Anda di halaman 1dari 9

Malu adalah sifat yang terpuji dan merupakan akhlak yang mulia, sifat malu

merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk, jika rasa malu


telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan ia lakukan, seperti
membunuh, zina, durhaka pada kedua orang tua dan lain-lain. Sebagaimana
pada zaman sekarang betapa banyak manusia dengan tidak ada rasa malu
melakukan kemaksiatan, seakan perbuatan tersebut bukan dosa,bahkan
menjadi sebuah kebiasaan atau adat.

Saudari muslimah …berikut ini akan kami jelaskan sedikit tentang rasa malu
dan keutamaannya agar kita terdorong untuk berusaha menanamkan sifat
mulia tersebut, lebih-lebih kita sebagai wanita, karena jika seorang wanita telah
hilang rasa malunya maka akan terjadi fitnah yang lebih besar
lagi. Nas’alullaha salamah  

Definisi Sifat Malu

 Imam An Nawawi menjelaskan:

Ulama berkata : hakikat malu adalah perangai yang mendorong seseorang


meninggalkan perbuatan jelek dan mencegah seseorang dari meninggalkan
hak-hak orang lain.

Malu adalah akhlak yang utama dan merupakan perhiasan manusia.

Fudhail bin iyadh menasehatkan,

“Lima diantara tanda-tanda kecelakaan : kekerasan hati, mata yang tidak


menangis, sedikit sifat malu, cinta dunia dan panjang angan-angan.”

Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam Madarijus Salikin :

“Kuatnya sifat malu tergantung kondisi hidup hatinya. Sedikit sifat malu
disebabkan oleh kematian hati dan ruh, sehingga semakin hidup hati itu maka
sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu darinya
tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya.”

Malu ada Dua Macam

Ibnu Rajab  menjelaskan,


“Ketahuilah bahwa malu itu ada dua macam,

Pertama, malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan.

Ini merupakan salah satu akhlak mulia yang Allah anugerahkan kepada
seorang hamba-Nya.

Rasulullah Shallallaahu’alaihi wasallam  bersabda,

‫الحياء ال يأتى اال بخير‬

“Sifat malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan ”.(HR. Bukhari 6117).

Malu jenis ini akan menghalangi seorang  dari melakukan perbuatan buruk dan
akhlak yang rendah, serta mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang
mulia.

Kedua, malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-
Nya, kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya dan karena keyakinan mereka
tentang Maha Tahu-nya Allah, mengetahui pandangan khianat dan sesuatu
yang terpendam dalam dada manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

ُّ ‫ ال‬E‫ ُت ْخفِي‬E‫َيعْ لَ ُم َخائِ َن َة اأْل َعْ ي ُِن َو َما‬


‫ص ُدو ُر‬

“Dia mngetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang di sembunyikan
oleh hati” (QS. Al Mukmin:19).

Malu jenis ini bagian dari buah iman yang dimiliki seorang hamba, bahkan
termasuk derajat ihsan yang paling tinggi.

Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini
akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk taat. Hal ini
seprti seorang hamba yang bekerja di hadapan tuanya,maka dia akan giat
dalam bekerja, berbeda jika dia bekerja tanpa di awasi oleh tuanya. Sedangkan
Allah  maha mengawasi hamba-hambaNya.

Keutamaan-keutamaan Sifat Malu

 Malu merupakan salah satu dari Sifat Allah Azza wa Jalla Yang Mulia


sebagaimana yang terdapat dalam hadits shohih, Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya Rabb kalian Tabaraka wa
Ta’ala Maha Malu dan Maha Dermawan, Dia malu terhadap hambaNya
yang menadahkan tangan kepadaNya lalu tangan itu kembali turun
hampa (tidak dikabulkan doanya). HR. Abu Dawud
dinyatakan Shohih oleh Al Albani. Kita menetapkannya (Sifat Malu)
sebagaimana Sifat-sifat Allah yang lain.

 Malu merupakan sunnah para Nabi dan Rasul. Dalam Asshohihain dari


Abu Sa’id Al Khudry-semoga Allah meridhainya- bahwasanya
Nabi Shallallaahu’alaihi wasallam lebih tinggi sifat malunya daripada
seorang gadis pingitan yang bersembunyi dalam kamarnya.

 Malu merupakan bagian dari keimanan sebagaimana dalam asshohihain


dari hadits ibnu umar -semoga Allah meridhainya- dia mengatakan
“Rasulullah Shallallaahu‘Alaihi wasallam melewati seorang anshor yg
sedang menasehati saudaranya tentang sifat malu sehingga seakan-
akan dia berkata “malu itu membahayakanmu” maka
Rasulullah Shallallaahu‘alaihi wasallam bersabda :

‫ الحياء من االيمان‬E‫ فان‬ ‫دعه‬

“Biarkanlah dia sesungguhnya sifat malu itu bagian dari keimanan (HR. Bukhari
/24 )

 Malu adalah suatu perangai yang menghasilkan sikap terpuji dan


pengaruh yang baik, dalam sebuah hadits Nabi Shallallaahu’alaihi
wasallam pernah bersabda : “Malu tidaklah membawa kecuali kebaikan “
(takhrij diatas)

 Sifat malu mengajak kepada ketaatan kepada Allah dan menjauhi


larangan-laranganNya.

Wahai saudari muslimah…malu memiliki kedudukan yang sangat agung dalam


syariat Islam terutama bagi kita sebagai seorang wanita. Jika seorang wanita
tidak lagi memiliki atau kurang rasa malunya maka berbagai kerusakan akan
terjadi dimuka bumi ini, dia tidak malu lagi menampakan aurat,
pacaran, ikhtilath dan maksiat lainnya.

Sungguh sifat malu benar-benar merupakan tameng bagi seseorang dari


perbuatan buruk, maka pupuklah rasa malu tersebut agar hati selalu terjaga
dan tidak terjerumus kedalam perbuatan yang mendatangkan murka Allah Azza
wa Jalla.

Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam Madarijus Salikin, “Sebagian orang arif


berkata

‘Hidupkanlah rasa malu dengan berkumpul bersama orang-orang yang memiliki


rasa malu. Hidupkanlah hati dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya
hilang dari hati,maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang tersisa.’”

Saudari muslimah….

Wajib bagi kita untuk mempelajari sebab-sebab yang dapat menumbuhkan rasa
malu agar kita menjadi wanita yang menghiasi diri dengan sifat malu baik
dalam ucapan dan perbuatan. Semoga Allah memberikan Taufik-Nya dan
menjadikan kita wanita yang sholihah dan semoga Allah memasukan kita
kedalam surgaNya yang tinggi dan penuh dengan rahmat. Washallallahu ‘ala
nabiyina muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8705-sifat-malu-dan-
keutamaannya.html
“Tujuh puluh lima cabang, yang utama ialah kalimat La ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan
gangguan di jalanan, dan malu itu satu cabang dari iman.” [2]
Rasa malu juga warisan para nabi, “Di antara yang bisa diperoleh manusia dari pesan para nabi terdahulu adalah
kalau engkau tidak malu, silakan berbuat sesukamu.” [3]
Keanekaragaman Malu:
1. Malu dari Allah:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla malu jika seorang hamba membentangkan kedua tangannya kepada-Nya
seraya meminta kebaikan, lalu ditolaknya dengan sia-sia.” [4]
2. Malunya Rasulullah:
“Rasulullah itu lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya.” [5]
Rasa malu yang dimiliki Rasulullah adalah rasa malu melakukan kesalahan dan maksiat.
3. Malunya seorang pemuda tampan nan elok rupawan kepada Allah:
Dan wanita (Istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya
(kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada
Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan
beruntung. [6]
4. Malu ala gadis desa:
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata:
“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai
dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.” [7]
5. Malu kepada orang yang sudah meninggal:
Fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di
dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku.
Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu
kepada ‘Umar. [8]
6. Saya malu. Anda jugakah…….???
Sebagai manusia normal nan lemah tak berdaya yang juga pernah memiliki sebuah hasrat kepada seorang
“AKHWAT” yang di idamkan oleh “IKHWAN” (Studi Normatif), walaupun si dia tidak tahu kalau ada seorang
pemuda yang mempunyai kecenderungan padanya dan tidak pula ada yang tau siapa akhwat itu sebenarnya kecuali
Allah dan saya. (When the Love is unspoken)
Ah…. saya malu untuk mengungkapkan rasa, karena saya tahu kalau saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk
launching isi hati seraya memohon ampun kepada Allah atas penyakit hati (kecenderungan yang sebenarnya
tidaklah halal) yang tak di sengaja  dengan belajar melupakannya dalam sejarah hidup saya walau ini bukanlah
mudah hingga waktu indah itu tiba (Insya Allah), biarlah detik demi detik yang menjawab, toh kalaupun sudah
dilamar orang itu tandanya dia bukanlah tulang rusuk  yang  sementara terpisah dan lebih tepatnya bukan jodoh,
hehehe….
Seorang sahabat pernah berkata: ‘‘Cinta itu candu, sekali dia jatuh, jatuh dan terjatuh….maka sulit untuk bangkit
kecuali dengan perjuangan lebih.”
Wajar saja kalau salah satu sahabat saya pernah hancur lebur hatinya hingga meneteskan air mata karena cintanya
kepada seorang akhwat dambaan berakhir dengan sebuah ketidakpastian alias ditolak. Masya Allah….
Orang bijak berkata:
”Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, melainkan ia berupa dialog antara dua insan yang bersatu dan
melebur dalam ikatan suci pernikahan tanpa pemaksaan kehendak.”
”Cinta juga harus diperjuangkan karena ia adalah anugerah terindah dari Allah dengan terus memohon ridha-Nya

Ditambahkan:
“When people give their feelings to others, they do so without expecting anything in return. If one just considers
their gains and losses, then those aren’t true feelings.”
Malu yang terpuji:
Betapa dicontohkannya oleh wanita kaum Anshar yang tidak terhalang oleh rasa malu untuk mempelajari agama
Allah khususnya dalam masalah fiqih kewanitaan dan yang berhubungan dengan keluarga (mudah-mudahan Allah
memberikan rahmat kepada wanita Anshar).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk bertanya tentang masalah agama.” [9]
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/25/17026/malu/#ixzz5zfufcjql
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Malu yang kurang baik:


1. Sedikit cerita… Ketika rekan saya mengeluh akan piutang dari temannya yang enggan membayar hingga waktu
yang amat lama dan belum ada ucapan ‘’maaf’’ atau pemberitahuan darinya kalau ‘’saya lom punya uang, nanti yaa
dibayar’.
Lalu saya tanyakan padanya, kenapa tidak kamu tagih aja bro sama dia…??? “MALU” jawabnya… Halah….
”Seharusnya kan peminjam yang malu, bukan yang dipinjami’’ (begitu jawaban logis yang terbesit di benak saya)
hehe, atau mungkin dia lupa karena sudah terlalu larut, makanya harus di ingatkan dengan baik, ”sambung saya pada
seorang rekan”.
Katanya malu tapi mengeluh, justru rasa malu inilah yang harus dihindarkan, padahal niat kita baik, kita juga butuh
uang dan yang terpenting adalah cara penyampaiannya yang sopan tanpa menyinggung perasaan apalagi menyakiti
hati si peminjam uang. Toh manusia adalah hewan berakal yang bisa disentuh dengan bahasa hati sekeras apapun
dia. Insya Allah…
2. Malu untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran.
Sejatinya malu itu mendorong:
1. Sang penguasa untuk adil
2. Para menteri untuk tunduk runduk pada atasan.
3. Pimpinan KPK terpilih berkomitmen menuntaskan kasus korupsi
4. Para penegak hukum untuk amanah.
5. Para pegawai untuk lebih disiplin
6. Rakyat bersatu dan turut berperan aktif dalam membangun negeri
7. Umat Islam dari segala unsur berjalan bersama
8. Para pelajar bersungguh-sungguh  mencari ilmu dan haus prestasi
9. Para pengusaha untuk lebih profesional
10. Orang kaya menjadi lebih peka dan gemar berbagi
11. Pedagang menjadi lebih jujur
12. Para wartawan obyektif dalam menyajikan berita
13. Anak berbakti kepada orangtua
14. Istri taat dan patuh pada suami
15. Manusia untuk senantiasa berbuat baik
16. Kaum hawa lebih feminis dan rapih dalam berbusana  sesuai ajaran Islam
17. Para lajang untuk segera merubah statusnya.
18.  Silakan jika mau menambahkan …

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/25/17026/malu/#ixzz5zfus3UBo
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah
akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga,
sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang
wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Apa sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata,
“Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari
kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”
Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan karunia sekaligus
melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang
Pemberi Rezeki.”
Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:
1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah
karena malu mendengar ucapan jorok.
2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat maksiat karena malu atas
muraqabatullah (pantauan Allah).
3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan
orang banyak.
Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu
sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR.
Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)
Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu dalam diri seseorang yang tidak
beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan iman yang kuat
kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan iman keduanya sejajar
bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar.
Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi
dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-
hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah
saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)
Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk
dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-
kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata
Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang
buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor
1932)
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat
malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan
muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak
ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita,
semua diketahui oleh Allah swt.
Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt.
Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau
menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu
jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya
Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu
kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut
dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam
akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat
malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)
Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang
berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat
malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-
Anshariyah.
Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri
Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada
kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air
(keluar dari kemaluannya karena mimpi).'” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)
Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu
ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang
muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.”
Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana
lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!”
Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak
bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.
Jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat
mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut
tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini
menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi.
Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa
saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor
3225).
Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki,
sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).
Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu. Mereka bisa melakukan apa
saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya aturan.
Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna
yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!
Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak
membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu. Bila rasa malu telah dicabut, maka engkau
tidak akan menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya kecuali
sebagai orang yang murka dan dimurkai, maka dicabutlah pula darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut
darinya, maka engkau tidak akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila engkau tak
menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan dicabut darinya. Bila rahmat itu dicabut
darinya, maka engakau tidak akan menemukannya selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak
menemukannya selain sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu kata Salman.
(HR. Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya lemah, tapi shahih)
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia
menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita
di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan
belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka.
Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu,
dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang
setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt.
memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan mereka.
Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai
profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang
fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung
keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak bisa terhindari.
Untuk yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin mengatakan di sini bahwa kata
ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita adalah kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal
oleh warisan budaya kita pada sejarah abad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui selain pada masa ini. Mungkin
saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih
cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti pertemuan—atau musyarakah
(keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau hukum
umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan adanya aktivitas tersebut atau maslahat yang
mungkin terjadi dan bahaya yang dikhawatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang harus
diperhatikan di dalamnya.”
Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab itu adalah:
1. Ada pembatasan tempat pertemuan
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan
jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun
membayangkannya
Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian, batasi diri dalam
berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!
Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial
bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat
malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt.
melihat setiap polah dan desiran hati yang tersimpan dalam dadanya. []

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/21/405/sifat-malu-kaum-wanita/#ixzz5zfvZnPTV
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai