Anda di halaman 1dari 15

BUDAYA MALU DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan bahwa manusia sudah benar-
benar lebih sesat dari binatang: Seorang anak membunuh ibunya, seorang ibu membunuh
anaknya, seorang ayah memperkosa anak perempuannya, aurat dipertontonkan dengan
menggunakan kecanggihan teknologi, harga diri dijual menjadi ajang komoditi dan lain
sebagainya.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah bertemu seorang dari Ansar, yang sedang menasihati
saudaranya yang pemalu. Mendengar itu, Rasulullah segera bersabda: "Biarkan dia demikian,
karena rasa malu itu bagian dari iman" (HR Bukahri-Muslim).
Dalam hadis lain, Rasulullah mengatakan: "Rasa malu tidak pernah mendatangkan kecuali
kebaikan" (HR Bukhari-Muslim). "Rasa malu semuanya baik'' (HR Muslim).
Abu Sa'id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah saw. lebih pemalu dari
seorang gadis. Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari
wajahnya (HR Bukhari-Muslim).
Dalam kesempatan lain, Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: "Rasa malu adalah
bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan
iman, keringnya iman tempatnya di neraka"(HR Ahmad).
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh bagian, di
antaranya adalah rasa malu (HR Bukhari-Muslim).
Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadis yang menggambarkan betapa rasa malu harus
dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda: "Jika Allah swt. ingin
menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang
maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut
dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tangung jawab). Bila sikap amanah telah hilang
maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah
mencabut rahmatNya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia
laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam".
Menerangkan makna hadis ini, Syekh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khuluq
Al Muslim: "Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan
berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban
adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa
belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita.
Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa
nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya
fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam (Khuluq Al Muslim, h 171).
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap
meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan zhalim. Seorang sufi besar Imam Junaid
menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia
merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya. (Riyadh as-Shalihin, h
REFERENSI 246). https://www.republika.co.id/berita/q629vn320/rasulullah-saw-ajarkan-
umatnya-budayakan-malu-mengapa
Malu dalam bahasa Indonesia artinya merasa sangat tidak enak hati karena berbuat sesuatu
yang kurang baik atau segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan
sebagainya. Dalam agama Islam malu adalah bagian dari agama, orang yang memiliki rasa
malu pasti akan menuai banyak kebaikan. Akan tetapi, bagaimana malu yang sebenarnya
dalam Islam? Malu dibagi tiga macam:
Pertama, malu kepada Allah. Jika seseorang malu kepada Allah, ia akan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah bersabda, “Malulah kalian kepada
Allah dengan sungguh-sungguh rasa malu. Kemudian nabi ditanya, “Bagaimana caranya
malu kepada Allah?” Dijawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan
makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah
memiliki rasa malu kepada Allah Swt.” Malu seperti inilah yang akan melahirkan buah
keimanan dan ketakwaan.
Kedua, malu kepada manusia. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada manusia, maka ia
akan menjaga pandangan yang tidak halal untuk dilihat. Seorang ahli hikmah pernah ditanya
tentang orang fasik. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjaga pandangannya, suka
mengintip aurat tetangganya dari balik pintu rumahnya.” Orang yang punya rasa malu kepada
manusia tidak akan berani melakukan dosa di hadapan orang lain. Jangankan dosa,
melakukan kebiasaan jeleknya saja dia malu jika ada orang yang melihatnya. Termasuk
bagian dari malu kepada manusia adalah mengutamakan orang yang lebih mulia darinya.
Menghargai ulama dan orang saleh. Memuliakan orangtua dan gurunya. Merendahkan diri di
hadapan mereka. Orang yang masih punya rasa malu kepada orang lain akan dihargai dan
disegani. Masyarakat mau mendengarkan pendapat dan nasihatnya.
Ketiga, malu kepada diri sendiri. Ketika orang punya malu kepada dirinya sendiri, dia tidak
akan melakukan perbuatan dosa ketika sendirian. Ia malu jika ada orang yang melihat
perbuatannya. Dalam kalimat hikmah dikatakan, “Siapa yang melakukan perbuatan ketika
sendirian yang ia malu melakukannya saat dilihat orang, maka ia tidak berhak mendapatkan
kemulian.” Kalimat hikmah yang lain mengatakan, “Hendaknya malu kepada diri sendiri
lebih besar dibanding malu kepada orang lain.”
Rasulullah saw. adalah figur yang sempurna dalam akhlak malu. Beliau tidak pernah
menjulurkan kakinya ketika sedang duduk bersama sahabatnya. Pada suatu hari beliau lewat
dan berpapasan dengan orang yang sedang mandi. Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia,
sesungguhnya Allah maha hidup, maha lembut, dan maha menutupi. Allah cinta pada rasa
malu dan menutup diri. Jika kalian mandi maka lindungilah diri kalian dari pandangan
orang.”
Aisyah ra. adalah putri yang sangat pemalu dan menjaga kehormatan dirinya. Suatu saat
beliau pernah bercerita, “Ketika aku masuk ke rumahku yang di dalamnya terdapat makam
Rasulullah (suamiku) dan ayahku Abu Bakar, aku menampakkan sebagian auratku, dalam
hati aku berkata, “Sesungguhnya aku sedang berada di kuburan suamiku dan ayahku.” Akan
tetapi, ketika Umar bin Khattab meninggal dan makamkan di samping suami dan ayahku, aku
tidak pernah menampakkan auratku lagi, karena malu kepada Umar.” Bisa dibayangkan
akhlak malu yang dimiliki Aisyah, hingga kepada orang sudah berada di dalam kubur.
Inilah tiga macam malu yang dianjurkan. Selanjutnya kita hindari sifat malu yang dilarang.
Yaitu malu ketika akan melakukan kebaikan, malu ketika membela ajaran Islam, malu
berkata jujur, malu mengingkari kemungkaran dan membela kebenaran. Orang yang malu
dalam kebaikan tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Wallahu a’lam.
REFERENSI Umar bin Ahmad Baraja, Al-Akhlak Lil Banin, (Surabaya, Maktabah
Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladuhu, Juz 4, 1385 H.) Hlm. 7-13.

Fenomena tentang karakter malu (al-haya’) saat ini menjadi hal yang sangat faktual. Budaya
malu perlahan-lahan mulai menghilang dengan proses pembauran yang global, tanpa
malumalu karakter budaya ketimuran mulai mengadopsi karakter budaya kebaratan yang
mengakibatkan hilangnya rasa malu. Dampak dari hilangnya rasa malu dalam diri seseorang
adalah segala perilakunya sulit dikendalikan dan akan melakukan berbagai perbuatan tidak
terpuji seperti korupsi, menyontek, menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang
seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, pembunuhan dan
lainnya. Sementara Islam sangat menekankan karakter malu sebagai akhlak mahmudah.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konsep al-haya’ dalam perspektif psikologi
Islam melalui kajian konsep dan empiris. Kajian dalam studi ini ditempuh dengan dua acara
100 Jurnal Studia Insania Vol. 8 No. 2 yaitu, yang pertama dengan kajian literatur dan yang
kedua kajian empiris. Kajian literatur meliputi kajian ayat suci Alqur’an, Hadits dan pendapat
tokoh Islam yang membahas tentang al-haya’. Kaajian kedua adalah melalui cara empiris
dengan melakukan interview terhadap 2 orang Ustadz dan 3 mahasiswa jurusan Tasawuf dan
Psikoterapi yang telah berhasil menerapkan al-haya’ dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian
ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif dengan rancangan grounded theory. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa al-haya’ yang dimaknai oleh subjek penelitian hampir sama
dengan apa yang terdapat dalam kajian Islam. Alhaya’ adalah malu yang didorong oleh rasa
hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina atau
melanggar prinsip syariat. Orang yang memiliki karakter al-haya’ adalah mereka yang
hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat
akibat buruk yang dapat menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati. Kata
kunci: Islam; Al Haya; Psikologi Agama Islam merupakan agama yang sempurna, yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Hal ini sebagaimana yang telah
tercantum dalam firman Allah SWT Surat Al-Maidah ayat ketiga. Di mana dalam
kesempurnaan tersebut terdapat beberapa faktor atau sifat yang menjadikan sempurna, salah
satunya adalah ajarannya selalu sesuai dengan zaman dan tempat. Islam sebagai agama
universal, memiliki sumber yang telah diakui, yaitu Alquran dan as-Sunnah. Diantara
kandungan as-Sunnah terdapat hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yang
sangat mendapatkan sorotan. Dalam masa transisi ke agama Islam banyak pula karakter-
karakter yang harus dirubah untuk sesuai dalam syari’at Islam, salah satunya adalah karakter
malu. Pada masa Jahiliyah, masyarakat kurang memiliki rasa malu sehingga kesombongan
dominan adanya, dan kurang adanya sikap rendah diri setiap individu. Setiap kehidupan
makhluk hidup pasti memiliki karakter yang berbentuk emosi, salah satunya adalah malu.
Malu diartikan merasa tidak senang, rendah, hina, dan lain sebagainya dikarenakan berbuat
sesuatu yang kurang baik. Menurut shara’, malu merupakan sebuah akhlak yang mendorong
orang bersangkutan untuk menjauhi hal-hal yang jelek dan mencegahnya dari mengabaikan
hak orang yang mempunyai hak. Dengan kata lain adanya sifat malu secara lahiriyah
menjadikan seseorang lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga dapat mencegah diri dari
perbuatan-perbuatan buruk. Cintami Farmawati Ah Haya’ 101 Malu dalam Islam disebut
haya’ dari akar kata yang dapat dipahami bahwa keduanya merupakan isim mustaq (Abu
Bakar Muhammad, 1989) karena setiap yang hidup pasti memiliki rasa malu (Abdul Muis,
2002), persamaan ini juga menunjukkanbahwa antara hidup dan malu mempunyai keterkaitan
yaitu seseorang akan disebut hidup apabila ia mempunyai rasa malu, sebaliknya seseorang itu
dikatakan mati apabila rasa malu dalam dirinya pun telah mati atau hilang.(Salim Bazemool,
1996). Rasa malu dalam bahasa arab adalah hayaa, yang secara etomologis berarti taubat. dan
menahan diri (Ibnu Fadl Hamaluddin, 1990). Dengan adanya rasa malu maka akan
mendorong seseorang untuk bertaubat dan menahan seseorang untuk melakukan hal yang
buruk, baik dalam pandangan manusia maupun Allah. Sedangkan pendapat Al Jurjani
mengatakan bahwa haya’ berarti menahan diri dari segala sesuatu atau meninggalkannya
karena takut akan timbulnya celaan (Sa‟dy Abu Habib, 1988).
REFERENSI : Al-Ghazali, I. (2008). Ringkasan Ihya'Ulumuddin. Akbar Media. Al-Mishri,
M. 2007. Menejemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seorang Muslim dalam Hal Amanah,
Tawaddu’ dan Malu. Solo: Pustaka Arafah.

Pentingnya menerapkan budaya malu dalam kehidupan


Agama Islam merupakan addinu lana agama yang sebenar - benarnya agama bagi kita.
Dalam ajaran Agama Islam akan menuntun dan mempedomani seluruh umat - umat
pemeluknya agar dapat hidup dengan benar. Yakni hidup untuk menggapai kebahagiaan yang
sejati yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam suatu riwayat hadits, Nabi Muhammad SAW menyebutkan salah satu sikap yang baik
yang penting untuk dimiliki umatnya. "Malu adalah sebagian dari iman". Bunyi hadist
tersebut juga menandakan perintah untuk menerapkan budaya malu.
Akan tetapi rasa malu yang dimaksud di sini adalah malu dalam beberapa hal, bukan segala
hal. Malu itu baik jika diterapkan pada tempatnya. Rasa malu ketika berkelakuan buruk atau
rasa malu jika berbuat dosa. Itulah yang dimaksud malu dari redaksi hadist di atas.
Menerapkan budaya malu di masa sekarang sungguh sulit. Kadang mirisnya, rasa malu justru
diterapkan secara terbalik oleh beberapa orang. Mereka justru secara terang - terangan
berkelakuan buruk ketika ada banyak orang, dan ketika ada orang lan menyuruh berbuat baik,
justru ia enggan dengan alasan malu. Misalnya sekarang banyak sekali budaya berpakaian
yang sungguh di luar ajaran syari'at Agama Islam karena tidak menutup aurat.
Akan tetapi banyak orang saat ini malah dengan bangga berfashion demikian di muka umum.
Ketika mereka diberitahu agar menutup aurat justru malah menganggap hal tersebut jadul dan
tidak kekinian. Bukankah ini justru terbalik?
Budaya malu sangat penting kita terapkan dalam kehidupan. Dengan budaya malu maka kita
akan menjadi manusia yang mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT,
lho kok bisa? Dengan rasa malu maka kita akan terhindarkan dari tindakan - tindakan dosa
ataupun perbuatan yang buruk. Rasa malu akan membentengi diri kita dari tindakan yang
dilarang agama.
Dan hal yang harus diingat oleh umat muslim adalah ketika kita memiliki budaya malu
terhadap sesama manusia. Kita juga harus malu terhadap Allah SWT sebagai Tuhan yang
menciptakan kita. Segala bentuk nikmat dan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada
kita dari dulu hingga sekarang dan hingga di masa yang akan datang sungguh tak bisa
dihitung. Allah SWT tak pernah merasa enggan dan sungkan dalam memberi nikmat terhadap
hamba-Nya. Dan apakah kita tidak malu ketika kita sudah memahami demikian tapi tingkat
ibadah dan rasa syukur kita masih rendah? dan justru kita malah sering sekali berbuat dosa.
Sungguh inilah hakikat dari rasa malu yang sebenarnya yakni rasa malu kepada sesama dan
juga kepada Sang Pencipta.
https://muslima.hops.id/khazanah/pr-3042152599/pentingnya-menerapkan-budaya-malu-
dalam-kehidupan?page=2

Apa pentingnya budaya malu dalam kehidupan?


Dari pengertian di atas budaya malu adalah suatu yang sangat penting dalam ke- hidupan
manusia dalam masyarakat karena rasa malu adalah kontrol alami manusia agar terhindar
dari perbuatan-perbuatan yang me- langgar hukum, aturan atau norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Malu adalah sebagian dengan iman apakah fungsi malu?
Di antara amalan hati yang merupakan keimanan adalah rasa malu, jika seorang manusia
memiliki rasa malu maka itu adalah tanda-tanda keimanan pada dirinya. “Hal ini disebabkan
karena rasa malu merupakan sebab terkuat bagi seorang hamba untuk bisa melaksanakan
seluruh cabang-cabang keimanan yang lain.”
Pengertian Malu Malu memiliki pengertian menahan diri dari perbuatan jelek, serta merasa
menyesal apabila melakukan perbuatan yan tercela atau melanggar aturan islam. Rasa malu
menjadikan seorang muslim memiliki batasan dalam bertindak sehingga seorang muslim
tidak akan melakukan perbuataan kurang sopan karena terbentengi oleh rasa malu. Dalam
islam rasa malu merupakan kharakteristik yang dimiliki oleh orang islam. Dengan adanya
rasa malu maka seorang muslim akan takut dan menyesal apabila melakukan tindakan tidak
terpuji dan melanggar hukum. Dalam islam malu sudah menjadi budaya yang menjadi bagian
dari keimanan. Seorang yang beriman sudah selayaknya memiliki rasa malu sehingga takut
untuk berbuat tercela. Sifat malu dari seorang muslim dapat dilihat dari periluka muslim
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dari cara muslim tersebut menahan diri dari godaan
hawa nafsu dan lain sebagainya. Dalam islam orang yang tidak mempunyai rasa malu maka
merupakan orang yang tidak mempunyai iman meskipun dalam perkataan beriman.
Rasulullah SAW bersabda "Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang,
cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah
adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.''
(HR Bukhari-Muslim). Berdasarkan ayat tersebut maka iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang
dimana salah satu di dalamnya adalah rasa malu.
Manfaat Malu
 Orang yang memiliki sifat malu akan terhindar dari perbuatan tercela.
 Orang yang memiliki sifat malu akan lebih dekat dengan Allah SWT.
 Orang yang memiliki sifat malu akan mendatangkan kebaikan pada dirinya.
 Orang yang memiliki sifat malu akan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Malu yang memberikan manfaat dalam hidup adalah malu dalam hal mengerjakan keburukan
atau hal-hal yang negatif. Contoh malu yang memberikan manfaat bagi seseorang adalah
malu ketika menyontek dan malu ketika menerima barang suap.

Malu dalam hal kebaikan atau hal-hal positif hanya akan memberikan dampak negatif tau
kerugian bagi orang yang melakukannya. Contoh malu yang memberikan dampak negatif
adalah malu untuk jujur mengakui kesalahan dan malu ketika beribadah kepada Allah
sehingga membuat ia tidak mau beribadah.
Manfaat Berperilaku Malu.
Tedapat beberapa manfaat dari sifat atau perilaku malu yang diantaranya adalah :
a. Mencegah dari perbuatan tercela.  
Seseorang yang memiliki rasa malu akan senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk
menghindari perbuatan yang tercela, sebab ia punya rasa takut kepada Allah Swt.
b. Mendorong kita berbuat kebaikan.
Rasa malu kepada Allah Swt. Akan mendorong seseorang berbuat kebaikan sebab ia tahu
bahwa setiap perbuatan manusia akan dibalas oleh Allah Swt. Di akhirat nanti.
c. Mengantarkan seseorang kepada Ridho Allah Swt.
Orang-orang atau manusia yang memiliki sifat malu akan senantiasa melaksanakan perintah
Allah Swt. dan menjauhi segala larangannya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah
atau kurang sopan. Agama Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifatmalu karena
dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi.

pengertian malu menurut bahasa berasal dari kata hayaah yang artinya hidup. Dalam KBBI
malu adalah sifat merasa tidak enak hati karena melakukan hal yang kurang baik. Sedangkan
secaya syarat malu adalah akhlak yang mendorong orang untuk menjauhi hal yang buruk dan
dapat mendatangkan kemudhorotan bagi dirinay dan orang lain.
PEMBAHASAN
Adik-adik malu merupakan akhlak orang beriman dan sifat para malaikat, maka semakin
tinggi iman seseorang, maka semakin tinggi rasa malu yang ia miliki. Sebagaimana sabda
Rasulullah ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat
kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’
pengertian malu menurut bahasa berasal dari kata hayaah yang artinya hidup. Dalam KBBI
malu adalah sifat merasa tidak enak hati karena melakukan hal yang kurang baik. Sedangkan
secara syarat malu adalah akhlak yang mendorong orang untuk menjauhi hal yang buruk dan
dapat mendatangkan kemudhorotan bagi dirinay dan orang lain.
Malu merupakan akhlak orang beriman, dengan rasa malu maka ia menghindarkan dirinya
dari perbuatanperbuatan tercela, contoh mudahnya, orang yang keluar rumah menunjukan
aurat kepada orang banyak tentu saja rasa malunya sudah tidak ada. Begitupula orang yang
suka berkata kasar, tantu orang seperti ini juga tidak memiliki rasa malu.

Adik-adik , diantara fadhilah malu dari Sabda Rasulullah :


1. Rasulullah bersabda “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-
mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
2. “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi
adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri
(gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” ( HR. Bukhori )
3. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa
malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia
menutup diri.”[HR. Abu dawud]  
4. “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa
malu kepadanya.”[HR. muslim]  
5. “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor
adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[HR. ahmad]  
contoh sifat malu yang benar :
 malu bila tidak sholat
 malu apabila berlaku maksiat
 malu bila tidak jujur dengan lisan dan perbuatan
 malu tidak berpuasa dibulan ramadhan
 malu bila berkata kasar dan suka berbuat onar
contoh sifat madu yang salah :
 malu untuk membantu orang yang sedang dalam kesulitan
 malu menjadi saksi dalam suat perkara padahal kita tahu kebenarannya
 malu untuk maju kedepan kelas mengerjakan soal
 malu menasehati teman yang berbuat salah
 malu sholat ke masjid
 Malu untuk mengajak orang lain dalam kebaikan.

 2. Malu menasehati teman, saudara, bahkan orangtua sendiri yang berbuat


keburukan.

 3. Malu berbicara dan bertindak kebenaran.


 4. Malu berpakaian, bertindak, serta berpikir sesuai dengan yang diajarkan


Rasulullah SAW.

 5. Malu mengungkapkan pendapat padahal pendapatnya sangat berpengaruh bagi


umat, dsb
Contoh perilaku malu yang positif menurut ajaran islam
Malu ketika rumah atau pakaian kotor
Malu kepada Allah jika telah mengerjakan ibadah shalat
Malu ketika tidak memiliki ilmu pengetahuan
Malu ketika melakukan hal-hal maksiat
Malu ketika tidak mampu mengendalikan emosi
Malu untuk berbohong
Malu jika tidak ikut membantu orang yang sedang membutuhkan bantuan
Malu ketika tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik
Pembahasan
Malu dinilai positif jika ditempatkan dalam hal melakukan keburukan. Sedangkan malu
ketika melakukan hal kebaikan termasuk dalam jenis malu yang tidak baik. Sehingga
perilaku malu yang tersebut harus dihindari. Contohnya malu ketika membantu orang lain,
atau malu ketika diminta untuk berceramah di depan umum
dampak Buruk yang Akan Kamu Rasakan Jika Hilangnya Rasa Malu
1. Bangga saat melakukan perbuatan buruk
Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Adalah sesuatu yang wajar jika seseorang
melakukan kesalahan atau perbuatan buruk tanpa sengaja. Tentunya, jika seseorang memiliki
hati yang baik, akan muncul perasaan bersalah di dalam dirinya, serta adanya keinginan
untuk memperbaiki dirinya sendiri dan meminta maaf jika ada orang yang tersakiti olehnya.
Namun, seseorang yang sudah hilang rasa malunya tidak akan merasakan semua itu. Ia justru
akan mencari 1001 pembenaran yang bisa menghalalkan tindakannya.
2. Merosotnya moral dan akhlak
Jika banyak orang yang sudah tidak memiliki rasa malu, hal ini akan menyebabkan
merosotnya nilai moral dan akhlak manusia. Akibatnya, tak akan ada rasa bersalah sekalipun
ia melakukan kesalahan atau perbuatan yang sudah jelas buruk di mata nilai dan norma.
Bahkan, alih-alih merasa malu, tak sedikit di antara mereka yang justru berani mengumbar
perbuatan buruknya di media sosial dan merasa bangga dengan perbuatan mereka tersebut.
Kita bisa melihat fenomena tersebut dewasa ini, di mana banyak orang yang sudah tidak lagi
segan-segan melakukan perbuatan tidak baik secara terang-terangan, bahkan mengunggahnya
di media sosial. Mereka hidup sesuka hati dan sudah tidak lagi mengenal adab dan norma.
3. Tidak peduli pada perasaan orang sekitar
Hilangnya rasa malu dapat membuat seseorang tidak lagi peduli pada perasaan orang-orang
di sekitarnya, seperti orang tua, saudara-saudaranya atau bahkan anak-anaknya. Ia tidak
berpikir bahwa konsekuensi perbuatannya tidak hanya akan ditanggung oleh dirinya sendiri,
melainkan juga oleh keluarganya.

Sifat Malu Kaum Wanita


alhikmah.ac.id – Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan
keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan
fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada
wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah
satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Apa sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama
pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk
meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak
orang lain.”
Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan
karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa
yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.”
Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:
1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau
wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.
2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat maksiat
karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).
3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu
seperti telanjang di hadapan orang banyak.
Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang
menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan
cela pada dirinya.”
Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu
Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang.
Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR.
Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)
Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu dalam diri
seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa
orang yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah
pancaran iman.
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan
iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain
pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua
syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-
Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan
bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu
kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits
nomor 5652)
Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya
hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan
jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan
penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah
bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang
buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash
Shilah, hadits nomor 1932)
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana
sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita
tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul
bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita
sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati
kita, semua diketahui oleh Allah swt.
Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah
pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam
diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan
Jibril tentang ihsan.
Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui
Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu
yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya
malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu
yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari
apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan
kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang
melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR.
Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)
Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian
akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah
untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah
untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.
Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu
ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus
mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari
kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)
Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan
pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau
mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya.
Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara
bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis
gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!”
Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit
muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik
lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.
Jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa
akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana
ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya
telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang
setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi.
Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak
malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari
dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).
Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah apa
yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Fushhdilat: 40).
Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu.
Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya aturan.
Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita
menangkap makna yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu
melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!
Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu. “Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu.
Bila rasa malu telah dicabut, maka engkau tidak akan menemuinya kecuali sebagai orang
yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya kecuali sebagai orang yang murka
dan dimurkai, maka dicabutlah pula darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut
darinya, maka engkau tidak akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati.
Bila engkau tak menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan
dicabut darinya. Bila rahmat itu dicabut darinya, maka engakau tidak akan menemukannya
selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak menemukannya selain sebagai
pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu kata Salman. (HR.
Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya lemah, tapi shahih)
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara
dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para
ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali
wajah dan telapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di
tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga
memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita
muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa.
Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang
lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki
paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt.
memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan
mereka.
Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor
publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk
melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Tidak
sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga,
ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak bisa terhindari.
Untuk yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin mengatakan
di sini bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita adalah kata diadopsi
ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal oleh warisan budaya kita pada sejarah abad-abad
sebelumnya, dan tidak diketahui selain pada masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa
asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih
cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti pertemuan—
atau musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam
tidak mengeluarkan aturan atau hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya
melihat tujuan adanya aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang
dikhawatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang harus diperhatikan di
dalamnya.”
Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab
itu adalah:
1. Ada pembatasan tempat pertemuan
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan
menggoyahkan keteguhan jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan
yang haram, ataupun membayangkannya
Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian,
batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan
gaya bicara. Jangan genit!
Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam
kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya
memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga
oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan
desiran hati yang tersimpan dalam dadanya. (dkw)
https://alhikmah.ac.id/sifat-malu-kaum-wanita/

Rasa Malu Menggambarkan Kwalitas Keimanan Seorang Muslim


Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah
atau kurang sopan. Agama Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifatmalu karena
dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu,
akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Sifat malu merupakan ciri khas akhlak dari orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini jika
melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya makan akan menunjukkan rasa
penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa malu, merasa biasa saja ketika
melakukan kesalahan dan dosa walaupun banyak orang lain yang mengetahui apa yang telah
dilakukannya.
Islam menempatkan budaya rasa malu sebagai bagian dari keimanan seseorang. Orang yang
beriman pasti memiliki sifat malu dalam menjalani kehidupan. Orang yang tidak memiliki
rasa malu berarti seseorang bisa dikatakan tidak memiliki iman dalam dirinya meskipun
lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 (tujuh
puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan 'La
ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan,
danrasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melewati,
seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu,
seseorang akan berusaha mencari rezeki yang halal dan merasa menyesal jika tidak bisa
melakukan kebaikan setiap hari.

Apabila seseorang hilang rasa malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian
menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih
hina sampai ke derajat paling rendah. Rosulullah SAW bersabda,’’ Sesungguhnya Allah
apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang tersebut.
Apabila rasa malunya sudah dicabut, maka orang tersebut tidak menjumpainya kecuali
dijauhi. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci dan dijauhi, maka dicabutlah darinya
sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya
kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati,
dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati
kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya,
maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Sudah seharusnya sebagai insan yang beriman dan bertakwa harus selalu menjaga marwah
dirinya dan menjaga dari perasaan malu jika melakukan perbuatan yang tidak pantas,
meskipun tidak dilihat oleh orang lain, karena sedikit banyak akan membawa pengaruh dari
kwalitas keimanan seseorang.
Sifat rasa malu
Ada tiga macam sifat malu yang perlu melekat pada seseorang.
Sifat pertama, rasa malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh dihadapan
Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Rasa malu ini mendorongnya
meningkatkan kuantitas amal soleh serta pengabdian seseorang kepada Allah SWT dan umat
manusia.
Sifat kedua, rasa malu kepada sesame manusia.
Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran dan tuntunan
agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran rasa
malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya
dari Allah karena ia terpelihara dari dosa.
Sifat ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan
hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan
meninggalkan kewajiban selama meyakini sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan maha
melihat apa yang diperbuat hambanya.
Mengingat sifat malu merupakan hal yang sangat penting sebagai benteng pertahanan untuk
memelihara akhlak seseorang dan sumber utama dari kebaikan, maka sifat inilah yang perlu
dimiliki dan dipelihara dengan baik oleh setiap individu muslim baik didalam kantor,
lingkungan masyarakat, keluarga dan dimanapun berada, karena sifat malu dapat memilihara
serta menjaga dan menunjukkan keimanan seseorang.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-dirjen/pojok-dirjen-badilag/rasa-malu-
menggambarkan-kwalitas-keimanan-seorang-muslim
Apa yang dimaksud dengan budaya dalam Islam?
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta, rasa dan karsa manusia yang berlandaskan
pada nilai nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan
berkembang. Perkembangan kebudayaan yang didasari dengan nilai-nilai keagamaan
menunjukkan agama memiliki fungsi yang demikian jelas.
http://abufarabial-banjari.blogspot.com/2012/01/dampak-buruk-dari-hilangnya-rasa-
malu_26.html

Anda mungkin juga menyukai