Anda di halaman 1dari 15

UJUB & SOMBONG (TAKABUR)

Mata Kuliah

Psikologi Agama

Dosen Pengampu

DR. Ahmad Suariadi, MA

Oleh:

Kelompok 9

Dwi Ayu Lestari : 170104040247

Syahrul Rizky : 170104040250

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM

BANJARMASIN

2019
1

PENDAHULUAN

Secara naluri, manusia memiliki kecenderungan menonjolkan kelebihannya di


hadapan orang lain. Kecenderungan ini lahir dari watak bangga diri. Dalam hal ini, ada
unsur kesamaan antara manusia dengan beberapa jenis binatang. Burung merak misalnya,
dia kerap memamerkan kelebihan bulu-bulunya untuk menarik simpati lawan
jenisnya.Setiap manusia diberikan berbagai karunia dan kelebihan yang bisa menjadi
potensi untuk melahirkan sifat ujub. Ada kelebihan yang sifatnya alami dimana manusia
tidak memiliki peran sama sekali dalam memperolehnya semisal kecantikan dan
ketampanan. Ada kelebihan yang merupakan pengembangan potensi manusia. Apapun
kelebihan itu, harus dikembalikan kepada Allah dan mensyukurinya. Tak layak manusia
membanggakan diri.
Sifat bangga diri (‘ujub) dan sombong (takabbur) adalah sifat-sifat mazmumah yang
perlu kita jauhi. Tanpa kita sadari bahawa apabila sifat ini telah bertapak dalam hati kita
akan menyebabkan hati kita berpenyakit dan akan merusak amalan kita kepada Allah SWT.
Sifat kekaguman dan membangga-banggakan diri dapat menimbulkan kesombongan dan
keangkuhan terhadap orang lain. Sifat ini adalah salah satu penyakit hati yang sangat
mencelakakan dan sulit dihindari. Dalam al-Qur’an sudah tertera larangan dan ancaman
serta bahaya yang akan ditimbulkan dari sifat takabur ini. Jika seseorang sudah melekat
pada sifat ini, maka segeralah mungkin untuk mengobatinya dan menghindarinya, karena
sifat ini sangat merugikan diri sendiri maupun orang lain serta merugikan di dunia dan di
akhirat.
A. Ujub
1. Pengertian Ujub

Secara bahasa, membanggakan diri (al-i’jab) memiliki beberapa arti. Pertama,


mengagumkan (membanggakan) dan menganggap baik. Allah Swt. berfirman

‫ا ا‬٢٢١‫اولَ ۡواأ َ ۡع َجبَ ۡت ُك ۡۗۡما‬


‫امنا ُّم ۡش ِر َك ٖة َا‬ ‫ةا ُّم ۡؤ ِمانَةٌا َا‬ٞ ‫او ََل َ َم‬ َّۚ ‫لات َن ِك ُحواْا ۡٱل ُم ۡش ِر َٰ َك ِا‬
‫ر ِا‬ٞ ‫خ ۡي‬ َ ‫تا َحت َّ َٰىاي ُۡؤ ِم َّن‬ ‫َو َ ا‬

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S. Al-Baqarah : 221).

Kedua, merasa tinggi dan besar, seperti pada Q.S. Al-Taubah: 25 Allah Swt
berfirman,

َ ‫ع َجبَ ۡت ُاك ۡم ا َك ۡث َرت ُ ُك ۡام افَلَ ۡم ات ُ ۡغ ِن ا‬


‫عن ُك ۡم اش َۡيااا‬ ‫اويَ ۡو َم ا ُحن َۡي ٍن اإِا ۡذ اأ َ ۡا‬ َ ِ‫اطنَ ا َكث‬
َ ‫ير ٖة‬ ‫ص َر ُك ُم ا َّا‬
ِ ‫ٱّللُ افِي ا َم َو‬ َ َ‫لَقَ ۡاد ان‬
‫ا ا‬٢٥‫اولَّ ۡيتُما ُّم ۡدبِ ِرينَاا‬َ ‫اار ُحبَ ۡتاث ُ َّم‬
َ ‫ضابِ َم‬ ‫علَ ۡي ُك ُما ۡٱَل َ ۡر ُا‬
َ ‫ضاقَ ۡتا‬
َ ‫َو‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di


medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu
kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu
tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai”.

Secara istilah, al-i’jab berarti membanggakan diri dengan segala sesuatu yang
muncul dari dirinya, baik ucapan maupun perbuatan, sambil tidak membandingkannya
dengan orang lain. Sama saja apakah ucapan atau perbuatannya itu positif ataupun
negatif.1

Ujub ialah terpengaruh oleh hebat dan kelebihan diri sendiri, ia sajalah yang
pandai dan tidak pernah salah. Orang ujub terpengaruh oleh kemampuan diri,
pendapat, dan amal baiknya, sehingga dibesar-besarkannya, dan melalaikan atau
melupakan akibatnya. Hal itu akan dapat marah dan siksa Allah, karena ia merasa
harus diberi Allah kedudukan yang tinggi, sebagai imbalan amalnya. Ujub termasuk
penyakit yang membawa takabur.2

1
Sayyid Muhammad Nuh, Mengobati 7 Penyakit Hati, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 2004), Hal 13.
2
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), Hal 360.

2
Menurut Al-Junjani ujub adalah anggapan seseorang terhadap ketinggian
dirinya, padahal ia tidak berhak untuk anggapan itu. Ujub merupakan cela dan
perasaan yang sangat buruk. Hati manusia yang ujub, disaat ia merasa ujub adalah
buta sehingga ia melihat dirinya sebagai orang yang selamat padahal ia adalah celaka,
ia melihat dirinya sebagai orang yang benar padahal ia adalah salah. Orang yang ujub
selalu meremehkan atas perbuatan dosa yang dilakukan dan selalu melupakan dosa
yang telah diperbuatnya, bahkan hatinya buta sehingga melihat perbuatan dosa yang
dilakukan sebagai perbuatan bukan dosa dan selalu memperbanyak perbuatan dosa
itu. Orang yang ujub selalu mengecilkan perasaan takutnya kepada Allah SWT dan
memperbesar rasa kesombongan kepadaNya.3

2. Faktor-Faktor Penyebab Ujub


a. Lingkungan Keluarga

Faktor pertama yang menyebabkan seseorang bersikap ujub adalah


lingkungan keluarga. Hal ini bisa terjadi karena seseorang kadang tumbuh di
dalam lingkungan keluarga yang salah satu atau kedua orangtuanya memiliki sifat
senang dipuji, selalu merasa benar sendiri, selalu mengabaikan nasihat atau
wejangan, serta sifat lain yang merupakan wujud perbuatan ujub. Kemudian, ia
meniru perbuatan orangtuanya itu. Seiring dengan berjalannya waktu, ia terus
menerus akan terpengaruhi oleh sifat orangtuanya hingga sifat itu menjadibagian
dari kepribadiannya.

Inilah barangkali rahasia mengapa Islam menganjurkan para orangtua


untuk berpegang teguh pada manhaj Allah (nilai-nilai agama) dalam mendidik
putra-putrinya. Sebab, hanya nilai-nilai agama yang dapat menjaga orangtua dari
sifat-sifat negatif sehingga mereka dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya.

b. Pergaulan dengan Orang yang Suka Ujub

Faktor lain yang menyebabkan seseorang bersikap ujub adalah pergaulan


dengan orang yang suka membanggakan diri (ujub). Hal itu terjadi karena
seseorang bisa saja dipengaruhi oleh temannya. Apalagi kalau temannya itu
memiliki kepribadian kuat, cerdik, dan banyak pengalaman, sedangkan ia tidak

3
Ulfa Dj. Nurkamiden, “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub dan Takabur”, dalam Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam 4, No 2, Agustus 2016, Hal 117.

3
mewaspadai karakter temannya itu, Dalam pergaulan pasti ada yang terpengaruh
oleh temannya. Jika temannya memiliki sifat suka membanggakan diri, ia akan
terpengaruh oleh sifat temannya tersebut. Akhirnya ia akan seperti temannya.

Mungkin, inilah rahasia mengapa Islam menekankan pentingnya berhati-


hati dalam memillih teman. Pemilihan teman yang berakhlak terpuji akan
memberikan dampak positif bagi seseorang dalam berakhlak mulia. Begitu juga
sebaliknya, teman yang buruk perangainya hanya akan menjeratnya ke dalam
akhlak tercela.

c. Lupa kepada Sang Pemberi Nikmat

Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang bersikap ujub adalah lupa
kepada sang pemberi nikmat. Biasanya jika seseorang diberi kenikmatan oleh
Allah Swt. berupa harta, ilmu, kekuatan, kemuliaan, dan lainnya, ia akan
menerima semua kenikmatan itu. Akan tetapi, ia sering lupa kepada Pemberinya
(Allah). Karena pengaruh gemerlap dan melimpahnya kenikmatan itu, hatinya
berbisik bahwa ia memang pantas menerima semua kenikmatan itu karena potensi
dan kelebihan yang dimilikinya. Sampai pada batas tertentu, ia akan seperti
Qarun yang mengatakan,

ۡ َ ‫لاإِنَّ َمآاأُوتِيت ُ اهۥُا‬


ٓ َّۚ ‫علَ َٰىا ِعل ٍما ِعند‬
‫ا ا‬٧٨‫ِيا‬ ‫قَا َا‬

Artinya : Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu
yang ada padaku". (Q.S, Al-Qashash 28: 78). Bisikan ini akan terus menguasai
dirinya sampai pada klimaksnya yaitu merasa bangga dengan dirinya dan potensi-
potensi yang dimilikinya. Itulah sikap membanggakan diri (ujub).

d. Tidak Memahami Hakikat Diri

Jika seseorang tidak memahami hakikat dirinya yang tercipta dari setetes
air hina yang keluar dari tempat keluar air kencing, kekurangan merupakan tabiat
dan jati dirinya, dan tempat kembalinya adalah tanah, lalu menjadi bangkai yang
membusuk dan dijauhi semua orang, maka ia akan merasa bangga pada dirinya
dan berpikir bahwa dirinya adalah sesuatu yang berharga. Perasaan dan pikiran
ini kemudian diyakinkan oleh setan, dan akhirnya ia bersikap ujub atau bangga
pada diri sendiri.

4
Barangkali, inilah salah satu rahasia mengapa Al-Qur’an berulang-ulang
menjelaskan hakikat permulaan dan akhir diri manusia. Allah Swt. berfirman,

ِ ‫س َٰلَلَ ٖة‬
‫امنا‬ ُ ‫ اث ُ َّام ا َجعَ َل ان َۡسلَ اهۥُا ِمنا‬٧‫ين ا‬
ٖ ‫ناط‬
ِ ‫ن ا ِم‬ ِ ۡ ‫سنَ ا ُك َّل اش َۡيءٍ ا َخلَقَهۥاُ ا َوبَدَأ َاخ َۡلقَ ا‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬
‫س ِا‬ َ ‫ِي اأ َ ۡح‬
‫ٱلَّذ ٓا‬
ٖ ‫َّما ٓ ٖءا َّم ِه‬
‫ا ا‬٨‫ينا‬

Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina”. (Q.S. Al-Sajdah : 7-8).

e. Keturunan Terhormat

Sebagian orang yang berjuang di jalan Allah mungkin berasal dari


keluarga dan keturunan orang terhormat. Hal ini kadang membuat dirinya merasa
menjadi orang terhormat. Ia lupa bahwa keturunan (nasab) sama sekali tidak bisa
menyegerakan atau mengakhirkan ketentuan Allah, tidak juga dapat dimintai
tolong agar menghindarkan dirinya dari siksa Allah. Justru, nasab ini dapat
memicu orang untuk bersikap merasa terhormat. Dan, pada gilirannya, garis
keturunan menyeretnya ke dalam sikap ujub.

3. Dampak Negatif Sikap Ujub

a. Terjerumus ke dalam Sikap Teperdaya dan Sombong

Sikap ujub akan berdampak pada kelengahan pelakunya dan


keengganannya dalam mengintrospeksi diri. Dengan berjalannya waktu, sikap ini
akan mencapai klimaks dengan menyepelekan dan meremehkan potensi orang
lain sehingga pelaku terjerumus dalam keterperdayaan diri (al-ghurur). Lebih
jauh lagi, ia akan merasa lebih dari orang lain dan meremehkan jati diri dan
kepribadian orang lain. Dengan demikian, ia telah bersikap sombong (al-
takabbur). Dampak kedua sikap tersebut sangat berbahaya.

b. Terhalang dari Bimbingan Ilahi

Sering kali, sikap ujub akhirnya menjadi kepribadian si pelaku dan


dijadikan pegangan dalam melakukan segala sesuatu. Ia melupakan Sang
Pencipta, Pengurus segala urusannya, dan Pemberi segala kenikmatan lahir dan
batin. Akhirnya, ia ditelantarkan, tidak mendapatkan bimbingan dari Allah dalam

5
setiap aktivitasnya. Sunatullah telah menetapkan bahwa Allah tidak akan
memberikan bimbingan kecuali kepada orang yang menghinakan dirinya di
hadapan Allah, menghindarkan diri dari godaan setan, memohon perlindungan
sepenuhnya kepada-Nya, dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk tunduk dan
patuh hanya kepada-Nya.

c. Dijauhi atau Dibenci Orang Lain

Sikap ujub akan mengundang murka Allah Swt. Barang siap dimurkai
Allah, seluruh penduduk langit akan memurkainya. Akhirnya orang yang ujub
pun akan dibenci penduduk bumi. Mereka akan menjauhi, membenci, tidak ingin
melihat, juga tidak ingin mendengar suaranya.

4. Tanda-Tanda Penyakit Ujub


a. Merasa Diri Suci

Orang yang memiliki penyakit ujub selalu merasa diri suci, ingin
disanjung, dan ingin dihormati. Pada saat yang sama, ia lupa atau pura-pura lupa
pada firman Allah:

‫ضا َوإِ ۡذا‬


‫مامنَ ا ۡٱَل َ ۡر ِ ا‬ ِ ‫او ِس ُعا ۡٱل َم ۡغ ِف َر َّۚاةِا ُه َواأ َ ۡعلَ ُمابِ ُك ۡماإِ ۡذاأَنشَأ َ ُك‬ َ ‫شاإِ َّلاٱللَّ َم َّۚ َاماإِ َّن‬
َ َٰ َ‫اربَّك‬ ِ ۡ ‫ٱلَّذِينَاايَ ۡجتَنِبُونَ ا َك َٰبَٓئِ َرا‬
‫ٱۡل ۡث ِاما َاو ۡٱلفَ َٰ َو ِح َا‬
‫ا‬٣٢‫ىا‬ َ ُ‫وناأ ُ َّم َٰ َهتِ ُك ۡمافَ ََلاتُزَ ُّك ٓواْاأَنف‬
‫س ُك ۡما ُه َاواأ َ ۡعلَ ُمابِ َم ِناٱتَّقَ َٰ ٓا‬ ِ ‫ط‬ ُ ُ‫ةافِياب‬ٞ َّ‫أَنت ُ ۡماأ َ ِجن‬

Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan


perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya
Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang
keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin
dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Najm: 32).

b. Mengabaikan Nasihat

Orang yang memiliki penyakit ujub selalu mengabaikan nasihat atau


bahkan menjauhinya sama sekali. Padahal, sangat buruk apabila suatu kaum sudah
tidak mau lagi saling menasihati dan tidak mau lagi menerima nasihat.

c. Senang Mendengar Aib Temannya

6
Orang yang memiliki penyakit ujub selalu senang mendengar aib orang
lain, terutama aib teman-temannya. Ibn Fudhail berkata, “Sesungguhnya di antara
ciri orang munafik adalah senang mendengar aib salah seorang temannya”
(Muhammad Ahmad Rasyid dalam Al-Awaiq).

5. Cara Mengobati Penyakit Ujub


a. Selalu Menyadari Hakikat Diri

Orang yang terjangkit penyakit ujub harus menyadari bahwa kalau bukan
karena tiupan (ruh) Allah, dirinya tidak akan pernah ada. Dirinya diciptakan dari
tanah yang diinjak kaki, lalu menjadi air hina yang jika orang melihat, pasti akan
merasa jijik. Dirinya akan dikembalikan ke dalam tanah, kemudian menjadi
bangkai busuk yang dijauhi orang-orang. Semasa hidup ia selalu membawa
kotoran busuk di perutnya, yang jika kotoran tersebut tidak keluar, ia akan merasa
sakit.

b. Menafakuri Kematian dan Kehidupan Sesudahnya

Orang yang terjangkit penyakit ujub harus selalu menafakuri kematian dan
kehidupan sesudahnya. Ia juga harus merasakan kesusahan dan malapetaka yang
akan terjadi pada kehidupan itu. Cara ini akan sanggup mencegah penyakit ujub,
bahkan akan membentenginya dari serangan ini apabila ia termasuk orang yang
memiliki hati dan pendengaran.

c. Memerhatikan Kondisi Orang yang Sedang Sakit

Orang yang terjangkit penyakit ujub hendaknya memerhatikan kondisi


orang yang sedang sakit serta keadaan orang yang meninggal dunia, terutama saat
dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Kemudian ia sering menziarahi kubur dan
memimkirkan bagaimana nasib para penghuninya dan di mana tempat kembali
mereka. Hal ini akan menggerakkan dan mendorong hatinya untuk melepaskan
kebanggaan atas dirinya sendiri, juga akan mengobati penyakit hati lainnya.

d. Memutuskan Hubungan dengan Orang yang Suka Ujub

Orang yang ingin sembuh dari penyakit ujub harus memutuskan


persahabatannya dengan orang-orang yang berpenyakit ujub. Sebaliknya, ia harus

7
bergaul dengan orang-orang yang rendah hati dan bijak. Hal ini akan membantu
menghindarkan dirinya bahkan mencegahnya dari penyakit ini.

e. Selalu Introspeksi Diri

Introspeksi diri setiap saat sangat membantu seseorang untuk mengetahui


aib-aib yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, ia akan dapat mengobati
penyakit ujub sedini mungkin dan menjaga dirinya agar tidak terserang kembali
penyakit tersebut.4

B. Sombong atau Tinggi Hati (Al-Takabbur)


1. Pengertian Takabbur

Secara bahasa, takabbur berarti “merasa besar” atau “menunjukkan kebesaran”


(al-ta’azhzhum). Menurut istilah, takabbur berarti menunjukkan kebanggaan pada diri
sendiri dengan melecehkan pribadi orang lain dan tidak mau menerima kebenaran
yang datang dari mereka.5

Sombong atau takabur ialah membesar-besarkan diri dengan anggapan serba


sempurna dan tidak mau menerima kebenaran orang lain, karena membandel.
Kesombongan dari sisi positif merupakan lawan pasti dari kepercayaan (iman).
Mereka yang sombong tidak dapat menerima keimanan, dan sebaliknya mereka yang
tidak percaya pada ayat-ayat Tuhan dengan demikian bersikap sombong.6

Sifat takabur dapat dikatakan perangai di dalam jiwa yang menunjukkan


kepuasan, kesenangan dan kecenderungan kepada tingkatan (martabat) di atas orang
lain. Jadi, selain menyangkut orang pertama, (yang menyombongkan diri), sifat ini
juga melibatkan orang kedua (yang dibohongi). Disinilah letak perbedaannya dengan
sifat ujub yang tidak memerlukan orang lain sebagai objek. Bahkan, andaikata di
dunia ini tidak ada orang, kecuali satu orang saja, kita dapat membayangkan bahwa ia
sangat mungkin bersifat ujub. Tetapi, tidak demikian dengan sifat takabur. Kita tidak
mungkin membayangkan terjadinya takabur tanpa keberadaan orang lain.

2. Macam-Macam Takabur

4
Sayyid Muhammad Nuh, Mengobati 7 Penyakit Hati, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 2004), Hal 13-
26.
5
Sayyid Muhammad Nuh, Mengobati 7 Penyakit Hati, Hal 53.
6
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1993), Hal 170.

8
a. Takabur kepada Allah.
b. Takabur kepada Rasul Allah.
c. Takabur kepada sesama hamba Allah7

3. Faktor-Faktor Penyebab Takabbur

Kesombongan adalah puncak kebanggaan terhadap diri sendiri yang berakibat


menghina orang lain dan merasa lebih daripada mereka. Oleh karena itu, faktor
penyebabnya sama dengan faktor penyebab penyakit ujub atau membanggakan diri.

a. Tawadhu’ yang Berlebihan dari Orang Lain

Sebagian orang ada yang bersikap tawadhu’ secara berlebihan sampai


tidak mau memakai pakaian yang bagus, tidak mau memelopori penyelesaian
suatu masalah, atau tidak mau menerima satu amanah pun. Kadang, kalau sikap
itu dilihat oleh orang yang tidak mengerti hakikat suatu amal, ditambah bisikan
setan dan sokongan hawa nafsu, semua sikap di atas dianggap muncul dari
ketidakmampuan mereka. Jika bukan karena itu niscaya mereka tidak akan
melakukannya. Demikian bisikan dan sokongan hawa nafsu yang terus
membayangi dan menguasai orang yang melihatnya, sampai akhirnya ia
memandang hina orang lain yang melakukan perbuatan itu, dan merasa bangga
akan dirinya sendiri. Tidak hanya sampai disitu, bahkan pada setiap kesempatan ia
ingin menampakkan kebanggaan atas dirinya itu, inilah kesombongan (takabbur).

b. Kerancuan Standar Kemuliaan dalam Masyarakat

Kebodohan masyarakat telah sampai pada penentuan standar kemuliaan di


kalangan mereka. Sebagian ada yang memuliakan dan mengutamakan orang-
orang kaya, sekalipun mereka berbuat maksiat dan jauh dari aturan Allah Swt.
Pada saat yang sama mereka menganggap hina orang-orang yang menderita dan
miskin, sekalipun mereka taat beragama. Barang siapa hidup pada zaman seperti
ini, niscaya akan terpengaruh, kecuali orang yang mendapatkan rahmat-Nya.
Pengaruh tersebut kemudian mewujud dalam sikap menyepelekan orang lain dan
merasa diri lebih daripada mereka.

7
Ulfa Dj. Nurkamiden, “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub dan Takabur”, dalam Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam 4, No 2, Agustus 2016, Hal 123.

9
c. Membanding-bandingkan Nikmat dan Melupakan Pemberinya.

Di antara manusia ada yang diberi nikmat khusus yang tidak diberikan
kepada orang lain, seperti kesehatan, anak-istri, harta, pangkat dan kedudukan,
ilmu, kepiawaian dalam bertutur kata dan menulis, karisma, serta banyak kawan
dan pengikut. Akibat pengaruh kenikmatan tersebut, sering kali ia lupa kepada
Pemberi nikmat itu (Allah), dan mulai membanding-bandingkan antara
kenikmatan yang diterimanya dan kenikmatan orang lain. Ia melihat orang lain
berada dibawahnya, kemudian menyepelekan dan menghinakan mereka, hingga
akhirnya terjerumus ke dalam kesombongan.8

Selain itu, yang mendorong seseorang menjadi takabur yaitu antara lain:

a. Karena banyak ilmu


b. Karena banyak ibadat
c. Karena dari keturunan atau kebangsaan yang tinggi
d. Karena badan sehat dan kuat
e. Karena kaya raya dan kemewahan hidup
f. Karena paras yang indah
g. Karena banyak pengikut, penolong, famili, dan karib, dan lain lain.9

4. Tanda- Tanda Sifat Sombong (Takabur)


a. Berlagak ketika berjalan dengan membungkukkan pundak dan memalingkan
muka. Allah Swt. berfirman,

ٖ ‫لا ُم ۡخت َٖالافَ ُخ‬


‫ا ا‬١٨‫ورا‬ ‫لاي ُِحبُّ ا ُك َّا‬
‫ّللَا َ ا‬ ‫او َلات َمۡ ِشافِيا ۡٱَل َ ۡر ِ ا‬
‫ضا َم َر ًحااإِا َّناٱ َّا‬ َ ُ ‫لات‬
ِ َّ‫ص ِع ۡرا َخدَّكَ ا ِللن‬
َ ‫اس‬ ‫َو َ ا‬
Artinya : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri”. (Q.S. Luqman : 18).
b. Berlebihan dalam berbicara sebagaimana sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla membenci laki-laki yang berlebih-lebihan, banyak omong
seperti seekor sapi yang menjilat-jilat dengan lidahnya” (HR Abu Dawud, Al-
8
Sayyid Muhammad Nuh, Mengobati 7 Penyakit Hati, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 2004), Hal 54.
9
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), Hal 353.

10
Turmudzi, dan Ahmad); “Maukah aku kabarkan orang yang paling jahat di
antara kalian? “Beliau berkata, “Orang-orang yang sering berceloteh dan
banyak omong” (HR Ahmad).
c. Menginginkan agar semua orang membutuhkannya, sementara ia merasa tidak
membutuhkan orang lain. Contohnya, orang yang ingin agar semua orang
berdiri saat ia datang atau lewat di hadapan mereka. Dalam sebuah hadis
dikemukakan, “Barang siapa ingin agar semua orang berdiri memberi hormat
kepadanya, bersiap-siaplah, tempat tinggalnya di neraka” (HR Abu Dawud).

5. Dampak Negatif Sifat (Sombong) Takabur


a. Tidak Mampu Mengambil Pelajaran

Seseorang yang sombong karena keunggulan dan kelebihannya daripada


orang lain disadari atau tidak kadang-kadang melebihi Tuhan sendiri. Sikap
seperti ini mengakibatkan ketidakmampuannya mengambil pelajaran sehingga
ketika melihat ayat-ayat Allah yang begitu banyak pada dirinya dan alam sekitar,
ia berpaling dari ayat-ayat itu.

b. Jiwa Gundah dan Terguncang

Untuk memuaskan rasa unggul dan lebih dari orang lain, orang yang
sombong selalu ingin agar orang lain menundukkan kepala di hadapannya dan
menurutinya. Manusia yang mulia dan memiliki harga diri tentu akan menolak
hal ini dan sejatinya memang mereka tidak akan mau tunduk di hadapan orang
yang sombong. Karena itu orang yang sombong akan terjerumus pada angan-
angan jelek yang berasal dari dirinya, yang berakibat pada keterguncangan
jiwanya.

c. Selalu Melakukan Kesalahan dan Kekurangan

Seorang yang sombong karena merasa sempurna dalam setiap hal, tidak
akan melakukan introspeksi diri untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan
dirinya, serta memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki. Ia juga tidak mau
menerima nasihat, petunjuk, dan bimbingan dari orang lain sehingga akan terus
berada dalam kekeliruan dan kesalahannya sampai akhir hayat, kemudian masuk
neraka.

11
6. Cara Mengobati Penyakit Sombong (Takabur)
a. Menghindari Pergaulan dengan Orang Sombong

Untuk menghilangkan penyakit takabur, kita harus menghindari


pergaulan dengan dengan orang-orang yang sombong, lalu bersahabat dengan
komunitas orang-orang yang rendah hati. Dengan berjalannya waktu,
persahabatan dengan orang-orang yang rendah hati akan memulihkan kepribadian
hingga karakter dan fitrah kembali seperti bayi yang baru lahir.

b. Bergaul dengan Orang Fakir

Sering bergaul dengan orang-orang fakir dan orang-orang yang tertimpa


bencana dapat menghindarkan dari penyakit takabur. Lebih baik lagi, jika mau
ikut makan dan minum bersama mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Saw. dan para sahabatnya serta generasi salaf shalih. Hal ini akan mendidik jiwa
dan menghilangkan kelalaian diri hingga kembali mendapat petunjuk.

d. Melatih Diri dengan Pekerjaan “Remeh”

Melatih diri dengan pekerjaan-pekerjaan pribadi yang sering dianggap


remeh oleh kebanyakan orang, seperti membeli makanan, minuman, serta
kebutuhan sehari-hari sendiri, dan membawa barang belanjaan sendiri meskipun
memiliki pelayan atau pembantu rumah tangga. Itu akan dapat menghilangkan
penyakit takabur dan terhindar dari penyimpangan serta penyelewengan akibat
penyakit takabur.10

10
Sayyid Muhammad Nuh, Mengobati 7 Penyakit Hati (Bandung:Penerbit Al-Bayan, 2004). Hal 53-
67.

12
KESIMPULAN

Ujub ialah terpengaruh oleh hebat dan kelebihan diri sendiri, ia sajalah yang pandai
dan tidak pernah salah. Orang ujub terpengaruh oleh kemampuan diri, pendapat, dan amal
baiknya, sehingga dibesar-besarkannya, dan melalaikan atau melupakan akibatnya. Hal itu
akan dapat marah dan siksa Allah, karena ia merasa harus diberi Allah kedudukan yang
tinggi, sebagai imbalan amalnya. Ujub termasuk penyakit yang membawa takabur.

Sombong atau takabur ialah membesar-besarkan diri dengan anggapan serba


sempurna dan tidak mau menerima kebenaran orang lain, karena membandel. Kesombongan
dari sisi positif merupakan lawan pasti dari kepercayaan (iman). Mereka yang sombong tidak
dapat menerima keimanan, dan sebaliknya mereka yang tidak percaya pada ayat-ayat Tuhan
dengan demikian bersikap sombong.

Menurut istilah, takabbur berarti menunjukkan kebanggaan pada diri sendiri dengan
melecehkan pribadi orang lain dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari mereka.

13
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Nuh, Sayyid, Mengobati 7 Penyakit Hati, Bandung: Penerbit Al-Bayan, 2004.
Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994.
Nurkamiden, Ulfa Dj., “Cara Mendiagnosa Penyakit Ujub dan Takabur”, dalam Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam 4, No 2, Agustus 2016.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, Yogyakarta : PT Tiara
Wacana, 1993.

14

Anda mungkin juga menyukai