Anda di halaman 1dari 8

Ternyata Akhirat Tidak Kekal Karya Agus Mustofa

Weko Kuncara

Pertama-tama ijinkan kami mengutip dengan bebas sebuah pernyataan klise yang kurang lebih
berarti: “Betapapun maju rasionalitas manusia, ia tetap tak ada apa-apanya di hadapan Allah”.
Preposisi tersebut sekaligus akan kami pergunakan sebagai titik tolak untuk mendiskusikan buku
ini, karena Agus Mustofa, dengan segenap rasionalitasnya, berusaha memperluas batas-batas
horison kemampuan rasio manusia. Apakah manusia memang mampu mengetahui “realitas”
akhirat?

Buku ini, menurut hemat kami, merupakan sebuah buku yang unik. Ia berisi ulasan yang
menggabungkan antara: tafsir al-Quran, pemaparan beberapa teori ilmu pengetahuan alam, serta
disusun dalam kerangka dakwah Islam. Penggunaan ilmu pengetahuan —dalam disiplin apapun—
amat krusial dalam menafsirkan al-Quran. Sejumlah besar ayat, apakah yang berbicara tentang
penciptaan alam dan manusia ataupun yang membicarakan tentang karakter dan kepribadian
individu-individu manusia yang menganut sistem nilai tertentu, jelas sekali memerlukan
pengetahuan astronomi, biologi dan psikologi atau psikoanalisis.

Ternyata Akhirat Tidak Kekal merupakan sebuah buku yang ingin menafsirkan wahyu Allah dari
disiplin, terutama, astronomi. Latar belakang pengarangnya yang seorang sarjana teknik nuklir
barangkali memang menunjang upaya itu. Namun demikian, kita jangan terkecoh. Buku ini tidak
sedang berbicara semata-semata tentang tidak kekalnya akhirat, yang hanya disinggungnya dalam
14 halaman di bagian akhir bukunya. Alih-alih, buku ini mendiskusikan hampir seluruh aspek
yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Sementara topik-topik yang didiskusikan dalam buku
ini amat banyak, di sini kami hanya akan memfokuskan pada topik tidak kekalnya akhirat. Untuk
menunjukkan betapa luas cakupan yang hendak diliput oleh buku kecil Agus Mustofa, tulisan ini
pertama-tama akan mendeskripsikan secara umum konten buku tersebut.

Anatomi Ternyata Akhirat Tidak Kekal

Agus Mustofa memulai bukunya dengan mengajukan pertanyaan fundamental, “bagaimana


mendiskusikan akhirat?” Ia mengajukan metodologi: berdasarkan informasi al-Quran dan Hadits.
Ini dikarenakan tak ada satu pun data empiris yang bisa dijadikan titik tolak untuk melakukan
analisis terhadap kehidupan akhirat (hlm. 4). Prosedur pertama ini disebutnya “sisi keimanan
sebagai entry point”. Kemudian, menurutnya, juga diperlukan “data-data empiris, serta teori-teori
ilmu pengetahuan modern, sebagai alat analisa dengan menggunakan mekanisme akal.”
Ditegaskannya, itu dilakukan agar analisis tidak menyimpang jauh dari kenyataan yang ada (hlm.
4).

Meskipun, menurut kami, kedua prosedur di atas telah memadai, namun dalam mendiskusikan
akhirat, data empiris macam apakah yang dapat kita peroleh? Apakah itu bukannya teori tentang
eksplanasi fakta yang dinyatakan sebagai data empiris?
Untuk dapat merekonstruksi akhirat, Agus Mustofa mengembangkan seperangkat instrumen
pertanyaan sebagai berikut:
Di mana alam akhirat itu?
Bagaimana bentuk kehidupan akhirat itu, apakah ruhani semata atau juga jasadi?
Kapan dimulainya alam akhirat, dan ditandai dengan kejadian apa?
Benarkah kita dibangkitkan kembali; lalu, bagaimana mekanisme kebangkitan?
Apa benar kita akan dimintai pertanggungjawaban, lalu bagaimana caranya?
Apa yang bakal terjadi di alam kehidupan akhirat, apa manusia akan hidup selama-lamanya?Apa
dan bagaimana surga dan neraka itu? (hlm. 9-10)
Seperti terlihat dalam instrumen pertanyaan di atas, Agus Mustofa tak hendak hanya bermaksud
membuktikan bahwa alam akhirat itu tidak kekal, melainkan hampir seluruh aspek kehidupan
alam akhirat hendak diungkapkan. Halaman-halaman berikut buku ini memberikan jawaban satu
demi satu atas seluruh pertanyaan tersebut. Namun demikian, tidak seperti yang dijanjikannya,
sedikit sekali data empiris yang dikemukakan oleh Agus Mustofa. Saya akan memberikan satu
contoh saja. Yakni tentang tempat di mana Adam diturunkan dari surga. Sama sekali hanya
berdasarkan ayat-ayat al-Quran Agus Mustofa menjawab pertanyaan ini, dengan kesimpulan:
“Dalam pemahaman saya, ya di permukaan Bumi juga, di sebuah wilayah yang kini disebut
sebagai Timur Tengah. Yang persisnya, perlu dilakukan penelusuran lebih jauh. Saya kira,
disinilah para ahli sejarah Islam harus mengambil peran” (hlm. 26).
Dengan gaya gelitik — namun tepat, Kyai Mustofa Bisri, mengomentari, “Tak jelas mengapa
Timur Tengah, kok tidak Indonesia, misalnya, yang alamnya jauh lebih asri?” (hlm. x, dalam
pengantar). Selanjutnya, hlm. 29-46, dipakai untuk menguraikan bahwa “semua di bumi
diciptakan untuk manusia”.

Persis seperti gelitikan Kyai Bisri, kita dapat bertanya, bagaimana Agus Mustofa dapat sampai
pada kesimpulan bahwa Adam dan Hawa diturunkan di Timur Tengah — ilmu pengetahuan apa
yang dipakainya, sementara Allah sama sekali tidak menyinggung lokasi turunnya Adam?
Apalagi, sejauh ilmu palaentologi diperkenankan turut berbicara di sini, tempat asal-mula
ditemukannya homo sapiens tertua (tentu saja, sejauh fosil-fosil yang telah diperoleh hingga
dewasa ini) justru di benua Afrika. Bila makna al-Quran harus koheren dengan ilmu pengetahuan,
maka mestinya tempat turunnya Adam adalah di Afrika!

Meskipun demikian, tetap saja ini adalah kesimpulan yang mendadak dan tiba-tiba! Dalam
epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan hal ini tidak diperkenankan. Kalimat kesimpulan itu
haruslah diubah menjadi: “maka, sejauh menurut ilmu pengetahuan modern mutakhir, tempat
turunnya Adam adalah di benua Afrika”. Ini adalah kalimat yang sama sekali berbeda dengan
kalimat kesimpulan sebelumnya. Yang pertama bersifat rigid, sedang yang kedua lebih bersifat
terbuka karena mempertimbangkan faktor waktu. Yang pertama, ada kemungkinan salah; namun,
yang kedua tidak memiliki kemungkinan salah karena adanya faktor waktu tersebut – yakni,
“sejauh menurut ilmu pengetahuan modern mutakhir”.

Sungguh, justru yang pertama itulah model data empiris yang dimaksudkan oleh Agus Mustofa
dalam bukunya ini. Itu pun kalau ia menunjuk data empiris, namun yang seringkali terjadi, ia
malah menjadikan teks-teks al-Quran sebagai fakta telanjang, yang kemudian dikaitkan (atau
dikait-kaitkan?) dengan teori-teori dalam disiplin pengetahuan tertentu.

Contoh lain adalah mengenai perbedaan dimensional: bahwa manusia ada di dimensi tiga, jin
dimensi empat, arwah-arwah manusia yang telah mati di dimensi lima, enam, tujuh, dan delapan,
sedang malaikat berada di dimensi sembilan. Sama sekali tidak ada fakta empiris yang
dipergunakan sebagai bukti atau argumen bagi pernyataan ini, kecuali bahwa Nabi Muhammad
pernah bertemu dengan arwah sejumlah nabi dari masa terdahulu di dimensi-dimensi itu, dimensi
mana terletak di langit ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6. Selain Nabi, siapa yang telah membuktikan
bahwa memang di sanalah terletak arwah manusia-manusia yang telah mati itu? Sejauh
menyangkut Nabi, yang didasarkan hanya kepada hadits, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra., kita
bisa menemukan hadits-hadits lain yang tidak mengisahkan pertemuan Nabi dengan para arwah
nabi itu. Literatur dan materi hadits sedemikian banyaknya, sehingga —sebagai akibat konflik
politik berkepanjangan yang melanda umat Islam sejak paruh terakhir masa pemerintahan Utsman
ibn Affan— cukup banyak di antaranya yang bertentangan satu sama lain. Imam al-Bukhari,
perawi hadits yang terkenal itu, di sepanjang hidupnya telah meneliti sekitar 600.000 hadits dan
hanya menemukan 7237 di antaranya yang shahih. Lalu, Imam Hajar al-Asqalani, membuktikan
bahwa lebih dari 100 hadits yang dinyatakan shahih oleh al-Bukhari, ternyata adalah hadits-hadits
mu’allaq, artinya, hadits dlaif. Seluruhnya menunjukkan bahwa tidak seluruh matan hadits Nabi
dapat kita telan mentah-mentah begitu saja.

Kembali pada topik kita. Untuk “melacak” kehidupan akhirat dan kemudian membuktikan bahwa
akhirat itu tidak kekal, Agus Mustofa memulai dengan penelusuran yang amat jauh: hingga ke
asal-mula asal semesta. Lalu, ia mengajukan teori:
Sekitar 12 miliar tahun yang lalu alam semesta diciptakan Allah lewat sebuah ledakan yang sangat
dahsyat.
Kemudian, sekitar 5 miliar tahun yang lalu terbentuklah tata surya kita, termasuk di dalamnya
adalah Bumi dan 8 planet lainnya. Sejak itu pula Allah membentuk kondisi Bumi yang
memungkinkan untuk kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah lapisan udara yang disebut
atmosfer.
Lantas, sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu Allah menciptakan makhluk bersel satu di daerah
perairan. Sekitar 1 miliar tahun yang lalu Dia memulai kehidupan di daratan, lewat makhluk yang
bersel lebih banyak. Dan, sekitar 550 juta tahun yang lalu Allah menciptakan berbagai jenis
tanaman dan binatang yang kompleks struktur tubuhnya.
Barulah sekitar puluhan ribu tahun yang lalu Allah menciptakan manusia untuk pertama kalinya,
yang kemudian berkembang biak hingga kini.
Seterusnya, Allah tetap memproses kejadian alam semesta ini hingga sekitar beberapa ribu tahun
lagi dan Bumi akan mengalami kiamat. Bumi bakal hancur, dan kehidupan makhluk di atasnya
pun musnah. Mirip kejadian punahnya Dinosaurus sekitar 150-200 juta tahun yang lalu.
Bumi akan mengalami recovery alias perbaikan lingkungannya kembali selama 2-3 miliar tahun,
untuk mengembalikan kehidupan di muka Bumi ini. Maka, ketika kondisi Bumi sudah ideal untuk
kehidupan tahap kedua, manusia dibangkitkan kembali dari dalam kuburnya. Itulah dimulainya
periode Akhirat.Manusia akan dihidupkan selama sekitar 15 miliar tahun di alam Akhirat, sampai
kehidupan semuanya lenyap, kembali kepada Sang Pencipta (hlm. 101-102).
Kita barangkali akan penasaran bagaimana Agus Mustofa dapat sampai menentukan angka-angka
itu secara persis?

Siapa Bilang Akhirat Kekal?

Rupanya, Agus Mustofa mendasarkannya pada asal-mula penciptaan alam semesta yang berpijak
pada Teori Big Bang (Ledakan Besar). Merujuk pada teori ini, ia mengemukakan bahwa suatu
waktu sekitar 12 miliar tahun yang lalu, Allah memulai proses penciptaan alam semesta, dengan
menciptakan ledakan raksasa yang mengakibatkan seluruh materi tersebar dan mengalami
pemuaian hingga sekarang, sejak itu alam semesta hingga kini sedang berproses menuju limit
pemuaiannya, yang diperkirakan akan tercapai 3 miliar tahun lagi. Pada saat tercapainya titik limit
pemuaian itulah — yakni kiamat bumi, alam semesta bergerak kembali ke dalam atau mengalami
proses penciutan. Ketika titik limitasi penciutan terjadi, itulah saat kiamat alam semesta, ketika
untuk keduanya kalinya alam semesta mengalami lagi ledakan raksasa (hlm. 129-131).

Seiring dengan dimulainya kehidupan akhirat (ketika proses penciutan terjadi), sejak waktu itu
pula hukum alam berjalan terbalik! (hlm. 129). Sebagai akibatnya, jika sekarang manusia
cenderung pada kematian, di akhirat manusia cenderung mengarah pada kehidupan abadi: “Yang
tadinya mati, justru akan HIDUP KEMBALI” (hlm. 129-130). Ini bukan saja karena berlakunya
hukum alam terbalik, namun karena entropi juga berbalik arah. Entropi dimaknai oleh Agus
Mustofa sebagai ketidakteraturan, di mana alam semesta bergerak menuju kehancuran (hlm. 53).
Dengan berbaliknya entropi, maka, kini yang terjadi bukanlah proses kehancuran melainkan yang
sebaliknya, alam tidak mengarahkan kita pada kematian (hlm. 133).

Berkaitan dengan terjadinya kiamat alam semesta di atas, Agus Mustofa melanjutkan bahasannya
mengenai alam barzakh. Di bagian inilah ia menjelaskan bagaimana kiamat alam semesta itu dapat
terjadi (hlm. 135-170). Struktur alam semesta terdiri dari materi dan energi, di mana materi dapat
berubah menjadi energi dan energi pun dapat berubah menjadi materi. Sedemikian rupa, sehingga
terjadi keseimbangan di antara keduanya, kuatnya materi mengakibatkan lemahnya energi, dan
kuatnya energi menyebabkan lemahnya materi. Tiap-tiap gerakan sesuatu apapun, termasuk
manusia, akan menghasilkan perubahan energi. “Sedikit apapun perubahan yang kita berikan,
maka akan terjadi perubahan susunan struktur energi lingkungan kita” (hlm. 157). Pada titik ini,
Agus Mustofa berteori bahwa: perbuatan baik akan menimbulkan perubahan positif dan
menghasilkan energi positif; sebaliknya, perbuatan buruk akan menimbulkan perubahan negatif
dan menghasilkan energi negatif.

Karena manusia “tenggelam di ‘lautan energi’ itu” maka, tiap-tiap energi positif dan negatif akan
memberikan penandaan pada “struktur energi di sekitar kita” (hlm. 159). “Struktur energi” itulah
yang oleh al-Quran disebut sebagai buku amalan. Oleh karena itu, meskipun seandainya tak ada
Malaikat Raqib dan Atid sekalipun, perbuatan manusia (plus atau minus) dengan sendirinya akan
tercatat. Perbuatan-perbuatan positif akan mempengaruhi “langit positif”, itulah Surga; dan
perbuatan-perbuatan negatif akan mempengaruhi “langit negatif”, itulah Neraka. Keduanya
terletak di langit yang ketujuh (hlm. 161). Berdasarkan Surat al-Anbiyâ’ (21) ayat 104,
Yaitu pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana
Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji
yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakan.
Disimpulkan oleh Agus Mustofa bahwa setiap langit tertentu bertugas untuk mencatat segala
kejadian, mulai dari langit pertama sampai langit ketujuh. Karena langit pertama dilingkupi oleh
langit kedua, sedang langit kedua dilingkupi oleh langit ketiga, demikian seterusnya, maka
kejadian-kejadian yang terdapat di langit pertama dengan sendirinya terekam juga di langit yang
ketujuh (hlm. 161). Dengan begitu, mudah saja bagi Allah untuk menjatuhkan vonis surga atau
neraka kepada seseorang, karena segala alat bukti tersedia dan tak ada yang terlewatkan sedikit
pun.

Titik perhatian kita adalah pada: “lautan energi”, karena bertemunya langit positif dan langit
negatif – sebagai akibat dari pemakaiannya untuk membalas kebaikan seseorang dan menghukum
kejahatan seseorang mengakibatkan energi akan mencapai titik nol. Itulah saat terjadinya kiamat
alam semesta.

Lalu, bagaimana kita membuktikan bahwa akhirat memang tidak kekal? Ini dilakukan melalui dua
pembuktian: logika agama dan logika sains (hlm. 228-241).

Yang dimaksudkan Agus Mustofa dengan logika agama adalah sebagai berikut. Allah adalah
Pencipta, karena itu disebut Khalik. Sedangkan alam, jadi, termasuk alam akhirat, adalah ciptaan
Allah, dan karena itu disebut makhluk. Ciri pokok makhluk dalam kaitannya dengan ini adalah:
dari tak ada, menjadi ada, dan kemudian akan tidak ada lagi. Karena alam akhirat adalah makhluk,
dengan sendirinya kelak ia akan tidak ada lagi, betapapun lama waktu yang diperlukan.

Persoalannya kemudian, terdapat banyak ayat dalam al-Quran (misalnya QS. al-Baqarah/2, ayat
25 dan 29; Ali Imran/3 ayat 107, al-Tawbah/9, ayat 100, Hûd/11, ayat 23, dan lain-lain – yang
seluruhnya, menurut Agus Mustofa, berjumlah sekitar 110 ayat) menyatakan dengan tegas bahwa
kehidupan di akhirat, jadi termasuk di surga dan di neraka, adalah kehidupan yang kekal.

Maka, demikianlah, ratusan ayat tersebut “dikalahkan” oleh Agus Mustofa demi ayat berikut ini,
Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah di dalam Neraka, di dalamnya mereka
menarik dan mengeluarkan nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa
yang Dia Kehendaki. Adapun orang-orang yang bahagia tempatnya adalah di dalam Surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada Langit dan Bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain),
sebagai karunia yang tiada putus-putusnya (QS. Hûd/11, ayat 106-108).
Berdasarkan ayat di atas, surga dan neraka bergantung pada “keberadaan Langit dan Bumi alias
alam semesta.” Konsekuensinya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan Bumi atau alam semesta
ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam
Akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” (hlm. 234). Dengan kata lain,
demikian ditandaskan olehnya, kalau akhirat memang kekal, maka “Pastilah Allah lebih kekal”
(hlm. 236).
Menurut Agus Mustofa logika sains dapat menjelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan
alam semesta lenyap:
Bertemunya ‘langit positif’ dan ‘langit negatif’, ketika seluruh energi positif yang dihasilkan oleh
manusia telah dihabiskan untuk menikmati kebahagiaan surga; ketika seluruh energi negatif yang
dihasilkan oleh manusia telah habis dibakar atau dipakai untuk menyiksa manusia di neraka, itulah
saat di mana energi positif menjadi nol, dan energi negatif juga menjadi nol. “Itulah saat-saat kita
semua kembali kepada ‘Ketiadaan Mutlak’. Atau sebaliknya, menjadi ‘Keber-Ada-an Mutlak’.”
(hlm. 240); dan
’menciutnya’ alam semesta setelah mengalami kondisi berkembang selama 15 miliar tahun,
sehingga lenyap di pusat alam semesta (hlm. 237). Hal ini didasarkan pada logika: “jika alam
semesta berkembang dari kondisi awal (Big Bang) sampai berhenti membutuhkan waktu 15 miliar
tahun, maka waktu yang diperlukan untuk menciut dari kondisi berhenti menuju titik awal juga
selama 15 miliar tahun” (hlm. 241).
Selanjutnya, karena sedemikian lamanya waktu yang 15 miliar tahun itu, “sangat masuk akal
kalau Allah sangat sering menggunakan kata ‘Kekal’ dan ‘Abadi’ untuk menggambarkan lamanya
periode Akhirat itu” (hlm. 241).

Dan akhirnya, “sekitar 18 miliar tahun dari sekarang, alam semesta ini akan lenyap kembali
seperti awal mulanya. RUANG TIDAK ADA. WAKTU TIDAK ADA. BENDA-BENDA PUN
TIDAK ADA. YANG ADA HANYALAH ALLAH, SANG MAHA PERKASA — SUMBER
SEGALA CINTA DAN KEDAMAIAN DI ALAM SEMESTA . . .” (hlm. 241).

Demikianlah, Agus Mustofa menginformasikan kepada kita bahwa kiamat akan terjadi 3 miliar
tahun lagi, dan alam semesta akan lenyap 18 miliar tahun lagi, saat di mana alam akhirat pun juga
akan musnah.

Sekadar Tinjauan (Kritis)

Pertama-tama, kami ingin menyatakan bahwa karya Agus Mustofa ini adalah sebuah buku yang
amat berguna bagi kaum Muslim terutama yang awam atau tidak mampu memperkaitkan antara
kebenaran wahyu Allah dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern. Sudah sering dikemukakan
bahwa ilmu pengetahuan dapat bertentangan dengan pengetahuan agama. Ini adalah pernyataan
yang sama sekali salah. Agama dan wahyu yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ilmu
pengetahuan, karena kedua-duanya mengacu pada realitas atau kenyataan secara objektif dan
rasional. Namun, memang tidak banyak kaum Muslim yang telah mampu melakukan hal tersebut.
Agus Mustofa telah memberikan kontribusinya dalam bidang ini. Terlepas dari itu, cukup banyak
penafsiran atau “temuan” Agus Mustofa yang belum dapat kita setujui — paling tidak, kita masih
meminta bukti dan argumentasi lebih lanjut.

Sesungguhnya, kami ingin mendalami aspek metodologis, namun tampaknya Agus Mustofa tidak
terlalu mempermasalahkan aspek metodologis karyanya ini. Dalam penafsiran al-Quran, misalnya,
Agus Mustofa tampaknya terikat dengan aspek lahiriah teks. Informasi mengenai kesejarahan
(Nabi Adam, misalnya) telah diterima bulat-bulat begitu saja. Tidak sedikit mufasir al-Quran yang
telah memaknai kisah Adam dan Hawa dalam al-Quran merupakan metafora semata untuk
menunjukkan kualitas manusia (lebih baik daripada malaikat) namun sekaligus tetap secara fitrah
memiliki kelemahan (tergoda sehingga melanggar larangan Allah). Surat Hûd/11 ayat 106-108
juga dipahami secara harfiah, padahal mufasir terkenal seperti al-Qurtubi dan Ibn Katsir di jaman
abad pertengahan dulu sudah mengemukakan bahwa pernyataan itu adalah berbasis sastra Arab
belaka. Seperti halnya ketika Allah bersumpah demi buah/pohon Tin, demi waktu/masa: untuk apa
Allah bersumpah demi sesuatu yang akan musnah. Namun, itu tetap dipergunakan karena memang
demikianlah cara orang Arab dahulu agar suatu pernyataan memperoleh perhatian yang serius.
Allah dapat saja mengatakan dengan cara lain, namun, karena al-Quran adalah petunjuk bagi
manusia, maka ia akan diwahyukan dalam bentuk yang sedemikian cara agar dapat dipahami oleh
manusia.

Pendekatan sastra akan mengalahkan pendekatan harfiah, dalam pernyataan, misalnya, “perbuatan
lelaki itu bagai pagar makan tanaman”. Tak ada yang salah dengan kalimat ini, dan bahwa “pagar
makan tanaman” adalah pernyataan yang benar dan sesuai fakta karena maksud anak kalimat itu
adalah “tidak tahu balas budi”; bukannya harfiah: serangkaian pagar sedang asyik menikmati
menu berupa tanam-tanaman.

Sejauh menyangkut topik buku ini, dapat kita katakan sejumlah hal. Pertama, secara hakiki,
tidaklah mungkin bahwa akhirat adalah kekal; kenyataan bahwa suatu waktu dahulu akhirat
pernah tidak ada, sudah dengan sendirinya menunjukkan ketidakkekalan. Namun, kalau Allah
bermaksud melangsungkan kehidupan akhirat tanpa memusnahkannya, itu juga masih termasuk ke
dalam Kekuasaan Allah. Kalau Allah mampu menciptakan sesuatu secara creatio ex nihilo, kenapa
Dia tidak mampu membuatnya ada secara terus-menerus? Yang harus dicatat: keberadaan alam
akhirat itu sepenuhnya bergantung kepada Kehendak Allah semata. Jadi, dalam hal tidak kekalnya
akhirat, Agus Mustofa benar. Tetapi bahwa akhirat pun pada akhirnya akan sirna, itu yang tidak
terdapat informasinya dalam al-Quran, sebaliknya kitab suci itu justru menginformasikan
berlangsung selama-lamanya. Sekali lagi, selama-lamanya tidak selalu berarti kekal!

Kedua, apakah alam akhirat memang harus di bumi? Itu yang menjadi persoalan. Nampaknya,
mustahil bahwa kehidupan akhirat akan berlangsung di bumi dalam keadaan sebagaimana adanya
dewasa ini. Namun, bilamana yang dimaksudkan adalah berlangsung dalam kosmos atau alam
semesta ini, nampaknya penafsiran ini masih dimungkinkan. Seorang pakar filsafat Islam, Fazlur
Rahman, pernah mengemukakan,
“Al-Qur’an tidak berbicara mengenai penghancuran alam semesta, tetapi mengenai transformasi
dan penyusunan kembali alam semesta untuk menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang baru
pada level-level kehidupan yang baru. … [seluruhnya] untuk meng-gambarkan kebesaran-Nya
yang mutlak dan abadi” (Tema Pokok al-Quran, 1983, hlm. 161).
Seluruh angka yang disebutkan oleh Agus Mustofa, menurut hemat kami, dalam hal ini amat tidak
relevan. Tidak selalu ayat al-Quran yang menunjuk angka harus dipahami secara harfiah, hikmah
atau pelajaran moral-lah yang hendak diajarkan oleh Allah. Misalnya, dalam ayat yang berkaitan
dengan Perang Badar berikut,
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu:
“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang
datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfâl/8, ayat 9).
Kalau memang itu tujuannya, Allah tidak perlu menurunkan seribu malaikat, cukup satu malaikat
saja, pasukan musyrik Quraisy Makkah yang hanya berjumlah 750 orang itu, pasti akan kalang
kabut. Tetapi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang
memperjuangkan Risalah-Nya. Kenyataannya, 313 orang Madinah harus berjuang hebat untuk
dapat memenangkan perang di hari itu. Dan tak ada tanda bahwa seorang Quraisy harus
menghadapi satu atau dua malaikat yang menyandang pedang.

Pada dasarnya, manusia adalah “makhluk material”, sebagai akibatnya cakupan ilmu pengetahuan
manusia adalah meliputi “hal-hal material” juga. Baik mengenai jin, malaikat, akhirat – surga dan
neraka, maupun mengenai Tuhan, apa yang diketahui manusia, kalaupun ada, sungguh-sungguh
sedikit. Wilayah pun, bukan lagi wilayah ilmu, melainkan wilayah filsafat. Filsafat memiliki
prosedur konklusi yang berbeda. Namun, keduanya sama dalam hal berbasis pada fakta. Dewasa
ini, ilmu tanpa filsafat akan kehilangan orientasi dasar dan makronya, filsafat tanpa ilmu akan
“liar”. Seluruh pembahasan alam akhirat ini berada dalam wilayah “immaterial”; akibatnya, tak
ada ilmu yang dapat memverifikasi atau memfalsifikasinya, dan, karenanya, filsafat pun terbatas
pada wilayah “dugaan” semata. Malahan, sebenarnya, hanya sedikit yang telah kita ketahui
mengenainya. Apakah berdasarkan yang sedikit ini kita dapat memiliki gambaran yang memadai
tentang akhirat? Apalagi bila diingat, yang sedikit itu didasarkan kepada “hukum-hukum material”
yang belum lagi menjadi aksioma, namun barulah sebatas teori, sedangkan alam akhirat berada
dalam wilayah “hukum-hukum immaterial” – paling tidak hingga saat ini.

Keberadaan alam akhirat adalah benar adanya – malahan, bagi manusia yang mudah lengah itu
(QS. Qâf/50, ayat 22), adanya kehidupan akhirat adalah keharusan. Tak setiap kebaikan di dunia
berbuah kebaikan, sebaliknya, tak setiap kejahatan berbalas hukuman. Agar ada perhitungan yang
fair atas kinerja dan perilaku bagi tiap-tiap orang, suatu “Hari Pembalasan” atas setiap perbuatan
baik atau buruk sekecil apapun haruslah ada. Dan itulah Hari Akhirat. Sesungguhnya, inilah
pelajaran pokok atas banyaknya ayat-ayat Allah yang membicarakan alam tersebut.

Lâ yukallifullâhu nafsan illa wus ‘ahâ


Weko Kuncara di 11.02

Anda mungkin juga menyukai