Anda di halaman 1dari 37

RESUME BUKU PAI

“PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK


PERGURUAN TINGGI”

Kelompok 2 :

Neng Ilma Nury Hasniah


Sri Dewi Purnamasari
Sri Handayani
Silmi

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI


UNIVERSITAS INSAN CENDEKIA MANDIRI
2023
DAFTAR ISI

BAB 1: URGENSI AGAMA BAGI KEHIDUPAN


1.1 Pengertian Agama
1.2 Unsur-Unsur dalam Agama
1.3 Latar Belakang Kebutuhan Manusia terhadap Agama
1.4 Kebutuhan Manusia dalam Agama
1.5 Klasifikasi Agama

BAB 2: MANUSIA DALAM AL-QURAN


2.1 Konsep Manusia

BAB 3: KETUHANAN DALAM ISLAM


3.1 Fitrah Kebutuhan dalam Diri Manusia
3.2 Perkembangan Pemikiran Manusia tentang Tuhan
3.3 Pemikiran Umat Islam tentang Tuhan
3.4 Sifat-Sifat Allah dan Asmaul Husna
3.5 Keimanan dan Ketaqwaan

BAB 4: KONSEP IBADAH DALAM ISLAM


4.1 Konsep Syariah tentang Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah
4.2 Konsep Maqashidus Syariah (Tujuan Syariah)
4.3 Aspek Ta'abbudi dan Ta'aqquli
4.4 Thaharah, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji

BAB 5: ETIKA, MORAL, DAN AKHLAK DALAM ISLAM


5.1 Pengertian Etika dan Moral
5.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak serta Perbedaannya dengan Moral dan Etika
5.3 Ruang Lingkup dan Implementasi Akhlak dalam Kehidupan
5.4 Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Sehari-Hari

BAB 6: SUMBER HUKUM ISLAM


6.1 Sumber dan Dalil Hukum yang Disepakati

BAB 7: PERNIKAHAN DALAM ISLAM


7.1 Pengertian dan Tujuan Pernikahan
7.2 Dasar Hukum Pernikahan
7.3 Syarat dan Rukun Pernikahan
7.4 Thalaq, Iddah, dan Rujuk

BAB 8: ISLAM DAN ANTIKORUPSI


8.1 Pengertian Korupsi
8.2 Analisis Fatwa Haram MUI tentang Korupsi

BAB 9: SEJARAH ISLAM


9.1 Pengertian Sejarah
9.2 Urgensi Mempelajari Sejarah Peradaban Islam
9.3 Periode Sejarah

BAB 10: IKHTILAFIYAH DAN PROBLEM KONTEMPORER DALAM ISLAM


10.1 Pengertian Khilafiyah
10.2 Mazhab Fiqih dan Mazhab Pemikiran
10.3 Latar Belakang dan Faktor Menyebabkan Terjadinya Khilafiyah
10.4 Contoh Khilafiyah

BAB 11: KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


11.1 Islam sebagai Rahmatan lil 'Alamin
11.2 Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah
11.3 Prinsip Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
11.4 Faktor-Faktor Penyebab Konflik Agama
11.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Agama

BAB 12: KONSEP HIJRAH DAN JIHAD


12.1 Mengetahui Makna Hijrah dan Jihad
12.2 Landasan Hijrah dan Jihad

BAB 13: MODERASI BERAGAMA


13.1 Pengertian Moderasi Beragama
13.2 Landasan Moderasi Beragama
13.3 Prinsip-Prinsip Moderasi Beragama
13.4 Moderasi Beragama di Era 4.0

BAB 14: ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN SENI DALAM ISLAM


14.1 Makna Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni
14.2 Iman, Ilmu, dan Amal sebagai Kesatuan
14.3 Islam dan Perkembangan Teknologi Industri 4.0
14.4 Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Lingkungan
14.5 Islam dalam Menghadapi Modernitas
14.6 Peran Masjid dalam Membangun Peradaban Umat Islam

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
URGENSI AGAMA BAGI KEHIDUPAN

A. PENGERTIAN AGAMA

Secara etimologis, kata 'agama' biasanya diterjemahkan sebagai 'al-din' dalam bahasa Arab
atau 'religion' dalam bahasa Inggris. Selanjutnya, 'din al-Islam' diterjemahkan sebagai 'The
religion of Islam' atau 'Agama Islam'. Kata 'agama' berasal dari bahasa Sansakerta. Salah satu
pendapat menyatakan bahwa 'Agama' berasal dari kata 'A' yang berarti 'tidak', dan 'Gam' yang
berarti 'pergi' dan 'kacau'. Jadi, agama diartikan sebagai 'tidak pergi', 'tidak kacau', tetap di
tempat, diwarisi turun-temurun, karena memiliki sifat demikian. Ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa 'Gam' berarti 'tuntunan', karena agama memberikan petunjuk.

Kata 'religion' berasal dari kata 'religi' dalam bahasa Latin. Beberapa pendapat menyatakan
bahwa 'religi' berasal dari kata Latin yang berarti 'mengumpulkan' dan 'membaca'. Agama
memang merupakan kumpulan cara pengabdian kepada Tuhan yang sering kali mencakup
aturan dari kitab suci yang telah dibaca. Pendapat lain menguatkan bahwa dalam agama
terdapat aturan-aturan yang terdapat dalam durasi tertentu.

Kata 'Ad-diin' dalam bahasa Semit berarti 'undang-undang' atau 'hukum'. Dalam bahasa Arab,
kata 'din' memiliki arti yang mencakup 'menundukkan', 'patuh', 'utang', 'balasan', dan
'kebajikan'. Agama membawa aturan yang meliputi hukum yang harus ditaati. Agama
mempengaruhi seseorang untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan mengikuti
ajarannya. Agama membawa kewajiban-kewajiban yang jika tidak dilaksanakan oleh
seseorang, dianggap sebagai utang baginya. Pemahaman tentang kewajiban dan ketaatan juga
membawa pada penerimaan balasan yang baik dari Tuhan bagi mereka yang menjalankan
kewajiban dan patuh.

Agama juga memiliki makna sebagai ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia.
Ikatan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan sehari-hari manusia. Ikatan
tersebut berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, kekuatan gaib yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indera

B. UNSUR-UNSUR DALAM AGAMA


Berikut adalah unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama:

1. Kekuatan gaib: Manusia merasa dirinya lemah dan membutuhkan kekuatan gaib
sebagai tempat untuk meminta pertolongan. Oleh karena itu, manusia merasa perlu
menjalin hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan dari kekuatan gaib itu.
2. Keyakinan bahwa keberadaannya di dunia ini dan kehidupannya di alam setelah
tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Tanpa
adanya hubungan baik ini, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang.
3. Respons emosional dari manusia: Respons ini dapat berbentuk perasaan takut, seperti
yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta, seperti yang terdapat
dalam agama-agama monoteistik. Selain itu, respons ini juga dapat berbentuk
penyembuhan yang terdapat dalam agama-agama mistis. Respons ini juga dapat
berujung pada cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu, ada pula pemahaman tentang yang kudus (sacred) dan suci, baik dalam bentuk
kekuatan gaib, ajaran dari agama yang bersangkutan, maupun tempat-tempat tertentu.

1
C. LATAR BELAKANG KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap


agama, yaitu:

1. Fitrah manusia: Kata 'fitrah' berasal dari kata 'fathara', yang berarti 'ciptaan', 'suci', dan
'seimbang'. Louis Ma'luf dalam Kamus al-Munjid menyebutkan bahwa fitrah adalah
sifat yang ada pada setiap manusia pada awal penciptaannya, sifat alamiah manusia,
atau sunnah. Menurut Imam al-Maraghi, fitrah adalah kondisi dimana Allah
menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya pada kebenaran dan kesiapan
untuk menggunakan daya akalnya. Fitrah, dalam arti cenderung kepada kebaikan
(hanif), merupakan kesaksian manusia sebelum lahir ke dunia ini. Persaksian ini
merupakan bagian dari fitrah manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap
agama, sehingga manusia dianggap sebagai makhluk religius. Manusia bukanlah
makhluk yang lahir kosong seperti kertas putih, hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an:
QS. Al-A'raaf (7):172.

Fitrah dalam arti potensi, merupakan kelengkapan yang diberikan saat manusia lahir ke dunia
ini. Potensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu potensi fisik dan potensi
mental.

2. Keterbatasan akal manusia: Akal manusia sebagai anugerah terbesar memang mampu
membedakan dan mengetahui yang baik dan buruk, tetapi semua yang terbatas pada
kemampuan akal. Akal manusia tidak mampu mengetahui segala informasi, terutama
yang berkaitan dengan alam metafisika (ghaib), termasuk peristiwa yang terjadi
setelah manusia mati seperti barzakh, sha akhirat, surga, dan neraka. Manusia
membutuhkan informasi tentang hal-hal ini karena menghadapi kehidupan setelah
hidup di dunia ini. Hidup di akhirat adalah hidup yang kekal dan abadi. Untuk itu,
manusia memerlukan bimbingan wahyu (agama).
3. Tantangan yang dihadapi manusia: Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa
menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Tantangan dari dalam berupa dorongan dan hawa nafsu serta bisikan setan.
Sedangkan tantangan dari luar berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia secara sengaja untuk memalingkan manusia dari Tuhan. Seperti
berkembangnya berbagai kebudayaan dan cara hidup yang diciptakan untuk
memalingkan manusia dari Tuhan.

Oleh sebab itu, manusia selalu membutuhkan bimbingan wahyu yang menjadi pedoman
dalam hidupnya agar tidak terjerumus dalam penyesatan iblis yang menghasut hawa nafsu..

D. KEBUTUHAN MANUSIA DALAM AGAMA

Menurut Bustanuddin Agus, dalam menelusuri asal-usul mengapa manusia beragama,


kebanyakan ilmuwan sosial mengembalikannya pada faktor kelemahan manusia. Manusia
beragama karena beberapa hal berikut:

1. Tidak mampu mengatasi bencana alam dengan kemampuan sendiri.


2. Tidak mampu melestarikan sumber daya dan keharmonian alam seperti tidak mampu
memastikan matahari tetap bersinar dan padi tetap menjadi sumber makanan.
3. Tidak mampu mengatur tindakan menuju kehidupan yang damai satu sama lain dalam
masyarakat.

2
Karena keterbatasan itu, mereka mempercayai adanya kekuatan gaib yang mampu
menyelamatkan atau membantu mereka. Ini berarti bahwa dengan kepercayaan kepada
kekuatan gaib tersebut, mereka mencari jawaban dari misteri kehidupan dan gejala alam.

Menurut M. Qurash Shihah, berbagai pandangan telah dikemukakan oleh para pakar tentang
benih agama dalam jiwa manusia. Ada yang berpendapat bahwa benihnya adalah rasa takut
yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang
menakutkan. Memang, rasa takut merupakan salah satu pendorong utama tumbuhnya rasa
keagamaan. Tetapi bahwa ini merupakan benihnya, ditolak oleh pakar yang lain.

Sementara itu, para pakar agama Islam berpendapat bahwa benih agama muncul dari
penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Manusia pertama yang diperintahkan oleh Allah untuk turun ke bumi, diberi pesan agar
mengikuti petunjuk-Nya: QS. Al-Baqarah (2):38. Kebutuhan manusia terhadap agama
bersifat kodrati, sebab adanya agama inilah manusia menjadi makhluk yang berbeda dengan
makhluk lainnya, misalnya dengan binatang, baik nalurinya untuk makan, minum,
berkembang biak, atau mempertahankan hidupnya. Menurut konsep Al-Qur'an, manusia
butuh terhadap agama, karena memang agama itu adalah fitrah manusia. Hal ini dijelaskan
dalam QS. Ar-Ruum (30):30.

Faktor yang menandakan manusia berbeda dengan binatang adalah kemampuannya


mengembangkan sifat-sifat tersebut, sehingga dapat mengarahkannya untuk kepentingan
hidupnya. Naluri binatang tetap, misalnya, ayam sejak dahulu hingga sekarang mencari
makan dengan mengais-ngais di tanah. Berbeda dengan manusia yang awalnya mencari
makan dengan berburu dan meramu, kemudian bercocok tanam, dan seterusnya. Dengan kata
lain, faktor keindahan yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang.

Faktor lainnya yang membedakan manusia dengan binatang adalah adanya nurani yang
dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh binatang. Misalnya, kucing sejak dahulu
berkembang biak dengan mengawini lawan jenisnya, tidak peduli pada keadaan sekitar.
Manusia terikat oleh etika, baik yang bersangkutan dengan adat istiadat, moralitas, maupun
ajaran-ajaran agama. Manusia bisa berkembang dan berbudaya sedemikian rupa. Bahkan,
manusia telah dianugrahkan Allah dengan berbagai bekal seperti naluri (instinct), pancaindra,
akal, dan lingkungan hidup untuk dikelola dan dimanfaatkan. Dengan akalnya, manusia telah
meramu berbagai ilmu pengetahuan, teori, kemudian alat dan keahlian yang kesemuanya itu
menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi. Dengan anugerah akal itu,
jika digunakan dengan semestinya, manusia akan dapat melakukan fungsi dan mencapai
hidupnya.

Tumbuhan hanya diberikan bekal naluri (insting) sesuai dengan fungsi dan tujuan hidupnya,
begitu juga hewan dengan tujuan yang sama dan ditambah pancaindra untuk dapat bergerak
dan berkembang biak. Namun, hal lainnya pada manusia, ia bertujuan hidup bukan sekadar
makan, minum, dan berkembang biak, melainkan ada tujuan yang berarti dan abadi. Oleh
karena itu, sesungguhnya kapanpun manusia hidup dan dimanapun ia berada, agama tetap
menjadi kebutuhan asasi. Di abad modern ini pun, agama tetap diperlukan. Bahkan, lebih dari
itu, bila manusia mencapai kemajuan bukanlah akan memberikan kebahagiaan kepada
manusia, akan tetapi malah akan membinasakan manusia.

3
E. KLASIFIKASI AGAMA

Ditinjau dari sumbernya, agama yang dikenal manusia terbagi atas dua jenis, yakni sebagai
berikut:

1. Agama wahyu

Agama ini diterima oleh manusia dari Allah melalui malaikat Jibril yang disampaikan oleh
Rasul-Nya kepada manusia. Agama wahyu juga disebut sebagai agama surga atau agama
langit. Ciri-ciri agama wahyu adalah:

a. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan
menciptakan agama, melainkan menyampaikannya. b. Memiliki kitab suci yang tidak
berubah dan tidak ada campur tangan manusia. c. Ajarannya tetap, meskipun tafsirannya
dapat berubah sesuai situasi dan kondisi, atau sesuai dengan kemampuan akal, kecerdasan,
dan kepekaan. d. Konsep ketuhanannya bersifat monoteisme murni (tauhid) dan
kebenarannya bersifat universal, berlaku untuk setiap masa dan keadaan.

2. Agama budaya

Agama ini berasal dari ajaran seorang manusia yang dianggap memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang kehidupan. Agama budaya juga disebut sebagai agama sadar atau agama
dunia. Contoh agama budaya adalah agama Buddha yang merupakan ajaran dari Buddha
Gautama. Sedangkan ciri-ciri agama budaya, yaitu:

a. Tidak disampaikan oleh utusan Allah (Rasul), melainkan tumbuh secara kumulatif dalam
masyarakat pengikutnya. b. Umumnya tidak memiliki kitab suci, dan jika ada, sering
mengalami perubahan dalam sejarahnya. c. Ajarannya dapat berubah-ubah sesuai dengan
perubahan pikiran masyarakat penganutnya. d. Konsep ketuhanannya tidak bersifat
monoteisme, melainkan animisme, dinamisme, politeisme, dan yang paling tinggi menganut
monoteisme relatif. Kebenaran ajaran agamanya tidak bersifat universal, sehingga dapat
berubah-ubah sesuai dengan masa dan keadaan tertentu.

Jika kita perhatikan, agama Islamlah yang memenuhi syarat sebagai agama wahyu,
sedangkan yang lainnya tidak, terutama bila dilihat dari segi ketuhanan dan keaslian kitab
sucinya. Asumsi ini diperkuat oleh firman Allah dalam QS. Ali Imran (3):19.

4
BAB 2
MANUSIA DALAM AL-QURAN

A. MANUSIA

Menurut Quraish Shihab, dalam Al-Quran, terdapat tiga kata yang menggambarkan manusia
secara etimologis:

a) menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif nun, dan in semacam insan, ins,
nas, atau unas.
b) ) menggunakan kata al-Basyar, dan
c) ) menggunakan kata Bani Adam atau Dauriyyat Adam.

Berikut adalah penjelasan mengenai ketiga istilah tentang manusia:

1. Al-Insani

Dari segi morfologis, kata Al-Insani berasal dari kata nasiya yansa yang secara
etimologis bermakna "melupakan" atau "lupa". Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT dalam QS. Adh-Dhariyat ayat 56.

2. Al-Basyar

Kata Al-Basyar berasal dari kata yang pada awalnya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia dinamai Basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit
binatang. Karena itu, Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk menyampaikan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi ayat 110.

3. Bani Adam dan Daurriyyat Adam

Terdapat dua kata kunci yang perlu dipahami, yaitu Banu Adam dan Daurriyyat
Adam. Dalam Al-Quran, kata Bani Adam dijumpai sebanyak 7 kali terutama dalam 3
Surah. Secara etimologi, kata Bani Adam merujuk pada keturunan Nabi Adam, yaitu
manusia yang ada baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, termasuk
umat terdahulu dan umat yang terakhir berasal dari Adam.

Menurut Roswati Nurdin, kedua istilah (Bani Adam dan Daurriyyat Adam) tersebut diartikan
dengan "keturunan", tetapi sesungguhnya memiliki arti yang berbeda. Kata Bani berkaitan
dengan huruf-huruf ha, nun, dan ra, yang berarti "sesuatu yang lahir dari yang lain",
sedangkan kata Daurriyyat yang berkaitan dengan huruf-huruf zal, ra, dan ra memiliki arti
"kehalian" dan "terserak". Penggunaan kedua kata ini dengan Adam memberi kesan
kesejarahan dalam kompleksitas manusia, di mana Daurriyyat Adam mengandung konsep
keragaman manusia dalam berbagai warna dan bangsa. Hal ini sesuai dengan QS. Ar-Rum
(30):22.

5
BAB 3
KETUHANAN DALAM ISLAM

A. Fitrah Kebutuhan dalam Diri Manusia

Menurut KRBI, kata fitrah bermakna sifat asal, kesucian bakat, pembawaan. Fitrah dari segi
bahasa dapat dimaknai sebagai kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang
memiliki potensi untuk condong kepada kebenaran (hanif).

Manusia memiliki potensi yang luar biasa berupa potensi keberagaman. Berbagai argumen
yang dikemukakan oleh para pakar dan filsuf tentang wujud dan keresahan Allah, namun
argumen yang paling kuat terdapat dalam fitrah manusia. Sebagai manusia, kita harus
menggali potensi yang diberikan oleh Allah SWT. Hal ini penting agar kita dapat
memanfaatkan potensi itu dengan baik.

B. Perkembangan Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Dinamisme
2. Animisme
3. Politisme (serba dewa)
4. Monoteisme

C. Pemikiran Umat Islam tentang Tuhan

Istilah Tauhid sering direkatkan dengan ajaran Islam karena di dalamnya membahas tentang
kesatuan Allah dan pembelajarannya. Kadang-kadang Tauhid juga dikenal sebagai
ushuluddin, karena di dalamnya didapatkan pokok-pokok keyakinan dalam agama Islam.
Ilmu ini juga dikenal sebagai Ilmu Kalam karena di dalamnya menjelaskan dan membuktikan
kesatuan Tuhan yang memerlukan pembicaraan yang benar.

Mempelajari Ilmu Tauhid sangat penting bagi setiap Muslim karena menyangkut aqidah yang
berkaitan dengan Islam. Aqidah merupakan fondasi bagi keberagamaan seseorang dan
benteng yang kokoh untuk memelihara agar tidak mudah terpengaruh keraguan dan
kesesatan. Prinsip-prinsip aqidah dalam Islam merupakan ajaran yang dibawa oleh para rasul
sejak dulu. Hal ini harus diyakini oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah SWT QS. Al-Anbiya 25.

D. Sifat-sifat Allah dan Asmaul Husna

1. Sifat Allah Nafsiyyah, salbiyyah, ma'ani, ma'nawiyyah.


2. Asmaul Husna Asmaul Husna merupakan nama-nama Allah yang baik. Kita
dianjurkan untuk berdoa dengan menyebut Asmaul Husna agar doa kita menjadi
terkabul.

E. Keimanan dan Ketaqwaan

Iman berasal dari bahasa Arab, amana-yu'minu-imanan yang artinya percaya. Iman juga
berarti meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan.
Isi hati seseorang terdapat dalam pandangan hidup, sedangkan ucapan dan perbuatannya
dalam sikap hidup sehari-hari.

6
Istilah lain untuk iman adalah aqidah. Aqidah berasal dari kata ligatu yang memiliki makna
dasarnya sysddah atau wutsug, yang berarti ikatan. Iman merupakan bagian yang sangat
pokok dalam sistem Islam. Iman merupakan fondasi dari sebuah bangunan. Oleh karena itu,
iman harus tertanam kuat di dalam hati seorang Muslim. Kedalaman iman seseorang bisa
naik turun, bertambah dan berkurang. Dalam sebuah ungkapan, iman bisa bertambah dan
berkurang, bertambah dengan ketaatan yang kita lakukan, dan berkurang akibat kemaksiatan
yang kita lakukan. Ruang lingkup dalam iman yang biasa dihadapi adalah:

1. Iman Kepada Allah.


2. Iman Kepada Malaikat Allah.
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Rasiul-Rasul Allah.
5. Iman Kepada Hari Akhir.
6. Iman Kepada Qadla dan Qadar.

7
BAB 4
KONSEP IBADAH DALAM ISLAM

A. Konsep Syariah tentang Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah

Manusia telah diberikan berbagai nikmat dan karunia oleh Allah SWT, baik itu nikmat
kesehatan, anggota badan, kesempatan, rezeki, dan lain sebagainya. Jumlah nikmat Allah
yang diberikan kepada manusia sangat banyak, sehingga manusia tidak mampu
menghitungnya. Untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT tersebut,
sudah seharusnya manusia bersyukur dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dalam Al-Quran Surat Az-Zumar ayat 56.

B. Konsep Maqashidus Syariah (Tujuan Syariah)

1. Menjaga Agama
2. Menjaga Diri
3. Menjaga Akal
4. Menjaga Harta
5. Menjaga Keturunan

C. Aspek Ta'abbudi dan Ta'aqquli dalam

Agama Ta'abbudi berasal dari bahasa Arab, sebagai bentuk dari kata ahhada yata'abhadu
ta'abbudan yang berarti penghambaan diri, ketundukan, kerendahan hati, ketaatan,
penyembahan, ketiadaan keinginan kecuali kepada Allah SWT. Secara istilah, ta'abbudi
adalah ketentuan hukum dalam nash (Al-Quran dan Sunnah) yang harus diterima apa adanya
dan tidak dapat dinalar secara akal. Sedangkan ta'aqquli adalah ketentuan nash yang masih
bisa diinterpretasi.

D. Thaharah, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji

1. Thaharah

Thaharah artinya bersuci. Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan


kebersihan dan kesucian, baik lahir maupun batin. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 222. a.
Najis b. Wudhu c. Mandi wajib d. Tayamum

2. Shalat

Perintah shalat diberikan kepada umat Islam secara langsung oleh Nabi Muhammad
Saw dari Allah SWT. Shalat merupakan amal yang pertama ditanyakan di akhirat, jika
shalat seseorang baik maka seluruh amalan yang lainnya akan dianggap baik. Begitu
pula sebaliknya, jika shalatnya buruk (sering ditinggalkan) maka amal yang lainnya
akan dianggap buruk. Shalat merupakan tiang agama, barang siapa mendirikan shalat,
maka ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia
merobohkan agama.

8
3. Zakat

Zakat dari segi bahasa berasal dari kata zaka yang memiliki arti berkah, tumbuh,
bersih, dan husn. Zakat dari segi terminologi berarti sejumlah harta yang diwajibkan
Allah untuk diserahkan kepada orang yang berhak. Mengeluarkan zakat hukumnya
wajib bagi seorang Muslim yang memiliki harta yang telah mencapai nisab (ketentuan
minimal yang wajib dikeluarkan zakatnya). Perintah zakat banyak kita temukan dalam
Al-Quran maupun Hadis, diantaranya terdapat dalam Quran surat Al-Baqarah ayat
110.

4. Puasa

Puasa merupakan rukun Islam yang ke-4. Puasa berasal dari bahasa Arab al-shuyam
yang merupakan kalimat mashdar dari shama-yashumu yang berarti menahan diri dari
melakukan sesuatu. Menurut istilah, puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu
yang membatalkan puasa di waktu siang dengan niat dari terbit fajar sampai terbenam
matahari.

5. Haji

Dari segi bahasa, kata haji berasal dari kata hajja yahujju hajan yang berarti berziarah,
mengunjungi, atau berkeinginan secara mutlak. Dari segi terminologi (syari’ah), haji
berarti berkunjung ke Baitullah (Ka'bah) di Makkah untuk melakukan serangkaian
perbuatan tertentu, atau berkunjung ke tempat tertentu pada waktu tertentu dengan
melakukan perbuatan tertentu. Dalam ibadah haji dikenal istilah rukun dan wajib haji.
Keduanya merupakan perkara yang harus dilaksanakan.

9
BAB 5
ETIKA, MORAL, dan AKHLAK
DALM ISLAM

A. PENGERTIAN ETIKA DAN MORAL

Etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu "ethos" dan "ethikos". Ethos berarti
sifat, watak, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau
kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika adalah studi tentang baik buruknya atau benar
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.
Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat atau bertindak. Etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk
menentukan nilai perbuatan baik atau buruk. Sedangkan ukuran untuk menetapkan nilai
tersebut adalah akal manusia.

Sementara itu, istilah moral berasal dari kata Latin "mores", yang merujuk pada adat istiadat
atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dengan demikian, moral merupakan
ajaran yang membahas tentang kebaikan dan keburukan, yang terpaut pada tradisi yang
berlaku di suatu masyarakat.

Antara etika dan moral ada perbedaan. Etika lebih bersifat kajian ilmu dan filsafat (teoritis),
sementara moral lebih bersifat praktis. Kajian etika lebih bersifat umum dibandingkan dengan
kajian moral.

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AKHLAK SERTA PERBEDAANNYA


DENGAN MORAL DAN ETIKA

Perkataan "akhlak" dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab "akhlaq", bentuk jamak
kata "khuluq" atau "al-khulq", yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, dan tabiat.

Perbedaan antara akhlak, moral, dan etika dapat dilihat dari sumber yang menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang
berguna, sesuai dengan nilai dan norma agama serta norma masyarakat, dan bermanfaat bagi
diri sendiri dan orang lain. Sedangkan yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna,
tidak sesuai dengan nilai dan norma agama serta masyarakat, dan merugikan masyarakat dan
diri sendiri. Yang menentukan baik atau buruknya suatu sikap (akhlak) yang melahirkan
perilaku atau perbuatan manusia dalam agama Islam adalah al-Qur'an yang dijelaskan dan
dikembangkan oleh Rasulullah melalui sunnah beliau yang terdapat dalam kitab-kitab hadis.

10
C. RUANG LINGKUP DAN IMPLEMENTASI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN

Mengenai ruang lingkup akhlak, ada lima bagian menurut Muhammad Abdullah Darraz:

1. Akhlak Pribadi:
a. Yang diperintahkan (awamir)
b. Yang dilarang (nawahi)
c. Yang dibolehkan (mubahat)
d. Akhlak dalam keadaan darurat

2. Akhlak Berkeluarga:
a. Kewajiban antara orangtua dan anak
b. Kewajiban suami istri
c. Kewajiban terhadap kerabat

3. Akhlak Bermasyarakat:
a. Yang dilarang
b. Yang diperintahkan
c. Kaidah-kaidah adab

4. Akhlak Bernegara:
a. Hubungan antara pemimpin dan rakyat
b. Hubungan luar negeri

5. Akhlak Beragama:
a. Kewajiban terhadap Allah SWT
b. Kewajiban terhadap Rasulullah

Menurut sistem lain, ruang lingkup akhlak meliputi:

1. Akhlak terhadap Allah Swt


2. Akhlak terhadap Rasul Saw
3. Akhlak pribadi
4. Akhlak dalam keluarga
5. Akhlak bermasyarakat
6. Akhlak bernegara

Dalam pembagian berdasarkan sifat dan objeknya, akhlak terbagi menjadi:

1. Akhlak Mahmudah (akhlak terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia),


2. Akhlak Madzmumah (akhlak tercela) atau akhlak sayyiah (akhlak yang jelek)

D. AKTUALISASI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

1. Akhlak kepada Allah Swt


2. Akhlak kepada Rasulullah
3. Akhlak kepada Ibu dan Bapak
4. Akhlak kepada diri sendiri

11
BAB 6
SUMBER HUKUM ISLAM

Kata-kata "sumber hukum Islam" merupakan terjemahan dari lafad/kata bahasa Arab
"mashdar al-hukm" atau jamaknya "mashadir al-ahkam". Istilah tersebut tidak dapat
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul
fikih klasik. Istilah ini mulai muncul sekitar akhir abad ke-14 H atau pertengahan abad ke-20
M. Untuk menjelaskan arti "sumber hukum Islam", dapat menggunakan dalil-dalil syariat (al-
adillah al-syar'iyyah) atau dalil-dalil hukum (al-Adillah al-ahkam). Penggunaan "mashadir al-
ahkam" oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu maksudnya serupa dengan istilah "al-
adillah al-syar'iyyah". Meskipun demikian, secara etimologis, kata "mashdar" atau
"mashadir" secara bahasa berarti asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya
sesuatu, dan wadah.

A. SUMBER DAN DALIL HUKUM YANG DISEPAKATI

Menurut 'Abd. Al-Majid Muhammad al-Khafawi sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi M.
Zein, ada empat sumber hukum yang disepakati, yaitu: al-Quran, Sunnah, Ijma', dan Qiyas.
Hal ini dapat dipahami melalui QS. Surat an-Nisa ayat 59:

‫َيَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّرُسوَل َو ُأوِلي األْم ِر ِم نُك ْم َفِإن َتَتَز ْعُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّرُسوِل ِإن ُك نُتْم‬
‫ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآْل ِخ ر َذ ِلَك َخْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو يًال‬

"Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya."

Sumber dan dalil hukum yang disepakati meliputi:

1. Al-Quran.
2. Sunnah Rosulullah SAW.
3. Ijma', yang secara bahasa berarti "kebulatan tekad terhadap suatu soalan" atau
"kesepakatan tentang suatu masalah". Secara istilah, Ijma' merupakan kesepakatan
para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syariah pada satu masa setelah
Rasulullah wafat. Oleh karena itu, Ijma' menjadi sumber dan dalil hukum Islam yang
ketiga, setelah Al-Quran dan Sunnah.
4. Qiyas. Secara etimologi, Qiyas diartikan oleh para fukaha dengan tiga arti, yaitu:
pertama, mengukur atau mengevaluasi sesuatu dengan cara membandingkan dengan
sesuatu lain yang ukurannya sudah pasti; kedua, kesamaan; ketiga, kumpulan antara
keduanya. Secara istilah, Qiyas adalah menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan 'illat antara keduanya. Contohnya adalah
menentukan status hukum dalam mengonsumsi narkotika.

12
BAB 7
PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERNIKAHAN

Pernikahan merupakan sunatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah cara yang dipilih oleh Allah Swt
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.

Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan
zawaj. Kedua kata ini umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab serta sering
ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadis nabi. Secara etimologis, nikah mempunyai arti
bersetubuh, bercampur, atau ijma' (hubungan seksual).

Secara terminologis, nikah dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau "mitsaqaan ghalizhan" untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah.

Tujuan pernikahan meliputi:

1. Mencegah zina.
2. Membentuk rumah tangga dan keluarga yang bahagia.
3. Menjaga keturunan yang murni dan utama.
4. Menyelenggarakan keluarga yang taat dan patuh pada syariat Islam.
5. Melindungi wanita, dengan suami sebagai pelindung dan pemimpin bagi istrinya.
6. Menciptakan persaudaraan baru. Melalui pernikahan, hubungan persaudaraan meluas,
termasuk saudara akibat perkawinan seperti besan, mertua, saudara ipar, dan
sebagainya.

B. DASAR HUKUM PERNIKAHAN

Pernikahan adalah perbuatan yang disyariatkan oleh Allah dan juga disyariatkan oleh Nabi.
Allah menegaskan banyak suruhan dalam Al-Qur'an untuk melaksanakan pernikahan, seperti
dalam surat al-Nur ayat 32 yang menyatakan, "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui."

Begitu pula, Nabi memberikan banyak nasihat kepada umatnya untuk menjalani perkawinan.
Sebagai contoh, hadis dari Anas bin Malik, sesuai riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu
Hibban, menyatakan sabda Nabi yang artinya, "Kawinilah perempuan-perempuan yang
dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyaknya kaum di
hari kiamat."

13
C. SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN

Syarat dan rukun menentukan suatu hukum, terutama yang menyangkut keberhasilan atau
keabsahan suatu perbuatan. Rukun dan syarat perkawinan merupakan hal-hal yang harus
terpenuhi dalam suatu perkawinan, baik yang menyangkut aspek internal maupun
eksternalnya.

Untuk terjadinya nikah, ada lima rukun yang harus dipenuhi, yaitu: 1) Calon suami, 2) Calon
istri, 3) Akad nikah, 4) Wali, dan 5) Saksi. Sementara itu, mahar ditempatkan sebagai syarat,
yang berarti tidak menentukan kelangsungan akad nikah, namun harus dilaksanakan dalam
masa perkawinan. Setiap rukun tersebut juga memiliki beberapa syarat:

1. Calon suami harus memenuhi syarat-syarat, seperti:


o Beragama Islam.
o Jelas bahwa dia seorang laki-laki (bukan banci).
o Tidak dalam keadaan dipaksa.
o Tidak memiliki lebih dari tiga istri.
o Tidak bersifat mahram, baik dari segi nasab, radha' (persusuan), atau
mushaharah (pernikahan).
o Tidak dalam keadaan berihram haji atau umrah.
2. Calon istri juga harus memenuhi syarat-syarat, seperti:
o Beragama Islam.
o Jelas bahwa dia seorang perempuan (bukan banci).
o Telah mendapatkan izin dari walinya.
o Tidak dalam keadaan menikah atau dalam masa iddah.
o Tidak dalam hubungan mahram, baik dari segi nasab, radha' (persusuan), atau
mushaharah (pernikahan).
o Belum pernah dituduh melakukan zina oleh calon suaminya.
o Identitasnya jelas.
o Tidak dalam keadaan berihram haji atau umrah.
3. Akad nikah dilakukan melalui kata-kata ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan),
dengan syarat-syarat tertentu:
o Orang yang berakad sudah tamyiz.
o Ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis.
o Menggunakan kata-kata tegas, seperti "saya nikahkan" atau "saya kawinkan".
o Hubungan langsung antara ijab dan qabul, misalnya jika wali menikahkan
anaknya bernama Fatimah, maka penerima laki-laki haruslah Fatimah dan
bukan anak lain.
o Tidak menggunakan ta'lik (kata-kata yang menghalangi perkawinan, misalnya
"saya kawinkan anak saya Fatimah kepada anda, jika telah lulus ujiannya").
4. Wali merupakan salah satu rukun nikah yang bertanggung jawab atas sahnya akad.
Wali tersebut harus beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil.
Wali yang berhak menjadi wali adalah: bapak, kakek, saudara laki-laki seibu atau
sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak, anak laki-laki dari saudara laki-
laki seibu, paman dari pihak bapak, anak laki-laki dari pihak paman bapak, dan
hakim. Wali harus laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi wali untuk
orang lain atau untuk dirinya sendiri.
5. Dua orang saksi juga diperlukan dalam nikah. Kehadiran saksi adalah syarat sahnya
akad pernikahan, dengan syarat-syarat yang serupa dengan syarat-syarat wali.
14

D. THALAQ, IDDAH, DAN RUJU

1. Thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan kata-kata talak


atau lainnya. Thalaq sah jika memenuhi beberapa syarat, antara lain:
o Suami harus berakal, baligh, dan mengucapkannya secara sukarela tanpa
adanya ancaman atau paksaan terhadap istrinya.
o Istri harus dalam keadaan akad nikah yang sah.

Thalaq sah jika telah diucapkan dengan kata-kata yang jelas, bukan dalam bentuk sindiran.
Jumlah talak yang diberikan oleh suami dapat mencakup talak satu, dua, atau tiga. Setelah
tiga kali talak, suami tidak bisa melakukan rujuk kecuali jika istri telah menikah dengan
orang lain, kemudian diceraikan oleh suaminya yang kedua, dan telah selesai masa iddah dari
perceraian yang kedua.

2. Iddah adalah masa menunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan setelah
diceraikan oleh suaminya sebelum dapat menikah dengan orang lain atau karena
kematian suaminya. Masa iddah bervariasi berdasarkan kondisi perempuan, seperti
yang dijelaskan dalam Al-Baqarah ayat 228 dan At-Thalaq ayat 4.
3. Rujuk adalah proses kembali suami kepada hubungan nikah dengan istrinya setelah
terjadi talak raji dan masih dalam masa iddah. Rukun rujuk meliputi persyaratan-
persyaratan, seperti izin dan kesepakatan dari istri, suami yang bertindak tanpa
paksaan, serta pengucapan kata-kata rujuk yang jelas.
15

BAB 8
ISLAM dan ANTIKORUPSI
A. PENGERTIAN KORUPSI

Istilah "korupsi" berasal dari bahasa Latin, yaitu "Corupptio" atau "Corupptus," yang
kemudian disalin menjadi "Corruption" dalam bahasa Inggris, "Corruption" dalam bahasa
Perancis, dan "Corruptie" dalam bahasa Belanda. Asumsi kuat menyatakan bahwa kata
tersebut turun ke bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Arti harfiah dari kata "korupsi" ialah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, atau kata-kata dan ucapan yang menghina atau memfitnah.

Menurut Andi Hamzah dalam kamus hukumnya, korupsi diartikan sebagai suatu perbuatan
buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang
dari kesucian, dan tidak bermoral. A Lepa menyatakan bahwa "Corruption" adalah
penawaran suap (penerimaan dan penawaran suap). Di samping itu, juga diartikan sebagai
"decay" atau kebusukan. Kata yang busuk atau rusak dalam moral atau akhlak adalah oknum
yang melakukan korupsi sesuai dengan arti "Corruptus" dalam buku Dartkel yang berjudul
"Sejarah Korupsi dan Perlawanan Zaman Awal Islam" karya Samsyul Anwar.

Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa modern seperti bahasa Inggris, kata "korupsi"
dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti dalam frasa "a corrupt manuscript"
(naskah yang rusak) atau untuk menyebut kerusakan tingkah laku yang tidak bermoral
(immoral), tidak jujur, atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Korupsi juga dapat merujuk
pada kerusakan fisik (impure), seperti dalam frasa "Corrupt air" yang berarti udara yang tidak
bersih.

Syamsul Anwar mengutip beberapa pengertian dari para ahli. Sedangkan Have Alatas
menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian dengan cara penipuan dalam situasi
mengkhianati kepercayaan. Dalam kamus Webster's Third New International Dictionary,
korupsi didefinisikan sebagai ajakan dari seorang pejabat publik dengan pertimbangan yang
tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas.

Dengan demikian, kata "korupsi" memiliki arti dan ucapan yang sangat luas. Andi Hamzah
juga menjelaskan bahwa kehidupan yang buruk di dalam penjara, misalnya, sering disebut
sebagai kehidupan yang korup, di mana segala macam kejahatan terjadi. Meskipun kata
"Corruptio" memiliki arti yang luas, seringkali diinterpretasikan sama dengan penyuapan.
Suap dalam bahasa Arab disebut "Ryswah," maka di Malaysia terdapat juga peraturan anti-
korupsi. Di sana, tidak digunakan kata "korupsi," melainkan istilah "resuah" yang tentunya
berasal dari bahasa Arab "ryswah," menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan
korupsi.

Saat ini, di Indonesia ketika orang berbicara mengenai korupsi, menurut Andi Hamzah, yang
dipikirkan hanya perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan
yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam, dan artinya tetap sesuai
walaupun kita mendekati masalah dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologi, sebagaimana
yang dilakukan oleh Syed Hussain Alatas dalam bukunya "The Sociology of Corruption,"
akan memiliki arti yang berbeda ketika kita melakukan pendekatan normatif begitu pula
dengan pendekatan politik atau ekonomi. Misalnya, Alatas membahas "Nepotisme" dalam
kelompok korupsi, yang merupakan memasukkan keluarga atau teman pada posisi
pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan, yang tentunya hal seperti itu sulit dicari
normanya dalam hukum.
16

B. ANALISIS FATWA HARAM MUI TENTANG KORUPSI

Dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal
23-27 Rabiul Akhir 1421 H / 25-29 Juli 2000, MUI membahas tentang Suap (Risywah),
Korupsi (Ghulu), dan Hadiah kepada Pejabat. Sidang tersebut kemudian menyepakati hal
berikut:

1. Memberikan isyarat dan menerima isyarat itu hukumnya adalah haram.


2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
o Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut
memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram),
demikian juga menerimanya.
o Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut
memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:

a) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada urusan apa-apa, maka memberikan dan
menerima hadiah tersebut tidak haram.

b) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan atau perkara, maka bagi pejabat
haram menerima hadiah tersebut, sedangkan bagi pemberi haram memberikannya apabila
pemberi yang dimaksud bertujuan untuk memuluskan suatu yang bukan haknya.

c) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada urusan baik sebelum maupun sesudah
pemberian hadiah, dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk suatu yang bukan haknya,
maka halal (tidak haram) bagi pemberi hadiah, tetapi haram bagi pejabat menerimanya.

Dalam memutuskan fatwa tersebut, Majelis Ulama Indonesia menyitir beberapa dalil, antara
lain: QS al-Baqarah [2]: 188 dan QS an-Nisa [4]: 29.

\
17

BAB 9
SEJARAH ISLAM

A. PENGERTIAN SEJARAH

Sejarah berasal dari bahasa Arab ("syajaratun") yang berarti "pohon". Istilah "tarikh" dalam
bahasa Arab setara dengan "waktu" dalam bahasa Indonesia. Sejarah juga terkait erat dengan
"historia" dalam bahasa Yunani yang artinya "ilmu". Sejarah mencakup kejadian yang terjadi
pada masa lampau, riwayat, serta pengetahuan atau uraian.

Sejarah adalah kumpulan fakta dari masa lalu dengan penafsiran dan penulisan yang
memberikan pemahaman tentang peristiwa yang telah terjadi. Sejarah mencakup perjalanan
manusia dalam mengembangkan dunia dari masa ke masa. Kita membentuk sejarah sekaligus
sejarah membentuk kita.

B. URGENSI MEMPELAJARI SEJARAH PERADABAN ISLAM

Sejarah memperlihatkan kebesaran Islam melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada masa lalu. Namun, di Indonesia, kesadaran akan agama kurang diimplementasikan
dalam pendidikan agama Islam di perguruan tinggi.

C. PERIODE SEJARAH

1. Klasik: Masa dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw, yang mencakup zaman
para nabi sebelum diutusnya Rasulullah saw.
2. Zaman Rasulullah: Periode saat Nabi Muhammad saw lahir hingga wafatnya, ketika
Islam berkembang dan mempengaruhi budaya-budaya sekitarnya.
3. Pemerintahan Bani Umayyah: Meliputi ekspansi Islam ke wilayah Portugal dan
Spanyol, dengan masa kejayaan di bawah pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
4. Pemerintahan Bani Abbasiyah: Masa kejayaan pendidikan Islam dan pengaruh
politik di Timur Tengah dan Asia Tengah.
5. Kerajaan Usmani: Kekaisaran Usmani, yang menjadi puncak peradaban Islam yang
berlangsung dari tahun 1281 hingga 1924.

D. SEJARAH ISLAM DI INDONESIA: Masuknya Islam ke Indonesia diperkirakan terjadi


pada abad ke-7 hingga abad ke-13, melalui kontak dengan para pedagang dari Gujarat
(India), Mekkah, serta Persia. Islam berkembang pesat di Indonesia, membentuk kerajaan-
kerajaan Islam yang kuat dan berpengaruh di wilayah Nusantara.
18

BAB 10
IKHTILAFIYAH dan PROBLEM
KONTEMPORER DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN KHILAFIYAH

Agama dipandang secara normal sebagai ajaran yang mutlak kebenarannya. Namun, ketika
agama dilihat dari aspek historis, akan ditemukan berbagai macam pemahaman sesuai dengan
pemahaman dari para pemeluk agama tersebut. Masalah khilafiyah merupakan persoalan
yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Diantara masalah khilafiyah tersebut, ada
yang diselesaikan dengan cara yang sangat sederhana dan mudah karena ada saling
pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetapi, dibalik itu, masalah khilafiyah juga bisa
menjadi ganjalan untuk menjalin kesepakatan dalam penggunaan kata-kata daur, maadhari,
dan mashdar. Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan sebagai perbedaan pendapat,
pandangan, atau sikap. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati
oleh para ulama.

Tentu saja, urusan perbedaan pendapat ini terbagi menjadi dua: titik dimana kita boleh
berbeda pendapat, namun juga ada titik di mana kita tidak boleh berbeda. Ikhtilaf yang tidak
bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip, seperti aqidah yang
paling dasar, tauhid yang esensial, serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah
terjadi perbedaan pendapat. Misalnya, tentang Tuhan kita adalah Allah SWT, dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, hal itu tidak boleh terjadi perbedaan. Ikhtilaf yang bisa
dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu' (cabang) dan dalam masalah fiqih yang tidak
prinsip.

Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat perbedaan dalam pemahaman manusia dalam
menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan buku, menangkap rahasia syariat, dan
memahami illat hukum. Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariah karena
variasi Islam tidak saling bertentangan satu sama lain.

B. MAZHAB FIQIH DAN MAZHAB PEMIKIRAN

Kita sering mendengar tentang istilah madzhab. Para ulama, khususnya, memiliki pendapat
yang berbeda. Ada Al-Hanafiyah, Al-Maliki, Asy-Syafiyah, dan Al-Hanabilah, yang
memiliki perbedaan pendapat dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang (furu'iyah).

Kata "madzhab" menurut arti bahasa ialah tempat untuk p ataupun Jalan. Dari segi istilah,
madzhab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan pengertian
ini, terdapat persamaan makna antara makna bahasa dan istilah, yang mana madzhab menurut
bahasa adalah jalan yang menyampaikan seseorang kepada satu tujuan tertentu di kehidupan
dunia ini, sedangkan hukum juga dapat menyampaikan seseorang kepada satu tujuan di
akhirat.
19

Diantara para imam tersebut adalah :

1. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki, yang merupakan aliran koh yang didirikan oleh Malik bin Anas, lahir di
Madinah pada tahun 93H-179H/759M. Karya monumentalnya adalah kitab Al Muwatta yang
merupakan kumpulan fikih dan hadis. Madzhab Maliki, dalam menyusun hukum, berpegang
pada sumber dalil yang sistematiknya meliputi kitab al-Quran, al-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas,
Amal Ahli Madinah, al-Masalih al-Mursalah, al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-'urf,
dan al-Istishab.

2. Madzhab Syafi'i

Madzhab Syafi'i mengacu pada pendapat Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i


(150H-204H/819M). Pada usianya yang masih muda, beliau berguru kepada Imam Malik,
kemudian pergi ke Irak untuk mempelajari fikihnya dari Abu Hanifah. Karya Imam Syafi'i
yang cukup terkenal adalah "Al-Risalah" dan "Al-Umm". Madzhab Hambali, dalam
menghasilkan hukum, berpegang pada sumber dalil yang meliputi al-Quran, al-Sunnah, al-
Ijma', dan al-Qiyas.

C. LATAR BELAKANG DAN FAKTOR MENYEBABKAN TERJADINYA


KHILAFIYAH

Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang merupakan kehendak Allah ketika


menciptakan manusia. Al-Quran dalam surat Hud ayat 118 menyatakan bahwa perbedaan
pendapat ini tidak dapat dihindari. Namun, terdapat titik di mana kita boleh berbeda
pendapat, dan ada titik di mana kita tidak boleh berbeda, terutama dalam prinsip-prinsip
aqidah yang fundamental seperti keimanan kepada Allah, rasul, kitab suci, malaikat, dan hari
kiamat.

Dalam Fikih Islam, perbedaan pendapat pada generasi awal meninggalkan warisan tentang
bagaimana seharusnya seorang menyikapi keragaman atau ikhtilaf. Contohnya, dalam
peristiwa shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, para sahabat Nabi menunjukkan
cara berbeda dalam menjalankan shalat tersebut. Nabi tidak menyalahkan salah satu pihak,
menegaskan bahwa ikhtilaf dalam teks yang bersifat dzhanni atau yang lafadznya
mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah alasan utama terjadinya perbedaan
ulama.

Perbedaan dalam Fikih Islam

Perbedaan dalam fikih Islam bisa terjadi karena beberapa hal, seperti perbedaan makna lafadz
dalam teks, perbedaan riwayat hadis, perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum,
tambahan terhadap nash dalam hukum, pertentangan antara dalil, dan sebagainya. Hal ini
menyebabkan banyaknya perbedaan hasil qiyas dan pendapat di antara ulama.

D. CONTOH KHILAFIYAH

Perbedaan hak ditemukan dalam kehidupan. Maka, terdapat beragam pandangan yang
memiliki struktur berbeda. Hal ini terjadi karena faktor-faktor yang telah diidentifikasi
sebelumnya. Oleh karena itu, perlu untuk memperhatikan kejelasan dan kedamaian dalam hal
perbedaan pendapat agar tidak menimbulkan dampak yang signifikan, terutama bagi umat
Islam sendiri.
20

Ada banyak hal yang telah menjadi perdebatan di kalangan umat seperti membaca basmalah
saat membaca surat Al-Fatihah, menekankan qunut pada shalat subuh, sentuhan antara kaki
perempuan yang bukan mahram dalam...

Hal yang penting untuk ditekankan adalah bahwa sebagian ulama memiliki pendapat yang
berbeda terkait suatu masalah, namun mereka saling menghormati dan menghargai pendapat
satu sama lain. Tidak ada kata-kata cemoohan atau permusuhan yang semakin memperbesar
permasalahan.

Salah satu contoh ikhtilaf adalah dalam hal membaca 'Bismillah' ketika shalat. Pada shalat
subuh, maghrib, dan isya secara berjamaah, ada perbedaan pendapat tentang pertama dan
kedua bacaan surat Al-Fatihah oleh imam. Ada beberapa pendapat tentang membaca surah
Al-Fatihah, ada yang membaca 'Bismillah' secara lirih sehingga langsung melanjutkan
membaca 'Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin'. Namun, beberapa ulama berpendapat bahwa
'Bismillah' itu bukan bagian dari Al-Fatihah dan surah-surah lainnya, kecuali yang ada di
pertengahan surah An-Naml ayat 50
21

BAB 11
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

A. ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL'ALAMIN

Pengertian Rahmatan lil'alamin Nabi Muhammad Saw merupakan Nabi dan Rasul terakhir
yang diutus untuk merentangkan tali kasih sayang kepada seluruh umat manusia di muka
bumi. Bahkan bukan hanya manusia saja, makhluk lainnya pun mendapatkan kasih sayang
yang serupa. Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah melalui berbagai fase
penyelarasan, baik dari ajaran yang berkaitan dengan tata cara berhubungan dengan Allah
Swt, maupun tata cara berhubungan dengan makhluk Allah. Diutusnya Nabi Muhammad Saw
merupakan rahmat bagi seluruh alam yang dikuatkan oleh firman Allah Swt:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
alam" (QS. Al-Anbiya 21:102). Kata 'rahmat' secara etimologi seperti dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai belas kasih, karunia, dan berkah Allah. Kata 'rahmat'
dapat diartikan sebagai belas kasih atau belas kasihan. Diutusnya Nabi Muhammad Saw yang
dilengkapi dengan agama kitab suci dan nama agama yang secara tegas disebutkan Allah
dalam Al-Quran merupakan bentuk belas kasih Allah kepada seluruh manusia di muka bumi,
baik muslim maupun non-muslim.

Dalam riwayat Ibnu Abbas, Allah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat bagi
seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Rahmat bagi orang mukmin yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan adanya Rasulullah Saw. Beliau memasukkan orang-orang
beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan
rahmat bagi orang kafir berupa tidak disegerakannya bencana seperti yang menimpa umat-
umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah, sebagaimana dalam sebuah hadis:
"Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)." (HR. Al Bukhari). Orang
yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas rahmat ini akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.

B. UKHUWAH ISLAMIYAH DAN UKHUWAH INSANIYAH

Kata 'ukhuwah' berarti persaudaraan. Maksudnya perasaan simpati atau empati antara dua
orang atau lebih. Maung masing pihak memiliki perasaan yang sama baik suka maupun duka,
baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal balik untuk saling
membantu bila pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap untuk membagi kesenangan kepada
pihak lain.

Ukhuwah dan persaudaraan yang berlaku bagi sesama muslim disebut ukhuwah Islamiyah.
Menurut Muhammad Qutb, landasan ukhuwah Islamiyah yang harus dipatokan terlebih
dahulu adalah kemurnian aqidah dan ketaatan dalam menjalankan syariah serta
berkemampuan melaksanakan pola dan penampilan akhlakul karimah. Hati dan jiwa yang
terjalani dengan penuh aqidah, adalah lebih kuat dan lebih tinggi nilainya. Persaudaraan
sesama muslim adalah persaudaraan yang tidak dilandasi oleh keluarga, suku, bangsa, dan
warna kulit, namun karena perasaan seakidah dan sekeyakinan. Nabi mengibaratkan antara
satu muslim dengan muslim lainnya ibaratkan satu tubuh. Apabila ada satu bagian yang sakit,
maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak sempurna
iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri."
22

C. PRINSIP KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA

Prinsip-prinsip kerukunan antar umat beragama dalam Islam ditegaskan dalam Al-Quran,
sunnah Rasulullah Saw, dan ajaran para ulama, sekarang dan masa lalu. Prinsip-prinsip itu
antaa lain: Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama.

D. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK AGAMA

Menurut KH. Manaf Amin, ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik agama,
diantaranya sebagai berikut:

1. Pemahaman agama yang radikal


2. Kepentingan politik
3. Pendirian tempat ibadah
4. Penyiaran agama
5. Salah paham informasi diantara pemeluk agama
6. Tidak efektifnya penegakan hukum
7. Kurangnya pengembangan sistem pencegahan konflik secara dimi

E. UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA KONFLIK AGAMA

Dari berbagai faktor penyebab di atas, maka upaya pencegahan terjadinya konflik agama
sebagai berikut:

1. Perlu ditingkatkan peran ulama dalam meluruskan kesalahan pemahaman agama


umatnya.

)99 ‫ولو شاء ربك ألمسك الذين في األرض كلهم جميعًاۖ أفأنت ُتكره الَّناَس حَّتٰى َيُك وُنوا ُم ْؤ ِمِنيَن (اليونس‬

Allah mengatakan bahwa jika Dia menghendaki, Dia bisa memaksa semua orang di bumi
menjadi mukmin. Namun, apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?

‫آُتوا ِإَلٰى َك ِلَم ٍة َس َو اٍء َبْيَنَنا َو َبْيَنُك ْم ۖ َأاَّل َنْع ُبَد ِإاَّل َهَّللا َو اَل ُنْش ِر َك ِبِه َشْيًئا َو اَل َيَّتِخ َذ َبْعُضَنا َبْعًضا َأْر َباًبا ِم ْن ُدوِن ِهَّللاۚ َفِإْن َتَو َّلْو ا‬
)64 ‫َفُقوُلوا اْش َهُدوا ِبَأَّنا ُم ْس ِلُم وَن (آل عمران‬

Allah mengajak kita untuk berbicara kepada orang-orang yang berbeda keyakinan untuk
bersama-sama menyatakan bahwa kita hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-
Nya. Jika mereka tidak menerima, katakanlah, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (Muslim)."

Allah Swt tidak melarang orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil, tidak memusuhi, dan
tidak mengusir penganut agama lain selama mereka tidak memusuhi, mengusir, atau
menentang agama Islam. Hal ini dinyatakan dalam QS. Al-Mumtahanah:

‫اَل َيْنَهاُك ُم ُهَّللا َع ِن اَّلِذ يَن َلْم ُيَقاِتُلوُك ْم ِفي الِّديِن َو َلْم ُيْخ ِر ُجوُك ْم ِم ْن ِدَياِرُك ْم َأْن َتَبُّر وُهْم َو ُتْقِس ُطوا ِإَلْيِهْم ۚ ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْقِسِط يَن‬
)8 ‫(الممتحنة‬

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari tempat tinggalmu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
23

BAB 12
KONSEP HIJARAH dan JIHAD

A. MENGETAHUI MAKNA HIJRAH DAN JIHAD

Kata 'hijrah' menurut etimologi berasal dari Bahasa Arab, "hajara-yahjuru hijratan ()", yang
artinya pindah atau meninggalkan. Sedangkan, 'hijrah' menurut terminologi atau syariah, para
ulama memberikan definisi yang berbeda karena banyaknya makna yang terkandung dalam
hijrah.

Menurut Ahzami Samiun Jazuli, definisi hijrah secara syar'i yang bisa dikaji adalah: Pertama,
menurut ar-Raghib al-Asfahani, al-Hijri atau al-Hijran yang artinya seseorang yang
meninggalkan yang lainnya, baik secara fisik, perkataan, bahkan hati, untuk mendekatkan diri
dengan kebiasaan baik, berbeda pendapat, serta untuk menganalisis suatu permasalahan.
Meninggalkan dosa-dosa dan kesalahan, serta hal-hal yang menjauhkan diri dari keberkahan.
Contoh yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Jadi, definisi hijrah adalah perubahan dari satu
keadaan menuju keadaan yang lebih baik, halal, aman, dan tentram dari keadaan sebelumnya.
Kata 'hijrah' mengandung beberapa pengertian, baik dalam pengertian literal maupun
pengertian kontekstual. 'Hijrah' adalah bentuk isim mashdar dan kata 'jahada-yahidu-
mujahadaran-jihaadan' merujuk pada perpindahan hak.

Secara etimologi, 'jihad' berarti mencurahkan usaha, kemampuan, dan tenaga. Dengan kata
lain, ia berarti bersungguh-sungguh. Makna 'jihad' menurut para Ahli yaitu: Di dalam kamus
"al-Mawrid" karya Albaki, 'jihad' berarti perjuangan di jalan keyakinan (keimanan). Quraish
Shihab menyatakan bahwa 'jihad' diambil dari kata 'jahd', yang berarti usaha keras atau sulit.
Karena 'jihad' memang sulit dan menyebabkan keletihan. 'Jihad' juga bisa bermakna 'juhd',
yang berarti kemampuan sebesar kemampuan.

Landasan 'jihad' dalam Islam terdapat dalam kitab suci al-Qur'an, hadis, dan yuhad oleh
ulama. Dalam al-Qur'an, landasan tersebut antara lain terdapat dalam ayat-ayat sebagai
berikut:

)6 :‫َو َم ن َج اَهَد َفِإَّنَم ا ُيَج اِهُد ِلَنْفِسِهۚ ِإَّن َهَّللا َلَغ ِنٌّي َع ِن اْلَع اَلِم يَن (العنكبوت‬

"Barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya ia berjuang untuk dirinya sendiri.


Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. Al-
Ankabut: 6)

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-
Baqarah: 218)
24

Dalam hadis, landasan 'jihad' antara lain dapat ditemukan dalam hadis-hadis berikut:

"Hijrah itu tidak akan berakhir sampai hari kiamat. Ulama mengatakan, hijrah dari darul harbi
ke darus salam tetap diperintahkan. Keutamaan hijrah dari darul harbi ke darul Islam tidaklah
berkurang, meskipun keutamaan hijrah sebelum peristiwa fathu Mekkah tetap berlanjut.
Hadits ini ditafsir oleh ulama pada dua pandangan. Pertama, tidak ada perintah untuk hijrah
dari Mekkah setelah peristiwa fathu Mekkah karena Mekkah akan selalu menjadi darul harbi,
sehingga tak terbayangkan untuk hijrah. Kedua, tak ada hijrah setelah fathu Mekkah yang
keutamaannya melampau keutamaan hijrah sebelum peristiwa fathu Mekkah. Demikianlah,
dalam pengertian 'hijrah', bahwa hijrah terus-menerus dilakukan dalam arti luasnya.
Sedangkan 'jihad' merupakan bagian dari hijrah yang dimaksud."

Dan berbagai keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perintah 'hijrah' secara fisik
bersifat wajib di awal penyebaran agama Islam atau dalam kondisi darurat, seperti awal
pergerakan kemerdekaan 1945-1946. Sedangkan dalam suasana kondusif, seperti saat ini,
hijrah dan jihad dipahami sebagai upaya maksimal umat Islam untuk meningkatkan kualitas
hidup dan mengatasi masalah yang berkembang di masyarakat, seperti dampak ekstraksi atas
lingkungan hidup, kasus korupsi, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, politik uang,
pengelolaan sampah, sistem pendidikan, permasalahan anak-anak dan perempuan, atau
pelayanan publik, serta berbagai masalah lainnya.

B. LANDASAN HIJRAH DAN JIHAD

Landasan jihad dalam Islam terdapat dalam kitab suci Al-Qur'an, hadis, dan ulama. Di dalam
Al-Qur'an, landasan jihad ditegaskan dalam beberapa ayat, seperti:

1. "Barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya dia berjuang untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta."
(Surat Al-Ankabut 29:6)
2. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah,
mereka mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Surat Al-Baqarah 2:218)

Dalam hadis, landasan jihad dapat ditemukan dalam hadis-hadis berikut:

1. "Diharamkan darah, daging babi, dan apa yang disembelih atas nama selain Allah.
Diharamkan pula binatang yang disiksa, yang terbakar hidup-hidup, yang jatuh dari
tempat tinggi, yang dimakan oleh binatang buas sebagian besar atau telah mati
terlebih dahulu, yang diterkam binatang buas, yang disembelih untuk berhala. Dan
diharamkan pula untuk mengundi nasib dengan anak panah." (HR. Bukhari dan
Muslim)
2. "Barangsiapa yang menjual Al-Kitab (Al-Qur'an) dengan harga yang tidak benar,
maka ia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat. Dan umat-umat sebelum kalian
telah saling mengambilnya dan menyepakatinya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. "Sesungguhnya Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang
benar untuk diperlihatkan kepada seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik
tidak menyukainya." (Surat At-Taubah 9:33)

Setiap pemeluk agama memiliki kebebasan untuk mengamalkan syariat agamanya masing-
masing. Bagi umat Islam, agama mereka adalah agama yang diamalkan sesuai dengan syariat
Islam, dan bagi pemeluk agama lain, mereka mengamalkan agama sesuai dengan syariat
mereka masing-masing.
25

BAB 13
MODERASI BERAGAMA
A. PENGERTIAN MODERASI BERAGAMA

Moderasi berasal dari Bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an, yang
mencerminkan penguasaan diri dari sikap ekstrem. Dalam konteks agama, moderasi
menunjukkan sikap wajar, tidak ekstrem, dan tidak terlalu kelebihan atau kekurangan.

Para ahli memberikan pemahaman yang berbeda terkait moderasi beragama:

1. Prof. Quraish Shihab menjelaskan moderasi beragama sebagai "wasathiyah", yang


bermakna pertengahan dari segala sesuatu. Ayat Al-Baqarah 143 dijadikan titik tolak
moderasi beragama.
2. Prof. Aryumardi Azra menekankan bahwa di Indonesia, moderasi beragama tercermin
dalam Islam Wasathiyah. Umat Islam di Indonesia menerima prinsip-prinsip
kebangsaan dan mampu mengintegrasikan agama dengan nilai-nilai kebangsaan.
3. Prof. Komaruddin Hidayat menyoroti bahwa moderasi beragama muncul karena
adanya ekstremisme kanan dan kiri. Moderasi berada di tengah-tengah kedua kutub
tersebut, menghargai teks agama sekaligus merespons realitas kontemporer.
4. Lukman Hakim Saifuddin menekankan bahwa moderasi beragama berkaitan dengan
cara seseorang beragama, bukan dengan substansi agama itu sendiri. Agama pada
dasarnya sudah moderat, namun pemahaman manusia yang terbatas dapat
menghasilkan pemahaman yang ekstrem.

Secara umum, moderasi beragama dalam Islam menekankan pada sikap tengah, tidak
ekstrem, dan mampu menjadikan agama sebagai instrumen untuk menghargai umat agama
lain. Islam dilihat sebagai agama yang penuh dengan keberkahan dan moderat, dan yang
perlu dimoderasi adalah cara seseorang memahami dan mengamalkan ajaran Islam sesuai
dengan konteksnya.

B.LANDASAN MODERASI BERAGAMA

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan antara dua
hal, seperti keseimbangan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban,
kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, serta
antara teks agama dan ijtihad, juga keseimbangan antara gagasan ideal dan kenyataan, serta
antara masa lalu dan masa depan.

Menurut Quraish Shihab, moderasi (wasathiyyah) memiliki dua pilar penting (Zamimah,
2018): Pertama, pilar keadilan yang mengartikan kesetaraan dalam hak. Keadilan berarti
penempatan yang tepat bagi sesuatu, tanpa mengurangi atau membesarkan haknya, melainkan
memberikan hak-haknya kepada yang berhak melalui jalan yang tepat. Kedua, pilar
keseimbangan, yaitu terpenuhinya syarat dan kadar tertentu di dalam kelompok untuk
mencapai tujuan bersama, tidak harus sama bagi setiap bagian unit agar tetap seimbang.

Konsep wasathiyyah menjadi penengah antara dua hal yang berseberangan. Penengahan ini
tidak menerima pemikiran radikal dalam agama, namun juga tidak mengabaikan kandungan
Al-Qur'an sebagai dasar hukum utama. Wasathiyyah lebih cenderung toleran serta tidak
merenggang dalam memaknai ajaran Islam.
26

Al-Qardhawi menyatakan bahwa wasathiyyah (pemahaman moderat) merupakan salah satu


karakteristik khusus Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi lain. Seperti yang dijelaskan
dalam Al-Qur'an al-Baqarah ayat 143, Islam menjadi "umat pertengahan" yang menjadi saksi
atas perilaku manusia serta Rasul sebagai saksi atas umat Islam itu sendiri.

Hukum yang adil merupakan tuntutan dasar bagi setiap struktur masyarakat. Hukum yang
adil menjamin hak-hak setiap individu sesuai dengan kesejahteraan umum, serta diiringi oleh
perilaku yang sesuai dengan berbagai peraturannya.

C.PRINSIP-PRINSIP MODERASI BERAGAMA

Ajaran Islam memiliki prinsip-prinsip modrasi yang harus dipahami. Prinsip-prinsip moderasi
Islam antara lain:

1. Toleransi (Tasamuh) Toleransi pada dasarnya berarti kemuliaan, lapang dada, dan
ramah. Sikap toleransi dalam Islam ditampilkan dalam Al-Quran terkait dengan sikap
interaksi sosial yang terbuka dan saling mengenal. Islam memberikan pemahaman
tentang toleransi dalam menghadapi perbedaan sebagai bagian dari kehidupan. Al-
Quran menegaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
untuk saling mengenal dan menghormati. Dalam konteks moderasi Islam, perilaku
toleran menjadi prasyarat utama untuk kehidupan bersama yang aman dan penuh
saling menghormati.
2. Keseimbangan (Tawazun) Ajaran Islam mengajarkan keseimbangan dalam
mempertimbangkan kehormatan dari segi jasmani, akal, dan rohani. Islam
menyelaraskan wahyu Ilahi dengan akal manusia dan memberikan ruang bagi
keduanya.Dalam kehidupan pribadi, Islam mendorong keseimbangan antara roh dan
akal, antara akal dan hati, serta antara hak dan kewajiban.

3. Keberagaman (Tanawwu') Keberagaman adalah fenomena yang tak terhindarkan.


Islam mengakui keberagaman dalam suku, ras, agama, dan keyakinan sebagai bagian
dari ciptaan-Nya. Islam menolak kebencian terhadap manusia dan mengajarkan untuk
tidak menyalahpahami ajaran agama yang dianut orang lain.
4. Keteladanan (Uswah) Seorang Muslim harus menjadi teladan bagi yang lainnya dan
menjadi penyeru kebaikan. Keteladanan ini merupakan bagian dari dakwah yang
mengajak kepada kebaikan dan harus didasarkan pada akhlak yang mulia.

D. MODERASI BERAGAMA DI ERA 4.0

Era 4.0 atau revolusi industri 4.0 telah mengubah pola pikir, kehidupan, dan cara kerja
manusia. Dalam konteks ini, moderasi beragama mencakup usaha membawa pemahaman
moderat, sikap tengah-tengah, dan menghindari ekstremisme dalam beragama serta
menghormati akal yang berpikir bebas.

Moderasi beragama dapat menjadi kerangka dalam mengelola masyarakat Indonesia yang
multikultural melalui diskusi, penyebaran, dan implementasi. Kehadiran narasi keagamaan
yang moderat menjadi kebutuhan umum di era teknologi digital, di mana ruang digital
mempengaruhi eksistensi manusia secara signifikan. Teknologi digital dapat menjadi sarana
penyebaran pesan moderasi agama dan jihad di era milenial melalui berbagai media sosial.
27

Teknologi digital yang berkembang pesat di era 4.0 mampu menjadi katalisator dalam
menyebarkan pesan moderasi agama. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebarkan pesan-
pesan positif, memberi motivasi untuk perbuatan baik, menentang pandangan yang negatif,
dan membangun jaringan yang kuat.
28

BAB 14
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN SENI
DALAM ISLAM

A.MAKNA ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN SENI

Islam mengajarkan bahwa ilmu dan pengetahuan berasal dari Allah. Al-Quran, seperti pada
ayat al-Baqarah (2:32) dan al-'Alaq (96:5), menegaskan bahwa Allah menyediakan wahyu
dan alam semesta sebagai sumber ilmu dan pengetahuan bagi manusia. Allah memberikan
manusia panca indra, akal, dan hati sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dari dua
sumber ini.

Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan alur pengetahuan yang kausal dan
menghasilkan produk berupa teori dan teknologi. Teknologi, yang berasal dari kata Yunani
'technologia', merujuk pada keahlian dan pengetahuan yang menjadi sarana memberikan
kenyamanan dan kemudahan bagi manusia. Awalnya, teknologi terbatas pada benda
berwujud seperti alat atau mesin, namun seiring waktu, maknanya meluas hingga mencakup
perangkat lunak, metode pembelajaran, bisnis, pertanian, dan lainnya.

Selain ilmu pengetahuan dan teknologi, seni juga dikenal sebagai ekspresi akal dan budi
manusia dalam budaya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang mencerminkan
keindahan dan kebenaran. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh manusia menjadi
karya seni, yang lahir dari dorongan jiwa yang mengandung nilai-nilai keindahan.
Kemampuan berseni merupakan perbedaan manusia dengan makhluk lain, tetapi dalam
Islam, seni harus sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan.

Islam memerintahkan manusia untuk menghasilkan kesenian yang baik (ma'ruf) yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Sementara kesenian yang tidak sesuai (munkar) tidak diperintahkan
dalam ajaran Islam. Islam menghargai kreativitas manusia yang sejalan dengan fitrah
manusia yang suci. Hadis menyebutkan bahwa Allah adalah Maha Indah dan menyukai
keindahan.

B.IMAN, ILMU DAN AMAL SEBAGAI KESATUAN

Teknologi dan seni memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis. Menurut pandangan
Islam, terdapat integrasi antara agama, ilmu pengetahuan, dan sistem yang disebut sebagai
dinul Islam. Dinul Islam terdiri dari tiga unsur pokok: akidah, syari'ah, dan akhlak, atau
dalam kata lain, iman, ilmu, dan amal shalih.

Keutuhan iman, ilmu, dan amal sebagai akidah, syariah, dan akhlak menyiratkan bahwa
antara ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Iman diibaratkan
sebagai akar pohon yang menjadi dasar, ilmu adalah batang yang menghasilkan dahan dan
cabang-cabang ilmu pengetahuan, sementara amal adalah buah dari pohon tersebut yang
identik dengan teknologi dan seni.

Dalam ajaran Islam, iman, ilmu, dan amal membentuk kesatuan yang utuh yang tidak
terpisahkan satu sama lain. Amalan dalam Islam tidak memiliki nilai ibadah tanpa didasari
oleh iman dan taqwa. Demikian pula, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
memiliki nilai ibadah dan manfaat bagi manusia serta lingkungannya jika tidak ditempuh atas
dasar iman.

29

Agama (iman) berfungsi memberikan arah bagi seorang ilmuwan dalam mengamalkan
ilmunya. Dengan didasari oleh keimanan yang kuat, pengembangan ilmu dan teknologi akan
selalu terkendali dalam jalur yang benar. Sebaliknya, tanpa dasar keimanan, ilmu dan
teknologi dapat disalahgunakan sehingga mengakibatkan kehancuran bagi orang lain dan
lingkungan.

Dalam ajaran Islam, tidak ada pertentangan antara iman, ilmu pengetahuan (dan teknologi),
dan amal saleh. Iman dan ibadah merupakan wahyu dari Allah, sementara ilmu pengetahuan
diperoleh manusia dari Allah melalui penelitian terhadap alam semesta ciptaan-Nya. Apabila
ilmu pengetahuan bertentangan dengan iman, maka ilmu tersebut perlu direfleksikan kembali.
Dalam Al-Quran, surat At-Taubah ayat 122 menunjukkan bahwa meskipun dalam suasana
peperangan, menuntut ilmu tidak boleh diabaikan, terutama ilmu agama. Nabi Muhammad
juga menegaskan kewajiban tiap orang Islam, baik pria maupun wanita, dalam mencari ilmu.

Antara wahyu, akal, agama, dan ilmu harus selaras dan saling mengarahkan. Akal merupakan
sumber ilmu yang terpisah satu sama lain, namun agama tetap membimbing agar tidak lepas
dari nilai-nilai. Dengan demikian, Agama Islam bersumber dari wahyu Allah Swt, sementara
ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil
penyelidikan alam untuk mencari kebenaran ilmiah. Dalam Islam, ilmu pengetahuan dan
teknologi dipandang sebagai kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Islam memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan sebagai cerminan penghargaan terhadap manusia itu sendiri.

C. ISLAM DAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INDUSTRI 4.0

Islam selalu relevan dengan kemajuan zaman. Berdasarkan sejarah perkembangannya,


teknologi mengalami perubahan perangkatnya yang biasa disebut sebagai era revolusi
industri. Saat ini, masyarakat dunia sudah memasuki era revolusi industri 4.0, yaitu semakin
majunya industri digital yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia.

Islam memandang teknologi sebagai suatu keharusan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad
Saw bahwa "antum a'lamu bi umuri al dunyakum" (kamu sekalian lebih mengetahui urusan
duniamu). Motivasi dalam wahyu yang pertama turun adalah agar setiap umat Islam dapat
membaca suatu realitas dan mengembangkan berbagai potensi dari realitas tersebut.
Kemajuan teknologi pun secara positif sangat membantu aktivitas masyarakat muslim baik
dalam beribadah maupun bermuamalah. Sebagai contoh, bagaimana muslim diberikan
kemudahan dengan banyaknya aplikasi Al-Quran digital, aplikasi waktu shalat, aplikasi
penentuan arah kiblat, kitab-kitab fiqh digital, tafsir dalam bentuk aplikasi, dan lain
sebagainya.

Dalam bidang media dakwah, teknologi juga sangat membantu eksistensi dakwah muslim.
Pada abad ke-14, Sunan Kali Jaga memanfaatkan wayang sebagai media dakwah yang
menggambarkan figur antagonis, protagonis, dan tritagonis sebagai sarana mengedukasi
masyarakat untuk memosisikan diri sebagai figur-figur tersebut dalam kehidupan nyata,
sebagaimana yang diilustrasikan oleh penokohan wayang. Wayang merupakan produk
teknologi pada masa itu, dan jika diimplementasikan pada saat ini, kita bisa menemukannya
pada berbagai platform seperti website, YouTube, kajian melalui Zoom, Google Meet, dan
aplikasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan media dakwah untuk mengajarkan
akhlak di era modern saat ini sangat terbuka dan memiliki media yang komprehensif untuk
menginternalisasikan nilai-nilai Islam.
30

Namun, perlu ditekankan bahwa teknologi juga memiliki dampak negatif. Informasi
berkembang begitu cepat dan menyebar di lingkungan masyarakat, termasuk budaya Barat
yang berdampak negatif terhadap eksistensi budaya masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini
mewajibkan umat Islam untuk lebih cerdas dalam mengadopsi budaya-budaya tersebut.
Karena perkembangan teknologi semacam ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan
dampak negatif baik pada individu maupun masyarakat dalam jangka panjang.

Generasi muslim milenial sudah seharusnya menjadi pionir dalam menyaring fenomena-
fenomena semacam ini sebagai upaya menjaga etika dan moral Islam yang telah kuat
tertanam di Indonesia. Budaya free sex, individualisme, hedonisme, hingga radikalisme yang
mulai menghinggapi generasi muslim di Indonesia harus segera dinetralisir dengan
pendekatan konstruktif yang dipimpin oleh para cendekiawan muslim, akademisi, termasuk
siswa dan mahasiswa.

D. TANGGUNG JAWAB ILMUWAN TERHADAP LINGKUNGAN

Pada hakikatnya, setiap individu hidup di tengah suatu tatanan lingkungan hidup yang telah
diciptakan oleh Allah Swt. Kita harus memanfaatkan keberadaannya, sambil
mempertahankan fungsi dan kualitasnya. Sebagaimana amanat Tuhan kepada manusia, dunia
secara keseluruhan adalah suatu tatanan lingkungan hidup yang terbesar.

Ilmuwan memiliki tanggung jawab besar terhadap lingkungan. Dalam menjalankan peran
sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga
keseimbangan alam dan lingkungannya. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi
serta menggali sumber daya alam, dan untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Dalam
menggali sumber daya alam ini, ilmu pengetahuan yang memadai sangat dibutuhkan. Hanya
orang-orang yang berilmu lah yang dapat mengemban tugas ini.

Sumber daya alam yang Allah sediakan untuk manusia harus dilestarikan agar tidak habis
terkuras. Oleh karena itu, ilmuwan yang mengendalikan alam ini harus memiliki landasan
keimanan dan akhlak yang kuat agar lingkungan alam dapat terjaga kelestariannya.
Kerusakan yang terjadi di alam sebenarnya juga disebabkan oleh ulah tangan manusia yang
mengelola alam. Mereka yang merusak alam tidak dapat menjaga amanah sebagai khalifah
Allah di bumi.

Orang berilmu, baik disebut sebagai ilmuwan, ulama, ataupun saintis (ahli sains), adalah
orang yang istimewa karena keahliannya. Keistimewaan ini menimbulkan konsekuensi tugas
dan tanggung jawab, baik secara vertikal (kepada Allah) maupun secara horisontal (kepada
sesama makhluk). Hal ini perlu ditegaskan karena ada kalanya seseorang menuntut ilmu agar
dianggap pandai dan dipuji oleh orang lain. Padahal, dalam sebuah hadis, Nabi SAW
mengingatkan, "Janganlah kamu menuntut ilmu untuk saling membanggakan diri di hadapan
para ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan menyombongkan diri di depan majelis.
Karena siapa yang melakukannya hendaknya ia berhati-hati dengan api neraka" (H.R. Ibnu
Majah).

Islam tidak menyangkal adanya kebebasan manusia untuk menggunakan ilmunya, dengan
syarat bahwa dalam penggunaan itu tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Ilmu
seharusnya tidak digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi sesama manusia atau
mengeksploitasi sumber daya alam secara serampangan.
31

E. ISLAM DALAM MENGHADAPI MODERNITAS

Kemajuan zaman atau yang sering disebut sebagai modernitas merupakan suatu hal yang
telah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah). Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, masyarakat dunia semakin maju dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam bidang transportasi, teknologi informasi, dan komunikasi. Hal ini
telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, yang jika tidak ditanggapi
dengan bijaksana, bisa memiliki efek negatif bagi umat Islam.

Dalam menghadapi modernitas, kita harus selalu berupaya agar modernitas selalu sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Jika kita melihat ke masa lalu, terutama pada fase pertengahan,
terdapat fase kemunduran peradaban umat Islam karena filsafat dan ijtihad mulai dijauhkan
dari umat Islam sehingga ada kecenderungan pertentangan antara akal dengan wahyu, iman
dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pemikiran yang berkembang saat itu adalah perpecahan
antara agama dan ilmu, urusan dunia, dan urusan akhirat.

Oleh karena itu, semangat bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari potensi internal yang
dimiliki oleh umat Islam. Umat Islam sebenarnya memiliki potensi besar secara individual
untuk maju, namun secara kolektif, umat Islam masih memiliki banyak kelemahan. Salah
satu kelemahan tersebut adalah perselisihan dalam hal perbedaan fiqh furu'iyah (yang bukan
masalah asasi) yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan, seperti penggunaan qunut dalam
shalat Subuh. Sebaliknya, energi umat Islam seharusnya diarahkan untuk mengkaji ayat-ayat
Al-Qur'an dan fenomena alam semesta guna mengembangkan ilmu pengetahuan.Umat Islam
harus memiliki keyakinan yang kuat untuk bangkit dari keterpurukan dengan memanfaatkan
seluruh potensi yang dimilikinya.

F. PERAN MASJID DALAM MEMBANGUN PERADABAN UMAT ISLAM

Masjid memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan peradaban umat Islam.
Pada awal perkembangan Islam, masjid tidak hanya menjadi tempat untuk shalat, tetapi juga
menjadi pusat berbagai kegiatan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan agama,
ilmu pengetahuan, politik kemasyarakatan, dan sosial. Berbagai aktivitas seperti diskusi
kritis, kajian, dan pengembangan pengetahuan agama serta umum, menjadikan masjid
sebagai pusat pertumbuhan intelektual dan spiritual pada masa itu.

Kata "masjid" berasal dari bahasa Arab, "sajada", yang berarti tempat sujud atau tempat
menyembah Allah SWT. Fungsi utama masjid adalah sebagai tempat shalat, ibadah kepada
Allah, dan tempat spiritual bagi umat Islam. Dalam banyak ayat Al-Quran, termasuk QS. At-
Taubah ayat 18, masjid ditekankan sebagai tempat yang harus dipelihara oleh orang-orang
yang beriman, menjalankan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapapun kecuali
Allah SWT.

Memakmurkan masjid merupakan perintah bagi umat Islam. Masjid bukan hanya bangunan
fisik, tetapi juga meluas pada pengertian bahwa segala tempat di bumi dapat dijadikan
masjid, tempat untuk menyembah Allah SWT.

Dalam konteks fungsinya, masjid memiliki dua peran utama: sebagai pusat ibadah ritual dan
pusat kegiatan sosial. Pada intinya, fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan
umat Islam. Inti dari memakmurkan masjid adalah menjaga shalat berjamaah, yang
merupakan salah satu pilar penting dalam Islam. Keberhasilan dalam memakmurkan masjid
dapat diukur dari sejauh mana umat Islam antusias dalam menjaga shalat berjamaah di
masjid.
Memakmurkan masjid memiliki makna yang luas, yaitu menyelenggarakan berbagai kegiatan
keagamaan dan beribadah, sehingga masjid menjadi terpelihara dan berfungsi dengan baik.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Abul Fadhal Jamaluddin. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2010.
2. Ahmad Putra Prasetio Rumondor. "Eksistensi Masjid di Era Rasulullah dan Era
Millenial." Jurnal Tasamuh, Vol. 17 No. 1, Tahun 2019.
3. Ahmad Sarwat. Fiqih dan Khilafiyah. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2021.
4. Ajat Sudrajat, dkk. Dinul Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum. Yogyakarta: UNY Press, 2016.
5. Akhmadi, Agus. "Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia." Jurnal Diklat
Keagamaan, Vol. 13, no. 2, Pebruari - Maret 2019.
6. Ali Imran Sinaga. Fikih I: Taharah, Ibadah, Muamalah. Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2011.
7. al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang
Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah. Bandung: Mizan, Cetakan I, 2010.
8. Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana, 2003.
9. Anita, Vivi Sofia. Manusia yang Dicintai dan Dibenci Allah: Kunci Menjadi Kekasih
Allah Swt. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
10. Azra, Azyumardi. Jihad, Khilafah, Terorisme. Bandung: PT. Pustaka Mizan, 2017.
11. Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Bandung: PT Raja
Grapindo Persada, 2000.
12. Darwin Une dkk. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi. Gorontalo: Ideas
Publishing, 2015.
13. Eko Zulfikar & Ahmad Zainal Abidin. "Ikhtilaf al-Mufassirin: Memahami Sebab-
Sebab Perbedaan Ulama dalam Penafsiran Al-Quran." Jurnal At-Tibyan, Vol 4 No 2
Tahun 2019.
14. Ramli Abdul Wahid. Fikih Ramadan: Menyibak Problematika Fikih Ibadah Terkait
dengan Bulan Mubarak. Medan: Perdana yang Publishing, 2017.
15. Rifat Husnul Ma'afi. "Konsep Jihad Dalam Perspektif Islam." Jurnal Kalimah: Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam 11, No. 1, (2013).
16. Romli. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
17. Roswati Nurdin. "Manusia dalam Sorotan Al-Quran (Suatu Tinjauan Tafsir
Maudhui)." Jurnal Tahkim Vol. IX, no. 1 (Juni 2013).
18. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunah 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
19. Semarang ‫والفقه الدين أصول النجالي سفينة مان‬, Salim bin Sumair al Hadrami. Usaha
Keluarga, tt.
20. Satria Effendi M.Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019.
21. Setiawan Budi Utomo. Fiqh Aktual. Jakarta: Gema Insani, 2003.
22. Shihab M. Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhuiy Atas Berbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan, tt.
23. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbäh, Vol. XIV. Ciputat: Lentera Hati, Cetakan II,
2009.
24. Shihab, Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.
25. Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Syariah: Produk-Produk dan Aspek-Aspek
Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
26. Syamsul Anwar. Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal
Islam: Perspektif Islam. Jakarta: Jurnal Islam Interdislipiner, 2005.
27. Tengku Iskandar. Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur, 1996.
28. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid 1 Terj. Jakarta: Gema Insani,
2011.
29. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 3. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Anda mungkin juga menyukai