Anda di halaman 1dari 4

Nomor Dokumen BPI/TD/2A/SKL- 3/2021

Pertemuan 6
Materi Adab Terhadap Orang Lain
Standar Kompetensi 3. Berkepribadian matang, Berakhlak Mulia dan bermanfaat
bagi orang lain
Kompetensi Dasar 3.2 Tidak memotong pembicaraan orang lain
3.3 Tidak mencibir dengan isyarat apapun
3.4 Tidak menghina dan meremehkan orang lain
Tujuan Pembelajaran 1. Berhati-hati dalam berbicara terhadap orang lain
2. Menghindari sikap mencemooh terhadap orang lain dengan
isyarat apapun.
3. Menghindari sikap menghina maupun meremehkan terhadap
orang lain

Tahukah kamubahwa menjaga lisan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat? Mengapa? Dalam sebuah peribahasa menyebutkan lisan diibaratkan pisau yang
apabila salah menggunakannya akan melukai banyak orang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati
saat mengeluarkan perkataan. Bagaimanakah cara agar perkataan kita dapat terkontrol saat
berbicara di hadapan orang lain? Pada pertemuan kali ini kita akan membahas materi tentang cara
menjaga adab saat berbicara dengan orang lain. Mari kita simak bersama-sama!

I. Pengantar
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan komunikasi dengan orang lain.
Baik secara langsung maupun menggunakan perantara. Komunikasi adalah bagian dari
kehidupan manusia sehari-hari. Karena sudah terbiasa, terkadang etika komunikasi
tidak diperhatikan. Padahal, etika merupakan hal penting dalam kehidupan sosial.
Dengan mengetahui dan menerapkan etika, kita akan terhindar dari perilaku buruk yang
membuat tidak nyaman di lingkungan masyarakat sekitar kita. Oleh karena itu, kita
harus menjadi teladan, agar dakwah dapat diterima.
Kita perlu belajar etika dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal
berkomunikasi. Meski banyak orang di sekitar kita banyak yang mengabaikannya,
namun itu bukan alasan untuk melakukan hal yang sama. Maka apa saja yang perlu kita
perhatikan ketika berbicara dengan orang lain? Mari simak materi ini dengan antusias!
II. Pendalaman Materi
A. Mendengarkan Orang Lain Saat Berbicara
Hendaknya kita benar-benar memperhatikan dan mendengarkan teman jika
sedang berbicara. Apabila kita ingin diperlakukan baik, hendaknya kita memperlaku-
kan orang lain dengan baik pula. Hal ini sebagaimana hadis yang artinya, “Tidak
sempurna iman seseorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya
segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Perhatikan contoh adab para salaf berikut yang benar-benar memperhatikan
adab ketika sedang berbicara dengan lawan bicara. Mereka benar-benar memper-
hatikan teman bicara sebagai bentuk penghormatan dan tidak disibukkan dengan
urusan lainnya. ‘Atha’ bin Abi Rabah berkata, “Ada seorang laki-laki menceritakan
kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-
olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah
mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.” (Siyar A’laam An-Nubala 5/86)
Ibnu Abbas menjelaskan tiga sikap yang baik ketika berbicara. Beliau berkata,
“Teman dudukku (teman bicara) mempunyai tiga hak yang menjadi kewajibanku;
aku arahkan pandanganku padanya jika berbicara, aku luaskan tempat duduknya
jika ia akan duduk (mempersilahkan dan beri tempat yang nyaman), dan aku
dengarkan seksama jika ia berbicara.” (‘Uyuunul Akhbaar 1/307)
Intinya adalah dalam berkomunikasi secara lisan dengan orang lain ada saatnya
kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengarkan tanpa memotong
pembicaraan pihak lawan bicara kecuali dalam hal-hal yang memang dibenarkan
secara syar’i.
B. Memuji Orang Lain
Allah Swt. berfirman dalam surah al-Hujurat ayat 11 berikut.

‫ َو َالاتَنَابَ ُز ْواا ِب ْالَ ْلقَا ِا‬...


...‫ب‬
“...dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk...”
Panggillah temanmu dengan julukan yang mengandung pujian, karena hal inilah
yang dianjurkan oleh Allah Swt.. Seperti, memanggil orang lain dengan yang mulia,
yang alim (berilmu), yang terhormat, dan sebagainya. Hindarilah memanggil julukan
yang mengandung celaan, karena hal itu dilarang oleh Allah Swt..
Perbuatan memanggil dengan gelar yang buruk merupakan perbuatan mencela
orang lain dan disebut dengan kefasikan. Istilah fasik maksudnya adalah keluar dari
ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena perbuatan semacam ini tidak pantas
dinamakan dan disandingkan dengan keimanan. Mencela orang lain berarti mencela
diri sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala pada surah al-Hujurat ayat 11 yang
artinya, “... Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri...”
Mengapa mencela orang lain disebut sama dengan mencela diri sendiri?
Penjelasan mengenai hal ini adalah sebagai berikut.
1. Setiap mukmin itu bagaikan satu tubuh, sehingga ketika dia mencela orang lain,
pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah
saudaranya sendiri. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin
yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling
menguatkan satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Jika mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalasnya, dan
begitulah seterusnya akan saling mencela. Padahal perbuatan tersebut dilarang
dan akan mendapat balasan dari Allah Swt.. Allah Swt. berfirman dalam surah
at-Taubah ayat 79 berikut.

َ ‫اوالَّ ِذ ْي َن‬
‫ال ايَ ِجد ُْو َنا‬ َ ‫ت‬ِ ‫صد َٰق‬
َّ ‫ام َن اا ْل ُم ْؤ ِمنِ ْي َن افِىاال‬ َّ ‫اَلَّ ِذ ْي َن ايَ ْل ِم ُز ْو َن اا ْل ُم‬
ِ ‫ط ّ ِو ِع ْي َن‬
ٌ َ‫عذ‬
‫اباا َ ِل ْي ٌما‬ َ ‫ام ْن ُه ْما‬
َ ‫ۖاولَ ُه ْما‬ ِ ُ‫اّٰللا‬ َ ‫ام ْن ُه ْما‬
‫س ِخ َر ه‬ ْ َ‫ا َِّلا ُج ْه َد ُه ْمافَي‬
ِ ‫س َخ ُر ْو َن‬
“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang
memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang
hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan
mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.”
C. Meghormati Orang Lain
Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi saw. pada Abu Jurayy Jabir
bin Sulaim. Wasiat yang pertama adalah jangan sampai menghina dan meremeh-
kan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah Swt.
...Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah saw., “Berilah wasiat kepadaku.”
Rasulullah saw. pun memberi wasiat, “Janganlah engkau menghina seorang pun.”
Abu Jurayy berkata, “Aku pun tidak pernah menghina seorang pun setelah itu, baik
kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.”
Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit
pun walau dengan berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum
kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan. Tinggikanlah sarungmu
sampai pertengahan betis. Jika enggan, engkau bisa menurunkannya hingga mata
kaki. Jauhilah memanjangkan kain sarung hingga melewati mata kaki. Penampilan
seperti itu adalah tanda sombong dan Allah tidak menyukai kesombongan. Jika ada
seseorang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui
ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau
ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (H.R. Tirmidzi)
Diantara wasiat Rasul saw. dalam hadis di atas adalah jangan menghina orang
lain. Setelah Rasul menyampaikan wasiat ini, Jabir bin Sulaim pun tidak pernah
menghina seorangpun. Dalam surat al-Hujurat ayat 11, Allah Swt. memberikan kita
petunjuk dalam berakhlak yang baik.
ٰٓ ٰ ‫س َخ ْر اقَ ْو ٌم ا ِ ّم ْن اقَ ْو ٍم اع‬
َ ‫َسىاا َ ْن ايَّك ُْونُ ْواا َخ ْي ًراا ِ ّم ْن ُه ْم‬
‫او َلا‬ ْ َ‫اال اي‬َ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َهااالَّ ِذ ْي َن ٰاا َمنُ ْو‬
ٰٓ ٰ ‫س ۤا ٍءاع‬
‫َسىاا َ ْنا َّيك َُّنا َخ ْي ًراا ِ ّم ْن ُه َّا‬
‫ن‬ َ ‫س ۤا ٌءا ِ ّم ْنا ِّن‬
َ ‫ِن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan)
perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik
dari perempuan (yang mengolok-olok).”
Ibnu Katsir berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan
meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam
kategori sombong sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya, “Sombong
adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (H.R. Muslim)
III. Tokoh Inspirasi
Menjadi Mulia
Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Dari Nafi’
bin ‘Abdil Harits, ia pernah bertemu dengan Umar di Usfaan. Umar memerintahkan Nafi’
untuk mengurus Makkah. Umar pun bertanya, “Siapakah yang mengurus penduduk Al
Wadi?”
“Ibnu Abdza” jawab Nafi’. Umar balik bertanya, “Siapakah Ibnu Abza?” “Ia adalah
salah seorang bekas budak dari budak-budak kami.” Jawab Nafi’. Umar pun berkata,
“Kenapa bisa kalian menyuruh bekas budak untuk mengurus seperti itu?”
Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang yang paham Kitabullah. Ia pun paham ilmu
faraid (hukum waris).” Umar pun berkata bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah
bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum bisa dimuliakan oleh Allah lantaran kitab ini,
sebaliknya bisa dihinakan pula karenanya.” (H.R. Muslim)
IV. Evaluasi
Praktikkanlah materi di atas dengan bahasan sebagai berikut.
1. Cara meminta ijin untuk berbicara di depan kelas dan guru/pembina.
2. Cara memotong perkataan yang mengandung gunjingan.
3. Cara meminta ijin sebelum berkunjung ke rumah paman atau teman orang tua.
4. Cara meminta tanda tangan guru atau kepala sekolah.
5. Cara meminta ijin ingin menemui kepala sekolah.

Anda mungkin juga menyukai