Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERANAN USHUL FIH DALAM PENGEMBANGAN FIQIH ISLAM

Dosen Pengampu:
Reza Kurnia, M. A

Disusun oleh:
Romlah Delfianda : 230210080
Uswatun Hasanah : 230210066

JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS UIN AR- RANIRY
TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang "Peranan usul fiqh dalam
mengembangkan fiqh islam".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dari makalah ini,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2


A. Peranan dan Kedudukan Fiqih .............................................................. 2
B. Peranan dan Kedudukan Ushul Fiqh ................................................... 2
C. Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih Islam ..................... 4
D. Aliran-Aliran Ushul Fiqih ................................................................... 7

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 9


A. Kesimpulan ........................................................................................... 9
B. Saran ..................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih. seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar‟i, semua permasalahan
dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw melalui penjelasan beliau mengenai Al-Qur‟an,
atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi‟in cara mengistibath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada
yang menempuh metode masalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat
sebelumnya.

Pada masa tabi‟in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu pemikiran
hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peranan dan Kedudukan Fiqh?.

2. Bagaimana Penjelasan peranan dan kedudukan Ushul Fiqh?

3. Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh islam?

4. Bagaimana kedudukan Fiqh sebagai sumber Hukum setelah Al- Quran dan Hadist?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan dan Kedudukan Fiqih
Dalam mencari dan mengemukakan peranan dan kedudukan fiqh, terlebih dahulu
dikemukakan kembali ta‟rif fiqh menurut bahasa dan istilah.
1. Fiqh menurut logat: Faham, : ‫ الفهم‬: ‫الفقهلغة‬
2. Fiqih menurut istilah ialah :
“Fiqh menurut istilah yaitu mengetahui hukum-hukum syara‟ yang jalan memperolehnya
dengan cara berijtihad”. Setelah mengetahui ta‟rif Fiqh secara ringkas kemudian dikemukakan
pula peranan dan kedudukan Fiqh dan kaitannya dengan manusia.
Fiqh menurut istilah ahli ushul fiqh dari Ulama-ulama hanafiyah: “ilmu fiqh itu
menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang yang
telah baligh dan berakal (mukallaf)”.
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa fiqh itu berperan sekali
terhadap tingkah laku manusia yang telah baligh dan berakal dalam menempuh kehidupannya
sehari-hari sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Dr. AbdulWahab Khallaf, dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh, menjelaskan tentang ilmu
Fiqh: “Seluruh hukum syariah, yang berkaitan dengan berbagai tindak manusia, ucapan ataupun
perbuatan, seluruhnya diambil dari nash-nash yang telah ada, di samping istinbath dalil-dalil
Syar‟ah Islam tidak terdapat nashnya, yang kemudian digolongkan di dalam ushul fiqh.”
Manusia sebagai makhluk sosial dalam bertindak, berpikir selalu dipengaruhi oleh jiwa dan
lingkungannya. Untuk membimbing manusia dalam bertindak, berucap dan berpikir dibutuhkan
sekali peranan fiqh, sehingga manusia itu selamat dalam kedudukan sekarang dan akan datang.
Jadi, peranan dan kedudukan Fiqh adalah menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh
tindakan maupun perbuatan, perkataan, tindakk-tanduk dan sebagainya; berdasarkan Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul-Nya.

B. Peranan dan Kedudukan Ushul Fiqh


Peranan ushul fiqh menyiapkan kaidah-kaidah dengan mempergunakan dalil-dalil yang
terinci yang diperlukan dalam menetapkan hukum syara‟. Ringkasnya bahwa peranan Ushul Fiqh
itu adalah kaidah-kaidah yang diperguanakan mengistimbathkan hukum dan dalil-dalil yang

2
terinci dan kuat. Jadi Ushul lebih dulu lahirnya dari Fiqh, sebab Fiqh diciptakan dari Ushul Fiqh,
maka peran ushul itu adalah apa-apa yang diciptakan di atasnya ushul adalah lainnya ushul yaitu
Fiqh (hukum islam). Maka kedudukan Ushul Fiqh itu adalah sebagai dasar dari Fiqh Islam: artinya
Ushul Fiqh itu merupakan sumber-sumber/dalil-dalil dan bagaimana cara menunjukkan dalil-dalil
tersebut kepada hukum syara‟ secara ijmal/garis besar. Dengan kata lain tanpa pembahasan
mengenai Ushul Fiqh, maka Fiqh tidak dapat diciptakkan, karena dasarnya (ushul fiqh) harus
dipahami terlebih dahulu.
Jadi peranan dan kedudukan Fiqh dan Ushul, adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan,
sebab keduanya butuh membutuhkan, dalam sasarannya menerapkan hukum Islam terhadap
orang-orang yang mukallaf. Peranan Ushul al-Fiqh dalam Menalar Hukum Islam Muhammad Abu
Zahrah, 5 seorang ulama kenamaan dari Mesir, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh
Ushul al-Fiqh, yaitu: Sebagai metode yang menjadi pegangan bagi seorang faqih yang hendak
berijtihad. Sebagai kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari kesalahan dalammelakukan
ijtihad (istinbat hukum). Dalam hal menalar hukum ini, Ushul al-Fiqh bisa diibaratkan sebagai
sebuah peta jalan atau rute yang menuntun seorang pengembara mencapai tujuannya. Boleh jadi,
antara satu mujtahid dan mujtahid lain memiliki konten Ushul al-Fiqh yang berbeda-beda, namun
memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan perintahAllah dan menjauhi larangan-Nya dalam
kerangka maslahah manusia sebagaimakhluk individu maupun sosial.

a. Ushul al-Fiqh sebagai Metode Ijtihad Sebagai metode berijtihad, Ushul al-Fiqh berperanan
sebagai jalan yang menuntunseorang mujtahid dalam melakukan istinbat. Atau sebagai
penjelasan jalan yangtelah ditempuh oleh seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang
datangsesudahnya bisa memahami alasan mujtahid tersebut menempuh jalan tersebut.

b. Ushul al-Fiqh sebagai Kaidah Sebagai kaidah, Ushul al-Fiqh memiliki peranan sebagai
pengingat mujtahid darikesalahan yang mungkin akan dilakukannya. Atau korektor atas
kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja fungsi atau peranan Ushul al-Fiqh ini amat
membantu mujtahid dalammelaksanakan tugasnya. Bagaimana pun cerdasnya seorang
mujtahid, ia adalahseorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Nah, di
sinilah peranan Ushul al-Fiqh amat dirasakan oleh mujtahid itu, yaitu menghindari atau
setidaknya meminimalisir kesalahan-kesalahan tersebut.

3
C. Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih Islam
Dapat dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih merupakan salah
satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga
hijriyah. Ushul fiqih itu terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad
kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ushul
fiqih karena banyak ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul
kitab-kitab ushul fiqih yang menjadio standar dan rujukan untuk perkembangan ushul fiqih
selanjutnya. (As-Sadi: 24-28)
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seorang untuk
mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode
istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang
mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada
kaidah-kaidah yang benar.
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi
dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang mempelajari Fiqih Islam, target
ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam mazhab dalam meng-istinbath
hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat madzhab tersebut. Hal ini tidak
dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan diaplikasikannya kaidahkaidah ushuliyah
dengan metode istinbath.(Al-Amidi, 1:1)
Sebagaiman telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dikodifikasikannya, dan ditetapkan
kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu untuk keperluan
istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi‟in. Ketika para ulama melihat orang-
orang yang bukan ahli ijtihad tetap ber-ijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan,
maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup
pintu ijtihad. (Umar Abdullah : 23). Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan
menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu pula untuk main-main dalam hukum syara‟ dapat
dihindari.
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu Ushul al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dail syara' yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara'
yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu

4
dapat dipahami nash-nash syara' dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat
dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka
sampai kepada rumusan itu.
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqih sebagaimana telah dijelaskan diatas,
sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang lalu, dan manusian sejak
saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum fiqih yang tertulis
dalam kitab-kitab madzhab fiqih, hal ini berarti dari ilmu ushul fiqih tidak tercapai.
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah
berdasar dalil syara‟. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena pertimbangan-
pertimbangan yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi
syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun
berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa
dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat
bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa
kembali lagi sebagaimana di masa Aminat Al- Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam
berinijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.
Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqih
selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlak perlu
mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih. Dan bagi mujtahid madzhab yang
hendak mempertahankan imam madzhab-nya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik
tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak men-tarjih
pendapat imam madzhab-nya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqih sebab tanpa engetahui ilmu
tersebut, ia tidak mungkin dapat men-tarjih dengan baik dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat jelas
perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam mengistimbathkan hokum dari
alQur‟an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbathkan
hokum sebagai berikut: Al-Qur‟an, Hadist, fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat,
fatwa para tabi‟in yang sejalan dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan. Sedangkan Imam
Malik, berpegang kepada Al-Qur‟an, Sunnah, juga banyak mengistimbathkan hokum berdasarkan
amalan penduduk Madinah (‘amal ahlul Madinah).

5
Selanjutnya Imam Syafi‟I dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus buat pertama kali
membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut
adalah Al-Risalah. Imam Syafi‟I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi
antara ahlul hadist yang bermarkas di Madinah dengan ahlul Ro’yi di Irak. Dalam kitabnya
“AlRisalah”, Imam Syafi‟I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang
tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.
Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat dijadikan
patokan umum dalam mengistimbathkan hokum, mulai dari generasinya sampai generasi
selanjutnya.
Para Imam Mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil yang masingmasing
Mazhab menambahkan metode istimbat hokum lainnya. Misalnya, ulama‟ ushul fiqh dari
kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul fiqh imam syafi‟I, tetapi mereka menambah metode
atau teori lainnya, yaitu istihsan dan „Uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama‟ ushul fiqh
Malikiyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambahkan Ijma’ ahlul Madinah karena
statusijma’ ahlul Madinah merupakan sunnah yang secara turun temurun . dilaksanakan sejak
zaman Rasullullah SAW sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama‟ Malikiyah
menambahkan metode Maslahatul Mursalah dan Sadd al-Zari’ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Mazhab empat tersebut, tentang
berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat
mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya
cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka
hadapi pada zamannya masing-masing.
Dengan demikian, peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam dapat dikatakan
sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukmu syara‟ dari dalil-dalilnya. Dan bisa
juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran
fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini,
Ibnu khaldun dan kitabnya Muqaddamah berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu
syari‟ah yang termulia, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya,” (Ibnu Khaldun : 0452)
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu
dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari‟ah
yang terpenting dan tertinggi nilainya.

6
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu dalam rangka
menjaga keutuhan dadalah lafazh yang terdapat dalam nash syara’, terutama dalam AlQur‟an.

D. Aliran-Aliran Ushul Fiqih


Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat
adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqih untuk menggali hukum islam.
Aliran pertama disebut aliran Syafi‟iyah dan jumhur mutakallim (ahli kalam). Aliran ini
membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang
keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik
dari dalil naqli maupun aqli, tanpa di pengaruhi masalah furu‟ dan mazhab, sehingga ada kalanya
kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu‟ dan ada kalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Namun, pada kenyataannya dikalangan syafi‟iyah sendiri terjadi pertentangan, misalnya
Al-amidi yang mengajukan kehujjahan ijma‟ sukuti. Padahal imam syafi‟i sendiri tidak
mengakuinya. Padahal ijma‟ yang diakui secara mutlak oleh imam syafi‟I adalah ijma‟ dikalangan
sahabat saja secara jelas. Pendapat Alamidi tersebut sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi
dari usahanya bersama Al-Qarafi untuk menyatukan dua aliran ushul fiqih.
Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalahan teoritis, aliran ini sering
tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti
penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak), dan
taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut
biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara‟) yang berkaitan
pula masalah aqidah. Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin
terjadi dan terhadap kema‟shuman Rasulullah SAW.
Kitab standar aliran ini antara lain : Ar-risalah (imam syafi‟i), Al-Mu‟tamad (Abu Alhusain
Muhammad ibnu „Ali Al-Bashri), Al-Burhan fi ushul fiqh (imam Al-haramain Aljuwaini), Al-
Mankhul min Ta‟liqat Al-ushul. Shifa Al-gazali fi Bayan asy-syahab wa Al-mukhil wa Masalik
At-Ta‟lil, Al-mushfa fi ilmi Al-ushul (ketiganya karangan imam abu hamid Algazali).
Aliran kedua, dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama mazhab
Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak
dipengaruhi oleh furu‟ yang ada dalam mazhab mereka. Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan

7
kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu‟. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka
mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu‟ tersebut. Di
antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain : kitab Al-Ushul (imam abu hasan al-
kharkhi, Al-Ushul (abu Bakar Al-jashsaha), ushul Al-sarakhsi (imam Al-sarakhi), Ta‟sis An-
Nazhar (imam abu zaid al-dabusi), dan al-kasyaf al-asrar (imam al-bazdawi). Sedangkan kitab-
kitab ushul yang mengabungkan kedua teori diatas antara lain :
1. At-tahrij, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Hanafi (w. 861 H)
2. Tahqih Al-Ushul, oleh Shadr Asy-Syari‟ah (w. 747 H). kitab ini merupakan rangkuman dari
tiga kitab ushul fiqih yaitu : Kasf Al-asrar (imam Al-Bazdawi), AlMahshul (faqih Ad-Din
Ar-razi Asy-syafi‟i), dan mukhtashar ibnu al-hajib (ibnu AlHajib Al-maliki).
3. Jam‟u Al-jawawi, oleh Taj Ad-Din Adb Al-Wahab As-subki Asy-syafi‟I (w. 771H).
4. Musallam Ats_Tsubut, oleh Muhibullah Ibnu Abd Al-Syakur (w.1119 H).

Pada abad 8 muncul imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muwafaqat fi Al-ushul
Asy-Syari‟ah. Pembahasan ushul fiqih yang dikemukakan dalam kitab tersebut berhasil
memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab ushul fiqih
kontenporer yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peranan dan kedudukan Fiqh adalah menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh tindakan
maupun perbuatan, perkataan, tindak-tanduk dan sebagainya; berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasul-Nya.
Peranan ushul fiqh menyiapkan kaidah-kaidah dengan mempergunakan dalil-dalil yang
terinci yang diperlukan dalam menetapkan hukum syara‟. Ringkasnya bahwa peranan Ushul Fiqh
itu adalah kaidah-kaidah yang diperguanakan mengistimbathkan hukum dan dalil-dalil yang
terinci dan kuat.
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seorang untuk
mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode
istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang
mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada
kaidah-kaidah yang benar.
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu Ushul al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan kaidah-
kaidah terhadap dalil-dail syara' yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara' yang
bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat
dipahami nash-nash syara' dan hukum yang terkandung di dalamnya.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun
selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua
jerih payah semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada
kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita Amin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Nazar Bakhry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Pers, Jakarta: 1993.
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta: 1972.
Rahmat Syafi‟i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007. House, 1996.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1998.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising

10

Anda mungkin juga menyukai