Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dimana kemampuan tubuh tersebut gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. Chronic
Kidney Disease ( CKD ) disebabkan oleh berbagai keadaan, meliputi penyakit –
penyakit yang mengenai ginjal atau pasokan darahnya misalnya glumeluropati,
hipertensi, diabetes, Pada gagal ginjal kronis ( GGK ) yang sudah lanjut kadar
natrium, kalium, magnesium, amino dan fosfat didalam darah semuanya akan
mengalami peningkatan sementara kadar kalsium menurun. Retensi natrium dan air
akan menaikan volume intravaskuler yang menyebabkan hipertensi
(Berkowitz,2012).

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2007) dan Burden of
disease, Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia.
Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000
orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukan bahwa penyakit ini menduduki peringkat
ke-12 tertinggi angka kematian. Prevelensi gagal ginjal kronik telah mengalami
peningkatan cukup tinggi. Di Amerika Serikat angka kejadian penyakit ginjal
meningkat tajam dalam 10 tahun, dari data tahun 2002 terjadi 34.500 kasus, tahun
2007 menjadi 80.000 kasus, dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta
orang yang menderita penyakit ginjal. Dari data tersebut pravelensi penyakit ginjal
kronik meningkat hingga 43% selama decade tersebut (Lukman et al., 2011 ).
Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia menempati urutan ke 10 dalam penyakit tidak
menular (Kemenkes RI, 2013). Pravelensi gagal ginjal di Indonesia mencapai
400.000 juta orang tetapi belum semua pasien tertangani oleh tenaga medis, baru
sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80% pasien yang tidak
mendapat pengobatan dengan baik.

1
Pada bulan November 2011 dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah
berkerjasama dengan Rumah Sakit Umum pusat dr.Kariardi Semarang melakukan
penelitian dengan hasil penderita gagal ginjal kronik terbesar adalah kabupaten
Surakarta dengan 54,2% dari jumlah total 56 ribu penderita. Diperkirakan tiap tahun
ada 2000 pasien baru. Berdasarkan data tersebut sekitar 60%-70% dari pasien
tersebut berobat dalam kondisi sudah masuk tahap gagal ginjal terminal. Sedangkan
untuk kabupaten Kebumen prevelensinya mencapai 3% atau sekitar 456 penderita
(Dinkes Jateng, 2011). Masalah yang dapat muncul pada pasien Gagal ginjal kronik
yaitu dapat mengalami gangguan dalam fungsi kognitif, adaptif, atau sosialisasi
dibandingkan dengan orang normal lainnya. Permasalahan psikologis yang dialami
pasien hemodialisa sebenarnya sudah ditunjukan dari sejak pertama kali pasien
divonis mengalami gagal ginjal kronik. Penanganan optimal pasien dewasa dengan
penyakit kronik tidak hanya terbatas pada masalah medis, tetapi harus memperhatikan
faktor perkembangan, psikososial, dan keluarga sebab penyakit kronik berdampak
terhadap tahap perkembangan selanjutnya yang menimbulkan berbagai masalah dan
menurunkan kualitas hidupnya ( Rusmail, 2009 ). Akibat dari stress yang dialami
pasien menimbulkan ketidakpatuhan terhadap modifikasi diet, pengobatan, uji
diagnostic, pembatasan asupan cairan, dan terapi hemodialisa ( Yeh dan Chou, 2007
). Hal ini jelas menunjukan, bahwa dampak stress lainnya pada pasien yang menjalani
cuci darah darah ( hemodialisa ) adalah dapat memperburuk kesehatan pasien.
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah
mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan – keluhan
akibat akumulasi toksi azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan
memelihara keseimbangan cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang
dapat dilakukan dengan pengaturan diet pada pasien gagal ginjal kronis. Tujuan dari
terapi hemodialisa adalah untuk mengambil zat – zat nitrogen yang toksik dari dalam
darah pasien ke dialyzer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan ke tubuh pasien. Ada tiga prinsip mendasari kerja hemodialisa yaitu

2
difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal ginjal kronis hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyebabkan
penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari
ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien ( Cahyaningsih, 2009 ). Jika
kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75% ( gagal ginjal terminal atau tahap
akhir ), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu
penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit
gagal ginjal yang di derita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan
kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal ( Wijayakusuma, 2008 ). Pada
penderita Chronic Kidney Disease gangguan pemenuhan kebutuhan cairan akan
menunjukan beberapa tanda dan gejala, mayor harus ada edema, kulit tegang dan
mengilap, minor yang mungkin ada asupan cairan lebih banyak daripada haluaran,
sesak nafas, penambahan berat badan (carpenito, 2009). Keparahan kondisi
bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari adalah usia
pasien, manifestasi kardio vaskuler diantaranya hipertensi, gagal ginjal kongestif,
edema pulmonal, perikarditis, gejala – gejala dermatalogis diantaranya gatal – gatal
hebat atau proritus, serangan uremik karena pengobatan dini dan agresif, gejala
gastrointestinal diantaranya anoreksia, mual, muntah dan cegukan, haus, rasa kecap
logam dalam mulut, perubahan.

Menurut data dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat inap
dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 Berdasarkan data hasil
observasi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar didapatkan hasil dari 16
pasien di ruang Hemodialisa Sanglah sebanyak 100% mengalami penyakit gagal
ginjal kronik stadium V dengan komplikasi 50 % hemodialisa dengan hipertensi, 20%

3
hemodialisa dengan anemia, 30 % pasien hemodialisa dengan edema. Berdasakan
latar belakang data tersebut penulis melakukan studi kasus terhadap kasus pasien
hemodialisa dengan Hipertensi di RSUP Sanglah Denpasar.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melakukan studi kasus asuhan keperawatan dengan pasien
hemodialisa dengan hipertensi di ruang Hemodialisa 3 RSUP Sanglah
Denpasar.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn.D
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn,D
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada
Tn,D
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn.D
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.D

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Hasil studi kasus ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam
memberikan asuhan keperawatan.

2. Bagi Institusi
a. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pemberian
pelayanan kesehatan berkaitan dengan pasie hemodialisa

4
b. Pendidikan
Hasil studi kasus ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi
institusi keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah
dalam penanganan pasien dengan hemodialisa.

5
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR GAGAL GINJAL KRONIK


1. Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner
& Suddarth, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju
filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan
berat (Mansjoer, 2007).
CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga
timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah
(Smeltzer, 2001).
Jadi kesimpulannya gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible yang menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Klasifikasi CKD
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD).
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF),
namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi
kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan

6
harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara
konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT
(clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a.Stadium I : Penurunan cadangan ginjal, Kreatinin serum dan kadar BUN
normal, Asimptomatik. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b.Stadium II : Insufisiensi ginjal, Kadar BUN meningkat (tergantung pada
kadar protein dalam diet), Kadar kreatinin serum meningkat, Nokturia dan poliuri
(karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2) Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c.Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia, kadar ureum dan
kreatinin sangat meningkat, ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan
elektrolit, air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010. KDOQI
(Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian CKD
berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
a.Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b.Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -
89 mL/menit/1,73 m2)
c.Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d.Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
e. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.

7
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik menurut (Mansjoer, 2007) terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
b) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
d) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h) Nefropati obstruktif
i) Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
j) Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

4. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang

8
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan
semakin berat.
a) Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC),
dan medikasi seperti steroid.
b) Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare

9
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
c) Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
d) Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.

e) Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat


Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan
perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit
aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat
di ginjal menurun.

10
f) Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.

5. Tanda dan gejala


1) Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa
sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin
serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit
normal. Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF (Eritropoetic
Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang →
sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan
→ anemia normokrom normositer.
2) Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
b. dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) →
iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
c. Stomatitis uremia
d. Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva
banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan
mulut.
e. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
3) Kelainan mata
4) Kardiovaskuler :
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction Rub Pericardial

11
5) Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
d) Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.
a) Kulit mudah memar
b) Kulit kering dan bersisik
c) rambut tipis dan kasar
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal
yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian
perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
menderita apa yang disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis : Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi;
kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi
metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi
ginjal, Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya

12
B. KONSEP HEMODIALISA

1. Pengertian
Dialisis merupakan proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan
fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen
atau eksogen (Doenges, 2000). Hemodialisis merupakan suatu proses terapi
pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser),
yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa
metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2006; Ignatavicius & Workman, 2006).
Sedangkan menurut Baradero (2008), hemodialisis adalah pengalihan darah pasien
dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi yang
kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.Bagi pasien dengan penyakit
ginjal kronik, hemodialisis merupakan salah satu terapi yang mampu
memperpanjang kehidupan (Smeltzer et al, 2008).

Jadi Hemodialisa adalah suatu proses pencucian darah dengan ginjal buatan
dengan menggunakan selaput membran semipermeabel untuk mengeluarkan sisa
metabolisme dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk
memperpanjang hidup penderita gagal ginjal tersebut.

13
2. Epidemiologi
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang
tercatat dari Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Daerah berjumlah 1171 rawat
inap dan laporan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2011 jumlah pasien
yang mengalami rawat jalan adalah 661. Peningkatan kasus baru hemodialisa
sebesar 33% pertahun. Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir-
akhir ini menjalani dialisis. ). Sementara di RSUP H. Adam Malik Medan
didapatkan total pasien HD pada Februari 2013 sebanyak 197 pasien dengan
jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2013).

3. Tujuan Hemodialisa
a. Meningkatkan kualitas hidup pasien menderita penurunan fungsi ginjal.
b. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer (asam basa) tubuh.
c. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan lain.

Tujuan hemodialisa adalah menghilangkan gejala, yaitu mengendalikan uremia,


kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisa efektif mengeluarkan cairan, elektrolit,
dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk
memperpanjang umur klien (Kallenbach et all, 2003). Menurut Brunner dan
Suddarth (2001), tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada
hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan
dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien

14
4. Indikasi Hemodialisa
Indikasi dilakukannya hemodialisa secara umum, diantaranya yaitu: (Brunner &
Suddarth, 2008)

a. Gagal ginjal akut


b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
c. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
d. Ureum lebih dari 200 mg/dl
e. pH darah kurang dari 7,1
f. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
g. Intoksikasi obat dan zat kimia
h. Sindrom hepatorenal
Menurut Daugirdas, Blake & Ing (2007), indikasi hemodialisis dibedakan
menjadi 2 yaitu: hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan
hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada keadaan
kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria
(produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),
hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I),
asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL),
ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum,
disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia dan keracunan akut
(alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialysis.
Dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit, keadaan pasien yang mempunyai GFR
<15 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari: 1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis; 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah;, 3) adanya malnutrisi

15
atau hilangnya massa otot; 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan dan 5) komplikasi metabolik yang refrakter

5. Kontraindikasi Hemodialisa
a. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa.
b. Akses vaskuler sulit.
c. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organic (Pernefri, 2006)

6. Proses Hemodialisa
Komponen Hemodialisa
a. Dializer
Dializer atau ginjal buatan terdiri dari membran semi permeabel yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dializer merupakan kunci utama
dalam proses hemodialisa. Dializer berbentuk silinder dengan panjang rata-rata
30 cm dan diameter 7 cm dan di dalamnya terdapat ribuan filter yang sangat
kecil. Dializer terdiri dari 2 kompartemen masing-masing untuk cairan dialysate
dan darah. Kedua kompartemen tersebut dipisahkan oleh membran
semipermiabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu.
b. Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialisa dipakai sebagai pencampur dialisat pekat
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan terlebih dahulu dengan cara “water treatment”
sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of
Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu sesi hemodialisis
seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
c. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Jenis larutan dialisat yang sering digunakan yaitu dialisat bicarbonate.

16
1. Konsentrasi Bicarbonate
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan
larutan bikarbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba
karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Kandungan dialisat
bikarbonat yaitu natrium: 140, 0 mmol/liter, kalium: 2,0 mmol/liter, kalsium:
1,3 mmol/liter, magnesium: 0,2 mmol/liter, Cloride: 110,0 mm0l/liter, acetat:
3,0 mmol/liter, bicarbonate: 32,0 mmol/liter.
Tabel 1. Konsentrasi substansi dalam darah dan dialisat
Darah Substansi Dialisat
133 – 144 Natrium (mmol/L) 132 – 155
3,3 – 5,3 Kalium (mmol/L) 0 – 3,0
2,5 – 6,5 Ureum (mmol/L) 0
60 – 120 Creatinin (mmol/L) 0
2,2 – 2,6 Kalsium (mmol/L) 1,25 – 2,0
0,85 Magnesium (mmol/L) 0,25 – 0,75
4,0 – 6,6 Glukosa (g/L) 0 –10
22 – 30 Bicarbonat (mmol/L) 30 –40

d. Sistem Pemberian Dialisat


Sistem pemberian dialisat yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi
otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio
konsentrat-air.
e. Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat
dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari
tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara
200-300 ml per 3,3-8,33 menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan
tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan
arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 340-
390C sebelum dialirkan kepada dializer. Sistem monitoring setiap mesin

17
hemodialisa sangat penting untuk menjamin efektivitas proses dialisis dan
keselamatan penderita.
f. Arterial-Venouse Blood Line (AVBL)
1. Arterial Blood Line (ABL)
Arterial Blood Line (ABL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut inlet ditandai dengan warna merah.
2. Venouse Blood Line (VBL)
Venouse Blood Line (VBL) adalah tubing atau line plastic yang
menghubungkan darah dari dialiser dengan tubing akses vaskular menuju
tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru.
g. Akses Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program hemodialisa akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat
keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali
lagi ke tubuh penderita. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh penderita
dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk
hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price &
Wilson, 2006).
1. Akses Internal (Permanen)
a) Arterio-Venous Fistula (AVF)
AVF dibuat dengan teknik bedah melalui anastomosis langsung dari
suatu arteri dengan vena (biasanya arteri radialis dan vena sefalika
pergelangan tangan). Hubungan ke sistem dialisis dibuat dengan
menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan sebuah jarum lagi di
proksimal (garis vena) pada vena yang sudah di arterialisasi tersebut
(Price & Wilson, 2006).
b) Arterio-Venous Graft (AVG)

18
AVG diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam
arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena
yang berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubungkan dengan
selang karet silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
Pada waktu dilakukan dialisis, maka selang pirau eksternal dipisahkan
dan dibuat hubungan dengan dializer. Darah kemudian mengalir dari
jalur arteri, melalui dializer dan kemudian kembali ke vena.
2. Akses Eksternal atau Kateter
Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan ke dalam vena
subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki akses langsung
menuju jantung kateter ini merupakan akses vaskular sementara. Akses ini
digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan
pasien membutuhkan dialisis darurat.

. Prinsip Dasar Hemodialisa


Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi
tersebut. Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel
dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih
tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir
lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (Brunner &
Suddarth, 2008).
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa
atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan
berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air
juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein
plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.
Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.

19
Ada 3 prinsip dasar dalam hemodialisa yang bekerja pada saat yang sama, yaitu:
(Price & Wilson, 2006)

Proses Difusi

Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul
zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Ultrafiltrasi

Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat melalui
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi
hidrostatik dan osmotik.
Ultrafiltrasi Hidrostatik

Transmembrane Pressure (TMP)

TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen


dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut di dalamnya berpindah dari
darah ke dialisat melalui membran semipermiabel akibat perbedaan tekanan
hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat.
Koefisien Ultrafiltrasi (KUf)

KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per
mmHg perbedaan tekanan atau perbedaan TMP yang melewati membran.
Ultrafiltrasi osmotic

Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran


semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel

20
dibanding “A”, maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B”
melalui membran dan sekaligus akan membawa zat-zat terlarut didalamnya
yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membrane yang pada akhirnya
konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
Proses Osmosis

Proses osmosis merupakan proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu
perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Lumenta), di mana terjadi perpindahan
cairan dari larutan dengan osmolaritas rendah ke osmolaritas yang lebih tinggi.

Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini
memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka
dibuat suatu hubungan buatan di antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan
untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik
pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam
kondisi aseptic.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Untuk mencegah pembekuan darah selama berada dalam dializer maka
diberikan heparin. Di dalam dializer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori
memisahkan darah dari suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang
menyerupai cairan tubuh normal. Tekanan di dalam ruang dializer lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan
zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat.
Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat menembus pori-pori selaput
buatan ini.

21
Gambar 1. Proses Hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah akan dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis.
Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan. Sistem
bufer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari
cairan dialisat kedalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk
membentuk bikarbonat.
Darah yang telah dicuci lalu dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Darah yang
telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan

22
mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas
sirkuit untuk mengembalikan darah pasien (Brunner & Suddarth, 2008).
7. Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisa
a. Aliran darah
Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang membatasi
kemungkinan tersebut antara lain: tekanan darah dan jarum yang digunakan.
Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok pada penderita.
b. Luas selaput/membran yang dipaka
Luas selaput yang biasa dipakai adalah 1−1,5 cm2 tergantung dari besar badan/
berat badan pasien.
c. Aliran dialisat
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisa, sehingga
dapat menimbulkan borosnya pemakaian cairan.
d. Temperatur suhu dialisat
Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi spasme
dari vena sehingga aliran darah melambat dan penderita menggigil. Temperatur
dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan hemolisis.

8. TEKNIK DAN PROSEDUR HEMODIALISA


a. Melakukan Punksi dan Kanulasi
Suatu tindakan memasukkan jarum AV Fistula ke dalam pembuluh darah
untuk sarana hubungan sirkulasi yang akan digunakan selama proses
hemodialisis. Tujuan adalah agar proses hemodialisis dapat berjalan lancar
sesuai dengan hasil yang diharapkan. Punksi dan kanulasi terdiri dari punksi
cimino dan punksi femoral.

23
1) Punksi Cimino
a. Persiapan Alat-alat
- 1 buah bak instrumen besar, yang terdiri dari: 3 buah mangkok kecil (1
untuk tempat NaCL, 1 untuk tempat Betadine, 1 untuk Alkohol 20%),
arteri klem
- 1 spuit 20 cc, 1 spuit 10 cc, 1 spuit 1 cc
- Kassa 5 lembar (secukupnya), IPS sarung tangan, lidocain 0,5 cc (bila
perlu)
- Plester, masker, 1 buah gelas ukur / math can, 2 buah AV Fistula
- Duk steril, perlak untuk alas tangan, plastik untuk kotoran
b. Persiapan Pasien
- Timbang berat badan, observasi tanda-tanda vital dan anamnesis
- Raba desiran pada cimino apakah lancer
- Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin
- Tentukan pembuluh darah vena lain untuk masuknya darah dari mesin ke
tubuh pasien
- Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai
- Letakkan perlak di bawah tangan pasien
- Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
c. Persiapan Perawat
- Mencuci tangan, memakai masker, buka bak instrumen steril
- Mengisi masing-masing mangkok steril dengan: Alcohol, NaCl 0,9%,
dan Betadine
- Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak instrument, memakai sarung
tangan
- Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk anestesi lokal (bila digunakan)
- Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin 1500u untuk mengisi AV
Fistula
d. Memulai Desinfektan

24
- Jepit kassa betadine dengan arteri klem, oleskan betadine pada daerah
cimino dan vena lain dengan cara memutar dari arah dalam ke luar, lalu
masukkan kassa bekas ke kantong plastic
- Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah Cimino dan
vena lain dengan cara seperti no.1
- Lakukan sampai bersih dan dikeringkan dengan kassa steril kering,
masukkan kassa bekas ke kantong plastik dan arteri klem diletakkan di
gelas ukur
- Pasang duk belah di bawah tangan pasien, dan separuh duk ditutupkan di
tangan
e. Memulai Punksi Cimino
- Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan dipunksi)
dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
- Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose
- Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm
- Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain
- Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril
f. Memasukkan Jarum AV Fistula
- Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada tusukan yang telah dibuat
pada saat pemberian anestesi lokal
- Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit 10 cc dan dorong dengan NaCl
0,9% yang berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit dilepaskan, dan ujung
AV Fistula ditutup, tempat tusukan difiksasi dengan plester dan pada atas
sayap fistula diberi kassa steril dan diplester
- Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada vena lain, jarak penusukan inlet
dan outlet usahakan lebih dari 3 cm
- Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai 20 ml/mnt kemudian pasang
sensor monitor
- Program mesin hemodialisis sesuai kebutuhan pasien

25
- Bila aliran kurang dari 100 ml/mnt karena ada penyulit, lakukan
penusukan pada daerah femoral
- Alat kotor masukkan ke dalam plastik, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali di bawa ke ruang disposal
- Penusukan selesai, perawat mencuci tangan

2) Punksi Femoral
Cara Melakukan Punksi Femoral
- Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan penusukan
- Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan ditusuk
fleksi
- Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara
menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas arteri
- Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum AV
Fistula

9. Melakukan Kanulasi Double Lumen


Cara kerjanya:
- Observasi tanda-tanda vital
- Jelaskan pada pasien tindakan yang akan dilakukan
- Berikan posisi tidur pasien yang nyaman, dekatkan alat ke pasien
- Perawat mencuci tangan
- Buka kassa penutup catheter dan lepaskan pelan-pelan
- Perhatikan posisi catheter double lumen: apakah tertekuk?, apakah posisi
catheter berubah?, apakah ada tanda-tanda meradang /nanah? Jika ada laporkan
pada dokter
- Memulai desinfektan
- Tentukan posisi kateter dengan tepat dan benar
- Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup dengan kassa steril
- Kateter difiksasi kencang

26
- Kateter double lumen siap disambungkan dengan arteri blood line dan venus
line
- Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-alat yang terkontaminasi
- Bersihkan alat-alat, perawat cuci tangan
Kateter double lumen mempunyai 2 cabang berwarna merah untuk inlet
(keluarnya darah dari tubuh pasien ke mesin) dan biru untuk outlet (masuknya
darah dari mesin ke tubuh pasien)

10. Pengukuran Adekuasi Hemodialisa


Hemodialisa dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang direncanakan.
Adekuasi hemodialisa diukur secara kuantitatif dengan menghitung kt/V yang
merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisa dengan volume
distribusi urea dalam cairan tubuh. Konsesus Dialisis Pernefri (2006) menyatakan
bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa dapat dicapai dengan jumlah dosis
hemodialisa 10-15 jam perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisa 3
kali/minggu diberi target Kt/V 1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisa
2 kali/minggu diberi target Kt/V 1,8. Kt/V untuk setiap pelaksanaan hemodialisa
yang direkomendasikan adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4.

Penghitungan Kt/V dapat dilakukan denga menggunakan rumus Daugirdas


sebagai berikut:

Kt/V = - In (R-0,008t) + (4-3,5R) x (BB pre dialysis - BB post dialisis)


BB post dialisis

Keterangan:

K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam


mL/menit

Ln : Logaritma natural

27
R : Ureum post dialisis

Ureum pre dialisis

t : Lama dialisis (jam)

V : Volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65 % BB/berat badan dan wanita
BB berat badan).

11. Komplikasi Hemodialisa


Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Weir, 2010).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013;
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati 2009)
Tabel 1. Komplikasi Akut Hemodialisis

Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis

28
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
disequilibirium menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Chlorine
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
bakteri/endotoksin dialisat maupun sirkuti air

b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy,
neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amyloidosis dan Acquired cystic kidney disease (Bieber &
Himmelfarb, 2013).

12. Penatalaksanaan Diet pada Pasien Hemodialisa


Anjuran diet didasarkan pada frekuensi hemodialisa, sisa fungsi ginjal dan ukuran
tubuh. Tujuan diet gagal ginjal dengan dialisis adalah:

a. Mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi,


agar pesien dapat melakukan aktifitas normal.

29
b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan.
Adapun syarat-syarat diet dengan dialisis adalah sebagai berikut:
a. Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB ideal.
b. Protein tinggi, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti
asam amino yang hilang selama dialisis, yaitu 1-1,2 g/kg BB
c. ideal/hari.
d. Karbohidrat cukup, yaitu 55-75 % dari kebutuhan energi total.
e. Lemak normal, yaitu 15-30 % dari kebutuhan energi total.
f. Natrium diberikan seseuai jumlah urin yang keluar /24 jam yaitu 1 g untuk tiap
1/2 liter urin.
g. Kalium sesuai dengan urin yang keluar /24 jam yaitu 1 g untuk tiap 1 liter urin.
h. Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu diberikan suplemen kalsium.
i. Fosfor dibatasi, yaitu < 17 mg/kg BB ideal/hari.
j. Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin /24 jam ditambah 500-750 ml.
k. Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B12,
l. asam folat dan vitamin C.
m. Bila nafsu makan kurang, berikan suplemen enteral yang mengandung energi
dan protein tinggi (Almatsier, 2008).
Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal dan berat
badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan
perorangan. Berdasarkan berat badan, diet dialisis dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu:

a. Diet dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 50


kg.
b. Diet dialisi II, 65 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 60
kg.

30
c. Diet dialisis III, 70 g protein, diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 65
kg (Almatsier, 2008).

Adapun makanan yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi yaitu:


a. Kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu
b. Kelapa
c. Santan
d. Minyak kelapa
e. Margarin
f. Lemak hewan
g. Sayuran dan buah kalium tinggi

13. Pendidikan Kesehatan


Pasien hemodialisa yang akan memulai terapi memerlukan pengajaran tentang
topik-topik berikut:
a. Rasional dan tujuan terapi dialysis.
b. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dengan dialysis.
c. Efek samping obat dan antikoagulan pasien HD.
d. Perawatan akses vaskuler; pencegahan, pendeteksian dan penatalaksanaan
komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler.
e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan; konsekuensi akibat
kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini.
f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan.
g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala pruritus,
neuropati serta gejala-gejala lainnya.
h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi (dialisis,
diet yang membatasi, obat-obatan).
i. Strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta ketergantungan
pasien sendiri dan anggota keluarga mereka.

31
j. Pilihan lain yang tersedia buat pasien
k. Pengaturan finansial untuk dialisis, strategi untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber-sumber finasial
l. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan
anggota keluarga (Cahyaningsih, 2009).

14. Keuntungan dan Kelemahan dari Hemodialisa


a. Keuntungan
- Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan
- Waktu dialisis cepat
- Dialiser akan mengeluarkan melekul dengan laju yang lebih cepat dan
melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi hal ini di perkirakan akan
memperkecil kemungkinan komplikasi dari hemodialisis misalnya emboli
udara dan ultrafiltrasi yang tidak kuat atau berlebihan (hipotensi, kram otot,
muntah).
- Resiko kesalahan teknik kecil
- Adequasy dapat ditetapkan sesegera, underdialisis segera dapat dibenarkan
b. Kelemahan atau Kerugian
Fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun, ketergantungan pasien dengan
mesin hemodialisa, akses vaskular dapat menyebabkan infeksi dan trombosis,
sering terjadi hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan cairan dan diet
lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah sehingga kebutuhan akan
eritropoetin lebih tinggi (Cahyaningsih, 2009).

32
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi: nama klien, no. RM, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
dx medis dan mula inisiasi HD
2. Keluhan Utama
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien diantara keluhan yang dirasakan
yang didapatkan secara langsung dari pasien/keluarga.

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
- Riwayat kesehatan sekarang didapatkan mulai dari pasien mengalami
keluhan sampai mencari pelayanan kesehatan sampai ,mendapatkan
terapi dan harus menjalani terapi HD (pasien HD pertama).
- Kondisi atau keluhan yang di rasakan oleh pasien setelah HD sampai
HD kembali (bagi pasien menjalani HD rutin).
b. Riwayat Kesehatan Lalu
Riwayat kesehatan dahulu di dapatkan dari pengalaman pasien
mengalami kondisi yang berhubungan dengan gangguan system urinaria
(misal DM, hipertensi, BPH dll)

c. Riwayat Kesehatan Keluarga


Di dapatkan dari riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit pasien sekarang (DM, hiperensi, penyakit sistem perkemihan)

33
4. Pemeriksaan Fisik
- Kepala: rambut rontok
- Neuro: penurunan kesadaran, nyeri (pusing), kejang karena keracunan
pada SSP, kelemahan karena suplai O2 kurang, baal (mati rasa dan kram)
karena rendahnya kadar Ca dan PH
- Mata: konjungtiva anemis, odema palpebra, uremic cross
- Hidung: napas cuping hidung
- Mulut: stomatitis, bleeding/perdarahan, nafas bau ammonia.
- Leher: hiperparathyroid karena peningkatan reabsorbsi kalsium dari
tulang,hiperkalemia, hiperkalsiuria, prembesaran vena jugularis.
- Dada: bunyi nafas tambahan (wheezing), otot bantu pernafasan, dypsnea,
edema pulmo, suara paru (ronkhi)
- Abdomen: asites, gangguan peristaltik, bleeding
- Ekstremitas: CRT > 3 detik, edema, nyeri, kekakuan otot menurun
- Integumen: pruritis, kulit kering, warna kehitaman, turgor kulit jelek,
bersisik dan dekubitus.
5. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan penunjang dapat ditemukan data sebagai berikut:

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan hematologi: Hb menurun adanya anemia, eritrosit, leukosit,


trombosit.

b. Pemeriksaan RFT (renal fungsi test)

Ureum ( 20-40 mg/dl)

Kreatinin ( 0,5-1,5 mg/dl)

c. Pemeriksaan LFT (liver fungsi test)

34
d. Pemeriksaan elektrolit: Klorida, kalium dan kalsium

e. CCT (Clearance Creatinin Test)

f. GFR kurang dari 15 ml/menit, GFR kurang dari 10 ml/menit dengan


gejala uremia atau malnutrisi dan GFR kurang dari 5 ml/menit walaupun
tanpa gejala dapat menjalani dialisis

g. Pemeriksaan urin

Urin rutin : Protein

Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein


melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan
sintesis, karena kekurangan asam amino esensial pemeriksaan Urin:
ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.

Urin khusus: Benda keton dan analisa kristal/batu

h. Pemeriksaan Radiologi

i. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 15 ml/menit, LFG kurang dari
10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5
ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.

B. Pathway (Terlampir)

C. Diagnosa Keperawatan Hemodialisa

Pre Hemodialisa (NANDA,2015)


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi

35
2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional akibat prosedur terapi
ditandai dengan klien mengatakan merasa cemas, klien tampak gelisah dan
ketakutan

Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut berhubungan agens cedera ditandai dengan melaporkan nyeri
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping pengobatan yaitu
penggunaan obat antikoagulan
3. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer akibat prosedur invasif akses vaskular
Post Hemodialisa
1. Resiko Gangguan Keseimbangan Cairan
2. Mual berhubungan dengan terapi penggunaan agen farmakologis yaitu
cairan dialisat yang bersifat asam ditandai dengan klien mengeluh merasa
mual, klien mengatakan ingin muntah, peningkatan sekresi saliva
3. Intoleransi Aktivitas
4. Gangguan Integritas kulit
C. Rencana Keperawatan (Terlampir)

36
Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1 Kelebihan Setelah silakukan asuhan NIC Label: Fluid Management NIC Label: Fluid Management
volume cairan keperawatan selama 2 kali 1. Pengkajian merupakan dasar untuk
1. Kaji status cairan
berhubungan pertemuan diharapkan masalah memperoleh data, pemantauan 7
dengan kelebihan cairan teratasi dengan a. Timbang bb pre dan post hd evaluasi dari intervensi
gangguan kritreria hasil : 2. Pembatasan cairan akan menetukan
b. Keseimbangan masukan dan haluaran
mekanisme dry weight, haluaran urine & respon
NOC : c. Turgor kulit dan edema
regulasi terhadap terapi.
1. Electrolit and acid base d. Distensi vena leher 3. UF & TMP yang sesuai akan ↓
balance
kelebihan volume cairan sesuai dg
2. Fluid balance e. Monitor vital sign
3. Hydration target BB edeal/dry weight
2. Batasi masukan cairan pada saat priming & 4. Sumber kelebihan cairan dapat
Setelah dilakukan tindakan wash out hd
keperawatan selama 5 jam diketahui
diharapkan keseimbangan volume 3. Lakukan hd dengan uf & tmp sesuai dg
5. Pemahaman ↑kerjasama klien &
cairan tercapai dengan kenaikan bb hd sebelumnya
keluarga dalam pembatasan cairan
Kriteria Hasil: 4. Identifikasi sumber masukan cairan
6. 6.Kebersihan mulut mengurangi
a. Terbebas dari edema, 5. Jelaskan pada keluarga & klien rasional
efusi, anaskara kekeringan mulut, sehingga ↓ keinginan

37
b. BB post HD sesuai dry pembatasan cairan
weight klien untuk minum
c. Bunyi nafas bersih, tidak 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
ada dyspneu/ortopneu muncul memburuk
d. Memelihara vital sign
dalam batas normal

2 Ansietas Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Anxiety Reduction NIC Label: Anxiety Reduction
berhubungan keperawatan selama 1 x … jam, 1. Observasi adanya tanda – tanda 1. Pengungkapan kecemasan secara
dengan krisis diharapkan kecemasan klien cemas/ansietas baik secara verbal maupun langsung tentang kecemasan dari
situasional dapat berkurang dengan kriteria nonverbal. klien, dapat menandakan level cemas
akibat prosedur hasil: 2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi klien.
terapi ditandai NOC Label: Anxiety Level yang dapat menstimulus kecemasan. 2. Agar pasien dapat mengatasi dan
dengan klien a. Mengatakan secara verbal 3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit menanggulangi kecemasan pasien.
mengatakan tentang tidak ada kecemasan yang klien derita. 3. Menambah wawasan klien tentang
merasa cemas, b. Mengatakan secara verbal 4. Ajarkan klien teknik relaxasi, seperti penyakit klien dapat meningkatkan
klien tampak tentang tidak ada ketakutan menarik nafas dalam. pengertian klien tentang penyakitnya,
gelisah dan c. Tidak ada kepanikan 5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat sehingga dapat mengurangi
ketakutan, NOC Label: Anxiety Self- penenang. kecemasan klien.
insomnia, Control 4. Dapat memberi efek ketenangan pada
takikardi a. Mampu mengurangi klien

38
penyebab cemas 5. Untuk menurunkan ansietas klien yang
b. Mengontrol respon cemas terjadi secara berlebihan.

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC Label: Pain Management NIC Label: Pain Management
berhubungan asuhan keperawatan selama 1 x 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk mengetahui lokasi,
agens cedera … jam, diharapkan pasien tidak komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
ditandai dengan mengalami nyeri dengan kriteria karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas frekuensi, kualitas, intensitas atau
melaporkan hasil: dan faktor presipitasi keparahan nyeri, faktor presipitasi
nyeri secara NOC Label: Pain Level nyeri.
verbal a. Melaporkan nyeri berkurang 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Untuk mengetahui isyarat
b. Tidak menununjukkan ketidaknyamanan nonverbal ketidaknyamanan pasien
ekspresi wajah menahan 3. Berikan informasi tentang nyeri, 3. Agar pasien mengetahui informasi
nyeri penyebab nyeri, berapa lama akan tentang nyeri, penyebab nyeri,
c. Mampu mengontrol nyeri berlangsung, dan antisipasi berapa lama akan berlangsung, dan
(tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan akibat prosedur. antisipasi ketidaknyamanan akibat
menggunakan tehnik prosedur.
nonfarmakologi untuk 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 4. Agar pasien mampu melakukan

39
mengurangi nyeri, mencari (relaksasi napas dalam, distraksi, guided teknik terapi non farmakologis
bantuan) imagery) untuk mengatasi nyeri secara
d. Tanda vital dalam rentang mandiri.
normal (TD: 110/70 mmHg, 5. Kolaborasi dengan dokter untuk 5. untuk mengatasi nyeri pasien
N: 80x/menit) pemberian analgetik untuk mengurangi secara farmakologi
nyeri NIC Label: Vital Sign Monitoring
NIC Label: Vital Sign Monitoring 1. Untuk mengetahui tekanan darah
1. Monitor tekanan darah dan nadi pasien dan nadi pasien akibat nyeri yang
dirasakan oleh pasien
4 Risiko Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bleeding Precaution NIC Label: Bleeding Precaution
perdarahan keperawatan selama 1 x … jam 1. Monitor kondisi yang dapat 1. Dapat memperkirakan dan
berhubungan diharapkan pasien tidak menyebabkan perdarahan mencegah terjadinya perdarahan
dengan efek mengalami perdarahan dengan 2. Monitor jumlah dan kenampakan 2. Memonitor jumlah darah yang
samping kriteria hasil: kehilangan darah hilang dapat digunakan untuk
pengobatan NOC Label: Blood Loss 3. Catat hemogblobin dan hematocrit menentukan juml cairan pengganti
yaitu Severity 4. Monitor statius intake dan output cairan 3. Hb dan hematocrit merupakan
penggunaan a. Tidak terlihat kehilangan 5. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, komponen penting dalam perfusi
obat darah fibrinogen, jumlah platelet) jaringan dan indicator volume
antikoagulan b. Tidak ada Hematuria 6. Monitor faktor yang mempengaruhi cairan

40
c. Tekanan darah sistolik dan distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan 4. Mengetahui adanya dehidrasi
diastolik normal hemoglobin serta kardiak output) 5. Memastikan status pembekuan
d. Tidak terjadi Penurunan 7. Perkirakan kemungkinan transfusi darah darah pasien baik
kesadaran 8. Berikan produk darah 6. Memastikan oksigen dapat
e. Tidak terjadi Penurunan terdistribusi ke seluruh tubuh
kadar darah (HGB) 7. Dapat melakukan persiapan
f. Tidak terjadi penurunan prosuk darah
pembekuan darah (HCT) 8. Untuk mengganti kehilangan darah
5 Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan
berhubungan keperawatan selama 2 x 5 jam 1. Agar memudahkan pengambilan
NIC Label: Infection Protection
dengan diharapkan tidak terjadi infeksi intervensi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
ketidakadekuata dengan kriteria hasil: 2. Sebagai monitor adanya reaksi
dan local
n pertahanan NOC Label: Hemodialysis infeksi.
2. Monitor hitung granulosit, WBC
tubuh primer Access 3. Untuk mengetahui
akibat prosedur a. Temperatur kulit pada area tinggi/rendahnya tingkat infeksi
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
invasif akses akses penusukan normal pada klien, sehingga memudahkan
vaskular b. Nadi perifer bagian distal pengambilan intervensi
NIC Label: Infection Control
normal NIC Label: Infection Control
1. Bersihkan lingkungan setelah digunakan
c. Warna kulit bagian distal 1. Agar bakteri dan penyakit tidak
oleh klien.

41
normal menyebar dari lingkungan dan
d. Warna kulit pada area akses 2. Batasi jumlah pengunjung. orang lain.
penusukan normal 2. Mengurangi organism pathogen
e. Drainase pada area 3. Ajarkan klien dan keluarga tekhnik masuk ke tubuh klien.
penusukan tidak ada mencuci tangan yang benar. 3. Mencegah terjadinya infeksi dari
f. Edema perifer bagian distal mikroorganisme yang ada di
area penusukan tidak ada 4. Pergunakan sabun anti microbial untuk tangan.
mencuci tangan 4. Mencuci tangan menggunakan
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah sabun lebih efektif untuk
melakukan tindakan keperawatan. membunuh bakteri.
6. Terapkan Universal precaution. 5. Mencegah infeksi nosokomial.
7. Pertahankan lingkungan aseptik selama 6. Untuk meminimalkan
perawatan. terkontaminasi mikroba atau
8. Anjurkan klien untuk memenuhan bakteri.
asupan nutrisi dan cairan adekuat. 7. Untuk mencegah penyebaran
9. Kolaborasi pemberian antibiotik bila infeksi selama perawatan
perlu. 8. Untuk mempercepat perbaikan
kondisi klien
9. Untuk mengatasi penyebab infeksi

42
NIC Label: Dialysis Access Maintenance
1. Monitor kateter exit site 1. Mengevaluasi kondisi exit site dari
2. Monitor area akses penusukan dari adanya tanda-tanda infeksi dan
edema, panas, drainase, perdarahan, perdarahan sehingga dapat
hematoma, dan penurunan sensasi menentukan intervensi yang tepat
3. Lakukan perawatan dengan memberikan 2. Mengevaluasi kondisi akses
baluan steril pada area penusukan dengan penusukan dari adanya tanda-tanda
CVC (central venous catheter) infeksi dan perdarahan sehingga
dapat menentukan intervensi yang
tepat
3. Mencegah terjadinya infeksi
sekunder

43
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Resiko Setelah silakukan asuhan NIC Label : Fluid management NIC Label: Fluid management
Gangguan keperawatan selama 2 kali 1. Untuk mengevaluasi
1. Monitor
status hidrasi (kelembaban
Keseimbangan pertemuan diharapkan masalah membran mukosa, nadi adekuat, tekanan kondisi pasien selama
darah ortostatik)
cairan gangguan keseimbangan cairan HD.
berhubungan dapat teratasi dengan kriteria hasil 2. Monitor vital sign 2. Untuk memonitor
dengan NOC: kondisi pasien selama
3. Monitor masukan makanan / cairan
Mekanisme selama interdialisis HD.
v Fluid balance
peredaran 3. Makan berlebihan
4. Monitor status nutrisi
darah/cairan v Hydration dapat menimbulkan
5. Dorong keluarga untuk membantu pasien
tidak efektif terjadinya hipotensi
v Nutritional Status : Food and makan
(proses dialisis Fluid Intake 4. Memenuhi cairan
berlangsung) 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan pasien sehingga tidak
Kriteria Hasil : berlebih muncul meburuk
terjadi syuk.
1. Tekanan darah, nadi, suhu 7. Atur kemungkinan tranfusi 5. Agar keluarga klien
tubuh dalam batas normal
2. Tidak ada tanda tanda 8. Persiapan untuk kemungkinan tranfusi mengerti kondisi klien.
dehidrasi, Elastisitas 6. Untuk mencegah hal
turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, terburuk yang terjadi.
tidak ada rasa haus yang 7. Untuk mengatasi

44
berlebihan masalah kekurangan
darah.
8. Jika diperlukan untuk
diberikan transfusi.

2 Mual Setelah diberikan asuhan NIC Label: Nausea Management NIC Label: Nausea Management
berhubungan keperawatan selama 1 x … jam 1. Dorong klien untuk mempelajari strategi 1. Membantu klien untuk melakukan
dengan terapi diharapkan terjadi penurunan untuk memanajemen mual manajemen mual secara mandiri
penggunaan derajat mual dan muntah, dengan 2. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat 2. Membantu dalam memberikan
agen kriteria hasil: keparahan, factor frekuensi, presipitasi intervensi yang tepat.
farmakologis NOC Label: Nausea and yang menyebabkan mual.
yaitu cairan Vomiting Severity 3. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk 3. Membantu mengurangi mual
dialisat yang a. Klien mengatakan tidak ada mengurangi mual (relaksasi, guide secara nonfarmakologi dan tanpa
bersifat asam mual imagery, distraksi). efek samping.
ditandaidengan b. Klien mengatakan tidak 4. Dukung istirahat dan tidur yang adekuat 4. Tidur dan istirahat dapat membantu
mengeluh muntah untuk meringankan nausea. klien lebih relaks sehingga
mual, c. Tidak ada peningkatan sekresi mengurangi mual yang dirasakan.
peningkatan saliva
sekresi saliva
3 Intoleransi Setelah silakukan asuhan NIC Label : Activity Intolerance NIC Label: Activity Intolerance

45
aktivitas b.d keperawatan selama 2 x 5 jam 1. Observasi faktor yang menimbulkan 1. Menyediakan informasi
keletihan, pertemuan diharapkan masalah keletihan: Anemia, tentang indikasi tingkat
anemia, retensi intoleransi aktivitas teratasi Ketidakseimbangan cairan & keletihan
produk sampah dengan kriteria hasil elektrolit, Retensi produk sampah
dan prosedur depresi 2. Meningkatkan aktifitas
Kriteria Hasil :
dialisis ringan/sedang & memperbaiki
2. Tingkatkan kemandirian dalam harga diri
1. Berpartisipasi dalam aktifitas perawatan diri yang dapat
aktivitas perawatan ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi 3. Mendorong latihan & aktifitas
mandiri yang dipilih yang dapat ditoleransi &
2. Berpartisipasi dalam ↑ 3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat yang adekuat
aktivitas dan latihan istirahat
3. Istirahat & aktivitas 4. Istirahat yang adekuat
seimbang/bergantian dianjurkan setelah dialisis,
4. Anjurkan untuk istirahat setelah
karena adanya perubahan
dialisis
keseimbangan cairan &
elektrolit yang cepat pada
proses dialisis sangat
melelahkan

46
4 Gangguan Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pruritus Management NIC Label: Pruritus Management
Integritas Kulit keperawatan selama 1 x … jam 1. Lakukan pemeriksaan fisik untuk 1. Untuk mengevaluasi adanya
berhubungan diharapkan perawat dapat mengidentifikasi kerusakan kulit (seperli kerusakan kulit akibat garukan
dengan meminimalkan komplikasi lesi, blister, abrasi, dan ulkus) 2. Untuk melembabkan kulit sehingga
pruritus dengan kriteria hasil: 2. Gunakan lotion sesuai indikasi mengurangi gatal
a. Klien mengatakan gatal 3. Kolaborasi pemberian antipruritus 3. Untuk mengurangi gatal
berkurang 4. Kolaborasi pemberian antihistamin 4. Mencegah pembentukan histamin
b. Klien tidak menggaruk 5. Instruksikan pada klien untuk sehingga dapat mengurangi gatal
anggota tubuh yang gatal menghindari penggunaan sabun yang 5. Mencegah iritasi pada kulit
c. Klien dapat melakukan menggunakan parfum atau minyak 6. Mengurangi gatal akibat keringat
manajemen pruritus. 6. Instruksikan klien untuk menggunakan berlebih
pakaian yang dapat menyerap keringat 7. Mencegah timbulnya luka dan
7. Instruksikan pasien untuk infeksi akibat garukan
mempertahankan kuku tetap pendek 8. Mengurangi gatal akibat keringat
8. Instruksikan klien untuk mengurangi hal- berlebih
hal yang dapat menyebabkan keringat 9. Mencegah timbulnya luka dan
berlebih. infeksi akibat garukan
9. Intruksikan klien agar tidak menggaruk

47
bagian tubuh yang gatal, klien hanya
boleh menggunakan telapak tangan untuk
menggosok secara halus area sekitar.

48
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

ASKEP KASUS HEMODIALISA

LAPORAN PRAKTIK PROFESI RUANG HEMODIALISA RSUP SANGLAH

1. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn.D
Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Turi No.4 Denpasar
PenanggungJawab : Tn.A
Tanggal HD : 3 Mei 2018
No. RM : 01630059
Dx. Medis : CKD Stadium V

2. PENGKAJIAN
1. Status Kesehatan Saat Ini
a. Alasan kunjungan ke rumah sakit
Tanggal 3 Mei 2018 klien mengatakan akan melakukan hemodialisa rutin
rumah sakit sesuai dengan jadwal yang disediakan, biasanya 2 kali
seminggu, pada tanggal 7 Mei 2018 klien mengatakan akan melakukan
rutin di rumah sakit sesuai dengan jadwal yang disediakan, biasanya 2 kali
seminggu.
b. Keluhan utama saat ini
Tanggal 3 Mei 2018 klien mengatakan sedang menjalani HD regular dan
mengeluh badan terasa lemas dan klien mengeluh susah tidur pada malam

49
hari. Tanggal 7 Mei 2018 klien mengatakan tidak ada keluhan hari ini dan
mengatakan berat badannya sekarang 71 kg.
c. Riwayat penyakit sebelumnya
klien menderita penyakit gagal ginjal kronik stadium 5 selama 5 tahun
d. Riwayat penyakit keturunan
Klien tidak memiliki riwayat penyakit keturunan seperti DM,
Hipertensi,dll
2. Dialisis
Tanggal 3 Mei 2018
1) Dialisis ke : 279
2) Re – Use : -
3) Jenis : Single use (Fx 10 merk ) dialisat
Tanggal 7 Mei 2018\
1) Dialisis ke : 280
2) Re – Use : -
3) Jenis : Single use ( merk Fx 10) dialisat
3. Pemeriksaan Fisik
Tanggal 3 Mei 2017
1) Keadaan umum : Normal
2) Kesadaran : Sadar
3) Tekanan darah :150/80 mmHg
4) Nadi : 80 x/menit
5) Respirasi : 20 x/menit
6) Suhu : 370C
7) Konjungtiva :tidak anemis
8) Ekstremitas : ada edema
9) Akses vaskuker : AV shunt sinistra
10) Resiko jatuh : Skala morse rendah (0-7)
11) Berat badan : BBK: 68 kg, BB Pre HD : 71 kg, BB post HD :68,2 kg

50
12) Parameter mesin : conductivity : 14,3 mS/cm, suhu mesin 370C, dialisat
flow : 95 ml/mnt, luas membran : 1,8 m2, volume priming : 95 ml, jenis
membrane : high flux
Tanggal 7 Mei 2018
1) Keadaan umum : Baik
2) Kesadaran : Sadar
3) Tekanan darah : 160/90 mmHg
4) Nadi : 78 x/menit
5) Respirasi : 20x/menit
6) Suhu : 370C
7) Konjungtiva :tidak anemis
8) Ekstremitas : ada edema
9) Akses vaskuker : AV shunt sinistra
10) Resiko jatuh : Skala morse rendah (0-7)
11) Berat badan : BBK : 68 kg, BB Pre HD : 71 kg, BB post HD :68,2 kg
12) Parameter mesin : conductivity : 14,3 mS/cm, suhu mesin 370C, dialisat flow :
95 ml/mnt, luas membran : 1,8 m2, volume priming : 95 ml, jenis membrane :
high flux.
4. Waktu Dialisis
Tanggal 3 Mei 2018
Jam Qb UF TD N S
I 250 668 150/80 80 37
II 250 668 160/110 84 37
III 250 668 130/80 80 37
IV 250 668 130/90 80 37
V - 3 140/90 80 37

1) Mulai : 14.20 WITA


2) UF Target : 3

51
Tanggal 7 Mei 2018
Jam Qb UF rate TD N S
I 250 668 160/90 78 37
II 250 668 160/90 80 37
III 250 668 130/80 80 37
IV 250 668 130/80 80 37
V 140/90 80 37

1) Mulai : 14.20 WITA


2) UF Target : 3
5. Akses Dialisis
Heparinisasi Tanggal 3 Mei 2018
a. Awal : 2000 international unit
b. Continue : 1000 international unit/jam
c. Total : 4000 international unit
Heparinisasi Tanggal 7 Mei 2018
a. Awal : 2000 international unit
b. Continue : 1000 international unit/jam
c. Total : 4000 international unit
6. DATA PENUNJANG
1) Pemeriksaan Laboraturium

Jenis Nilai normal


Tanggal Hasil Interpretasi Keterangan
Pemeriksaan dalam satuan
13 Maret Darah
2018 Lengkap (CBC)

WBC
5,51 4.1-11,0

52
RBC 3.46 4.5-5.9 Rendah

HGB 9.60 13.5-17.5 Rendah Tidak dianjurkan Hb≥13


gr/dl, sedangkan Hb<7 gr/dl
indikasi transfusi. (Suwitra,
hal 46)

HCT 32.11 41.0-53.0 Rendah

MCHC 29.90 31-36 Rendah .

PLT 144.90 150-440 Rendah

BUN 33,4 8-23

Kreatinin 20,15 0.7-1.2 Tinggi Bila > 18 mg/dl berarti


HD tidak adekuat, fungsi
ginjal sisa sedikit, asupan
protein berlebih, kerusakan
massa ototr. Bila Kreatinin
kurang dari 10 mg/dl berarti
fungsi ginjal sisa, cukup,
malnutrisi (Suwitra,hal.47)

Bila <130 mg/dl bisa berarti


Natrium 144 136-145
hemodifusi/edema.)Suwitra,
hal.47)

Kalsium (Ca) 8,5 8,4-9,7

53
Kalium (K) 5,38 3,50-5,10 Bila kadar kalsium dalam
serum >5,6 mmol/L berarti
asupan kalium berlebih
(Suwitra,hal.47).

Ferritin 677,80 30-400 Tinggi Untuk menentukan


pemberian Fe dan Ferritin
tinggi terjadi karena
inflamasi (Suwitra, hal.48)

7. ANALISA DATA

KEMUNGKINAN
NO DATA MASALAH
PENYEBAB
1 DS : Klien mengatakan Kelebihan Kerusakan ginjal .
badan terasa lemas Volume Cairan
Penurunan GFR
DO : TD : 150/80 mmHg,
Gangguan fungsi ginjal
N: 80x/menit, RR:
berlangsung kronik
20x/menit, klien tampak
oedem pada kedua kaki,
Sindrom uremia
asites pada perut, Refleks
hepatojungular positif, Retensi Na
BBK: 68 kg, BB Pre :71
Edema

54
kg, UF Goal : 3, UF rate :
668 Td : 5 jam
Kelebihan volume cairan
DS : Klien mengatakan
merasa lemas.

2.
DO : Klien terlihat lemas,
TD; 140/90 mmHg, N:
Resiko Pemberian terapi heparin
80X/menit, S:370C, RR :
Perdarahan
20x/menit, ada perdarahan Terapi antikoagulan
saat AV dicabut.
Menghambat faktor-faktor
pembekuan darah

Terapi antikoagulan

Mudah terjadi perdarahan

Resiko perdarahan

3 DS :-
Resiko Infeksi Hemodialisa
DO : Klien terpasang
fistula dan AV shunt Tindakan invasif saat
sinistra pemasangan fistula

Adanya jalur masuk


mikroorganisme

Resiko Infeksi

55
8. Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi ditandai dengan klien mengeluh lemas dan
klien tampak oedem pada kedua kaki, asites pada perut, BB : 68
kg,BB Pre HD : 71 kg.
2) Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping pengobatan
yaitu penggunaan obat antikoagulan ditandai dengan klien
mengatakan lemas dan pusing, klien terlihat lemas, TD; 140/90
mmHg, N: 80X/menit, S:370C, RR : 20x/menit, ada perdarahan
saat AV dicabut.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer akibat prosedur invasif akses vascular ditandai
dengan klien terpasang AV Shunt sinistra dan fistula

56
9. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1 Kelebihan Setelah silakukan asuhan NIC Label: Fluid Management NIC Label: Fluid Management
volume cairan keperawatan selama 2 kali 6. Pengkajian merupakan dasar untuk
1. Kaji status cairan
berhubungan pertemuan diharapkan masalah memperoleh data, pemantauan 7
dengan kelebihan cairan teratasi dengan a. Timbang bb pre dan post hd evaluasi dari intervensi
gangguan kritreria hasil : 7. Pembatasan cairan akan menetukan
b. Keseimbangan masukan dan haluaran
mekanisme dry weight, haluaran urine & respon
NOC : c. Turgor kulit dan edema
regulasi terhadap terapi.
4. Electrolit and acid base d. Distensi vena leher 8. UF & TMP yang sesuai akan ↓
balance
kelebihan volume cairan sesuai dg
5. Fluid balance e. Monitor vital sign
6. Hydration target BB edeal/dry weight
2. Batasi masukan cairan pada saat priming & 9. Sumber kelebihan cairan dapat
Setelah dilakukan tindakan wash out hd
keperawatan selama 5 jam diketahui
diharapkan keseimbangan volume 3. Lakukan hd dengan uf & tmp sesuai dg
10. Pemahaman ↑kerjasama klien &

57
cairan tercapai dengan kenaikan bb hd sebelumnya keluarga dalam pembatasan cairan

Kriteria Hasil: 4. Identifikasi sumber masukan cairan 6. 6.Kebersihan mulut mengurangi

e. Terbebas dari edema, 5. Jelaskan pada keluarga & klien rasional kekeringan mulut, sehingga ↓ keinginan
efusi, anaskara pembatasan cairan klien untuk minum
f. BB post HD sesuai dry
weight 6. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
g. Bunyi nafas bersih, tidak muncul memburuk
ada dyspneu/ortopneu
h. Memelihara vital sign
dalam batas normal

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
2. Risiko Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bleeding Precaution NIC Label: Bleeding Precaution
perdarahan keperawatan selama 1 x … jam 9. Monitor kondisi yang dapat 9. Dapat memperkirakan dan
berhubungan diharapkan pasien tidak menyebabkan perdarahan mencegah terjadinya perdarahan
dengan efek mengalami perdarahan dengan 10. Monitor jumlah dan kenampakan 10. Memonitor jumlah darah yang
samping kriteria hasil: kehilangan darah hilang dapat digunakan untuk
pengobatan NOC Label: Blood Loss 11. Catat hemogblobin dan hematocrit menentukan juml cairan pengganti
yaitu Severity 12. Monitor statius intake dan output 11. Hb dan hematocrit merupakan

58
penggunaan g. Tidak terlihat kehilangan cairan komponen penting dalam perfusi
obat darah 13. Monitor protein koagulasi (PT/PTT, jaringan dan indicator volume
antikoagulan h. Tidak ada Hematuria fibrinogen, jumlah platelet) cairan
i. Tekanan darah sistolik dan 14. Monitor faktor yang mempengaruhi 12. Mengetahui adanya dehidrasi
diastolik normal distribusi oksigen (PaO2, SaO2, dan 13. Memastikan status pembekuan
j. Tidak terjadi Penurunan hemoglobin serta kardiak output) darah pasien baik
kesadaran 15. Perkirakan kemungkinan transfusi 14. Memastikan oksigen dapat
k. Tidak terjadi Penurunan darah terdistribusi ke seluruh tubuh
kadar darah (HGB) 16. Berikan produk darah 15. Dapat melakukan persiapan
l. Tidak terjadi penurunan prosuk darah
pembekuan darah (HCT) 16. Untuk mengganti kehilangan
darah
3. Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan NIC Label: Infection Control NIC Label: Infection Control
berhubungan keperawatan selama 2 x 5 jam 10. Bersihkan lingkungan setelah 10. Agar bakteri dan penyakit
dengan diharapkan tidak terjadi infeksi digunakan oleh klien. tidak menyebar dari lingkungan
ketidakadekuata dengan kriteria hasil: dan orang lain.
n pertahanan NOC Label: Hemodialysis 11. Batasi jumlah pengunjung. 11. Mengurangi organism
tubuh primer Access pathogen masuk ke tubuh klien.
akibat prosedur g. Temperatur kulit pada area 12. Ajarkan klien dan keluarga tekhnik 12. Mencegah terjadinya infeksi

59
invasif akses akses penusukan normal mencuci tangan yang benar. dari mikroorganisme yang ada di
vaskular h. Nadi perifer bagian distal tangan.
normal 13. Pergunakan sabun anti microbial 13. Mencuci tangan menggunakan
i. Warna kulit bagian distal untuk mencuci tangan sabun lebih efektif untuk
normal 14. Cuci tangan sebelum dan sesudah membunuh bakteri.
j. Warna kulit pada area akses melakukan tindakan keperawatan. 14. Mencegah infeksi nosokomial.
penusukan normal 15. Terapkan Universal precaution. 15. Untuk meminimalkan
k. Drainase pada area 16. Pertahankan lingkungan aseptik terkontaminasi mikroba atau
penusukan tidak ada selama perawatan. bakteri.
l. Edema perifer bagian distal 17. Anjurkan klien untuk memenuhan 16. Untuk mencegah penyebaran
area penusukan tidak ada asupan nutrisi dan cairan adekuat. infeksi selama perawatan
18. Kolaborasi pemberian antibiotik bila 17. Untuk mempercepat perbaikan
perlu. kondisi klien
18. Untuk mengatasi penyebab
NIC Label: Infection Protection infeksi
4. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan local 4. Agar memudahkan pengambilan
5. Monitor hitung granulosit, WBC intervensi
5. Sebagai monitor adanya reaksi

60
6. Monitor kerentanan terhadap infeksi infeksi.
6. Untuk mengetahui
tinggi/rendahnya tingkat infeksi
pada klien, sehingga memudahkan
NIC Label: Dialysis Access Maintenance pengambilan intervensi
4. Monitor kateter exit site
5. Monitor area akses penusukan dari 4. Mengevaluasi kondisi exit site dari
edema, panas, drainase, perdarahan, adanya tanda-tanda infeksi dan
hematoma, dan penurunan sensasi perdarahan sehingga dapat
6. Lakukan perawatan dengan memberikan menentukan intervensi yang tepat
baluan steril pada area penusukan dengan 5. Mengevaluasi kondisi akses
CVC (central venous catheter) penusukan dari adanya tanda-tanda
infeksi dan perdarahan sehingga
dapat menentukan intervensi yang
tepat
6. Mencegah terjadinya infeksi
sekunder

61
10. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari
Jam Implementasi Evaluasi Hasil
Tanggal
1. Mengkaji status cairan dengan 1. BBK : 68 kg, BB Pre HD : 71 kg, BB post
a. Menimbang bb pre dan HD : 68,2 kg, Turgor kulit < 2 detik, terdapat
3 Mei 14.10 Dx.1,3
post hd oedema pada abdomen, TD : 150/80mmHg,
2018 WITA
b. Memonitor RR : 20x/menit, N: 80x/menit, S: 370C.
keseimbangan masukan
dan haluaran
c. Turgor kulit dan edema
d. Distensi vena leher
e. Memonitor vital sign
1
2. Membatasi masukan cairan pada
2. Pasien tidak makan dan minum saat priming
1 saat priming & wash out hd
dan wash out HD
3. Melakukan hd dengan uf & tmp
1 3. Uktrafiltrasi 668, temperatur 37 dengan
sesuai dg kenaikan bb hd
peningkatan berat badan 2,8 kg, UF Goal : 3
sebelumnya
1 4. Sumber masukan klien berasal dari minum 6
4. Mengidentifikasi sumber

62
1 masukan cairan gelas air satu hari
5. Menjelaskan pada keluarga & 5. Klien dan keluarga mengatakan mengerti
1
klien rasional pembatasan cairan 6. Tidak ada tanda cairan berlebih muncul
6. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
memburuk

18.55 Dx.2 1. Memonitor kondisi yang dapat 1. Kondisi AV Shunt klien tampak bersih tidak
WITA menyebabkan perdarahan terjadi perdarahan
2. Mencatat hemogblobin dan 2. HGB : 9,6, HCT :32,1
hematocrit 3. Status intake dan output klien normal, klien
1,2
3. Monitor status intake dan output mengatakan minum air 300 cc per hari dan
cairan makan 3 kali sehari dengan menu nasi,sayur
dan daging.

Dx.3 1. Melakukan kanulasi dengan 1. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada


teknik aseptic. AV shunt pada saat penusukan fistula,
2. Mencuci tangan sebelum dan 2. Klien mengatakan sebelum HD sudah
sesudah tindakan keperawatan

63
mencuci tangan dengan handrub.

7 Mei 14.05 Dx 1 1. Mengkaji status cairan dengan 1. BBK : 68 kg, BB Pre HD : 71 kg, BB
2018 WITA a. Menimbang bb pre dan post HD : 68,2 kg, Turgor kulit elastic ,
post hd asites pada perut, edema pada kaki , TD :
b. Memonitor 160/90mmHg, RR : 20x/menit, N:
keseimbangan masukan 80x/menit, S: 370C, tidak ada distensi
dan haluaran vena leher, CRT < 3 detik, cairan masuk
c. Turgor kulit dan edema 300 cc , cairan keluar 200 cc
d. Distensi vena leher 2. Klien mengatakan tidak makan dan
e. Memonitor vital sign minum saat sedang HD
2. Membatasi masukan cairan pada 3. HD dilakukan dengan ultrafikasi goal 3,
saat priming & wash out hd uf rate 668, temperature 370C, dengan
3. Melakukan hd dengan uf & tmp kenaikan berat badan 2,8 kg.
sesuai dg kenaikan bb hd 4. Klien mengatakan minum 9 gelas air
sebelumnya mineral
4. Mengidentifikasi sumber 5. Klien mengatakan mengerti tentang
masukan cairan pembatasan cairan
5. Menjelaskan pada keluarga & 6. Klien mendapatkan obat Eprex 2000 UI
klien rasional pembatasan cairan

64
6. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
memburuk

18.09 Dx 2 1. Memberi heparin sesuai dosis 1. Heparin diberikan dengan dosis total
WITA 2. Melakukan HD dengan QB 7000 international unit
Maksimal diatas 150 ml/mnt, 2. QB ; 250, jenis dialiser : high flux, av
monitor dialiser, QB, Blood line shunt tidak ada kebocoran
dan daerah fungsi selama HD 3. Klien sudah dilakukan penekanan dengan
3. Melakukan penekanan daerah prinsip steril
fungsi dengan prinsip steril dan 4. Tidak ada tanda-tanda infeksi pada AV
benar Shunt Tn.D
4. Mengobservasi tanda-tanda 5. HD telah dilakukan dengan prinsip steril
infeksi
5. Melakukan HD dengan prinsip
steril

Dx 3 1. Menggunakan baju, masker, dan 1. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada

65
sarung tangan, sebagai alat AV shunt pada saat penusukan fistula,
pelindung. 2. Kulit membrane mukosa klien tidak
2. Menginspeksi kulit dan tampak kemerahan
membrane mukosa terhadap 3. Klien mengatakan sebelum HD sudah
kemerahan, panas, drainase mencuci tangan dengan handrub
3. Mencuci tangan sebelum dan 4. Keluarga klien dan klien mengatakan
sesudah tindakan keperawatan mengerti tentang tanda dan gejala infeksi
4. Mengajarkan keluarga/klien dan bersedia kooperatif melaorkan
tentang tanda dan gejala infeksi kecurigaan infeksi bila terjadi.
dan melaporkan kecurigaan
infeksi

11. EVALUASI KEPERAWATAN


Hari Diagnosa Evaluasi
dan
Tanggal
10 Mei Kelebihan S : Klien mengatakan badannya sudah tidak lemas lagi dan hari ini tidak ada
2018 Volume cairan keluhan apapun

66
O : Kaki klien tampak edema , perut acites , BBK : 68 kg, BB Pre HD : 71,1 kg, TD
:170/90 mmHg, refleks hepatojungular positif, turgor kulit elastic.
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Resiko S : KlIen mengatakan AV shuntnya tidak mengalami kebocoran setelah dicabut
Perdarahan fistula 2 hari yang lalu
O : Tidak terdapat kebocoran pada AV shunt sinistra , tidak terdapat kemerahan pada
av shunt
A : Masalah Teratasi
P:-
Resiko Infeksi S : Klien mengatakan AV shuntnya tidak pernah gatal dan kemerahan
O : AV Shunt klien tidak kemerahan dan tidak bengkak, tidak ada tanda-tanda
infeksi lainnya, klien mengerti cara menjaga akses av shunt dan cara mencuci tangan
6 langkah, keluarga klien mengerti tentan tanda-tanda infeksi dan pencegahannya.
A : Masalah teratasi
P :-

67
BAB IV

PEMBAHASAN

Pembahasan dari bab ini dimulai dari pengkajian sampai dengan pendokumentasian.
Sehingga dapat diketahui adanya kesenjangan antara teori dengan pelaksanaan
tindakan asuhan keperawatan keperawatan dalam kasus nyata. Selain itu juga dapat
diketahui adanya faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Tn “D” .

A. Pembahasan Pengkajian
Penulis melakukan pengkajian kepada pasien dengan menggunakan
pendekatan kepada klien, keluarga, dan tenaga kesehatan. Pengkajian
dilakukan setiap kali pasien datang ke HD Sanglah dari tanggal 3 Mei 2018, 7
Mei 2018, 10 Mei 2018 dengan menggunakan metode observasi, wawancara,
pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi baik perawatan maupun medis.
Pada 3 kali pertemuan selama hemodialisa klien mengeluh badannya lemas ,
mual dan kram otot, serta sakit kepala berdasarkan teori lemas pada saat HD
komplikasi yang didapatkan setelah HD menurut (Suwitra,2017) adalah
Mual, muntah, sakit kepala, komplikasi ini sering terjadi pada pasien yang
mengalami hemodialisis atau belum stabil, penyebabnya multifaktorial di
antaranya, terlalu cepat dalam menaikkan QB atau ultrafiltrasi, bagian dari
episode hipotensi intradialitik atau bagian dari episode sindrom disequibirium.
Penanganannya , dengan mengurangi QB atau ultrafiltrasi, berikan antiemetik
(oral atau parenteral), kalau sakit kepala berikan analgetik ( acetaninofen
+tramadol ) oral, berikan dextrose 40% (25-50) ml untuk menambah volume
intravaskuler. Komplikasi ini bisa dicegah dengan cara lebih perlahan dalam

68
melakukan peningkatan QB atau ultrafiltrasi. Bisa terjadi komplikasi sakit
kepala setiap kali hemodialisis dengan penyebab yang tidak jelas, Sakit kepala
ini tetap terjadi walaupun semua kecurigaan penyebab sudah dihilangkan,
Keluhan ini biasanya dirasakan menjelang selesai hemodialisis dan kadang-
kadang berlangsung lama (sampai 24 jam). Untuk mengatasi hal itu dapat
diberikan anti migrain (caffein ergotamin ), profilling ultrafiltrasi (ultrafiltrasi
pada awal hemodialisis ditinggikan, 1-2 jam menjelang selesai diturunkan )
atau lakukan hemodialisis pakai ulang (reuse).
Kram otot terjadi 5-20% pada pasien yang mengalami hemodialisis,
kram otot umumnya terjadi pada akhir hemodialisis dan mengenai otot kaki,
pada umumnya faktor predisposisi kram otot yaitu : hipotensi, penurunan
berat badan dibawah berat badan kering, kadar sodium dializat yang rendah.
Pada pemeriksaan elektromyelografi ditemui adanya peningkatan aktifitas
elektrik tonus otot.untuk mrngatasi kram otot dilakukan beberapa hal seperti :
mengurangi ultrafiltrasi, Pasien diposisikan trendelenburg, memberikan cairan
infus NaCL 3 % ( 50-100) ml, menaikkan konsentrasi sodium pada dialisat.
Meningkatkan berat badan kering 0,5 kg, untuk mengurasi rasa sakit pasien
dapat diberikan paracetamol 500 mg, dan diazepam 5 mg per oral
(suwitra,2017). Untuk mencegah terjadinya kram otot, lakukan penentuan
yang cermat terhadap berat badan kering pasien.
Tn.D mengeluh lemas komplikasi ini sering terjadi pada Tn.D yang
mengalami hemodialisis sesuai dengan teori Suwtra (2017) atau belum stabil,
penyebabnya multifaktorial di antaranya, terlalu cepat dalam menaikkan QB
atau ultrafiltrasi, bagian dari episode hipotensi intradialitik atau bagian dari
episode sindrom disequibirium. Penanganannya , dengan mengurangi QB atau
ultrafiltrasi. Riwayat penyakit klien sebelumnya klien menderita penyakit
gagal ginjal kronik stadium V selama 5 tahun, riwayat penyakit keturunan,
klien tidak meiliki penyakit keturunan.

69
Berdasarkan data hasil laboratorium Tn.D tanggal 13 Maret 2018
didapatkan hasil hemoglobin rendah (9,60) sehingga tidak dianjurkan Hb≥13
gr/dl, sedangkan Hb<7 gr/dl indikasi transfusi. (Suwitra, hal 46), Kreatinin
tinggi ( 20,15), bila > 18 mg/dl berarti HD tidak adekuat, fungsi ginjal sisa
sedikit, asupan protein berlebih, kerusakan massa otot. Bila Kreatinin kurang
dari 10 mg/dl berarti fungsi ginjal sisa, cukup, malnutrisi (Suwitra,hal.47).
Ferritin tinggi (677,80) untuk menentukan pemberian Fe dan Ferritin tinggi
terjadi karena inflamasi (Suwitra, hal.48)

B. Pembahasan Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisis data subyektif dan
obyektif yang telah diperoleh dari tahap pengkajian untuk menegakkan
diagnosis keperawatan . Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir
kompleks dari klien , keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan
kesehatan yang yang lain ( Deswani dalam Gunawan, 2013). Berdasarkan
hasil analisa data Tn.D , didapatkan diagnosa keperawatan yang disesuaikan
dengan NANDA (2015) pada saat hemodialisa yaitu Kelebihan volume cairan
berhubungan dengn retensi cairan dan natrium, penurunan pengeluaran urine,
penulis mengangkat diagnosa ini berdasarkan tanda dan gejala yang dialami
Tn.D ketika hemodialisa, Sesuai dengan teori (Suwitra,2017) adapun tanda
dan gejala pasien yang menderita hemodialisa mengalami edema pada kaki ,
acites, refleks hepatojungular positif, ansietas, gangguam tekanan darah,
peningkatan tekanan darah dalam waktu singkat sesuai dengan batasan
karakteristik penderita gagal ginjal kronik stadium V dengan diagnosa
kelebihan volume cairan yaitu ansietas, gangguan tekanan darah, edema,
refleks hepatojungular positif, peningkatan berat badan dalam waktu singkat..
Hipertensi yang dialami oleh Tn.D terjadi pada saat dialysis sesuai dengan
hasil penelitian ( Armiyanti, 2012) 96 % pasien mengalami komplikasi
intradialisis berupa hipertensi, hipertensi intadialisis ini terjadi karena

70
kelebihan cairan pradialsis, cairan yang masuk ketubuh Tn.D pra dialysis
sebanyak 300 cc, kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi
vaskuler dan pompa jantung, Tn.D mengalami peningkatan berat badan
sebanyak 2,8 kg, Tn.D mengalami hipertensi intradialysis terjadi karena
peningkatan nilai tahanan vaskuler perifer yang bermakna pada jam akhir
dialysis ( landry,oliver dkk, dalam Asmiyanti,2012). Berdasarkan data hasil
pengamatan di ruang Hemodilisa 3 Sanglah frekuensi hipertensi dialysis
mengalami peningkatan dari jam pertama sampai jam ke 4 sebanyak 70 %
yaitu 30 % mengalami hipertensi intradialysis selalu, 26 % kadang-kadang
mengalami hipertensi intradyalisis, 14% sering mengalami hipertensi
intradialisis. Hipertensi yang terjadi pada Tn.D intradylisis terjadi sesuai
dengan teori (Smeltzer et al, 2008) terjadi karena penurunan RBV dan total
body volume menurunkan aliran darah ke ginjal dan menstimulasi pelepasan
renin dan menyebabkan hipertensi karena rennin merubah angiotensin I
menjadi angiotensin II menyebabkan vasokontriksi dan sekresi aldosteron.
Diagnose yang kedua yang dialami oleh Tn. D adalah Risiko
perdarahan berhubungan dengan efek samping pengobatan yaitu penggunaan
obat antikoagulan ditandai dengan klien mengatakan lemas dan pusing, klien
terlihat lemas, TD; 140/90 mmHg, N: 80X/menit, S:370C, RR : 20x/menit,
ada perdarahan saat AV dicabut. Pada proses hemodialisa terjadi aliran darah
diluar tubuh , pada keadaan ini akan terjadi aktivasi system koagulasi darah
dengan akibat timbulnya bekuan darah ,karena itu pada Tn.D diberikan
heparin sebanyak 7000 international unit selama hemodialisa berlangsung.
Heparin yang digunakan secara luas sebagai antikoagulan pada hemodialisa
untuk mencegah pembekuan dalam sirkulasi ekstrakorporeal. Sehingga pasien
yang beresiko terjadinya perdarahan diperlukan antikoagulan dengan heparin
minimal dose atau tanpa heparin atau menggunkan low molecular weight
heparin. Tn.D dalam kasus ini menggunakan low molecular weight heparin

71
berdasarkan berat badan klien lebih dari 70 kg, sehingga diberikan heparin 0,5
ml.
Diagnosa ketiga pada Tn.D adalah Risiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer akibat prosedur invasif akses
vascular ditandai dengan klien terpasang AV Shunt sinistra dan fistula. Tn.D
akses vaskularnya tidak bocor dan tidak ditemukan tanda-tanda infesi setelah
dilakukan penusukan tanggal 3 Mei 2018, sehingga Tn.D menjaga agar AV
shunt yang dimiliki tidak infeksi.

C. Intervensi Keperawatan
Klasifikasi intervensi keperawatan NIC (Nursing Intervention
Clasification) mengkategorikan aktifitas keperawatan dengan menggunakan
bahasa baku. Prioritas intervensi merupakan intervensi yang yang
berdasarkan penelitian yang dikembangkan oleh The Lawo Intervention
Projek sebagai pilihan perawatan untuk suatu keperawatan tertentu
(Wilkinson dalam Gunawan,2013).
Intervensi Keperawatan disesuaikan dengan kondisi klien dan fasilitas
yang ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan dengan Spesifik,
Measure, Archievable, Rasional, Time (SMART) selanjutnya akan diuraikan
rencana keperawatan dari diagniosa yang ditegakkan (Nursalam,2011)
Tujuan yang dilakukan penulis adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 5 jam diharapkan klien dapat mempertahankan BB ideal
tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil : Menunjukkan BB Ideal,
Mempertahankan pembatasan cairan yang lambat, Menunjukkan turgor kulit
normal tanpa oedema. Dengan ditegakkan diagnosa keperawatan Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan natrium, penurunan
pengeluaran urine, berdasarkan NIC ( Nursing Intervention Classification )
maka penulis merencanakan tindakan keperawatan dengan : Kaji status cairan
(timbang BB harian,observasi turgor kulit dan edema, TD,RR,N,S), Batasi

72
masukan cairan, Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional dalam
pembatasan cairan, Kolaborasi dalam pemberian obat dan HD. Intervensi pada
diagnose lainnya sesuai dengan rencana keperawatan yang dimuat dalam
kasus tersebut dan terlampir.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan yaitu
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan diselesaikan. Dalam teori implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan
(Potter dan Perry,2005).

Dalam melakukan tindakan keperawatan selama tiga hari penulis tidak


mempunyai hambatan, semua rencana yang telah ditetapkan dapat
dilaksanakan. Pada tindakan keperawatan dengan diagnosa Kelebihan
Volume Cairan berhubungan dengan retensi cairan dan natrium, serta
pengeluaran urine tindakan yang dilakukan adalah mengkaji status cairan
(menimbang BB harian, turgor kulit, edema, TD, N, RR,S), membatasi
masukan cairan, menjelaskan pada pasien dan keluarga rasional dalam
pembatasan cairan, berkolaborasi dalam pemberian obat (Eprex 2000 UI), dan
HD. Implementasi diagnose keperawatan yang lain dapat dilihat dalam kasus
tersebut dan terlampir.

E. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil evaluasi terhadap tindakan
dengan diagnosa keperawatan Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan
retensi cairan dan natrium, penurunan pengeluaran urine dengan
menggunakan metode SOAP (Subyektif, Obyektif, Asassment, Planning)
dengan hasil data subyektif pasien mengatakan badan lemas, dan hasil data

73
obyektif menunjukkan bahwa klien terlihat lemas, BBK : 68 kg, BB Pre HD :
71 kg, BB post HD :68,2 kg, Turgor kulit elastis, warna kulit kehitaman,
refleks hepatojungular positif, kaki edema, perut acites, gangguan tekanan
darah, klien mengerti penjelasan perawat. Hasil analisis masalah kelebihan
volume cairan belum teratasi. Intervensi dilanjutkan. mengkaji status cairan
(menimbang BB harian, turgor kulit, edema, TD, N, RR,S), membatasi
masukan cairan, menjelaskan pada pasien dan keluarga rasional dalam
pembatasan cairan, berkolaborasi dalam pemberian obat (Eprex 2000 UI), dan
HD.

74
BAB V

PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan data diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut

1. Hasil pengkajian klien mengatakan pada saat Pre HD klien mengatakan


merasa lemas, dan kaki klien terlihat edema, perut acites, gangguan tekanan
darah, peningkatan BB dalam waktu singkat, refleks hepatojungular positif
2. Diagnosa keperawatan Kelebihan volume cairan berhubungan dengn retensi
cairan dan natrium, penurunan pengeluaran urine.
3. Intervensi yang digunakan untuk mengatasi kelebihan volume cairan yaitu
Kaji status cairan (timbang BB harian, Turgor kulit dan adaya oedema, TD,
RR, N ), Batasi masukan cairan, Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional
dalam pembatasan cairan, Kolaborasi dalam pemberian obat dan HD (
pemberian Eprex 2000 UI)
4. Tindakan yang dilakukan yaitu menimbang BB harian , memonitor turgor
kulit, edema, tekanan darah, respirasi rate, nadi , membatasi masukan cairan
ke tubuh pasien, Menjelaskan pada pasien dan keluarga rasional dalam
pembatasan cairan, Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat HD (Eprex
2000 UI).
5. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan menggunakan metode SOAP (
Subyektif, Obyektif, Assesment, Planning ). Subyektif klien mengatakan
badannya masih lemas. Hasil evaluasi obyektif klien terlihat lemas, kaki

75
tampak oedema, refleks hepatojungular positif, gangguan tekanan darah,
peningkatan BB secara cepat, turgor kulit elastis, kulit kering dan kehitaman.
Hasil analisa masalah kelebihan cairan belum teratasi. Rencana keperawatan
selanjutnya dialanjutkan timbang berat badan tiap hari, observasi TD, N, RR,
S, Observasi edema, turgor kulit, edema, refleks hepatojungular.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberi saran yang diharapkan


bermanfaat antara lain :

1. Bagi Rumah Sakit


Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien seoptimal mungkin
dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan
prasarana yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam melalui praktik klinik dan
pembuatan laporan.
3. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan penulis dapat menggunakan atau memanfaatkan waktu seefektif
mungkin, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien secara
optimal.

76
77
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC

Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa


keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River

Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan


Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK Magelang

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Nanda. 2005. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia

Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:


Prima Medika

Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Herdman, T.H.dkk.2015.Diagnosa Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC

Moorhead,Sue,dkk.2013. Nursing Outcome Classification (NOC). Jakarta:


ELSEVIER

Bulecheck,Gloria, M.2013.Nursing Intervention Classification (NIC).Jakarta:


ELSEVIER.
Agarwal, R. & Weir, M.R. (2010). Dry-weight: A concept revised in an effort to
avoid medication-directed approaches for blood pressure control in
hemodialysis patients. Clinical Journal American Society of Nephrology, 55-60.

Almatsier, S. (2010).prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Beiber, S.D. & Himmelfarb, J. (2013). Hemodialysis. In: schrier’s disease of the
kidney. 9th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Black, J.M. & Hawks, J.H. (2006). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Positive Outcomes. 8th Edition. Philadelpia: WB. Saunders Company

Brunner and Suddarth. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8,
Volume 1. Jakarta: EGC

Cahyaningsih, N.D. (2009). Hemidialisis; panduan praktis perawatan gagal ginjal.


Cetakan ke-2. Jogyakarta: Mitra Cendikia Press

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. (2004). Nursing Intervention


Clasification (NIC). 5th edition. St Louis, Missouri: Mosby.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G. & Ing, T.S. (2007). Handbook of dialysis. 4th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing. Fifth


Edition. Philadelphia: Elsivier Inc.

Morhead, S., Jhonson, M., Maas, M.L., Swanson, E. (2004). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th Edition. St Louis, Missouri: Mosby.

NANDA. (2012). Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2012-2014.


Philadephia: NANDA International.

Pernefri. (2006), Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu
Penyakit dalam.. Jakarta: FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,M. & Setiati, S. (2009). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II, Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai