1. Erimuniza (210106126)
2. Siska Ayu Safitri (210106127)
3. Linda Fitriani (210106129)
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT, atas segala berkat, rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya sehingga kami bisa
menyelesaikan laporan hasil resume buku dengan judul filsafat ilmu.
Tak lupa sholawat dan salam atas junjungan Nabi besar yakni Nabi
Muhammad SAW, berkat beliau kita dapat terhidar dari zaman
kebodohan atau jahiliyah.
Kami menyadari, bahwa laporan hasil resume buku yang kami buat
masih belum baik dan jauh dari kata sempurna baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisan nya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi
di masa mendatang.
Semoga laporan hasil resume buku ini bisa menambah wawasan para
pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembanan dan pengetahuan.
Penulis
Judul Buku : Filsafat Ilmu
BAB 1
ilsafat dan ilmu pengetahuan adalah dua produk dan nalar peradaban manusia yang
saling berkaitan erat. Manusia menjalankan amanah sebagai khalifah dan abdi
Allah, selain oleh agama, la dituntun oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Keduanya, baik filsafat maupun ilmu berhubungan sebagai ibu dengan anak.
Filsafat adalah mother of science (ibu dari ilmu pengetahuan), demikianlah para
ahli ilmu pe ngetahuan menggambarkannya. Hal ini bisa dipahami, karena melalui
positivisme yang dikembangkan di abad ke-19, oleh Auguste Comte, ilmu
pengetahuan dilahirkan dan dibesarkan Ilmu pengetahuan modern pun
mendapatkan fondasi filsafat yang kokoh dan menjadi paradigma. Comte adalah
seorang ilmuwan dari Prancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal
sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Sementara, anak dari ilmu pengetahuan adalah teknologi. Dengan paradigma
positivisme, ilmupengetahuan mempercepat dewasanya teknologi.
1. Holistik-Komprehensif
2. Radikal
3. Spekulatif
5. Universal
6. Rasional-Logis
Anak saya, Haifa, yang usianya baru 5 tahun, kerap bertanya: "Apa ini?" Untuk
setiap hal yang baru dia lihat. Tentu saja, diusianya Haifa sudah mengetahui
banyak hal, binatang, nama keluarganya, benda benda. Dalam banyak kesempatan,
ketika ada benda yang mirip, Haifa mampu berpikir asosiatif, menghubungkan apa
yang telah diketahuinya dengan apa yang baru dilihat, dengar atau pegangnya
untuk kemudian diputuskan apanya. Haifa mampu menyimpulkan sendiri benda
tersebut. Misalnya, ketika kami dijalan melihat motor yang sama warnanya dengan
motor kami. Begitulah awalnya sebagian pengetahuan itu diperoleh.
Di usianya yang sudah 5 tahun lebih, kemampuan logika matematiknya juga sudah
berkembang. Perhitungan tambahan dan pengurangan hingga angka 20 sudah mulai
dikuasainya.
Kenneth 1. Gallagher (2001: 23) menyebut pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak
dapat didefinisikan. Pengetahuan adalah sui generis (berhubungan dengan yang
paling sederhana dan sangat mendasari Mengetahui merupakan peristiwa paling
dasar dan tidak dapat direduksikan. tidak dapat dijelaskan dengan istilah apa pun
Meski demikian, mencoba membuat pengertian tentang pengetahuanitu diperlukan
agar dapat dipahami secara utuh seperti apa "binatang"
D. Ilmu Pengetahuan
simu pengetahuan dalam bahasa Inggris disebut science bahasa Latin scientia
sementara dalam bahasa Yunani adalah episteme Berbeda halnya dengan
pengetahuan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan ide yang mengacu kepada
objek yang sama dan saling berkaitan secara logis Koherensi sistematik adalah
hakikat ilmu.
Ada cukup banyak definisi filsafat ilmu menurut para ahli, antara lain:
4 Menurut Suparlan Suhartono (2005 22-23), filsafat ilmu dapat dipahami melalui
empat pertanyaan filosofis yaitu: pertama, apakah ilmu pengetahuan itu?
Pertanyaan ini membutuhkan jawaban tentang hakikat (isi dari hakiki), yaitu
berupa pengetahuan substansial mengenai ilmu pengetahuan. Kedua, mengapa ilmu
pengetahuan itu ada? Jawabannya tentang sebab musabab keberadaan ilmu
pengetahuan. Ketiga, bagaimana ilmu pengetahuan itu berada? Yang membutuhkan
jawaban mengenai metode untuk mendapatkan objek, yaitu metode ilmiah.
Keempat, ke mana atau untuk apa ilmu pengetahuan itu? Dijawab dengan manfaat
dari sebuah ilmu bagi kehidupan manusia,
5.Rizal Mustansir dan Misnal Munir (2001: 49-50) menyatakan bahwa filsafat ilmu
itu cakupan bahasannya meliputi: 1) komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu,
(2) sifat dasar ilmu pengetahuan, (3) metode ilmiah, (4) praanggapan-praanggapan
ilmiah, (5) sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Pertama, filsafat ilmu sebagai perumusan konsisten dengan, dan pada beberapa
pengerti Reori ilmiah yang penting.
Ilmu pengetahuan adalah objek kajian dari filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang menguji
kesahihan ilmu pengetahuan dan berbagai perangkat yang membangun ilmu
pengetahuan itu sendiri, seperti metode, objek telaah dan nilai dari ilmu
pengetahuan.
(2004. 18-19), persamaan dan perbedaan filsafat dan ilmu sebagai berikut:
BAB 2
A. Pendekatan Historis-Tematis
alam mempelajari filsafat ilmu, ada dua pende katan yang umumnya dipergunakan.
Pertama dengan menggunakan pendekatan historis, kedua menggunakan
pendekatan tematis. Dengan pendekatan historis, dapat dipahami bagaimana
tumbuh kembangnya filsafat ilmu dan aliran-aliran sepanjang sejarah ilmu
pengetahuan berkembang.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu sifatnya bertahap. Setiap tahap menyiapkan
fondasi kokoh bagi perkembangan berikutnya. Suatu fakta historis yang unik dan
menunjukkan runtutan sejarah yang tak terpisahkan satu sama lain sumbangsihnya.
Itulah rangkaian peradaban manusia yang harus dihormati dan diakui dengan jujur.
B. Fase Perkembangan
1. Fase Mitologis
2. Fase Logos
a. Sejarah Gereja
7. Era Kontemporer
BAB 3
A. Pengantar
Mal sebagai alatnya manusia melakukan sia adalah makhluk yang berpik Dengan
perialaran dalam setiap upayanya untuk menghalal mengingat memahami dan
memutuskan segala sesuatu Akal adalah salah satu anugerah Tuhan yang baik
menjadikan manusia sebagai pemegang tanggung jawab sebagai khalifah dan abdi
Allah di muka bumi ini.
B. Nalar Universal
Konsep mengenai nalar jadi bagian penting dalam pemikiran filsafat sejak era
Yunani hingga saat ini. Apabila ditelisik lebih jauh, dari sudut pandang instrumen
nalar, setidaknya ada dua pandangan mengenai nalar. Pertama, melihat nalar
sebagai instrumen berpikir dan pijakan memperoleh pengetahuan (epistemologis).
Di sini terlihat bahwa nalar sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Sebagai
instrumen, nalar jadi bagian dari kesadaran manusia. Maka, hasil pemikiran
diyakini bersifat objektif. Selain itu, nalar juga dipandang sebagai instrumen dan
sumber pengetahuan yang rasional dan universal. Karena sifatnya yang universal,
maka ada ukuran kebenaran yang universal sehingga dapat dipergunakan di mana
pun di kawasan bumi ini.
Proses kritik atas klaim rasionalisme Barat terus berkembang dan memasuki
perdebatan soal genealogi (asal mula pembentukan) nalar. Pendekatannya selain
dari sisi psikologis nalar, juga ditinjau secara antropologis dan ideologis suatu
nalar. Mncullah pandangan yang menyatakan bahwa isi pemikiran tidak universal
dan mengandung nilai nilai lokal.
Tokohnya antara lain adalah Andre Lalande, Levi Strauss, Michel Foucoult, Luis
Altusherr dan yang lainnya. Menurut Andre Lalande, nalar terbagi jadi dua, yaitu:
raison constitute dan raison contitue. Raison consti tute adalah nalar sebagai
instrumen berpikir yang bersifat universal, sehingga menekankan pada proses
koheren, baik yang sadar maupun transenden, sebagaimana yang berlaku dalam
pengertian Cartesian. Sementara raison constitueadalah ar yang sifatnya tidak
universal karena berasal dari bangunan budaya yang berbeda-beda, seperti: nalar
Arab, Sunda, Jawa dan sebagainya. Raison constitue meliputi di dalamnya cara
ataukonsep berpikir, bertindak atau menilai dan juga carapandang. Konsep nalar ini
mengakui proses ketidaksadaran dan kolektivitas dalam bernalar.
Konsep mengenai nalar itu, misalnya kita dapatkan dari filosof Muslim klasik al-
Kindi dan al-Farabi. Menurut al-Kindi, nalar adalah daya pikir. Di mana secara
hirarkis terdapat tiga jenis nalar yaitu: akal potensial, aktual dan nalar yang telah
mencapai tingkat kedua dalam aktualitas (Hasyimsyah Nasution, 1999: 23).
BAB 4
A. Sarana Ilmiah
1. Bahasa
Bahasa mempunyai peran besar dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia
tidak akan memiliki pengetahuan. Bahasa membedakan manusia dari binatang,
simbol yang digunakan manusia, dalam hal ini Ernest Cassirer menyebut manusia
sebagai makhluk yang menggunakan simbol (S. Suriasumantri, 2001:171).
1. Simbol; apabila dikatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol, hal
tersebut mengandung makna bahwa ucapan si pem bicara dihubungkan secara
simbolis dengan objek-obje
2. Simbol vokal; yaitu bunyi-bunyi yang urutan bunyinya dihasilkan oleh kerja
sama berbagai organ atau alat tubuh dengan sistem pernapasan.
3. Simbol vokal arbitrer; istilah arbitrer di sini bermakna "mana suka" dan tidak
perlu ada hubungan yang valid secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang
dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi orang yang mengetahui lebih dari satu
bahasa.
5. Yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sebagai alat bergaul satu
sama lain. Di mana bagian ini menyatakan hubungan antara bahasa dan masyarakat
(Amsal Bakhtiar, 2008: 179).k ataupun kejadian dalam dunia praktis.
2. Matematika
3. Logika
a. Mencintai kebenaran.
4. Statistik
B. Klasifikasi
Macam-macam Klasifikasi
4. Tipologi.
Ketika kita mengamati objek, ada beragam fakta dan hal khusus yang diperoleh
yang merupakan hasil observasi. Beragam fakta itu, ketika dianalisis menggunakan
alat ukur statistik atau teknik pengumpulan data lainnya seperti wawancara,
kuesioner dan dokumen disebut data.Setelah dikumpulkan fakta itu, lalu ditarik
kesimpulannya. Kesimpulan itu bisa berupa teori baru yang membantah teori lama
atau menguatkan teori lama Proses ini disebut penalaran induktif. Dalam praktik
riset ilmu pengetahuan, penalaran induktif itu ada yang dengan penyimpulan
kausal, ada pula yang dibantu dengan statistik.
Louis O Kattsoff (1996: 31) mengingatkan ada dua hal yang harus diperhatikan
ketika hendak melakukan penalaran induktif, yaitu:
1) Pastikan bahwa kita mendapatkan cukup peristiwa yang akan diamati itu.
Maksudnya, bilamana kejadiannya hanya satu atau dua kali saja, tidak dapat fakta
untuk ditarik kesimpulannya.
BAB 5
1. Perumusan Masalah
Ciri yang lain dari sebuah masalah dalam ilmu adalah bahwa masalah
itu harus dapat dijawab dengan jelas. Artinya jawaban dari masalah itu
memang harus sedetail, serinci mungkin. Jangan sampai masalah yang
diajukan tidak jelas, menimbulkan pemaknaan yang rancu.
Ciri yang paling penting lainnya dari masalah keilmuan adalah harus
dapat dijawab lewat penelaahan keilmuan, dengan tersedianya data secara
nyata atau potensial tersedia.
3. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah salah satu karakteristik dari ilmu
pengetahuan yang bersifat kumulatif, di mana tiap pengetahuan disusun di
atas pengetahuan sebelumnya. Apabila seorang ilmuwan mulai menyelidiki
suatu masalah maka langkah pertama yang diambilnya sesudah dia
merumuskan masalah tersebut adalah melakukan tinjauan pustaka (Peter R.
Senn, 1997: 118).
4. Persepsi
6. Penjelasan
7. Ramalan
Salah satu bentuk ramalan tertua yang dicari oleh ilmuwan adalah
hukum, Hukum dalam ilmu sosial berarti beberapa keteraturan yang fun
damental yang dapat diterapkan. Dalam tingkatan kebenarannya, hukum
berada di posisi tertinggi. Contoh dari hukum dalam ilmu pengetahuan
adalah hukum gravitasi.
1. Ringkasan
BAB 6
A. Hierarki Ilmu
1. Prinsip Tauhid
Ontologi Islam mendasarkan konsepnya pada tauhid. Prinsip tauhid
menjadikan dipilihkannya antara Yang Maha Ada, wajib ada (wajibul wujud
dengan yang mungkin ada (mumkinul wujud), jika diadakan oleh Yang
Maha Ada. Ada kholiq (pencipta), ada makhluq (yang diciptakan). Dalam
kajian eksistensialisme, dikenal istilah "Ada" dan "adaan". "Ada"
keberadaannya oleh dirinya sendiri, sementara "adaan", keberadaannya
karena diadakan oleh "Ada".
Dalam hal konsep ontologi, para filosof Muslim mengembangkan
hierarki wujud. Ibn Sina misalnya, mengelompokkan wujud kepada tiga
yaitu: (1) wujud-wujud yang secara niscaya tidak ber hubungan dengan
materi dan gerak, contohnya adalah Tuhan; (2) wujud-wujud yang meskipun
bersifat immateriil, terkadang mengadakan kontak dengan materi dan gerak,
misalnya wujud matematika; (3) wujud-wujud yang secara niscaya terkait
dengan materi dan gerak, yaitu wujud fisik (Mulyadhi Kartanegara,
2003:43).
Para filosof Muslim menyusun hierarki wujud (martabah al-maujudat)
dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan di puncaknya,
kemudian menurun melalui alam "antara" (barzakh) yang bisa kita lihat
percampuran antara unsur-unsur metafisika dan fisik dengan bentuk yang
unik menuju alam fisik, tempat kita hidup dan berkembang.
Dalam salah satu skemanya, Al-Farabi, sebagaimana dikutip
Mulyadhi Kartanegara (2003:31-32) mengemukakan hierarki wujud sebagai
berikut:
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.
2. Para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama sekali
immateriil.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial), dan
4. Benda-benda bumi (terrestrial).
2. Semuanya Penting
3. Intuisi
BAB 7
A. Biografi Intelektual
Ibn Sina yang diberikan gelar Syekh al-Ra'is al Akbar adalah seorang
filosof dan ulama besar dalam sejarah Islam, yang dikenal hingga sekarang,
baik di dunia Islam maupun Barat. Ibn Sina adalah seorang pria kelahiran
desa Afsyanah, dekat Bukhara, Persia Utara pada tahun 370 H/980 M.
Wafat sekitar tahun 428 H/1037 M. Nama asli Ibn Sina adalah Abu 'Ali
Husein Ibn Abdillah Ibn Hasan 1bn Ali Ibn Sina. Ayahnya berasal dari kota
Bukhara pada masa kepemimpinan Nuh Ibn Mansur,atastitah raja yang
mengangkatnya sebagai Amir Kharmaistan. Di sinilah ayahnya bertemu
dengan seorang perempuan bernama Sattarah yang kemudian melahirkan
Ibn Sina (Shoms Inati, 2003: 285),
Peripatetik (masyaiyat) adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh
Ibn Sina dan ia men dapatkan pengakuan dari berbagai kalangan, baik di
Barat maupun di Timur, memengaruhi banyak filosof sesudahnya. Al-
isyarat wa al-tanbihat karya filsafat Syaikh Ra'is yang termatang dan
menyeluruh, terdiri dari logika, fisika dan metafisika, dan ditutup dengan
mistisisme (Shoms Inati, 2003:288).
B. Teori Pengetahuan
Persepsi dalam pandangan Ibn Sina terdiri dari dua jenis yaitu persepsi
eksternal dan internal. Persepsi yang pertama adalah pancaindra, dengan
pancaindra manusia hanya sampai pada tahap menyaksikan segala sesuatu
yang tampak dan belum mampu menyimpulkan.
Sedangkan persepsi yang kedua ialah indra dalam. Indra dalam itu
terdiri dari phantasia atau disebut juga indra bersama. Daya ini menerima
segala sesuatu yang telah disimpan oleh pancaindra luar. Selanjutnya daya
khayal atau imajinasi. Daya ini yang menjaga segala objek yang
disampaikan oleh pancaindra.
Fungsi ketiga dari indra dalam adalah daya mutakhayyilah, daya ini
jika digunakan oleh manusia disebut daya pikir. Ada perbedaan antara daya
khayal dan mutakhayyilah, kalau khayal atau imajinasi tidak ada sesuatu di
dalamnya atau tidak bisa menerima sesuatu kecuali mengambilnya dari
indra. Bagi Ibn Sinna, ada keterkaitan yang erat antara persepsi-persepsi
tersebut. Persepsiinternal tidak bisa menafikanpersepsieksternaldan begitu
punsebaliknya. Imajinasi membantu manusia melanggengkan pengetahuan
yang sudah didapatkannya.
Pencapaian manusia terhadap pengetahuan yang lebih tinggi terjadi
ketika manusia mampu menggunakan jiwa rasionalnya. Jiwa inilah hakiki
dan esensi (jauhan) kemanusiaannya dan yang memiliki semua fakultas jiwa
yang sudah disebutkan. Mampu menarik kesimpulan dan putusan dari
objek-objek akal (ma'qulat).
3. Akal
Ibn Sina membagi kekuatan ini ke dalam empat tingkatan (Ibn Sina,
1375: 355). Tingkatan pertama adalah akal material (al-aql al-hayulani).
Tingkatan kedua akal mempunyai kemampuan untuk menangkap bentuk-
bentuk universal, akal bi al-malakah (akal yang menyatu). Akal ini
merupakan intelek manusia yang memiliki kemampuan untuk mencerap hal-
hal yang sederhana dan jelas. Ini merupakan proses yang paling mendasar
dari tingkatan intelek manusia. Karena semua bentuk pemikiran didasarkan
pada tingkat ini.
Selanjutnya akal bi al-fa'li (akal aktual), akal ini berfungsi untuk
mengabstraksikan persepsi yang didapat dari persoalan badihi, sederhana
atau akal yang di dalamnya dihasilkan prinsip-prinsip pertama yang tidak
memerlukan bukti lain, misalnya adalah bahwa keseluruhan (kulliyan lebih
besar dari bagian (juz'iyat).
Tingkatan tertinggi dan ini hanya dimiliki oleh nabi dan rasul adalah
akal al-Mustafad (akal perolehan), kemampuan memersepsi seluruh bentuk
yang sampai kepadanya dari objek-objek yang sederhana dan jelas atau
rasional yang sesuai. Persepsi pada tingkatan ini tidak lagi berhubungan
dengan materi, tapi langsung berkoresponden dengan akal aktif (al-aql al
la'al yang memberikan pengetahuan. Akal inilah yang menerima pancaran
pengetahuan dari akal aktif, akal ini merupakan bagian terakhir dari akal
yang diciptakan Tuhan.
Ketika jiwa disibukkan dengan perkara-perkara yang ragawi dan
nafsu, akan semakin terhalang untuk berhubungan dengan akal aktif (akal
fa'al) yang mengaktualkan pengetahuan dari potensi ke aktus.
4. Subjek-objek
Ibn Sina pun membahas tentang hubungan subjek dan objek. Dibahas
karena objek tidak terlepas dari peran manusia yang memersepsinya
(subjek). Ibn Sina berpandangan bahwa subjek pada saat yang sama
merupakan objek pengetahuan juga. Karena ketika subjek melakukan
pencerapan terhadap objek, proses pencerapan terjadi pada substansi objek.
Subjek melakukan persepsi pada esensi objek yang ada pada esensi subjek.
Maka, pada saat yang sama subjek sekaligus menjadi objek Mengenai hal
ini, Ibn Sina (1375: 382) mengatakan:
"Sesungguhnya kamu mengetahui bahwasanya segala sesuatu
memikirkan sesuatu dengan daya yang dekat dari potensi pencerapannya,
dan pencerapannya itu terhadap esensinya. Maka seluruh pencerapan
terhadap sesuatu pada dasarnya melakukan pencerapan terhadap esensinya
sendiri".
Kemudian, filsafat praktis mempelajari salah satu dari hal-hal berikut;
prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan publik antaranggota
masyarakat. Prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan personal di
dalam masyarakat. Prinsip-prinsip yang mendasari urusan-urusan individu.
Ilmu politik, tata negara, ekonomi dan yang terkait dengan kemanusiaan ada
di dalamnya.
Demikianlah secara ringkas konsep ilmu menurut Ibn Sina. Dapat kita
simpulkan bahwa pengetahuan dalam pandangan Ibn Sina bertingkat dari
mulai i pengetahuan sederhana yang dihasilkan oleh pencerapan pancaindra
dan ada pengetahuan sempurna, hasil dari kerja intelektual yang sempurna,
mengikatkan keterhubungannya dengan akal aktif (akal fa'al).
C. Ringkasan, Latihan, dan Daftar Istilah
1. Ringkasan
BAB 8
A. Biografi Intelektual
D. Hierarki Ilmu
F. Ringkasan
BAB 9
bn 'Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H, atau 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol
bagian Tenggara. Ibn 'Arabi lahir di tengah situasi Andalusia yang tak menentu.
Peperangan dan pemberontakan menjadi ancaman yang sewaktu-waktu muncul ke
per mukaan. Penyebab tidak stabilnya kondisi ini adalah ancaman penaklukan
Andalusia oleh sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri sebagai
Reconquista (para penakluk). Di tengah suasana itulah Ibn 'Arabi tumbuh dan
berkembang dewasa.
Ibn 'Arabi beruntung lahir di tengah keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang
pejabat tinggi istana al-Muwahhidun yang terkenal salih dan tepercaya. Ia
menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana berturut-turut pada dua masa
kepemimpinan Abu Ya'qub Yusuf dan rajaal-Mu'min III, Abu Yusuf al-Manshur.
Sedangkan dari pihak Ibu, Ibn 'Arabi mempunyai seorang paman yang juga
penguasa di Tlemcen bernama Yahya ibn Yughan al-Shanhaji (William Chittick
dan Nasr dan Leaman (ed), 2003:617).
B. Pengetahuan Intuitif
yang diperoleh dari hasil pemikiran sufi agung Ibn 'Arabi. Menurut Afifi, ciri-ciri
yang paling menonjol dari pengetahuan intuitif atau esoterik adalah sebagai
berikut:
itu sifatnya perolehan. Pengetahuan ini termasuk dalam kebercahayaan kudus yang
memancarkan wujud dasar dari semua makhluk. Pengetahuan ini memanifestasikan
dirinya sendiri pada diri manusia di bawah kondisi-kondisi tertentu, misalnya
"pasifitas" sempurna dari pikiran. Pengetahuan ini bukan hasil dari praktik atau
disiplin, terletak tidur dalam reses-reses terdalam dari hati manusia.
2. Pengetahuan intuitif berada di luar sebab, dan jika tidak perlu meminta
pertolongan otoritas sebab itu, untuk mengujivaliditasnya. Sebaiknya, apabila
aspekrasional dan intuisi itu bertentangan, maka yang pertama harus selalu
dikorbankan demi yang terakhir.
BAB 10
A. Biografi Intelektual
Mohammad Hossein dari keluarga yang religius dan taat di kota Tabriz, Barat Laut
Iran pada penghujung bulan Dzulhijjah tahun 1321 Hijriah bertepatan dengan tahun
1904 Masehi. Keluarga Allamah Thabathaba'i dikenal sebagai keluarga terpandang
dari keturunan Nabi Saw. Beliau adalah keturunan Sirajuddin Abdul Wahhab yang
dikenal karena perannya yang berhasil menghentikan peperangan besar antara Iran
dan pemerintahan Ottoman pada tahun 920 Hijriah.
Thabathaba'i dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia telah
menempuh proses belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru
besarnya seperti Mirza 'Ali Qadi (dalam bidang Gnosis), Mirza Muhammad Husain
Na'ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fikh dan syari'ah),
Sayyed Abu'l Qasim Khawansari (ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar
standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, Asfar milik Sadr al-Din Shirazi,
dan kitab Tamhid al-Qawa'id milik Ib.
Diskursus ini terjadi berkenaan dengan istilah ataupun persoalan cara mendapatkan
pengetahuan. Plato misalnya meyakini bahwa pusat pengetahuan adalah
intelektual, karena pengetahuan intelektual bersifat permanen. Hal ini sesuai
dengan keyakinan Plato bahwa alam ini ada dua, pertama (dunia menjadi) yaitu
alam kehidupan sehari-hari yang selalu mengalami perubahan, kedua (dunia ide
atau alam ide) yaitu dunia ideal yang tetap dan abadi.
teori pengetahuan ini terus berlanjut di kalangan filosof hingga kini. Diskursus ini
terutama sekali berkaitan dengan persoalan, apakah intuisi, rasa dan penyaksian
rohaniah bisa dijadikan sumber pengetahuan atau pengetahuan itu hanya
didasarkan pada konsepsi rasional dan indrawi. Ketika dunia Barat meyakini
bahwa pengetahuan hanya didapatkan oleh indrawi dan bersifat empiris bagi filosof
empirisme dan begitupun sebaliknya dengan filosof rasionalisme meyakini bahwa
pengetahuan hanya hasil dari proses intelektual dan menolak teori selain keduanya.
1. Jenis Akal
1) Akal potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal yang tidak memiliki potensi
untuk mengaktualkan objek-objek akal dan tidak ada baginya sesuatu dari objek-
objek akal untuk aktual karena kekosongan jiwa dari keumuman objek-objek akal.
2. Tingkatan Akal
1. Akal hayulani (material), disebut akal material karena merupakan kesiapan atau
akal potensial yang kosong dari objek-objek akal
(ma'qulat).
2. Akal bi al-Malakat (akal yang menyatu), yaitu tingkat akal manusia yang
memiliki kemampuan memersepsi hal-hal yang sederhana
3. Akal bi al-fa'al (akal aktif), akal ini baru sampai pada tingkatan
(sederhana).
5. Jenis Ilmu
a. Ilmu Hudhuri
Ilmu hudhuri adalah substansi, karena pengetahuannya hadir dalam dirinya oleh
dirinya sendiri. Allamah Thabathaba'i (1382: 176) mendeskripsikan ilmu Hudhuri
sebagai berikut:
Sebagian ilmu: satu ilmu dari kita hadir dengan esensinya yang diisyaratkan
dengan ungkapan (Aku), maka sesungguhnya (Aku) tidak pernah hilang dari diri
kita dalam kondisi apa pun, baik dalam kesendirian maupun dalam kesibukan, tidur
ataupun terjaga atau keadaan lainnya. Maka kita memiliki ilmu terhadap esensi kita
dan hadir pada diri kita dengan eksistensi eksternal yang merupakan dasar identitas
yang memiliki efek."
Dari penjelasan Allamah Thabathaba'i di atas, dapat dipahami bahwa imu hudhuri
adalah ilmu yang langsung hadir pada diri subjek tanpa perantara, misalnya adalah
pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, pengetahuan seperti ini tidak
mungkin diingkari, bahkan kaum Sophis pun bahwa ukuran segala sesuatu adalah
manusia. Setiap manusia paham tentang dirinya sendiri tanpa ada yang
menjembataninya. Tentang diri sendiri lebih diketahui karena ia lebih dekat dengan
manusia. Tidak akan ada orang yang mengingkari pengetahuan dirinya tentang
keberadaan dirinya sendiri. Perumpamaan ilmu hudhuri ialah dengan memandang
sesuatu itu sendiri.
b. Ilmu Hushuli
Selanjutnya Ilmu hushuli adalah ilmu atau pengetahuan yang didapat berdasarkan
proses korespondensi yang terjadi antara subjek dengan objek eksternal atau hasil
dari proses pencerapan subjek terhadap objek eksternal dan yang masuk ke dalam
mental subjek adalah esensi objek tersebut. Mengenai Ilmu hushuli, Muhammad
Husein Thabathaba'i Mengatakan:
Dari ungkapan Thabathaba'i ini dapat diketahui bahwa ilmu atau pengetahuan yang
didapatkan oleh subjek, pada dasarnya adalah proses pencerapan si subjek terhadap
objek yang ada di luar, dengan pemaknaan bahwaobjektersebut hadir dan
tergambarkan pada diri subjek dalam bentuk aksidennya. Mengenai hal ini sangat
jelas dalam pembahasan wujud mental (wujud dzihni). Yang tercerap oleh subjek
hanya aksiden yang tidak memberikan efek. Misalnya, eksistensi api yang ada di
luar objek dapat memberikan efek ketika dipegang akan panas, beda halnya dengan
api dalam wujud mental yang tidak memberikan efek panas.
Ilmu hushuli juga dikatakan ilmu yang berdasarkan perantara, terkadang realitas
wujud eksternal tidak diketahui secara langsung tapi langsung tergambarkan
melalui perantara yang secara istilah disebut dengan konsepsi wujud mental
(dzihni). Maksudnya, ada perantara atau yang menjembatani antara pengetahuan
manusia sebagai subjek dengan objek eksternal.
BAB 11
Tahun 1949, Feyerabend menjadi pimpinan dari Kraft Circle, sebuah kelompok
studi yang fokus pada kajian pemikiran Viktor Kraft, supervisor Feyerabend dalam
menulis disertasi di Vienna Circle. Ludwig Wittgenstein kerap hadir ke Kraft
Circle untuk memberikan ceramah filsafat.
B. Epistemologi Anarkis
Antimetode itu sendiri ditulis dalam sebuah artikel panjang pada tahun 1970.
Berisikan sejumlah kritik terhadap berbagai metodologi sains terkemuka, salah
satunya dikembangkan oleh Imre Lakatos. Tahun itu pula, terjadi korespondensi
intelektual antara Feyerabend dengan Lakatos. Feyerabend menyerang konsep
kaum rasionalis yang meyakini bahwa sains terumuskan dengan baik dengan
seperangkat aturan dari metode ilmiah. Sayangnya, pada tahun 1974, Lakatos
meninggal dan belum sempat mendiskusikan kritik mendalam Feyerabend yang
menyatakan bahwa kaum rasionalis belum pernah komplit dalam menyusun
pekerjaan karya ilmiahnya. Dalam artikelnya yang berjudul "An Attempt at a
Realistic Interpre tation of Experience" (1958), dia mengkritik positivisme, di
mana menurutnya, tidak ada ukuran yang realistis antara teori dengan pengalaman.
Akibatnya, menurut Feyerabend, sebuah penelitian hanya menjadikan terjadinya
pengulangan tesis. Jika pun ada perubahan besar dalam sebuah teori, tidak akan
memiliki makna mendalam bagi bahasa ilmiah.
Feyerabend menganggap bahwa kebenaran bukan monopoli ilmu pengetahuan
karena monopoli berdampak kepada ideologi tertutup. Menurut Feyerabend,
ilmuwan tidak bisa mengabaikan faktor lain di luar ilmu pengetahuan.
Antimetode Feyerabend dapat dijelaskan dengan empat hal yaitu prinsip apa saja
boleh, tidak ada standar yang sama, kontra induksi, ketergantungan observasi pada
teori.
Feyerabend mengatakan 'anything goes' yang berarti hipotesis apa pun boleh
dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda
dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. ilmu pengetahuan bisa maju tidak
hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, tetapi juga secara
kontrainduktif (Paul Feyerabend, 1978: 22).
Menurutnya, sains dan mitos tidak dapat dibedakan dengan satu batas prinsip
tertentu. Mitos adalah sains dengan tradisi tertentu dan sebaliknya sains hanyalah
sesuatu tradisi mitos. Asumsi bahwa ada batasan antara sains dan mitos akan
menimbulkan batasan-batasan yang menghalangi pemikiran kreatif dan kritis.
Feyerabend menolak rasionalitas yang universal dan historis. Kebenaran yang tak
terikat ruang dan waktu, penilai sebuah teori. Faktanya satu teori belum tentu
menjawab masalah yang sama. Tidak ada standar yang sama untuk mengukur suatu
ilmu pengetahuan. Dua teori berkembang tidak bisa saling ukur satu sama lain.
Pendapat ini diakui secara umum oleh para ilmuwan (Akhyar Y Lubis, 2003: 115).
Dalam praktik riset, teori yang bertentangan kadang dipergunakan dan menjadi
alternatif. Dengan demikian, seorang peneliti akan memiliki cara pandang berbeda
dalam memahami suatu objek.
Penolakan atas universalitas dan tak adanya standar yang sama dalam ilmu
pengetahuan menjadikan semua metode menjadi mungkin. Satu teori bisa
menjelaskan permasalahan, namun pada konteks dan waktu berbeda belum tentu.
Bayangkan saja, teori dirumuskan dari hasil riset di suatu tempat dengan kultur,
lingkungan, situasi yang khas dan pada waktu yang berbeda. Pada konteks tertentu,
boleh jadi bisa sama ketika dimanfaatkan untuk menelaah satu persoalan, namun
mesti diingat, bisa jadi hasilnya berbeda. Setiap tempat, situasi, budaya dan
lingkungan menjadi unik dalam sebuah penelitian. Dengan demikian, suatu teori
tidak bisa dijadikan alat ukur bagi teori lain. Seorang peneliti harus menyadari
keterbatasan tersebut. Dialog antarteori dan keterbukaan untuk menerima
kekurangan suatu teori akan sangat membantu untuk mengembangkan teori
semakin kokoh kebenarannya.
c. Kontra Induksi
Penjelasan utuh tentang induksi sudah dijelaskan di bab empat buku ini. Mesti
diingat bahwa dalam pradigma positivisme, induksi merupakan satu satunya
metode yang dianggap valid. Kaum induktivisme naif berpendapat bahwa batang
tubuh ilmu pengetahuan ilmiah dibangun oleh prinsip induksi yang dasarnya cukup
kuat. Ketika ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai
dengan teori, maka induksi berupaya mencari fakta yang mendukung dan
menghindari fakta yang tidak sesuai dengan teori. Baik verifikasi maupun
falsifikasi, sama-sama tidak menghendaki fakta yang tidak konsisten dengan teori.
Dalam hal ini Feyerabend mengkritiknya dan mengajukan satu prinsip yang disebut
sebagai "counter inductive" atau kontra induksi. Feyerabend mengajukan kontra
induksi untuk mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi dan falsifikasi di
atas. Prosedur kontra induksi ini menurutnya, bukan berarti satu cara untuk
mengganti induksi (Akhyar Y. Lubis, 2003: 104).
Ada tiga langkah dalam kontra induksi yaitu: pertama, melakukan kritik terhadap
"fakta" untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah mapan. Kedua,
mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal. Ketiga,
memperkenalkan persepsi yang tidak merupakan bagian dari dunia persepsi yang
ada.
Suatu pengamatan memang tak bisa dilepaskan dari praduga, hipotesis. Praduga
ditentukan oleh pengetahuan atau teori yang dimiliki. Observasi murni menjadi
omong kosong, karena hanya mungkin bila tanpa pengetahuan, harapan atau ikatan
ideologis.
BAB 12
A. Biografi Intelektual
Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) adalah salah satu filosof yang sangat
berpengaruh di abad dua puluh. Bukunya yang berjudul The Structure of Sci entific
Revolutions adalah salah satu buku yang banyak dikaji di berbagai universitas.
Memulai karirnya sebagai fisikawan, mengkaji filsafat ilmu karena ketertarikannya
yang kuat terhadap sejarah fisika. Menyelesaikan sarjananya, lulus dengan summa
cum laude dari Harvard University tahun 1943, masternya tahun 1946 dan
doktoralnya pada tahun 1949 masih di Harvard, dengan bidang kajian yang sama,
fisika, khususnya aplikasi mekanika quantum. Sempat fokus pada kajian astronomi
dan memublikasikan karyanya berjudul "The Coperni can Revolution".
Kuhn kemudian menjadi profesor filsafat dan sejarah sains di Princeton University
pada tahun 1964. Dalam sebuah kolokium internasional yang diselenggarakan di
Bedford College, London, Kuhn dipertemukan dan berdebat langsung dengan
Feyerabend. Tahun 1970, terbit karya dengan judul Criticism and the Growth of
Knowledge yang dieditori oleh Lakatos dan Alan Musgrave, merupakan hasil dari
perdebatan yang tidak hanya melibatkan Kuhn dan Feyerabend, tapi juga John
Watkins, Margater Masterman, dan Stephen Toulmin. Pada tahun 1970 pula, edisi
kedua dari buku The Structure of Scientific Revolutions terbit. Pada 1977, terbit
buku lain yang berjudul The Essential Tension, dan dia pun menulis karya lain
yang berjudul Black-Body Theory and the Quantum Discontuinity
(plato.stanford.edu/thomas-kuhn).
Bagi Kuhn, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat
memahami kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Kuhn
berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner,
bukan kumulatif sebagaimana anggapan di kalangan ilmuwan pada umumnya.
Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret
(Thomas S Kuhn, 192: 22).
2. Model Paradigma
mungkin, selama masih ada dalam cara pandang yang dikembangkan. Fungsi
ketiga suatu paradigma adalah membantu mengembangkan teori baru tanpa harus
mengubah paradigma. Misalnya pada mekanika, kemudian menghasilkan teori
yang berbeda: teori mekanika Newtonian dengan teori mekanika quantum modern.
3. Teori Ketaksebandingan
Kuhn membedakan tiga jenis ketaksebandingan, pertama,pada metodologi, di mana
tidak ada ukuran umum bagi sebuah metode, karena adanya perbandingan,
perubahan dan evaluasi. Saat ini, metode ilmu-ilmu sosial pada level analisis
datanya akan berbeda. Metode besarnya tetap sama, bisa berupa pendekatan
kuantitatif, kualitatif atau campuran keduanya (evaluasi). Namun pada level
operasional analisis, akan kembali ke pendekatan keilmuan masing-masing.
a. Ketaksebandingan Metodologi
Sebuah teori dipilih karena akurasi, konsistensi (baik internal maupun dengan
teori-teori yang berlaku dan relevan), lingkup (konsekuensinya harus melampaui
data yang diperlukan untuk menjelaskan), kesederhanaan dan untuk penelitian
lebih lanjut
Fokus perhatian penting dari Kuhn dalam bukunya yang berjudul "The Struc ture
of Scientific Revolutions" adalah pada sifat persepsi, mengingat pengamatan
ilmuwan dapat berubah, hasil dari revolusi ilmiah.
Teori ketergantungan observasi, menolak pendapat bahwa teori itu netral, arbiter di
antara teori-teori. Dengan demikian, tidak ada metode universal untuk membuat
kesimpulan dari data. Bahkan bila pun ada metode inferensi dan interpretasi yang
disepakati, masih mungkin muncul perbedaan kesimpulan di antara para ilmuwan.
Situasi ini pun akan dialami di antara ilmuwan yang matriks disiplin ilmunya
berbeda.
c. Ketaksebandingan Semantik
Selain teori ketergantungan observasi memainkan peran penting dalam "The
Structure of Scientific Revolutions", dan teori ketaksebandingan metodologis dapat
menjelaskan semua fenomena, Kuhn juga menemukan fakta terjadinya
ketaksebandingan semantik. Perbedaan makna sebuah istilah kerap menjadikan
kesimpulan berbeda. Hal yang terkesan sepele, namun sangat vital dalam dunia
keilmuan. Istilah tertentu yang dipergunakan dalam bidang ilmu tertentu, bisa
berbeda pemahamannya jika dipahami oleh ilmuwan dengan latar belakang
keilmuan yang berbeda. Kuhn ini menguatkan tesis ini, bahwa anomali mungkin
terjadi karena faktor ketaksebandingan semantik.
Lebih lanjut Kuhn mengingatkan bahwa teori itu berubah dari waktu ke waktu.
Terkait dengan problem semantik, Kuhn menegaskan bahwa terjemahan kerap
bermasalah, tidak memungkinkan sebuah pemaknaan yang sebanding. Kuhn
mengukuhkan pendapat bahwa ada ketidakpastian penerjemahan. Jika kita
menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain, tak satu pun dari terjemahan istilah
unik yang benar. Kuhn berpikir bahwa ketaksebandingan semantik menjadikan
tidak ada terjemahan yang sepenuhnya memadai. Kuhn tidak percaya bahwa
ekspresi ketika diterjemahkan memiliki arti sama.