Anda di halaman 1dari 3

Sifat Malu yang Terpuji dan Tercela

posted in: Buletin Al-lu'lu' | 0

ِ ‫ ال َحيَا ُء ِمنَ اِإْل ْي َم‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم‬،‫عن ابن عمر رضي هللا عنه قال‬
)‫ان (رواه البخاري و مسلم‬

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu,Rasulullah shallallahu


‘alaihiwasallam bersabda : “Sifat malu itu adalah sebagian daripada iman”. (HR al-Bukhari
dan Muslim)

Sifat malu kerap kali dianggap sebagai sifat yang tidak baik oleh sebagian orang. Hal itu
disebabkan karena rasa malu dapat membuat orang kurang bisamengekspresikan dirinya
terhadap sosial masyarakat sekitar. Inilah yang menyebabkan sebagian orang berusaha
menyingkirkan rasa malu, namun lupa mengenai batasan-batasannya.

Sehingga dengan mudah saat ini dijumpai beberapa kaum hawa memamerkan bagian
tubuhnya yang seharusnya ditutupi, belum lagi kasus-kasus kriminal yang sangat memilukan
sekaligus memalukan untuk dilakukan oleh seorang manusia yang menyebabkannya setara
dengan hewan.

Dalam Islam, sifat malu termasuk sebagian daripada iman. Sehingga tidak dapat dikatakan
bahwa sifat malu adalah sifat yang buruk. Kendati demikian, sifat malu dalam Islam dibagi
menjadi dua, yaitu terpuji dan tercela. Dengan itu setiap perbuatan memiliki porsinya
tersendiri, kapan harus malu untuk melakukan dan kapan harus tidak malu untuk
melakukannya.

Malu itu Asalnya Terpuji

Sifat malu sendiri hakikatnya adalah sifat yang baik, karena dengan itu seseorang dapat
menghindarkan dirinya dari kemaksiatan. Seperti yang diterangkan oleh Nabi dalam
Shahihain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Iman itu enam puluh sekian
cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman” (HR. Al-Bukhari 9, Muslim 35).
Dari hadis tersebut kita dapat menilai bahwa sesungguhnya malu termasuk bagian dari iman.
Yang dengannya orang dapat memiliki iman untuk terhindar dari kemaksiatan.Sifat malu
pada faktanya adalah sifat para nabi. Para umat terdahulu sebelum di utusnya Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihiWasallam sudah mengenal dan menyadari bahwa sifat malu
itu baik dan merupakan ajaran semua para nabi terdahulu.

Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda:“Sesungguhnya diantara hal yang sudah


diketahui manusia yang merupakan perkataan para nabi terdahulu adalah perkataan: ‘jika
engkau tidak punya malu, lakukanlah sesukamu’” (HR. Al-Bukhari 6120). Hal ini
mencerminkan bahwa sifat malu adalah sifat yang terpuji. Karena tanpanya orang dapat
berperilaku sesuka hatinya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam pun dikenal sebagai orang yang sangat


pemalu. Sahabat Nabi, Imran bin Hushain mengatakan:“Nabi Shallallahu’alaihiWasallam
adalah orang yang lebih pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya” (HR. Al-
Bukhari 6119, Muslim 37).
Ternyata sifat malu bukan hanya sifat yang dimiliki oleh para nabi saja, melainkan orang-
orang shalih umat setelah Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam juga memilikinya. Hal ini
terbukti dari hadist Rasul yang memuji Utsman bin ‘Affan karena ia dikenal dengan sifat
pemalunya sampai-sampai malaikat pun malu kepadanya. Nabi bersabda,“Bukankah aku
selayaknya merasa malu terhadap seseorang (Utsman) yang malaikat saja merasa malu
kepadanya?” (HR. Muslim 2401).

Dengan demikian sudah jelas bahwa sifat malu ini adalah hal yang semestinya dimiliki dan
dijaga oleh setiap muslim, karena hamba Allah yang bukan nabi saja ternyata mampu untuk
menjaga sifat malunya untuk membentengi diri dari perbuatan maksiat.

Malu yang Tercela

Walaupun sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi tercela jika ia menghalangi
seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar. Para salaf
mengatakan:“Orang yang pemalu tidak akan meraih ilmu, demikian juga orang yang
sombong”.Dari nasihat para salaf di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menuntut
ilmu seseorang tidak boleh malu, bagaimana akan mendapatkan ilmu jika bertanya tentang
ilmu itu saja merasa malu?

Hal itu juga tercermin dalam hadist Rasulullah tentang pertanyaan Ummu Salamah
radhiallahu’anha, beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam:“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi
bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda: ‘ya, jika ia melihat air (mani)‘” (HR.
Al-Bukhari 6121, Muslim 313).

Permasalahan mimpi basah tentu hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun lihatlah, Ummu
Salamah radhiallahu’anha tidak malu menanyakannya demi mendapatkan ilmu dan demi
melakukan hal yang benar. Dan Nabi Shallallahu’alaihiWasallam pun tidak mengingkarinya.
Karena andai ia tidak bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihiWasallam tentu ia tidak tahu
bagaimana fiqih yang benar dalam perkara ini dan akan terjerumus dalam kesalahan.

Permasalahan sifat malu yang tercela juga dijelaskan oleh Imam al-Nawawi rahimahullah,
dalam SyarhShahih Muslim (II/5), “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu orang yang
pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan kebaikan kepada orang yang ia
hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya
membuat ia melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa
terjadi dalam kebiasaan sehari-hari.”

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji,
malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi
kewajiban seorang muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin,
malu memakai busana muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk
keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan
menghalangi seseorang untuk memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Kesimpulan

Sifat malu itu awalnya adalah terpuji dan merupakan bagian dari iman. Seorang muslim
hendaknya memiliki sifat ini, sehingga ia terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela dan dosa.
Namun sifat malu ini sendiri akan menjadi tercela jika menghalangi seseorang untuk
menuntut ilmu, melakukan yang haq serta menjauhi kesalahan dan dosa.

Buah dari sifat malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Orang yang perbuatannya selalu
diwarnai dengan sifat malu, niscaya dia akan berlaku ‘iffah. Yang mana sifat itu akan
bermuara pada sifat wafa’ (setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibbanal-Bustirahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk
bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari
membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi
perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api neraka, yakni
dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarangAllah. Karena,
manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat
berhubungan sosial dengan orang lain. Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula
perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap
buruknya menguat dan kebaikannya meredup” (Raudhatul ‘UqalâwaNuzhatulFudhalâ’, hal.
55).

Demikianlah, seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang haq dan dalam menjauhi
kesalahan dan dosa. Malu ketika akan melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi
kesalahan dan dosa, pada hakikatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syariat. Bahkan
yang demikian adalah sifat lemah dan pengecut. Sifat pengecut ini tercela,
Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda:“Seburuk-buruk sifat yang ada pada
seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut” (HR.
Abu Daud 2511, dishahihkanal-Albani dalam Silsilah AhaditsShahihah 560).

Nabi Shallallahu’alaihiWasallam juga mengajarkan kita berlindung dari sifat pengecut dan


lemah. Beliau mengajarkan doa:“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan,
kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang
dan penindasan oleh orang-orang” (HR. AtTirmidzi 3484, dishahihkan Al Albani
dalam ShahihAtTirmidzi).

Anda mungkin juga menyukai