Anda di halaman 1dari 21

SHALAT SEBAGAI CIRI ORANG

BERIMAN









KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah
memberi rahmat serta hidayahNya kepada saya sendiri sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Tak lupa sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW sang pilihan dan sang pemilik ukhwah.

Isi makalah ini hanya memuat garis-garis besar dari materi agama islam yang disesuaikan
dengan kurikulum dan pelaksanaan tugas MKDU di Perguruan Tinggi Swasta dan saya pun
menyadari bahwa disana-sini masih banyak terdapat kekurangan.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan karena
masih tetap belajar. Oleh karena itu, saya dengan terbuka akan menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan. Saya berharap makalah ini bermanfaat bagi
saya sendiri dan para pembaca.
Terakhir saya berharap semoga dengan makalah yang simple dan sederhana ini
bermanfaat bagi kita semua dan dengan harapan tanggapan dan kritik untuk perbaikkan
dimasa akan datang.






Jakarta, 10 Desember 2009


Ttd
Ade Budi Setiawan
DAFTAR ISI


Cover
.......................................................................................................................i
Judul
.......................................................................................................................ii
Kata Pengantar
.......................................................................................................................iii
Daftar Isi
.......................................................................................................................iv


Bab I
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan Masalah 2
D. Sistematika Penulisan 2

Bab II
Pengertian Shalat 3
Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman 3
Ciri-ciri Orang Beriman 5
Shalatnya Orang Beriman 7
Arti Shalat Bagi Orang-Orang Yang Beriman 8
Shalatnya Orang-Orang Fasik 10

Bab III
Pengertian dan Tata Cara Shalat Yang Benar 12

Kesimpulan 16
Penutup 17
Daftar Pustaka 18

SHALAT SEBAGAI CIRI ORANG BERIMAN

BAB. I
A. Latar Belakang
Rasulullah pernah bersabda: Shalat itu adalah tiangnya agama, barang siapa yang
mendirikannya maka berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya
berarti ia telah meruntuhkan agama (Al-Hadits). Bahkan hal ini dipertegas oleh firman
Allah SWT.:


Artinya: Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. (Al-Baqarah [2]: 238).
Dengan hujjah di atas, dapat kita pahami bahwa begitu pentingnya melaksanakan dan
memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat merupakan salah satu ciri
bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT., dan sebagai sarana untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini telah nyata dalam Firman-Nya:
A.


Artinya: Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Thaha [20]: 14)
Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya, mengingat
kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada sebagian orang
yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak wajib shalat kalau kita
bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata, tidak melihatnya sebagai syariat
yang harus dilaksanakan oleh orang yang beriman.
Oleh karena itu, kiranya hal itu bisa dijadikan salah satu alasan dan latar belakang dibuatnya
makalah ini dengan judul Shalat Sebagai Ciri Orang yang Beriman.

II. B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang di atas kiranya dapat disusun beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan shalat?
2. Mengapa shalat dijadikan sebagai salah satu ciri orang yang beriman?
3. Bagaimana ciri-ciri orang yang beriman?
4. Bagaimana shalat orang yang beriman?
5. Apa arti shalat bagi orang yang beriman?
6. Bagaimana shalat orang yang fasik?
III. C. Tujuan Makalah
Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami
hal-hal di bawah ini:
Pengertian shalat
Alasan dijadikannya shalat sebagai ciri orang yang beriman
Ciri-ciri orang yang beriman
Shalatnya orang yang beriman
Arti shalat bagi orang yang beriman
Shalatnya orang yang fasik
IV. D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu:
Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, dan sistematika penulisannya.
Bab II isi, yang terdiri dari landasan teoritis tentang shalat, ciri-ciri orang yang beriman,
shalatnya orang yang beriman, arti shalat bagi orang yang beriman, dan shalatnya orang
yang fasik.
Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran



BAB. II
Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman
1. Pengertian Shalat
Shalat menurut bahasa adalah doa, sedangkan menurut istilah adalah pekerjaan
dan ucapan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri oleh salam. Sampai di manakah
kebenaran pengertian tersebut? Marilah diuji dan dicari kebenarannya. (Falih, 1973: 26)
Permulaan shalat, shalat didirikan dengan membaca kalimah kebesaran Allah. Yaitu
musholi bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar maka, serempak jiwanya bergerak
menghadap ke Hadirat Allah Yang Mahatinggi-Mahamulia. Sementara musholi
meninggalakan seluruh urusan dunianya dan memusatkan pikirannya untuk menghadap
Allah SWT. Sehingga, sudah barang tentu ia putus hubungan dengan (makhluk) di bumi,
meskipun jasadiahnya ada di atas hamparan bumi.Selesai memuji, memohon ampun dan
pertolongan-Nya, kembali turun ke Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah
sekedar hubungan ruhani dalam kehidupan seorang Muslim.
Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya, berjamaah dengan
keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan kebersihan dan kesucian,
dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat ketentuan waktunya dan kewajiban-
kewajiban lainnya seperti gerakan, tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya
nilai lebih dari sekedar ibadah bumi, seraya berdoa selamat (mengucap salam) kepada
makhluk bumi, keselamatan dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi sesama makhluk-
Nya. Sebab itulah shalat berawal dengan takbir ihram, Allahu Akbar dan berakhir dengan
salam, Assalamualaikum.
2. Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman
Kewajiban dan syiar yang paling utama adalah shalat, ia merupakan tiang Islam dan
ibadah harian yang berulang kali. Ia merupakan ibadah yang pertama kali dihisab atas
setiap mukmin pada hari kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan kufur,
antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan oleh
Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:
Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.
(HR. Muslim)
Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan
berarti ia kafir. (HR- Nasai, Tirmidzi dan Ahmad)
Makna hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat r.a. Abdullah bin Syaqiq Al
Uqaili berkata, Para sahabat Nabi SAW. tidak melihat sesuatu dari amal ibadah yang
meninggalkannya adalah kufur selain shalat. (HR. Tirmidzi)
Tidak heran jika Al-Quran telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat orang
yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi penutup. Pada
awalnya Allah berfirman:
A.


Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu
dalam shalatnya. (Al Muminun: 9)
Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang muslim dan
masyarakat Islam yang mengaku beriman.
Al-Quran juga menganggap bahwa menelantarkan (mengabaikan) shalat itu
termasuk sifat-sifat masyarakat yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus menerus
mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu termasuk ciri-ciri masyarakat
kafir. Allah SWT berfirman:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (Maryam:
59)
Allah SWT. juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah
sebagai berikut:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Rukulah, niscaya mereka tidak mau ruku. (AI
Mursalat: 48)
Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman:
Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannnya buah ejekan dan
permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau
mempergunakan akal. (Al Maidah: 57).
Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang Rabbani, baik secara
ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan). Sebagaimana Islam itu agama yang Rabbani,
baik secara nasyah (pertumbuhan) maupun masdar (sumbernya), masyarakat yang
ikatannya sambung dengan Allah SWT, terikat dengan ikatan yang kuat.
3. Ciri-ciri Orang Beriman
Tidak mempertuhankan dan menyembah selain Allah
Khusyuk dalam sholatnya ( Qs. Al MUminun ayat :2 dan 9)
Tidak sombong ( Qs. Al- Furqan ayat : 63)
Memohon perlindungan pada Allah dari siksa jahannam ( Qs. Al-Furqan
ayat :65)
Tidak berbuat syirik, Membunuh tanpa sebab yang tepat, dan berzina (Qs. Al-
Furqan ayat : 68)
Tidak bersaksi palsu ( Qs. Al-Furqan Ayat :72)
Menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna ( Qs. Al muminun ayat :1-11)
Menunaikan zakat
Menjaga kemaluannya
Memelihara amannahnya
Memelihara sholatnya
Menepati janjinya
bersyukur saat mendapatkan nikmat dan bersabar saat mendapatkan mushibah
sabda Rasul : Aku mengagumi seorang mumin. Bila memperoleh kebajikan ia
memuji Allah dan bila ditimpa mushibah dia memuji Allah dan bersabar (karena
mushibah itu). Seorang mumin dberikan pahala dalam segala hal, walaupun sekedar
sesuap nasi yang diberikan pada isterinya..( HR.Imam ahmad dan Abu Daud)
Cici-ciri orang beriman yang lain disebutkan juga dalam Qs. Al-Anfal bahwa:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah hati mereka penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya
(keterangan Allah) niscaya bertambahlah keimanan mereka dan kepada Tuhan mereka
berserah, mereka tetap mengerjakan sholat (pada waktunya) dan membelanjakan (pada
perkara kebajikan) sebagian daripada rizki yang Kami (Allah) kurniakan kepada mereka.
Itulah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya, mereka itu mendapat (kehormatan) di
sisi Tuhan mereka, dan mendapat ampunan serta rezki yang berharga.
Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.
(HR. Muslim)
Di dalam islam dan iman terkumpul agama secara keseluruhan. Sebagaimana nabi
membedakan makna islam, iman dan ihsan.
V. Islam
Hukum islam terbukti dan terwujud dalam dua kalimah syahadat, menegakan shalat,
membayar zakat, puasa ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang yang
mampu. Inisemua adalah suiar-syiar islam yang paling tampak. Seseorang yang
melaksanakannya berarti sempurnalah penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya
berarti ia tidak tunduk dan berserah diri.
Lalu penyerahan hati yakni ridla dan taat, dan tidak mengganggu orang lain baik dengan
lisan maupun perbuatan, ia menunujukan adanya rasa ikatan ukhuwwah islamiyyah.
Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah
agama, yang memang menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain serta
memerintahkan agar mendermakan dan menolong serta mencintai perkara-perkara yang
baik, Ketaatan seseorang dengan berbagai hal tersebut juga hal lainnya merupakan sifat
terpuji, yakni jenis kepatuhan dan ketaatan,dan ia merupakan gambaran yang nyata tentang
islam. Hal-hal tersebut mustahil dapat terwujud tanpa pembenaran hati (iman). Dan berbagai
hal itulah yang disebut sebagai islam.
VI. Iman
Beliau telah menafsirkan iman kepada utusan Bani Abdil Qais dengan penafsiran islam yang
ada dalamhadits Jibril. Sebagaimana yang ada dalam hadits Syuabul Iman (cabang-cabang
iman). Rasulullah SAW. Bersabda: Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah,
dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan..
Sudah diketahui bersama bahwa beliau tidak memaksudkan hal-hal tersebut menjadi iman
kepada Allah tanpa disertai iman dalam hati, sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak
dalil syari tentang pentingnya iman dalam hati.
Jadi syiar-syiar atau amalan-amalan yang bersifat lahiriyyah yang disertai iman
dalam dada itulah yang disebut iman. Dan makna islam mencakup pembenaran hait dan
amalan perbuatan, dan itulah istislam (penyerahan diri) kepada Allah.
Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat dikatakan, sesungguhnya sebutan islam daniman
iman apabila bertemu dalam satu tempat maka islam ditafsirkan dengan amalan-amalan
lahiriyyah, sedangkan iman ditafsirkan keyakinan-keyakinan batin.
Keduanya adalah wajib, ridla Allah tidak dapat diperoleh dan siksa Allah tidak dapat
dihindarkan kecuali dengan kapatuhan lahiriyyah disertai dengan kepatuhan batiniyyah. Jadi
tidak sah pemisahan antara keduanya.
Seseorang tidak dapat menyempurnakan iman dan islamnya yang telah diwajibkan atasnya
kecuali dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana
kesempurnaan tidak mengharuskan sampainya pada puncak yang dituju, karena adanya
bermacam-macam tingkatan sesuai dengan tingginya kuantitas dan kualitas amal serta
keimanan.
4. Shalatnya Orang Beriman
Orang beriman melaksanakan shalat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah
SWT. serta sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana sabdanya:
A.
Aku lakukan hal ini agar kalian dapat mengikuti aku (bermakmum) dan agar kamu sekalian
tahu shalatku (HR. Bukhari-Muslim)
B.
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari-Muslim).
Orang yang beriman melakukan shalat tidak hanya berupa gerakan-dan ucapan
yang telah dicontohkan Rasulullah melainkan menekankan pada esensi shalat yaitu
terdapatnya kekhusuan.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu
dalam shalatnya. (Al Muminun: 9). Jadi kehkusuan merupakan salah satu tanda iman dan
tanda-tanda orang yang memperoleh keberuntungan.
Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam
perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah
shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat
untuk mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian
maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan kolam renang ruhani yang
dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak
tersisa kotoran sedikit pun.
Ibnu Masud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: Kamu sekalian berbuat dosa,
maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu membersihkannya, kemudian
kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan shalat zhuhur, maka shalat itu
membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat asar
maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu
melakukan shalat maghrib, maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat
dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat isya, shalat itu akan membersihkannya,
kemudian kamu tidur maka tidak lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun. (HR.
Thabrani)
5. Arti Sholat Bagi Orang-Orang Yang Beriman
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: Bangunan islam ditegakkan diatas
lima tiang : Bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Sesungguhnya shalat
merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan talim yang sempurna, yang meliputi
(kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah
untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.
Shalat merupakan tathbiq amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek
politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus
terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat
pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna
dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial,
setelah beliau menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: Pengaruh shalat tidak berhenti
pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan
berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj
yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan
gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia
merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan
jiwa dan melunakkan perasaan. Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di
dalamnya, sementara AL Quran menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna
telah memberikan bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan,
sehingga orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan
akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia
secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah,
maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan
dalam shalat jumat di atas nilai-nilai sosial yang baik, seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa
cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan
Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna
daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai
yang mulia?
Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu
dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam
benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini bahwa
shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi pelakunya dan
bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil dariKomunisme makna
persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat
yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari
kediktatoran makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk
berjamaah mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang
menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil dari
Demokrasi suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya mengembalikan Imam ke
arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan shalat biasa membuang
segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di atas seperti
kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi,
sehingga shalat merupakan minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di
dalamnya dan tidak ada keruwetan (URGENSI SHOLAT, Yusuf Al-Qardawi)
Karena itu semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan
masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagaimizan atau standar, yang
dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan
derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang sejauh mana istiqamahnya
maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana ia memelihara shalatnya,
bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya
dengan iman. (HR. Tirmidzi).
Dalam kitab Jamiush shogir lima orang sahabat r.a. yaitu Tsauban, Ibnu Umar, Salamah,
Abu Umamah dan Ubadah r.a.telah meriwayatkan hadist ini : Sholat adalah sebaik-baik
amalan yang ditetapkan Allah untuk hambanya.. Begitupun dengan maksud hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu masud dan Anas r.a.
Begitulah orang orang yang beriman itu bukanlah orang yang melaksanakan ritual dan
gerakan-gerakan yang diperintahkan dalam sholat semata tetapi dapat mengaplikasikannya
dalam keseharianya. Sholat sebagai salah satu penjagaan bagi orang-orang yang beriman
yang benar-benar melaksanakannya.
.sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar(Qs. Al-Ankabut
ayat 45).
Sholat adalah salah satu aplikasi dari keimanan yang diambil dari konsekuensi rukun
islam yang pertama. Sebagai muslim yang memilki iltizam terhadap apa yang telah menjadi
konsekuensi pengakuannya terhadap keimanannya pada Allah, maka sholat akan menjadi
pencegah kemaksiatan dan kemungkaran dari dirinya sebagaimana telah disebutkan dalam
ayat tadi.
Abdullah bin masud berkata Sesungguhnya aku mengamati masyarakat kami bahwa tidak
seorangpunyang meninggalkan sholat kecuali seorang munafik yang diketahui
kemunafikannya.(HR. Muslim)
Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat,
melakasanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.(HR. Imam Bukhari dan
muslim)
Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang
dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan.
Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati, tafahhum (
Kefahaman terhadap mana pembicaraan), tadzim (Rasa hormat), mahabbah, raja (harap)
dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah.
6. Sholatnya Orang-Orang Fasik
Sholat sebagai suatu yang mulia bagi orang-orang yang beriman dan mencapai
kekhusyuan. Namun lain halnya dengan orang yang imannya tipis, sholat menjadi sesuatu
yang sangat memberatkan mereka seperti dalam firman Allas Swt :
Dan mintalah pertolongan (pada Allah) dengan sabar dan sholat dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi oerng-orang yang khusyu yaitu orang-orang yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya.
Adapun beberapa golongan yang digolongkan mengenai pelaksanaan solatnya yang
tergolong kedalam perbuatan orang-orang fasik.
Golongan pertama adalah golongan orang yang telah mengetahui ilmu tentang shalat, yaitu
mengenai syarat dan rukunnya, perkara-perkara yang membatalkannya, tentang bersuci
dari hadas, begitu juga bacaannya sudah betul dan lain sebagainya. Akan tetapi golongan
ini tidak mampu melawan nafsu. Sehingga godaan dan tarikan dunia mudah memalingkan
mereka daripada menunaikan kewajiban kepada Tuhannya seperti perintah shalat ini. Bila
mereka sedang ada mood maka ditunaikannya juga shalat. Tetapi bila ada urusan
pekerjaan, maka mereka lupakan saja shalat dan mendahulukan apa saja tuntutan
pekerjaan mereka walaupun mereka tahu perbuatan itu berdosa. Dengan kata yang lain,
mereka tidak istiqomah di dalam mengerjakan perintah shalat. Golongan ini dihukumkan
sebagai orang fasiq. Seperti firman Allah di dalam Al Quran: Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasiq.
Golongan kedua yaitu orang orang yang sudah mengerjakan shalat dan sudah tahu
ilmunya, akan tetapi tidak khusyuk dalam mengerjakannya. Yakni, jiwa dan fikirannya tidak
ditumpukan untuk mengingati Allah dengan menghayati bacaan-bacaan dalam shalat.
Fikirannya melayang-layang memikirkan hal-hal lain di luar shalat, seperti perniagaannya,
kerjanya, istrinya, anaknya, dan lain-lain lagi. Golongan ini tidak menjiwai shalatnya, malah
pekerjaannya di luar shalat itu yang dijiwai sehingga mengganggu ibadah shalatnya. Mereka
diancam oleh Allah SWT dengan firmanNya:
Maka kecelakaanlah (neraka Wail) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang
lalai di dalam shalatnya. (Al Maun 4-5)
Adapun ciri orang yang munafik dapat dilihat dalam pelaksanaan sholat itu sendiri:
Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah membalas tipuan mereka dan
apabila mereka berdiri untuk sholatmereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud
riya(dengan sholat) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan
dengan sedikit sekali(Qs. Annisa Ayat 142).




BAB. III
Pengertian dan Tata Cara Shalat Yang Benar
Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam
Rasulullah saw. menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat
(syahadatain). Rasullah bersabda, Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke kabah
baitullah dan puasa di bulan Ramadlan. (HR. Bukhari, No.8 dan HR. Muslim No.16).

Ketika ditanya Malaikat Jibril mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi menyebut shalat pada deretan
yang kedua setelah syahadatain (HR. Muslim, No.8). Orang yang mengingkari salah satu dari rukun
Islam, otomatis menjadi murtad (keluar dari Islam). Abu Bakar Ash Shidiq ra. ketika menjabat
sebagai khalifah setelah Rasullah saw. wafat, pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang
menolak zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat bergerak
memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan harbul murtaddin. Ini baru manolak zakat, apalagi
menolak shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah menerangkan
bahwa menegakkan ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah:
3). Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan lewat kejadian yang sangat agung dan kita
kenal dengan peristiwa Isra Miraj Rasulullah saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat
Jibril, melainkan Allah swt. langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas keagungan
ibadah shalat. Bahwa shalat bukan masalah ijtihadi (baca: hasil kerangan otak manusia yang bisa
ditambah dan diklurangi) melainkan masalah taabbudi (baca: harus diterima apa adanya dengan
penuh ketaatan). Sekecil apapun yang akan kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang
diajarkan Allah langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita.
Bila dalam ibadah haji Rasulullah saw. bersabda, Ambillah dariku cara melaksanakan manasik
hajimu, maka dalam shalat Rasullah bersabda, shalatlah sebagaiman kamu melihat aku shalat.
Untuk menjelaskan bagaimana cara Rasullah saw. melaksanakan shalat, paling tidak ada dua dimensi
yang bisa diuraikan dalam pembahasan ini: dimensi ritual dan dimensi spiritual.
Dimensi Ritual Shalat
Dimensi ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya berapa rakaat dan
kapan waktu masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, isya) yang harus ditegakkan.
Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw., apa lagi ulama, yang mencoba-
coba berusaha merevisi atau menginovasi. Umpamnya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga,
yang tiga ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi empat dan lain sebagainya.
Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser. Katakanlah waktu shalat
Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan:
An-Nisa: 103). Artinya shalat seorang tidak dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau
kurang dari jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan
dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama taqdim dan takhir (menggabung
dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan) karena masing-masing dari
cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari Alquran dan sunnah Rasullah saw.; An-Nisa: 101), dan
itupun tidak setiap saat, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang
tercantum dalam nash.
Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus mengikuti tuntunan
Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila Rasullah memerintahkan agar kita
harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah.
Termasuk dalam hal menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap
bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada nash yang
memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan hanya perintah
bahwa kita harus mengikuti Rasullah secara taabbudi dalam melakukan shalat ini.
Mungkin seorang mengatakan, benar kita harus mengikuti Rasullah, tapi bagaimana kalau kita tidak
mengerti apa makna bacaan yang kita baca dalam shalat? Bukankah itu justru akan mengurangi nilai
ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam shalat menjadi seperti burung beo, mengucapkan
sesuatu tetapi tidak paham apa yang kita ucapkan?
Untuk mengerti bacaan dalam shalat, caranya tidak mesti dengan membaca terjemahannya ketika
shalat, melainkan Anda bisa melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan membaca terjemahan
dalam shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek jawaban dalam ruang ujian. Bila
menyontek, jawaban merusak ujian pelajar. Membaca terjemahan dalam shalat juga merusak shalat.
Bila si pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa menjawab kalau tidak nyontek, kita menjawab Anda
salah mengapa tidak belajar sebelum masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan
bahwa ia tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat, kita jawab, Anda salah
mengapa Anda tidak belajar memahami bacaan tersebut di luar shalat. Mengapa Anda harus dengan
mengorbankan shalat, demi memahami bacaan yang Anda baca dalam shalat? Wong itu bisa Anda
lakukan di luar shalat.
Pentingnya mengikuti cara Rasullah bershalat, ternyata bukan hanya bisa dipahami dari hadits
tersebut di atas, melainkan dalam teks-teks Alquran sangat nampak dengan jelas. Dari segi bahasa
dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan aqiimush shalaata (tegakkankanlah shalat) atau
yuqiimunash sahalat (menegakkan shalat). Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan
Rasullah saw. Pada hadits mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril, Rasullah bersabda:
watuqiimush shalata (HR. Muslim No.8) dan pada hadits mengenai pilar-pilar Islam bersabda:
waiqaamish shalati . (HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim No.16)
Apa makna dari aqiimu atau yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak langsung mengatakan shallu
(bershalatlah) atau yushalluuna (mereka bershalat)? Para ahli tafsir bersepakat bahwa dalam kata
aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan bahwa shalat itu harus ditegakkan secara
sempurna: baik secara ritual dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun mengurangi
atau menambah, maupun secara spiritual dengan melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah
saw. melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu adalah pembahasan dimensi
spiritual shalat yang akan kita bicarakan setelah ini.
Dimensi Spiritual Shalat
Mengikuti cara Rasulullah saw. shalat tidak cukup hanya dengan menyempurkan dimensi ritulanya
saja, melainkan harus juga diikuti dengan menyempurnakan dimensi spritualnya. Ibarat jasad
dengan ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya memenuhi kebutuhan jasadnya, namun sungguh
tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan meronta-meronta tanpa dipenuhi kebutuhannya. Demikian
juga shalat, memang secara fikih shalat Anda sah bila memenuhi syarat dan rukunya secara ritual,
tapi apa makna shalat Anda bila tidak diikuti dengan kekhusyukan. Perihal kekhusyukan ini Alquran
telah menjelaskan, Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, dan
sesungguhnya shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang khusyu. (Al-Baqarah: 45)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat ini, menyebutkan pendapat para ulama salaf mengenai
makna khusyu dalam shalat: Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran keimanan yang hakiki. Abul
Aliyah menyebut, alkhasyiin adalah orang yang dipenuhi rasa takut kepada Allah. Muqatil bin
Hayyanperpendapat, alkhasyiin itu orang yang penuh tawadhu. Dhahhaq mengatakan, alkhasyien
merupakan orang yang benar-benar tunduk penuh ketaatan dan ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir,
Tafsirul Quranil azhim, Bairut, Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)
Dan pada dasarnya shalat seperti yang digambarkan Ustadz Sayyid Quthub adalah hubungan
antara hamba dan Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi
segala kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw. kata Sayyid- setiap kali menghadapi persoalan,
selalu segara melaksanakan shalat. (Sayyid Quthub, fii zhilalil Quran, Bairut, Darusy syuruuq, 1985,
vol. 1, h. 69)
Dalam hal ini tentu shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang benar-benar
ditegakkan secara sempurna: memenuhi syarat dan rukunnya, lebih dari itu penuh dengan
kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang akan benar-benar memberikan
ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan benar- benar melahirkan sikap moral yang tinggi, seperti
yang dinyatakan dalam Alquran: dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar . (Al-Ankabut: 45)










Jelas, bahwa hanya shalat yang khusyu yang akan membimbing pelaksananya pada ketenangan dan
kemuliaan perilaku. Oleh sebab itu para ulama terdahulu selalu mengajarkan bagimana kita
menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam As-Samarqandi dalam bukunya tanbihul
ghafiliin, menulis bab khusus dengan judul: Bab itmamush shalaati wal khusyuu fiihaa (Bab
menyempurkan dan khusyuk dalam shalat). Disebutkan dalam buku ini bahwa orang yang
sembahyang banyak, tetapi orang yang menegakkan shalat secara sempurna sedikit. (As
Samarqandi, Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab alAraby, 2002, h. 293)
Imam As-Samarqandi benar. Kini kita menyaksikan orang-orang shalat di mana-mana. Tetapi, berapa
dari mereka yang benar-benar menikmati buah shalatnya, menjaga diri dari perbuatan keji,
perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk dalam kategori munkar.
Antara Ritual dan Spritual
Ketika Rasulullah saw. memerintahkan agar kita mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu
maksudnya mengikuti secara sempurna: ritual dan spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar
syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan
kekhusyukan.
Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat Anda
tidak sempurna. Bila Anda hanya mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang
ritual (seperti tidak mengkuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar, menambahkan atau
mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang
ditambah dengan menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu bukan shalat
yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.
Sebaliknya, bila yang Anda utamakan hanya yang ritual saja dengan mengabaikan yang spiritual,
boleh jadi shalat Anda sah secara fikih. Tetapi, tidak akan membawa dampak apa-apa pada diri Anda.
Karena yang Anda ambil hanya gerakan shalatnya saja. Sementara ruhani shalat itu Anda campakkan
begitu saja. Bahkan bila yang anda abaikan dari dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan,
akibatnya fatal. Shalat Anda menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-Nya. Naudzubillahi mindzaalika.
Wallahu Alam bish shawab.









KESIMPULAN
Beberapa pelajaran mengenai pengertian sholat, makna sholat
dan hal-hal lain yang menerangkan tentang sholat telah
teruraikan dalam makalah ini walau mungkin tak sempurna dan
masih banyak kesalahan di dalammya.
Sholat sebagai suatu tarbiyyah yang begiu luar biasa yang
mengajarkan kebaikan dalam segala aspek kehidupan, sebagai
pencegah kemungkaran dan kemaksiatan, sebagai pembeda
antara orang yang beriman dan orang yang kafir, sholat sebagai
syariat dari Allah dalam kehidupan,semoga dapat difahami,
diamalkan dan diaplkasikan dengan benar dalam kehidupan
kita.










PENUTUP

Kebenaran datang dari Allah semata dan
kesalahan-kesalahan takkan lepas dari kita
sebagai manusia yang memiliki banyak
kekurangan.












DAFTAR PUSTAKA


Buku Ciri-ciri Orang beriman,Wikipedia
Al-Quranul Karim (terjemahannya)
Manshur, Faiz, Ciri-ciri orang Beriman,
www.geogle.com 02 November 2009
Zada, Khamami, Orientasi Studi Islam di Indonesia,
www.geogle.com 02 Desember 2009

Anda mungkin juga menyukai