Anda di halaman 1dari 4

Dari segi bahasa, rasional berasal dari bahasa Inggris yakni ratio yang artinya akal atau

pikiran. Dari kata ratio ini memunculkan beberapa kata pada bahasa Indonesia, contohnya
rasional, rasionalisasi dan rasionalisme. Beberapa maknanya misalnya, kata rasional
mengandung makna sifat, kata rasionalisasi mengandung arti proses dan kata rasionalisme
mengandung pengertian paham.1

Dalam Islam, kata rasionalisme bisa dimengerti asalnya adalah dari kata ‘aql yang berarti
akal. Kata ‘aql pada zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligence) dimana pada istilah psikologi modern dijabarkan sebagai kecakapan memecahkan
masalah (problem solving capacity). Mempunyai artian bahwa orang berakal adalah orang yang
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah; ketika dia bertemu dengan
permasalahan, dia bisa menyelamatkan diri dari bahaya yang barangkali terjadi. Setelah Islam
hadir, kata akal itu tidak pernah lepas dari agama. Dari sini, agama islam memandang akal
sebagai alat untuk mendalami agama. Oleh sebab itu, akal senantiasa sejalan dan tidak pernah
bertentangan dengan agama, bahkan keduanya itu saling mendukung. Seseorang bisa disebut
orang rasional jika sering menelaah sesuatu menggunakan akalnya. Rasional disini mengandung
beberapa unsur seperti dinamis, filosofis dan sistematis. Namun pada kajian ilmu kalam basa
disebut dengan istilah teologi rasional atau Islam rasional.

Ketika mempelajari ilmu kalam, kelompok yang banyak mengandalkan kekuatan rasio maka
termasuk dalam kelompok rasional. Anggapannya adalah bahwa akal memiliki daya yang kuat
serta memunculkan interpretasi dengan lebih luas pada teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Interpretasi secara lebih luas pada ilmu kalam dilakukan oleh aliran Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand. Penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang jelas dan tegas diuraikan
dalam al-Qur’an atau hadis, yakni teks-teks al-Qur’an atau hadis yang tidak dapat
diinterpretasikan lagi pada arti lain selain arti teks yang terkandung didalamnya (biasa disebut
dengan istilah qath’i). Ayat-ayat yang dianggap mempunyai arti qath’i ini tidak banyak terdapat
dalam al-Qur’an.

Teologi rasional diketahui sebagai penggunaan akal dengan bebas, yaitu dengan
menggunakan rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam teologi rasional berarti aliran
teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang kuat
1
Kafrawi Ridwan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, Cet.IX, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999) hal 98
serta dapat memberikan interpretasi secara rasional terhadap teks-teks, ayat-ayat Alquran dan
hadis. Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian modernisasi ialah
rasionalisasi.2

Teologi modern adalah diskusi mengenai keyakinan yang berhubungan dengan Ilahiyat
untuk menyerasikan dengan pemahaman selera baru yang bersifat rasional atau ilmiah. Menurut
Joesoef Soyb bahwa teologi modern adalah pandangan maupun metode baru, kecendrungannya
khusus dalam masalah kepercayaan keagamaan untuk menundukkan tradisi dalam upaya
penyelarasan dengan pemikiran baru. Menurut Ahmad Hasan, modernisme adalah aliran
pemikiran keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Maka dari itu islam harus menyesuaikan diri
dengan perubahan yang berlangsung pada dunia modern. Hampir serupa dengan rumusan Hasan,
Mukti Ali tampaknya setuju dengan pengertian ini, tetapi dia lebih menekankan defenisi
modernisme pada usaha purifikasi agama dan kebebasan berfikir.3 Sedangkan menurut Abuddin
Nata, Islam rasional adalah Islam yang menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya
untuk memperkuat dalil-dalil agama.4 Dengan demikian teologi rasional atau Islam rasional
merupakan paham yang menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan
menggunakan akal. Islam rasional adalah aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau
rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan interpretasi secara rasional
terhadap teks-teks wahyu.

Pada sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah adalah kelompok yang membawa
pembelajaran mengenai teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada aliran-aliran
teologi lainnya. Seperti yang telah dikatakan, mereka banyak dipengaruhi filsafat dan logika.
Dalam memikirkan dan mencari solusi masalah teologi Mu’tazilah lebih banyak menggunkan
kemampuan akal. Oleh karena itu teologi yang mereka bahas lebih kepada rasional dan liberal.
Akhirnya mereka biasa disebut dengan “kaum rasionalis Islam”5

2
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), hal 183
3
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1999), hal 12.
4
Abudin Nata, Peta Keagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hal 62
5
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandinga, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 38
Mu'tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan
dasar-dasar paham mereka. Penyebabnya ada dua yaitu:

1. Pada filsafat Yunani akhirnya Mu’tazilah menemukan kecocokan dengan apa yang ada
dalam pikiran mereka. Kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir yang membuat mereka
lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi.

2. Ketika pihak lain dan para filosof berusaha menjatuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan
argumentasi-argumentasi logis.

Kaum Mu‟tazilah memiliki lima doktrin utama yang populer dengan sebutan al-Ushul al-
Khamsah. Diantara doktrin-doktrin tersebut yakni al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-
Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar.

1. Al-Tauhid, yakni mengesakan Tuhan, menurut kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat


jasmaniyah (antropomorfisme) bagi Tuhan karena akan memunculkan tajsim dan tasybih.dan
juga Tuhan tidak memiliki sifat-sifat yang berdiri sendiri di luar zat, karena akan akan
memunculkan dampak yakni banyaknya yang qadim. Demikian pendapat kaum Mu’tazilah

2. Al’Adlu, yakni keadilan Tuhan, menurut Mu’tazilah keadilan Tuhan memiliki arti bahwa
Tuhan harus berbuat baik juga terbaik pada hamba-Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan harus
menepati janji Tuhan harus melakukan hal sejalan dengan aturan dan norma yang
diberlakukankan-Nya, kemudian juga Tuhan tidak akan menguji hambadiluar kemampannya.

3. Al-Wa’d wa al-Wa’id, yakni janji dan ancaman, menurut Mu’tazilah mereka memiliki
keyakinan bahwa akan terlaksananya pembalasan perbuatan hamba-Nya yang pasti akan
terlaksana sebagai janji dan ancaman Tuhan. Sebagai bagian dari keadilan Tuhan.

4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain, yakni tempat di antara dua tempat, menurut Mu’tazilah
maksud dari tempat diantara dua tempat adalah ketika orang mukmin yang berdosa besar, maka
ia tidak lagi menjadi mukmin tetapi juga tidak kafir, ia berada di antara keduanya. Pemikiran ini
yang telah memunculkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.

5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar., yakni perintah melaksanakan perbuatan


baik dan larangan perbuatan munkar. Yang demikian ini adalah kewajiban dakwah bagi setiap
orang Mu’tazilah. Salah seorang dari Mu’tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat mengemukakan
bahwa seseorang belum bisa dianggap sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah menganut
kelima doktrin tersebut.6

Sementara itu tokoh yang dikenal dari Mu’tazilah yang gigih membela mazhabnya dan
mengecam ulama-ulama ahlussunnah yakni Al-Zamahkysari, penafsir yang istimewa karena
berbeda dari mufasir sebelum, sezaman dan sesudahnya yakni paparannya mengenai rahasia-
rahasia balaghah yang terkandung dalam al-Qur’an.

Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakallimin) sekaligus seorang tokoh Mu’tazilah


yang tergolong mutakallimin yang rasionalis, karena kecenderungannya menggunakan akal.
Kedua predikat (mutakallimin yang rasionalis) tersebut juga mempengaruhi dan mewarnai
penafsirannya. Corak teologis --penafsiran yang menitikberatkan pada persoalan akidah /
kalammerupakan corak yang paling dominan dalam tafsir ini. Penafsirannya mengenai persoalan
kalam lebih cenderung membela paham yang dianutnya, sehingga ayatayat yang bertentangan
dengan keyakinan mazhabnya akan dimaknai dengan makna yang lain yang mendukung dan
sesuai dengan mazhabnya. Salah satu metode yang digunakannya untuk melegitimasi mazhabnya
dalam tafsir al-Kasysyaf adalah menakwilkan lafaz-lafaz al-Qur‟an agar sesuai dengan
mazhabnya. Berikut salah satu contoh penafsirannya terhadap QS: al-Qiyamah 22-23:

ِ َّ‫وجوه يومئِ ٍذ ن‬
ِ َ‫ إِىَل ٰ ربِّها ن‬. ٌ‫اضرة‬
ٌ‫اظَرة‬ َ َ َ َ َْ ٌ ُ ُ
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya
mereka melihat”.

Al-Zamakhsyari mengenyampingkan makna zahir kata nazhirah (melihat) sebab menurut


kaum Mu‟tazilah Allah tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nazhirah diartikan dengan al-
raja (menunggu/mengharapkan).7

6
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah alMishriyah, 1966), hal 22.
7
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf... jilid IV, hlm. 192

Anda mungkin juga menyukai