Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH DISYARIATKANNYA SOLAT


Dosen Pengampu : Dr.(CH) Syafruddin M.Pd

Kelompok 3 (Tiga)
1. Kurnia Rahayu
2. Nurul Amelia
3. Dewi Sartika

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL - BAROKAH

Tahun Pelajaran 2022/2023

I
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat


Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat
menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
saya membahas mengenai “Sejarah di syariatkannya sholat”

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.

Depok Januari 2022

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................I

KATA PENGANTAR ........................................................................................II

DAFTAR ISI........................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. LATAR BELAKANG...............................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2

A. PENGERTIAN SHOLAT.........................................................................2
B. SEJARAH SYARIAT SHOLAT..............................................................3
C. KEDUDUKAN SHOLAT DALAM ISLAM............................................7
D. LANDASAN HUKUM SHOLAT WAJIB DAN SUNNAH....................11

BAB III PENUTUP.............................................................................................12

A. KESIMPULAN.........................................................................................12
B. SARAN......................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................13

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sering kali kita sebagai orang islam tidak mengetahui kewajiban kita
sebagai mahluk yang paling sempurna yaitu sholat, atau terkadang tau tentang
kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukaan. Selain itu juga
bagi kaum fanatis yang tidak menghargai tentang arti khilafiyah, dan
menganggap yang berbeda itu yang salah. Oleh karena itu mari kita kaji bersama
tentang arti shalat, dan cara mengerjakannya serta beberapa unsur didalamnya.
Dalam pembahasan kali ini juga di paparkan sholat dan macamnya Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan
harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Shalat merupakan
rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah
satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia
mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia
meruntuhkan agama (Islam).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Shalat
2. Bagaimana Sejarah Syariat Solat
3. Bagaimana Kedudukan Shalat Dalam Islam
4. Bagaimana Landasan Hukum Sholat ( Wajib & Sunnah )

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui Pengertian Shalat
2. Untuk mengetahui Sejarah Syariat Solat
3. Untuk mengetahui Kedudukan Shalat Dalam Islam
4. Untuk mengetahui Landasan Hukum Sholat ( Wajib & Sunnah)

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SHOLAT
Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah, sholat menurut bahasa
(etimologi) berarti do'a, dan secara terminologi / istilah, para ahli fiqih
mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan yang telah ditentukan
(Sidi Gazalba,88)
Adapun scara hakikinya ialah” berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara
yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa
kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”atau” mendahirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan a
tau dengan keduaduanya. (Hasbi AsySyidiqi, 59).
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat
dan rukun yang telah ditentukan syara (Imam Bashari Assayuthi, 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan
syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah
dalam rangka ibadah dan memohon rido-Nya. Sholat dalam agama islam
menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga, ia
merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.

2
B. SEJARAH SYARIAT SHOLAT
Syekh M Khudhari Bek dalam karyanya, Tarikh Tasyri Al-Islami,
mengawali pembahasan shalat secara bahasa. “Shalat” bukanlah kata yang
berasal dari agama Islam. Kata “shalat” telah digunakan oleh masyarakat Arab
pra-Islam dengan pengertian doa dan istighfar. (M Khudari Bek, Tarikhut Tasyri
Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], 25-26).
Kata “shalat” bisa jadi bermakna tetap atau terus menerus. Dari pengertian
ini muncul kalimat “man yashla fin nar” atau orang yang kekal di neraka.
Pandangan ini, kata Khurdhari Bek, dipegang oleh Al-Azhari karena shalat
adalah ketetapan yang diwajibkan oleh Allah. Shalat merupakan kewajiban
terbesar yang diperintahkan untuk tetap dilaksanakan.
Pandangan lain mengatakan, “shalat” diambil dari dua urat yang menjaga
tulang ekor unta atau hewan lainnya. Shalat secara bahasa juga berarti awal dua
persendian paha manusia yang mana keduanya secara hakiki menjaga tulang
ekor manusia.
Adapun pandangan ketiga mengatakan, kata “shalat” diadopsi dari kata
“shaluta” yang dalam bahasa Ibrani berarti tempat ibadah. Kata ini dipakai
kemudian oleh Al-Qur’an dengan makna yang sama, yaitu pada Surat Al-Hajj
ayat 40. Bangsa Arab juga kemudian mengadopsi dan menggunakan kata ini
dengan makna doa dan istigfar. Setelah itu Al-Qur’an menggunakan kata
“shalat” dengan pengertian yang dipahami bangsa Arab, yaitu pada Surat At-
Taubah ayat 103 dan Surat Al-Ahzab ayat 56.
Tidak pengertian khusus yang dipahami bangsa Arab dari kata “shalat”
selain seruan kepada Allah saat masyarakat Arab pra-Islam bertalbiyah tanpa
berpakaian sebagaimana keterangan pada Surat Al-Anfal ayat 35. (M Khudari
Bek, 1995 M/1415 H: 26).
Shalat pada Masa Islam Ibadah shalat disyariatkan pada awal-awal Islam.
ibadah shalat ketika itu hanya berjumlah dua rakaat pada pagi dan sore hari
sebagaimana keterangan Surat Ghafir ayat 55. Adapun ibadah shalat pada malam
hari ketika itu hanya terbatas pada pembacaan Al-Qur’an secara tartil sebagai
keterangan pada awal Surat Al-Muzzammil. Sedangkan shalat lima waktu yang

3
kita kenal sampai sekarang diwajibkan beberapa waktu menjelang hijrah Nabi
Muhammad SAW.
Tidak ada perintah yang diberikan perhatian secara lebih oleh Al-Qur’an
selain shalat. Al-Qur’an memerintahkan ibadah shalat dengan berbagai macam
stilistika bahasa, kadang dengan perintah secara eksplisit, kadang dengan
memuji orang yang melakukan shalat, dan kadang dengan mencela orang yang
meninggalkannya sehingga dari semua itu orang yang meneliti Al-Qur’an
menyimpulkan bahwa shalat adalah pilar agama Islam dan tidak ada bagian
Islam bagi mereka yang meninggalkan, mengabaikan, dan bersikap munafik
terhadap shalat.
Jumlah shalat dan jumlah rakaat shalat secara rinci memang tidak
disebutkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Waktu shalat hanya disebutkan
secara garis besar sebagaimana keterangan Surat Ar-Rum ayat 17, Surat Al-Isra
ayat 78, Surat Hud ayat 114, dan Surat Al-Baqarah ayat 238. (M Khudari Bek,
1995 M/1415 H: 27).
Tata cara shalat hanya disebutkan sebagian oleh Al-Quran pada Surat Al-
Baqarah ayat 238 dan Surat Al-Hajj ayat 77. Tata cara shalat secara rinci dapat
ditemukan pada praktik shalat Rasulullah SAW (hadits fi’li). Rasulullah
melakukan shalat lima waktu secara berjamaah dengan para sahabat. Ia
bersabda, “Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku melakukannya.”
Orang yang melakukan shalat diharuskan untuk menghadap ke arah
Masjidil Haram. Pada awalnya, Rasulullah melakukan shalat dengan menghadap
ke arah Baitul Maqdis. Tetapi Al-Qur’an kemudian memerintahkannya untuk
menghadap ke arah Masjidil Haram, yaitu rumah ibadah pertama yang dibangun
untuk manusia, yaitu rumah ibadah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail
AS sebagai bapak bagi bangsa Arab sebagaimana keterangan pada Surat Al-
Baqarah ayat 144.
Manna’ Al-Qaththan menceritakan, Al-Qur’an dan hadits menunjukkan
bahwa kewajiban ibadah shalat disyariatkan pada awal pengutusan Nabi
Muhammad SAW sebagai rasul sebagaimana keterangan enam ayat pertama
Surat Al-Muzzammil. Dari sana kemudian sebagian ulama berpendapat bahwa
ibadah shalat semalam suntuk diwajibkan.

4
Setelah berjalan 16 bulan, kewajiban shalat semalaman itu dirasa berat oleh
sahabat. Kewajiban itu kemudian diringankan sebagaimana keterangan Surat Al-
Muzzammil ayat 20 yang mewajibkan ibadah shalat pada sebagian malam saja.
(Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut Tasyri Al-Islami: At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh,
Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433 H], halaman 139).
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa kewajiban ibadah
shalat semalaman hanya berlaku khusus bagi Rasulullah SAW. Kewajiban itu
dilaksanakan oleh Rasulullah selama 10 tahun sebagaimana perintah Allah
SWT. Ibadah shalat semalaman diikuti oleh sekelompok sahabat. Karena dirasa
berat, Allah menurunkan Surat Al-Muzzammil ayat 20 sebagai bentuk
keringanan bagi umat Islam untuk melakukan ibadah shalat pada sebagian
malam saja. Keringanan itu diturunkan setelah kewajiban shalat semalaman itu
berlangsung selama 10 tahun. Kewajiban shalat malam pada gilirannya dihapus
dengan datangnya perintah kewajiban shalat lima waktu pada peristiwa Isra’ dan
Mi’raj.
Al-Qaththan juga mengutip sebuah riwayat yang mengatakan, Rasulullah
SAW pada awal-awal pengutusannya sebagai rasul melakukan ibadah shalat
sebanyak dua rakaat pada pagi dan sore hari. Dua rakaat pagi dan sore hari ini
dapat dipahami juga dari Surat Al-Mukminun ayat 1-2 (ayat Makkiyyah) yang
menyebutkan shalat orang yang khusyuk.
Ulama, kata Al-Qaththan, bersepakat bahwa shalat lima waktu dalam sehari
diwajibkan pada malam Isra’ dan Mi’raj, sekira satu tahun sebelum hijrah Nabi
Muhammad SAW ke Kota Madinah. Ibadah shalat awalnya diwajibkan
sebanyak 50 waktu dalam sehari semalam, tetapi kemudian terjadi negosiasi
hingga akhirnya berjumlah lima waktu sebagaimana diriwayatkan dalam Isra’
dan Mi’raj.
Sayyidatina Aisyah RA mengatakan perihal jumlah rakaat shalat, “Shalat
lima waktu dilakukan sebanyak dua rakaat setiap kalinya. Tetapi kemudian
jumlah rakaatnya ditambah saat bermukim dan tetap dua rakaat saat
berperjalanan.” (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140).
Adapun waktu shalat lima waktu disebutkan oleh Al-Qur’an secara garis
besar (mujmal) pada Surat Ar-Rum ayat 17-18. Adapun keterangan waktu shalat

5
secara rinci didapatkan dari riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ahmad yang asalnya juga terdapat pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Rasulullah SAW pada riwayat tersebut mengatakan, “Suatu hari Jibril
mengimamiku shalat selama dua hari. Ia shalat zuhur bersamaku di akhir shalat
Subuh Jibril kemudian menoleh kepadaku, ‘Wahai Muhammad, inilah waktu
shalat para nabi sebelum kamu. Waktu shalat ada di antara keduanya (awal dan
akhir waktu). (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140).
Ketentuan shalat lima waktu dapat ditemukan keterangannya melalui hadits
fi’li (al-bayanul fi’li). Jibril mengimami Rasulullah SAW dalam ibadah shalat
lima waktu selama dua hari berturut-turut. Keduanya melakukan shalat pada
awal waktu (zuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh) pada hari pertama dan pada
akhir waktu (zuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh) pada hari kedua. “Wahai
Muhammad, waktu shalat ada di antara keduanya (awal dan akhir waktu
tersebut).” (M Sulaiman Al-Asyqar, Af’alur Rasul wa Dalalatuha alal Ahkamis
Syar’iyyah, [Yordan, Darun Nafa’is: 2015 M/1436 H], juz I, halaman 93).
Sya’ban M Ismail mengatakan, Rasulullah SAW dan sahabatnya melakukan
ibadah shalat sebelum ibadah shalat diwajibkan pada malam Isra’ dan Mir’aj 10
Hijriyah. Al-Qur’an telah menyebutkan ibadah shalat di awal-awal masa
kerasulan seperti pada surat pertama, Surat Al-Alaq ayat 9-10 dan Surat Al-
Qiyamah ayat 31-32 yang diturunkan sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj.
(Sya’ban M Ismail, Tarikhut Tasyri Al-Islami Marahiluhu wa Mashadiruhu,
[Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 57-58).
Menurut Ismail, kata “shalat” sering disebutkan dalam Al-Qur’an sebelum
peristiwa Isra’ dan Mir’aj. Kalau diteliti dari perjalanan hidup Nabi Muhammad
SAW, banyak sekali riwayat yang menyebutkan aktivitas shalat Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Sedangkan waktu dan tata cara shalat sebelum
peristiwa Isra’ dan Mir’aj 10 Hijriyah tidak tercatat dalam sejarah. Bisa jadi
melacak jejaknya menjadi upaya sia-sia. Yang mungkin kita bayangkan bahwa
shalat adalah sarana bertawajuh kepada Allah. Kata “shalat” dalam pengertian
bangsa Arab adalah doa.
Yang jelas, kata Ismail, shalat umat Islam sebelum Isra’ dan Mir’aj dilakukan
dengan cara-cara tertentu dengan argumentasi bahwa orang-orang musyrik

6
Makkah mengejek shalat Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Sedangkan
shalat yang dikenal sekarang ini diwajibkan oleh Allah tanpa perantara malaikat
pada peristiwa Isra’ dan Mir’aj.
Jibril kemudian menerangkan ketentuan waktu shalat tersebut dengan
melakukan shalat bersama Nabi Muhammad dan sahabatnya yang menjadi
ketentuan awal dan akhir waktu shalat hingga saat ini. Ismail juga mengutip
jumlah rakaat shalat pada awal-awal Islam, yaitu sebanyak dua rakaat setiap
kalinya selain maghrib yang berjumlah tiga rakaat sejak semula. Tetapi
kemudian jumlah rakaatnya ditambah menjadi 4 rakaat saat bermukim sehingga
shalat zuhur, ashar dan isya berjumlah empat rakaat dan tetap dua rakaat saat
berperjalanan sebagaimana asal tasyri’.” (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H:
58).
Pada mulanya, tidak ada larangan berbincang dan melakukan apa saja saat
seseorang sedang melakukan shalat. Orang itu dapat menyempurnakan shalatnya
setelah bincang dan aktivitasnya selesai di tengah shalatnya. Tetapi setelah
terbiasa melakukan shalat dan telah merasakan kebesaran Allah yang “diajak”
munajat dalam shalat, para sahabat dilarang berbicara dan melakukan aktivitas
apapun sambil melakukan shalat. Kalau tetap melakukan itu, shalat mereka
dianggap batal. Perihal shalat sambil berbicara dan main-main, Surat Al-Baqarah
ayat 238 diturunkan. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 58-59).
Imam Ahmad dan Imam Bukhari meriwayatkan cerita sahabat Zaid bin
Arqam yang mengatakan, “Dulu kami bercakap-cakap pada saat melakukan
shalat sampai ayat itu turun dan kami diperintahkan untuk berdiam dan kami
dilarang untuk berbicara.” (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59).
Adapun pelajaran yang dapat diambil, kata Ismail, adalah bahwa anak-anak
yang mulai belajar membiasakan shalat, lalu berbicara, dan main-main, tidak
perlu ditegur. Kita, lanjut Ismail, perlu menyikapinya dengan lemah lembut.
Sikap yang sama terhadap anak-anak ditujukan kepada orang yang baru
memeluk agama Islam dan menganjurkan mereka untuk membiasakan shalat
dengan lemah lembut. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59).

C. KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM

7
Shalat sebenarnya telah dipersintahkan Allah kepada umat terdahulu
sebelum umat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Allah Ta’ala
berfirman (artinya), “Wahai Bani Isra’il ingatlah nikmat yang telah Aku berikan
kepada kalian tegakkanlah shalat,
keluarkanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku. [Al Baqarah: 4
0-43].
Allah juga berfirman (artinya), “Dan tidaklah mereka (ahlul kitab dan
musyrikin) diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah semata,
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Demikianlah agama yang lurus.”[A
l Bayyinah:]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Islam dibangun
atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain
Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.
a) Kedudukan sholat dalam islam yaitu:
1) Shalat sebagai sebab seseorang ditolong oleh Allah. Hal ini karena Allah
sendiri berfirman (artinya), “ Wahai orang-orang yang beriman mintalah
pertolongan kepada Allah dengan kesabaran dan shalat” [Al Baqarah 153].
Shalat bila ditunaikan sebagaimana mestinya niscaya akan menyebabkan
seseorang ditolong oleh Allah dalam setiap urusannya.
2) Shalat merupakan sebab seseorang tercegah dari kekejian dan
kemungkaran. Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran.” [Al Ankabuut 45]. Jika
shalat dikerjakan
dengan semestinya pasti akan mencegah pelakunya dari kekejian dan kem
ungkaran dengan ijin Allah.
3) Shalat merupakan salah satu rukun islam. [H.R Al bukhari 8 dan
Muslim16]
4) Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab/ dihitung di hari
kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada

8
hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia akan beruntung
dan selamat. Namun bila shalatnya jelek maka ia akan merugi dan
celaka..” [H.R At Tirmidzi 413 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani].
Yang dimaksud shalat merupakan amalan pertama kali yang dihisab di hari
kiamat adalah shalat wajib, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
Wasallam yang lain (artinya), “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab
dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib” [H.R ibnu
Majah 1425 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Telah dimaklumi
bahwa shalat yang diwajibkan kepada
kita adalah shalat 5 waktu (Zhuhur, ‘Ashr, Maghib, Isya’ dan Subuh). Dem
ikian pula shalat Jum’at bagi pria. Inilah yang disepakati seluruh ulama.
5) Keutamaan shalat dapat dilihat dari awal perintah untuk mengerjakannya
yaitu diperintahkan langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam tanpa melalui perantara Jibril “alaihis Salaam, di tempat yang
tertinggi yang pernah dicapai manusia yaitu langit ketujuh, di malam yang
paling utama bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yaitu malam Isra’
Mi’raj dan diwajibkan disetiap hari sepanjang hidup seorang muslim.
b) Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya
shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang
orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban
hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan
shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari
dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat.”
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda yang artinya : Perjanjian antara kita dan mereka adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’

9
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama’, bahwa yang
dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan
dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan
beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya :
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa
mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena
menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia
tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia
mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’ Kita
menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat
kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak
Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang
pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat
adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia
selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat
sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya
disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya
dihisab seperti halnya shalat tadi.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana
lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu

10
puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu
malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan
manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, ‘Kami dapati
bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga
kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga,
Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan
menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.”

D. LANDASAN HUKUM SHALAT WAJIB DAN SUNNAH


1. Landasan Al qur’an
Kewajiban shalat dapat dilihat dalam (Q.S:Al Baqarah 2:110)
Yang artinya: Dan dirikanlah sholat tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanyapada
sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Kemudian dalam (Q.S:An Nisa 4:103)
Yang artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat (mu), ingat
Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.
2. Landasan hadits
landasan hukum bagi sholat wajib termuat dalam Hadist Shahih
Bukhari No. 211 Jilid I yakni isinya tentang proses terjadinya isra’ wal mi’raj
dimana pada peristiwa dimana nabi diberikan perintah sholat yang awalnya
50 rakaat di perkecil menjadi 5 rakaat.

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sholat merupakan inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang
agama,dengannya agama bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh. Sholat
mempunyai dua unsuryaitu dzohiriyah dan batiniyah. Unsur dzohiriyah adalah
yang menyangkut perilaku berdasarpada gerakan sholat itu sendiri, sedangkan
unsur yang bersifat batiniyah adalah sifatnyatersembunyi dalam hati karena
hanya Allah-lah yang dapat menilainya. Shalat banyak macamnya ada shalat
sunnah, ada juga sholat fardhu yang telah ditentukan waktunya. Khilafiyyah
kaum muslimin tentang shalat adalah hal yang biasa karena rujukan
danpengkajiannya semuanya bersumber dari Al-Qur‟an dan hadis, hendaknya
perbedaan tersebutmenjadi hikmah keberagaman umat islam. Shalat banyak
macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat fardhu yang telah
ditentukan waktunya.

B. SARANA
Sebaiknya sebagai umat islam yang baik kita senantiasa mendirikan solat,
dan menghidupkan sunah rosul dan dilakukan sesuai yang dicontohkan rosul.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ali Imran, Fiqih, ( Bandung : Cita Pustaka Mdia Perintis , 2011), hal 39
Moh, Rifa’I, Fiqh Islam Lengkap ( Semarang :Karya Toha Putra, 1978 )
hal : 103 Ibid, hal 227
Abu Masyhad, Tuntunan Shalat Lengkap ( Semarang : PT. MG, 1988)
hal.118
Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/45 no. 16 (20))], ini adalah lafazh
darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/49 no. 8), Sunan at-Tirmidzi
(IV/119 no. 2736), Sunan an-Nasa-i (VIII/107).

Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 884)], Sunan Ibni Majah (I/342
no. 1079), Sunan an-Nasa-i (I/231), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125 no. 2756).
Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1150)], Muwaththa’ al-Imam
Malik (hal. 90 no. 266), Ahmad (II/234 no. 82), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/ 93 no. 421), Sunan Ibni Majah (I/449 no. 1401), dan Sunan an-
Nasa-i (I/230).
Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 3273)], dan Sunan Ibni Majah
(II/1344 no. 4049).
[10] http://setiawantopan.wordpress.com/2012/08/01/ayat-ayat-al-quran-
tentang-ibadah/com

13

Anda mungkin juga menyukai