Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PEMBAGIAN HADIST
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadist

Dosen Pengampu: Tatang Sulaeman,s.pd.l,m.pd.l

Disusun oleh:

Ainul Basiroh

Malika Diyaunnisa Laila

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS – JAWA BARAT
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat menyelesaikankan Makalah ini yang berjudul
“pembagian hadist” Shalawat dan salam kepada junjunangan kita Nabi besar Muhammad
SAW, semoga kita mendapat pertolongannya dihari kemudian Amin.
Pada kesempatan ini kita menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada bapakTatang Sulaeman, S.Pd.I, M.Pd.I. Kita sepenuhnya
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, kita
bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca dalam upaya perbaikan makalah ini.

Ciamis, 01 Maret April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Masalah 7
BAB II PEMBAHASAN 8
2.1 Pembagian hadist berdasarkan kuantitas rawi 9
2.2 hadist berdasarkan bentuk dan penisbatan matan 10
2.3 hadist berdasarkan persambungan dan keadaan sanadi 11
BAB III PENUTUP 14
3.1 KESIMPULAN 15
3.1 SARAN 16
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hadits adalah pedoman kedua dalam agama Islam setelah Al Quran. Mempelajari hadits
begitu penting bagi kita sebagai umat Islam. Karena dengan mempelajarinya maka kita akan
mengetahui apa yang disabdakan oleh Nabi kita. Mempelajari hadits juga merupakan
konsekuensi dari syahadat kita terhadap kerasulan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari ilmu ini.

Hadits (‫ )الحديث‬secara bahasa berarti Al-Jadiid (‫ )الجديد‬yang artinya adalah sesuatu yang baru;
yakni kebalikan dari Al-Qadiim (‫ )القديم‬yang artinya sesuatu lama. Sedangkan hadits menurut
istilah para ahli hadits adalah :

ٍ ْ‫ َأوْ َوص‬،‫ َأوْ تَ ْق ِري ٍْر‬،‫ َأوْ فِع ٍْل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن قَوْ ٍل‬
‫ف‬ ِ ‫َما ُأ‬
َ ‫ضيْفُ ِإلَى النَّبِ ِّي‬

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam baik
ucapan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat

1.2 Rumusan Masalah

Dari Latar Belakang diatas dapat diperoleh beberapa rumusan masalahnya yaitu antara lain

1. Pembagian hadits berdasarkan kuantitas rawi

2. Hadits berdasarkan bentuk dan penisbatan matan

3. Hadits berdasarkan persambungan dan keadaan sanad

1.3 Tujuan Penelitian

Dari Rumusan Masalah diatas dapat diambil beberapa tujuan, diantaranya :

1. Mengetahui pembagian hadist berdasarkan rawi?


2. Mengetahui hadist berdasarkan prnisbatan matan?
3. Mengetahui hadist berdasarkan persambungan dan keadaan sanad?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembagian hadist berdasarkan kualitas rawi

Pembagian hadits berdasarkan kuantitas rowi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu hadit
Mutawatir dan Hadits Ahad. Kemudian Hadits Ahad terbagi lagi menjadi tiga dengan Hadits
Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib. Hal itu didasarkan karena beragamnya jumlah rawi
dalam setiap tingkatannya.

a. hadits mutawatir

Menurut bahasa mutawatir ialah berturut-turut, terus menerus. Sedangkan menurut istilah
fachur Rahman memberikan definisi “suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera,yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang merutut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta. Mahmud Tahhan berpendapat hadits yang diriwayatkan
banyak orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. suatu hadist
baru dapat di katakan dengan mutawatir, bila telah memenuhi tiga syarat tersebut di bawah
ini:

• Berita yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan


pancaindera. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran
atau penglihatan sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil
rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbath dari satu dalil
dengan dalil yang lain , bukan berita mutawatir. Misalnya pewartaan orang banyak tentang
kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat
merusak adalah benda baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini
bisa rusak,sudah barang tentu ia benda baru.

• Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan


mereka bersepakat bohong. Para ulama berbeda-beda pendapat tentang batasan yang
diperlukan untuk tidak bersepakat dusta.
• Abu at-Thhayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang,karena diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa. Ash-
habu’sy-Syafi’iy menentukan 5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para nabi
yang dapat gelar ulul azmi.

Sebagian ulama menetapkan sekurang kurang nya 20 orang , bedasar kan ketentuaan yang
telah difirman kan oleh allah dalam surah Al-anfal 65 , tentang sugesti allah kepada orang –
orang mukmin yang pada tahan uji , yang hanya dengan berjumblan 20 orang saja mampu
mengalahkan orang kafir sejumblah 200 orang.

Jumlah rawi-rawi sebagai mana yang telah mereka tentukan batas minimal dan maksimalnya
itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karna alasan yang mereka kemukakan untuk
mempertahankan pendapat nya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok persoalannya.
Sebab persoalan yang prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau
banyaknya diukur kepada tercapainya ilmu a‘dl-dlarury. Walau pun jumlah rawi-rawi itu
tidak banyak, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar
benar meyakinkan, maka hadist itu sudah dapat dimasukan hadits mutawatir.

Adanya keseimbangan jumlah antara rawi rawi dalam thabaqah [lapisan] pertama dengan
jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karna itu, kalau suatu hadits di riwayat
kan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian terdiri oleh lima orang tabi’in dan seterus
nya hanya di riwayat kan oleh dua orang tabi’in-tabi’in, bukan hadits mutawatir sebab jumlah
rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama kedua dan ketiga.

Karena syarat-syarat hadits mutawatir itu demikian ketatnya maka sebagian ulama seperti
ibnu hibban dan al-hazimy menganggap bahwa hadits mutawatir itu tidak mungkin terdapat.
Ibnu’sh-shalah berpendapat, bahwa hadits mutawatir itu memang ada, hanya jumlahnya
terlalu kecil. Kedua pendapat tersebut tidak di benarkan oleh Ibnu hajar,di sebabkan
kekurangan mereka dalam menelaah jalan-jalan hadist,kelakuan dan sifat-sifat rawinya yang
dapat memustahilkan bersepakat bohong.menurut beliau, hadist mutawatir itu banyak kita
dapati dalam kitab-kitab masyhur.seperti: Al-Azharu’I-Mutanasir fi’I-Akhbari-
Mutawatirah,karya As-Suyuthiy (911 H). Dalam kitab itu disusunnnya menurut bab demi bab
dan setiap hadist diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. Kemudian
kitab tersebut diringkas dan diberi nama Qathful-Azhar, Nadmu’I-mutanatsir mina’I-
Haditsi’I-mutawatir,karya Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far Al-kattany (1345 H).
Para ahli ushul membagi Hadist Mutawatir kepada dua bagian, yaitu mutawatir lafdzi dan
mutawatir ma’nawy. “hadits mutawatir” itu memberi faidah ilmu adlarury. Yakni keharusan
untuk menerimanya bulat-bulat sesuai yang diberitakan oleh hadits mutawatir hingga
membawa kepada keyakinan yang pasti. Rawi-rawi hadits mutawatir, tidak perlu lagi
diselidiki tentang keadilan dan ( kuatnya ingatan ) karena kualitas rawi-rawinya sudah
menjamin persepakatan dusta. Nabi muhammad saw benar benar menyabadakan atau
mengerjakan sesuatu, sebagai mana yang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.

Contoh hadits mutawatir hadits yang diriwatakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari
Abdullah bin Zubair, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan Ali bin Rabiah bahwa Rasulullah
bersabda: “barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menduduki
teempat duduk di neraka”. Menuru Abu bakar AI-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh
40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oieh
62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.

b. Hadits ahad

Suatu hadits disebut sebagai Hadits Ahad jika hadits tersebut tidak memenuhi syarat hadits
Mutawatir. Para ulama ahli Hadits memberikan pengertian dengan suatu hadits yang tidak
mencapai derajat atau tingkatan mutawatir. Berawal dari beragamnya jumlah pada setiap
thabaqah atau tingkatan para ulama Hadits membagi hadits ahad ini menjadi tiga bagian yaitu
Hadits masyhur, hadits Aziz dan hadits Gharib:

a. Hadits Masyhur

Menurut bahasa Masyhur artinya yang disiarkan, yang diterangkan, terkenal, yang
ditampakkan, yang ditunjukan dan yang masyhur. Menurut istilah beberapa ulama
memberikan pengertian. Imam Syuyuti memberikan pengertian dengan suatu hadits yang
diriwayatkan dengan tiga sanad yang berlainan. Mahmud tahhan memberikan pengertian
hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih disetiap tingkatannya asalkan
jumlahnya tidak mencapai batas mutawatir. Syeikh Utsaimin memberikan pengertian dengan
suatu hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dan tidak mencapai derajat
mutawatir.

Dapat kita simpulkan bahwa hadits masyhur adalah suatu hadits yang diriwayatkan tiga orang
atau lebih dalam setiap tingkatannya dengan tiga sanad yang berlainan dan tidak mencapai
tingkatan atau derajat mutawatir.
Contoh hadits Masyhur : Rosulullah bersabda seorang muslim itu ialah orang yang
menyelamatkan sesama Muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya (H.R Bukhari
dan Muslim).

Macam-macam hadits Masyhur :

• Masyhur dikalangan para muhaditsin dan lainnya

Mashur di kalangan ahli ilmu tertentu mislanya hanya Masyhur dikalangan ahli hadits saja,
atau ahli fiqih saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja atau lain sebagainya.

• Masyhur dikalangan umum saja

Mahmud Tahhan mengatakan hukum hadits masyhur tidak dapat diklaim sebagai hadits
shahih atau tidak shahih. Melainkan Hadits masyhur ada yang shahih, ada yang hasan, ada
yang daif ada juga yang maudhu.

b. Hadits Aziz

Aziz menurut bahasa sedikit, jarang, kuat keras. Sedangkan menurut istilah pendapat syeikh
Utsaimin hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi saja. Menurut Mahmud Tahhan
hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang diseluruh tingkatan sanadnya,
Muhammad bin Ibrahim khiraj as-salafi al-jazairy memberikan definisi hadits aziz adalah
hadits yaang diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya tidak kurang dari dua perawi dan
keduanya meriwayatkan hadits tersebut dari dua orang perawi juga.

Contoh hadits Aziz hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari
Anas bin Malik bahwa Rosulullah bersabda: “tidak sempurna keimanan salah seorang
diantara kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orangtua dan anak-anaknya serta manusia
semuanya”. Hukum hadits aziz terkadang ada yang shahih, hasan dan terkadang juga ada
yang da’if.

c. Hadits Gharib

Hadits Gharib menurut bahasa ialah asing, aneh, ganjil, tidak biasa, tidak umum, luar biasa.
Sedangkan menurut istilah Fatchur Rahman berpendapat hadits gharib adalah hadits yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja
penyendirian sanad itu terjadi. Syeikh Utsaimin memberikan definisi hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi saja. A. Qadir hassan berpendapat satu hadits yang seorang
rawi bersendiri dalam meriwayatkannya, yaitu tidak ada orang lain menceritaakannya,
melainkan dia.

Contoh Hadits Gharib : hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah bersabda: “Iman itu ada enam puluh cabang lebih, dan malu salah satu
cabang iman”.

Ulama hadits membagi Hadits gharib dengan Gharib Mutlak dan Gharib nisbi. Gharib Mutlak
ialah apabila penyendirian Rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya.
Sedangkan Gharib Nisbi ialah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi. Ada juga yang membagi hadis gharib dilihat dari sisi gharibnya sanad
dan matan. Hadits Gharib matan dan sanad ialah hadits yang matannya diriwayatkan oleh
seorang rawi saja, hadits gharib matan bukan sanad seperti hadis yang matannya
diriwayatkan oleh sekelompok sahabat namun diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat
lainnya

2.2 Hadist berdasarkan bentuk dan penisbatan matan

a. Berdasarkan bentuk

Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi dalam lima macam yaitu:

• Hadits Qauli: yakni yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan.

• Hadits Fi’li: yakni hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis
terhadap peraturan syari’at.

• Hadits Taqrir: yakni yang matannya berupa taqrir yakni kesan atau peristiwa, sikap
atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah
dilakukan atau diperkatakan oleh seorang sahabat.

• Hadits Kauni: yakni hadits yang matannya berupa keadaan atau hal ihwal dan sifat
tertentu.

• Hadits Hammi: yakni hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum
dikerjakan yang sebetulnya berupa qaul atau ucapan.[1]

b. Berdasarkan penisbatan matan

Dan dari segi penisbatan matannya maka hadits dapat dibagi menjadi empat macam yaitu:
1. Hadits Qudsi

Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan
yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat
Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang
disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada
Allah ta’ala. Nisbat ini mengesankan rasa hormat, karena materi itu sendiri menunjukan
kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis, artiya menyucikan Allah.
Taqdis sama dengan tathir, dan taqoddasa sama dengan tatohharo (suci, bersih). Allah SWT
berfirman yang artinya: “Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?". (Q.S Al-Baqarah[2] :30)

Menurut pendapat lain Hadits Qudsi ialah hadits yang oleh nabi SAW disandarkan kepada
Allah . dalam hal ini, maka nabi menjadi seorang perawi kalam Allah dengan lafal dari nabi
sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadits qudsi, maka dia meriwayatkannya dari
Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah. Pendapat lain mengatakan hadist qudsi adalah
Hadits yang di nisbatkan kepada Dzat yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Secara istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai Hadits yang yang di sabdakan Rasulullah,
berdasarkan firman Allah SWT. Dengan kata lain, matan Hadits tersebut adalah mengandung
firman Allah SWT.

2. Hadits Marfu’

Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa ini hadits marfu,maka maksudnya adalah
hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW baik bersambung sanadnya at muttasil, ataupun
tidak muttasil yakni ada keterputusan pada sanadnya. Yang apabila dinamai dalam ilmu
musthalah sebagai hadits munqoti’ jika terputus salah satu sanadnya namun tidak beriringan
dan disebut mu’dal apabila terputus dua sanadnya secara beriringan.

Para ahli hadits membagi hadits marfu ini kepada dua bagian yaitu:

1. Marfu’ sharih (marfu’ haqiqy), yakni yang tegas disandarkan kepada Nabi. Dan marfu
ini pula dibagi lagi kedalam tiga bagian yaitu:

a. Marfu’ qauly yakni hadits marfu yang berasal dari perkataan Nabi SAW seperti
perkataan para sahabat: “ saya mendengar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:....”
b. Marfu’ fi’ly yakni hadits marfu’ yang berasal dari tingkah laku Nabi seperti perkataan
sahabat: “ saya melihat bahwa sanya Rasulullah berbuat begini”.

c. Marfu’ taqriry seperti seorang sahaby atau yang lainnya berkata: “ ada seseorang
berbuat begini, dihadapan Rasul” dengan menerangkan bahwa Nabi tidak membantah
perbuatan ini.

2. Marfu’ ghoiru sharih (marfu hukmy), ialah segala yang dipandang hadits marfu’
padahal tidak disandarkan secara tegas kepada Nabi. Marfu’ ghairu sharih juga dibagi
menjadi tiga yaitu:

a. Perkataan seorang sahabat yang menerangkan bahwa seorang sahabat pernah berbuat
sesuatu di masa Rasul.

b. Perkataan seorang sahabat yang bersifat menetapkan suatu pahala atau suatu siksa.

Perkataan seorang sahabat “ bahwa yang demikian ini menurut sunnah”. Untuk jenis yang
ketiga ini diperselisihkan ulama karena perkataan menurut sunnah mungkin dikehendaki
menurut sunnah Nabi SAW, mungkin sunnah Abu Bakar, mungkin pula sunnah khalifah
yang lain. Katerangan:

1. Qauli Tasrihan : ucapan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.

2. Qauli Hukman: ucapan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi


mengandung hukum Marfu.

3. Fi`li Tasrihan: perbuatan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.

4. Fi`li Hukman: perbuatan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi


mengandung hukum Marfu.

5. Taqriri Tasrihan: ketetapan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.

6. Taqriri Hukman: ketetepan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi


mengandung hukum Marfu.

Contoh Hadits Marfu Qauli Tasrihan:

)‫ حسن الملكة يمن سوء الخلق سؤم(رواه ابن عسكر‬:‫عن جابرقال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
Artinya: dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan buruk
kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).

Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu Qauli Tasrihan karena dengan terang-terangan

Contoh Hadits Marfu Qauli Hukman:

)‫ الدعاء موقوف بين السماء واالرض ال يصعد شيء حتي يصلي على النبى (رواه التريذى‬:‫عن عمر قال رسول هللا قال‬

Artinya: dari umar ia berkata: “do`a itu terhenti antara langit dan bumi, tidak bias naik sedikit
pun daripadanya sebelum dishalawatkan atas Nabi” (HR. Turmudzi).

Dikatakan Hadits Qauli Hukman karena tidak terang-terangan menyebutkan “‫”قال رسول ا هلل‬
tetapi mengandung hukum atau pengertian bahwa Umar menerima Hadits tersebut dari
Rasulullah SAW.

Contoh Hadits Marfu Fi`Li Tasrihan:

)‫عن انس اعتق رسول هللا سلى هللا عليه وسلم صفية وجعل عتقها مهرها (رواه النساءى‬

Artinya: dari Anas: Rasulullah SAW telah memerdekakan shafiyah dan beliau jadikan
memerdekakanya itu sebagai mahar.

Dengan tegas Hadits ini menerangkan tentang perbuatan Nabi yakni memerdekakan shafiyah.

Contoh Hadits Marfu Fi`Li Hukman:

)‫ان علي ابنابي طالب صلى في الكسوف عشر ركعات فى اربع سجدات (المحلى‬

Artinya: bahwa Ali Bin Abi Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku` dengan 4 sujud.

Hadits diatas menerangkan tentang Ali yang shalat kusuf dengan 10 ruku` dengan 4 sujud.
Ali tidak akan melakukan ini kecuali melihat atau mendapi Rasulullah melakukannya juga.
Maka Hadits ini dianggap Marfu fi`li hukman, karena dzahirnya bukan Nabi yang
mengerjakan.

Contoh Hadits Marfu taqriri tasrihan:

)‫عن ابن عباس قال كنا نصلى ركعتين بعد غروب الشمس وان النبي يرانا فلم يا مرون بينهنا (رواه مسلم‬
Artinya: dari Ibnu Abbas ia berkata: kami pernah shalat dua rakaat sesudah terbenam
matahari, sedang Nabi melihat kami, tetapi beliau tidak memerintah kami dan tidak melarang
kami. (HR. Muslim).

Hadits diatas dianggap Marfu Taqriri Tasrihan karena secara terang-terangan Nabi malihat,
namun tidak menyuruh ataupun melarang dengan kata lain Nabi membenarkan.

Contoh Hadits Marfu taqriri hukman:

)‫ كانت تقرع باالظافر (رواه البخاري‬:‫عن انس ابنن مالك قال ان ابواب النبي ص م‬

Artinya: dari Anas Bin Malik: sesungguhnya pintu-pintu (rumah) Nabi SAW diketuk dengan
jari-jari (HR. Bukhari). Hadits diatas dinyatakan sebagai Hadits Marfu taqriri hukman karena
perbuatan sahabat yang mengetuk rumah Rasulullah, dan Rasulullah tidak melarang maupun
menyuruh, dengan kata lain membenarkan perbuatan para sahabat

· Dalam penyampaiannya ada beberapa kalimat yang bisa menjadi tanda dari Hadits
Marfu diantaranya:

1. Jika yang berbicara sahabat:

a. Kami telah diperintah (‫) امرنا‬.

b. Kami telah dilarang (‫)نهيناعن‬.

c. Telah diwajibkan atas kami (‫)اوجب علينا‬.

d. Telah diharamkan atas kami (‫)حرم علينا‬.

e. Telah diberi kelonggaran kepada kami (‫)رخص لنا‬.

f. Telah lalu dari sunnah (‫)مضت السنة‬.

g. Menurut sunnah ((‫من السنة‬

h. Kami berbuat demikian di zaman Nabi (‫)كنا نفعل كذا في عهدالنبي‬.

i. Kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup

(‫)كنا نفعل كذا وكان النبى ص م حى‬.

· Jika yang meriwayatkanya tabi`in:


a. Ia merafa`kanya kepada Nabi SAW (‫)يرفعه‬.

b. Ia menyandarkanya kepada Nabi SAW (©‫)ينميه‬.

c. Ia meriwayatkanya dari Nabi SAW (‫)يرويه‬.

d. Ia menyampaikanya kepada Nabi SAW (‫)يبلغ به‬.

e. Dengan meriwayatkan sampai Nabi SAW (‫)رواية‬.

· Jika di akhir sanad ada sebutan (‫ )مرفوعا‬artinya: keadaanya diMarfu`kan.

· Jika sahabat menafsirkan Al Qur`an:

a. Asbabun nuzul

Contoh:

‫ وليس البر بان تاتوا البيوت من ظهورها ولكن‬: ‫عن البراءقال كانو اذا احرموا في الجاهلية اتوا البيت من ظهره فانزل هللا‬
)‫البر من اتقى واتوا البيوت من ابواها (رواه البخارى‬

Artinya: dari Bara` ia berkata: adalah orang-orang apabila mengarjakan ibadah haji di zaman
jahiliyah, mereka keluar masuk rumah dari sebelah belakangnya. Lalu Allah turunkan ayat:
“bukanlah kebajikan itu karena kamu keluar masuk rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan
itu, ialah orang yang berbakti. Oleh karena itu, keluar dan masuklah rumah-rumah dari pintu-
pintunya”. (HR. Bukhari).

Dari contoh Hadits diatas bias kita tarik kesimpulan bahwa sahabat menceritakan asbabun
nuzul dari surat Al Baqarah ayat 189. Hadits ini disebut Marfu karena seolah Nabi lah yang
bersabda demikian atau Nabi membenarkan perkataan sahabatnya.

b. Keterangan dari sebuah ayat atau kalimat dalam Al Qur`an

Contoh:

)‫عن عبدهللا في هذه االية الذين يدعون يبتغون© الي ربهم الوسيلة (رواه البخارى‬

Artinya: dari Abdullah Bin Mas`ud tentang ayat ini yaitu: “yang orang-orang menyerukan
(sebagai tuhan) mereka, mengharapkan kedekatan kepada tuhan mereka” ia berkata “adalah
satu golongan dari jin disembah oleh manusia, lalu jin-jin itu masuk islam”. (HR. Bukhari).
Abdullah bin mas`ud adalah sahabat yang menafsirkan ayat 5 surat Al Ishra bukan
berdasarkan ijtihad dan pikiran. Tetapi berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW.

Catatan:

Hadits tentang tafsir sahabat dengan jalan ijtihad dan pikiran.

)‫قال الخيل (رواه ابن جرير‬.‫عن ابن عباس فى قوله والعاديات ضبحا‬

Artinya: dari ibnu abbas, tentang firman Allah: “wal`adiati dlabhan” ia berkata: (maksudnya)
kuda”. (R. ibnu jarir 30:150).

Ibnu Abbas adalah seorang sahabat yang memaknakan “wal`adiyati dabhan” sebagi “kuda”
sedang sahabat lain ada yang memaknakan “unta”. Macam-macam pendapat ini semua
muncul dari ijtihad masing-masing sahabat. Maka hal ini dimasukkan kepada mategori Hadits
Mauquf yang akan dibahas kemudian.

3. Hadits Mauquf

Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa ini adalah hadits mauquf, maka maksudnya
adalah hadits (khabar) yang dituturkan oleh seorang shahaby, baik ucapan ataupun perkataan
yang tidak diterangkan oleh Nabi.

Jika hadits tersebut disandarkan kepada seorang sahabat atau orang yang bukan sahabat,
maka hendaknya ditegaskan yakni harus dikatakan siapa yang mengatakannya. Umpamanya
hadits ini mauquf kepada Mujahid.

Mengenai hal seperti ini, para ulama berbeda pendapat tentang berhujjah dengan hadits
mauquf. Menurut Syafi’i dalam kitabnya al-jadid, ia tidak dapat dijadikan hujjah. Kalau
dipandang menjadi hujjah, maka hadits mauquf didahulukan atas qiyas dan lazim kita
amalkan. Namun apabila para sahabat telah berselisih tentangnya, maka kia tidak boleh taqlid
saja kepada salah seorangnya sebelum kita mencari dalil yang mengkuatkan salah satunya.

1. Ucapan:

)‫عن عبدهللا بن مسعود قال ال يقلدن احدكم دينه رجال فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم‬

Artinya: dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah seorang dari
kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman,
dan jika seseorang itu kufur, ia pun ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada
Abdullah Bin Masu`ud.

2. Perbuatan:

)‫عن عبدهللا بن عبيد ابن عمير قال خير عمر غال ما بين ابيه وامهفاختار امه فانطلقت به (المحلى‬

Artinya: “dari Abdillah Bin Ubaid Bin Umair ia berkata: umar menyuruh kepada seorang
anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu memilih ibunya , lalu ia
membawa ibunya. (Al Muhalla 10:328).

Umar adalah sahabat Nabi SAW, riwayat diatas menunjukan kepada perbuatan Umar untuk
memilih antara ibu dan ayahnya.

3. Taqrir:

‫عن الزهيرى ان عاتكة بنت زيدبن عمر بن نقيل كانت تحت عمر بن خطاب وكانت تشهد الصال ة في المسجد فكان عمر‬
)‫ وهللا الانتهي حتي تنهان فقال عمر فانى ال انهاك (المحلى‬: ‫يقول لها وهللا انك لتعلمين ما احب هذا فقالت‬

Artinya: dari Zuhri, bahwa Atikah Binti Zaid Bin Amr Bin Nufail jadi hamba Umar Bin Al
khattab adalah Atikah pernah turut shalat dalam mesjid. Maka umar berkata kepadanya: demi
Allah engkau sudah tahu, bahwa aku tidak suk perbuatan ini. Atikah berkata: demi Allah aku
tidak mau berhenti sebelum engkau melarang aku. Akhirnya Umar berkata: aku tidak mau
melarang dikau. (Al Muhalla 4:202).

4. Hadits Maqtu’

Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa hadits ini hadits maqtu’maka maksudnya
adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’iy baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan
baik muttashil maupun munqoti’.

Para ulama berpendapat bahwa hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah. Tetapi apabila
pendapat itu berkembang dalam masyarakat dan tidak diperoleh bantahan dari seseorang,
maka ada ulama yang menyamakannya dengan perkataan sahabat yang berkembang dalam
masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang yakni dipandang sebagai suatu ijma’.

1. Ucapan:

‫ ان فالنا اعطس واالمام يخطب فشمته فالن قال فال مرة‬: ‫ قلت لسعيد بنالمسيب‬: ‫عن عبدهللا بن سعيد بن ابي هند قال‬
)‫يعودن (االثر‬
Artinya: dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya kepada
Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam sedang berkhutbah, lalu
orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib
“perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).

Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak
mengandung hukum.

2. Perbuatan:

)‫عن قتادةقال كان سعيد بن المسيب يصلى العصر ركعتين (المحلي‬

Artinya: dari Qatadah, ia berkata: adalah Sa`Id Bin Musaiyib pernah shalat dua rakaat
sesudah ashar. (Al Muhalla 3:6).

Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu berupa
cerita tentang perbuatan-nya. Tidak mengandung hukum.

3. Taqrir:

)‫عن الحاكم بن عتيبة قال كان مؤمنا في مسجدنا هذا عبد فكان شريح يصلي فيه (المحلي‬

Artinya: dari hakam bin utaibah, ia berkata: adalah seorang hamba mengimami kami dalam
mesjid itu, sedang syuraih (juga shalat disitu). (Al Muhalla 4:212)..

2.3 Hadist berdasarkan persambungan dan keadaan sanad

Sanad merupakan tonggak utama dalam penelitian hadits, terutama untuk melihat
bersambung dan terputusnya sanad. Lima syarat hadits maqbul tiga diantaranya berkaitan
dengan sanad. Begitu pentingnya hingga banyak ulama menekankan pembahasan masalah
ini.

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Sanad adalah senjata orang mukmin, seandainya ia tidak
bersenjata lalu dengan apa dia akan berperang?” Abdullah bin Mubarak berkata, “Sanad
adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad niscaya banyak orang akan berkata
seenaknya.”

Seperti disinggung di atas, melihat begitu mendasarnya masalah sanad ini, hingga banyak
sekali para ulama hadits yang memberikan konsentrasi lebih dalam penelitian sanad, bahkan
tidak sedikit dari mereka yang rela untuk mengadakan perjalanan jauh semata untuk
mengetahui hakekat ketersambungan sanad.

Penelitian dan kritik seputar matan juga tidak akan maksimal tanpa dibarengi dengan
penelitian seputar sanad. Ibaratnya, bagaimana orang akan naik ke atap jika tidak
menggunakan tangga. Sanad adalah tangga atau jalan yang menyampaikan kita pada matan
atau teks hadits. Oleh sebab itu, para ulama mendefinisikan sanad dengan: ‫ا لطريق ا لمو صل ا لى‬
‫ المتن‬yang artinya jalan yang menyampaikan kita pada matan atau teks hadits”. Sanad sendiri
secara harfiah berarti sandaran. Dinamakan demikian karena para peneliti hadits saat meneliti
banyak bersandar pada sanad.

Macam-macam pembagian hadits ditinjau dari sanadnya ada beberapa macam. Ada yang
berkaitan dengan sedikit banyaknya sanad dan ada pula yang berkaitan dengan bersambung
dan terputusnya sanad. Namun, pembahasan kita kali ini lebih pada poin kedua yaitu
pembagian hadits ditinjau dari bersambung dan terputusnya sanad. Dari aspek ini, hadits
terbagi menjadi dua muttashil dam munqathi’. Untuk muttashil sendiri, ada beberapa hadits
yang digolongkan dalam bagian ini. Namun, sesungguhnya penggolongan bagian-bagian itu
lebih dikarenakan faktor atau sifat lain yang menempel pada sanad hadits tersebut.

• Hadits Muttashil

Muttashil menurut bahasa artinya sambung, bersambung. Sedangkan menurut istilah hadits
muttasil adalah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari awal hingga
akhir sanad. Yang dimaksud dengan bersambung adalah tiap perawi mendengar hadits
tersebut dari orang yang ada diatasnya demikian hingga berakhirnya sanad. Dengan demikian
hadits yang terdapat ketidakbersambungan pada sanadnya tidak dapat dikategorikan sebagai
hadits muttashil. Hadits muttasil disebut juga hadits mausul.

Dalam definisi di atas yang perlu digaris bawahi adalah kata “hingga akhir sanad”. Ungkapan
ini menunjukkan bahwa hadits muttashil bisa marfu’ bisa juga mauquf bahkan juga maqthu’.
Jika sanadnya berakhir pada nabi maka dinamakan hadits marfu’. Contoh hadits marfu’
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana
kepada keluarga dan hartanya”.
Jika berakhir pada pada sahabat maka dinamakan hadits mauquf. Contoh hadits mauquf
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin
Umar berkata:

Artinya: “Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain
kecuali keharusan membayarnya.”

Adapun hadits maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya
bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadits maqtu termasuk jenis hadits muttasil, tetapi
jumhur mudaddisin berkata, “Hadits maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil
secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadits
mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadits ini bersambung sampai
kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya“. Sebagian ulama membolehkan penyebutan
hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu
hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadits maqtu’
adalah lawan Hadits mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan
menyadarkannya kepada tabi’in.

• Hadits Munqathi’

Kata munqathi’ berasal dari kata al-inqitha’ (terputus) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqitha’ merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqitha’ adalah lawan kata ittisal (bersambung). Yang dimaksud di sini adalah gugurnya
sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Secara terminologi, hadits munqati’ adalah setiap
hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW maupun disandarkan kepada yang lain. Abdul Bar membagi menjadi tiga dan pendapat
ini diikuti oleh Imam Nawawi, yaitu muallaq, mu’dhal, dan mursal.

• Hadits mu’allaq

Secara etimologi, berasal dari kata ‘allaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu
yang lain sehingga ia tergantung. Secara istilah, hadits muallaq yaitu hadits yang terputus di
awal sanadnya dari jajaran perawi. Baik terputusnya lebih dari satu tempat atau gugur lebih
dari satu perawi asalkan terputusnya terdapat di awal sanad masih dapat dikatakan muallaq.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab
mengenai menutupi paha:

‫وقال أبو موسى غطّى النّب ّي ركبتيه حين دخل عثمان‬

Artinya: “Berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW menutupi kedua lutut beliau ketika Utsman
masuk.”

Hadits tersebut adalah hadits mu’allaq karena Bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali
Sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Hukum hadits mu’allaq adalah mardud (tertolak),
karena tidak terpenuhinya salah satu syarat Qabul, yaitu persambungan sanad yang dalam hal
ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan
perawi yang dihapuskan tersebut tidak diketahui.

• Hadits mu’dhal

Secara etimologi, mu’dhal berasal dari kata a’dhala yang berarti menjadikan sesuatu menjadi
problematik. Sedangkan secara terminologi, hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dari
sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits mu’dhal adalah setiap hadits yang gugur
dua orang perawi atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di
pertengahan, atau di akhir sanad. Contoh hadits mu’dhal adalah:

“Telah menceritakan kepadaku Malik, bahwasanya telah sampai kepadanya berita bahwa
Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Hak bagi hamba adalah makanannya dan
pakaiannya secara baik (ma’ruf).”

Hadits di atas adalah mu’dhal karena gugur dua orang perawinya secara berturut-turut, yaitu
antara Malik dan Abu Hurairah. Hal ini diketahui melalui periwayatan hadits tersebut di
dalam kitab lain selain Al Muwaththa’. Urutan perawi yang seharusnya adalah: “… Dari
Malik dari Muhammad ibn ‘Ajlan dari ayahnya dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasul SAW
bersabda …”

Hukum hadits ini adalah dhai’f, bahkan keadaannya lebih buruk dari hadits mursal, karena
perawinya yang gugur di dalam sanadnya lebih banyak.

• Hadits mursal
Secara etimologi, kata mursal berasal dari kata arsala yang artinya melepaskan atau
membebaskan. Dalam hal ini melepaskan isnad dan tidak menghubungkannya dengan
seorang perawi yang dikenal. Sedangkan secara terminologi, hadits mursal yaitu hadits yang
diangkatkan oleh tabi’in kepada Rasul SAW dari perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau,
baik tabi’in itu tabi’in kecil atau tabi’in besar.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa seorang tabi’in mengatakan Rasulullah SAW
berkata demikian atau berbuat demikian dan sebagainya, sementara tabi’in tersebut jelas tidak
bertemu dengan Rasul SAW. Jadi, dalam hal ini tabi’in tersebut telah menghilangkan Sahabat
sebagai generasi perantara antara tabi’in dengan Rasul SAW. Contoh hadits mursal adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitab Shahihnya pada bagian Jual Beli
(Kitab al Buyu’):

‫حدّثني مح ّم د بن رافع ثنا حجين ثنا الليث عن عقيل عن بن شهاب عن سعيد بن المسيب أن رسول هللا ص‬

.‫م نهى عن المزابنة‬

Artinya: “Dia berkata,”Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn Rafi’, telah


menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari ‘Uqail dari
Ibn Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah
kurma yang masih berada di pohon dengan kurma yang sudah dikeringkan.”

Said ibn al-Musayyab adalah seorang tabi’in besar. Dia meriwayatkan hadits ini dari Nabi
SAW tanpa menyebutkan perawi perantara antara dirinya dengan Nabi SAW. Dalam hal ini
Ibn al-Musayyab telah menggugurkan akhir sanadnya yaitu Sahabat. Minimal yang telah
digugurkannya adalah seorang Sahabat, dan bisa jadi yang digugurkannya selain Sahabat
adalagi yang lain, seperti seorang tabi’in yang lain.

Hukum hadits mursal pada dasarnya adalah dha’if dan mardud (ditolak). Hal tersebut karena
kurangnya (hilangnya salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits yaitu
persambungan sanad.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembagian hadits berdasarkan kuantitas rowi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu hadit
Mutawatir dan Hadits Ahad. Kemudian Hadits Ahad terbagi lagi menjadi tiga dengan Hadits
Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib. Hal itu didasarkan karena beragamnya jumlah rawi
dalam setiap tingkatannyan.

Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi dalam lima macam yaitu:Hadits
Qauli,Hadits Fi’li,Hadits Taqrir,Hadits Kauni ,Hadits Hammi .

Sedangkan hadist berdasarkan persambungan dan keadaan sanad Dari aspek ini, hadits
terbagi menjadi dua muttashil dam munqathi’. Untuk muttashil sendiri, ada beberapa hadits
yang digolongkan dalam bagian ini. Namun, sesungguhnya penggolongan bagian-bagian itu
lebih dikarenakan faktor atau sifat lain yang menempel pada sanad hadits tersebut.

3.2 Saran

Dalam pengumpulan materi pembahasan diatas tentunya kami banyak mengalami


kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca memberikan tanggapan dan
tambahan terhadap makalah kami. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak-banyak
terimakasih
DAFTAR PUSTAKA

https://pesantrenmaqi.net/bahasa-arab/pembagian-hadits-berdasarkan-kuantitas-rawi/

http://linapai1a.blogspot.com/2016/01/hadist-berdasarkan-bentuk-dan.html

Drs. Fathurrahman. “ Ikhtisar Musthalah Hadits"

Hasbi as-Shiddieqy,Prof. Dr. Teungku Muhammad.2009. “Sejarah Dan Pengantar ilmu


Hadits” Semarang: Pustaka Rizki putra,

Hasbi as-Shiddieqy,Prof. Dr. Teungku Muhammad. “Pokok-pokokIlmu Dirayah Hadits”

Khalil al-Qattan, Manna.2009. ter:Drs Mudzakir AS “Studi ilmu-ilmu Qur’an”, Jakarta:


Letera Antar Nusa.

Soetari Ad, M.Si ,Prof. Dr. H. Endang.2005. “Ilmu Hadits kajian riwayat dan dirayah”,
Bandung: Mimbar Pustaka,

Anda mungkin juga menyukai