Anda di halaman 1dari 21

BAB 11

INDUK AKHLAK TERCELA: TAKABBUR,

RIYA’, HASUD DAN NIFAQ

Capaian Pembelajaran:

1. Mampu memahami definisi Takabbur, Riya‟, Hasud, dan Nifaq.


2. Mampu memahami definisi Takabbur, Riya‟, Hasud, dan Nifaq dari beberapa ahli.
3. Mampu memahami dalil-dalil mengenai Takabbur, Riya‟, Hasud, dan Nifaq.
4. Mampu memahami macam dan jenis Takabbur, Riya‟, Hasud, dan Nifaq.
5. Mampu mengimplementasikan cara menghindari sifat Takabbur, Riya‟, Hasud, dan
Nifaq.

Akhlak sebagai implementasi akidah dari keimanan seseorang , akidah dan iman baru
akan bermakna bagi manusia apabila manusia itu sendiri mau mengamalkan apa-apa yang
mereka ketahui dari keyakinan yang sudah yakin. Akhlak menjadi kajian yang penting,
karena akhlak sering dikaitkan dengan etika, moral/tradisi dan budaya. Bagi seorang muslim
akhlak menadi ciri khas dan karakter tersendiri yang merupakan cerminan dari nilai0nilai
yang dihayati bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Akidah akhlak menjadi sanggat
penting karena sebagai jembatan keimanan seseorang.1

Induk sifat tercela pada kenyataannya merupakan penyakit yang dapat membinasakan
manusia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Didalam kehidupan dunia, orang yang
terjangkit penyakit ini sering menampakkan sikap yang tercela seperti anti kritik, gampang
tersinggung, temperamental, menutup/ menolak nasihat dari orang lain. Sikap ini sangat
mengganggu orang lain yang berada disekitar. Karena Al-Quran hadir sebagai obat penenang
dari penyakit batin. Karena sejatinya Al-Quran merupakan karunia Allah SWT untuk umat
manusia. Keberadaanya sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam, tercemin dari
wujudnya yang menyentuh kehidupan lahir dan bathin umat manusia, dan salah satu aspek
bathin manusia yang menjadi titik fokus perhatian Al-Quran adalah Kesehatan jiwa dari
penyakit bathin. 4 penyakit tersebut adalah bagian kecil dari syahwat manusia yang condong

1
Ade Taufik Solihin, Aam Abdussalam, and Cucu Surahman, “Takabur Dalam Al Qur‟an Dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran PAI Di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 18, no. 1 (2020): 37.

1
mengajak kepada sikap lebih hebat, egois dan sombong, baik kepada manusia maupun
kepada tuhannya. 2

Di dalam Al-Quran banyak juga sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang penyakit
tersebut, baik takabbur, riya‟, nifaq, hasud,dll. Orang yang memiliki jiwa tersebut akan jauh
dari Allah dan Rasulnya, tidak hanya itu akan tetapi secara sosial dia juga tidak akan disukai
oleh banyak orang dengan sifat tercela yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat tersebut di
dunia ini cepat atau lambat akan segaera hancur dengan sifat tercela yang dimilikinya, karena
sifat tersebut tidak selayaknya dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, maka kita sebagai insan
yang beriman kepada Allah dan Rosullnya harus mematuhi perintahnya serta menjauhi
larangnnya.

11.1 Takabur
11.1.1 Pengertian Takabbur

Kata takabur atau sombong sudah tidak asing terdengar di telinga kebanyakan orang.
Perilaku takabur ini merupakan salah satu perbuatan tercela, perbuatan yang dibenci oleh
Allah Swt. Takabur adalah jebakan yang di buat oleh syetan agar manusia terjebak
didalamnya. Maka dari itu tidak sedikit manusia yang terjerumus masuk ke dalam jebakan
tersebut. Jika penyakit takabur ini telah menjalar di sekujur hati manusia, maka akan sulit
untuk menyembuhkannya. Sungguh, penyakit hati yang satu ini sangat berbahaya dan hanya
Allah yang dapat menolong.3

Dilansir dari sumber lain Takabur bisa diartikan dengan sikap dan sifat menolak
kebenaran (al-Kibr batharu al- haqq), yang menjadikan salah satu sifat yang menyebabkan
kejelekan dan keburukan seseorang. sifat dan sikap ini bisa menjadikan seseorang tertutup
(terhijab) hatinya dari cahaya Allah.4 Kekaguman pada diri sendiri bisa berakibat timbulnya
sikap sombong dan angkuh terhadap orang lain dan merendahkan serta meremehkan mereka
dalam apapun lingkungannya. Didalam al-Qur‟an juga banyak terdapat ayat-ayat yang
mencela ketakaburan orang-orang musyrik dan munafik serta keengganan mereka untuk
menerima kebenaran karena rasa angkuh yang mereka miliki.

2
Achmad Gholib, AKIDAH AKHLAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM, ed. Dimas Yogo, 1st ed. (Jakarta: CV.
DIAZ PRATAMA MULIA, 2016), 6.
3
Emi Suhemi, “Takabur Dalam Perspektif Al-Quran Dan Hadist,” Jurnal Al- Mu‟ashirah 16, no. 2 (2019): 42.
4
Ulfa Dj Nurkamiden, “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub Dan Takabur,” Tadbir: Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam 4, no. 2 (2016): 122.

2
11.1.2 Pengertian Takabbur Menurut Para Ahli
1. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa: „Kesombongan adalah penyakit akut
yang sangat ganas, yang bisa membinasakan orang-orang yang tekemuka dari
kalangan para makhluk. Dan sedikit sekali yang bisa selamat darinya, baik kalangan
ahli ibadah, zuhud maupun para ulama, terlebih orang-orang awam.‟ Yang mesti
dicatat bahwa sifat sombong ini mencakup membanggakan diri dan meremehkan
orang lain, bangga dengan nasab, ilmu, harta, jabatan, ketampanan dan kecantikan.
Misalnya orang yang lahir dari keturunan mewah sombong di hadapan orang yang
keturunan biasa, orang yang memiliki ilmu tinggi sombong kepada orang yang
ilmunya masih minim, orang kaya sombong kepada orang yang kurang mampu, orang
yang punya jabatan sombong kepada orang yang tidak bekerja, serta orang tampan
atau cantik sombong dihadapan orang yang biasa saja. Padahal kemuliaan seseorang
tidak dilihat dari itu semua, akan tetapi kemuliaan seseorang dilihat daripada
ketakwaannya kepada Allah Swt.5
2. Menurut al-Muhasibi bahwa takabur merupakan penyakit jiwa yang paling besar, dan
yang mengalaminya akan mendapatkan berbagai petaka. Di samping itu, sifat takabur
ini cepat mendatangkan kemarahan Allah. Karenanya sudah tentu setiap kita harus
senantiasa mewaspadai terhadap segala bentuk penyakit hati salah satunya adalah
takabur. Takabur yang paling parah yaitu takabur kepada Allah Swt.6
3. Menurut Nuri sifat takabur merupakan penyakit yang bisa membinasakan amal
kebaikan manusia. Orang yang berlaku takabur atau sombong adalah orang yang sakit
secara mental dan sedang menderita kesakitan jiwa. Hal tersebut di sisi Allah SWT
sangat dimurkai. Di dalam Alquran Allah Swt banyak menjelaskan penyakit hati yang
salah satunya adalah takabur. Allah Swt sangat membenci hamba-Nya yang takabur
karena hal itu merupakan perbuatan tercela dan tentu saja banyak mendatangkan
mudarat bagi pelakunya.7
4. Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata, kesombongan adalah seorang yang memuji
dirinya sendiri dan menyombongkan diri dengan nikmat dari Allah, seperti nikmat
(mempunyai) anak, harta, ilmu, kedudukan, kekuatan jesmani atau yang serupa
dengan itu. Yang penting bahwa makna sombong adalah ketika ada seseorang yang
5
Solihin, Abdussalam, and Surahman, “Takabur Dalam Al Qur‟an Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
PAI Di Sekolah,” 39.
6
Taufikurrahman, “Sombong Dalam Al-Qur‟an Sebuah Kajian Tematik,” Jurnal Tafsere 8, no. 1 (2020): 39,
http://103.55.216.56/index.php/tafsere/article/view/14802.
7
Muhamad Muzzammil, “Takabur Menurut Al-Quran Pada Surah Al-a „ Raf Ayat 146” (Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2019), 15.

3
memuji dirinya sendiri karena memiliki banyak nikmat yang telah dianugerahkan
Allah kepadanya dan menyombongkan diri di depan orang lain.8
11.1.3 Dalil Tentang Takabbur

Allah berfirman pada surah Al-Luqman Ayat 18, yang berbunyi:

َ ُ ‫اس َخذَّنَا ت‬
‫ص ِعّشا َو َلا‬ ‫ش َو َ ا‬
‫ل ِنهَُّ ِ ا‬ ‫ٌِ َي َش ًحا الَس ِ ا‬
‫ض فًِ تًَ ِ ا‬ ‫ّللاَ ا َّا‬
‫ل ٰا‬ ‫فَ ُخىسا ُيخت َالا ُك َّا‬
‫م ي ُِحةا َ ا‬

"Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan
janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membanggakan diri."

Lalu ada hadist yang diriwayatkan dari HR. Muslim, no. 2749, dari „Abdullah bin
Mas‟ûd yang berbunyi:

‫ط ُاش ْان ِكث ُْشا‬ ‫ط ْان َح ِّا‬


َ َ‫ك ت‬ ‫اس َو َغ ًْ ُا‬
‫انَُّ ِ ا‬

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. ( HR.


Muslim, no. 2749, dari „Abdullah bin Mas‟ûd).

11.1.4 Macam-Macam Takbbur


1. Sombong kepada Allah s.w.t.

Ini merupakan bentuk kesombongan yang paling keji. Penyebabnya adalah


kebodohan dan pembangkangan seperti umat terdahulu yaitu kesombongan Namrud
atau kisah tentang sekelompok orang-orang yang bodoh.

2. Sombong Kepada Rasul.

Salah satu keengganan mematuhi nabi dan rasul. Kadang-kadang hal ini
manusia akan memalingkan pikiran dan ketajaman hati sehingga seorang itu tetap
berada dalam kegelapan dan kebodohan akibat kesombongan lalu tidak mau
mematuhi, tetapi orang tersebut merasa sebagai pihak yang benar.

3. Kesombongan kepada para hamba-Nya.

Kesombongan kepada hambanya ini adalah dengan menganggap diri lebih


terhormat/benar dan mudah melecehkan orang lain sehingga tidak mau mematuhi

8
Ali Mulida, KONSEP PENDIDKAN AKHLAK DALAM KITAB BULUGH AL-MARAM, 1st ed., vol. 4 (Bogor:
ALHIDAYAH PRESS, 2016), 95.

4
kepada perintah orang lain, meremehkan orang lain dan tidak mau sejajar dengan
orang lain.9

11.1.5 Ciri-Ciri Takabbur

Takabur merupakan sifat yang tercela dan pangkal dari keburukan ini adalah
datangnya dari hati. Hati yang telah dipenuhi dengan sifat-sifat tercela akan memberi
kesan terhadap anggota badan manusia karena hati manusia itu adalah raja bagi
seluruh anggota yang lain. Maka seseorang itu mendahulukan dirinya dalam
pekerjaan atau perbuatan daripada orang lain. Orang tersebut menjauhkan diri dari
kealpaan di dalam memenuhi segala kebutuhannya dan membanggakan diri
daripadanya. Seseorang itu juga akan melihat seseorang lain dengan penglihatan
menghinakan. Seseorang itu akan mendahulukan dirinya pada jalan yang sempit dan
meninggikan (melebih atau mengutamakan) diri daripadanya pada suatu majelis atau
acara dan orang tersebut akan menunggu supaya orang lain memulai salam dan
bersalaman kepadanya. Orang tersebut akan marah jika tidak beri salam kepadanya.
Seseorang itu akan memandang orang lain berhak untuk bangun berdiri, membungkuk
di hadapannya, juga akan marah jika orang lain tidak membesarkan, memuliakan,
menghormatinya serta juga akan marah jika seseorang itu tidak menunaikan keinginan
atau hajatnya. Seorang itu akan marah jika ditegur oleh orang lain malah dialah yang
suka menegur akan orang lain.10

11.1.6 Implementasi Agar Terhindar Dari Sifat Takabbur

Allah SWT bukan sekadar mencela sifat takabbur di dalam al-Quran, bahkan
memberi peringatan keras tentang balasan terhadap mereka yang bersifat dengan sifat
yang jahat ini. Maka dari itu didalam Al-Quran menerangkan bahwa sikap ini benar-
benar harus di hindari karena akan berdampak fatal dalam kehidupan sehari-hari dan
dapat menyerang/menyebabkan penyakit hati. Menurut Hamka ada beberapa dampak
yang sangat buruk bagi manusia yang memiliki sifat ini, diantaranya:

1. Mendapatkan Tempat di Neraka

Manusia selaku hamba Allah hanya mampu bersikap takabbur, angkuh


dan sombong ketika di dunia sahaja. Mereka hanya mampu merasa berkuasa

9
Muzzammil, “Takabur Menurut Al-Quran Pada Surah Al-a „ Raf Ayat 146,” 34.
10
Syarifah Mudaim Fatimatuz Zahroh, “Konsep Takabur Dalam Perspektif Tafsir Kontemporer” (Institut Ilmu
Al-Quran Jakarta, 2021), 59, https://doi.org/10.1128/AAC.03728-14.

5
di dunia, melakukan kezaliman namun azab yang pedih dan kekal menunggu
mereka di akhirat kelak. Inilah satu azab yang tidak terbayang oleh mereka
yang cuba berlaku sombong. Allah SWT telah menjanjikan tempat di neraka
bagi mereka yang takabbur. Seperti yang di terangkan di dalam Al-Quran
surah Al-Mu‟min 40:76 “Masukilah pintu-pintu neraka jahannam kekalah
kamu di dalamnya; maka seburuk-buruk tempat bagi orang-orang Yang
sombong takbur ialah neraka Jahannam”.11 Dalam penjelasan tersebut sudah
sangat jelas bahwa sifat takabbur adalah sifat yang dapat menjerumuskan kita
kedalam nerakanya Allah, oleh karena itu kita sebagai manusia harus
menjauhi sifat ini karena amat sangat bahayanya di akhirat kelak.

2. Mendapat Layanan Paling Buruk Ketika Ke Neraka.

Selanjutnya, Hamka menggambarkan keadaan golongan ini yang akan


dihumbankan ke neraka. Hamka menerangkan penghuni yang akan ke neraka
ini akan dibelenggu dan dirantai, mereka juga akan diiringkan berombong-
rombongan menuju jahanam. Dan yang mengiringkan itu ialah malaikat-
malaikat Zabaniyah bermuka masam yang membuat muka yang seram,
sikapnya yang menakutkan dan tidak pernah menunjukkan senyuman serta
sentiasa bersikap marah. Bahkan, kita tidak dapat bayangkan bagaimana
hebatnya hari itu. Kemudian, ketika diperintahkan untuk masuk ke dalam,
mereka terpaksa walaupun takut. Ketika tiba di pintu-pintu neraka, malaikat
pengawal pintu itu menyesali kerana mereka tidak mengendahkan anjuran
Rasul ketika di dunia.

3. Muka dihitamkan Allah SWT.

Al-Quran juga menggambarkan rupa orang yang sombong ketika di


dunia ketika di akhirat kelak akan dihitamkan muka mereka oleh Allah SWT.
Ini jelas dinyatakan di dalam al-Quran di dalam surah Az-Zumar ayat 60 yang
bearti “ Dan pada hari kiamat, Engkau akan melihat orang-orang yang
berdusta terhadap Allah (dan yang menyatakan kesedihan itu) muka mereka
hitam legam; Bukankah (telah diketahui bahawa) dalam neraka jahannam
disediakan tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong takbur?”.

11
Siti Nursima Mohamed and Ahmad Najib Abdullah, “Hasad Dan Takabbur Menurut Perspektif Hamka,”
Jurnal Al-Basirah 7, no. 1 (2017): 86.

6
Bersesuaian dengan ungkapan yang diterangkan di atas, kita dapat melihat raut
wajah orang yang takabbur atau sombong ketika di dunia menunjukkan riak
muka yang angkuh. Jika di dunia, mereka yang ada kuasa, pangkat, keturunan
dan sebagainya mampu menunjukkan reaksi air muka begitu, maka di akhirat
kelak Allah akan menghitamkan muka mereka sebagai balasan kelakuan
mereka yang dulu.

Kesimpulannya dari penjelasan yang dijelaskan oleh Hamka di atas ialah kita
sebagai orang yang beriman kita harus patuh dan taat kepada Allah dengan bersujud
dan tidak menyombongkan diri serta membantah perkara yang telah ditentukan oleh
Allah. Allah telah menjelaskan kesemua yang sujud kepada-Nya sama ada di langit
atau pun di bumi yang terdiri dari manusia, yang melata di bumi terdiri dari makhluk
yang berkaki dua, empat, merayap dan sebagainya. Lebih-lebih lagilah malaikat yang
mana mereka tidak menyombong. Tegas beliau, yang menyombong adalah manusia
yang tidak tahu diri dan Iblis sahaja.12

11.2 Riya’
11.2.1 Pengertian Riya’

Dalam kamus besar bahasa Indonesia riya‟ (pamer) berarti menunjukkan


(mendemonstraksikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud
memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri.13

Dilansir dari sumber lain Dalam kamus ilmu al-Qur‟an yang di susun oleh
Ahsin W.al-Hafidz di jelaskan bahwa riya‟ adalah sifat ingin menonjolkan diri untuk
mendapatkan pujian/perhatian orang lain, bukan karna ingin mendapat keridhaan
Allah. Secara bahasa, riya‟ artinya memperlihatkan amalan kebaikan agar dapat
dilihat orang lain. Secara harfiyah, kata riya atau ria‟a berakar dari kata ra‟a
mempunyai makna melihat. Menurut bahasa, kata ria‟a merupakan mutabaqah dari
wazan fi‟al yang berarti melakukan suatu perbuatan agar dilihat oleh manusia. Dalam
Lisan al-arab, kata ini mengandung arti menunjukkan suatu perbuatan secara
berlebihan demi Memperlihatkan amalan kebaikan agar dapat dilihat orang lain.14

12
Mohamed and Abdullah, 86–89.
13
Salda Farwati, “Riya‟ Dalam Perspektif Al-Quran (Ananalisis Pemikiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Misbah)” (Universitas Islam Negeri Mataram, 2020), 31.
14
Kiki Maharani, “Riya‟ Menurut Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar Skripsi” (Institut Agama Islam Bengkulu,
2021), 20.

7
Riya‟ juga tergolong syirik kecil (syirik samar), karena tempatnya tersembunyi
didalam hati, tidak ada orang yang tau kecuali dirinya dan Allah SWT. Penyakit yang
sangat berbahaya ini mengakibatkan hancur dan menjadikan suatu amalan seperti
debu yang beterbangan tidak bernilai. Betapa banyak amalan yang telah dikumpulkan
oleh seseorang selama bertahun-tahun dan bisa jadi puluhan tahun lalu bisa jadi
amalan tersebut sudah bertumpuk setinggi gunung yang menjulang ke langit,
semuanya sirna tidak bernilai sama sekali di sisi Allah.15

11.2.2 Pengertian Riya’ Menurut Para ahli


1. Menurut Al-ghazali dalam bukunya intisari ihya‟ ulumuddin ia mengatakan bahwa
riya‟ berasal dari kata Ar-ru‟yah ) melihat( sementara sum‟ah berasal dari kata As-
Sima‟ )mendengar(. Pada dasarnya, riya‟ berarti menginginkan agar orang-orang
melihat untuk memperoleh kedudukan di sisi mereka.
2. Abu Jafar mengartikan riya‟ ialah suka mendapat pujian dari orang atas perbuatan
baik yang ia lakukan.
3. Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-fathul Arabbani beliau menjelaskan tentang
orang yang berbuat riya‟ adalah orang yang memakai pakaian bersih tetapi hatinya
kotor.
4. Menurut pendapat Ahmad Rifa‟i riya‟ adalah melakukan ibadah dengan sengaja
dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-
mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini, beliau membatasi riya‟
sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.16
11.2.3 Dalil Tentang Riya’

Allah berfirman dalam QS. al-Nisa‟(4): 142 yang berbunyi:

‫خ ا ِد ع ُى ٌَا ان ْ ًُ ُ َا ف ِ مِ ي ٍَا إ ِ ٌَّا‬


َ ُ ‫اسا ي ُ َش ا ءُ و ٌَا ك ُ س َ ا ن َ ًا ل َ ا ُي ىا ان صَّ ََل جِا إ ِ ن َ ً ل َ ا ُي ىا َو إ ِ ر َ ا َخ ا ِد ع ُ هُ ىْا َو ه ُ َىا ّللاَّ اَ ي‬ َ َّ ُ ‫ان‬
‫يَلا إ ِ َّلا ّللاَّ اَ ي َ ز ْ ك ُ ُش و ٌَا َو َلا‬
ً ِ‫ل َ ه‬

Orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Ketika mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas hendak menunjukkan
riya dihadapan manusia, tidaklah mereka menyebut Allah kecuali hanya sedikit.

Lalu Nabi pernah bersabda yaitu:

15
Firanda Andira Abidin, Berjihad Melawan Riya‟ Dan Ujub, 1st ed. (Jakarta: Naashirussunnah, 2013), 61–62.
16
Abu Muhsin Firanda Andirja, Ikhlas Dan Bahaya Riya, 1st ed. (Jakarta: Maktabah raudhah Al-Muhibbin,
2013), 30–32.

8
‫ص اوَا َي ٍْا‬ َ ‫ ا َشْ َش‬, ‫ص ه َّ ً َو َي ٍْا‬
َ ‫نا ف َ م َ ذْا ي َُش ا ِي‬ َ ‫ ا َشْ َش‬, ‫ص ذ َّقَا َو َي ٍْا‬
ْ ِ ‫نا ف َ م َ ذْا ي ُ َش ا‬
َ ‫ٌا‬ َ َ‫ت‬
َ ‫ا َشْ َش‬
ٌِ ‫نا ف َ م َ ذْا ي َُش ا‬

Barang siapa berpuasa dengan riya‟ (supaya diketahui oleh orang lain), maka ia
telah (menyekutukan dengan selain Aku). Dan barang siapa yang telah sholat dengan
riya‟, maka ia telah menyekutukan dengan selain Aku; dan barang siapa yang
bersedekah dengan riya‟, maka ia telah menyekutukan dengan selain Aku.

11.2.4 Bentuk-Bentuk Sifat Riya’


1. Riya‟ dalam Shalat, dalam arti dari QS. Al-Kausar/ 108:2 “Maka laksanakanlah
shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah”. Maksudnya maka laksankanlah shalat karena Allah bukan karna
hal lain bukan karena pujian manusia, atau sanjungan manusia. Karena jika hal itu
dilakukan berarti seseorang itu tidak memiliki iman dan mempesekutukan Allah
serta perbuatannya sia-sia akan hilang amal yang ia lakukan. Dan yang dimaksud
berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah.
2. Riya‟ dalam berbagai kegiatan Seseorang, seperti dijelaskan dalam QS. Al-
Anfal/8: 47) “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari
kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya‟) serta
menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yang mereka
kerjakan.”. Ayat ini dikhususkan untuk memberi peringatan kepada orang-orang
yang beriman. Karena orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin menjadi
orang sombong. Sebab kesombongan itu timbul karena jiwa yang kosong dan
terlalu mengandalkan kemenangan. Seperti halnya juga diperingati untuk orang
yang beramal karna riya‟, dan ingin dipuji.
3. Riya‟ dalam berderma atau bersedekah, dalam firman Allah dalam QS. Al-
Baqarah /2: 264 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima),
seperti orang yang menginfakkan hartanya karena Riya‟ (pamer kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.” Dalam bersedekah
seseorang itu bermaksud bukan karena ingin menolong dengan ikhlas, melainkan
ingin dikatakan sebagai dermawan dan pemurah. Orang yang bersedekah karena
riya‟ tidak akan mendapat pahala dan amalnya itu sia-sia.

9
4. Riya‟ dalam berpakaian, Orang yang riya‟ umumnya memakai pakaian yang
bagus, perhiasan yang mahal dan beraneka ragam dengan harapan agar disebut
orang kaya, mampu, dan pandai berusaha sehingga melebihi orang lain.
Tujuannya hanya dipamerkan dan mendapatkan pujian. Agar setiap yang melihat
memujinya mengatakan bahwa ia benar-benar orang yang kaya dan serba
berkecukupan orang seperri ini kurang memahami ilmu agama seandainya iya
paham pasty ia tau semua yang Allah berikan hanya titipan dan tidak pantas untuk
dipamerkan cukuplah ia dan Allah saja yang mengetahui.17
11.2.5 Sebab Riya’

Dalam buku Dahsyatnya Ikhlas Bahayanya Riya‟ Ubaid bin Salim al-Amri
menjelaskan pokok dari riya‟ digolongkan kepada tiga sebab, yaitu: senang terhadap
sanjungan, takut pada cela‟an manusia, dan rakus (sangat menginginkan) apa yang
tampak pada orang lain.18

Lalu diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari RA, menjelaskan bahwa hingga
ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Wahai
Rasulullah jika ada seseorang yang berperang karena rasa fanatisme (ia tidak mau
dikalahkan atau dihina), kemudian ada seseorang yang berperang dengan gagah
berani (agar namanya disebut-sebut dan dipuji sebagai orang yang gagah berani),
dan ada seseorang yang berperang dengan unsur riya‟ (agar kedudukannya diketahui
orang lain). Dari ketiga hal di atas manakah yang berada di jalan Allah?” kemudian
Nabi SAW menanggapi: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat
Allah yang paling tinggi, maka itulah fisabilillah” (HR. Bukhari dan Muslim).19

Kesimpulan dari hadist diatas ialah, boleh jadi seseorang itu tidak tertarik
dengan pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang yang penakut di antara
para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati agar tidak direndahkan. Dan sekali-
kali seseorang menyampaikan fatwa tanpa ilmu karena mencegah hinaan agar tidak
dikatakan seperti orang bodoh.

17
Rovi Husnaini, “Hati, Diri Dan Jiwa (Ruh) Rovi,” Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 7, no. 36 (2015): 67–70.
18
Mohammad Mufid, “Konsep Riya‟ Menurut Al-Ghazali” (Uinversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
2018), 36.
19
Maharani, “Riya‟ Menurut Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar Skripsi,” 29.

10
11.2.6 Implementasi Agar Terhindar Dari Sifat Riya’
1. Menghapus penyebab riya‟, munculnya sifat riya‟ ini sudah pasti disebabkan oleh
problematika tertentu.Cara menanggulangi dan mengobati sifat ini, penyebabnya
harus dihilangkan. Jika penyebabnya tetap eksis, riya‟ tetap akan menjelma dalam hati
seseorang. Oleh karena itu,jika menghendaki untuk menghilangkan sifat riya‟,
seseorang harus senantiasa menghapus segala penyebabnya. Apabila penyebabnya
sudah lenyap, perilaku riya‟ juga akan hilang dengan sendirinya.
2. Berusaha melawan getaran hati yang mengajak riya‟, dalam melakukan amal
perbuatan, seseorang harus berusaha untuk melawan bisikan setan yang mengajak
pada perilaku riya‟. Ajakan setan inimesti dilawan secara bersinambungdan kontinu
karena mereka tidak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan. Di
samping itu,ajakan setan yang menumbuhkan sifat riya‟ ini juga harus ditentang
dengan segera memperbaiki niat dan mengembalikannya ikhlas hanya untuk Allah
semata.
3. Senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari penyakit riya‟, menghindari
perilaku riya‟ juga harus meminta pertolongan kepada Allah dengan cara berdoa
kepada-Nya, sebagaimana hadis Nabi menjelaskan Pada suatu hari Rasulullah
berkhutbah di hadapan kami, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, takutlah
kalian terhadap syirik karena dia lebih halus dari langkah semut.” Kemudian
seseorang bertanya, ”Wahai Rasulullah, bagaimana kami harus menghindarinya,
sementara dia lebih halus dari langkah semut?” Beliau menjawab, “Berdoalah
dengan membaca: Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari
perbuatan syirik yang kami ketahui dan kami meminta ampun kepada-Mu atas dosa-
dosa yang kami tidak ketahui.”.20

Dengan ketiga cara menghindari sifat riya‟ tersebut, dapat dimengerti bahwa
setiap manusia harus selalu mendekatkan diri kepada Allah dan selalu menjaga hati
agar tidak berpaling darinya. Selain itu, seseorang juga harus menyadari bahwa
mereka adalah makhluk lemah yang sulit untuk terlepas dari sifat-sifat tercela
terutama sifat riya‟. Dengan kesadaran seperti ini, setidaknya akan dapat
meminimalisir dan menjauhkan diri dari perilaku riya‟ meski secara faktual tidak
jarang dari mereka yang terjebak dalam perilaku riya‟ karena dipengaruhi bisikan

20
Eko Zulfikar, “INTERPRETASI MAKNA RIYA‟ DALAM AL-QUR‟AN: Studi Kritis Perilaku Riya‟ Dalam
Kehidupan Sehari-Hari,” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur‟an Dan Tafsir 3, no. 2 (2019): 155–56,
https://doi.org/10.15575/al-bayan.v3i2.3832.

11
setan yang sangat lihai dalam menggoda dan menjerumuskan ke dalam lembah
kebinasaan.

11.3 Hasad
11.3.1 Pengertian dan Hukum Hasad

Kamus al-Munawwir mengartikan kata hasad (‫ )حسذ‬dengan arti iri serta dengki
dan memang kata hasad ini bukan bentuk dari Bahasa Indonesia tetapi Bahasa arab
yang berasal dari kata ‫احسذاا–اوحسادج‬-‫ايحسذا‬-‫ حسذا‬21.Sedangkan dalam kamus mu‟jam al-
lughah al-arabiyah al-mu‟asirah yang mana kamus ini membahas tentang istilah-
istilah modern Bahasa arab yang sering dipakai sehari-hari kata hasad ini dimaknai
dengan makna membencinya karunia yang Allah SWT berikan kepada orang lain
serta berharap karunia tersebut hilang atu berpindah kepadanya 22.

Adapun kata hasad menurut Ibnu Manzur berasal dari akar kata Bahasa arab
yaitu hasada yahsidu hasadan wa hasadahu yang memiliki arti ingin berpindahnya
nikmat dan karunia yang telah dimiliki orang lain kepada dirinya atau mengharapkan
hilang, binasanya karunia tersebut dari orang yang didengkinya23.

Imam Nawawi Mengatakan bahwasannya hasad ini terbagi menjadi dua


bagian yaitu, hasad hakiki dan hasad majazi24.

1. Hasad Hakiki (sebenarnya), yaitu menginginkan atau mengharapkan


hilangnya kenikmatan yang ada pada tangan pemilik nikmat terbebut.
Hasad hakiki ini hukumnya haram didasari dengan nas-nas yang sohih.
2. Hasad Majazi (kiasan), yaitu menginginkan nikmat yang ada pada diri
orang lain tanpa menginginkan hilangnya nikmat tersebut. Hasud jenis ini
diperbolehkkan.

Sedangkan menurut imam al-Ghazali hasad adalah membenci kenikmatan


yang telah Allah berikan kepada orang lain dan berharap nikmat tersebut hilang lalu
berpindah kepadanya. Ataupun jika tidak begitu, menginginkan nikmat yang ada pada

21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlenglap (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997), 262.
22
Ahmad Mukhtar Umar, “Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟asirah, Juz 1,” in 1 (Alim Al-Qurtubi,
2008), 492.
23
Jusniati Jusniyati, “Hasad Dalam Perspektif Al-Qur‟an” (UIN Alauddin Makassar, 2017), 17.
24
Jusniyati, 19.

12
diri orang lain tanpa ada rasa berhapa hilangnya nikmat tersebut25. Imam al-Gazhali
sendiri menghukumi sifat hasad ini haram dalam keadaan apapun, kecuali hasad
terhadap orang yang dengan adanya nikmat terebut malah terjerusmus ke dalam
lubang kemaksiatan, dan hasad terhadap orang kafir yang menggunakan nikmat
tersebut utuk melakukan fitnah, menciptakan kerusuhan, menyakiti sesama
makhluk26.

Jadi intinya yang dinamakan hasad itu adalah adanya rasa tidak senang ketika
melihat seseorang mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT. Dan hasad sendiri ada 2
macam ada hasad yang sifatnya tercela yaitu hasad hakiki da nada hasad yang sifatnya
terpuji yaitu haad majazi.

11.3.2 Penyebab Hasad dan Cara penawarnya

Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya yaitu ihya ulum ad-din ada 7
penyebab hasad, yaitu27:

1. Permusuhan dan kebencian.


2. Memiliki rasa bahwasannya diri sendirilah yang paling mmulia.
3. Adanya sifat sombong dalam diri kita
4. Merasa takjub atas kehebatan yang ada pada diri kita.
5. Memiliki rasa takut mendapatkan saingan dalam usaha mencapai tujuan.
6. Terlalu cinta dengan kedudukan duniawi.
7. Memiliki sikap keji serta kikir terhadap kebaikan orang lain.

Adapun untuk penawar ataupun hasad ini yaitu dengan ilmu dan amal.
Pertama dengan ilmu, yaitu menyadari bahwasannya sifat hasad itu tidak
memberikannya kemanfaatan dan lebih menyenderungkan terhadap keburukan yang
nantinya hidup kita dipenuhi dengan rasa sakit hati. Yang kedua dengan amal yaitu
melakukan perilaku apa saja yang berlawanan dengan sifat hasud28.

25
Jusniyati, 19–20.
26
Abu Hamid Al-Ghazali, “Ihya Ulum Ad-Din, Tahqiq: Abd Hamid Hindawi Dan ‟Abdullah Al-Minsyawi,” 1st
ed. (Maktabah al-Iman, 1996), 268.
27
Debibik Nabilatul Fauziah, “Hasad Dalam Perspektif Ulama,” Hawari Jurnal Pendidikan Agama Dan
Keagamaan Islam 1 (2020): 15–17, https://journal.unsika.ac.id/index.php/hawari/article/view/3935.
28
Al-Ghazali, “Ihya Ulum Ad-Din, Tahqiq: Abd Hamid Hindawi Dan ‟Abdullah Al-Minsyawi,” 279–81.

13
11.3.3 Ayat Al-Qur’an Tentang Hasad
َ ‫ َو ِيٍ اش ِ َّش ا َحا ِسذ ااِرَا ا َح‬yang artinya: “dan dari kejahatan
1. Surat Al-Falaq ayat 5: ‫سذ‬
pengiri jika ia ini”.

Hasud sendiri merupakan salah satu penyebab lahirnya kejahatan, kerena


itu permohonan ayat sebelumnya di teruskan dengan ayat ini dengan menyatakan:
dan di samping itu juga aku memohon perlindungan kepada Allah SWT dari
kejahatan pengiri dan pendengki apabila ia iri hati dan mendengki29.

2. Surat Al-Imran ayat 19:

ْ ‫اي ۢ ٍْاتَ ْعذِا َياا َج ۤا َء ُه ُى‬


‫اان ِع ْه ُىاتَ ْغي ًۢااتَ ْيَُ ُه ْىا َۗو َي ٍْايَّ ْكفُ ْشاتِايتِا‬ ِ ‫ةاا َِّل‬ ْ ُ ‫فاانَّ ِزيٍَْ اا ُ ْوت‬
َ ‫ىااان ِكت‬ َ َ‫اااختَه‬
ْ ‫ۗاو َي‬ ِ ْ ِ‫اّللا‬
َ ‫االس ََْل ُوا‬ ٰ َ‫ا ٌَِّاان ِذّيٍَْ ا ِع ُْذ‬
‫با‬
ِ ‫سا‬ ْ ‫س ِش ْي ُع‬
َ ‫اان ِح‬ ٰ ٌَِّ ‫ّللاِافَا‬
َ ‫اّللاَا‬ ٰ

Yang artinya: Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah


berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka
memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingka
terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Ayat ini menjelaskan tentang perselisihan Antara para pengikut nabi terjadi
karena adanya sifat dengki Antara mereka yang menyebabkan ketidakmauan
mengikuti ajaran islam dan kebenaran yang telah di bawa oleh Nabi Muhammad
SAW30.
ْ ٍَ‫ًاس ُجما ِ ّي‬
3. Surat al-Zukhruf ayat 31: ‫اانمَ ْشيَتَي ٍِْا َع ِظيْىا‬ َ ‫عه‬ ْ َ‫َولَانُ ْىاانَ ْى َلاَُ ِ ّزلَاهز‬
َ ‫ااانمُ ْشاٌُ ا‬

Yang artinya: Dan mereka (juga) berkata “Mengapa al-Qur‟an ini tidak
diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua
negeri ini (Mekah dan Ta‟if)

Ayat diatas itu menjelaskan tentang pengungkapan kaum musyrikin


tentang diturunkannya al-qur‟an kepada Nabi Muhammad SAW mereka
berpendapat bahwasannya nabi Muhammad SAW tidak pantas menerima wahyu
tersebut. Mereka menilai seharusnya yang menjadi pemimpin adalah orang orang
besar di kota yang terbilang kaya31.

29
Muhammad Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah Juz ‟Amma” (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 630.
30
Jusniyati, “Hasad Dalam Perspektif Al-Qur‟an,” 40.
31
Jusniyati, 41.

14
11.3.4 Implementasi Agar Terhindar Dari Sifat Hasud

Didalam surat al falaq ayat terakhir mengajarkan bahwasannya manusia


sendiri harus berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan orang yang dengki apabila
ia dengki. Senantiasa berlindung dari orang-orang yang melampiaskan
kedengkiannya. Dengan begitu berarti jika kita tidak ingin terkena sifat dengki
tersebut maka haruslah kita berdo‟a kepada tuhan yang maha esa32.

Shalat juga dapat mencegaah kita dari perbuatan keji dan mugkar. Hal Ini
sesuai dengan qur‟an surat al-ankkabut ayat 45 yang artinya: “sesungguhnya shalat
itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Dengan mendirikannya shalat maka
hati akan terasa lebih tenan, tentram. Bahkan shalat sendiri melahirkan potensi
keterhindaran dari macam-macam keburukan33.

Selain shalat, zakat juga mampu mencegah kita dari sifat hasad karena zakat
ini memiliki manfaat untuk meningkatkan keederhanaan seseorang. Ketika sudah
memiliki jiwa yang sederhana maka besar kemungkinan orang tersebut tidak akan
mempunyai dan terkena hasud. Selain itu zakat juga dapat mencegah seseorang dari
perbuatan tamak dan mementingkan diri sendiri34.

11.4 Nifaq
11.4.1 Pengertian dan Jenis Nifaq

Secara etimologis nifaq adalah sikap menyembunyikan sesuatu di dalam


hatinya karena tidak ingin terlihat, diketahui keberadaanya oleh orang lain sehingga
orang nifaq ini akan menampakan, menampilkan sesuatu ataupun apa saja yang tidak
sesuai sengan isi hatinya. Adapun nifaq menurut syara‟ adalah secara lahiriyah
ataupun batiniyah menyatakan keimanan padahal di balik keimanan terebut
menyimpan kekufuran. Nifaq sendiri merupakan sifatnya sedangkan orang yang
melakukan perilaku nifaq disebut dengan munafiq35.

Orang munafiq juga sering disebut orang bermuka dua hal ini karena dia
mengatakan pada suatu tempat dengan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dikatakannya pada tempat lain. Nifaq ini juga dapat berarti sebuah sikap yang

32
Jusniyati, 69.
33
Jusniyati, 74.
34
Jusniyati, 79.
35
Fatirah Wahibah, “Nifaq Dalam Hadist Nabi” 6, no. 1 (2013): 28.

15
dilakukan bertentangan dengan apa yang sebenarnya, hal ini sesuai dengan hadist nabi
yang artinya: Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami, Khālǐ Ya‟lā
menceritakan kepada kami dari al-A‟māsy dari Ibrāhǐm dari Abǐ al-Sya‟sā‟ berkata
Ibn „Umar telah diberi tahu bahwa suatu ketika kami menghadap kepada Amir-Amir
kami, lalu kami menyampaikan sesuatu, maka ketika kami keluar kami mengatakan
sesuatu yang tidak sesuai (dengan apa yang kami katakan ketika menghadap). Maka
selanjutnya dia mengatakan bahwa kami menganggap yang demikian itu pada masa
Rasulullah saw sebagai kemunafikan36.

Nifaq sendiri ada dua macam yaitu nifaq I‟tiqadi dan nifaq amali37:

1. Nifaq I‟tiqadi, yaitu menyembunyikan kekafirannya sehingga ia sendiri


mengaku-ngaku muslim.
2. Nifaq „Amali, adalah nifaq perilaku yang mana ia sering melakukan
perilaku yang tidak terpuji seperti berbohong, ingkar janji, dan lain
sebagainya.
11.4.2 Implementasi Agar Terhindar Dari Sifat Nifaq

Semua penyakit tentu ada obatnya, begitupula sifat nifaq pasti ada obatnya.
Hanya saja obat dari penyakit ini sangatlah berat caranya yaitu bertaubat dan kembali
kepada Alla SWT dengan melakukan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah
SWT. Karena pada dasarnya orang yang akan masuk ke dalam surganya Allah
hanyalah orang yang beriman kepada Allah. ketika kita berhasil mengobati sifat nifaq
ini berarti iman kita sudahlah meningkat. “Kecuali orang-orang yang bertobat,
beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya
(dirugikan) sedikit pun.” (Q.S Maryam: 60). Sedangkagkan untuk syarat taubat
berdasarkan surat an-Nisa ayat 17-18 ada 238:

1. Perbuatan buruk yang dilakukan harus dilakkukan dengan ketidaktahuan


(jahalah)
2. Taubat itu harus dilakukan dengan segera.

36
Wahibah, 29.
37
Ahsin Sakho Muhammad, Pase Al-Qur‟an (Tanggerang Selatann: Qaf Media, 2017), 181–82.
38
Sri Tanti, “Terapi Penyaki Jiwa Perspektif Al-Qur‟an (Elaborai Ayat-Ayat Tentang Syifa Dalam Al-Qur‟an)”
(Institut PTIQ Jakarta, 2017), 38.

16
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwasannya syarat pertama itu tidaklah
menjadi syarat taubat. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat kedua yaitu tatkala
belum datangnya ajal ataupun kematian. Hal ini didasari asas sabda nabi Muhammad
SAW yang artinya: “Allah menerima taubat hamba-Nya selama nafas belum sampai
kerongkongan”39.

39
“Konsep Taubat Dalam Al-Qur‟an,” KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH 8, no. 2 (2018): 122.

17
KESIMPULAN
Takabur atau kesombongan adalah seorang yang memuji dirinya sendiri dan
menyombongkan diri dengan nikmat dari Allah, seperti nikmat (mempunyai) anak, harta,
ilmu, kedudukan, kekuatan jesmani atau yang serupa dengan itu. Yang penting bahwa makna
sombong adalah ketika ada seseorang yang memuji dirinya sendiri karena memiliki banyak
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya dan menyombongkan diri di depan orang
lain.

Adapun riya‟ artinya memperlihatkan amalan kebaikan agar dapat dilihat orang lain.
Secara harfiyah, kata riya atau ria‟a berakar dari kata ra‟a mempunyai makna melihat.
Menurut bahasa, kata ria‟a merupakan mutabaqah dari wazan fi‟al yang berarti melakukan
suatu perbuatan agar dilihat oleh manusia. Dalam Lisan al-arab, kata ini mengandung arti
menunjukkan suatu perbuatan secara berlebihan demi Memperlihatkan amalan kebaikan agar
dapat dilihat orang lain.

Menurut Imam Nawawi Hasad sendiri ada dua macam yaitu hasad hakiki dan Hasad
Majazi. Dan menurutnya hasad majazi ini diperbolehkan. Sedangkan menurut imam al-
Ghazali semuat jenis hasad itu haram hukumnya.

Nifaq adalah secara lahiriyah ataupun batiniyah menyatakan keimanan padahal di


balik keimanan terebut menyimpan kekufuran. Nifaq sendiri merupakan sifatnya sedangkan
orang yang melakukan perilaku nifaq disebut dengan munafiq. Nifaq ini terbagi ke dalam dua
bagian yaitu nifaq „itiqadi dan nifaq amali.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Usman, and Noek Aenul Latifah. Buku Siswa AKIDAH AKHLAK. Edited by
Fuad Thahari. I. Jakarta: Kementrian Agama Indonesia, 2014.

Abidin, Firanda Andira. Berjihad Melawan Riya‟ Dan Ujub. 1st ed. Jakarta:
Naashirussunnah, 2013.

Abu Muhsin Firanda Andirja. Ikhlas Dan Bahaya Riya. 1st ed. Jakarta: Maktabah raudhah
Al-Muhibbin, 2013.

Farwati, Salda. “Riya‟ Dalam Perspektif Al-Quran (Ananalisis Pemikiran M. Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Misbah).” Universitas Islam Negeri Mataram, 2020.

Gholib, Achmad. AKIDAH AKHLAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Edited by Dimas Yogo.
1st ed. Jakarta: CV. DIAZ PRATAMA MULIA, 2016.

Husnaini, Rovi. “Hati, Diri Dan Jiwa (Ruh) Rovi.” Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 7, no.
36 (2015): 62–74.

Maharani, Kiki. “Riya‟ Menurut Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar Skripsi.” Institut Agama
Islam Bengkulu, 2021.

Mohamed, Siti Nursima, and Ahmad Najib Abdullah. “Hasad Dan Takabbur Menurut
Perspektif Hamka.” Jurnal Al-Basirah 7, no. 1 (2017): 71–90.

Mufid, Mohammad. “Konsep Riya‟ Menurut Al-Ghazali.” Uinversitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2018.

Mulida, Ali. KONSEP PENDIDKAN AKHLAK DALAM KITAB BULUGH AL-MARAM. 1st
ed. Vol. 4. Bogor: ALHIDAYAH PRESS, 2016.

Mulyadi, Mohammad. “Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Pemikiran Dasar


Menggabungkannya.” Jurnal Studi Komunikasi Dan Media 15, no. 1 (2013): 1–128.
https://doi.org/10.31445/jskm.2011.150106.

Muzzammil, Muhamad. “Takabur Menurut Al-Quran Pada Surah Al-a „ Raf Ayat 146.”
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2019.

19
Nurkamiden, Ulfa Dj. “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub Dan Takabur.” Tadbir: Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 2 (2016): 115–26.

Solihin, Ade Taufik, Aam Abdussalam, and Cucu Surahman. “Takabur Dalam Al Qur‟an
Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran PAI Di Sekolah.” Jurnal Pendidikan Agama
Islam 18, no. 1 (2020): 37–51.

Suhemi, Emi. “Takabur Dalam Perspektif Al-Quran Dan Hadist.” Jurnal Al- Mu‟ashirah 16,
no. 2 (2019): 199–209.

Taufikurrahman. “Sombong Dalam Al-Qur‟an Sebuah Kajian Tematik.” Jurnal Tafsere 8, no.
1 (2020): 38–57. http://103.55.216.56/index.php/tafsere/article/view/14802.

Zahroh, Syarifah Mudaim Fatimatuz. “Konsep Takabur Dalam Perspektif Tafsir


Kontemporer.” Institut Ilmu Al-Quran Jakarta, 2021.
https://doi.org/10.1128/AAC.03728-14.

Zulfikar, Eko. “INTERPRETASI MAKNA RIYA‟ DALAM AL-QUR‟AN: Studi Kritis


Perilaku Riya‟ Dalam Kehidupan Sehari-Hari.” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur‟an
Dan Tafsir 3, no. 2 (2019): 143–57. https://doi.org/10.15575/al-bayan.v3i2.3832.

Al-Ghazali, Abu Hamid. “Ihya Ulum Ad-Din, Tahqiq: Abd Hamid Hindawi Dan ‟Abdullah
Al-Minsyawi,” 1st ed., 268. Maktabah al-Iman, 1996.

Fauziah, Debibik Nabilatul. “Hasad Dalam Perspektif Ulama.” Hawari Jurnal Pendidikan
Agama Dan Keagamaan Islam 1 (2020).
https://journal.unsika.ac.id/index.php/hawari/article/view/3935.

Jusniyati, Jusniati. “Hasad Dalam Perspektif Al-Qur‟an.” UIN Alauddin Makassar, 2017.

“Konsep Taubat Dalam Al-Qur‟an.” KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH 8, no. 2
(2018): 115–31.

Muhammad, Ahsin Sakho. Pase Al-Qur‟an. Tanggerang Selatann: Qaf Media, 2017.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlenglap. Yogyakarta:


Pustaka Progressif, 1997.

20
Shihab, Muhammad Quraish. “Tafsir Al-Misbah Juz ‟Amma.” Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Tanti, Sri. “Terapi Penyaki Jiwa Perspektif Al-Qur‟an (Elaborai Ayat-Ayat Tentang Syifa
Dalam Al-Qur‟an).” Institut PTIQ Jakarta, 2017.

Umar, Ahmad Mukhtar. “Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟asirah, Juz 1.” In 1, 492.
Alim Al-Qurtubi, 2008.

Wahibah, Fatirah. “Nifaq Dalam Hadist Nabi” 6, no. 1 (2013).

21

Anda mungkin juga menyukai