Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGERTIAN DAN HAKIKAT FATWA SERTA PERKEMBANGAN DAN


PERGESERAN PEMAKAIAN ISTILAH FATWA, KEDUDUKAN DAN FUNGSI
FATWA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

KELOMPOK 1

RATU CANTIKA TARA


HAMKA

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelsaikan makalah tentang “Fatwa dewan syariah nasional”. Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang “Fatwa dewan syariah
nasional” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap kami semua.
Amiin.
Ciamis, Maret 2021
Penyusu
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelsaikan makalah tentang
“PENGERTIAN DAN HAKIKAT FATWA SERTA PERKEMBANGAN DAN
PERGESERAN PEMAKAIAN ISTILAH FATWA, KEDUDUKAN DAN FUNGSI
FATWA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap kami semua. Amiin.
Parepare, 27 maret 2023

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan. Kedua adalah
sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman
masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas
dalam kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat
banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di
Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum
mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam
sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para imam yang terkenal
kedalaman pemahamnan dan ilmu mereka. Orang awam tidak dibenarkan memberikan
fatwa, karena ini akan menjerumus kepada kekacauan dan memberikan fatwa tanpa ilmu.
Karena itu sebenarnya terdapat kualifikasi untuk jabatan yang penting ini

B. Rumusan Masalah
1. jelaskan apa yang dimaksud dengan fatwa beserta hakikatnya ?
2. jelaskan seperti apa perkembangan dan pergeseran pemakaian istilah fatwa ?
3. jelaskan bagaimana kedudukan dan fungsi fatwa dalam persfektif historis ?

C. Tujuan Pembahasan

1. mengetahui apa yang dimaksud dengan fatwa ?


2. mengetahui seperti apa perkembangan dan pergeseran pemakaian istilah fatwa ?
3. dapat menjelaskan bagaimana kedudukan dan fungsi fatwa dalam
persfektif historis ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Fatwa dan Hakikat fatwa

Fatwa menurut bahasa berarti jawaban dari suatu kejadian (peristiwa), yang
merupakan bentukan sebagaimana dikatakan oleh Zamakhsyari dari kata al-fatā (pemuda)
dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah) menurut Amir
Syarifuddun, ilfta berasal dari kata afta, yang artinya memberikan penjelasan. Menurut
kamus Lisan al-Arab, fatwa berarti menjelaskan.1

Pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara dalam suatu
persoalan menjadi sebuah jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas
identitasnya maupun tidak, serta berbentuk perseorangan atau kolektif. Sedangkan dalam
kamus Bahasa Indonesia mengartikan fatwa sebagai jawaban (keputusan, pendapat) yang
diberikan oleh mufti tentang suatu masalah. Fatwa juga bermakna nasihat orang alim,
pelajar baik, petuah. Sehingga dapat disimpulkan fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti
terhadap peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Fatwa itu sendiri lebih khusus dari
pada fikih, Fatwa berasal dari kata bahasa arab alifta’, al-fatwa yang secara sederhana
berarti pemberian keputusan. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan
gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar.2

Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam lisan al-arab menyatakan, Aftaahu Fi Al-Amr
Abaanahu Lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah
menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa Aftaa Al-Rajulu Fi Al-Mas’alah (seorang

1
S Ma’unah, http://etheses.iainkediri.ac.id/2312/3/931341114%20BAB%20II.pdf, diakses pada hari senin, 27
maret 2023.
2
A-Raazi dalam FAridatus Suhadak, Urgensi Fatwa Dalam Perkembangan Hukum Islam, Jurnal de Jure,
Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 5 No. 2, Desember 2013, hlm, 189-196
laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). Wa Astaftainuhu Fiiha Fa Aftaaniy
Iftaa’an Wa Futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia
memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah hasil ijtihad seorang
mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih
khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum. Karena boleh jadi fatwa yang dikeluarkan
seorang mufti, sudah dirumuskan dalam fikih, hanya belum dipahami oleh peminta fatwa.

Fatwa terpaut dengan fiqih, keduanya mempunyai hubungan saling melengkapi. Fiqih
memuat uraian sistematis tentang substansi hukum Islam, yang tidak seluruhnya
dibutuhkan oleh seseorang. Fiqih dipandang sebagai kitab hukum (rechtsboeken), sebagai
rujukan normatif dalam melakukan perbuatan sehari-hari. Dalam hal terdapat masalah
tertentu yang memerlukan penjelasan dan uraian rinci seseorang berkonsultasi dengan mufti
untuk memperoleh advis atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

Jelasnya fatwa berfungsi untuk menerapkan secara konkret ketentuan fikih dalam
masalah tertentu. Fatwa muncul sebagai jawaban terhadap berbagai masalah yang dihadapi
umat dari abad ke abad. Permulaan fatwa adalah ketika Rasulullah SAW ditanyakan tentang
berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan seharihari. Para sahabat mengajukan
pertanyaan kepada Rasulullah SAW yang berarti mereka meminta fatwa (istifa’), seperti
diungkapkan dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa : 176.

Kewajiban menyampaikan dakwah dilanjutkan oleh para sahabat. Ibnul al-Qayyim


al-Jauziyah (wafat 751 H) membedakan tugas Rasul kepada tabligh dan ifta’, yang
keduanya menghenndaki basis pengetahuan tentang apa yang disampaikan dan memiliki
sifat benar (shidq). Karena itu tiadalah patut derajat tabligh maupun ifta’ dipikulkan
melainkan kepada seseorang yang berilmu(sesuai dengan maqam keilmuannya) dan
memiliki sifat benar (sidq), dalam arti dia harus mengetahui hal yang disampaikan dan
membenarkan sepenuhnya. Ibnu al-Qayyim mengemukakan sejumlah syarat kualitatif bagi
muballigh dan mufti.

Mufti hendaklah memiliki cara penyampaian yang bagus (hasan al-thariqah) dan
riwayat perjalanan hidup yang diridhai Allah (mardha al-sirah), bersifat adil dalam
perkataan dan perbuatan. Begitu pula prilaku dan hal ihwal sehari- hari mirip antara yang
tertutup dalam pandangan orang banyak (sir) dengan yang dilihat nyata (‘alaniyah).
Kalangan salaf (sahabat dan tabiin) tidak senang mudah berfatwa, dan kalau sudah ada
seorang di antara mereka berfatwa, itu sudah dianggap memadai.

Fatwa menghendaki pula pengetahuan memadai tentang apa yang hendak difatwakan.
Mufti tidak boleh memfatwakan masalah apa saja yang ditanyakan kepadanya, yang dalam
hal ini Ibnu Abbas menyampaikan kritikan pedas :

“ Setiap yang berfatwa untuk orang banyak mengenai semua masalah yang
ditanyakan kepadanya sungguh ia orang gila ”.

Fatwa yang dikeluarkan seorang mufti berperan dalam mentransformasikan makna


hukum Islam yang bersifat umum ke dalam kasus-kasus tertentu yang dihadapi. Untuk
menjaga kredibilitas fatwa yang mengikat secara moral bagi muslim untuk mentaatinya,
maka tidak sembarangan orang boleh berfatwa melainkan harus memenuhi kualifikasi
tertentu seperti halnya seorang mujtahid. Otoritas fatwa sepanjang sejarah perjalanan
hukum Islam memang diberikan kepada para ulama.

Fatwa yang lahir ada yang bersifat individu dan ada pula fatwa yang bersifat kolektif,
yang merupakan hasil kesepakatan para ulama. Menurut Prof. Quraisy Shihab, selain tidak
sembarangan orang boleh berfatwa, berfatwa juga harus memperhatikan keadaan sosiologis
umat pada saat itu. Fatwa- fatwa yang disampaikan tidak mengakibatkan perpecahan umat
atau kehancuran sebuah bangsa. Hal tersebut harus diprioritaskan karena semua pendapat,
walaupun benar namun apabila mengakibatkan mudharat yang lebih besar harus ditunda
untuk diumumkan.

Pengertian ditunda dapat diartikan sebagai kemungkinan sebuah fatwa dapat


diumumkan nanti sesuai dengan keadaan sosiologis memerlukan keberadaan fatwa tersebut.
Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa masyarakat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan sehingga penundaan terhadap suatu fatwa tidak serta-merta menjadikannya
batal sama sekali. Penundaan dilakukan lebih kepada untuk menjauhkan dari kerugian yang
lebih parah.3

Sejarah perkembangan dan pergeseran istilah fatwa

Keberadaan fatwa di dalam Islam merupakan sesuatu yang telah ada sejak masa
penyebaran Islam oleh Nabi SAW yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan umat pada
masa itu. Jawaban yang diberikan oleh Nabi SAW ada dalam dua bentuk yaitu

(1) jawaban yang langsung diberikan oleh Allah SWT melalui Malaikat jibril yang
tercantum dalam Al-Qur’an

(2) jawaban yang berupa pendapat Nabi SAW sendiri yang tercantum dalam Hadis. Konsep
fatwa dalam Islam mengalami perkembangan dari masa Islam hingga masa kini.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, pertanyaan-pertanyaan umat mengenai Islam baik
bidang ketauhidan, syariah, maupun akhlak diajukan langsung kepada Nabi SAW. Pada saat
itu, fatwa yang diberikan oleh Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, dalam dua
bentuk. Pertama, jawaban merupakan wahyu dari Allah SWT yang kemudian tersusun
dalam Al-Qur’an. Kedua, jawaban merupakan pendapat dari Nabi sendiri yang disebut
sunnah Rasulullah. Jika kepada Rasulullah ditanyakan hukum suatu masalah atau timbul
masalah baru yang menuntut segera diputuskan ketentuan hukumnya, maka beliau

3
Diana Mutia Habibaty, Peranan Fatwa Dewan Syariah Nasional -Majelis Ulama Indonesia Terhadap
Hukum Positif Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 04 - Desember 2017, h. 449 – 450.
menunggu turunnya wahyu. Jika wahyu yang dimaksud turun, maka wahyu itulah yang
memberikan jawaban atau ketentuan hukumnya, tetapi jika tidak, maka berarti beliau
diizinkan Allah untuk menjawab atau memberikan ketentuan masalah yang ditanyakan atau
terjadi dan sesudah dimaklumi bahwa beliau tidak berucap berdasarkan hawa nafsunya.4

Sedangkan Perkembangan fatwa di Indonesia ditandai dengan dimulainya permintaan


fatwa dari umat Muslim Indonesia kepada mufti Arab Saudi sebagaimana yang terekam
dalam kitab Muhimmāt al-Nafā’is fī Bayān As’ilah al-Ḥadīth. Seiring masuknya ide
pembaruan dari Mesir (Timur Tengah) dan penyebaran majalah alManar dan al-‘Urwat al-
Wutsqa, ditemukan adanya fatwa-fatwa yang diminta oleh Muslim Asia Tenggara, terutama
kepulaun Nusantara (Malay-Indonesia Archipelago) kepada para pembaharu tersebut.
Munculnya fatwa Ahmad Hassan kemudian merubah peta perkembangan fatwa di
Indonesia. Umat Muslim Indonesia sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya
kepada otoritas Arab Saudi dan Timur Tengah. Tidak lama setelah munculnya fatwa Ahmad
Hassan, perkembangan fatwa di Indonesia masuk pada era baru, yaitu era fatwa kolektif.
Fatwa ini dikeluarkan oleh tiga organisasi besar Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU,
Muhammadiyah, dan MUI. Fatwa kolektif yang dipraktikkan organisasi Islam di Indonesia
membuktikan bahwa gagasan ijtihad kolektif yang digaungkan secara luas oleh Majma’ al-
Buḥūth al-Islāmiyyah pada tahun 1964 sesungguhnya telah dipraktikkan di Indonesia
sekitar tahun 1930-an. Keunikan utama fatwa-fatwa di Indonesia dibanding fatwa di negara
lain adalah sifatnya yang dapat berubah dan terbuka untuk direvisi, serta dianutnya prinsip
keberagaman dalam perbedaan fatwa tentang suatu masalah atau persoalan yang sama.
Keberagamaan yang dianut lembaga-lemabaga fatwa di Indonesia ini adalah aplikasi dari
apa yang disebut Hosen sebagai intra-religious pluralism.5

4
Sumber : http://repository.uinbanten.ac.id/1593/4/BAB%20II%20b.pdf, diakses pada senin, 27 maret 2023.
5
Niki Alma Febriana Fauzi, Fatwa Di Indonesia: Perubahan Sosial, Perkembangan, Dan Keberagaman,
Jurnal Hukum Novelty Vol. 8 No. 1 Februari 2017, h. 112
Kedudukan dan Fungsi fatwa dalam persfektif historis

Fatwa seringkali menjadi medan wacana para ulama ushul fiqh dalam karya-karya
monumental. Dalam perspektif para ulama ushul fiqh, fatwa dimaknai sebagai pendapat
yang dikemukakan mujtahid sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mustafti pada
suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Mustafti bisa bersifat individual, institusi atau
kelompok masyarakat. Produk fatwa tidak mesti diikuti oleh mustafti, karenanya fatwa
tidak memiliki daya ikat.

Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan
pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (fuqaha) tentang kedudukan hukum
suatu masalah baru yang muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah
baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an,
asSunnah dan ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan
salah satu institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan
hukum masalah tersebut. Karena kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan hukum
atas suatu kasus atau masalah tertentu, maka para sarjana Barat ahli hukum Islam
mengkategorikan fatwa sebagai jurisprudensi Islam. Sehubungan dengan hal di atas, maka
fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga
kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat
dari dalil-dalil syariat (ijtihâd).

Pasalnya, satu - satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat
adalah dengan ijtihâd, dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang mufti (pemberi
fatwa) tidak ubahnya dengan seorang mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya
untuk menemukan hukum dari sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist. Secara
fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya menjelaskan hukum
yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang memang
mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta
pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan agama yang bersifat
kontemporer.

Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat dalam fungsi keulamaan, sehingga fatwa
syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi
sesudahnya hingga generasi ulama sekarang. Karakteristik fatwa klasik lebih bersifat
individual dan mandiri, kemudian dalam era mazhab fatwa-fatwa yang dibuat berada dalam
lingkup mazhab fiqh tertentu. Sedangkan fatwa kontemporer sering bersifat lintas mazhab
atau paduan (taufîq) antar mazhab-mazhab. Pendekatan ini seiring dengan berkembangnya
kajian perbandingan antara mazhab. Adapun fatwa-fatwa yang terjadi saat ini, ada yang
merupakan fatwa fardiah (individual), tetapi lebih banyak yang bersifat konsultatif,
koneksitas atau kadang bersifat kolektif dan melembaga seperti fatwa organisasi
kemasyarakatan.6

Selain itu fatwa sebagai hasil analisis mendalam parta mufti tidaklah menjadi
sumber hukum utama, akan tetapi dapat dikategorikan dalam kelompok ijtihad.
Pengkategorian ini dilatar belakangi oleh proses penetapan fatwa yang melalui kajian -
kajian dengan pendekatan atau metode ilmu ushul fiqih.Pada Praktik hukum peradilan di
Indonesia, fatwa-fatwa dipandang sebagai pendapat para ahli hukum, fatwa digolongkan
sebagai legal opinion (pendapat ahli) dari sisi hukum Islam atas suatu soalan yang
dijadikan sebagai sumber hukum dalam pertimbangan hukum bagi hakim untuk
menetapkan putusan.7
Sedangkan kedudukannya dalam sistem hukum positif Indonesia adalah bahwa
berdasarkan sumber hukum dalam sumber hukum nasional, yang terdiri dari
6
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis Yuridis
Normatif), Ulumuddin, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010, hal. 471 - 472
7
Yeni Salma dalam Ibnu Elmi, Kedudukan Fatwa Dalam Konstruksi Hukum Islam, Jurnal El-
Mashlahah, Vol.9 No.2 2019, hlm, 170.
undangundang, kebiasaan, keputusan pengadilan (yurisprudensi), traktat (perjanjian antar
negara), doktrin (pendapat pakar/ahli hukum), dan berdasarkan pada pasal 7 undang-
undang no 10 tahun 2004 tentang peraturan perundangundangan yang menyebutkan bahwa
tata urutan peraturan perundang-undangan adalah undangundang dasar 1945, undang-
undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
presiden, dan peraturan daerah yang meliputi: peraturan daerah provinsi, peraturan daerah
kabupaten/kota, peraturan desa.
Berdasarkan hal di atas, maka fatwa tidak memiliki kedudukan sedikitpun dalam
sumber hukum positif Indonesia maupun dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
peraturan perundang-undangan. Fatwa hanyalah pendapat, nasehat ulama yang tidak
mengikat, dan untuk dapat berlaku mengikat maka fatwa harus melewati legislasi terlebih
dahulu yang kemudian menjadi sebuah undang-undang.8
Fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam. Fatwa atau ketetapan
ulama dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam
perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas
dari dalil-dalil keagamaan (al-nuṣuṣ alsyari'iyah) menghadapi persoalan serius ketika
berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercangkup dalam
naṣ-naṣ keagamaan. Naṣ-naṣ keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi
diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan
perkembangan zaman.25 Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif
jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul.

Dalam fungsinya sebagai isntrumen hukum fatwa menjadi bagian dari proses
peradilan, ketika menyangkut persoalan yang diajukan oleh seorang hakim dan berdampak
pada kasus-kasus peradilan, dalam fungsinya sebagai instrument sosial fatwa memiliki
kontribusi dalam menjaga stabilitas sosial antara hukum dan masyarakat dengan syarat

8
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis Yuridis
Normatif), Ulumuddin, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010, h.476
organisasi formal dan informal memiliki hubungan yang selaras dalam pemerintahan, fatwa
sebagai berpengaruh secara politik dan doktrin, misalnya ketika ia digunakan untuk
memberikan status hukum kepada umat Islam yang heterodox sebagai murtad.9

Sebagaimana pernyataan Sermon dan beberapa muslim sains lainya, bahwa fatwa
tidak hanya sebagai instrumen untuk belajar mengenai aturan-aturan dan prosedur, tetapi
juga merupakan alat untuk membentuk emosi yang dibutuhkan untuk membentuk muslim
yang sempurna.

9
Sumber : http://repo.iain-tulungagung.ac.id/6759/5/BAB%20II.pdf, diakses ada senin, 27 maret 2023.
KESIMPULAN

Pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara dalam suatu
persoalan menjadi sebuah jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas
identitasnya maupun tidak, serta berbentuk perseorangan atau kolektif. Sedangkan dalam
kamus Bahasa Indonesia mengartikan fatwa sebagai jawaban (keputusan, pendapat) yang
diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.

Fatwa dalam kenyataannya tidak hanya berfungsi sebagai sumber rujukan tuntunan
keagamaan.Akan tetapi lebih dari itu, fatwa atau lebih tepatnya himpunan fatwa merupakan
rakaman historis yang menjadi sumber sejarah sosial dari suatu komunitas pada zaman
tertentu.Hal ini karena fatwa memainkan salah satu peran pentingnya, yaitu sebagai
instrumen perubahan sosial.Fatwa menjadi jembatan penghubung antara idealisme agama
dan realisme sosial, dan menjadi mesin perubahan sosial melalui otoritas yang dimiliki
ulama atau mufti (baik individu maupun dalam lembaga) untuk melakukan rekayasa sosial
dalam rangka membentuk, mengubah dan memperbaiki keadaan masyarakat menurut
pandangan mereka dengan berlandaskan sumber otoritatif agama. Perkembangan fatwa di
Indonesia ditandai dengan dimulainya permintaan fatwa dari umat Muslim Indonesia
kepada mufti Arab Saudi sebagaimana yang terekam dalam kitab Muhimmāt al-Nafā’is fī
Bayān As’ilah al-Ḥadīth.
DAFTAR PUSTAKA

S Ma’unah,http://etheses.iainkediri.ac.id/2312/3/931341114%20BAB%20II.pdf,
diakses pada hari senin, 27 maret 2023.
A-Raazi dalam FAridatus Suhadak, Urgensi Fatwa Dalam Perkembangan
Hukum Islam, Jurnal de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 5 No. 2, Desember
2013.
Diana Mutia Habibaty, Peranan Fatwa Dewan Syariah Nasional -Majelis
Ulama Indonesia Terhadap Hukum Positif Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 14 No. 04 - Desember 2017.
Sumber : http://repository.uinbanten.ac.id/1593/4/BAB%20II%20b.pdf,
diakses pada senin, 27 maret 2023.
Niki Alma Febriana Fauzi, Fatwa Di Indonesia: Perubahan Sosial,
Perkembangan, Dan Keberagaman, Jurnal Hukum Novelty Vol. 8 No. 1 Februari
2017.
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif), Ulumuddin, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni
2010.
Yeni Salma dalam Ibnu Elmi, Kedudukan Fatwa Dalam Konstruksi
Hukum Islam, Jurnal El-Mashlahah, Vol.9 No.2 2019.

Anda mungkin juga menyukai