Anda di halaman 1dari 9

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur Pada mata Kuliah “Fiqh Siyasah ”


Pengampu : Heri Hermansyah M.A

DISUSUN OLEH:
HPI III A

Idandi limbong 0205211002

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2022/2023

BAB I
PEMBAHASAN
A. PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Secara
etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa arab yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut Abi Bakar Ahmad Al-
Syarastani, bahwa yang disebut khawarij adalah setiap orang yang keluar dari
Imam yang hak dan telah disepakati jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat
Khulafaur Rasyidin atau pada masa Tabi’in secara baik-baik.Berdasarkan
pengertian Etimologi ini pula, Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar
dari kesatuan umat Islam.
Adapun yang dimaksud Khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 378/648M, dengan
kelompok buqhat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khalifah.

2. Asal-Usul Aliran

Golongan khawarij timbul setelah perang Siffin. Perang yang terjadi antara Ali bn
Abi Thalib dan Muawiyah di suatu daerah di Irak yang bernama Saffin pada tahun
37 H/657M. peperangan ini cukup besar, terbukti dengan banyaknya korban di
pihak ‘Ali, gugur kurang lebih 25.000 orang dan dipihak muawiyah kurang lebih
45.000 orang. Ini merupakan bala yang besar bagi ummat Islam dalam abad-
abadnya yang pertama.
Jalannnya peperangan menguntungkan pasukan ‘Ali, hampir seluruh pasukan
‘Ali, hampir seluruh pasukan muawiyah lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka
menjalankan atau menyerukan “Cease Fire” yaitu penghentian tembak-menembak
mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur’an di ujung tombak mereka dan
mengacungkannya ke atas sambil meneriakkan penghentian tembak-menembak
yang berhukum kepada Al-Qur’an.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan ajakan damai kelompok muawiyah
sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
sebagian pengikutnya terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin
Fudaki Al-Tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Thai. Dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan
peperangan.
Namun, sebagian lagi diantara pasukan ‘Ali ada yang tidak menerima ajakan
Tahkim tersebut, karena mereka menganggap bahwa orang yang mau berdamai
ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya dalam kebenaran
peperangan yang ditegakkan. Hukum Allah sudah nyata kata mereka. Siapa yang
melawan khalifah yang sah harus diperangi. Mereka juga tidak menyukai
berhukum kepada Al-Qur’an seperti yang diserukan muawiyah karena mereka
berpaham:

1. Berhukum kepada Qur’an itu hanya ucapan bibir saja, sedang hakikatnya
akan berhukum pada “delegasi” yang berunding.
2. Menerima penghentian tembak-menembak itu berarti ragu atas kebenaran
pendiriannya.
3. Orang yang ragu-ragu tidak berhak menjadi imam, kata mereka. Kaum ini
akhirnya membenci sayyidina ‘Ali karena dianggapnya lemah dalam menegakkan
kebenaran, sebagaimana mereka membenci muawiyah yang melawan khalifah
yang sah. Inilah asal-usul kaum khawarij.

3.Aliran Khawarij

Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak eksfremitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Aksfremitas diatas disamping didukung
oleh watak kerasnya yang dibangun oleh kondisi geografis gurun pasir, juga
dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadis.
Tidak heran jika aliran ini memiliki pandangan ekstrim tentang status pelaku dosa
besar. Aliran ini memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim, yaitu ‘Ali, Muawiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah
kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah Ayat 44.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah maka
mereka itulah orang-orang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (mur-takib al-kabirah), menurut semua subsekte
khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan disiksa di Neraka selama-lamanya.
Lebih keras dari itu, subsekte khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, bahkan
menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir , yaitu musyrik. Mereka
memandang musyrik bagi umat islam yang tidak mau bergabung ke dalam
barisannya. Pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (Agama), dan telah keluar dari Islam. Kafir
semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tidak jauh berbeda dari Azariqah. Apabila predikat musyrik
disandangkan oleh Azariqah kepada ummat Islam tidak mau bergabung ke dalam
kelompok mereka, predikat yang sama disandang pula oleh Najdah kepada
siapapun dari umat Islam yang secara kesinambungan mengerjakan dosa kecil.
Sama halnya dengan dosa besar, apabila tidak dilakukan secara kontinu,
pelakunya tidak dipandang musyrik, tetapi kafir jika dilaksanakan akan menjadi
musyrik.
Walaupun secara umum subsekte aliran khawarij sependapat bahwa pelaku dosa
besar dianggap kafir, tetapi masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa
besar yang diberi predikat kafir. Bagi subsekte Al-Muhakimat, Ali Muawiyah,
kedua pengantarnya (‘Amr bin Al’Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua
orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya, hukum
kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang
berbuat dosa besar.
Pandangan yng berbeda dikemukakan subsekte An-Nadjat.Subsekte ini
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi besar kafir dan kekal di
dalam neraka hanya orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya.
Adapun pengikutnya jika mengejakan dosa besar akan mendapatkan siksaan di
neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk masuk surga. Sementara itu, subsekte
As-Sufriah membagi dosa besar ke dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat
dosa kategori pertama tidak dipandang kafir. Hanya orang yang melaksanakan
dosa kategori kedua yang menjadi kafir.

4. Sekte-Sekte

Para pengamat telah berbeda pendapat tentang berapa banyak perpecahan yang
terjadi dalam tubuh kaum khawarij. Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini telah
pecah menjadi 20 subsekte. Harun mengatakan sekte ini telah pecah menjadi 18
subsekte. Al-Asfarayani mengatakan sekte ini menjadi 22 subsekte. Terlepas dari
banyaknya subsekte perpecahan khawarij, tokoh-tokoh diatas membagi beberapa
subsekte yang besar, yaitu:

a. Al-Muhakkimah
Golongan khawarij asli dan teridir dari pengikut-pengikut Ali. Disebut golongan
al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Mu’awiyyah, kedua disebut pengantara ‘Amr
Ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase
bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya
sehingga termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut golongan
ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari Islam.
Begitu pula membunuh sesame manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar.
Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam
dan menjadi kafir. Demikianlah seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya.

b. Al-Azariqah

Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini
diambil dari Nafi’Ibn al-Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah
lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri
dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu’minin. NAfi’ mati dalam
pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi
memakai term kafir, tetapi term musyrikk atau polytheist. Dan di dalam Islam
Syirk atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar lebih besar dari kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang islam yang tak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi
tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.
Dengan lain perkataan, orang al-Azariqah sendiri, yang tinggal di luar lingkungan
mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang
musyrik. Dan barangsiapa yang datang ke daerah mereka dan mengaku pengikut
al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya
diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima
dengan baik, tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri
yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, member keyakinan kepada
mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-Azariqah.
Bukan hanya orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri
orang-orang yang demikian pun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Memang dalam anggapan mereka, hanya daerah merekalah yang merupakan dar
al-Islam, sedangkan daerah Islam yang lainnya adalah dar al-kufr yang wajib
diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik, bukan hanya orang-orang dewasa,
tetapi juga anak-anak dari orang yang dipandang musyrik.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya
orang Islam. Orang Islam yang dilingkungan mereka adalah kaum musyrik yang
harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagai disebut Ibn Al-Hazm,
selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan
seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang lain yang tak
termasuk dalam golongan Al-Azariqah, mereka dibunuh.

C. Al-Sufriah

Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dapat sama
dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang
ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah
pendapat-pendapat berikut:
a. Orang Surfiah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
menjadi musyrik.
d. Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu
daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanyalah ma’askar atas camp
pemerintahan sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
e. Kurf dibagi dua: kurf bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan
kurf bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir
tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Disamping pendapat-pendapat di atas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik
bagi mereka:

a. Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.Tetapi sesungguhnya demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh
kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.

6. Al-Ibadiah

Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan
khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686M,
memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat
dari ajaran-ajaran berikut:
a. Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah
musyrik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan
hubungan perkawinan dan hubungan warisan, Syahadat mereka dapat diterima.
Membunuh mereka adalah haram.
b. Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp
pemerintah merupakan dar tauhid, daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, dan
tidak boleh diperangi, hanyalah ma’askar pemerintah.
c. Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah Muwahhid yang meng-Esakan
Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir al-Millah, yaitu kafir Agama.
d. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan
perak harus dikembalikan kepada orang empunya.

Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti digambarkan di atas


membuat ‘Abdullah Ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam
melawan pemerintahandinasti ummayyah.Oleh karena itu, jika golongan khawarij
lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan all-Ibadiah ini
masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan
Arabia

5.Pemikiran Penting Tentang Politik Khawarij

Khawarij adalah kelompok yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah
Arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan
Muawiyyah di Siffin. Mereka merasa kecewa terhadap hasil arbitrase yang
merugikan Ali. Sebagai redaksi, mereka menolak hasil arbitrase dan keluar dari
pasukan Ali. Mereka membenci Ali karena ia mau berdamai dengan pemberontak
muawiyyah, tetapi lebih membanci lagi muawiyyah yang telah mencurangi Ali.
Pengikut khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara
berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima
perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada diluar kelompoknya
adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrim ini pula yang membuat
mereka terpecah menjadi beberapa sekte.
Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-hak
istimewa orang atau kelompok tertentu untuk meduduki jabatan khalifah. Jabatan
tersebut bukanlah monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni,
juga bukan hak khusus Ali dan keluarganya sebagaimana klaim kelompok syiah.
Menurut mereka siapa saja berhak mendududki jabatan khalifah, kalau memang
mampu. Bahkan mereka mengutamakan orang non-Arab sebagai khalifah, supaya
mereka bisa menjatuhkannya atau membunuhnya kalau ternyata tidak
menjalankan tugasnya sesuai dengan syariat atau bertentangan dengan kebenaran.
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Karena itu
kelompok khawarij tidak mempertimbangkan ‘ashabiyah atau keluarga untuk
mengangkat pemimpin mereka.

Dari pemikiran ini, oengikut khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah


kewajiban yang berdasarkan (syar’i/agama). Sebagaimana pandangan Al-Ghazali
dan Al-Mawardi serta Syiah. Pengangkatan dan pembentukan Negara adalah
masalah kemaslahatan manusia saja. Kalau pertimbangan akal lebih maslahat
mengangkat khalifah dan membentuk Negara, maka hal tersebut boleh dilakukan
tetapi bila ternyata tanpa kepemimpinan mereka dapat menjalankan agama dan
mencapai kemaslahatan, maka lembaga khalifah tidak perlu dibentuk.
Berbeda dengan Sunni dan Syiah, mereka tidak menganggap kepala Negara
sebagai orang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari
kesalahan dan dosa. Karenanya mereka menggunakan mekanisme syura’ untuk
mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala Negara
menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan dan dibunuh.
Pandangan khawarij yang lebih demokratis ini agaknya bisa dipahami dari
sosiologis masyarakat Arab yang mengutamakan Syura’. Dalam pengambilan
keputusan. Merek ingin menegakkan kembali tradisi Syura yang mendapat
justifikasi dalam Islam, setelah “terkubur” oleh ambisi politik muawiyyah bin Abi
Sufyan. Disamping itu, realita politik yang ditandai oleh pertentangan Ali dan
Muawiyyah ikut memengaruhi kristalisasi pemikiran tersebut. Mereka
menganggap kedua orang ini sebagai penyebab terjadinya chaos dalam tubuh
umat Islam. Tidak berkembanganya tradisi syura’ dan menonjolkan ambisi pribadi
atau golongan untuk mendududki jabatan khalifah juga menjadikan mereka
sebagai kelompok yang berusaha kembali ke prinsip demokrasi dengan
mengabaikan ambisi-ambisi tersebut.
Setelah Usman bin Affan, khalifah ketiga wafat, sebagai calon terkuat adalah Ali
bin Abi Thalib tanggal 24 Juni 656H bertempat di majid Madinah beliau
diresmikan menjadi khalifah ke empat akan tetapi thalhah dan Zubair yang
mewakili Mekkah menolak mengakui Ali, bahkan isteri Nabi sendiri, Siti Aisyah
termasuk yang tidak mengakui Ali, perselisihan Ali dengan Aisyah menimbulkan
perang Jamal dan perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Ali
menjalankan pemerintah Ali memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah,
kemudian memecat semua gubernur yang telah diangkat oleh khalifah Usman
diantaranya Muawiyyah bin Abi Sofyan, Gubernur Damaskus. Pertarungan antara
Ali dan Muawiyyah kamin lama makin berlanjut hingga menjadi pertarunagn
antara BAni Hayim dengan Bani Umayyah dan puncaknya pecahlah perang Siffin.
Dalam perang Siffin terjadi Tahkim (perdaimaian). Tetapi sebagian tentara ali
khawarij kadang menyebut dirinya “syurah” artinya golongan yang
mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridlaan Allah. Sebagaimana
tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 207 selain itu sering juga mereka
menamakan dirinya “Haruriyyah”. Istilah ini berasal dari kata “Harura” yaitu
suatu nama tempat di Kufah. Di

Harura ini tempat penyesalan mereka, karena Ali mau berdamai dengan
Muawiyyah. Intisari pandangan-pandangan politik mereka adalah:

1. Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, adapun


Usman menurut pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa khilafahnya
dari keadilan dan kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan.
Dan Ali telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah.
2.Dosa pada pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan
pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat.
3.Khilafah tidak sah kecuali dengan adanya pemikiran bebas antara kaum
muslimin dan tidak dengan cara apapun selain itu.
4. Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa
seorang khalifah haruslah dari suku quraisy.
5. Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih
berada di jalan keadilan dan kebaikan.
Teori kelompok ini mengenai kekhalifahan merupakan teori kepemimpinan
masyarakat muslim bisa berlaku bagi setiap orang Arab. Karena khalifah dipilih,
maka seharusnya ia tidak turun tahta dan tidak melepaskan haknya dalam hal
apapun juga. Namun demikian, jika dia bersifat tidak adil, dia seharusnya dipecat
atau bahkan dibunuh jika keadaan memaksa.

Pandangan politik kelompok ini dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Menegakkan sebuah Negara adalah wajib menurut syari’at. Tapi sebagian
kelompok ini ada juga berpendapat tidak harus ada seorang imam terutama jika
umat dengan sendirinya dapat menegakkan dasar-dasar keadilan.
2. Pemilihan umum diserahkan kepada umat. Tidak sah imam kecuali dengan
pemilihan umum.
3.Umat dapat memilih seseorang dari kalangan muslim yang dianggap paling baik
dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat persyaratan apakah ia berasal dari
suku Quraisy atau bukan, atau bahkan apakah ia seorang Arab atau ‘Ajam (asing).
DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman. “Relasi Sunni - Syiah: Refleksi Kerukunan Umat Beragama


di Bangsri Kabupaten Jepara.” Penelitian Agama dan
Masyarakat Vol. 1, no. 1 (2017).
Suwartono. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV Andi
Offset, 2014.
Syafrizal, Achmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Islamuna 2, no. 2
(2015): 236–53.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Diedit oleh Afif
Muhammad. Cetakan 2. Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan 1. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Tim Ahlul Bait Indonesia. Buku Putih Mazhab Syiah menurut Para
Ulamanya yang Muktabar. Diedit oleh M. Quraish Shihab.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2012.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2015.
Zahra, Fathimatuz, dan Muhammad Ghufron. “Strategi Pengembangan
Nilai-Nilai Toleransi dalam Relasi Sunni-Syi’ah di
Perkampungan Candi Desa Banjaran-Jepara.” Jurnal Riset
dan Kajian Keislaman VII, no. 2 (2018): .
Zain, Zaki Faddad Syarif. “Pandangan Muhammadiyah Terhadap
Pluralitas Agama.” Tajdida 8, no. 1 (2010): 111–28.

Anda mungkin juga menyukai