Anda di halaman 1dari 14

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Nama : UYUN WAHYUDIN, S.Pd.I


B. Judul Modul : AKHLAK terhadap DIRI SENDIRI dan ORANG LAIN
C. Kegiatan Belajar : LK 4
D. Refleksi : setelah membaca serta mempelajari materi kegiatan belajar
(KB.4) di modul Akhlaq terhadap diri sendiri dan orang lain. Betapa kedamaian
adalah harapan dan cita-cita manusia dibelahan bumi manapu. Dan menurut
hemat saya, Allha menyediakan aturan yang sangat sempurna demi terciptanya
kedamaian itu sendiri, yaitu tasamuh/ toleransi. Namun hal itu tetap kembali
kepada pribadi kitanya sebagai manusia.

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


A. al-Haya' (Malu)

1. Pengertian al-Haya' Menurut bahasa malu berarti merasa sangat


tidak enak hati seperti hina atau segan melakukan sesuatu karena ada
rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang menurut istilah
adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak enak apabila
meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba Allah Swt. dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya. Malu adalah sifat atau
perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah
atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan pemeluknya memiliki
sifat malu karena dapat menyebabkan akhlak seseorang menjadi
tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah
dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Perasaan malu muncul
dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya perasaan
malu tidak sama dengan perasaan bersalah. Rasa malu merupakan
Konsep (Beberapa istilah perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak
1 lain, yakni Allah semata.
dan definisi) di KB

2. Dalil tentang al-Haya' Salah satu landasan sifat malu ini adalah
merasa melihat Allah atau merasa dilihat Allah. Sebagaimana konsep
ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut: ِ

َ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تَكُ ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ َي َراك‬،ُ‫هللا َكأَنَّكَ ت ََراه‬


َ َ‫ أ َ ْن ت َ ْعبُد‬:َ‫قَال‬

Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah


Swt. seakanakan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa
kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit
sifat malu disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga
semakin hidup hati itu maka sifat malu pun semakin sempurna.
Beliau juga mengatakan, Sifat malu tergantung kepada pengenalan
terhadap Rabbnya. Atau dengan kata lain, malu adalah sifat yang
melekat pada diri seseorang terkait dengan kualitas imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah
saw. sebagai berikut:

‫ ْالـ َحيَا ُء‬: ‫سلَّ َم‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُّ ِ‫ قَا َل النَّب‬،‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ع ِن اب ِْن عُ َم َر َر‬ َ
)‫ فَإِذَا ُرفِ َع أ َ َحدُهُ َما ُرفِ َع اْالَ خ َُر (رواه الحاكم‬، ‫َو اْ ِإل ْي َمانُ قُ ِرنَا َج ِمـ ْي ًعا‬

Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda: Malu dan iman senantiasa
bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang
lainnya. (HR. Hakim)

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman


pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti
tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan
beriman. Rasulullah saw. bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60
cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha
illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan
(duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim). Apabila seseorang hilang malunya, secara
bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang
lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada
lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw. yang artinya: Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi
Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan
seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu. Sesungguhnya
apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali
dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah
dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai
pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan
dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut
darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk.
Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka
akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).

3. Macam-macam al-Haya' Ada tiga macam malu yang perlu melekat


pada seseorang, yaitu:

a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh


kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain.
Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan
pengabdian kepada Allah dan umat.

b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan


diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang
bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya
bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan
kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan
dosa.
c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan
berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama
meyakini Allah selalu mengawasinya. 107 Sifat malu begitu penting
karena sebagai benteng pemelihara akhlak

seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat
ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat
meneguhkan iman seseorang.

4. Hikmah Mempelajari al-Haya'

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah agar menyadari


bahwa memiliki rasa malu adalah bagian dari keimanan.

B. al-Khauf (Takut)

1. Pengertian al-Khauf Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-


amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, dan khauf adalah rasa takut.
Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak
mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat.
Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai
kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Bagi seorang muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan.
Karena akan mengantarkan pada satu keadaan spiritual yang
mendukung kualitas keberagamaan.

2. Alasan Memiliki Sifat al-Khauf Kenapa kita harus mempunyai


sifat khauf, ada beberapa alasan: Pertama, supaya ada proteksi diri.
Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu selalu
menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan tidak ada kata
berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus
membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu
ketika nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling-
guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya,
“Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada yang anda
rasakan ini.” Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan
sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita harus selalu
waspada terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling bersih dan
paling taat adalah di antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu
harus tetap dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada padanya,
kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.

3. Dalil tentang al-Khauf Sebagai dasar sifat al-Khauf ini,


Allah Swt. berfirman dalam surah an-Najm [53] ayat 32
sebagai berikut:

ࣖ ‫سكُ ْۗ ْم ه َُو ا َ ْعلَ ُم بِ َم ِن ات َّ ٰقى‬


َ ُ‫فَ ََل تُزَ ُّك ْْٓوا ا َ ْنف‬

“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa


yang paling bertakwa.” (Q.S. an-Najm [53]: 32). Berikutnya,
kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah
pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat
baik itu berat dan setan senantiasa akan mencegahnya dengan
berbagai cara. Allah Swt. berfirman:

ُ ‫ع ْن شَ َم ۤا ِٕى ِل ِه ْۗ ْم َو َال ت َِجد‬ َ ‫ث ُ َّم َ ٰالتِ َينَّ ُه ْم ِِّم ْۢ ْن َبي ِْن ا َ ْي ِد ْي ِه ْم َو ِم ْن خ َْل ِف ِه ْم َو‬
َ ‫ع ْن ا َ ْي َمانِ ِه ْم َو‬
َ‫ا َ ْكث َ َرهُ ْم ٰش ِك ِريْن‬

Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari


belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak
akan mendapatkan mereka banyak bersyukur. (Q.S. Al-‘Araf
[7]: 17) Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat
mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang
berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan untuk
melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang
bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi
yang tidak perlu”. Begitu pula orang-orang yang tekun
beribadah, mereka akan berjibaku apabila ia teringat surga
yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan
bidadari bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan
dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan
perhiasannya dan semua yang disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika
ditanya, Manakah yang lebih utama di antara sikap khauf dan
raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab dengan pertanyaan balik.
Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar, roti
lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar
dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar
porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.

4. Hikmah Mempelajari al-Khauf

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah agar


menyadari bahwa setiap manusia membutuhkan pertolongan
Allah.

C. ar-Rahiim (Kasih Sayang)

1. Pengertian ar-Rahiim Kasih sayang merupakan karunia


nikmat yang sangat didambakan oleh semua orang. Karena
dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan rasa
empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat
mendorong manusia untuk saling membantu untuk
meringankan penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya.
Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan
menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan
kepentingan orang lain. Islam, sebagai agama yang sempurna,
mempunyai konsep kasih sayang, memahami bahwa manusia
merupakan makhluk yang sempurna, dibekali dengan akal,
ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan
nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat
dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih
mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan perintah
Allah. Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang
yang diperbolehkan, supaya berakibat baik bagi semua pihak.
Konsep ibadah harus dipahami sebagai prinsip dalam
mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita, yakni
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt.
Dengan memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk
meniatkan diri beribadah kepada Allah dalam setiap hal yang
kita lakukan, termasuk dalam hati atau perasaan kita. Tidak ada
rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain
kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.

2. Dalil tentang ar-Rahiim

Hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang


artinya sebagai berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian
beriman sebelum kalian mengasihi”, (2)” Kasih sayang itu
tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian
kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk
seluruh umat manusia” (H.R. Thabrani). Islam, sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, juga
mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar
manusia, melainkan juga pada hewan, tumbuhan dan
lingkungan di sekitarnya. Pernah diceritakan Abu Bakar as-
Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh
Usamah bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang
tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-
pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang
berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak
berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat
ini, yang diberikan dalam keadaan perang, sungguh
mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama
Islam. Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan
juga untuk lingkungan di sekitarnya.

3. Contoh ar-Rahiim

Dalam Kehidupan Sehari-hari Perlu digaris bawahi bahwa


sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan prinsip
penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang
demikian itu justru akan memberikan energi negatif untuk
beramal yang salah, tidak diterima oleh Allah, dan akan
memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan
makhluk yang lain. Sebagai contoh adalah Saudara
menyayangi peserta didik Saudara sebagai anak didik yang
membutuhkan perhatian dan bimbingan terbaik, dengan
harapan Allah meridai. Kasih sayang yang dimaksud bukan
kasih sayang terhadap lawan jenis dengan diselimuti hawa
nafsu. Hal ini adalah perbuatan keliru karena tidak didasari
prinsip penghambaan diri kepada Allah. Saudara bisa
mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan
dengan materi ini.

4. Hikmah Mempelajari ar-Rahiim

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat


menguatkan hati selalu memberikan kasih sayang yang didasari
penghambaan pada Allah.

D. Pemaaf

1. Pengertian Pemaaf Pemaaf berarti orang yang rela member


maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf dapat dimaknai sikap
suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa
benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata
pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang
berarti maaf, ampun, dan anugerah. Maaf sejatinya mudah
dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam kehidupan
nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan
kesalahan yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan
biarlah terjadi. Memaafkan kesalahan orang lain berarti rida
dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak ada rasa marah
lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang
yang dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk
dan menyakitkan dirinya yang dilakukan oleh orang lain,
karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat kepada perintah
Allah untuk bisa memaafkan siapapun. Meski sifat pemaaf itu
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun masih
banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Jika banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka
jangan heran jika dendam di antara masyarakat kita tidak
mudah hilang. Dan jangan berharap akan ada ketenangan dan
ketentraman dalam masyarakat. Sebab itu memaksakan diri
untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf itu sangat
perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada
sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat
pemaaf, kita bisa mengambil pelajaran dari kisah para Rasul
dan sahabatnya.

2. Dalil tentang Pemaaf

Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang


pemaaf, melalui kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq
yang menjadi sebab-sebab diturunkannya ayat berikut ini:

َ‫س َع ِة ا َ ْن يُّؤْ ت ُ ْْٓوا اُو ِلى ْالقُ ْر ٰبى َو ْال َمسٰ ِكيْن‬ َّ ‫ض ِل ِم ْنكُ ْم َوال‬ ْ َ‫َو َال َيأْت َ ِل اُولُو ْالف‬
‫صفَ ُح ْو ْۗا ا َ َال ت ُ ِحب ُّْونَ ا َ ْن يَّ ْغ ِف َر ه‬
ُ‫َّللا‬ ْ ‫َّللا َۖو ْليَ ْعفُ ْوا َو ْل َي‬
ِ ‫س ِب ْي ِل ه‬َ ‫ي‬ ْ ِ‫َو ْال ُمهٰ ِج ِريْنَ ف‬
‫غفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ‫لَكُ ْم َْۗو ه‬
َ ُ‫َّللا‬
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak)
akan member (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang
miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nur [24]: 22)

Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah
saw.. Banyak kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai
pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat pemaafnya. Seperti
kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah
dengan menabur racun di makanan beliau, namun Rasulullah
terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya
kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa
menghukumnya. Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah
merupakan cara bagaimana kita bisa membangun kembali
tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam proses
membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput
dari kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman:

ۤ
ۡ َ‫عد ًُّوا لَّكُ ۡم ف‬
‫احذ َ ُر ۡوه ُۡمۚ َوا ِۡن‬ ِ ‫ٰياَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا ا َِّن ِم ۡن ا َ ۡز َو‬
َ ‫اجكُ ۡم َوا َ ۡو َال ِدكُ ۡم‬
‫غفُ ۡو ٌر َّر ِح ۡي ٌم‬ َ ‫ت َعۡ فُ ۡوا َوت َصۡ فَ ُح ۡوا َوت َۡغ ِف ُر ۡوا فَا َِّن ه‬
َ ‫َّللا‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-
istrimu dan anakanakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan
dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. at-Taghabun [64]:14)

Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak


yang mulia mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-
anak sekolah. Sikap pemaaf sangat diperlukan supaya dapat
menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga menjadi
panutan mereka.

3. Contoh Pemaaf dalam Kehidupan Sehari-hari Sebagai


contoh pada kehidupan sehari-hari Saudara, bisa
mengumpamakan dengan hubungan guru dan peserta didik.
Mungkin saudara pernah dimarahi oleh guru Saudara di masa
lalu, marahnya guru itu tidak akan terlupakan, namun sudah
saudara relakan sebagai kejadian yang sudah terjadi, dan
saudara tidak lagi marah atau dendam dengan guru Saudara.
Begitu pula dengan perlakuan orang tua Saudara di masa lalu,
mungkin ada hal yang membuat saudara marah kepada mereka,
kejadiannya tidak terlupakan, namun Saudara rela dengan
kejadian itu dan tidak ada lagi marah apalagi dendam kepada
orang tua Saudara. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-
banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini.

4. Hikmah Mempelajari Akhlak Pemaaf

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah meyakinkan


diri menjadi pribadi yang mudah memberi maaf kepada orang
lain.

E. Ikhlas

1. Pengertian Ikhlas Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus


dan rela. Dalam bahasa Arab, kata ‫صخ‬ ً ‫ ) ْإ ل‬ikhlas) merupakan
bentuk mashdar dari ‫ )أْ خل ص‬akhlasa) yang berasal dari akar
kata ‫ )خلص‬khalasa). Kata ini mengandung beberapa makna
sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa
(jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai) dan
I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan sebagai
perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam
Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208) Menurut istilah,
makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai berikut:

a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas


beragama untuk Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-
Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk
apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti
menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan
keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai
pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475).

b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah


melakukan amal kebajikan semata-mata karena Allah Swt.
(Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139) Sekilas apabila
diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari
batu-batu kecil (kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka
apabila beras itu dimasak akan terasa nikmat dimakan, karena
sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Coba bayangkan
jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga
mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut
karena masih ada yang mengganjal kenikmatan rasanya. Dari
ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah
segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat
merupakan titik penentu dalam menentukan amal seseorang.
Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas sampai ia
mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu dan ia hanya
menginginkan Allah Swt.

2. Dalil tentang Ikhlas

Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah


Swt. dan mengharapkan rida-Nya serta memurnikan dari segala
macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap
popularitas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta,
pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai
dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam Q.S. al-
An’am [6] ayat 162-163.

َ‫ّلِل َربِّ ِ ْالعٰ لَ ِميْن‬


ِ‫ي ِه‬ْ ‫اي َو َم َما ِت‬ ْ ‫ي َونُسُ ِك‬
َ َ‫ي َو َمحْ ي‬ َ ‫قُ ْل ا َِّن‬
ْ ِ‫ص ََلت‬
َ‫َال ش َِريْكَ لَهٗ َۚوبِ ٰذلِكَ ا ُ ِم ْرتُ َواَن َ۠ا ا َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِميْن‬

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku,


hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh
alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertamatama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-
163)

Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-


Bayyinah [98] ayat 5:

َ ‫ص ٰلوة‬
َّ ‫صيْنَ لَهُ ال ِدِّيْنَ ە ُحنَفَ ۤا َء َويُ ِق ْي ُموا ال‬ِ ‫َّللا ُم ْخ ِل‬ َ ‫َو َما ْٓ ا ُ ِم ُر ْْٓوا ا َِّال ِل َي ْعبُد ُوا ه‬
‫الز ٰكوة َ َو ٰذلِكَ ِديْنُ ْالقَ ِيِّ َم ْۗ ِة‬ َّ ‫َويُؤْ تُوا‬

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan


ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,
dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S.
alBayyinah [98]: 5)

Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya


hanya kepada Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya
terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya disekutukan
dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai
dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih,
maka akan merusak keikhlasan kita, sebagaimana Q.S. al-Insan
[76] ayat 9:
‫َّللا َال نُ ِر ْيد ُ ِم ْنكُ ْم َجزَ ۤا ًء َّو َال شُكُ ْو ًرا‬ ْ ُ‫اِنَّ َما ن‬
ِ ‫ط ِع ُمكُ ْم ِل َوجْ ِه ه‬
(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah,
kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.
(Q.S. al-Insan [76]: 9)

3. Sifat yang dapat Merusak Keikhlasan Ikhlas merupakan


bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata
sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang.
Untuk itu umat Islam harus berhati-hati terhadap sifat-sifat
yang dapat merusak keikhlasannya, di antaranya: a. Riya’,
yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha
Allah SWT., akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk
memperoleh pujian atau kemasyhuran, posisi, kedudukan di
tengah masyarakat, sebagaimana tergambar di dalam firman
Allah Swt. Q. S. al-Ma’un [107]: 4-7. Riya’ merupakan salah
satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya
secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang
melakukannya. Adapun tanda-tanda orang yang riya’, adalah:

1) Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau


disanjung oleh orang lain, akan tetapi menjadi berkurang atau
bahkan meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan
dan ejekan;

2) Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak,


akan tetapi malas apabila dikerjakan sendirian;

3) Mau memberi atau sedekah apabila 117 dilihat orang


banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya;

4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena


Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada
manusia.

b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan


kepada orang lain supaya mendapat penilain dan dihargai,
misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya sama dengan
riya’, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan
sehingga perlu diceritakan.

c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan


dan mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas
akan menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan
keimanan yang benar kepada Allah Swt. Bagaimana apa
Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai landasan
amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai
ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti
akhlaknya kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya
akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan
keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan
mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-
Nya kelak di hari perhitungan amal. Allah Swt. berfirman:

َ ‫ت َر ِبِّ ِه ْم َو ِلقَ ۤا ِٕى ٖه فَ َح ِب‬ ٰۤ ُ


‫ت ا َ ْع َمالُ ُه ْم فَ ََل نُ ِق ْي ُم لَ ُه ْم يَ ْو َم‬
ْ ‫ط‬ ِ ‫ولىِٕكَ الَّ ِذيْنَ َكفَ ُر ْوا ِب ٰا ٰي‬ ‫ا‬
ْ
‫ال ِق ٰي َم ِة َو ْزنًا‬

Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak


percaya) dengan ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-
Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal mereka. Kami tidak
akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak. (Q.S.
al-Kahfi [18]: 105)

4. Contoh Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari

Sebagai gambaran ikhlas yang sederhana adalah dari kondisi


Saudara sebagai guru. Ketika Saudara menyampaikan suatu
ilmu kepada peserta didik, dan ada kepuasan hati, serta ada
rasa tulus saat menyampaikannya, maka itu adalah bagian dari
ikhlas

5. Hikmah Mempelajari Ikhlas

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat


menyadari 118 bahwa setiap amal yang dilakukan perlu
dilakukan dengan ketulusan sepenuh hati. Serta sebagai bahan
mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh.
Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan
dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam! 119

F. Toleransi

1. Pengertian Toleransi Toleran merupakan predikat bagi orang


yang memiliki sifat toleransi. Toleransi secara bahasa berasal
dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti membiarkan.
Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap
toleran, mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab
kata toleransi disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap
membiarkan atau lapang dada. Tasamuh sendiri didefinisikan
sebagai pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada
kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian
yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat. Toleransi
menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan
membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan
dengan pendiriannya sendiri. Misalnya, perbedaan agama,
ideologi dan ras.

2. Dalil tentang Toleransi Dalam Al-Qur’an, sikap toleransi ini


banyak diulas baik secara eksplisit maupun implisit. Di antara
firman-Nya adalah sebagai berikut:

ࣖ َ‫َو ِم ْن ُه ْم َّم ْن يُّؤْ ِمنُ بِ ٖه َو ِم ْن ُه ْم َّم ْن ََّّل يُؤْ ِمنُ بِ ٖ ٖۗه َو َربُّكَ اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْف ِس ِديْن‬
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman
kepadanya (Al-Qur'an), dan di antaranya ada (pula) orang-
orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu
lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat
kerusakan”. (Q.S. Yunus [10]: 40)

Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah
kepada Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman
dengan Al-Qur’an ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat
dengan Al-Qur’an. Di saat yang bersamaan, di antara mereka ada
juga yang tidak mempercayaimu dan apa yang kau bawa. Mereka
akan mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan
seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang berhak mendapat
petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang berhak
mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah
yang Maha Adil yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-
masing sesuai haknya. Pada lanjutan ayatnya, secara lebih konkret
Allah mengajari Nabi untuk bersikap toleransi. Nabi diminta untuk
bersikap bebas jika orang-orang musyrik itu mendustakannya, maka
berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat tersebut sebagai
berikut:

ْ ۤ ‫ع َم ُل َواَن َ۠ا بَ ِر‬


‫ي ٌء‬ ْ َ ‫ع َملُكُ ۚ ْم ا َ ْنت ُ ْم بَ ِر ۤ ْيـُٔ ْونَ ِم َّما ْٓ ا‬
َ ‫ي َولَكُ ْم‬
ْ ‫ع َم ِل‬ ْ ِّ‫َوا ِْن َكذَّب ُْوكَ فَقُ ْل ِل‬
َ ‫ي‬
َ‫ِِّم َّما ت َ ْع َملُ ْون‬
“Dan jika mereka (tetap) mendustakan (Muhammad), maka
katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.
Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan
dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Yunus [10]: 41) Ayat berikutnya yang merupakan
ayat paling populer berbicara tentang toleransi bahkan utuh dalam
satu surat adalah surat al-Kafirun. Berikut bunyinya:

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa


yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku
sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, bagi
kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-6)

3. Maksud Toleransi dalam Al-Qur’an Dalam kitab tafsir Jalalain


dijelaskan bahwa maksud dari agama kalian adalah kesyirikan,
sementara maksud dari agamaku adalah Islam. Adapun menurut M.
Quraish Shihab dalam tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat
tersebut ialah ”Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.” Menurut
pendapat sebagian mufassir, ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw.
diperintahkan untuk memerangi mereka. Tentang peperangan, bukan
berarti Nabi tidak lagi mengindahkan toleransi. Peperangan yang ada
hanyalah bukti ketaatan Nabi kepada perintah Allah, dan dengan
alasan sebagai perlawanan saat Nabi dan kaum muslimin diserang
atau diperangi. Memahami Al-Qur’an tidaklah sempurna jika tidak
mempertimbangkan asbab al-nuzul ayat. Adapun asbab al-nuzul dari
surat al-Kafirun ini ialah adanya kaum kafir Quraisy berusaha keras
membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. agar mengikuti ajaran
mereka. Kaum kafir Quraisy menawarkan harta yang melimpah agar
Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dinikahkan dengan wanita paling
cantik, baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak
beliau. Dalam upaya ini, kaum kafir Quraisy mengatakan, “Inilah
wahai Muhammad yang kami sediakan untukmu, agar kamu tidak
memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun” Rasulullah pun
menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan
menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.” Karena
terjadinya peristiwa ini, maka Allah Swt. menurunkan wahyu kepada
Rasulullah berupa surat al-Kafirun. 121 Melalui wahyu ini, Allah
menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak tawaran mereka.
(HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas) Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengajukan
tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun,
maka kami akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun
pula.” Berdasarkan peristiwa ini, kemudian Allah Swt.
memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada
Rasulullah saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban
yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw.
menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara
terang-terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu
dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR.
Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij). Dari
beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah
sikap yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan
perdamaian dan kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di
dalamnya sarat dengan toleransi, Nabi berhasil membangun
peradaban Islam di tengah kemajemukan.

4. Contoh Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari


Gambaran toleransi yang ada di lingkungan kemasyarakatan, di
antaranya dengan sikap membiarkan masyarakat non muslim
beribadah, walaupun di tengah-tengah lingkungan masyarakat
mayoritas muslim. Tentu sebaliknya juga perlu dilakukan
masyarakat non muslim, saat kelompok muslim minoritas berada di
lingkungan non muslim mayoritas, perlu mengizinkan masyarakat
muslim mengumandangkan azan. Saling menghormati dan
memperbolehkan aktivitas peribadatan ini adalah bentuk toleransi
yang sudah terbangun di Indonesia sejak lama. Saudara bisa
mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan
materi ini.

5. Hikmah Mempelajari Toleransi

Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah mengetahui batasan


toleransi sesuai aturan yang tepat demi saling menjaga kemurnian
masingmasing keyakinan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi
ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta
didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri
sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain saling menghargai dan toleran.

Salah satu alat untuk menjaga kedamaian beragama, bernegara,


berbangsa, berbudaya adalah Toleransi. Namun pada kenyataannya
Daftar materi pada KB yang sangat sulit dalam pelaksanaannya, terlebih di di sebabkan dengan
2
sulit dipahami kemajuan teknologi yang amat sangat pesat, yang tidak di imbangi
dengan dasar kepribadian dan pemahaman yang cukup untuk
toleransi

Miskonsepsi yang timbul dalam pembahasan tentang kepribadian


seseoran dengan sikap toleransi akhir-akhir ini diantaranya :
Daftar materi yang sering
Dipertontonkannya sikap intoleran dengan mengatasnamakan
3 mengalami miskonsepsi dalam
toleransi
pembelajaran
Baik oleh oknum pejabat, oknum Habaib, Oknum, Ulama, Kiyai.
Yang mudah di akses, di tonton oleh setiap kalangan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai