DOSEN PEMBIMBING:
Dr. MUCHLIS BAHAR Lc,M.Ag
ASNAWI HARAHAP S.HI, MA
DISUSUN OLEH
KELOMPOK V:
SARIPAH HARMALA 1913040003
HIKMAYATUL TESA 2013040049
NURUL HASNAH ATIKA 2013040043
KHEVIN PRANIZAL ILLAHI 2013040063
A. Latar Belakang
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang
tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di
Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model
pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi).
Hal menarik berkaitan dengan produk fatwa masing-masing lembaga tersebut terutama
DSN-MUI adalah bahwa karakter fatwa yang dikeluarkan telah mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan karakter fatwa-fatwa ulama terdahulu. Rumusan-rumusan fatwanya pun
juga terlihat berbeda.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa
kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi
Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang
dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya
Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan
yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral.
Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembagalembaga keuangan syari’ah
(LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan
LKS).
B. Rumusan Masalah
1. tidak fanatik atau taqlid, namun demikian ia tetap menghormati kepada para imam
maẓhab dengan cara menggunakan motode dan cara pandang mereka, tidak
mengemukakan pendapat tanda dalil yang kuat, mampu men-tarjih yang paling kuat,
6. memberikan hak fatwa yang berupa keterangan dan penjelasan. Kemudian Waḥbah
Zuhaili, dalam fatwanya memiliki karakteristik sebagai berikut;
a) terlebih dahulu melakukan kajian terhadap naṣ ,
b) Apabila tidak menemukan hadith dari masalah yang sedang dikajinya ia menggunakan
hadith 'amaliyah atau taqririyah sebagai dalil,
c) jika dari kedua sumber tersebut tidak ditemukan, Waḥbah Zuhaili memperhatikan
pendapat-pendapat ulama dengan memperhatikan keabsahan hadith yang dijadikan dalil para
ulama tersebut.
Kitab yang membahas seputar fatwa ini mengingatkan kita pada karya serupa, Shina’atul
Ifta karya Syekh Ali Jum’ah atau Shina’atul Fatwa wal Fiqhul Aqalliyyat karya Syekh
Abdullah bin Bayyah untuk menyebut contoh. Kitab dengan judul Al-Fatwa wa Ma La
Yanbaghi lil Mutafaqqihi Jahluhu; At-Tathbiqatul Ushuliyyah fil Fatawa Al-Indunisiyyah
secara umum terdiri atas empat bab.
Penulisan kitab ini menggabungkan keistimewaan dua model penulisan, yaitu keistimewaan
yang ada pada masing-masing penulisan baik penulisan model ulama terdahulu maupun model
kontemporer. (KH Zulfa Musthofa, Al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi lil Mutafaqqihi Jahluh
“Kitab ini ditulis dengan gaya penulisan yang mudah dan penjabaran yang mudah dimengerti
oleh masyarakat umum yang ingin memahami kajian fiqih, mahasiswa fakultas syariah, dan
para santri di berbagai pondok pesantren,” tulis Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada
endorsmen ini kitab.
Kitab fatwa ini sekaligus menjadi dokumentasi dan sejarah pemikiran para ulama Indonesia
dalam menghadapi sejumlah persoalan. Kitab ini misalnya memuat putusan NU dan
Muhammadiyah yang mengutamakan keselamatan jiwa di tengah pandemi sebagai aplikasi atas
teori umum fatwa. Kedua ormas keagamaan tersebut merekomendasikan kepada Pemerintah RI
untuk menunda pemilihan umum. (KH Zulfa Musthofa, 2020 M: 5).
Kitab ini diperkaya dengan produk-produk hukum baik fatwa DSN MUI maupun putusan
keagamaan NU sebagai bentuk aplikasi seperti penitipan pada bank-bank syariah, investasi, dan
berbagai akad baru dalam dunia perbankan.
Hal ini tidak lepas dari keterlibatan penulis pada organisasi NU dalam bidang bahtsul
masail dan MUI dalam bidang fatwa sehingga dapat mengikuti dinamika pemikiran keislaman,
perkembangan hukum, dan kelahiran fatwa di Indonesia. Kitab ini diberi pengantar oleh plt
Rais Aam PBNU sekaligus Ketua Umum MUI terpilih KH Miftachul Akhyar.
Perubahan tempat menjadi satu di antara 10 instrumen yang dapat merubah fatwa.
Perubahan ini tak lain dikarenakan beberapa hal yang terdapat di suatu tempat, tidak
ditemukan di tempat lain.
Oleh karena itulah, beberapa kajian fikih turut berubah dan beradaptasi berdasarkan
klasifikasi tempat, seperti adanya kewajiban bagi Badui untuk Berhijrah ke Madinah supaya
lebih baik belajar dan beradab, adanya dosa besar (kabair al-ithm) bagi Badui yang murtad
setelah berhijrah, penolakan persaksian badui atas penduduk urban39 kontroversi persaksian
mereka mengenai hilal, dan penolakan ulama seperti al-Qurtuby- atas suksesi kepemimpinan
(imamah) orang badui atas penduduk urban, bahkan Imam Malik menolak menjadikan orang
badui menjadi pemimpin shalat meskipun lebih bagus bacaan Qura’annya.
Perubahan waktu yang dimaksud dalam kajian ini merupakan perubahan sifat manusia yang
hidup saat ini, misalnya, dengan orang-orang yang hidup pada masa lampau.Perbedaan masa ini
sangat terkait dengan karakter manusia yang berubah, terlebih perubahan ini memiliki grafik
karakter yang cenderung menurun. Hal ini senada dengan ungkapan Mustafa al-Zarqa yang
mengulas bahwa perubahan zaman yang memiliki efek pada perubahan hukum Islam, pada
dasarnya timbul dari kerusakan akhlak (fasad al-akhlaq),
ketiadaan sikap wara’ (fuqdan al-wara’), lemahnya sangsi (du’f al-wazi’), timbulnya situasi
berbeda (h}uduth aud}a’ tanz}imiyyah), serta fasilitas pelayanan baru (wasail mirfaqiyyah
jadidah) dan lain sebagainya.
Keadaan yang dimaksud dalam instrumen ini merupakan keadaan di saat hukum yang
terdapat dalam fatwa akan diterapkan. Mempertimbangkan keadaan yang tengah terjadi
merupakan salah satu kebijaksanaan ahli hukum dalam menerapkan hukum. Hal ini bukan
saja terkait dengan kebenaran hukum yang akan disampaikan, namun juga akan selalu
bersinggungan dengan ketepatan hukum saat diterapkan.
Kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat tertentu terkadang tidak bisa serta merta
menjadi sesuatu yang mematenkan fatwa. Karena keberadaan hukum sendiri seringkali
terkait erat dengan kultur di mana hukum tersebut akan diterapkan.
Oleh karena itulah, kebutuhan manusia yang kini berubah turut pula menjadi instrumen
dalam perubahan hukum terlebih yang berkaitan dengan fatwa. Di antara hukum yang
berubah akibat perubahan kebutuhan manusia adalah :
Perubahan kemampuan manusia ini merupakan perkembangan yang telah diicapai oleh
manusia, yang menjadikan manusia mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan
dengan kemampuan yang ada pada masa lalu. Beberapa bidang yang memiliki perkembangan
yang signifikan tersebut membuat manusia memiliki kemampuan leboh baik di beberapa
bidang seperti sains (al- ilmiyyah), teknologi (al-teknology), biologi (al-biyologiyyah), ruang
angkasa (al-fadaiyyah), Nuklir (al-nawawiyyah), elektron, informasi, dan komunikasi (al-ittis
alat).
Dalam merespon realita hukum seringkali fatwa juga tidak bisa Dikesampingkan dengan
realita sosial di mana masyarakat hidup, dengan realita ekonomi di mana masyarakat
mencukupi kebutuhan hidup, serta dengan realita Politik di mana masyarakat diatur
kehidupannya.Fatwa yang terbentuk akibat suatu kondisi sosial tertentu, keadaan
Perekonomian tertentu, atau situasi politik tertentu, tentu saja akan memiliki Fleksibilitas
untuk berubah manakala unsur dan instrumen yang membentuk fatwa Tersebut juga berubah.
Perubahan ini pada tataran berikutnya akan memberikan warna dan corak tertentu dalam
fatwa.
Kalimat umum al-balwa merupakan gabungan dari 2 kata umum yang bisa diartikan sebagai
sesuatau yang terjadi secara bersama-sama di dalam masyarakat, sementara kata “al-balwa”
bisa diartika sebagai bencana, musibah (al-musibah). Sehingga gabungan dua kata tersebut jika
digabungkan bisa diartikan sebagai suatu musibah yang dulu dihindari, kini telah menjadi
sebuah fenomena umum dan terjadi secara bersama-sama di dalam masyarakat. Umum al-
balwa merupakan salah satu indikasi yang cukup jelas mengenai keberadaan (bencana) itu
telah menjadi kebutuhan masyarakat modern yang sulit dihindari lagi. Di antara beberapa hal
yang bisa dikatagorikan sebagai umum al-balwa adalah kepala yang terbuka/tidak memakai
penutup kepala (kashf al-ra’s) serta Makan di jalan (al-akl fi al-tariq) menjadi kualifikasi sifat
adil seseorang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian atau peristiwa
( memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Zamakhysri dalam bukunya al-Kasyaf pengertian fatwa adalah suatu jalan yang
lempeng atau lurus. Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh
Zamakhysri fatwa adalah penjelasan hukum syara' tentang suatu masalah atas pertanyaan
seseorang atau kelompok. Menurut al-Syāṭibi.
Kitab yang membahas seputar fatwa ini mengingatkan kita pada karya serupa, Shina’atul
Ifta karya Syekh Ali Jum’ah atau Shina’atul Fatwa wal Fiqhul Aqalliyyat karya Syekh
Abdullah bin Bayyah untuk menyebut contoh. Kitab dengan judul Al-Fatwa wa Ma La
Yanbaghi lil Mutafaqqihi Jahluhu; At-Tathbiqatul Ushuliyyah fil Fatawa Al-Indunisiyyah
secara umum terdiri atas empat bab.
Menurut Yusuf al-Qaradawy setidaknya ada 10 perubahan yang memungkinkan fatwa pun
mengalami perubahan yaitu
Maṭalib Ūly al-Nuhā fi Syarḥ Ghayah al-Munṭaha, (Beirut: Dār al-Fikr). Al-Asyqar, 'Umar
Sulaymān, Tārikh al-Fiqh al-Islāmī, (Kuwait: Maktabah Al-Falāh, 1982)
Al-Syīrazī, Ṭabaqāt al-Fuqahā’, Juz 6, (Beirut: Dār al-Rā'id Al-'Arabī, 1978). al-Qāsimi,
Muhammad Jamāl al-Dīn, al-Fatwā fi al-Islām, (Beirut: Dar alKutub al-'ilmiyah, 1986).
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve,
1996).
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997). Fatah, Rohadi
Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006).