Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN ILAH/ TUHAN DAN KONSEP TUHAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Ilah (‫)اله‬/Tuhan

Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam
surat  al-Furqan ayat 43.

‫أَ َرأَيْتَ َم ِن ات ََّخ َذ إِلَ َههُ ه ََواهُ أَفَأ َ ْنتَ تَ ُكونُ َعلَ ْي ِه َو ِكياًل‬

Artinya: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38,

‫ت لَ ُك ْم ِم ْن إِل ٍَه غَْي ِري‬


ُ ‫ال ِف ْر َع ْو ُن يَا أ َُّي َها ال َْمأَل ُ َما َعلِ ْم‬
َ َ‫َوق‬

perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

Artinya: Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak
mengetahui Tuhan bagimu selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda
nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak
(jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang
definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang


dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di
saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk
apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis,
tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti
mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)
mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu
Tuhan yang bernama Allah.

Doktrin tauhid Islam mengakui ilah adalah Allah sebagai zat yang wajib disembah,
dipuja, Pencipta alam semesta. " Allah " adalah nama yang tepat dari konsep Tuhan,
sedangkan "ilah" adalah nama umum  yang mengacu pada konsep Tuhan dalam keyakinan
apapun.
Kata ilah digunakan dalam Q.S. al-Taubah: ayat (31)
ُ ‫… َو َما أُ ِم ُروا إِال لِيَ ْعبُدُوا إِلَ ًها َوا ِحدًا ال إِلَهَ إِال ُه َو‬
ْ ُ‫س ْب َحانَهُ َع َّما ي‬
. َ‫ش ِر ُكون‬

Artinya: …dan tidaklah kamu diperintah kecuali untuk beribadah (menyembah)


kepada Tuhan yang satu, tiada tuhan selain Dia, maha suci dia (Allah) dari
apa yang mereka sekutu-kan.

Q.S. al-Nahl ayat (22)


ْ ‫إِلَ ُه ُك ْم إِلَهٌ َوا ِح ٌد فَالَّ ِذينَ اَل يُؤْ ِمنُونَ بِاآْل َ ِخ َر ِة قُلُوبُ ُه ْم ُم ْن ِك َرةٌ َو ُه ْم ُم‬
َ‫ستَ ْكبِرُون‬
Artinya: "Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tapi mereka yang tidak beriman
pada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), dan mereka adalah
orang-orang yang sombong . ( QS. an Nahl , 20 - 22 )

Doktrin Allah dalam Quran dan hadits adanya fakta bahwa Dia tidak hanya İlah kaum
muslimin, tetapi juga İlah semua alam. Sehingga semua makhluk sengaja atau tidak sengaja
tunduk dan menyembah-Nya.

B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan


1.    Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan
yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-
mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson
Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
a.     Dinamisme
             Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan
syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak
dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b.    Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya
peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati.
Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang,
rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif
dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c.    Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena
terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.

d.    Henoteisme
       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi
lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e.    Monoteisme

       Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu:
Theisme, deisme dan panteisme.

Theisme, berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan yang maha sempurna,


sehingga antara Tuhan dan makhluk sangat berbeda. Ciri lain dari theisme bahwasannya
Tuhan setelah menciptakan alam,  ia tetap aktif  mengawasi dan memeliharanya. Karena itu
Theisme menyakini kebenaran mu’jizat, begitu juga ketika seseorang berdoa maka akan
didengar dan dikabulkan oleh Tuhan kerena ia Maha Pendengar.

Deisme, menurut paham ini Tuhan berada jauh di luar alam. Tuhan menciptakan
alam, namun setelah menciptakannya ia tidak lagi memperhatikan dan memelihara alam lagi.
Alam berjalan dengan sesuai dengan peraturan-peraturan  yang telah ditetapkan ketika proses
penciptaan. Menurut paham deisme Tuhan diibaratkan sebagai tukang jam yang sangat ahli,
sehingga setelah jam itu selesai tidak membutuhkan si pembuatnya lagi. Jam itu berjalan
sesuai dengan mekanisme yang tersusun dengan rapi. Apabila ala mini mengalami
kerusakan, alam tidak membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya Karena alam sudah
mempunyai mekanisme sendiri untuk menjaga keseimbangan.

Panteisme, pan berarti seluruh. Dengan demikian panteisme mengandung arti


seluruhnya Tuhan. Paham ini berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan
adalah seluruh alam. Benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera adalah bagian dari
Tuhan. Manusia, binatang, tumbuhan dan benda mati adalah bagian dari Tuhan. Tuhan dalam
panteisme ini sangat dekat dengan alam.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang
yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat
mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan revealation atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993:
26-37). 

2. Perdebatan soal Tuhan dan kebenaran dalam Sejarah Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlak yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada
doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan
nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan
suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah
yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman
khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan
erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai
kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut
Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas
dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari
perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi
kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan
pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak.
Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua
kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan
keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni),
2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-


segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak
Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena
menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas
terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah.
Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah
(5) : 44

َ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬


  َ‫ك هُ ُم ْال َكافِرُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

 Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-
Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang
orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah
mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim
perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar.
Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan
pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah
bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan


tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha
mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan
diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan
komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang
terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar
gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir.
Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat dengannya
memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap
bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah
memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut
kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep


yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada
waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin
Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

 Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik
ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat.
Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan
Qadariah.

 Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan


mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak
mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja
menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah
ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

3.   Pencarian Tuhan dan Pencarian Kebenaran

Manusia di dalam kehidupannya di dorong oleh fitrah untuk bertuhan senantiasa


berusaha mencari dan mengenali Tuhan, begitu juga fitrah manusia senantiasa cendrung dan
cinta pada kebenaran sehingga manusia juga senantiasa mencari kebenaran.

Dalam mencari dan mendekati Tuhan, terkadang manusia merasa dan mengaku paling
kenal dan paling dekat dengan Tuhan di bandingkan orang lain, begitu juga manusia dalam
mencari kebenaran terkadang manusia merasa dan mengaku paling dekat dengan kebenaran
sementara orang lain jauh dari kebenaran. sehingga Tuhan dan Kebenaran selalu
diperebutkan.

Kenyataannya upaya yang dapat dilakukan oleh manusia dalam mengenali Tuhan dan
mencari kebenaran, hanyalah mendekati dan menghampiri Tuhan dan kebenaran itu. Karena
di dalam mencari Tuhan manusia hanya bisa mendekati Tuhan, sedekat apa pun manusia
dengan Tuhan selamanya ia tidak akan bisa menjadi Tuhan itu sendiri. Begitu juga dengan
kebenaran selamanya manusia hanya bisa mendekati kebenaran, sedekat apa pun manusia
dengan kebenaran ia tidak akan bisa menjadi kebenaran itu sendiri. Ibarat minyak dengan air
walau pun berdekatan tetapi tidak bercampur.

Oleh karena itu lah Tuhan dan kebenaran dalam bahasa Arab dinamakan al-Haqq.

4. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain
dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah
(2) : 165, sebagai berikut:

 ِ ‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن د‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan
terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

 Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang
mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum
turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29).
Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha-besaran Allah,
kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan
apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena
Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep
ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut; 

َ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ ل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬

 Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

 Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru layak dinyatakan bertuhan
kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti
konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-
Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga
pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban
atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah di samping Allah sebagai
Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

Daftar Pustaka

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan,


1989), h. 16-21, 54-56.

 Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2001), h. 28-39.

Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981), h. 9-
11.

Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,


1983), h. 39-101.

Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-77.

Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 55-152.

Anda mungkin juga menyukai