Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN

Resume Buku: Filsafat Pendidikan Ilmu

Dosen Pengampu : M.H. Nasir M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Erimuniza (210106126)
2. Siska Ayu Safitri (210106127)
3. Linda Fitriani (210106129)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT, atas segala berkat, rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya sehingga kami bisa
menyelesaikan laporan hasil resume buku dengan judul filsafat ilmu.
Tak lupa sholawat dan salam atas junjungan Nabi besar yakni Nabi
Muhammad SAW, berkat beliau kita dapat terhidar dari zaman
kebodohan atau jahiliyah.

Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dosen Pengampu mata kuliah


Filsafat Pendidikan Islam M.H Nasir M.Pd yang telah membantu kami
baik secara moral maupun materi. Terima Kasih juga kami ucapkan
kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami
sehingga bisa dapat menyelesaikan tugas.

Kami menyadari, bahwa laporan hasil resume buku yang kami buat
masih belum baik dan jauh dari kata sempurna baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisan nya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi
di masa mendatang.

Semoga laporan hasil resume buku ini bisa menambah wawasan para
pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembanan dan pengetahuan.

Mataram, 03 maret 2022

Penulis
Judul Buku : Filsafat Ilmu

Karya : Iu Rusliana, M.Si

BAB 1

IBU DARI ILMU PENGETAHUAN

A. Nalar Peradaban Manusia

ilsafat dan ilmu pengetahuan adalah dua produk dan nalar peradaban manusia yang
saling berkaitan erat. Manusia menjalankan amanah sebagai khalifah dan abdi
Allah, selain oleh agama, la dituntun oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Keduanya, baik filsafat maupun ilmu berhubungan sebagai ibu dengan anak.

Filsafat adalah mother of science (ibu dari ilmu pengetahuan), demikianlah para
ahli ilmu pe ngetahuan menggambarkannya. Hal ini bisa dipahami, karena melalui
positivisme yang dikembangkan di abad ke-19, oleh Auguste Comte, ilmu
pengetahuan dilahirkan dan dibesarkan Ilmu pengetahuan modern pun
mendapatkan fondasi filsafat yang kokoh dan menjadi paradigma. Comte adalah
seorang ilmuwan dari Prancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal
sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Sementara, anak dari ilmu pengetahuan adalah teknologi. Dengan paradigma
positivisme, ilmupengetahuan mempercepat dewasanya teknologi.

B. Ciri Berpikir Kefilsafatan

Filsafat ilmu sederhananya dimengerti sebagai pendekatan filosofis atas ilmu.


Dengan demikian, filsafat dalam hal ini sebagai objek formal, sementara ilmu
pengetahuan itu sendiri sebagai objek material.

Filsafat memiliki banyak pengertian. Namun secara sederhananya dimengerti


sebagai cinta kebijaksanaan. Sebuah definisi yang diambil dari arti etimologis philo
dan sophia. Kebijaksanaan maksudnya pengetahuan. Pengetahuan diperoleh
dengan sikap yang terus mempertanyakan. Filsafat berawal dari pertanyaan dan
berakhir dengan pertanyaan. Bertanya terus menerus, begitulah sifat filsafat.
Filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Filsafat adalah sistem pemikiran, cara
berpikir yang terbuka, baik dipertanyakan maupun dipersoalkan kembali (Keraf
dan Dua, 2011: 14).
Hal ini pula yang dicontohkan oleh Socrates di era Yunani dengan menggunakan
metode pembidanan (meaeutic). Dengan pengetahuan yang mendalamlah manusia
akan mampu memahami persoalan secara utuh dan melahirkan sikap bijaksana.
Pengetahuanlah yang membawa manusia pada kebahagiaan. Karena pendekatan
filosofis, maka prinsip dan ciri berpikir kefilsafata harus dipenuhi. Karakteristik
berpikir kefilsafatan (filosofis) antara lain:

1. Holistik-Komprehensif

2. Radikal

3. Spekulatif

4. Metodis dan Sistematis

5. Universal

6. Rasional-Logis

C. Pra-Pengetahuan dan Pengetahuan

Anak saya, Haifa, yang usianya baru 5 tahun, kerap bertanya: "Apa ini?" Untuk
setiap hal yang baru dia lihat. Tentu saja, diusianya Haifa sudah mengetahui
banyak hal, binatang, nama keluarganya, benda benda. Dalam banyak kesempatan,
ketika ada benda yang mirip, Haifa mampu berpikir asosiatif, menghubungkan apa
yang telah diketahuinya dengan apa yang baru dilihat, dengar atau pegangnya
untuk kemudian diputuskan apanya. Haifa mampu menyimpulkan sendiri benda
tersebut. Misalnya, ketika kami dijalan melihat motor yang sama warnanya dengan
motor kami. Begitulah awalnya sebagian pengetahuan itu diperoleh.

Di usianya yang sudah 5 tahun lebih, kemampuan logika matematiknya juga sudah
berkembang. Perhitungan tambahan dan pengurangan hingga angka 20 sudah mulai
dikuasainya.

Metode transendental diperkenalkan oleh E Coreth Metode transendental adalah


bertanya tentang syarat-syarat dan pra-pengetahuan yang memungkinkan manusia
bertanya kesadaran akan keterbatasan pengetahuan hanya mungkin karena adanya
pra pengetahuan yang bersifat tidak terbatas (Adelbert Snijders, 2006. 131
Selain banyak ahli yang mencoba merumuskan apa yang dimaksud pengetahuan,
namun ada pula yang menganggap bahwa mendefinisikan pengetahuan adalah
kegiatan sia-sia.

Kenneth 1. Gallagher (2001: 23) menyebut pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak
dapat didefinisikan. Pengetahuan adalah sui generis (berhubungan dengan yang
paling sederhana dan sangat mendasari Mengetahui merupakan peristiwa paling
dasar dan tidak dapat direduksikan. tidak dapat dijelaskan dengan istilah apa pun
Meski demikian, mencoba membuat pengertian tentang pengetahuanitu diperlukan
agar dapat dipahami secara utuh seperti apa "binatang"

bernama pengetahuan itu.

D. Ilmu Pengetahuan

Setelah mendeskripsikan topik pra-pengetahuan dan pengetahuan, kini giliran


membahas ilmu pengetahuan. timu pengetahuan adalah sebutan umum dengan apa
yang disebut pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah dimiliki manusia yang
belajar ilmu pengetahuan.

simu pengetahuan dalam bahasa Inggris disebut science bahasa Latin scientia
sementara dalam bahasa Yunani adalah episteme Berbeda halnya dengan
pengetahuan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan ide yang mengacu kepada
objek yang sama dan saling berkaitan secara logis Koherensi sistematik adalah
hakikat ilmu.

E. Definisi Filsafat Ilmu

Ada cukup banyak definisi filsafat ilmu menurut para ahli, antara lain:

1. Stephen R. Toulmin (1982: 376). Filsafat ilmu mencoba menjelaskan unsur-


unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah, prosedur observasi, pra
anggapan metafisis. Kemudian menilai landasan bagi keabsahan suatu ilmu dari
segi logika formal, metodologi dan metafisikanya

2. The Liang Giel2004:61), Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif


terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menjadi landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Landasan dari ilmu
itu adalah konsep dan anggapan dasar ilmu, asas permulaan ilmu, struktur teoretis
dan ukuran kebenaran ilmiah.
3. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM (1996:44) Filsafat ilmu ialah
penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperolehnya.

4 Menurut Suparlan Suhartono (2005 22-23), filsafat ilmu dapat dipahami melalui
empat pertanyaan filosofis yaitu: pertama, apakah ilmu pengetahuan itu?
Pertanyaan ini membutuhkan jawaban tentang hakikat (isi dari hakiki), yaitu
berupa pengetahuan substansial mengenai ilmu pengetahuan. Kedua, mengapa ilmu
pengetahuan itu ada? Jawabannya tentang sebab musabab keberadaan ilmu
pengetahuan. Ketiga, bagaimana ilmu pengetahuan itu berada? Yang membutuhkan
jawaban mengenai metode untuk mendapatkan objek, yaitu metode ilmiah.
Keempat, ke mana atau untuk apa ilmu pengetahuan itu? Dijawab dengan manfaat
dari sebuah ilmu bagi kehidupan manusia,

5.Rizal Mustansir dan Misnal Munir (2001: 49-50) menyatakan bahwa filsafat ilmu
itu cakupan bahasannya meliputi: 1) komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu,
(2) sifat dasar ilmu pengetahuan, (3) metode ilmiah, (4) praanggapan-praanggapan
ilmiah, (5) sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

F. Sudut Pandang Filsafat Ilmu

Setelah menguraikan definisi filsafat ilmu, ada perkembangan pemahaman dan


empat sudut pa sebagaimana disampaikan oleh Conny R. Semian

Pertama, filsafat ilmu sebagai perumusan konsisten dengan, dan pada beberapa
pengerti Reori ilmiah yang penting.

Merupakan tugas mengelaborasikan implikasi yang lebih luas dari tu meliputi


seluruh aspek kehidupan manusia di pengembangan temuan ilmu pengetahuan,
misa satu fokus pembahasan yang menjadi perhatian para filosof Kedua, filsafat
ilmu adalah suatu eksposisi dan presuppositions dan predispositions dati para
ilmuwan, Filosof ilmu mungkin mengemukakan bahwa para ilmuwan
mendugatpresupposel alam tidak berubah-ubah, dan terdapat suatu keteraturan di
alam sehingga gejala-gejala alam yang tidak begitu kompleks cukup didapat oleh
peneliti. Peneliti mungkin tidak menutup keinginan-keinginan deterministik para
ilmuwan lebih daripada hukum hukum statistik, atau pandangan mekanistik lebih
daripada penjelasan teologis. Pandangan ini cenderung mengasimilasikan filsafat
ilmu dengan sosiologi.
G. Objek Kajian dan Cara Kerja Filsafat Ilmu

Ilmu pengetahuan adalah objek kajian dari filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang menguji
kesahihan ilmu pengetahuan dan berbagai perangkat yang membangun ilmu
pengetahuan itu sendiri, seperti metode, objek telaah dan nilai dari ilmu
pengetahuan.

H. Membandingkan Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Ilmu

Menurut Burhanuddin Salam seperti dikutip oleh Amsal Bakhtiar

(2004. 18-19), persamaan dan perbedaan filsafat dan ilmu sebagai berikut:

1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik baiknya, menyelidiki objek selengkap-


lengkapnya hingga ke akar-akarnya

2. Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada


antara kejadian kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-
sebabnya

3. Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang


bergandengan

4. Keduanya mempunyai metode dan sistem.

5. Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul


dari hasrat manusia (objektivitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar.

BAB 2

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

A. Pendekatan Historis-Tematis

alam mempelajari filsafat ilmu, ada dua pende katan yang umumnya dipergunakan.
Pertama dengan menggunakan pendekatan historis, kedua menggunakan
pendekatan tematis. Dengan pendekatan historis, dapat dipahami bagaimana
tumbuh kembangnya filsafat ilmu dan aliran-aliran sepanjang sejarah ilmu
pengetahuan berkembang.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu sifatnya bertahap. Setiap tahap menyiapkan
fondasi kokoh bagi perkembangan berikutnya. Suatu fakta historis yang unik dan
menunjukkan runtutan sejarah yang tak terpisahkan satu sama lain sumbangsihnya.
Itulah rangkaian peradaban manusia yang harus dihormati dan diakui dengan jujur.

B. Fase Perkembangan

1. Fase Mitologis

2. Fase Logos

3. Ilmu dalam Peradaban Romawi

4. Fase Teologis (Abad 2 M-12 M)

a. Sejarah Gereja

b. Sejarah umat islam

5. Zaman Renaissance (Abad 14-17)

6. Zaman Modern (17-19 M)

7. Era Kontemporer

BAB 3

NALAR ILMU PENGETAHUAN

A. Pengantar

Mal sebagai alatnya manusia melakukan sia adalah makhluk yang berpik Dengan
perialaran dalam setiap upayanya untuk menghalal mengingat memahami dan
memutuskan segala sesuatu Akal adalah salah satu anugerah Tuhan yang baik
menjadikan manusia sebagai pemegang tanggung jawab sebagai khalifah dan abdi
Allah di muka bumi ini.

B. Nalar Universal

Konsep mengenai nalar jadi bagian penting dalam pemikiran filsafat sejak era
Yunani hingga saat ini. Apabila ditelisik lebih jauh, dari sudut pandang instrumen
nalar, setidaknya ada dua pandangan mengenai nalar. Pertama, melihat nalar
sebagai instrumen berpikir dan pijakan memperoleh pengetahuan (epistemologis).
Di sini terlihat bahwa nalar sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Sebagai
instrumen, nalar jadi bagian dari kesadaran manusia. Maka, hasil pemikiran
diyakini bersifat objektif. Selain itu, nalar juga dipandang sebagai instrumen dan
sumber pengetahuan yang rasional dan universal. Karena sifatnya yang universal,
maka ada ukuran kebenaran yang universal sehingga dapat dipergunakan di mana
pun di kawasan bumi ini.

C. Kritik atas Konsep Nalar Universal di Barat

Konsep nalar universal (rasio instrumental) menyebabkan terbangunnya pola


dikotomi kebenaran yang disandarkan pada klaim universal pengetahuan, yang
ukurannya berasal dari Barat. Dari sinilah muncul kritik terhadap klaim universal
kebenaran rasionalisme Barat. Misalnya, muncul dari para filosof Mazhab
Frankfurt, yaitu: M. Horkheimer, Adorno, Herbert Marcus dan Jurgen Habermas.
Rasionalisme Barat yang mengkritisi mitos dan klaim universal kebenaran kitab
suci telah jadi mitos, begitulah kritik dari kaum kritis ini.

Proses kritik atas klaim rasionalisme Barat terus berkembang dan memasuki
perdebatan soal genealogi (asal mula pembentukan) nalar. Pendekatannya selain
dari sisi psikologis nalar, juga ditinjau secara antropologis dan ideologis suatu
nalar. Mncullah pandangan yang menyatakan bahwa isi pemikiran tidak universal
dan mengandung nilai nilai lokal.

Tokohnya antara lain adalah Andre Lalande, Levi Strauss, Michel Foucoult, Luis
Altusherr dan yang lainnya. Menurut Andre Lalande, nalar terbagi jadi dua, yaitu:
raison constitute dan raison contitue. Raison consti tute adalah nalar sebagai
instrumen berpikir yang bersifat universal, sehingga menekankan pada proses
koheren, baik yang sadar maupun transenden, sebagaimana yang berlaku dalam
pengertian Cartesian. Sementara raison constitueadalah ar yang sifatnya tidak
universal karena berasal dari bangunan budaya yang berbeda-beda, seperti: nalar
Arab, Sunda, Jawa dan sebagainya. Raison constitue meliputi di dalamnya cara
ataukonsep berpikir, bertindak atau menilai dan juga carapandang. Konsep nalar ini
mengakui proses ketidaksadaran dan kolektivitas dalam bernalar.

D. Konsep Nalar dalam Filsafat Islam


Kalau kita melakukan pelacakan secara historis pada pemikiran mengenai nalar
dalam filsafat Islam klasik, ada banyak pandangan mengenai term tersebut. Pada
umumnya para filosof Islam klasik telah mengemukakan konsep mengenai nalar.
Kita misalnya mengenal konsep akal murni,

Konsep mengenai nalar itu, misalnya kita dapatkan dari filosof Muslim klasik al-
Kindi dan al-Farabi. Menurut al-Kindi, nalar adalah daya pikir. Di mana secara
hirarkis terdapat tiga jenis nalar yaitu: akal potensial, aktual dan nalar yang telah
mencapai tingkat kedua dalam aktualitas (Hasyimsyah Nasution, 1999: 23).

BAB 4

SARANA ILMIAH, KLASIFIKASI, DAN PELUANG

A. Sarana Ilmiah

1. Bahasa

Bahasa mempunyai peran besar dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia
tidak akan memiliki pengetahuan. Bahasa membedakan manusia dari binatang,
simbol yang digunakan manusia, dalam hal ini Ernest Cassirer menyebut manusia
sebagai makhluk yang menggunakan simbol (S. Suriasumantri, 2001:171).

Bahasa dapat dipahami melalui beberapa fungsinya, yaitu:

1. Simbol; apabila dikatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol, hal
tersebut mengandung makna bahwa ucapan si pem bicara dihubungkan secara
simbolis dengan objek-obje

2. Simbol vokal; yaitu bunyi-bunyi yang urutan bunyinya dihasilkan oleh kerja
sama berbagai organ atau alat tubuh dengan sistem pernapasan.

3. Simbol vokal arbitrer; istilah arbitrer di sini bermakna "mana suka" dan tidak
perlu ada hubungan yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang
dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu
bahasa.

4. Suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer. Walaupun


hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap hati nurani, logika atau
psikologi, namun kerja sama antara bunyi bunyi itu sendiri, di dalam bahasa
tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern.

5. Yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sebagai alat bergaul satu
sama lain. Di mana bagian ini menyatakan hubungan antara bahasa dan masyarakat
(Amsal Bakhtiar, 2008: 179).k ataupun kejadian dalam dunia praktis.

2. Matematika

Dapat kita lihat bahwa hampir semua ilmu pengetahuan mempergunakan


matematika, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik.

Banyak sekali ilmu-ilmu sosial sudah mempergunakan matematika sebagai


sosiometri,psychometri, econometri, dan seterusnya. Hampir dapat dikatakan
bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan
dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sementara itu, matematika mempunyai
peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan
penting dalam berpikir induktif (Amsal Bakhtiar, 2008. 186).

Ditinjau dari perkembangannya, ilmu pengetahuan terbagi ke dalam tiga tahap,


yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Tahap pertama dan kedua
membutuhkan bahasa verbal, namun tahap ketiga membutuhkan matematika.

Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan


mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimensi pengukuran.
Matematika tidak hanya berfungsi sebagai bahasa, namun berfungsi juga sebagai
alat berpikir. Menurut Wittgeinstein, matematika adalah metode berpikir logis (S.
Suriasumantri, 2010: 197-199).

Matematika merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa yang


digunakan adalah bahasa artifisial, yakni bahasa buatan. Matematika
mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan-pernyataan mempunyai sifat yang
jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan, baik dalam bidang ilmiah maupun
dalam bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan (Amsal
Bakhtiar, 2008: 191).

3. Logika

Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat


dipertanggungjawabkan. Berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan
berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih dari satu.

Berpikir yang benar harus memenuhi prasyarat sebagai berikut :

a. Mencintai kebenaran.

b. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan

c. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda katakan.

d. Buatlah distingsi (perbedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya.

e. Cintailah definisi yang tepat.

f.Ketahuilah (dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini begitu.

g. Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta


sangguplah mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga
mengenali sebab-sebab kesalahan penalaran (Amsal Bakhtiar, 2008: 212).

4. Statistik

Statistik merupakan ilmu yang membahas (mempelajari) dan mem perkembangkan


prinsip-prinsip, metode dan prosedur yang perlu ditempuh atau dipergunakan
dalam rangka:

(1) pengumpulan angka-angka,

(2) penyusunan atau pengaturan data angka,

(3) penyajian atau penggambaran atau pelukisan data angka,

(4) penganalisisan terhadap data angka,

(5) penarikan kesimpulan (conclusion),


(6) pembuatan perkiraan (estimation), serta

(7) penyusunan ramalan (prediction)secara ilmiah(dalam hal ini secara matematik)


atas dasar pengumpulan data angka tersebut (Amsal Bakhtiar, 2008:197).

B. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan pembagian spesifik dari konsep yang mempunyai keluasan


Pembagian ini mewakili jumlah seluruh pembagian. Misalnya, pembagian konsep-
konsep ke dalam spesies-spesies, pembagian dari spesies-spesies tersebut, dan lain-
lain. Klasifikasi dibuat untuk digunakan secara konstan dalam ilmu atau kegiatan
praktis. Misalnya, klasifikasi binatang dan tumbuh-tumbuhan, pembentukan sosio-
ekonomis. Atau Klasikasi buku-buku dalam suatu perpustakaan.

Macam-macam Klasifikasi

1. Klasifikasi natural (alamiah)

2 Klasifikasi artifisial (buatan)

3. Klasifikasi menyangkut unsur-unsur kimia yang dibuat Mendelev

4. Tipologi.

C. Induksi dan Peluang Statistika

Ketika kita mengamati objek, ada beragam fakta dan hal khusus yang diperoleh
yang merupakan hasil observasi. Beragam fakta itu, ketika dianalisis menggunakan
alat ukur statistik atau teknik pengumpulan data lainnya seperti wawancara,
kuesioner dan dokumen disebut data.Setelah dikumpulkan fakta itu, lalu ditarik
kesimpulannya. Kesimpulan itu bisa berupa teori baru yang membantah teori lama
atau menguatkan teori lama Proses ini disebut penalaran induktif. Dalam praktik
riset ilmu pengetahuan, penalaran induktif itu ada yang dengan penyimpulan
kausal, ada pula yang dibantu dengan statistik.

Louis O Kattsoff (1996: 31) mengingatkan ada dua hal yang harus diperhatikan
ketika hendak melakukan penalaran induktif, yaitu:
1) Pastikan bahwa kita mendapatkan cukup peristiwa yang akan diamati itu.
Maksudnya, bilamana kejadiannya hanya satu atau dua kali saja, tidak dapat fakta
untuk ditarik kesimpulannya.

2) Pastikankita tidak menghadapiperistiwa-peristiwayang istimewa. Artinya, fakta


yang ditemukan bukan kejadian khusus yang istimewa, melainkan peristiwa umum.
Misalnya adanya manusia yang dibakar tidak terbakar, bukan fakta yang umum,
melainkan sesuatu yang istimewa, tidak dapat dijadikan sebagai fakta yang ditarik
secara induktif.

BAB 5

STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN

Sebagai sebuah struktur, ilmu pengetahuan terdiri objek material,


objek formal, sistem dan metodologi yang kesemuanya itu terkait satu sama
lain. Terkait dengan sistem, komponen utamanya adalah perumusan
masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan dan kontrol.
Sementara metodologi ilmiah dikembangkan berdasarkan paradigma
kuantitatif, kualitatif, dan campuran.
Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja dalam menyusun
ilmu pengetahuan, yaitu: pengamatan (observasi), pengukuran (measuring),
penjelasan (explaining), dan pemeriksaan benar tidaknya (verifying)
(Saifuddin Anshari, 1981: 61).
Objek material ilmu pengetahuan adalah bidang kajian ilmu itu
sendiri, baik alam, sosial, sastra, agama maupun humaniora. Sementara
objek formal ilmu pengetahuan adalah pendekatan yang dipergunakan
dalam memahami objek material itu, baik itu dengan pendekatan kuantitatif,
kualitatif, campuran, deduktif maupun induktif. Bab ini akan secara khusus
membahas sistem ilmu pengetahuan dan metode ilmiah.
Salah satu sifat utama ilmu adalah terbuka, di mana setiap ilmuwan
berhak untuk mempelajari kembali kajian atau penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, ilmuwan harus mengikuti semua
tahapan sistem ilmu pengetahuan yang baku. Sistem itu dalam praktiknya
disebut metode ilmiah.
A. Metode Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari kata Yunani, yakni kata meta
(sesudah atau di balik sesuatu) dan hodos jalan yang harus ditempuh.
Metode ilmiah adalah sebuah prosedur yang digunakan ilmuwan dalam
pencarian kebenaran baru. Dilakukan dengan cara kerja sistematis terhadap
pengetahuan baru dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan
yang telah ada. Metode berpikir ilmiah adalah prosedur, cara dan teknik
memperoleh pengetahuan. (Cecep Sumarna, 2008: 153).

Menurut Peter R. Senn, seperti yang dikutip oleh Suparlan Suhartono,


metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah sistematis (Suparlan Suhartono, 2005: 72).

Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesunguhnya tidak hanya


mencakup pengamatan dan percobaan seperti dikemukakan dalam salah satu
definisi di atas. Masih banyak prosedur lainnya yang dapat dianggap sebagai
pola-pola metode ilmiah, yakni: analisis (analysis), deskripsi (description),
penggolongan (classification), pengukuran (measurement, perbandingan
(comparison), survei (survey) (The Liang Gie, 2007: 111).

Dengan metode ilmiah inilah kemudian pengetahuan memiliki


karakteristiknya masing-masing yang bersifat ilmiah, yaitu sifat rasional.
Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir
deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh penge
tahuannya (S.Suriasumantri, 2009: 120).

Hipotesis adalah jawaban sementara bagi permasalahan yang dihadapi


dan berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan untuk
mendapatkan jawaban.
Sebuah metode ilmiah terdiri dari beberapa langkah yaitu:

1. Perumusan Masalah

Hal yang paling penting dalam penelaahan keilmuan adalah


perumusan masalah dengan baik. Hanya saja, tidaklah mudah untuk
merumuskan masalah penelitian. Masalah itu penting karena pemecahannya
berguna bagi pengembangan keilmuan ataupun kepentingan manusia secara
umum.

Ciri yang lain dari sebuah masalah dalam ilmu adalah bahwa masalah
itu harus dapat dijawab dengan jelas. Artinya jawaban dari masalah itu
memang harus sedetail, serinci mungkin. Jangan sampai masalah yang
diajukan tidak jelas, menimbulkan pemaknaan yang rancu.

Kemudian, masalah keilmuan tiap jawabannya mesti dapat diuji oleh


orang lain. Artinya, apa yang menjadi masalah penelitian hari ini, harus
dapat kembali diuji, mungkin menjadi masalah penelitian oleh orang lain
dalam rangka pengembangan keilmuan.

Ciri yang paling penting lainnya dari masalah keilmuan adalah harus
dapat dijawab lewat penelaahan keilmuan, dengan tersedianya data secara
nyata atau potensial tersedia.

2. Klasifikasi dan Deskripsi

Dalam proses penelitian, klasifikasi, pemberian nama dan penataan


sifat sifat tertentu, merupakan bagian yang penting dari bagaimana caranya
para ilmuwan melakukan pengamatan dan deskripsi. Tentang klasifikasi,
sudah dibahas pada bab empat buku ini.

3. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah salah satu karakteristik dari ilmu
pengetahuan yang bersifat kumulatif, di mana tiap pengetahuan disusun di
atas pengetahuan sebelumnya. Apabila seorang ilmuwan mulai menyelidiki
suatu masalah maka langkah pertama yang diambilnya sesudah dia
merumuskan masalah tersebut adalah melakukan tinjauan pustaka (Peter R.
Senn, 1997: 118).

4. Persepsi

Secara etimologis, persepsi berasal dari kata perception (Inggris), dan


percipio (Latin). Persepsi meliputi baik perolehan pengetahuan melalui
panca indra maupun dengan pikiran. Sejak tahap-tahap pertama filsafat
hingga sekarang ini masih mendapatkan perhatian.

Marleu-Ponty berkesimpulan bahwa di antara unsur-unsur persepsi


adalah relasi-relasi, atau bentuk relasional, Ini semua menjelaskan
kemungkinan intersubjektivitas ataupun menyediakan jembatan antara
pengindraan dan ide-ide (Lorens Bagus, 1996: 819).

5. Teknologi dan Pengukuran

Teknologi sangat membantu perkembangan ilmu pengetahuan. Di


bidang ilmu fisika, kimia, astronomi, kedokteran dan psikologi misalnya,
teknologi sangat membantu perkembangan ilmu-ilmu tersebut. Dalam
astronomi, pengamatan harus dilakukan dengan pertolongan alat-alat,
seperti teleskop, spektograf, berbagai alat pemotret dan berbagai tipe
peralatan radio. Sebuah potret atau rekaman adalah pencatatan yang lebih
baik dan merupakan sesuatu yang bisa dipelajari berulang kali.

6. Penjelasan

Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab Setelah lima


tahapan di atas dilakukan, ilmuwan harus memberikan penjelasan.
Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab pertanyaan
"mengapa". Dalam ilmu, terdapat empat cara berbeda yang dipergunakan
dalam menjawab pertanyaan ini, yakni deduktif, probabilistik, genetis dan
fungsional. Sebuah penjelasan deduktif terdiri dari serangkaian pertanyaan
di mana kesimpulan tertentu disimpulkan setelah menetapkan aksioma atau
postulat. Penjelasan genetis; penjelasan genetis menjawab pertanyaan
"mengapa" denga apa yang telah terjadi sebelumnya. Penjelasan genetis ini
kadang-kadang disebut penjelasan historis. Penjelasan fungsional; bentuk
penjelasan yang lain yang sering dijumpai dalam ilmu, adalah penjelasan
fungsional, yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan "mengapa"
dengan jalan menyelidiki tempat dari objek yang sedang diteliti dari
keseluruhan sistem di mana objek itu berada (Peter R. Senn, 1997: 122).

7. Ramalan

Salah satu bentuk ramalan tertua yang dicari oleh ilmuwan adalah
hukum, Hukum dalam ilmu sosial berarti beberapa keteraturan yang fun
damental yang dapat diterapkan. Dalam tingkatan kebenarannya, hukum
berada di posisi tertinggi. Contoh dari hukum dalam ilmu pengetahuan
adalah hukum gravitasi.

Cara ramalan yang lain adalah didasarkan pada penentuan masalah


apa yang dihadapi manusia dan masyarakatnya (masalah).

B. Ringkasan, Latihann, dan Daftar Istilah

1. Ringkasan

Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah struktur, ilmu pengetahuan


terdiri sistem dan metodologi yang kesemuanya itu terkait satu sama lain.
Dari mulai latar belakang masalah, perumusan masalah, kajian kepustakaan,
hipotesis, persepsi, teknologi dan metodologi yang dikembangkan.

BAB 6

INDRA, AKAL, INTUISI DAN WAHYU

A. Hierarki Ilmu

1. Prinsip Tauhid
Ontologi Islam mendasarkan konsepnya pada tauhid. Prinsip tauhid
menjadikan dipilihkannya antara Yang Maha Ada, wajib ada (wajibul wujud
dengan yang mungkin ada (mumkinul wujud), jika diadakan oleh Yang
Maha Ada. Ada kholiq (pencipta), ada makhluq (yang diciptakan). Dalam
kajian eksistensialisme, dikenal istilah "Ada" dan "adaan". "Ada"
keberadaannya oleh dirinya sendiri, sementara "adaan", keberadaannya
karena diadakan oleh "Ada".
Dalam hal konsep ontologi, para filosof Muslim mengembangkan
hierarki wujud. Ibn Sina misalnya, mengelompokkan wujud kepada tiga
yaitu: (1) wujud-wujud yang secara niscaya tidak ber hubungan dengan
materi dan gerak, contohnya adalah Tuhan; (2) wujud-wujud yang meskipun
bersifat immateriil, terkadang mengadakan kontak dengan materi dan gerak,
misalnya wujud matematika; (3) wujud-wujud yang secara niscaya terkait
dengan materi dan gerak, yaitu wujud fisik (Mulyadhi Kartanegara,
2003:43).
Para filosof Muslim menyusun hierarki wujud (martabah al-maujudat)
dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan di puncaknya,
kemudian menurun melalui alam "antara" (barzakh) yang bisa kita lihat
percampuran antara unsur-unsur metafisika dan fisik dengan bentuk yang
unik menuju alam fisik, tempat kita hidup dan berkembang.
Dalam salah satu skemanya, Al-Farabi, sebagaimana dikutip
Mulyadhi Kartanegara (2003:31-32) mengemukakan hierarki wujud sebagai
berikut:
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.
2. Para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama sekali
immateriil.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial), dan
4. Benda-benda bumi (terrestrial).
2. Semuanya Penting

Dalam konsep epistemologi Islam, tidak hanya pancaindra dan akal


yang menjadi alat memperoleh pengetahuan, tapi juga melibatkan intuisi.
Gerak aktif memperoleh pengetahuan dilakukan manusia melalui ketiga alat
itu (indra, akal dan intuisi). Sementara itu, sumber pengetahuan lain yang
mana manusia bersifat menerimanya secara pasif adalah wahyu. Wahyu
adalah khabar shodiq, informasi yang sangat benar diberikan Tuhan kepada
manusia melalui perantara nabi dan rasul-Nya. Bagi umat Islam, Al-Qur'an
adalah wahyu Allah SWT, sumber pengetahuan yang sangat berharga dan
mulia.
Untuk mengetahui objek fisik, pancaindra sangat diperlukan. Mata
untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, kulit untuk
meraba, dan lidah untuk merasa.
Bila kaum empirik menuding kaum rasionalis tidak berbasiskan
fakta, sementara kaum rasional menuding kaum empirik tidak logis dan
mendasarkan pikirannya dengan kemasukakalan, maka prinsip hierarki
mendasari epistemologi Islam.
Hierarki ilmu pengetahuan dalam Islam berdasarkan alat dan
pendekatan ontologisnya digambarkan sebagai berikut:
 Wahyu
 Intuisi
 Akal
 Pancaindra
3. Sarat Nilai

Ilmu pengetahuan dalam Islam didedikasikan untuk menjalankan


peran sebagai hamba ('abid) dan khalifah, memakmurkan bumi. Pada
dimensi horizontal, ilmu pengetahuan ditujukan untuk kemanfaatan manusia
dan membangun bumi. Dengan demikian, bagi epistemologi Islam, ilmu
tidak untuk ilmu, tapi untuk kemanfaatan manusia dan kemakmuran bumi.
Ilmu tidak bebas nilai (free value) namun sarat nilai (value laden).
Sementara pada dimensi vertikal, ilmu pengetahuan ditujukan untuk
meningkatkan kualitas iman dan bentuk sikap tauhid kepada Allah SWT.
Seorang yang berilmu akan semakin meningkat keimanan dan
ketakwaannya.
Dari sisi individual, ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan iman
dan amal. Semakin tinggi ilmunya, semakin rendah hati, tawaduk, dan
semakin tinggi iman juga semakin banyak amal kebajikannya. Iman, ilmu
dan amal menjadi kesatuan tak terpisahkan dalam paradigma epistemologi
Islam.
B. Indra, Akal, Intuisi dan Wahyu
1. Pancaindra Lahir dan Batin
Al-Ghazali dalam kitabnya, Misykat Cahaya-Cahaya, memandang
akal lebih patut disebut "cahaya daripada indra. Dengan kata lain, akal lebih
patut disebut sebagai sumber ilmu daripada indra. Misalnya, dengan indra,
kita dapat melihat bulan separuh saja pada satu saat; maka kita tidak bisa
membuktikan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat. Demikian
juga, akallah dengan memakai ukuran tertentu yang dapat menaksir dan
menunjukkan dengan logika atau model matematika, ukuran sebuah planet,
bintang, matahari atau keliling bumi, seperti yang telah dilakukan oleh Al-
Biruni, ilmuwan Muslimpada abad ke-11 (Mulyadhi Kartanegara, 2003:21).
Selain pancaindra fisik/lahir, dalam epistemologi Islam dikenal
konsep pancaindra batin. Mengutip Ibn Sina dan Al-Farabi, Mulyadhi
Kartanegara (2003: 21-24) menjelaskan sebagai berikut:
1. "Indra Bersama" (al-hiss al-musytarak). Mata boleh bisa melihat,
telinga boleh bisa mendengar, kulit meraba, hidung mencium dan
lidah merasa, tetapi kecakapan mereka bersifat individual atau
parsial. Indra batin inilah yang menyebabkan sebuah objek indrawi
muncul sebagai sebuah kesatuan yang utuh dengan segala
dimensinya dan tidak lagi data parsial yang biasa disumbangkan oleh
tiap indra lahir.
2. "Khayal" atau "daya imajinasi retentif". Informasi dari pancaindra
lahir tidak dapat melestarikan atau merekam apa-apa yang
ditangkap. Khayal merupakan daya yang bisa melestarikan bentuk
yang ditangkap oleh mata, atau suara yang ditangkap oleh telinga,
dan pencerapan-pencerapan oleh indra lainnya.
3. 'Daya estimasi" (wahm). Indra batin yang satu inilah yang dapat
menilai apakah, misalnya, sebuah benda itu bermanfaat atau
berbahaya sehingga kita dapat mengambil tindakan yang diperlukan,
baik untuk menghindarkan diri dari benda tersebut jika berbahaya,
maupun untuk mendekatinya jika bermanfaat.
4. "Imajinasi" (mutakhayyilah atau compositive imaginative faculty).
Sebagaimana indra bersama (al-hiss al-musytarak) mampu
menangkap sebuah objek fisik secara utuh, demikian juga imajinasi
dapat menangkap bentuk (shurah) secara komprehensif.
5. "Memori" (al-hafizhah). Sebagaimana citra yang muncul dalam
Indra-bersama, tetapi oleh khayal, demikian juga bentuk-bentuk
imajiner gabungan tersebut juga tidak bisa direkam sendiri oleh
imajinasi
2. Akal
Logika manusia dan penalaran matematika adalah contoh fungsi dari
akal. Oleh para filosof Muslim, akal (al-'aq) biasanya dibagi menjadi dua
macam, akal praktis dan akal teoretis. Akal merupakan potensi setiap
manusia, sarana untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Al-Ghazali,
seperti dikutip oleh Suparman Syukur (2007: 64 65), akal merupakan fitrah
instingtif sebagai cahaya orisinal yang menjadi sarana manusia dalam
memahami realitas segala sesuatu.

Sedangkan menurut Ibn Khaldun yang dikutip oleh Endang Saifuddin


Anshari (1981: 151), akal itu timbangan yang cermat, yang hasilnya pasti
dan dapat dipercaya.

Muhammad Abduh menyatakan bahwa akal adalah daya yang hanya


dimiliki manusia dan akal yang membedakan manusia dari makhluk
lainnya, akal merupakan tongkat kehidupan manusia dan dasar kelanjutan
hidupnya (Suparman Syukur, 2007:65).

3. Intuisi

Intuisi adalah alat memperoleh pengetahuan yang khas dalam


epistemologi Islam. Memang dalam epistemologi Barat dikenal dan
dikembangkan oleh Henry Bergson, filosof dari Prancis, namun tidak
menjadi paradigma besar, kalah oleh dominasi positivisme.
Henry Bergson menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk
menganalisis ruang, tetapi tidak dengan waktu. Untuk memahami waktu,
kita harus menggunakan intuisi sebagai alat atau "metode filosofis" yang
paling tepat untuknya.
Intuisi adalah penguat dari akal. Imam Al-Cahazali berkata, "Ketika
kita dalam keadaan tidur (mimpi), tampak semua seperti masuk akal, tetapi
ketika kita tersadar, tampak betapa mereka tidak masuk akal karena akal
tidak mampu memahaminya."
Secara umum, kita bisa mengatakan bahwa intuisi mampu memahami
banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal;
1. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan
hidup yang lebih dalam, yang menyangkut sisi kehidupan
emosional manusia.
2. Bahwa setiap saat dari kehidupan itu unik, sulit dimengerti oleh
akal karena bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu
menit di mana pun. Atau, satu jengkal di sini akan sama saja
dengan satu jengkal di mana pun. Hati (intuisi) yang telah terlatih
akan dapat memahami perasaan seseorang hanya, misalnya, dengan
mendengar suara atau memandang matanya. Ketika akal hanya
berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam
ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius) sehingga
mampu memahami pengalaman-pengalaman non indrawi atau apa
yang sering disebut ESP (extra-sensory perception), termasuk
pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
3. Intuisi mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara
lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan
"eksperiensial atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman,
la mengerti "manis" bukan melalui kata orang ataupun bacaan,
melainkan justru dengan mencicipinya.
4. Wahyu

Wahyu adalah kalam Illahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


SAW dalam bentuk teks. Menurut Nurcholish Madjid seperti yang dikutip
och Husein Heriyanto, tidak seorang pun Muslim di berbagai belahan dunia
yang meragukan keaslian dan keautentikan kitab sucinya sebagai hal yang
diwahyukan Allah kepada manusia melalui perantaraan Nabi Muhammad
SAW. Al-Qur'an merupakan wahyu yang bersumber dari Allah (Husein
Heriyanto, 2011:38).
Al-Qur'an mampu memberikan jawaban memuaskan dan menggugah
kesadaran bagi setiap orang yang mempertanyakan sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh akal
Salah besar bila menilai wahyu bertentangan dengan ilmu pengetahuan,
sesungguhnya ilmu pengetahuan yang belum menemukan kebenaran sejati
dalam menangkap isyarat wahyu.
C. Ringkasan, Latihan, dan 1. Ringkasan
Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan
pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahannya
diperoleh. Sumber-sumber itu, menurut epistimologi Islam, tak lain adalah
indra, akal, hati (intuisi) dan wahyu.
Pancaindra indra lahir kita bisa menangkap dimensi-dimensi benda
dengan cukup rumit, tetapi mereka tidak bisa menangkap "maksud" yang
tersembunyi dari sebuah benda. Sedangkan indra batin keempat yang
disebut "imajinasi" (mutakhayyilah atau compositive imaginative faculty),
sebagaimana indra bersama (al-hiss al-musytarak mampu menangkap
sebuah objek fisik secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap
bentuk (shurah) secara komprehensif. Untuk itu, kita membutuhkan
"memori" (quwwat al-hafizhah) yang berguna untuk melestarikan bentuk-
bentuk imajiner, sebagaimana kita membutuhkan "khayal" untuk merekam
bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oleh indra bersama.
Oleh para filosof Muslim, akal (al-'aq) biasanya dibagi menjadi dua
macam, akal praktis dan akal teoretis. Kelebihan yang paling istimewa dari
akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap
"kuiditas" atau "esensi" dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal
dari sebuah objek yang diamatinya lewat indra yang bersifat abstrak dan
tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular.

BAB 7

ILMU MENURUT IBN SINA

A. Biografi Intelektual

Ibn Sina yang diberikan gelar Syekh al-Ra'is al Akbar adalah seorang
filosof dan ulama besar dalam sejarah Islam, yang dikenal hingga sekarang,
baik di dunia Islam maupun Barat. Ibn Sina adalah seorang pria kelahiran
desa Afsyanah, dekat Bukhara, Persia Utara pada tahun 370 H/980 M.
Wafat sekitar tahun 428 H/1037 M. Nama asli Ibn Sina adalah Abu 'Ali
Husein Ibn Abdillah Ibn Hasan 1bn Ali Ibn Sina. Ayahnya berasal dari kota
Bukhara pada masa kepemimpinan Nuh Ibn Mansur,atastitah raja yang
mengangkatnya sebagai Amir Kharmaistan. Di sinilah ayahnya bertemu
dengan seorang perempuan bernama Sattarah yang kemudian melahirkan
Ibn Sina (Shoms Inati, 2003: 285),
Peripatetik (masyaiyat) adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh
Ibn Sina dan ia men dapatkan pengakuan dari berbagai kalangan, baik di
Barat maupun di Timur, memengaruhi banyak filosof sesudahnya. Al-
isyarat wa al-tanbihat karya filsafat Syaikh Ra'is yang termatang dan
menyeluruh, terdiri dari logika, fisika dan metafisika, dan ditutup dengan
mistisisme (Shoms Inati, 2003:288).

B. Teori Pengetahuan

1. Alat Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan itu berkembang dari rasa ingin tahu terhadap objek.


Objek dapat berupa alam, manusia, Tuhan dan bahkan dirinya sendiri. Rasa
ingin tahu terhadap objek menjadi titik awal pengetahuan.
Ibn Sina meyakini bahwa alat memperoleh pengetahuan manusia
berasal dari dua sumber yaitu indra dan rasio. Indralah yang pertama kali
berhadapan dengan objek dan memberikan gambaran dasar pada rasio dan
seterusnya rasiolah yang mengabstraksikan setiap persepsi yang masuk.
2. Persepsi

Persepsi dalam pandangan Ibn Sina terdiri dari dua jenis yaitu persepsi
eksternal dan internal. Persepsi yang pertama adalah pancaindra, dengan
pancaindra manusia hanya sampai pada tahap menyaksikan segala sesuatu
yang tampak dan belum mampu menyimpulkan.
Sedangkan persepsi yang kedua ialah indra dalam. Indra dalam itu
terdiri dari phantasia atau disebut juga indra bersama. Daya ini menerima
segala sesuatu yang telah disimpan oleh pancaindra luar. Selanjutnya daya
khayal atau imajinasi. Daya ini yang menjaga segala objek yang
disampaikan oleh pancaindra.
Fungsi ketiga dari indra dalam adalah daya mutakhayyilah, daya ini
jika digunakan oleh manusia disebut daya pikir. Ada perbedaan antara daya
khayal dan mutakhayyilah, kalau khayal atau imajinasi tidak ada sesuatu di
dalamnya atau tidak bisa menerima sesuatu kecuali mengambilnya dari
indra. Bagi Ibn Sinna, ada keterkaitan yang erat antara persepsi-persepsi
tersebut. Persepsiinternal tidak bisa menafikanpersepsieksternaldan begitu
punsebaliknya. Imajinasi membantu manusia melanggengkan pengetahuan
yang sudah didapatkannya.
Pencapaian manusia terhadap pengetahuan yang lebih tinggi terjadi
ketika manusia mampu menggunakan jiwa rasionalnya. Jiwa inilah hakiki
dan esensi (jauhan) kemanusiaannya dan yang memiliki semua fakultas jiwa
yang sudah disebutkan. Mampu menarik kesimpulan dan putusan dari
objek-objek akal (ma'qulat).
3. Akal

Ibn Sina membagi kekuatan ini ke dalam empat tingkatan (Ibn Sina,
1375: 355). Tingkatan pertama adalah akal material (al-aql al-hayulani).
Tingkatan kedua akal mempunyai kemampuan untuk menangkap bentuk-
bentuk universal, akal bi al-malakah (akal yang menyatu). Akal ini
merupakan intelek manusia yang memiliki kemampuan untuk mencerap hal-
hal yang sederhana dan jelas. Ini merupakan proses yang paling mendasar
dari tingkatan intelek manusia. Karena semua bentuk pemikiran didasarkan
pada tingkat ini.
Selanjutnya akal bi al-fa'li (akal aktual), akal ini berfungsi untuk
mengabstraksikan persepsi yang didapat dari persoalan badihi, sederhana
atau akal yang di dalamnya dihasilkan prinsip-prinsip pertama yang tidak
memerlukan bukti lain, misalnya adalah bahwa keseluruhan (kulliyan lebih
besar dari bagian (juz'iyat).
Tingkatan tertinggi dan ini hanya dimiliki oleh nabi dan rasul adalah
akal al-Mustafad (akal perolehan), kemampuan memersepsi seluruh bentuk
yang sampai kepadanya dari objek-objek yang sederhana dan jelas atau
rasional yang sesuai. Persepsi pada tingkatan ini tidak lagi berhubungan
dengan materi, tapi langsung berkoresponden dengan akal aktif (al-aql al
la'al yang memberikan pengetahuan. Akal inilah yang menerima pancaran
pengetahuan dari akal aktif, akal ini merupakan bagian terakhir dari akal
yang diciptakan Tuhan.
Ketika jiwa disibukkan dengan perkara-perkara yang ragawi dan
nafsu, akan semakin terhalang untuk berhubungan dengan akal aktif (akal
fa'al) yang mengaktualkan pengetahuan dari potensi ke aktus.
4. Subjek-objek

Ibn Sina pun membahas tentang hubungan subjek dan objek. Dibahas
karena objek tidak terlepas dari peran manusia yang memersepsinya
(subjek). Ibn Sina berpandangan bahwa subjek pada saat yang sama
merupakan objek pengetahuan juga. Karena ketika subjek melakukan
pencerapan terhadap objek, proses pencerapan terjadi pada substansi objek.
Subjek melakukan persepsi pada esensi objek yang ada pada esensi subjek.
Maka, pada saat yang sama subjek sekaligus menjadi objek Mengenai hal
ini, Ibn Sina (1375: 382) mengatakan:
"Sesungguhnya kamu mengetahui bahwasanya segala sesuatu
memikirkan sesuatu dengan daya yang dekat dari potensi pencerapannya,
dan pencerapannya itu terhadap esensinya. Maka seluruh pencerapan
terhadap sesuatu pada dasarnya melakukan pencerapan terhadap esensinya
sendiri".
Kemudian, filsafat praktis mempelajari salah satu dari hal-hal berikut;
prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan publik antaranggota
masyarakat. Prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan personal di
dalam masyarakat. Prinsip-prinsip yang mendasari urusan-urusan individu.
Ilmu politik, tata negara, ekonomi dan yang terkait dengan kemanusiaan ada
di dalamnya.
Demikianlah secara ringkas konsep ilmu menurut Ibn Sina. Dapat kita
simpulkan bahwa pengetahuan dalam pandangan Ibn Sina bertingkat dari
mulai i pengetahuan sederhana yang dihasilkan oleh pencerapan pancaindra
dan ada pengetahuan sempurna, hasil dari kerja intelektual yang sempurna,
mengikatkan keterhubungannya dengan akal aktif (akal fa'al).
C. Ringkasan, Latihan, dan Daftar Istilah

1. Ringkasan

Ibn Sina adalah seorang filosof Peripatetik (Masyaiyat, semua


pemikirannya didasarkan pada teori ini, termasuk pembahasan Ibn Sina
mengenai epistemologi. Ibn Sina meyakini bahwa sumber pengetahuan
manusia berasal dari dua sumber yaitu indra dan rasio. Indra adalah bagian
yang paling mendasar dalam mencapai pengetahuan namun juga terbatas,
indra yang pertama kali berhadapan dengan objek dan memberikan
gambaran dasar pada rasio dan seterusnya rasiolah yang mengabstraksikan
setiap persepsi yang masuk. Berbeda dengan Aristoteles, bagi Ibn Sina ide-
ide abstrak sebenarnya telah mewujud di dalam pikiran dan tidak
bergantung pada indra. Pengetahuan partikular dan yang berubah adalah
kemestian bagi alat-alat jasmaniah.
Ibn Sina tidak menafikan hal-hal partikular, karena ini berhubungan
dengan persepsi indrawi. Persepsi indrawilah yang menyaksikan hal-hal
partikular. Misalnya adalah adanya pergantian siang dan malam,
membedakan antara panas dan dingin, dan sebagainya.
Akal pada manusia menurut Ibn Sina terbagi dua, akal teoretis dan
akal praktis. Akal teoretis adalah akal yang mampu berhubungan dengan
akal aktif dan ilmu yang dihasilkannya tidak terbatas, ilmu yang dihasilkan
dari akal teoretis ini di antaranya adalah metafisika.

BAB 8

ILMU MENURUT IMAM AL-GHAZALI

A. Biografi Intelektual

Namanya sangat masyhur di Indonesia sebagai salah satu ulama


klasik yang dirujuk oleh para ulama di Indonesia, ahlus sunnah wa al-
jama'ah. Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Abu Hamid Al-
Ghazali dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriyah, tepatnya 450 H,
di Thus, sebuah kota di Khurasan, berada di sebelah tenggara Iran (De Boer,
t.t.: 155).
Sebagian peneliti menisbatkan dari nama Al Gahazali pada Gazalah.
Ghazalah adalah tempat kelahirannya. Namun ada juga yang menisbatkan
pada kata Al-Gazzali (perajut, penenun, pemintal) karena ayahnya
berprofesi sebagai pemintal (tukang samak kulit). Di balik pekerjaannya
sebagai pemintal, ayah Al-Ghazali sering menghadiri majlis ulama dan dia
selalu berdoa agar dikaruniai anak yang menjadi ahli fiqih dan ahli
menasihati.
Sejak saat itu nama Al-Ghazali terkenal di kawasan kerajaan Saljuk.
Prestasi tersebut menyebabkan ia dipilih oleh Nizam Al-Muluk untuk
menjadi Guru Besar di Madrasah Nizhamiyah pada tahun 483 H/1090 M.
meskipun ia baru berusia 30 tahun, ia aktif mengadakan perdebatan terhadap
golongan-golongan yang berkembang pada waktu itu. Namun seiring
dengan perjalanan Al-Ghazali yang prestisius tersebut, ia mengalami suatu
keadaan keraguan yang mendebat keilmuannya sendiri, dalam pencarian
kebenaran yang hakiki (Muhtar Solihin, 2001: 21).
Dengan perhitungan ini, setiap tahunnya Al-Ghazali menghasilkan karya
tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, yang meliputi beberapa
kalangan ilmu, antara lain: Filsafat dan Ilmu Kalam, Fiqih, Ushul Fiqih,
Tafsir, Tasawuf, dan Akhlaq (Muhtar Solihin, 2001: 23).
B. Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali
1. Fase Keraguan (skeptis)
Pada fase ini Al-Ghazali terdorong untuk mengetahui kebenaran yang
hakiki demi mencari solusi terhadap permasalahan yang ada pada saat itu, ia
lebih bersifat fundamental dalam mengkaji tentang keberadaan ilmu.
meragukan berbagai argumentasi kelompok-kelompok yang pada saat itu
saling berseberangan pendapat, sehingga terjadinya sesat menyesatkan.
Keraguan ini muncul atas pertanyaan Al-Ghazali "mana di antara semul
kelompok ini yang paling benar?" (Al-Ghazali, 2003: xxxii).
2. Fase Validitas Ilmu

A-Ghazali menginvestigasi perangkat pengetahuan yaitu indra dan


akal, namun keduanya masih mempunyai kelemahan dalam pencarian
kebenaran yang hakiki. Lalu ia mendalami Ilmu Kalam, setelah
mendalaminya ia melihat bahwa ilmu kalam bertujuan hanya merumuskan
unggapan atas lawan-lawan polemiknya dan melecehkan mereka dengan
menggunakan postulat-postulat mereka sendiri, maka sangat jauh dalam
mencari kebenaran hakiki.
Selanjutnya Al-Ghazali mempelajari Tasawuf, di sini ia tidak
mempelajari ajaran teoretis belaka, tetapi juga dalam praktik atau
pengalaman nyata. Sehingga ia mengalami masalah dilematis, yang harus
memilih satu dari dua kemungkinan: pertama, mengamalkan tasawuf
dengan konsekuensi meninggalkan kemewahan, atau kedua, mem
pertahankan kedudukan dan fasilitasnya dengan konsekuensi tidak
memasuki pengalaman tasawuf, sedangkan tasawuf itu sendiri ia yakini
adalah jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki (Al-Ghazali, 2003: ). la
kemudian memilih untuk mengamalkan tasawuf dan meninggalkan
jabatannya.
3. Fase Evolusi Intelektual
Dalam fase ini, Al-Ghazali yang telah dilanda keraguan dan kesakitan
intelektual selama dua bulan, ia mendapatkan sesuatu yang ia cari selama
ini, yakni kebenaran hakiki melalui metode tasawuf (Muhtar Solihin, 2001
31).
Al-Ghazali telah sampai pada kondisi atau maqom ma'rifat di mana
cahaya Allah memancar pada sanubari, dan cahaya itulah kunci pengetahuan
yang hakiki, Cahaya itu yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai ilmu laduni.
Sehingga kondisi ini melatarbelakangi segi keilmuan Al. Ghazali dalam
menuliskan karya-karyanya. Setelah mengalami kondisi itu, ia lebih
mengedepankan unsur spiritualitas, dibandingkan dengan unsur teologis dan
filosofis.
C. Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali

Mempelajari epistemologi Al-Ghazali memang agak unik, dalam


arti mempelajari corak berpikir beliau yang sebenarnya. Di satu sisi, ia
menyangsikan indra, di sisi lain ia meragukan akal. Dari sini jelas bahwa
Al-Ghazali tidak mengakui kebenaran ilmu indrawi begitu pun kepada akal,
dengan keinginan mendapatkan kebenaran yang hakiki. Upaya penggalian
ilmu itu, sesungguhnya merupakan kerja epistemologis Al Chazali, Namun
persoalannya sekarang ialah bagaimana epistemologi Ilmu menurut Al-
Ghazali?
1. Hakikat dan Keutamaan Ilmu

Dalam kitab Risalah Al-Laduniyah, Al-Ghazali memandang ilmu


sebagai gambaran jiwa yang berpikir penuh ketenangan dan selalu berpikir
tentang hakikat segala sesuatu. Gambaran ilmu ini terpisah dari materi
berdasarkan substansi, metode ukuran, dan esensinya. Seseorang yang
berilmu adalah orang yang mengetahui, memahami, dan menganalisis
berbagai faktor objektif. Adapun objek ilmu atau pengetahuan adalah esensi
sesuatu yang pengetahuannya tergambar dalam jiwa. Keagungan ilmu itu
menurut kadu keagungan objeknya, dan tingkatan orang berilmu ialah
menurut tingkatan ilmu yang dimilikinya.
Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menjelaskan bahwa objek ilmu
yang paling tinggi dan paling mulia adalah Allah, Pencipta, Al-Haqq yang
Maha Tunggal. Ilmu seperti ini masuk dalam kategori ilmu Tauhid yang
wajib dimiliki oleh seluruh orang yang berakal, Ilmu tauhid ini tidak
menafikan ilmu-ilmu lainnya.
2. Metode untuk Menghasilkan Ilmu

Al-Ghazali membagi dua sumber penggalian ilmu pengetahuan.


Pertama, sumber insaniyah, dan kedua, sumber rabbaniyah Sumber
insaniyah adalah sumber pengetahuan yang bisa diusahakan oleh
berdasarkan kekuatan rekayasa akal. Sedangkan sumber rabbaniyah tidak
dihasilkan melalui kemampuan akal, melainkan harus dengan informasi
Allah, baik informasi langsung melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati
manusia, maupun petunjuk yang datang lewat wahyu yang diturunkan
kepada nabi dan rasul-Nya (Massimo Campanini dalam Nasr dan Leaman
(ed), 2003: 325).
Sedangkan ilmu yang datang melalui ilham yang masuk ke dalam
hati disebut "Ilmu ladunni. Dalam Risalah al-Ladunniyyah-nya, Al-Ghazali
mengartikan ilmu laduni adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia
hati "tanpa perantara" karena ia datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa
manusia (Muhtar Solihin, 2001: 39).

3. Alat untuk Menghasilkan Ilmu


Ilmu yang dimiliki manusia diperoleh dengan menggunakan beberapa
alat yang dimiliki manusia. Alat-alat di sini berfungsi sebagai media yang
dberikan oleh Allah, baik secara fisik maupun psikis sebagai tempat
berprosesnya ilmu. Alat-alat yang dimaksud ialah indra, akal dan hati
2. Indra

secara fitrahnya, manusia dibekali Allah denga pancaindra, yaitu


mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh manusia melalui
indra debut ilmu indrawi. Ilmu ini dihasilkan dengan cara persentuhan indra
indra manusia dengan rangsangan yang datang dari luar, lingkungan
Danusiri, 1996:43). Secara sederhana dari persentuhan (pengindraan) inilah
kemudian dihasilkan Ilmu.
b. Akal

Akal, menurut Al-Ghazali diciptakan Allah dalam keadaan sempurna


dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi.
Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia, sekalipun
fisiknya lebih kuat daripada manusia (Muhtar Solihin, 2001: 43).
dikaitkan dengan masalah metafisika dan hal-hal yang tidak terbatas.
Namun ada kaum yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu didasarkan
pada akal semata. Kaum ini bernama rasioanalis
c. Hati

Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan


oleh Al Ghazali, Qalb itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali mempunyal
kedudukan penting dalampembahasanepistemologi yang samapentingnya
dengan fungsi qalb sebagai esensi manusia. Menurut Al-Ghazali, qalb di
samping sebagai penunjukan esensi manusia, juga sebagai salah satu alat
dalam jiwa manusiayang berfungsi untuk memperoleh ilmut Muhtar Solihin,
2001:46).

D. Hierarki Ilmu

Selanjutnya, Al-Ghazali juga menjelaskan hierarki atau klasifikasi


ilmu, yang menurutnya dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar,
yaitu: ilmu syar'i ülmu religius), dan ilmu 'aqli (ilmu intelektual). Menurut
Al. Ghazali, validitas ilmu syari tidak diragukan lagi ketimbang ilmu yang
diperoleh dengan rekayasa akal.
Persoalan klasifikasi (hierarki) ilmu menjadi sangat signifikan untuk
melihat keutuhan dan kesinambungan pemikiran epistemologinya. Dari
analisis Risalah al-Ladunniyahditambah dengan kitab-kitablain, ditemukan
empat basis klasifikasi:
1. klasifikasi ilmu syar'iyah (agama) dan aqliyah (akal, intelektuall;
2. fardhu 'ain, dan fardhu kifayah,
3. ilmu teoretis dan praktis;
4. ilmu yang dihadirkan (hudhuri) dan ilmu yang diusahakan
Paradigma in kemudian diarahkan pada pemikiran ilmu laduni,
dengan mendasarkan pada argumen dari al-Qur'an dan Hadis, Ini
menggambarkan bahwa ilmu laduni sebagai bagian tak terpisahkan dari
kajian epistemologinya.
E. Ilmu Laduni

1. Pengertian Ilmu Laduni

Pengertian Ilmu laduni menurut Al-Ghazali seperti yang diungkapkan


dalam beberapa karya besarnya Al-Ihya Uulmuddin dan Risalah Al-
Laduniniyah, ia mengartikan Ilmu laduni sebagai ilmu yang datang dari
Allah secara langsung ke lubuk hati manusia tanpa sebab, dan tanpa belajar
karena ia dditangkan Allah melalui jalan kasyfdan ilham (Muhtar Solihin,
2001: 671,
2. Dasar-dasar Keberadaan Ilmu Laduni

Dalam mengeluarkan konsep Ilmu laduni Al-Ghazali mendasarkan


pada argumen nagliyah (baik Al-Quran maupun Hadis) dan argumen
empiris dari orang-orang tertentu. Argumen yang didasarkan pada dalil-dalil
ayat disebut dengan kesaksian syara, dan argumen yang didasarkan pada
empiris disebut kesaksian pengalaman.
a. Kesaksian Syara
Dalam dalil naqliyahnya, Al-Ghazali sebagaimana dikutip Muhtar
Solihin (2001:76) memberikan hadis-hadis dan ayat Al-Qur'an untuk
memperkuat argumentasi tentang Ilmu laduni. Seperti:
Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda: "Ilmu itu ada dua macam (ilmu Dzahir dan
ilmu Batin), ilmu batin letaknya di dalam hati dan itulah ilmu yang
bermanfaat.
b. Kesaksian Pengalaman
Kesaksian pengalaman ini adalah kondisi seorang saksi yang
menyaksikan sebuah hal yang bersifat di luar prasangka kita. Seperti
yang diceritakan oleh Anas bin Malik R.A. ia berkata, "Aku
memasuki rumah Utsman R.A. Di tengah jalan aku bertemu dengan
seorang wanita, lalu aku memandanginya dan membayangkan
kecantikannya, Ketika aku masuk, Utsman berkata, "Salah seorang
di antara kamu yang hadir datang kepadaku tampak bahwa kedua
matanya bekas berzina.

3. Ilmu Laduni dan Jiwa Manusia

Untuk mengetahui jiwa mana yang potensial untuk menerima


berbagai ilmu, Al-Ghazali menganalisisnya melalui konsepsinya tentang
manusia. Sebagai ulama yang banyak mengkaji tentang manusia, Al-
Ghazali cukup arif dalam memahami manusia. Menurutnya manusia yang
diciptakan
cahayanya kepada jiwa manusia dengan sebuah penge tahuan yang
tidak terbatas. Pengetahuan itulah yang disebat Ilmu Laduni, ilmu yang
diperoleh langsung dari Tuhan.
4. Metode Ilmu Laduni

Dalam rincian penjelasan tentang metode memperoleh ilmu Laduni,


Al-Ghazali (Muhtar Salihin, 2001: 87) menggunakan dalil dan Al-Quran
surat Asy-Syams ayat 7. "Dan demi liwa serta penyempurnaannya? Dari
ayat tersebutlah, ia merumuskan beberapa metode untuk memperoleh ilmu
laduni. Metode-metode yang dimaksud adalah berikut ini:
Pertama, melalui pencarian seluruh ilmu dan pengambilan bagian
yang paling sempurna dari sejumlah besar yang ada. Secara sepintas,
metode inilayaknya bukan sebagaimetodeuntuk memperoleh ilmutaduni.
Namun bila dikaji lebih mendalam, Al-Ghazali memaksudkan bahwa
sebagian ilmu yang diperoleh manusia adalah ilmu tentang hakikat. Ilmu
tentang hakikat ini merupakan salah satu bentuk dari ilmu laduni. Oleh
karena itu, upaya untuk mendapatkan sebagian ilmu, yakni ilmu yang
dianggapnya sempurna itu, merupakan metode memperoleh ilmu laduni.
Kedua, melalui metode riyadhah dan muraqabah. Riyadhah yang
dimaksud oleh Al-Ghazali adalah latihan kejiwaan, sedangkan muraqabah
adalah upaya manusia untuk mendekatkan din kepada Tuhan. Namun,
lachan nyadhah ini harus dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh.
Begitu juga, muraqabah, harus dilakukan secara benar, yakni dengan cara
yang tidak menyimpang
Ketiga, melalui metode tafakur, tafakur yang dimaksudkan oleh Al-
Ghazali ialah berpikir tentang realitas alam, baik yang tampak dalam diri
manusia, hewan, tumbuhan, alam dan segala mahluk ciptaan-Nya Metode
ini dianggap penting dilakukan oleh manusia yang ingin mendapatkan ilmu
laduni.
Keempat, ialah metode pengilhaman. Metode yang lebih meng
gambarkan proses pemberian ilmu dari Tuhan kepada manusia melalui
ilham. Al-Ghazali memaksudkan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu
laduni melalui metode atau pendekatan kepada Tuhan sehingga Tuhan
menurunkan ilham kepada orang-orang yang telah berupaya untuk
memperolehnya.
Ilmu yang diterima melalui pendekatan wahyu disebut ilmu kenabian,
sedangkan ilmu yang diperoleh dengan metode pengilhaman disebut ilmu
laduni, yaitu ilmu yang diperoleh manusia tanpa perantara yang
menghubungkan antara jiwa manusia dan pencipta, la semata-mata seperti
cahaya dari lampu kegaiban yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih,
kosong, dan lembut (Muhtar Solihin, 2001: 91).
Kelima, metode tazkiyat an-Nafs yaitu proses penyucian jiwa manusia
melalui tahapan takhalli dan tahalli. Takhalli adalah pengosongan atau
pembersihan jiwa manusia dari akhlak atau perilaku tercela. Adapun tahalli
adalah pengisian jiwa dengan akhlak terpujiMetode ini merupakan kunci
dari pemahaman Al-Ghazali tentang metode pertama dan keempat dalam
pandangannya yang telah dijelaskan di atas bahwa ilmu yang sempurna lahir
dari jiwa yang telah mengalami penyempurnaan.
Keenam, ialah metode zikir. Secara etimologi, zikir adalah mengingat
sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan
pujian kepada Allah. Persoalan zikir ini merupakan metode paling utama
untuk memperoleh ilmu Laduni (Muhtar Solihin, 2001.93-94)
Al-Ghazali juga membagi tiga klasifikasi zikir pada kerja spiritual,
yaitu pertama zikir lahir dengan gerakan lidah. Ini dianjurkan dalam bacaan
dari beberapa bentuk ibadah, Kedua, zikir sir (rahasia), yang memiliki
kedudukan paling tinggi di antara ibadah dan sedekah. Ketiga zikir kalbu
qalb), zikir ini muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap alam dan lesbokan
dengan kekasih.

F. Ringkasan

Dalam epistemologi pengetahuan, Al-Ghazali mengalami


perkembangan yang tergambar dari mulai pemikiran filsafat, kalam, hingga
tasawuf. Sehingga pada puncaknya Al-Ghazali menemukan sebuah
pengetahuanbyang bersifat ilham yang menjadi dasar dari ilmu laduni. Ilmu
laduni ialah sebuah ilmu yang secara langsung diberikan oleh Tuhan, tanpa
perantara, kepada manusia pilihannya yaitu orang-orang yang selalu
melakukan riyadhah, muraqabah, tafakur dan zikir, karena metode ini
tergolong dalam ta'allum rabbani.

BAB 9

ILMU MENURUT IBN 'ARABI


A. Biografi Intelektual

bn 'Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H, atau 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol
bagian Tenggara. Ibn 'Arabi lahir di tengah situasi Andalusia yang tak menentu.
Peperangan dan pemberontakan menjadi ancaman yang sewaktu-waktu muncul ke
per mukaan. Penyebab tidak stabilnya kondisi ini adalah ancaman penaklukan
Andalusia oleh sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri sebagai
Reconquista (para penakluk). Di tengah suasana itulah Ibn 'Arabi tumbuh dan
berkembang dewasa.

Ibn 'Arabi beruntung lahir di tengah keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang
pejabat tinggi istana al-Muwahhidun yang terkenal salih dan tepercaya. Ia
menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana berturut-turut pada dua masa
kepemimpinan Abu Ya'qub Yusuf dan rajaal-Mu'min III, Abu Yusuf al-Manshur.
Sedangkan dari pihak Ibu, Ibn 'Arabi mempunyai seorang paman yang juga
penguasa di Tlemcen bernama Yahya ibn Yughan al-Shanhaji (William Chittick
dan Nasr dan Leaman (ed), 2003:617).

B. Pengetahuan Intuitif

Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang bersumber dari hati, penyucian


jiwa, bentuk pengetahuan yang tidak berdasarkan pada empirisitas, akal, pikiran,
tetapi bersumber dari perjalanan spiritual, dan penjernihan hati. Pengetahuan
seperti ini tidak dapat disamakan dengan pengetahuan hushuli yang bersumber dari
konsepsi rasional, tetapi pengetahuan intuisi.

Abu Al-'Ala Afifi (1995:150) merinci karakteristik pengetahuan intuitif,

yang diperoleh dari hasil pemikiran sufi agung Ibn 'Arabi. Menurut Afifi, ciri-ciri
yang paling menonjol dari pengetahuan intuitif atau esoterik adalah sebagai
berikut:

1. Pengetahuan intutif (esoterik) itu bersifat bawaan, bahwa intelek

itu sifatnya perolehan. Pengetahuan ini termasuk dalam kebercahayaan kudus yang
memancarkan wujud dasar dari semua makhluk. Pengetahuan ini memanifestasikan
dirinya sendiri pada diri manusia di bawah kondisi-kondisi tertentu, misalnya
"pasifitas" sempurna dari pikiran. Pengetahuan ini bukan hasil dari praktik atau
disiplin, terletak tidur dalam reses-reses terdalam dari hati manusia.

2. Pengetahuan intuitif berada di luar sebab, dan jika tidak perlu meminta
pertolongan otoritas sebab itu, untuk mengujivaliditasnya. Sebaiknya, apabila
aspekrasional dan intuisi itu bertentangan, maka yang pertama harus selalu
dikorbankan demi yang terakhir.

3. Pengetahuan intuitif memanifestasikan dirinya di dalam bentuk cahaya yang


memenuhi setiap bagian dari hati sufi ketika ia mencapai derajat penyucian
spiritual tertentu. Disiplin diperlukan hanya apabila bisa membantu menghilangkan
tabir-tabir yang bertalian dengan jiwa hewan, dan yang menghambat hati dalam
merefleksikan pengetahuan abadi dan kesempurnaan kesempurnaan.

4. Pengetahuan intuitif mematerialkan dirinya sendiri hanya di dalam diri manusia


tertentu. Tidak semua orang memperoleh anugerah itu. Menurut Ibn 'Arabi, hal itu
sudah ditentukan oleh-Nya. 5. Berbeda dengan pengetahuan spekulatif yang pada
umumnya menghasilkan kemungkinan, maka pengetahuan intuitif menghasilkan
pengetahuan tertentu. Pengetahuan spekulatif terhadap objeknya mempunyai
bayangan dari yang nyata,

BAB 10

ILMU MENURUT THABATHABA'I

A. Biografi Intelektual

Mohammad Hossein dari keluarga yang religius dan taat di kota Tabriz, Barat Laut
Iran pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun 1321 Hijriah bertepatan dengan tahun
1904 Masehi. Keluarga Allamah Thabathaba'i dikenal sebagai keluarga terpandang
dari keturunan Nabi Saw. Beliau adalah keturunan Sirajuddin Abdul Wahhab yang
dikenal karena perannya yang berhasil menghentikan peperangan besar antara Iran
dan pemerintahan Ottoman pada tahun 920 Hijriah.

Thabathaba'i dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia telah
menempuh proses belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru
besarnya seperti Mirza 'Ali Qadi (dalam bidang Gnosis), Mirza Muhammad Husain
Na'ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fikh dan syari'ah),
Sayyed Abu'l Qasim Khawansari (ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar
standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, Asfar milik Sadr al-Din Shirazi,
dan kitab Tamhid al-Qawa'id milik Ib.

B. Ilmu Menurut Thabathaba'i

Para filosof sepanjang sejarah telah mencurahkan pemikirannya terhadap


pembahasan tentang teori pengetahuan. Teori tentang pengetahuan ini menjadi titik
sentral dalam filsafat dan telah menjadi pusat diskursus para filosof sejak pra-
Socrates hingga sekarang. Epistemologi secara sistematis belum lama
diperkenalkan. Namun, pembahasan tentang nilai pengetahuan yang merupakan
pembahasan inti epistemologi sudah sejak lama dibahas oleh para filosof. Pada
dasarnya setiap manusia mendapatkan pengetahuan dari sesuatu yang di luar
dirinya dalam setiap tindakan. Namun, pengetahuan ini tentang konsepsi badihi
(sederhana). Epistemologi sendiri memiliki definisi sebagai" Ilmu yang membahas
tentang jenis-jenis pengetahuan manusia dan menentukan penilaian atau tolok ukur
benar dan salah dalam pengetahuan."

Diskursus ini terjadi berkenaan dengan istilah ataupun persoalan cara mendapatkan
pengetahuan. Plato misalnya meyakini bahwa pusat pengetahuan adalah
intelektual, karena pengetahuan intelektual bersifat permanen. Hal ini sesuai
dengan keyakinan Plato bahwa alam ini ada dua, pertama (dunia menjadi) yaitu
alam kehidupan sehari-hari yang selalu mengalami perubahan, kedua (dunia ide
atau alam ide) yaitu dunia ideal yang tetap dan abadi.

teori pengetahuan ini terus berlanjut di kalangan filosof hingga kini. Diskursus ini
terutama sekali berkaitan dengan persoalan, apakah intuisi, rasa dan penyaksian
rohaniah bisa dijadikan sumber pengetahuan atau pengetahuan itu hanya
didasarkan pada konsepsi rasional dan indrawi. Ketika dunia Barat meyakini
bahwa pengetahuan hanya didapatkan oleh indrawi dan bersifat empiris bagi filosof
empirisme dan begitupun sebaliknya dengan filosof rasionalisme meyakini bahwa
pengetahuan hanya hasil dari proses intelektual dan menolak teori selain keduanya.

1. Jenis Akal

Setiap filosof memiliki coraknya tersendiri dalam konsep epistemologinya,


begitupun dengan filosof Muslim, mereka mempunyai bangunan epistemologinya
sendiri. Meskipun tidak menafikan akan pengaruh para filosof sebelumnya.
Konsep-konsep epistemologi yang muncul dari filosof sering kali menjadi main-
stream bagi peradaban umat manusia dan membawa implikasi yang mendasar bagi
kehidupan manusia sepanjang sejarah terutama dunia Islam.

Pengaruh filosof-filosof Muslim ini juga sampai pada Muhammad Husein


Thabathaba'i. Pemikiran Thabathaba'i sangat terpengaruh oleh Ibn Sina, Mulla
Sadra dan banyak lagi pemikir Muslim lainnya. Di antara pengaruhnya terhadap
Thabathaba'i adalah pandangan epistemologinya. Thabathaba'i mengawali
pembicaraan epistemologinya dengan terlebih dahulu membahas jenis dan
tingkatan akal manusia sebagai objek yang melakukan persepsi. Akal terbagi dalam
tiga jenis:

1) Akal potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal yang tidak memiliki potensi
untuk mengaktualkan objek-objek akal dan tidak ada baginya sesuatu dari objek-
objek akal untuk aktual karena kekosongan jiwa dari keumuman objek-objek akal.

2) Akal perincian (Al-Aql at-Tafsiili), jenis akal ini mengaktualkan objek-objek


akal (Ma'qulat) yang plural hasil dari konsepsi.

Membedakan objek-objek akal dari bagian-bagian objek akal

lainnya serta merinci tingkatannya. 3) Akal keseluruhan (al-Aql ijmaali),


mengonsepsi objek-objek akal pada tingkat intelektual yang aktual tanpa
memisahkan objek objek akal dari objek akal yang lainnya (Thabathaba'i, 1382:
182).

2. Tingkatan Akal

Selanjutnya Thabathaba'i menjelaskan tingkatan akal/intelektual yang nantinya


akan membedakan hasil persepsi dan pencerapannya. Tingkatan intelektual ini juga
yang akan membedakan jenis ilmu yang didapatkan. Allamah Thabathaba'i
menjelaskan tingkatan intelektual ini sama dengan penjelasan filosof peripatetik.
Yakni akal terbagi dalam empat tingkatan:

1. Akal hayulani (material), disebut akal material karena merupakan kesiapan atau
akal potensial yang kosong dari objek-objek akal

(ma'qulat).

2. Akal bi al-Malakat (akal yang menyatu), yaitu tingkat akal manusia yang
memiliki kemampuan memersepsi hal-hal yang sederhana

dan jelas dari konsepsi dan konfirmasi.

3. Akal bi al-fa'al (akal aktif), akal ini baru sampai pada tingkatan

mengabstraksikan persoalan yang didapat dari hal-hal yang badihi

(sederhana).

4. Akal al-Mustafad (akal perolehan), tingkatan akal ini telah mampu


memersepsi keseluruhan ma'qulat yang sampai kepadanya dari perkara-
perkara yang badihi atau rasional, baik dengan alam yang tinggi maupun
alam rendah. Tingkatan intelek ini mampu menghasilkan pengetahuan
universal, ilmu yang terlepas dari materi (Thabathaba'i, 1382: 184).

5. Jenis Ilmu

a. Ilmu Hudhuri

Muhammad Husein Thabathaba'i selanjutnya membagi ilmu menjadi dua bagian;


ilmu Hudhuridan ilmu Hushuli. Ilmu hudhuri ialah ilmu yang hadir langsung dalam
diri subjek tanpa perantara.

Ilmu hudhuri adalah substansi, karena pengetahuannya hadir dalam dirinya oleh
dirinya sendiri. Allamah Thabathaba'i (1382: 176) mendeskripsikan ilmu Hudhuri
sebagai berikut:

Sebagian ilmu: satu ilmu dari kita hadir dengan esensinya yang diisyaratkan
dengan ungkapan (Aku), maka sesungguhnya (Aku) tidak pernah hilang dari diri
kita dalam kondisi apa pun, baik dalam kesendirian maupun dalam kesibukan, tidur
ataupun terjaga atau keadaan lainnya. Maka kita memiliki ilmu terhadap esensi kita
dan hadir pada diri kita dengan eksistensi eksternal yang merupakan dasar identitas
yang memiliki efek."
Dari penjelasan Allamah Thabathaba'i di atas, dapat dipahami bahwa imu hudhuri
adalah ilmu yang langsung hadir pada diri subjek tanpa perantara, misalnya adalah
pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, pengetahuan seperti ini tidak
mungkin diingkari, bahkan kaum Sophis pun bahwa ukuran segala sesuatu adalah
manusia. Setiap manusia paham tentang dirinya sendiri tanpa ada yang
menjembataninya. Tentang diri sendiri lebih diketahui karena ia lebih dekat dengan
manusia. Tidak akan ada orang yang mengingkari pengetahuan dirinya tentang
keberadaan dirinya sendiri. Perumpamaan ilmu hudhuri ialah dengan memandang
sesuatu itu sendiri.

Pengetahuan manusia mengenai fenomena-fenomena psikis, perasaan-perasaan dan


instink yang dimiliki manusia juga merupakan ilmu hudhuri, karena ia hadir tanpa
perantara. Ketika seseorang merasakan takut, perasaan ini diketahui secara
langsung dan tanpa perantara bentuk atau konsepsi mental. Atau ketika seorang
laki-laki mencintai seorang perempuan, maka ketertarikan ini didapatkan di dalam
diri seorang laki laki secara hudhuri. Atau ketika seseorang mengambil keputusan
atas sebuah tindakan, seseorang tersebut mengetahui keputusannya tanpa perantara
(Mohsen Gharawiyan, 2012: 57). Perasaan takut, cinta dan keputusan tidak akan
pernah bermakna jika seseorang itu sendiri tidak mengetahuinya.

b. Ilmu Hushuli

Selanjutnya Ilmu hushuli adalah ilmu atau pengetahuan yang didapat berdasarkan
proses korespondensi yang terjadi antara subjek dengan objek eksternal atau hasil
dari proses pencerapan subjek terhadap objek eksternal dan yang masuk ke dalam
mental subjek adalah esensi objek tersebut. Mengenai Ilmu hushuli, Muhammad
Husein Thabathaba'i Mengatakan:

Kami katakan: sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan eksistensi mental:


bahwa sesungguhnya kita memiliki ilmu terhadap persoalan eksternal yang berada
di luar diri kita, bermakna tersampaikan dan terhadirkan pada diri kita dalam
bentuk aksidennya dan bukan eksistensi eksternalnya yang memiliki efek".

Dari ungkapan Thabathaba'i ini dapat diketahui bahwa ilmu atau pengetahuan yang
didapatkan oleh subjek, pada dasarnya adalah proses pencerapan si subjek terhadap
objek yang ada di luar, dengan pemaknaan bahwaobjektersebut hadir dan
tergambarkan pada diri subjek dalam bentuk aksidennya. Mengenai hal ini sangat
jelas dalam pembahasan wujud mental (wujud dzihni). Yang tercerap oleh subjek
hanya aksiden yang tidak memberikan efek. Misalnya, eksistensi api yang ada di
luar objek dapat memberikan efek ketika dipegang akan panas, beda halnya dengan
api dalam wujud mental yang tidak memberikan efek panas.

Ilmu hushuli juga dikatakan ilmu yang berdasarkan perantara, terkadang realitas
wujud eksternal tidak diketahui secara langsung tapi langsung tergambarkan
melalui perantara yang secara istilah disebut dengan konsepsi wujud mental
(dzihni). Maksudnya, ada perantara atau yang menjembatani antara pengetahuan
manusia sebagai subjek dengan objek eksternal.

BAB 11

EPISTEMOLOGI ANARKIS PAUL FEYERABEND

A. Biografi Intelektual Paul Feyerabend, lahir di Vienna Austria tahun 1924,


meninggal tahun 1994. Belajar sains di Universitas Vienna. Murid Karl Popper,
pernah mau belajar ke Wittgenstein, tahun 1951, mendapatkan beasiswa dari
British Council, namun filosof itu keburu meninggal. Tahun 1947 belajar sejarah
dan sosiologi di Universitas Vienna, namun tak lama, kemudian dia belajar fisika.

Tahun 1948, Feyerabend menikah dengan Edeltrud. Pertama kalinya juga


mengikuti seminar Alpbach yang diselenggarakan Austrian College Society.

Tahun 1949, Feyerabend menjadi pimpinan dari Kraft Circle, sebuah kelompok
studi yang fokus pada kajian pemikiran Viktor Kraft, supervisor Feyerabend dalam
menulis disertasi di Vienna Circle. Ludwig Wittgenstein kerap hadir ke Kraft
Circle untuk memberikan ceramah filsafat.

B. Epistemologi Anarkis

Metode dari epistemologi anarkis yang dikembangkan oleh Feyerabend dikenal


dengan istilah anti-metode (against method). Metode ini merupakan kritik dari
konsep falsifikasi yang dikembangkan Karl Popper, meski Feyerabend pada
awalnya mengembangkan konsep falsifikasi tersebut.

Antimetode itu sendiri ditulis dalam sebuah artikel panjang pada tahun 1970.
Berisikan sejumlah kritik terhadap berbagai metodologi sains terkemuka, salah
satunya dikembangkan oleh Imre Lakatos. Tahun itu pula, terjadi korespondensi
intelektual antara Feyerabend dengan Lakatos. Feyerabend menyerang konsep
kaum rasionalis yang meyakini bahwa sains terumuskan dengan baik dengan
seperangkat aturan dari metode ilmiah. Sayangnya, pada tahun 1974, Lakatos
meninggal dan belum sempat mendiskusikan kritik mendalam Feyerabend yang
menyatakan bahwa kaum rasionalis belum pernah komplit dalam menyusun
pekerjaan karya ilmiahnya. Dalam artikelnya yang berjudul "An Attempt at a
Realistic Interpre tation of Experience" (1958), dia mengkritik positivisme, di
mana menurutnya, tidak ada ukuran yang realistis antara teori dengan pengalaman.
Akibatnya, menurut Feyerabend, sebuah penelitian hanya menjadikan terjadinya
pengulangan tesis. Jika pun ada perubahan besar dalam sebuah teori, tidak akan
memiliki makna mendalam bagi bahasa ilmiah.
Feyerabend menganggap bahwa kebenaran bukan monopoli ilmu pengetahuan
karena monopoli berdampak kepada ideologi tertutup. Menurut Feyerabend,
ilmuwan tidak bisa mengabaikan faktor lain di luar ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, fenomena manusia kawat yang terjadi di Indonesia di mana di


dalam perut seorang wanita tumbuh banyak kawat yang secara ilmu pengetahuan
tidak dapat dijelaskan bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Walaupun saat ini
terdapat ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut seperti
metafisika, namun pembuktian secara ilmiah masih diperdebatkan hingga saat ini.

Antimetode Feyerabend dapat dijelaskan dengan empat hal yaitu prinsip apa saja
boleh, tidak ada standar yang sama, kontra induksi, ketergantungan observasi pada
teori.

a. Prinsip Apa Saja Boleh

Feyerabend mengatakan 'anything goes' yang berarti hipotesis apa pun boleh
dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda
dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. ilmu pengetahuan bisa maju tidak
hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, tetapi juga secara
kontrainduktif (Paul Feyerabend, 1978: 22).

Menurutnya, sains dan mitos tidak dapat dibedakan dengan satu batas prinsip
tertentu. Mitos adalah sains dengan tradisi tertentu dan sebaliknya sains hanyalah
sesuatu tradisi mitos. Asumsi bahwa ada batasan antara sains dan mitos akan
menimbulkan batasan-batasan yang menghalangi pemikiran kreatif dan kritis.

b. Tidak Ada Standar Sama

Feyerabend menolak rasionalitas yang universal dan historis. Kebenaran yang tak
terikat ruang dan waktu, penilai sebuah teori. Faktanya satu teori belum tentu
menjawab masalah yang sama. Tidak ada standar yang sama untuk mengukur suatu
ilmu pengetahuan. Dua teori berkembang tidak bisa saling ukur satu sama lain.
Pendapat ini diakui secara umum oleh para ilmuwan (Akhyar Y Lubis, 2003: 115).

Dalam praktik riset, teori yang bertentangan kadang dipergunakan dan menjadi
alternatif. Dengan demikian, seorang peneliti akan memiliki cara pandang berbeda
dalam memahami suatu objek.

Penolakan atas universalitas dan tak adanya standar yang sama dalam ilmu
pengetahuan menjadikan semua metode menjadi mungkin. Satu teori bisa
menjelaskan permasalahan, namun pada konteks dan waktu berbeda belum tentu.

Bayangkan saja, teori dirumuskan dari hasil riset di suatu tempat dengan kultur,
lingkungan, situasi yang khas dan pada waktu yang berbeda. Pada konteks tertentu,
boleh jadi bisa sama ketika dimanfaatkan untuk menelaah satu persoalan, namun
mesti diingat, bisa jadi hasilnya berbeda. Setiap tempat, situasi, budaya dan
lingkungan menjadi unik dalam sebuah penelitian. Dengan demikian, suatu teori
tidak bisa dijadikan alat ukur bagi teori lain. Seorang peneliti harus menyadari
keterbatasan tersebut. Dialog antarteori dan keterbukaan untuk menerima
kekurangan suatu teori akan sangat membantu untuk mengembangkan teori
semakin kokoh kebenarannya.

c. Kontra Induksi

Penjelasan utuh tentang induksi sudah dijelaskan di bab empat buku ini. Mesti
diingat bahwa dalam pradigma positivisme, induksi merupakan satu satunya
metode yang dianggap valid. Kaum induktivisme naif berpendapat bahwa batang
tubuh ilmu pengetahuan ilmiah dibangun oleh prinsip induksi yang dasarnya cukup
kuat. Ketika ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai
dengan teori, maka induksi berupaya mencari fakta yang mendukung dan
menghindari fakta yang tidak sesuai dengan teori. Baik verifikasi maupun
falsifikasi, sama-sama tidak menghendaki fakta yang tidak konsisten dengan teori.

Dalam hal ini Feyerabend mengkritiknya dan mengajukan satu prinsip yang disebut
sebagai "counter inductive" atau kontra induksi. Feyerabend mengajukan kontra
induksi untuk mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi dan falsifikasi di
atas. Prosedur kontra induksi ini menurutnya, bukan berarti satu cara untuk
mengganti induksi (Akhyar Y. Lubis, 2003: 104).

Melalui kontra induksi, Feyerabend mengajukan "counterrule", yaitu mengajukan


hipotesis yang tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang
bahkan tidak sesuai/tidak terukur. Jadi, kontra induksi yang dikemukakan
Feyerabend, sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani permasalahan
"teori" dan "fakta".

Ada tiga langkah dalam kontra induksi yaitu: pertama, melakukan kritik terhadap
"fakta" untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah mapan. Kedua,
mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal. Ketiga,
memperkenalkan persepsi yang tidak merupakan bagian dari dunia persepsi yang
ada.

d. Ketergantungan Observasi pada Teori

Feyerabend menolak observasi yang objektif. Menurutnya, seorang peneliti ketika


melakukan observasi dipengaruhi juga oleh pengalaman masa lalunya,
pengetahuan dan harapan-harapan. Bahkan observasi dipengaruhi sarat teori
(theory-laden) (Akhyar Y Lubis, 2003: 109).

Suatu pengamatan memang tak bisa dilepaskan dari praduga, hipotesis. Praduga
ditentukan oleh pengetahuan atau teori yang dimiliki. Observasi murni menjadi
omong kosong, karena hanya mungkin bila tanpa pengetahuan, harapan atau ikatan
ideologis.

Melihat banyak penelitian di lingkungan kerja sendiri misalnya, teknik


dokumentasi yang akan membantu menjaga objektivitas, karena bila sekadar
menggunakan teknik observasi dan wawancara, peneliti sulit melepaskan diri dari
subjektivitasnya.

BAB 12

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN THOMAS KUHN

A. Biografi Intelektual

Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) adalah salah satu filosof yang sangat
berpengaruh di abad dua puluh. Bukunya yang berjudul The Structure of Sci entific
Revolutions adalah salah satu buku yang banyak dikaji di berbagai universitas.
Memulai karirnya sebagai fisikawan, mengkaji filsafat ilmu karena ketertarikannya
yang kuat terhadap sejarah fisika. Menyelesaikan sarjananya, lulus dengan summa
cum laude dari Harvard University tahun 1943, masternya tahun 1946 dan
doktoralnya pada tahun 1949 masih di Harvard, dengan bidang kajian yang sama,
fisika, khususnya aplikasi mekanika quantum. Sempat fokus pada kajian astronomi
dan memublikasikan karyanya berjudul "The Coperni can Revolution".

Pada tahun 1961, Kuhn menjadi profesor di University of California di Berkeley.


Di sanalah Kuhn mulai mempelajari sejarah ilmu pengetahuan. Bersama Stanley
Cavell, yang juga salah satu profesor di universitas tersebut, Kuhn diperkenalkan
kepada berbagai karya Wittgenstein dan Paul Feyerabend. Bersama Paul
Feyerabend-lah,

Kuhn kemudian menjadi profesor filsafat dan sejarah sains di Princeton University
pada tahun 1964. Dalam sebuah kolokium internasional yang diselenggarakan di
Bedford College, London, Kuhn dipertemukan dan berdebat langsung dengan
Feyerabend. Tahun 1970, terbit karya dengan judul Criticism and the Growth of
Knowledge yang dieditori oleh Lakatos dan Alan Musgrave, merupakan hasil dari
perdebatan yang tidak hanya melibatkan Kuhn dan Feyerabend, tapi juga John
Watkins, Margater Masterman, dan Stephen Toulmin. Pada tahun 1970 pula, edisi
kedua dari buku The Structure of Scientific Revolutions terbit. Pada 1977, terbit
buku lain yang berjudul The Essential Tension, dan dia pun menulis karya lain
yang berjudul Black-Body Theory and the Quantum Discontuinity
(plato.stanford.edu/thomas-kuhn).

B. Paradigma Ilmu Pengetahuan 1. Pergeseran Paradigma


Filsafat berkembang karena adanya jawab-jawaban kefilsafatan. Seperti kasus
Plato dan Aristoteles, guru-murid yang berbeda pandangan, ibarat bumi dengan
langit, demikianlah filsafat berkembang. Selain tesis, selalu ada antitesis dan
sintesis. Menunjukkan bahwa dialektika sebagai sesuatu yang alamiah ada.

Demikian pula dengan konsep revolusi ilmu pengetahuan yang dikembangkan


Kuhn, buah dari dialektika pemikiran Paul Feyerabend yang merupakan murid Karl
Popper. Jika pun kemudian Feyerabend *memperkenalkan anarkisme
epistemologisnya, namun pengaruh Popper sangat terlihat.

Bagi Kuhn, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat
memahami kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Kuhn
berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner,
bukan kumulatif sebagaimana anggapan di kalangan ilmuwan pada umumnya.
Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret
(Thomas S Kuhn, 192: 22).

2. Model Paradigma

Pada perkembangan pemikirannya, Kuhn kemudian menajamkan dua model


paradigma, yaitu: dalam makna luas dan dalam makna sempit. Dalam makna luas
adalah paradigma yang prosedur metodologinya dapat digunakan untuk banyak
ilmu. Sedangkan paradigma dalam makna adalah pengembangan matrikal dalam
suatu disiplin ilmu. Sempit Setidaknya ada empat kemungkinan untuk
memfungsikan paradigma menggantikan kerangka teori sebagai dasar penelitian.
Pertama, dengan paradigma kita dapat menemukan daerah ambigu. Dengan cara
pandang dasar, kita akan menyadari mana yang tidak sama dengan pandangan
umum, mana yang sesuai.

Fungsi kedua paradigma adalah membantu pengembangan interpretasi

(Noeng Muhajir, 1998: 188). Dalam kerangka paradigma, interpretasi itu

mungkin, selama masih ada dalam cara pandang yang dikembangkan. Fungsi
ketiga suatu paradigma adalah membantu mengembangkan teori baru tanpa harus
mengubah paradigma. Misalnya pada mekanika, kemudian menghasilkan teori
yang berbeda: teori mekanika Newtonian dengan teori mekanika quantum modern.

Fungsi keempat suatu paradigma dapat melahirkan pendekatan inter dan


multidisipliner. Kesadaran keterbatasan teori yang dimiliki suatu pendekatan
keilmuan ditutupi oleh pendekatan keilmuan lain.

Dalam proses perkembangan revolusi paradigma, dibedakan empat hal berikut:


temuan kasuistik, temuan spesifik, temuan umum dan paradigma. Pada era
preparadigm (yaitu era pra-Kuhn), para ahli masih mencampuradukkan antara
paradigma dan teori (Noeng Muhajir, 1998: 195).

3. Teori Ketaksebandingan
Kuhn membedakan tiga jenis ketaksebandingan, pertama,pada metodologi, di mana
tidak ada ukuran umum bagi sebuah metode, karena adanya perbandingan,
perubahan dan evaluasi. Saat ini, metode ilmu-ilmu sosial pada level analisis
datanya akan berbeda. Metode besarnya tetap sama, bisa berupa pendekatan
kuantitatif, kualitatif atau campuran keduanya (evaluasi). Namun pada level
operasional analisis, akan kembali ke pendekatan keilmuan masing-masing.

Kedua bukti dari persepsi atau pengamatan-pengamatan tidak dapat memberikan


dasar umum untuk perbandingan teori. Persepsi juga sangat ditentukan oleh
kepentingan seorang ilmuwan. Dengan penjelasan Kuhn tentang adanya
ketaksebandingan persepsi, kita dapat mafhum, mengapa dengan data mentah yang
sama, kesimpulan yang dihasilkan seorang peneliti itu bisa berbeda, karena adanya
kepentingan yang mendasari dan menjadikan perbedaan itu terjadi.

Ketiga, ketidaksebandingan semantik. Penggunaan bahasa untuk menjelaskan teori


dari periode yang berbeda dalam sejarah ilmu pengetahuan, kadang berbeda
pemahamannya. Sebuah istilah bisa berbeda dipahami ketika zaman sudah
berubah. Di era David Hume, ateis adalah istilah perlawanan. Kini di era di mana
agama kembali menguat perannya, istilah ateis adalah istilah yang bermakna
negatif.

a. Ketaksebandingan Metodologi

Sangat tidak mungkin membandingkan dan mengevaluasi ilmu pengetahuan


dengan paradigm berbeda. Ketaksebandingan metodologi lainnya terjadi karena
pendukung paradigma dengan paradigma yang ditawarkan. Mungkin karena faktor
matriks disiplin di mana ilmuwan bekerja.

Sebuah teori dipilih karena akurasi, konsistensi (baik internal maupun dengan
teori-teori yang berlaku dan relevan), lingkup (konsekuensinya harus melampaui
data yang diperlukan untuk menjelaskan), kesederhanaan dan untuk penelitian
lebih lanjut

b. Ketaksebandingan Persepsi dengan Observasi

Fokus perhatian penting dari Kuhn dalam bukunya yang berjudul "The Struc ture
of Scientific Revolutions" adalah pada sifat persepsi, mengingat pengamatan
ilmuwan dapat berubah, hasil dari revolusi ilmiah.

Teori ketergantungan observasi, menolak pendapat bahwa teori itu netral, arbiter di
antara teori-teori. Dengan demikian, tidak ada metode universal untuk membuat
kesimpulan dari data. Bahkan bila pun ada metode inferensi dan interpretasi yang
disepakati, masih mungkin muncul perbedaan kesimpulan di antara para ilmuwan.
Situasi ini pun akan dialami di antara ilmuwan yang matriks disiplin ilmunya
berbeda.

c. Ketaksebandingan Semantik
Selain teori ketergantungan observasi memainkan peran penting dalam "The
Structure of Scientific Revolutions", dan teori ketaksebandingan metodologis dapat
menjelaskan semua fenomena, Kuhn juga menemukan fakta terjadinya
ketaksebandingan semantik. Perbedaan makna sebuah istilah kerap menjadikan
kesimpulan berbeda. Hal yang terkesan sepele, namun sangat vital dalam dunia
keilmuan. Istilah tertentu yang dipergunakan dalam bidang ilmu tertentu, bisa
berbeda pemahamannya jika dipahami oleh ilmuwan dengan latar belakang
keilmuan yang berbeda. Kuhn ini menguatkan tesis ini, bahwa anomali mungkin
terjadi karena faktor ketaksebandingan semantik.

Pengamatan, dipahami umum sebagai bentuk persepsi-memainkan bagian penting


dalam setiap ilmu. Kuhn ingin menjelaskan pengalamannya sendiri membaca
Aristoteles, yang pertama meninggalkan kesan bahwa Aristoteles adalah seorang
ilmuwan miskin dan misterius. Tapi kemudian dengan cermat dia mengulanginya,
kemudian terjadi perubahan pemahaman. Dia melihat Aristoteles seorang ilmuwan
yang sangat baik. Menurut Kuhn, apa yang dialaminya sebagai fakta adanya
kendala linguistik, ketaksebandingan semantik. Memang, Kuhn menghabiskan
sebagian besar kariernya setelah menulis buku "The Structure of Scientific
Revolutions" dengan mencoba mengartikulasikan konsepsi semantik agar dapat
dibandingkan.

Menurutnya ada pergeseran penting dalam makna istilah kunci sebagai


konsekuensi dari revolusi ilmiah. Misalnya referen fisik konsep-konsep Einstein
tidak berarti identik dengan konsep Newtonian yang menggunakan nama sama.
Istilah massa menurut Newtonian adalah kekal. Sementara bagi Einstein massa
adalah konversi dengan energi.

Lebih lanjut Kuhn mengingatkan bahwa teori itu berubah dari waktu ke waktu.
Terkait dengan problem semantik, Kuhn menegaskan bahwa terjemahan kerap
bermasalah, tidak memungkinkan sebuah pemaknaan yang sebanding. Kuhn
mengukuhkan pendapat bahwa ada ketidakpastian penerjemahan. Jika kita
menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain, tak satu pun dari terjemahan istilah
unik yang benar. Kuhn berpikir bahwa ketaksebandingan semantik menjadikan
tidak ada terjemahan yang sepenuhnya memadai. Kuhn tidak percaya bahwa
ekspresi ketika diterjemahkan memiliki arti sama.

Anda mungkin juga menyukai