, AS mengungkap fakta terbaru
bencana gempa Palu, 28 September 2018. Gempa bumi yang meluluhlantakan Palu disusul
tsunami dan likuifaksi yang menewaskan 2.086 jiwa dengan total kerugian mencapai Rp 18,48
triliun, peristiwa ini merupakan bencana yang sangat jarang terjadi dan dalam catatan sejarah
geografi pernah terjadi sebanyak 15 kali.

Beberapa negara yang pernah mengalami bencana yang sama adalah Gempa Nigata di
Jepang. Gempa berkekuatan 7,6 SR yang mengguncang Nigata, Jepang pada 16 Juni 1964 ini
menyebabkan pencairan tanah di sebagian besar kota. Selain infrastruktur bangunan yang hancur
lebur akibat likuifaksi di sisi Sungai Shiano, ada juga kerusakan yang parah dan cukup luas di
dekat Bandara Nigata. Pipapipa dari tangki bensin milik Showa Shell Sekiyu di antara bandara
dan pelabuhan, juga rusak karena goncangan, sedikitnya 36 orang tewas dan 3.534 bangunan
hancur. Bencana gempa dan likuifaksi yang terjadi di Alaska, AS tahun 1964. Gempa megathrust
berkekuatan 9,2 SR memicu tsunami besar yang mempor-porandakan kawasan pesisir di Shoup
Bay. Lapisan tanah yang berubah menjadi lunak dan lembut menyebabkan bangunan roboh dan
amblas. Sedikitnya 139 orang yang menjadi korban dalam peristiwa ini

Negara lain yang pernah mengalami peristiwa serupa adalah Tangshan China, yang terjadi
pada tanggal 28 Juli 1976, Gempa Loma Prieta, San Fransisco, AS, 17 Oktober 1989. Gempa ini
terjadi akibat pergeseran sesar San Andreas. Juga pada Gempa Christchuch, Selandia Baru, pada
22 Februari 2011 pukul 12.15 waktu setempat. Episentrum gempa sekitar 2 km sisi barat kota
kecil Lyttelton dengan kedalaman 5 km. Gempa Bumi ini menimbulkan kerusakan besar,
terutama di Christchurch, kota terdekat dari episentrum gempa sekaligus kota terbesar kedua di
Selandia Baru. Akibat gempa dahsyat ini, banyak perubahan alam yang terjadi, seperti
bergesernya daratan atau timbulnya dataran baru dengan kondisi yang berbeda dari sebelumnya,
bisa jadi kondisi dari padat menjadi cair yang disebut sebuah fenomena likuifaksi.

Peristiwa perubahan kondisi tanah dari padat menjadi lunak, mempengaruhi kondisi
struktur tanah, sehingga tanah tersebut seolaholah menjadi lumpur hidup yang menghisap
semua yang ada di atasnya ini ramai diperbincangkan di khalayak ramai saat ini, ternyata
bukanlah fenomena alam yang baru. Ternyata dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah bencana
khusus yang tidak terjadi di kaum yang lain yaitu fenomena bencana pergerakan tanah amblas
yang membenamkan semua yang ada di atasnya atau sederhananya, dibenamkan bumi. Ayat
yang mengaitkan fenomena alam ini ada di Al-Qur’an pada sejarah Qarun yaitu QS. Al
Qashash: 81, Al-Qur’an menjelaskan karena sombong dan ingkar, Qarun yang merupakan kaum
Nabi Musa,
Allah hancurkan beserta semua harta-hartanya dengan membenamkannya ke dalam bumi

‫فخسفنا به وبد ا رض فما كان له من فنه ينصر و نه من دون اهلل وماكان من المنتصرين‬

٨١

Artinya: Maka Kami benamkan dia (Karun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka
tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak
termasuk orang-orang yang dapat membela diri. (QS. Al Qashash [28]: 81)

Selain itu penjungkirbalikan bumi terjadi pada kaum Nabi Luth, bumi yang tadinya berada
di atas akhirnya berada di bawah. Malapetaka ini terjadi karena kaumnya telah melakukan
tindakan yang yang sangat keterlaluan, yaitu melakukan hubungan seks sesama jenis. Kisah
penjungkirbalikan ini bisa dilihat pada surat Hud ayat 77-83.

Berikut adalah kutipan beberapa pendapat para ulama besar, yaitu: Ibnu al-Jauzi (l.
508H/1114M dan w. 597H/1200M), Ibnu Katsir (l. 700H/1301M dan w. 774H/1372M) dan
Imam as Suyuthi (l. 1445M/849H dan w. 1505 M/911 H), dalam memahami peristiwa alam yang
terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Berikut penjelasan mereka: “Imam jalaluddin as-Suyuthi
melaporkan bahwa kota Ramallah (Palestina) pernah digoncang gempa hebat yang diikuti
gelombang tsunami yang sangat besar sebab air laut surut sepanjang beberapa puluh kilometer
(perkiraan sehari perjalanan pada masa itu).
“Pada tahun 60 H, terjadi sebuah gempa besar di Ramallah hingga membuat Ramallah
hancur lebur. Gempa itu telah membuat air menyembur dari pinggiran sumur. Jumlah korban
yang meninggal sebanyak dua puluh lima ribu akibat gempa itu juga membuat air surut dari
garis pantai sejauh sehari perjalanan. Orang-orang kemudian turun ke dasar laut untuk
menangkap ikan yang terdampar, kemudian air kembali pasang dan mencelakakan mereka"

Ibnu Katsir (l. 700H/1301M dan w. 774H/1372M) dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah juga
merekam kejadian tersebut dengan menukil catatan Ibnu al Jauzi. Beliau menyebutkan bahwa
“gempa Ramallah di Palestina itu juga mengguncang Madinah dan terasa hingga daerah Rahbah
(sekarang Abu Dhabi) dan kota Kuffah di Irak. Menurut Ibnu Katsir, gempa terdahsyat yang
diiringi tsunami itu menyebabkan di kota Ramallah hanya tersisa dua rumah saja.”

‫وفي سنت ؤاربءين نقص البحر ثما نبن ذراعا وظهر فيه خبا ل وجر ا يرواثيا ءام تءهد وكا نبالر يونواحيها زالزل عظيمق‬

“Pada tahun 46 H, air laut menyusut serendah 80 dhira’ (40 m). Pada saat itu muncul bukit-
bukit dan pulau-pulau serta hal-hal lain yang sebelumnya belum pernah terjadi. Sementara itu,
di Ray dan sekitarnya terjadi gempa yang dahsyat dan negeri Thaliqan tenggelam, hanya 30
orang laki-laki saja yang selamat. Sebanyak 150 desa di Ray roboh. Gempa ini merambat hingga
ke Helwan sehingga hampir merobohkan sebagian besar desa-desa tersebut. Sementara itu, bumi
memuntahkan tulang belulang mayat, menyemburkan air, sebuah bukit di Ray luluh lantak, dan
sebuah desa beserta penduduknya bergelantung selama setengah hari. Kemudian desa itu amblas
sangat dalam, lalu keluarlah air berbau busuk dan kepulan asap besar. Demikian ini dinukil dari
Ibnu Jauzi”

Yang menarik dari semua reportase para ulama ahli tafsir, hadits dan sejarah tersebut tak
satupun ditemukan pernyataan mereka yang menghubungkan bencana alam dahsyat itu dengan
azab bagi penduduk Ramallah di Palestina atau penduduk Ray di Iran, mereka hanya
menyebutkan bagaimana bencana itu terjadi dan dampak kerusakannya dan mencukupkan diri
dengan reportase hal itu saja tanpa menarik kesimpulan yang di luar ranah manusia

Dengan melihat situasi dan kondisi geologi yang demikian maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang makna bencana likuifaksi. Sebenarnya apa likuifaksi itu,
bagaimana proses terjadinya dan faktor apa saja yang menyebabkan likuifaksi itu terjadi. Namun
dalam penelitian disertasi ini lebih menekankan pada aspek Al-Qur’an dan sains, selain
mendapatkan pemahaman menyeluruh dari pendapat para mufassir dan saintis modern dengan
tetap memberikan data-data secara ilmiah, agar tetap ada korelasi yang dapat diterima secara
akal dan juga dapat dipertanggung jawabkan secara aqidah.
Karena pembacaan tentang gejolak-gejolak alam bukanlah hanya sebatas teoritis saja
melainkan menjelma sebagai sebuah tanggung jawab untuk tetap melestarikan dan menjaga alam
ini secara bersama. Karena manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai khalifah di muka bumi
yang bertugas untuk menjaga keserasian dan keseimbangan tentang hal apapun demi kebaikan
dunia dan akhirat

Berdasarkan analisis dari beberapa referensi yang penulis temukan, penulis yakin belum
ada yang membahas kajian ilmiah terkait bencana likuifaksi perspektif Al-Qur’an Maka
penulisan disertasi ini lebih fokus pada pembahasan tentang fenomena Bencana Likuifaksi
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, sehingga akan terlihat jelas bahwa berbagai peristiwa
yang terjadi di alam semesta ini sudah Allah Swt gambarkan dalam Al-Qur’an dan menjadi
pelajaran untuk umat manusia dalam memahami ke-Maha Besaran Allah Swt, Segala Puji Bagi
Allah, Tuhan Semesta Alam dan bisa dibuktikan secara ilmiah.
C. ANALISIS
1. Macam macam bentuk stunami
- Tsunami Lokal. Proses terjadinya tsunami yang pertama yakni gelombang air laut lokal
- Tsunami regional. Foto: orami Photo Stocks
- Tsunami Jarak jauh
- Tsunami Meteorologi (meteotsunami)
- Microtsunami
2. Cara penanggulangan praktek tsunami
- cari info jalur evakuasi dan tempat aman.
- ketahui info siaga bencana setempat saat liburan ke pantai
- latihan evakuasi di berbagai kondisi.
- cari tahu cara menyelamatkan hewan peliharaan.
- ketahui peralatan peringatan dini setempat.
- kenali bunyi atau tanda peringatan dini tsunami
- bersama membangun dinding penahan gelombang tsunami
- menanam tanaman bakau di sepanjang garis pantai
- belajar pertolongan pertama
- ikut tim siaga bencana di daerahmu
-simulasi bencana di rumah
- siapakah perlengkapan siaga bencana
- ikuti sosmed penting
- kenali bahaya tsunami

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian dari bab I sampai
bab IV, maka pada bab V ini, penulis akan menjawab perumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Para mufassir menyatakan sebuah peristiwa pembenaman bumi
dengan istilah khasafa, sedangkan ilmuwan modern menyatakan
peristiwa pembenaman bumi dengan istilah likuifaksi. Dimana
peristiwa ini merupakan perubahan struktur tanah dari padat
menjadi lunak akibat terjadinya guncangan dahsyat yang disebut
gempa bumi, sehingga menjadikan permukaan tanah rapuh dan
tidak mampu menahan beban siklik di atasnya dan tanah bagian
bawah pun mencair serta menghisap atau menelan benda apa saja
yang berada di atas tanah tersebut.
2. Peristiwa likuifaksi dalam Al-Qur’an dan Sains, memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaannya adalah bencana pembenaman bumi
atau likuifaksi didahului oleh guncangan gempa bumi yang dahsyat
sehingga menyebabkan perubahan struktur tanah. Sedangkan
perspektif Al-Qur’an ditemukan bahwa sebelum terjadi pembenaman
bumi, didahului oleh suara yang menggelegar dan angin yang sangat
kencang, perbedaan ini terletak pada tahap atau proses sebelum
adanya gempa bumi, pada perspektif sains syarat utama terjadinya
likuifaksi tertuju pada daerah yang dekat dengan perairan yang
menjadikan air dengan sangat cepat menyerap pada molekul tanah
dan menjadikan tanah cepat menjadi lunak, selain itu di dalam sains
langsung pada guncangan gempa bumi sedangkan pada Al-Qur’an
ada dua tahap sebelumnya, yaitu suara yang keras dan juga tiupan
angin kencang.
3. Dalam penelitian kepustakaan ini, setelah dilakukan penelitian dalam
mengembangkan teori sains, maka ditemukan kesesuaian antara teori sains dan pendapat
mufassir tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan perubahan struktur tanah yang
menyebabkan pembenaman bumi, hal ini dijelaskan bahwa pernyataan atau penafsiran
yang paling mendekati teori sains, terdapat di dalam kitab Tahrir wa tanwir yaitu al-
Khasfu bermakna terbaliknya permukaan bumi yang atas berada di bawah dan bagian
bawah bumi berada diatasnya hal ini disebabkan karena goncangan atau gempa bumi.
Kemudian di dalam kitab Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah alMu’asirah, dinyatakan
inkhasafat al-madinatu bi-kaamilihaa itsra ta’arrudihaa lizalzaalin syadiidin: kota itu
tertelan bumi secara total pasca terjadi gempa besar. Selanjutnya ar-Razi menerangkan,
ungkapan fa-idza hiya tamuur maknanya ialah bahwa sesungguhnya Allah
menggerakkan bumi ketika terjadi keguncangan. Mereka lenyap dan bumi
membenamkan mereka dari atas dan mereka tenggelam. Hal yang samapun dijelaskan
oleh Zamakhsyari, bahwa firman Allah yang berbunyi Dia akan membenamkan
sebagian daratan bersama kamu maknanya ialah Allah akan menenggelamkan kalian ke
dalam bumi.
DAFTAR PUSTAKA
A Sabir, “Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana di Indonesia”, Jurnal
Ilmu Ekonomi dan Sosial, Vol. 5, 2016

Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al Tafsir fi al-‘Ashr alHadits, Beirut:
Dar al-Fikr, 1973, Jilid I

, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Bangil: Al


Izzah, 1997, terj. Moh. Maghfur Wachid

Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Maktabah Mustafa al-mulk,
1946

Abdillah Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:


Paramadina, 2001

Abduh Muhammad, Risalah Tauhid, Kairo: al Hay‟ah al Mashriyyah al- „Ammah lil
Kitab, t,th

Abdul Ghani Abu al „Azm, Mu’jam al-Ghoni, Beirut: Dar al-Fikr, 2004

Abdullah Abdul Yusrin Ghani, Histiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, cet. Ke-1
Abdullah Amin M, Studi Agama Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996, cet. Ke 1

Abdullah, “Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah”,
dalam Kontruksi Bencana, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar 13 November 2006

Abdurrahman Al-Baghdady, Tsunami Tanda Kekuasaan Allah, Jakarta: Cakrawala


Publishing, 2005

Abidin Zainal Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Averroes), Jakarta: Bulan Bintang,
1975

Abidin Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2002

Abu Abdillah Muhammad bin al Hasan bin Husayn at-Taymi ar Razi, Mafatih al Ghaib,
Beirut: Dar al-Fikr, 2001, Jilid 16

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farhil al Ansar al Qurtubi, al
Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an: Al Qurtubi, Tafsir alQurtubi, Al-Qahirah: Dar al Kutub al
Misriyyah, 1964

Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Beirut:
Dar Sadr, 1990

Abu al-Fida' Imaduddin Isma'il bin 'Umar bin Katsir al-Qurasyi AlBusrawi, Tafsir Ibnu
Katsir, terj. Arif Rahman, dkk, Solo: Insan Kamil, 2016, cet. Ke-2, jilid ke-9
Abu al-Hasan Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Maqayis al-Lughah , Beirut: Dar as-Saq,
2010

Abu al-Qasim Mahmud Ibn Umar Ibn Muhammad az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-
Kashshaaf fi Ghawamid at-Tanjil, Beirut: Dar alFikr, 1998, Jilid. 5

Abu Aqilah as-Sawiti, Jenaka di Balik Bencana, 45 Hikmah Gempa, Yogyakarta: Pijar
Pustaka, 2006

Abu Hamid Al Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, Damaskus: University Press, 1956

Abu Hamid Muhammmad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Kairo: Lajnah Nasyr
Tsaqafah al-Islamiyyah, 1356, Jilid III

Abu Nasr Isma‟il bin Hammad al-Jawhari, as-Sihah fi al-Lughah, Kairo: Dar al-Hadith,
2001

Acikgenc Alparslan, Islamic Science: Toward A Definition, Kuala Lumpur: ISTAC, 1996

Adriansyah Luki, dkk, 50 Misteri Dunia Menurut Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media
Utama, 20140, cet. Ke-1

AF Gaus Ahmad, Sang Pelintas Batas, Biografi Djohan Effendi, Jakarta: ICRP dan
Kompas, 2009

AF Masan, PAI Aqidah Akhlak, Semarang: PT Karya toha Putra, 2009


Ahmad Muktar Umar, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu’asiroh, Kairo: Dar al-Alam,
2003

Ahmad Wahab Abdul, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember

Ainiyah Nia, Ayat-Ayat Geologi Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Ilmi dan Teori
Sains Modern), Tesis Fakultas Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, IIQ Jakarta, 2020

Al Hamid Abd, “Exploring the Islamic Environmental Ethics”, dalam Islam and the
Environment, A. R Agwan ed., New Delhi: Institute of Objective Studies, 1997

Al Munawwar Husain Agil Said, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,


Ciputat: PT Ciputat Press, 2005

Al-Banna Gamal, Evolusi Tafsir: dari Zaman Klasik Hingga Zaman Kontemporer, terj.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisti Press, 2004

Al-Fayruz Ābadi, al-Qamus al-Muhīt, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 4

Ali Ahmad Madkur, Manhaj al Tarbiyah fi al-Tasawwur al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr a-
„Araby, 2002

Alim Akhmad, Sains dan Teknologi Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014, cet.
Ke 1

Al-Imam Abi al-Fida Isma‟il Ibn Katsir al-Quraisy ad-Dimasyqy, Tafsir Al-Qur’an al-
Azhim, Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz 8
Allen Hazen, “Hydraulic Fill dams”, Transactions of the American Society of Civil
Engineers, Vol. LXXXIII, Edisi. 1

Al-Utsaimin Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, terj: Asmuni, Bekasi: PT. Darul Falah, 2017,
cet. ke-6, h. 376

Andiani, Prolog dalam buku Di Balik Pesona Palu, Bencana Melanda Geologi Menata,
Bandung: Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2018

Ansari Saifuddin Endang, Sains Falsafah dan Agama, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1992

Ardiyantama Maulidi, “Ayat-Ayat Kauniyah Dalam Tafsir Tanthowi dan Ar Razi”, dalam
Jurnal Al Dzikra Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, Volume 11, No. 2, Desember Tahun
2017, UIN Raden Intan Lampung, 2017

Arya Wardhana Wisnu, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta: Andi Offset, 1995

Ardinal Eva, “Pemikiran Syauqi Dhaif dan Upaya Pembaharuannya di Bidang Pengajaran
Nahwu”, dalam jurnal Islamika, Vol. 13, No. 2, 2013

As Suyuthi, al-Itqan, Mesir: Dar al-Qalam, t.t, Juz. IV

Athari Egi, Analisa Bangunan Sederhana Pada Tanah Terlikuifaksi di Kota Padang, Tesis:
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitasa Andalas Padang, 2014

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2018, Cet ke-3 Edisi V
Bagus Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka, 19961 Abduh Muhammad,
Risalah Tauhid, Kairo: al-Hayah al-Mashriyyah al- „Ammah lil Kitab, t.th

Baidan Nasaruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Baiquni Achmad, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1995

Bakar Abu Bahrun, dkk, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putera, 1998, Cet.
Ke-2

Bakar Osman, The History and Philoshopy of Islamic Science, Brooklands Avenue:
Islamic Texts Society, 1999

Baraja Arfan Abbas, Ayat-Ayat Kauniyah: Menguak Kebesaran Tuhan Lewat Tasawuf dan
Sains, Malang: UIN Malang Press, 2009

Beiser dan Arthur, Konsep Fisika Modern, Jakarta: Erlangga, 1999, Edisi ke-4

Binford,L, Post-Pleistocene Adaptations, dalam New Perspective in Archaelogy,


Chichago: Aldine, 1968

BMKG, InaTews-Konsep dan Implementasi, Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi dan


Geofisika, 2006

Budianto, Risalah Alam Semesta dan Kehidupan, Jakarta: G-Kreatif, 2006, Cet. Ke-1
Buku Seri Jendela IPTEK, London: Dorling Kindersley, 1996, diterjemahkan oleh Pusat
Penerjemah FSUI, cet. Ke-2 , Jakarta: Balai Pustaka, 2000

CF. Jacques Jomier and Robert Caspar, L‟Exegese Scientifique du Coran d‟apres le
Cheikh Amin al-Khouli, Melanges de Vinstitut Domenicain d‟Etudes Orientalis, dalam
Companini Qur‟an and Science: a Hermeneutica Approach, dalam jurnal of Qur’anic
Studies, Vol. 7, No. 1, tahun 2015

Chandra Muhammad, dkk, Ensiklopedia 25 Nabi dan Rasul, Jakarta: Erlangga, 2017

Edward. B. Tylor, Primitive Culture: Research into the Development of Mythology


Philosophy, Religion, Language, Art and Custom, New York: Brentano‟s Publishers, t.t

Enrico L. Quarantelli, What is a Disaster, Delaware: University of Delaware, 2006

Anda mungkin juga menyukai