Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Malu

Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang
rendah atau kurang sopan. Agama Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifatmalu
karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat
malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak dari orang beriman. Orang yang memiliki sifat
ini jika melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya makan akan menunjukkan
rasa penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa malu, merasa biasa saja ketika
melakukan kesalahan dan dosa walaupun banyak orang lain yang mengetahui apa yang telah
dilakukannya.

Islam menempatkan budaya rasa malu sebagai bagian dari keimanan seseorang.
Orang yang beriman pasti memiliki sifat malu dalam menjalani kehidupan. Orang yang tidak
memiliki rasa malu berarti seseorang bisa dikatakan tidak memiliki iman dalam dirinya
meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70
(tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan
'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan,
danrasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melewati,
seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu,
seseorang akan berusaha mencari rezeki yang halal dan merasa menyesal jika tidak bisa
melakukan kebaikan setiap hari.

Apabila seseorang hilang rasa malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina
kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Rosulullah SAW bersabda,’’
Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari
orang tersebut.
Apabila rasa malunya sudah dicabut, maka orang tersebut tidak menjumpainya
kecuali dijauhi. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci dan dijauhi, maka dicabutlah
darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati
dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan
dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu
dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut
darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).

Sudah seharusnya sebagai insan yang beriman dan bertakwa harus selalu menjaga
marwah dirinya dan menjaga dari perasaan malu jika melakukan perbuatan yang tidak pantas,
meskipun tidak dilihat oleh orang lain, karena sedikit banyak akan membawa pengaruh dari
kwalitas keimanan seseorang.1

B. Macam-Macam Malu

Malu dibagi tiga macam:

Pertama, malu kepada Allah. Jika seseorang malu kepada Allah, ia akan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah bersabda, “Malulah kalian kepada
Allah dengan sungguh-sungguh rasa malu. Kemudian nabi ditanya, “Bagaimana caranya
malu kepada Allah?” Dijawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan
makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah
memiliki rasa malu kepada Allah Swt.” Malu seperti inilah yang akan melahirkan buah
keimanan dan ketakwaan.

Kedua, malu kepada manusia. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada manusia,
maka ia akan menjaga pandangan yang tidak halal untuk dilihat. Seorang ahli hikmah pernah
ditanya tentang orang fasik. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjaga
pandangannya, suka mengintip aurat tetangganya dari balik pintu rumahnya.” Orang yang
punya rasa malu kepada manusia tidak akan berani melakukan dosa di hadapan orang lain.
Jangankan dosa, melakukan kebiasaan jeleknya saja dia malu jika ada orang yang melihatnya.
Termasuk bagian dari malu kepada manusia adalah mengutamakan orang yang lebih mulia
darinya. Menghargai ulama dan orang saleh. Memuliakan orangtua dan gurunya.

1
Ridwan Anwar, 2020, https://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-dirjen/pojok-dirjen-badilag/rasa-malu-
menggambarkan-kwalitas-keimanan-seorang-muslim
Merendahkan diri di hadapan mereka. Orang yang masih punya rasa malu kepada orang lain
akan dihargai dan disegani. Masyarakat mau mendengarkan pendapat dan nasihatnya.

Ketiga, malu kepada diri sendiri. Ketika orang punya malu kepada dirinya sendiri, dia
tidak akan melakukan perbuatan dosa ketika sendirian. Ia malu jika ada orang yang melihat
perbuatannya. Dalam kalimat hikmah dikatakan, “Siapa yang melakukan perbuatan ketika
sendirian yang ia malu melakukannya saat dilihat orang, maka ia tidak berhak mendapatkan
kemulian.” Kalimat hikmah yang lain mengatakan, “Hendaknya malu kepada diri sendiri
lebih besar dibanding malu kepada orang lain.”

Rasulullah saw. adalah figur yang sempurna dalam akhlak malu. Beliau tidak pernah
menjulurkan kakinya ketika sedang duduk bersama sahabatnya. Pada suatu hari beliau lewat
dan berpapasan dengan orang yang sedang mandi. Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia,
sesungguhnya Allah maha hidup, maha lembut, dan maha menutupi. Allah cinta pada rasa
malu dan menutup diri. Jika kalian mandi maka lindungilah diri kalian dari pandangan
orang.”

Aisyah ra. adalah putri yang sangat pemalu dan menjaga kehormatan dirinya. Suatu
saat beliau pernah bercerita, “Ketika aku masuk ke rumahku yang di dalamnya terdapat
makam Rasulullah (suamiku) dan ayahku Abu Bakar, aku menampakkan sebagian auratku,
dalam hati aku berkata, “Sesungguhnya aku sedang berada di kuburan suamiku dan ayahku.”
Akan tetapi, ketika Umar bin Khattab meninggal dan makamkan di samping suami dan
ayahku, aku tidak pernah menampakkan auratku lagi, karena malu kepada Umar.” Bisa
dibayangkan akhlak malu yang dimiliki Aisyah, hingga kepada orang sudah berada di dalam
kubur.

Inilah tiga macam malu yang dianjurkan. Selanjutnya kita hindari sifat malu yang
dilarang. Yaitu malu ketika akan melakukan kebaikan, malu ketika membela ajaran Islam,
malu berkata jujur, malu mengingkari kemungkaran dan membela kebenaran. Orang yang
malu dalam kebaikan tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Wallahu a’lam.

C. Hadist-hadist malu sebagian dari iman

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda,


ٌ‫ ْعبَة‬$ ‫ش‬ ِ ‫ضلُ َها قَ ْو ُل الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ ْدنَاهَا ِإ َماطَةُ اَأل َذى َع ِن الطَّ ِر‬
ُ ‫ا ُء‬$$َ‫يق َوا ْل َحي‬ َ ‫ش ْعبَةً فََأ ْف‬
ُ َ‫ستُّون‬ ْ ِ‫س ْبعُونَ َأ ْو ب‬
ِ ‫ض ٌع َو‬ َ ‫ض ٌع َو‬
ْ ‫اِإل ي َمانُ ِب‬
‫ان‬
ِ ‫ِمنَ اِإل ي َم‬

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha
illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”2

Hadits di atas dibawakan oleh Nabi di antaranya untuk menjelaskan bahwa iman itu memiliki
banyak cabang, ada yang bersumber dari perkataan, ada yang bersumber dari perbuatan,
demikian pula ada yang berasal dari dalam hati. Di antara amalan hati yang merupakan
keimanan adalah rasa malu, jika seorang manusia memiliki rasa malu maka itu adalah tanda-
tanda keimanan pada dirinya.

Bahkan dalam hadits tersebut, Nabi ‫ ﷺ‬menyebutkan malu secara khusus padahal amalan hati
itu sangat banyak. Sebagian ulama mengatakan,

‫ان‬
ِ ‫ب اِإْل ْي َم‬ ُ ‫ب اَأْل ْق َوى فِي قِيَ ِام ا ْل َع ْب ِد بِ َج ِم ْي ِع‬
ِ ‫ش َع‬ َّ ‫َأِلنَّ ا ْل َحيَا َء ه َُو ال‬
ُ َ ‫سب‬

“Hal ini disebabkan karena rasa malu merupakan sebab terkuat bagi seorang hamba untuk
bisa melaksanakan seluruh cabang-cabang keimanan yang lain.”3

Jika dia punya rasa malu kepada Allah maka dia akan menjalankan perintah Allah ‫ ﷻ‬dan
akan meninggalkan larangan Allah. Demikian jika dia memiliki rasa malu kepada manusia
maka akan mendorong dia untuk berbuat baik kepada orang-orang di sekitarnya dan tidak
menzalimi mereka. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah melewati
seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya karena sangat pemalu, maka Rasulullah
‫ ﷺ‬bersabda,

‫ـان‬ َ ‫ فَِإنَّ ا ْل‬،ُ‫َد ْعه‬


ِ ‫ـحيَا َء ِمنَ اإل ْي َم‬

2
HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35.
3
Fathul Bari, 1/75.
“Biarkan dia karena rasa malu adalah bagian dari Iman.”4

Rasa malu adalah perangai yang bisa mengantarkan manusia melakukan perkara-perkara
wajib dan meninggalkan dosa serta maksiat. Nabi bersabda,

‫ق ا ْل َحيَا ِء‬
َّ ‫ست َْحيُوا ِمنَ هَّللا ِ َح‬
ْ ‫ا‬

“Malulah kalian kepada Allah dengan benar-benar malu.”5

Seorang yang memiliki rasa malu akan terbentengi dari kemaksiatan karena dia malu kepada
Allah yang telah memberinya begitu banyak kenikmatan. Demikian pula dia akan malu jika
meninggalkan ketaatan karena malu kepada Allah yang telah memberinya begitu banyak
kemudahan. Oleh karena itu, tatkala Allah berfirman tentang kisah Nabi Yusuf n saat dirayu
oleh Zulaikha,

‫اي ۖ ِإنَّهُ اَل يُ ْفلِ ُح‬ َ ‫ا َذ هَّللا ِ ۖ ِإنَّهُ َربِّي َأ ْح‬$$‫ا َل َم َع‬$$َ‫كَ ۚ ق‬$$َ‫اب َوقَالَتْ َهيْتَ ل‬
َ ‫ َو‬$‫نَ َم ْث‬$ ‫س‬ َ ‫ت اَأْل ْب َو‬
ِ َ‫س ِه َو َغلَّق‬
ِ ‫َو َرا َو َد ْتهُ الَّتِي ُه َو فِي بَ ْيتِ َها عَن نَّ ْف‬
َ‫الظَّالِ ُمون‬

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke
sini”. Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS. Yusuf:
23)

Para ulama menafsirkan‫ َربِّي‬di sini dengan dua tafsiran,

Pertama, tuanku, yaitu suami Zulaikha itu sendiri. Dia malu kepadanya karena telah
memberinya kebaikan yang begitu banyak, tidak mungkin Yusuf akan mengkhianatinya dan
membalas air susu dengan air tuba.

4
HR. Bukhari no. 44 dan Muslim no. 36.
5
HR. Tirmidzi no. 2458.
Kedua, Allah ‫ﷻ‬. Yusuf malu jika bermaksiat kepada Allah yang telah memberinya begitu
banyak kebaikan, seakan-akan tidak tahu berterima kasih.

Bahkan ketika seseorang bersendiri, rasa malunya akan menghalangi untuk bermaksiat
karena dia malu dan dia takut kepada Allah ‫ﷻ‬. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas menafsirkan
firman Allah ‫ﷻ‬,

ِ ‫ست َْخفُونَ ِمنَ هَّللا‬ ِ ‫ست َْخفُونَ ِمنَ النَّا‬


ْ ‫س َواَل َي‬ ْ ‫َي‬

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah.” (QS. An-
Nisa’: 108)

Ibnu Abbas menafsirkannya dengan ِ ‫ت َْحيُ ْونَ ِمنَ هَّللا‬$ ‫س‬ ِ ‫ت َْحيُ ْونَ ِمنَ النَّا‬$ ‫س‬
ْ َ‫س َواَل ي‬ ْ َ‫ ي‬yaitu mereka malu
kepada manusia namun tidak malu kepada Allah ‫ﷻ‬. Sehingga ia bermaksiat ketika manusia
tidak melihatnya, adapun jika manusia melihatnya dia malu bermaksiat.6

Demikian juga rasa malu kepada manusia akan mengantarkannya untuk berbuat baik. Karena
dia malu jika orang tuanya, atau istrinya, anaknya, tetangganya, dan orang-orang di
sekitarnya melihatnya berbuat buruk. Jika dia berbuat buruk maka dia akan jadi bahan
omongan mereka. Atau hal tersebut sebenarnya boleh tapi bisa menurunkan muruah-nya di
tengah orang-orang terdekatnya. Berkata Al-Ghazali,

“Rasa malu termasuk akhlak yang paling tinggi derajatnya dan paling banyak manfaatnya.
Dengan rasa malu seseorang akan berusaha untuk melakukan akhlak-akhlak yang mulia dan
memiliki sifat-sifat terpuji. Dengan rasa malunya pula dia akan berusaha meninggalkan
akhlak-akhlak yang buruk. Dengan rasa malu dia akan mengetahui kedudukan setiap orang
dan akan menyikapi sesuatu kedudukan mereka masing-masing. Dengan rasa malu dia akan
membersihkan lisannya dari kata-kata yang keji, dari mencela orang lain, dan dia akan
berbicara secukupnya saja. Dia juga akan malu apabila ada keburukannya yang diketahui atau
nama baiknya dicoreng. Apabila engkau mendapati seseorang merasa tidak enak apabila
melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas, atau engkau melihat rona-rona merah di
wajahnya jika muncul perbuatan yang tidak pantas dari dirinya maka ketahuilah hatinya itu
pemalu.”7

6
Tanwir Al-Miqbas, 79.
7
Khuluq Al-Muslim, 196.
Inilah contoh gambaran rasa malu yang bisa mengantarkan seseorang kepada perbuatan-
perbuatan yang mulia dan menghalangi orang dari perbuatan-perbuatan yang buruk.
Demikianlah seharusnya fungsi rasa malu, bukan sebaliknya, rasa malu yang
mengantarkannya meninggalkan perkara-perkara yang baik. Karena jika demikian maka
bukan lagi rasa malu namanya tetapi sifat pengecut, seperti malu untuk menuntut ilmu. Oleh
karena itu, ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata,

ِ ‫صا ِر لَ ْم يَ ُكنْ يَ ْمنَ ُع ُهنَّ ا ْل َحيَا ُء َأنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الد‬


‫ِّين‬ َ ‫سا ُء اَأل ْن‬ َ ِّ‫نِ ْع َم الن‬.
َ ِ‫سا ُء ن‬

“Sebaik baik wanita adalah wanita kaum Anshar, rasa malu tiada menghalangi mereka untuk
belajar ilmu agama.”8

Sebagaimana kisah Ummu Sulaim i, beliau bertanya kepada Nabi ‫ﷺ‬:

ِ ‫ ِإ َذا َرَأ‬،‫ «نَ َع ْم‬:‫احتَلَ َمتْ ؟ فَقَا َل‬


‫ت ال َما َء‬ ْ ‫ فَ َه ْل َعلَى ال َم ْرَأ ِة ُغ‬،ِّ‫الحق‬
ْ ‫س ٌل ِإ َذا‬ ْ َ‫ ِإنَّ هَّللا َ الَ ي‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬
َ َ‫ستَ ِحي ِمن‬ ُ ‫»يَا َر‬

“Wahai Rasullah, sesungguhnya Allah ‫ ﷻ‬itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah
wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda, ‘Ya, jika ia melihat air
(mani)’.”9

Dari sini diketahui, rasa malu secara umum adalah akhlak yang mulia. Jika seseorang
memiliki anak yang mempunyai rasa malu maka dia harus bersyukur, terutama anak-anak
perempuan karena keindahan perempuan ada pada rasa malunya.

8
HR. Muslim no. 332.
9
HR. Al Bukhari 6121 dan Muslim 313.

Anda mungkin juga menyukai