Anda di halaman 1dari 11

1

PARADIGMA KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Oleh: Muhammad Zuhdi**

Pendahuluan

Kurikulum merupakan bagian penting dari pendidikan modern. Secara


sederhana, kurikulum dapat dimaknai sebagai sebuah rencana pembelajaran.
Sebagai sebuah rencana, tentu saja ia disusun dengan mempertimbangkan
berbagai hal yang dipandang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
yang akan dilalui dan memuaskan pihak-pihak yang terlibat.

Dewasa ini, ketika pendidikan lebih diarahkan sebagai wahana untuk menempa
peserta didik agar mampu hidup mandiri dan memiliki kemampuan tertentu,
peran kurikulum menjadi sangat sentral. Hal itu karena kurikulum menentukan
hal-hal yang dipelajari peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan masing-
masing. Di samping itu, tingkat ekspektasi masyakarat terhadap kualitas hasil
pendidikan juga semakin tinggi.

Meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap kualitas pendidikan, khususnya


pendidikan tinggi, sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu
meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan semakin kompetitifnya dunia
kerja.

Meningkatnya tingkat pendidikan rata-rata masyarakat berimplikasi pada


tuntutan akan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi diasumsikan
membuat masyarakat lebih sadar akan pentingnya pendidikan dan lebih
rasional dalam berpikir. Kesadaran itu kemudian melahirkan tuntutan agar
kualitas pendidikan semakin meningkat. Mereka menyadari betul bahwa
kualitas pendidikan berkorelasi positif dengan kualitas hidup. Mereka yang
berpendidikan baik cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Karena
itu, disamping semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya partisipasi
pendidikan, juga muncul kesadaran akan pentingnya kualitas pendidikan. Hal
ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga pendidikan

Di samping itu, semakin kompetitifnya dunia kerja juga berimplikasi pada


tuntutan kualitas pendidikan. Dalam dunia kerja yang kompetitif, hanya mereka
yang memiliki kualifikasi terbaik yang bisa menembus pasar kerja yang baik.
Kolusi dan Nepotisme yang dulu banyak mewarnai dunia kerja, nampaknya
1
Makalah disampaikan pada acara Revisi Kurikulum PTAIS, yang diselengarakan oleh
*
Kopertais Wilayah I DKI Jakarta, Puncak, Bogor, 30 Mei 2011
** Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page | 1
semakin hari semakin ditinggalkan, karena terbukti bahwa pengaruh dari kolusi
dan nepotisme dalam pemenuhan sumber daya manusia membuat sebuah
lembaga menjadi tidak kompetitif. Walhasil, dunia pendidikan dituntut untuk
melahirkan lulusan yang berkualitas yang bukan hanya mampu bersaing di
dunia kerja, tetapi juga memiliki pribadi yang unggul dan bahkan menjadi
pioner di berbagai bidang. Ungkapan bahwa banyaknya sarjana menganggur,
atau pengangguran terdidik, sering berkonotasi pada rendahnya kualitas
pendidikan.

Kedua hal tersebut di atas, yaitu tuntutan masyarakat dan dunia kerja,
mendesak dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, untuk
menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang unggul
dan kompeten. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus mampu merumuskan
sebuah proses pendidikan yang dapat menjamin kualitas lulusan, bukan sekedar
meluluskan. Salah satu hal yang berperan penting dalam menjamin kualitas
lulusan adalah kurikulum.

Beragam Makna Kurikulum

Pentingnya kurikulum dalam pendidikan dirangkum oleh Herbert Spencer


dalam sebuah pertanyaan “what knowledge is of most worth?” (Spencer, 1955).
Pertanyaan ini memang nampak sederhana, yaitu pengetahuan apa yang paling
berharga. Namun, ketika pengelola lembaga pendidikan harus menentukan
pengetahuan apa yang dianggap paling penting untuk diajarkan, jawabannya
tidaklah mudah. Sering terjadi, karena sedemikian banyaknya pengetahuan yang
dianggap berharga untuk diajarkan, maka begitu banyak pelajaran atau mata
kuliah yang harus dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya, peserta didik harus
mempelajari banyak hal, tetapi serba sedikit. Sehingga hasilnya pun tidak
sebagaimana diharapkan. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak
memahami bagaimana seharusnya kurikulum disusun.

Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai bagaimana seharusnya kurikulum


disusun, perlu kita pahami terlebih dahulu makna kurikulum. Pertanyaan yang
diajukan Spencer di atas, sebenarnya mengarahkan kita untuk memahami
kurikulum secara sederhana, yaitu pengetahuan yang harus diajarkan. Dengan
kata lain, kurikulum pada awalnya dimaknai sebagai pengetahuan atau mata
pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik. Inilah makna kurikulum yang
banyak dipahami sejak awal digunakannya istilah tersebut dalam pendidikan.

Dalam perkembangannya, dijumpai bahwa kurikulum digunakan untuk makna


yang sangat beragam. Ia tidak hanya dipahami sebatas mata pelajaran/mata
kuliah sebagimana sering dipahami banyak pihak. Tetapi memiliki makna lain
yang dirumuskan dan dikembangkan oleh berbagai pakar pendidikan. Schubert

Page | 2
mengidentifikasi beragam definisi kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli
pendidikan dan membuat kategorisasi terhadap definisi-definisi yang berbeda
itu. Kategorisasinya itu disebut sebagai “the images of curriculum”, yang meliputi:
Kurikulum bermakna mata pelajaran (content or subject matter), kurikulum
bermakna program atau aktivitas terencana (program or planned activities),
kurikulum bermakna hasil belajar yang diharapkan (intended learning outcomes),
kurikulum bermakna reproduksi budaya (cultural reproduction), kurikulum
bermakna pengalaman (experience), kurikulum bermakna tugas dan konsep
tertentu (discrete task and concept), and kurikulum bermakna agenda rekonstruksi
social (agenda for social reconstruction), dan kurikulum bermakna track yang
dilalui (curere) (Schubert, 1986: 26-33).

Dari beragam makna tersebut, makna kurikulum yang paling banyak digunakan
dewasa ini adalah kurikulum bermakna program atau aktivitas terencana. Hal
ini antara lain bisa dilihat dari makna kurikulum yang digunakan oleh undang-
undang pendidikan di Indonesia. Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa kurikulum adalah “seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.” (UU No 20 tahun 2003, pasal 1).

Pemahaman kurikulum sebagai sebuah rencana dan pengaturan mengenai


tujuan sebagaimana disebutkan mengindikasikan bahwa tujuan merupakan
faktor yang sangat penting dalam penyusunan kurikulum. Jika merujuk kepada
kategorisasi yang dikemukakan Schubert di atas, maka definisi kurikulum yang
berlaku di Indonesia merupakan perpaduan antara kurikulum bermakna
program dan aktivitas terencana dengan kurikulum bermakna hasil belajar.
Dikatakan demikian karena definisi kurikulum di atas menunjukkan bahwa
kurikulum adalah sebuah rencana, namun demikian rencana tersebut
berorientasi pada tujuan.

Dalam kurikulum berorientasi tujuan, seluruh komponen kurikulum


dikembangkan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang telah
terlebih dahulu ditetapkan. Dalam perkembangannya belakangan ini, tujuan
yang dimaksud ditetapkan dirumuskan sebagai kompetensi.

Mengapa Kompetensi

Tuntutan untuk melahirkan lulusan yang kompeten, sebagaimana disebutkan di


atas membuat dunia pendidikan menjadikan kompetensi sebagai tujuan
pendidikan. Kompetensi dijadikan sebagai indikator keberhasilan sebuah proses
pendidikan. Ada dua alasan utama mengapa kompetensi menjadi indikator

Page | 3
keberhasilan proses pendidikan, yaitu akuntabilitas dan individualitas (Urch,
1975: 34)

Akuntabilitas

Ketika lembaga telah menjadi sebuah lembaga publik, apalagi menggunakan


dana publik maka ia dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan stakeholdersnya.
Lembaga-lembaga pendidikan menyerap dana publik dengan dua cara. Pertama,
jika lembaga itu milik pemerintah, maka dana publik diserap melalui anggaran
negara. Kedua, jika lembaga itu milik swasta, maka dana publik diserapnya
langsung dari melalui SPP mahasiswa. Atas dasar itu, maka masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung merasa sangat berkepentingan dengan
akuntabilitas lembaga-lembaga pendidikan.

Akuntabilitas lembaga pendidikan dapat dipahami dalam dua bentuk:


pengelolaan anggaran dan kualitas lulusan. Dalam hal pengelolaan anggaran,
lembaga pendidikan memiliki beban moral untuk menerima dan memanfaatkan
anggaran belanja secara benar dan bertanggungjawab. Sementara dalam hal
kualitas lulusan, akuntabilitas lembaga pendidikan diukur dari kompetensi yang
dimiliki oleh lulusannya. Lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan yang
tidak berkualitas akan dianggap sebagai lembaga yang tidak dikelola dengan
baik.

Pengelolaan keuangan yang baik menjadi tidak berarti ketika sebuah lembaga
pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah, apa ukuran sebuah lembaga pendidikan dianggap
menghasilkan lulusan yang berkualitas. Apakah sekedar nilai? IPK? Atau
kemampuan khusus?

Nilai atau IPK tentu tidak bisa menjadi ukuran kualitas, karena seorang
mahasiswa yang memperoleh IPK yang tinggi di sebuah perguruan tinggi,
belum tentu akan memperoleh nilai yang sama jika dia berada di perguruan
tinggi lain. Hal ini karena nilai, atau IPK, apalagi untuk ilmu-ilmu sosial
seringkali dipengaruhi oleh subyektivitas dosen dan standar kualitas yang
dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi.

Jika IPK lulusan tidak mencerminkan kualitas pendidikan tinggi, lalu apa yang
bisa menjadi ukuran. Di sinilah kompetensi dianggap penting sebagai sebuah
ukuran kualitas. Kompetensi dipandang sebagai sebuah kerangka obyektif yang
dapat mengukur kemampuan seseorang sesuai dengan disiplin ilmu yang
dimilikinya. Sebagaimana akan dijelaskan nanti, kompetensi dapat dirumuskan
untuk menjadi tujuan pendidikan dan menjadi ukuran keberhasilan sebuah
lembaga pendidikan.

Page | 4
Dengan demikian, makna akuntabilitas sebuah lembaga pendidikan tidak hanya
pada manajemen keuangannya saja, tetapi lebih penting dari itu adalah
kemampuan mengelola segala sumberdaya pendidikan (educational resources)
sehingga mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Akuntabilitas
pengelolaan sumber daya pendidikan ini jauh lebih bermakna bagi para
stakeholders dibandingkan dengan akuntabilitas keuangan semata-mata.

Individualitas

Mayoritas lembaga pendidikan mengelompokkan peserta didik ke dalam


beberapa kelas atau rombongan belajar, tidak terkecuali di perguruan tinggi.
Pengelompokan ini dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan efisiensi
waktu dan biaya, sebab jika pengajar harus melayani mahasiswa satu persatu,
seperti sistem sorogan, maka waktu yang diperlukan akan sangat banyak
demikian juga biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa. Keuntungan lain dari
sistem kelas ini adalah adanya kelompok belajar (group learning) di mana
mahasiswa bisa saling melengkapi pengalaman belajar mereka.

Sisi lain dari pengelompokkan ini adalah mahasiswa sering tidak lagi dianggap
sebagai individu, melainkan sebagai kelompok. Sehingga pendidik sering
mengabaikan kemampuan individu masing-masing mahasiswa. Padahal ketika
mendaftarkan diri sebagai peserta didik, mereka adalah individu-individu yang
ingin belajar. Di samping itu, pengajaran sistem kelompok ini seringkali
menyesuaikan target hasil yang ingin dicapai dengan kualitas rata-rata peserta
didik. Walhasil, meskipun materi yang diajarkan sama, tetapi boleh jadi standar
hasilnya berbeda antara kelompok mahasiswa yang berbeda. Di sinilah
kompetensi sekali lagi dipandang sebagai ukuran yang obyektif.

Ketika kompetensi dianggap sebagai ukuran yang obyektif, maka setiap


individu mahasiswa harus difasilitasi untuk mencapai ukuran-ukuran tersebut.
Tanner (2001: 387) menggambarkan bahwa pendidikan dengan model
kompetensi ini “menekankan pada sebuah proses belajar mengajar yang
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu, menekankan pada
hasil yang harus dicapai oleh setiap individu dan memberikan fleksibilitas bagi
setiap individu untuk mencapai hasil yang diharapkan dengan cara yang
fleksibel.”

Dengan memperhatikan kedua hal tersebut – akuntabilitas dan individualitas,


kita dapat memahami mengapa kompetensi menjadi penting. Karena ia menjadi
ukuran efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan akan
dikatakan efektif apabila tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh sebuah
proses pendidikan. Semakin tinggi tingkat pencapaiannya, maka sebuah

Page | 5
program dinilai semakin efektif. Tingginya tingkat pencapaian bukan hanya
keberhasilan sekelompok orang dalam group, tetapi juga keberhasilan setiap
individu dalam group untuk mencapai tujuan. Sementara efisiensi bisa
dilakukan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal.

Kompetensi sebagai Tujuan

Sebagai sebuah konsep yang digunakan dalam kurikulum, makna kompetensi


perlu dirumuskan secara lebih komprehensif sehingga dapat membantu para
penyusun kurikulum dalam merumuskan kompetensi lebih lanjut.

Setelah melakukan analisis terhadap berbagai makna kompetensi dan


memperhatikan kompetensi di dunia kerja, Kowenhouven (2009) merumuskan
kompetensi profesional sebagai sesuatu yang kompleks. Menurutnya, kaum
profesional melakukan tugas mereka yang meliputi berbagai jenis pekerjaan dan
kegiatan yang dapat dirumuskan sebagai pekerjaan kunci atau utama (key
occupational task).

Kemampuan seorang professional melakukan berbagai pekerjaan dan kegiatan


utama ini didukung oleh kemampuannya menguasai pengetahuan dan
keterampilan serta penguasaan sikap. Dengan demikian, kompetensi dapat
diartikan sebagai perpaduan berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang diperlukan untuk melaksanakan tugas profesional tertentu. Dengan kata
lain, kompetensi, seperti yang dirumuskan oleh Wina Sanjaya, “pada dasarnya
merupakan perpaduan darii pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.”(Sanjaya, 2006: 7).

Dalam peraturan pendidikan di Indonesia, kompetensi didefiniskan sebagai


seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Kepmendiknas No. 45/2002 pasal 1)

Mengingat bahwa kurikulum berbasis kompetensi memperhatikan keberhasilan


individu dalam belajar, Wilson dan Stansberry merumuskan karakteristik
pendidikan berbasis kompetensi sebagai berikut:
(1) Kompetensi dirumuskan dan disampaikan ke publik sebelum
implementasi dilakukan;
(2) Kriteria penilaian ditentukan di awal dan disampaikan secara terbuka;
(3) Kemampuan peserta didik adalah bukti utama akan tercapainya sebuah
kompetensi;
(4) Program pendidikan tidak berorientasi waktu, tetapi lebih fokus pada
keberhasilan peserta didik dalam belajar;

Page | 6
(5) Program pembelajaran fokus pada tercapainya kompetensi yang
diharapkan.
(Wilson dan Stansberry, 1975: 128)

Dengan memperhatikan karakteristik tersebut, kita dapat memahami bahwa


ketercapaian kompetensi dalam sebuah program pendidikan yang bergantung
pada tiga hal, yaitu: (1) perumusan kompetensi sebagai tujuan yang ingin
dicapai, (2) proses pembelajaran yang menyesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan peserta didik, (3) evaluasi yang obyektif dan transparan.

Merumuskan Kompetensi dalam Kurikulum

Ketika kompetensi telah ditetapkan sebagai basis dari pengembangan sebuah


kurikulum, maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah merumuskan
kompetensi.

Menurut konsep yang ditawarkan oleh Kouwenhoven, untuk dapat


merumuskan kompetensi inti, perlu diidentifikasi terlebih dahulu pekerjaan atau
kemampuan yang dianggap vital bagi sebuah profesi, atau yang disebut
pekerjaan inti (key occupational task). Kemudian dianalisis kemampuan-
kemampuan yang dipandang perlu dimiliki oleh seseorang untuk mampu
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan utama tersebut. Kemampuan-kemampuan
yang diperlukan inilah yang kamudian disebuat sebagai kompetensi inti (core
competence). Singkatnya, kompetensi inti menurut Kouwenhoven (2009, 5) adalah
seperangkat kompetensi yang dibutuhkan untuk memastikan penguasaan tugas
pokok sebuah profesi pada level memadai atau memuaskan. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan bagan berikut ini:

Page | 7
Gambar: Hubungan antara berbagai elemen kompetensi dengan tugas utama
profesional (kouwenhoven, 2009: 6)

Gambar di atas menunjukkan pola hubungan antara kemampuan utama profesi


dengan kurikulum. Kompetensi inti (core competence) merupakan turunan dari
tugas/pekerjaan utama. Kompetensi inti ini didukung oleh berbagai kompetensi
spesifik dan umum yang dirumuskan dalam kurikulum. Kompetensi spesifik
dan umum inilah yang menjadi acuan pembuat kurikulum untuk menawarkan
program yang komposisinya meliputi berbagai aspek tujuan pendidikan.

Sejalan dengan itu, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 45/U/2002


menyebutkan adanya tiga jenis kompetensi yang perlu dirumuskan oleh
program studi, yaitu kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan
kompetensi lain yang bersifat khusus.

Kompetensi utama yang telah dirumuskan kemudian diterjemahkan menjadi


kurikulum inti, yaitu kurikulum khas program studi yang membedakannya
dengan keahlian di bidang studi lainnya. Sementara kompetensi pendukung dan

Page | 8
kompetensi lain yang melengkapi lulusan sebuah program studi dirumuskan
dalam kurikulum di luar kurikulum inti.

Secara spesifik, meskipun kementrian pendidikan nasional memberikan


keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk menyusun kurikulum mereka sendiri,
namun diingatkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
45/U/2002 bahwa komposisi antara kurikulum inti dan kurikulum di luar
kurikulum inti adalah: kurikulum inti antara 40 – 80%, kurikulum untuk
kompetensi pendukung antara 20 – 40%, dan kurikulum untuk kompetensi
lainnya antara 0 – 30%.

Penutup

Kurikulum Berbasis Kompetensi yang berkembang dewasa ini lahir sebagai


jawaban atasi kegelisahan banyak pihak terhadap kualitas lulusan lembaga-
lembaga pendidikan. Banyak pihak yang menyoroti bahwa banyak lulusan
perguruan tinggi yang tidak bisa langsung bekerja sesuai dengan keahliannya,
karena kemampuan yang mereka miliki belum sesuai dengan ekspektasi para
pemangku kepentingan di masyarakat dan dunia kerja. Sehingga dipandang
perlua danya perubahan orientasi pendidikan, dari kurikulum hingga evaluasi.

Melihat latar belakang tersebut, maka kita diingatkan bahwa sebenarnya


orientasi kurikulum berbasis kompetensi ini adalah pasar kerja. Hal ini tidak
dipungkiri terjadi karena tuntutan terhadap perguruan tinggi saat ini adalah
keterserapan lulusannya di dunia kerja.

Bagi sebagian orang yang berpendapat bahwa pendidikan bukanlah semata-


mata untuk mencari kerja, maka kurikulum berbasis kompetensi bsia dianggap
sebagai solusi yang tidak tepat terhadap persoalan pendidikan . Tanner secara
ironi mengatakan, “ pendidikan berbasis kompetensi dianggap oleh sebagian
orang sebagai jawaban, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai
jawaban yang tidak tepat, atas persoalan peningkatan kualitas pendidikan,
khususnya dalam memenuhi harapan dari dunia kerja.

Page | 9
Page | 10
Daftar Pustaka

Kementrian Pendidikan Nasional (2002) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI


No. 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.

Kouwenhoven, W. (2009) ‘Competence-based curriculum development in higher


education: A globalized concept?, dalam A. Lazinica dan C. Calafate (ed.)
Technology, Education and Development. Croatia: In-Tech, pp. 1-22.

Sanjaya, Wina (2006) Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulumm Berbasis Kompetensi.


Jakarta: Kencana-Prenada Media Group.

Schubert, W.H. (1986) Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New York:
MacMillan.

Spencer, H. (1955) Education: Intellectual, Moral, and Physical. New York: Appleton

Tanner, C. A. (2001) ‘Competency-based education: the new panacea?’ in Journal of


Nursing Education. Vol. 40, No. 9, December 2001, pp. 387 – 388.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Urch, G. E. (1975) ‘A philosophical perspective of competency based education’


dalam Robert T. Utz dan Leo D. Leonard, The Foundations of Competency Based
Education. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company, h. 30 – 47.

Wilson, A.P dan Stansberry, T. L. (1975) ‘Contemporary trends and competency


based education’ dalam Robert T. Utz dan Leo D. Leonard, The Foundations of
Competency Based Education. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company, h. 128 –
144.

Page | 11

Anda mungkin juga menyukai