Anda di halaman 1dari 12

PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

0%
100%

Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7528

Content Checked For Plagiarism

SEJARAH HADIS SEBELUM DIBUKUKAN


Abdullah, Abdul Majid, Ahmad Yusuf, Yasir


Program Studi Pendidikan Jarak Jauh PAI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon

ABSTRAK

Tujuan mengenai artikel ini yaitu guna mendiskusikan pengertian hadis dan perkembangannya. Kultur penulisan hadis
telah terjadi pada masa Nabi. Beberapa sahabat menerima hadis dari Nabi kemudian mencatat apa yang telah dikatakan
Nabi. Tetapi banyak sahabat yang mampu menulis masih sangat jarang, sehingga materi hadis yang tertulis pun sangat
terbatas. Selain itu pula perhatian para sahabat yang masih bersandar pada pemeliharaan al-Qur’an, menjadikan catatan
hadis hanya tercecer pada sahifah sahabat. Proses periwayat dalam memperoleh dan menyampaikan hadis mengalami
perbandingan antara masa Nabi dengan masa Khulafa’ al-Rasyidin. Demikian pula periwayatan hadis pada masa sahabat
tidak sama dengan periwayatan hadis pada masa setelahnya. Periwayatan hadis pada masa Nabi lebih bebas karena
ketiadaan syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Sebab pada masa Nabi tidak ada dalil yang absah tentang telah terjadinya
pemalsuan hadis, dan juga era Nabi lebih gampang dalam melakukan pemeriksaan andaikan ada hadis yang diragukan
keshahihannya. Pada masa Khulafa’ al-rasyidin terdapat penyederhanaan periwayatan hadis, di mana periwayat yang
hendak meriwayatkan hadis mesti melakukan sumpah atau menghadirkan saksi kalau hadis yang ditulis merupakan benar
dari Nabi. Adapun untuk era Tabi’in dan Tabi’i al-Tabi’in telah terjadi penghimpunan hadis, walaupun masih ada perbauran
antara hadis Nabi, aqwal sahabat dan fatwa Tabi’in. Barulah saat Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah, hadis mulai
mengalami pengkodifikasian.
Kata Kunci: Hadis, Nabi SAW, Khulafa’ al-Rasyidin,Tabi’in, Tabi’i al-Tabi’in

A. PENDAHULUAN

Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Terma hadis umumnya merujuk dari segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., berbentuk sabda, perbuatan, persetujuan, serta sifatnya (fisik ataupun psikis),
baik yang terjadi sebelum atau pun setelah kenabiannya. Terma hadis kadang dipertukarkan dengan terma sunnah.
Beberapa ulama hadis menganggap kedua terma tersebut adalah sinonim (mutaradif), sementara beberapa yang lainnya
ada yang membedakan antara keduanya. Sejarah dan pertumbuhan hadis dapat dilihat dari dua sudut penting, yakni
periwayatan dan penulisannya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang berkenaan oleh perkataan,
perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW kepada para sahabat dan seterusnya sampai dengan munculnya kitab-
kitab kumpulan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait pada masa perkembangan dan kemajuan
hadis, para ulama berbeda dalam menyusunnya (Leni Andariati, 2020:154).
Kelahiran hadis sebagai halnya terkait langsung pada pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, di mana beliau
telah membimbing umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut ialah kurun waktu turunnya wahyu (al-
Qur’an), bersamaan dengan itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada masa Nabi ialah adanya interaksi Rasullah sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan) tentang ayat-ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka
penyampaian risalah, dan juga disebabkan adanya bermacam-macam persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan
dibutuhkan jalan pemecahan atau solusi dari Nabi SAW, kemudian para sahabat memahami dan menghafal apa yang
sudah diterimanya dari Nabi SAW (Mahmud Thahan, 1997:18).

Page 1 of 2
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berwaspada dalam menerima dan meriwayatkan
hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga
untuk menjaga keorisinalitas hadis tersebut (Khotimah Suryani, 2018:139).

Keadaan di masa tabi’in sedikit berlainan dengan apa yang terjadi di masa sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu sudah
disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari
para sahabat yang mulai tersebar ke suluruh penjuru dunia Islam. Dengan begitu, pada masa Tabi’in sudah mulai
bertumbuh dalam penghimpunan hadis (al-jam’u wa al-tadwin), walaupun masih ada percampuran antara hadis Nabi
dengan fatwa sahabat. Barulah di masa tabi’ al-tabi’in hadis telah dibukukan, sampai-sampai pada masa ini menjadi masa
kejayaan pengkodifikasian hadis. Kodifikasi dilakukan bertumpu pada perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah
kedelapan Bani Umayyah yang kebijakannya diteruskan oleh ulama di berbagai daerah sehingga pada masa berikutnya
hadis terbukukan dalam kitab hadis (Idris, 2010:93).

Selepas masa tabi’ al-tabi’in, yakni masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang terjadi pada hadis ialah penghimpunan dan
penerbitan secara sistematik (al-jam’u wa at-tartib wa at-tanzhim). Dengan begitu, bagaimana sejarah perkembangan
kultur periwayatan hadis dari masa ke masa itulah yang akan menjadi perhatian atau pembahasan dalam artikel ini.
B. PEMBAHASAN

1. Hadis pada Masa Rasulullah SAW


Hadis pada era dikenal dengan sebutan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, adalah era turun wahyu dan pembentukan masyarakat
Islam (Muhammad Alfatih Suryadilaga, 2015:50). Situasi seperti ini menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat
sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi lewat perkataan, tingkah laku, dan
taqrirnya. Sehingga semua apa saja yang didengar dan disaksikan bagi para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah
dan ubudiah mereka (Munzir Suparta, 2010:70). Rasulullah SAW pun menginstruksikan kepada para sahabatnya agar
menghafal, menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi juga tidak hanya menginstruksikan, namun beliau pun
banyak memberikan semangat melalui doa-doanya, dan tak sedikit Nabi pun menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka
yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain (Ahmad Isnaeni, 2014:233). Hal demikianlah yang
kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan hadis, disamping para sahabat merupakan orang Arab asli yang
kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis, tetapi demikian mereka memiliki kemahiran dalam hafalan yang luar biasa,
sebab menghafal adalah budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya (Muhammad Abu Zahwi, t.t, 49).

Para sahabat juga bisa secara langsung mendapatkan hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber asal-muasal hadis. Tempat
yang dijadikan Nabi dalam meriwayatkan hadis sangat fleksibel, adakala hadis diriwayatkan saat Nabi bertemu dengan
sahabatnya di Masjid, pasar, sat dalam perjalanan, dan adakala juga ketika di rumah Nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa
cara Rasulullah SAW meriwayatkan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui majlis ilmu, yaitu tempat pengajian
yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membimbing para jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah
SAW juga meriwayatkan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika
hadis yang diriwayatkan berkenaan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis tersebut diriwayatkan
melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, semisal ketika haji wada’ dan fath al-
Makkah. Ketika melaksanakan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khutbah yang sangat historis di depan
ratusan ribu kaum muslimin

Matched Source

No plagiarism found

Page 2 of 2
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

4%
96%

Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7659

Content Checked For Plagiarism

yang sedang melaksanakan ibadah haji, isi khutbahnya terkait aspek muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang
melingkupi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya
perintah larangan Nabi untuk membunuh, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan tali
persaudaraan sesama manusia, juga untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis (Lukman Zain, 2014:5).

Tanggapan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu sama. Hal itu dikarenakan beberapa hal, yakni:
adanya perbedaan di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal kesanggupan
bertanya pada sahabat lain, juga berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah, semisal para sahabat
yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan, serta Ali ibn Abi
Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama
bersama Nabi Muhammad Saw, namun banyak yang bertanya kepada para sahabat secara sungguh-sungguh seperti Abu
Hurairah, serta Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara
sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh
dari masa hidup Nabi Muhammad SAW (M.M.Azamiy, 2006:78).

sahabat melalui beberapa cara, menurut ahli yaitu
Hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada para
Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, adalah: Pertama, yaitu menyampaikan hadis dengan kata-kata. Nabi Muhammad
Saw banyak melakukan pengajaran-pengajaran kepada para sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk memudahkan
pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, penyampaian
hadis melalui media tertulis atau Nabi Muhammad mendiktekan kepada para sahabat yang bisa menulis. Hal ini meny-
angkut seluruh surat Nabi Muhammad yang ditujukan ke pada para raja-raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Serta
Beberapa surat tersebut ada yang berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang zakat serta tata cara
ibadah. Ketiga, penyampaian hadis dengan mempraktekan secara langsung dengan melaksanakan di depan para sahabat,
misalnya ketika Nabi Muhammad Saw mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, dan menunaikan ibadah haji dan
sebagainya (.M.M. Azamiy, 1977:10).

Pada masa Nabi Muhammad SAW, hadis belum ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an ditulis dengan seksama, hal ini
dikarenakan adanya kata-kata larangan dari Nabi. Larangan menulis hadis tersebut dari Nabi Muhammad Saw sendiri
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:

،‫ وحِّدثوا عِّني ولا َح َر ج‬،‫ وَم ن كتب عني غيَر القرآن َفْل َيْمُح ه‬،‫ «لا تكتبوا عني‬:‫عن أبي سعيد الخدري أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫قال همام‬- ‫وَم ن كذب علَّي‬:
‫ [رواه مسلم‬- ]‫ َفْل َيَت بَّو أ َم ْق َع َد ه ِم ن النار [صحيح‬-‫ ُم تعِّم ًد ا‬:‫]أحِس به قال‬

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah kalian mencatat sesuatu apapun
dariku (selain Al-Qur`an). Siapa yang mencatat dariku selain Al-Qur`an, hendaknya dia menghapusnya. Sampaikanlah
kepadanya (apa yang kalian dengar) dariku dan tidak ada dosa bagi kalian. Siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja, hendaknya dia menempati tempat duduknya yang dari api neraka." (Hadis sahih-Diriwayatkan oleh Muslim)
(hadeethenc.com).

Pelarangan oleh Nabi Muhammad Saw dalam penulisan hadis tersebut secara implisit dan menunjukkan bahwa adanya
kekhawatiran dari Nabi Muhammad Saw apabila hadis yang ditulis akan bercampur dengan catatan dan tulisan ayat-ayat
al-Qur’an. Meskipun demikianadanya, ada juga yang diriwayatkan yang melalui pernyataan bahwa pada masa Rasul ada
sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadis, contohnya Abdullah ibn
Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberikan nama al-Sahifah al-Shadiqah, dengan dinamakan demikian karena
menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya dipercaya kebenarannya dan keasliannya (Abdul
Majid, t.t, 15). Begitu juga dengan Khalifa Ali ibn Abi Thalib serta sahabat Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki

Page 1 of 2
catatan hadis. dengan ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Nabi Muhammad tentang penulisan hadis, akan
tetapi karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw mengizinkan para sahabat yang
untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan para sahabat bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash
untuk selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena menurut sahabat Rasulullah terkadang dalam
keadaan marah, sehingga ucapannya yang tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau
bersabda:

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat dan jiwaku berada ditangan-Nya yang tidak akan keluar dari apa yang
aku ucapakan melalui mulutku kecuali adanya kebenaran” (M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1998:60).

Dari sini bisa dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw
melarang penulisan hadis dan di riwayat lain Nabi Menyatakan menyatakan bahwa Rasul menyatakan untuk
mengizinkannya. Dalam hal ini para ulama memiliki pendangan yang berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat
dua pendapat. Dan Pendapat yang pertama menyatakan bahwa riwayat yang telah melarang penulisan hadis dinasakh oleh
riwayat yang mengizinkannya. Menurut para ulama, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi Muhammad Saw terjadi pada
awal-awal adanya Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat al-Qur’an, maka hal tersebut
dimaksudkan untuk menjaga agar kemurnian ayat al-Qur’an (Abdul Majid Khon, 2008:45). Namun ketika rasa kekhawatiran
itu mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui serta terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga
mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka dari itu Rasul mengizinkan para sahabat
untuk menuliskan hadis. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak
bertentangan dan tidak saling menyalahkan. Para sahabat menyatakan bahwa larangan tersebut dikhususkan kepada
mereka yang dikhawatirkan akan mencampur adukkan tulisan hadis dan al-Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak
ada kekhawatirkan mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw kepada
Abdullah bin Amr ibn al-Ash. Pada dalam kata lain Nabi Muhammad melarang penulisan hadis secara resmi, akan tetapi
tetap mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu hanya bersifat umum sedangkan izin
hanya berlaku untuk sahabat tertentu (Subhi as-Shalih, 2009:37). Demikian, hadis pada masa Nabi Muhammad SAW tidak
tertulis kecuali hanya sedikit.

2. Hadis pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin


Periode kedua bahwa sejarah perkembangan hadis berada pada masa Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab,
Usman ibn Affan, serta Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11

Matched Source

Similarity 17%
Title:HADIS DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA Leni Andariati - UIN …
Weblain, serta berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat
yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong
kelompok Al-Sabiqun …
Check

Similarity 7%
Title:٢٢٩ ‫ الصفحة‬- ٨ ‫ ج‬- ‫ مسلم النيسابوري‬- ‫صحيح مسلم‬٣٠٣ ‫ الصفحة‬- ٦ ‫ ج‬- ‫ جلال الدين السيوطي‬- ‫الديباج على مسلم‬

http://shiaonlinelibrary.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/1836_%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D8%A8%D8%A7%D
%D8%B9%D9%84%D9%89-%D9%85%D8%B3%D9%84%D9%85-%D8%AC%D9%84%D8%A7%D9%84-
%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%8A%D9%88%D8%B7%D9%8A-%D8%AC-
%D9%A6/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%81%D8%AD%D8%A9_289

Page 2 of 2
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

4%
96%

Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7602

Content Checked For Plagiarism

H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut dengan masa sahabat besar (M. Agus Sholihin dan Agus Suyadi, 2013:59).
Pengertian para sahabat menurut istilah bahwa ilmu hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, adalah orang-
orang Islam yang pernah bersama atau melihat Nabi Muhammad serta meninggal dalam keadaan beragama Islam.
Keterlibatan para sahabat Nabi dalam proses diterimanya hadis adalah sebuah keniscayaan. Baik hadis yang diriwayatkan
secara langsung dengan lisan maupun tulisan, namun kesemuanya itu melalui informasi yang disampaikan oleh para
sahabat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan melalui informasi yang disampaikan para sahabat, materi (matan) hadis yang
diterima secara berantai dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Tanpa adanya kehadiran sahabat, maka mustahil
informasi dan pesan-pesan Nabi Muhammad Saw akan sampai kepada generasi selanjutnya.

Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan
hadis belum begitu berkembang dan masih ada pembatasan dalam periwayatan.
Oleh sebab itu para ulama menganggap masa sekarang ini sebagai masa pembatasan periwayatan (Munzier Suparta,
2010:59).

a. Abu Bakar al-Shiddiq


Abu Bakar merupakan sahabat Nabi Muhammad Saw yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Pernyataan tersebut berdasar pengalaman Abu Bakar pada saat menghadapi kasus seorang nenek.
Suatu hari, bertemu seorang nenek yang menghadapnya, nenek tersebut meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan
oleh cucunya tersebut. Dan Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk di dalam al-Qur’an serta praktek Nabi
Muhammad yang memberikan bagian harta warisan kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat,
dan al-Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar bahwa Nabi Muhammad Saw sudah memberikan bagian
waris kepada sang nenek tersebut sebesar seperenam bagian. Dengan mendengar pernyataan tersebut al-Mughirah, Abu
Bakar meminta untuk menghadirkan seorang saksi, untuk kemudian Muhammad ibn Salamah memberikan kesaksian
kepada kebenaran per- nyataan al-Mughirah tersebut. kemudian Abu Bakar menetapkan nenek tersebut sebagai ahli waris
dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang disampaikan oleh al-Mughirah (Abu
Dawud Sulaiman, t.t, 121).
Dari sini tergambar bahwa ternyata Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan suatu hadis, hal ini terbukti
beliau tidak bersegera menerima riwayat hadis dari al-Mughirah sebelum meneliti periwayatnya.
kemudian dalam melakukan penelitian tersebut Abu Bakar pun meminta kepada periwayat hadis agar menghadirkan saksi.

Sikap Abu Bakar yang sangat berhati hati dalam periwayatan hadis mengakibatkan hadis yang telah diriwayatkan pun
relative sedikit. Abu Bakar adalah sahabat yang telah lama bergaul serta sangat akrab dengan Nabi Muhammad Saw,
kemudian mulai dari masa sebelum Nabi hijrah sampai Nabi Muhammad wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor lain pun
menyebabkan Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis yaitu, yang pertama, Abu Bakar selalu sibuk pada saat
menjabat sebagai khalifah. Yang kedua, kebutuhan hadis yang tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Dan yang ketiga,
jarak waktu antara wafatnya Sahabat dengan kewafatan Nabi sangat singkat (K. Ali, 1980:83).

b. Umar ibn al-Khattab


Umar ibn al-Khattab juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, seperti dengan Abu
Bakar. kemudian, Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis di tengah-
tengah masyarakat, dengan alasan supaya konsentrasi masyarakat tidak terpecah dalam membaca dan mendalami al-

Page 1 of 2
Qur’an, selain itu juga supaya umat Islam tidak melakukan kekeliruan pada periwayatan hadis. Kebijaksanaan yang diambil
oleh Umar inilah yang kemudian mampu menghalangi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadis (Nuruddin, t.t, 38).

c. Usman ibn Affan


Secara umum, kebijakan yang diambil oleh Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan kebijakan dua
khalifah sebelumnya. Hal tersebut terbukti bahwa ketika Usman memiliki kesempatan untuk berkhutbah, kemudian dalam
khutbahnya Usman meminta kepada para sahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis yang jarang atau tidak pernah
mereka mendengar hadis tersebut pada masa Abu Bakar dan Umar. Dan Umar sendiri memang tampaknya tidak terlalu
banyak meriwayatkan hadis. Serta Ahmad ibn Hanbal yang meriwayatkan hadis Nabi berasal dari riwayat Usman yang telah
lama sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis yang terulang, disebabkan perbedaan sanad (Lukman
Zain, 2014:15). Dengan begitu, total hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan
oleh Umar ibn al- Khattab.

Dari sini bisa terlihat jelas bahwa pada era Usman ibn Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadis lebih banyak
kalau dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada era Umar. Dalam pidatonya Usman telah menyampaikan imbauan
supaya umat Islam harus berhati-hati dalam meriwayatkan atau menyampaikan hadis. Namun imbauan tersebut rupanya
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap periwayat tertentu yang bersikap bebas dalam periwayatan hadis. Hal ini terjadi
sebab selain pribadi Usman tidak setegas pribadi Umar, juga disebabkan wilayah Islam sudah mulai meluas. Luasnya
wilayah Islam menimbulkan bertambahnya kesulitan dalam mengendalikan periwayatan hadis secara ketat.

d. Ali ibn Abi Thalib


Perkembangan hadis
pada era Khalifah Ali ibn Abi Thalib juga tidak jauh berbeda dengan khalifah terdahulunya terkait

periwayatan hadis. Ali hanya bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang berkenaan mengucapkan
sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya tersebut itu benar-benar bersumber dari Nabi. Ali tidak meminta sumpah
hanya jikalau periwayat benar-benar sudah dipercayainya. Dengan begitu, dapatlah dinyatakan bahwa fungsi sumpah
dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah dijadikan sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap
tidak dibutuhkan apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru (Subhi
as-Shalih, 2009:285).

Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, baik secara lisan maupun tulisan. Hadis yang berbentuk
tulisan berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, juga larangan
melakukan hukum qisas terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir (Lukman Zain, 2014:16). Pada era khalifah Ali
sama dengan era sebelumnya, yakni adanya sikap kehati-hatian dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Akan tetapi
situasi umat Islam yang dihadapi Ali telah berbeda dengan era sebelumnya. Pada era Ali, kontradiksi politik semakin
memanas dikalangan umat muslim, yakni terjadinya peperangan antara kedua kelompok yaitu kelompok yang mendukung
Ali dan kelompok yang mendukung Muawiyah. Kejadian tersebut yang akhirnya membuat dampak negatif dalam bidang
periwayatan hadis. Kepentingan politik mendorong pihak-pihak tertentu guna melakukan manipulasi hadis (Alamsyah,
2013:202). Itulah yang menyebabkan periwayat hadis tidak dapat dipercaya riwayatnya secara keseluruhan. Dari ulasan
tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijakan al-Khulafa al-Rasyidin terkait periwayatan hadis terdapat empat bentuk, yakni:
Pertama, seluruh khalifah setuju tentang pentingnya

Matched Source

Similarity 25%
Title:pengertian hadis tematik dan sejarah pertumbuhannya - OSF

https://osf.io/2tpnj/download

Similarity 10%
Title:SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS

https://manajemensunnah-wordpress.com/2021/03/24/sejarah-dan-perkembangan-hadis/

Page 2 of 2
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

2%
98%

Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7516

Content Checked For Plagiarism

sikap hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua, keseluruhannya melarang untuk memperbanyak periwayatan hadis,
terutama pada era khalifah Umar ibn Khattab, tujuannya agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan
agar perhatian masyarakat tidak berpaling dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun menghadirkan saksi bagi
periwayat hadis adalah salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis. Periwayat yang dipandang mempunyai kredibilitas
yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan sumpah atau juga saksi. Keempat, semua khalifah telah meriwayatkan
hadis, hanya saja tiga khalifah yang pertama (Abu Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadis secara lisan, hanya khalifah Ali
saja yang meriwayatkan hadis dalam bentuk lisan dan tulisan.

3. Hadis pada Masa Tabi’in


Selain para sahabat yang telah banyak mengumpulkan hadis Nabi, ada pula para Tabi’in yang notabennya yaitu para murid
sahabat yang banyak mengoleksi hadis-hadis Nabi, terlebih pengumpulan hadisnya sudah mulai disusun dalam sebuah
kitab yang beraturan. Sebagai halnya sahabat, para Tabi’in juga cukup berhati-hati dalam hal periwayatan hadis. Namun
saja ada perbedaan beban yang dihadapi para sahabat dan Tabi’in, dan beban sahabat tentu lebih berat jika dibandingkan
oleh Tabi’in. Sebab di era Tabi’in, al- Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf, selain itu pula pada era akhir periode al-
Khulafa al-Rasyidin (terkhusus pada era Usman ibn Affan), para sahabat ahli hadis sudah meluas ke berbagai wilayah
negara Islam. Selaras dengan lajunya perluasan wilayah kekuasaan Islam, diseminasi sahabat-sahabat ke berbagai daerah
pun terus berkembang, kondisi ini kemudian berimplikasi pula pada meningkatnya penyebaran hadis. Oleh sebab itulah,
era ini dikenal sebagai era menyebarnya periwayatan hadis. Ini adalah sebuah kemudahan bagi para Tabi’in untuk
mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis yakni melalui pertemuan-
pertemuan dengan para sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di dapat dari pertemuan tersebut (Zeid B.
Smeer, 2008:25).

Para Tabi’in memperoleh hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk, jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan
atau tulisan dan ada pula yang harus dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terstruktur dalam ibadah dan
amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan begitu, tidak ada satu hadis pun yang tercecer
apalagi terlupakan (Utang Ranuwijaya, 1996:62).

Mengenai menulis hadis, di samping melakukan hafalan secara teratur, para Tabi’in pula menulis sebagian hadis-hadis
yang sudah diperolehnya. Selain itu, mereka pula mempunyai catatan-catatan atau surat-surat yang mereka terima
langsung dari para sahabat sebagai gurunya (Utang Ranuwijaya, 1996:65).

Ada sebagian kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, yang kemudian dijadikan sebagai tempat
tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah Madinah al- Munawwarah, Makkah al-Mukaramah,
Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, Yaman dan Khurasan (Subhi as-Shalih, 2009:63). Pusat pembinaan
pertama yaitu di Madinah, sebab di Madinah lah Rasulullah menetap setelah hijrah, Rasulullah juga membina dan
membimbing masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang
bertempat tinggal di Madinah ialah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah ibn Umar dan Abu Said al-Khudri,
dan lain sebagainya (Noor Sulaiman, 2009:70).

4. Hadis pada Masa Tabi’i al-Tabi’in


Era tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya era tabi’in, tabi’in terakhir yaitu tabi’in yang bertemu dengan sahabat yang
sudah meninggal paling akhir. Cara periwayatan hadis pada masa tabi’i al-tabi’in adalah bi lafdzi, yakni dengan lafadz.

Page 1 of 2
Karena kodifikasi hadis mulai dilakukan di akhir era tabi’in. Kodifikasi pada era ini telah menggunakan cara yang sistematis,
yakni dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan, meskipun dalam penyusunannya
masih bercampur-campur antara hadis Nabi dengan qaul atau perkataan sahabat dan tabi’in. Sebagai halnya yang
terdapat dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Barulah pada awal abad kedua hijriah, dalam kodifikasinya, hadis sudah
dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi’in.

Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga metode penerimaan dan periwayatan hadis dengan metode isnad. Maraknya
pemalsuan hadis yang terjadi di akhir era tabi’in yang terus berlanjut sampai era setelahnya menjadikan para ulama untuk
meneliti keontetikan hadis, cara yang dipakai para ulama yakni dengan meneliti perawi- perawinya. Dari penelitian tersebut
menghasilkan istilah isnad sebagai halnya yang dikenal sampai saat ini. Menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan
pada era tabi’in kerap menyampaikan sebuah hadis dengan tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkannya.

C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI HADIS


Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification, yakni mengumpulkan dan menyusun.
Adapun menurut istilah, kodifikasi merupakan penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi yang berdasar pada
perintah khalifah dengan menyertakan beberapa personil yang mahir di bidang hadis, bukan di lakukan secara individual
ataupun demi kepentingan sendiri. Jadi, kodifikasi hadis merupakan penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis Nabi
Muhammad SAW yang dilakukan atas perintah resmi dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah kedelapan dari Bani
Umayyah yang kemudian kebijakannya diteruskan oleh para ulama di berbagai daerah sampai pada masa hadis
terbukukan dalam kitab hadis (Idris, 2010:93).

D. KODIFIKASI HADIS SECARA RESMI


Sebagaimana yang sudah diketahui bahwasannya pada abad pertama hijriyah, yaitu era Nabi, era al-khulafa’ al-rasyidin
hingga berakhirnya abad pertama hijriah, tradisi penulisan dan penyebaran hadis masih bergantung pada hafalan para
sahabat dan tulisan-tulisan pribadi mereka (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:78). Barulah ketika pemerintahan tiba pada Umar
ibn Abdul Aziz yang termasyhur dengan adil dan wara’, tergugah hatinya untuk membukukan hadis. Umar ibn Abdul Aziz
menyerukan secara resmi dan massal kepada para gubernur untuk pembukuan hadis.
Dikatakan resmi karena dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara, dan
dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis
pada zamannya (M. Syuhudi Ismail, 1992:17).

Yang melatarbelakangi kebijakan Umar ibn Abdul Aziz untuk membukukan hadis secara legal, adalah:

1. Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing sahabat, misalnya sahifah yang dimiliki
Abdullah ibn Umar, Jabir dan Hammam ibn Munabbih. Ahli hadis memberikan semua yang berkaitan dengan penulisan
hadis kepada hafalan para sahabat yang lafadznya mereka terima dari Nabi, akan tetapi ada pula sahabat yang hanya
mengetahui maknanya dan tidak pada lafadznya, hal itu pula yang kemudian menjadikan adanya pertentangan riwayat
penukilan sekaligus rawinya. Dari situ ada kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz kalau nati hadis Nabi disia-siakan oleh
umatnya (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:68).
2. Penulisan dan penyebaran hadis yang
terjadi dari era Nabi sampai era sahabat masih bersifat kolektif individual, dan

Matched Source

Similarity 4%
Title:www.binasiswa.com › 2022 › 07sejarah dan perkembangan kodifikasi hadis - Bina siswa
Sep 27, 2022 · Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan secara resmi dan massal kepada para gubernur untuk membukukan
hadis. Dikatakan resmi karena dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara, dan
dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada
zamannya.
https://www.binasiswa.com/2022/07/sejarah-dan-perkembangan-kodifikasi.html/

Page 2 of 2
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

4%
96%

Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7110

Content Checked For Plagiarism

serta ada perbedaan para sahabat dalam memperoleh hadis. Dengan situasi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi
penambahan dan pengurangan pada lafadz hadis yang diriwayatkan (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:68).

3. Semakin menyebarnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang kemudian mempunyai pengaruh besar pada tiga
benua, yakni Asia, Afrika dan beberapa benua Eropa. Dengan begitu juga menjadikan para sahabat tersebar ke negara-
negara tersebut. Dari sana timbul berbagai masalah yang berbeda yang dihadapi para sahabat, yang berimbas pada
melemahnya hafalan mereka. Belum pula banyak sahabat yang meninggal di medan perang demi membela bendera
keislaman, untuk itulah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merasa khawatir jika hafalan para sahabat hilang begitu saja (Abu
Zahwi, t.t, 245).

4. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya kha- lifah Ali ibn Abi Thalib sampai pada masa dinasti
Umayyah, yang membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan yang membawa mereka untuk mendatangkan
keterangan hadis yang dibutuhkan untuk mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar (Hasbi ash-Shiddieqy,
1988:77).

Khalifah Umar ibn Abdul Aziz menyerukan kepada hakimnya atau qadhi-nya di Madinah yang bernama Abu Bakar ibn
Hazm yang berprofesi sebagai guru Ma’mar, al-Lais, al-Auza’i, Malik ibn Annas, Ibn Ishaq dan Ibn Dzi’bin agar
membukukan hadis yang terdapat pada penghafal wanita yang termasyhur, sekaligus seorang ahli dalam bidang fiqih yang
merupakan murid Aisyah ra, yakni Amrah bint Rahman ibn Saad Zurarah ibn Ades (Fatihunnada, 2016:386).

Kitab hadis yang ditulis Ibn Hazm adalah kitab hadis pertama, ditulis menurut seruan kepala negara, akan tetapi kitab
tersebut tidak meliputi secara keseluruhan peredaran hadis yang ada di Madinah (Muhammad Mudzakir, 1998:32). Adapun
yang membukukan hadis di Madinah secara keseluruhan yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri, seorang ulama
masyhur di masanya. Sesudah generasi Shihab al-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir, timbul generasi seterusnya yang
kemudian meneruskan upaya pembukuan (Subhi as-Shalih, 2009:57).

Para ulama yang meneruskan kegiatan pembukuan yaitu, di Mekah timbul Abu Muhammad Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz
ibn Zuraij al-Bisyri (150 H), di Madinah timbul Muhammad ibn Ishaq (151 H) serta Malik ibn Annas, di Basrah timbul Said
ibn Abi Arabah (156 H), Rabi’ ibn Shabi’ (160 H), dan Hammad ibn Salamah (167 H), di Kuffah timbul sofyan al-Sauri (161
H), di Syam timbul Abu Umar al-Auza’i (157 H), di Yaman timbul Hasyim (173 H) dan Ma’mar ibn Asyid (153 H), di Khurasan
timbul Jarir ibn Abdul Hamid (188 H) dan Ibn al-Mubarak (181 H), di Wasit timbul Hasyim ibn Basyir (104-173 H), di Ray
timbul Jarir ibn Abd al-Hamid (110-188 H), dan di Mesir timbul Abdullah ibn Wahhab (125-197 H).

Nama-nama itulah merupakan ahli hadis yang membukukan hadis pada abad kedua hijriyah, selanjutnya mereka
memajukan pengajaran hadis di kota-kota di mana mereka tinggal, dan tempat tersebutlah yang selanjutnya menjadi
pusat-pusat pengembangan kajian hadis. Pembukuan hadis terus-menerus berlanjut sampai akhir pemerintahan Bani
Umayyah, akan tetapi keadaan semakin sempurna ketika Bani Abbas dating pada pertengahan abad kedua. Dengan
timbulnya kembali Imam Malik dengan al-Muwatha’nya, Imam Syafi’i dengan Musnad nya, serta Asar Imam Muhammad
ibn Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis secara lengkap, mulai dari hadis Nabi sampai dengan perkataan
sahabat dan fatwa tabi’in (Subhi as-Shalih, 2009:59).

Pembukuan hadis pada abad kedua belum tersusun dengan sistematis dalam bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya,
mereka masih memasukkan qaul sahabat dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi Muhammad SAW. Keseluruhannya
dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat kitab hadis yang marfu’, mauquf dan maqthi’. Di antara kitab-

Page 1 of 2
kitab hadis abad kedua hijriyah yang mendapat reaksi atau perhatian ulama secara umum yaitu kitab al-Muwatha’ yang di
susun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis yang disusun Imam as-Syafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau
al-Maghazi wa as-Siyar susunan Ibnu Ishaq. Dari kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling termasyhur dan memperoleh
sambutan yang paling ramai dari para ulama, sebab banyak para ahli yang membuat syarah (penjelasan) dan mukhtashar
(ringkasan). Dalam kitab ini memuat 1.726 rangkaian khabar dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang musnad sebanyak
600, yang mursal sebanyak 228, yang mauquf sebanyak 613 dan 285 yang maqthu’ (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:5).

Adapun kitab-kitab hadis yang dibukukan dan dikumpulkan pada abad kedua lumayan banyak jumlahnya, akan tetapi
yang terkenal di kalangan ahli hadis hanya beberapa saja, yakni:

1. Al Muwattha’, karya Imam Malik ibn Anas (95-179 H)


2. Al Maghazi wa al-Siyar, karya Muhammad ibn Ishaq (150 H)


3. Al Jami’, karya Abd al-Razak al-san’ani (211 H)


4. Al Mushannaf, karya Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)


5. Al Mushannaf, karya Sufyan ibn Uyainah (198 H)


6. Al Mushannaf, karya al-Lais ibn Sa’ad (175 H)


7. Al Mushannaf, karya al-Auza’i (150 H)

8. Al Mushannaf, karya al-Humaidi (219 H)


9. Al Maghazi al-Nabawuyyah, karya Muhammad ibn Wagid al- Aslami (130-207 H)


10. Al Musnad, karya Abu Hanifah (150 H)

11. Al Musnad, karya Zaid ibn Ali



(204 H)
12. Al Musnad, karya Imam al-Safi’i

13. Mukhtalif al-Hadis, karya Imam al-Syafi’i (204 H) (Hasbi ash-Shiddieqy, 1988:83).

Setelah sepeninggalan para tabi’in, yaitu pada permulaan abad ketiga hijriyah, para ulama mulai berjuang menyusun kitab-
kitab musnad yang mengandung hadis Nabi dan memisahkannya dari qaul sahabat dan fatwa tabi’in. Penyusun kitabnya
ialah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). Kitab yang serupa dan paling memadai yakni Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal,
walaupun Imam Ahmad hidup pada era setelahnya. Walaupun sudah dipisahkan dari qaul sahabat dan fatwa tabi’in, hadis
dalam kitab musnad masih bercampur dengan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh sebab itu pada era
pertengahan abad ketiga hijriyah disusunlah kitab yang didalamnya benar-benar mencakup hadis yang shahih, misalnya
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Madjah, dan Sunan al- Nasa’i (Masturi
Ilham, 2013:287). Orang yang pertama menulis dan mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu ialah al-Jarir Amir al-
Sya’bi, beliau menyusun kitab hadis khusus tentang talak. Selanjutnya diteruskan oleh Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufi,
Musaddad al-Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad al-Khaza’i. Pada abad ketiga ini timbul berbagai kitab hadis,
kemudian diadakan kritik pada matan dan sanad hadis serta jarh wa ta’dil dalam suatu hadis. Usaha ini dikenal dengan
istilah pentashihan dan penyaringan hadis dengan kriteria tertentu, seperti mana yang dilakukan oleh al-Bukhari dan
beberapa orang muridnya, sehingga hadis

Matched Source

Similarity 9%
Title:masa kodifikasi hadits

http://www.ejournal.iaiibrahimy.ac.id/index.php/arrisalah/article/download/980/644

Page 2 of 2
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2022-12-24

0%
100%

Words 470
Plagiarised Unique

Characters 3681

Content Checked For Plagiarism

yang diproduksi termasuk hadis yang berskala nilainya. Al-Siba’i mengungkapkan bahwa sesudah era al-Bukhari kegiatan
pembukuan dan pengumpulan hadis terhenti. Yang berkembang hanya tabi’at (tradisi) penyempurnaan dan
pengembangan hadis (Agus Sholahudin, 2008:45).

Adapun kitab-kitab yang disusun dan dibukukan pada abad ketiga hijriyah, yang masyhur adalah:

1. Al-Jami’ al-Shahih, karya dari Imam al-Bukhari (256 H)


2. Al-Jami’ al-Shahih, karanganImam Muslim (261 H)


3. Al-Sunan, karangan Ibn Majah (273 H)


4. Al-Sunan, karangan Abu Daud (275 H)


5. Al-Sunan, karangan al-Tirmidzi


6. Al-Sunan, karangan al-Nasa’i (303 H)


7. Al-Musnad, karangan Ahmad ibn Hanbal


8. Al-Musnad, karangan al-Darimi


9. Al-Musnad, karangan Abu Daud al- Tayalisi (Ahmad Hasyimi, 1993:268).


Dengan daya upaya para ulama besar abad ketiga, tersusunlah tiga bentuk kitab hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih, kitab-
kitab Sunan serta kitab-kitab Musnad.

Sedangkan abad keempat sampai dengan abad keenam merupakan era pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan (ashr al-tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Dengan kekhasan penulisan hadis berbentuk
Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih (himpunan Shahih saja), mustadrak (susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan antara dua
atau beberapa kitab hadis), ikhtishar (resume), istikhraj dan syarah (ulasan). Pada era selanjutnya, yaitu abad ketujuh
sampai abad kedelapan hijriyah dan berikutnya disebut dengan era penghimpunan dan pembukuan hadis secara
sistematik (al-Jam’u wa at-Tanzhim) (Abdul Majid Khon, 2008:61).

Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari
Baghdad ke Kairo, Mesir dan India. Pada era ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadis,
seperti al-Barquq. Di samping itu ada pula usaha dari ulama India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya
Ulumul Hadis karya al-Hakim. Demikian sejarah perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis sampai abad 12 H.
Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat disebut tidak ada lagi kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang
hadis, selain hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang sudah terhimpun sebelumnya
(Abdul Majid Khon, 2008:63).

E. KESIMPULAN

Hadis adalah ucapan, perbuatan atau penetapan yang dikaitkan atau dinisbatkan kepada Nabi, segala sesuatu yang ada
pada Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangan hadis mengalami lima periode, yakni:

No Periode Perkembangan Karakteristik Penulisan Model Buku



Hadis dihafal di luar kepala Catatan pribadi
1 Era Nabi Muhammad, SAW Larangan penulisan (Nahyu al-Kitabah)
bentuk shahifah (lembaran)

2 Era Khulafa’ al-Rasyidin Penyederhanaan periwayatan (Taqli ar-Riwayat) Disertai sumpah dan saksi pada masa
Khulafa’ al-Rasyidin Catatan pribadi dalam bentuk shahifah (lembaran)

Page 1 of 2
3 Era Tabi’in Penghimpunan antara hadis Nabi dan fatwa sahabat serta aqwal sahabat Bercampur antara hadis
Nabi dengan fatwa sahabat dan aqwal sahabat Shahifah,

mushannaf,

Muwatha’,
musnad,

dan jami’

4 Era Tabi’ al-Tabi’in Kejayaan kodifikasi


hadis (Azha’ Al Ushur Sunnah) Penyeleksian dan klasifikasi (Ashr al Jami’ wa at Tashhih) Musnad, Jami’, dan Sunan

5 Era setelah Tabi’ al-Tabi’in (abad II s/d seterusnya Penghimpunan dan penertiban secara sistematik

(al-Jam’u wa at-Tartib wa at-Tanzhim) Bereferensi


(Muraja’ah) pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih


sistematik Mu’jam, Mustadrak, Mustakhraj, Istikhsar, dan Syarah

Matched Source

No plagiarism found

Page 2 of 2

Anda mungkin juga menyukai