Anda di halaman 1dari 14

PERBANDINGAN ALIRAN KALAM TERHADAP PERBUATAN DAN

SIFAT TUHAN

Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Solihin M.Ag

Disusun Oleh :
Alvi Iswatin HK 1201060009
Azkia Nur Ipada 1201060012
Ibnu Taimiah 1201060031
Iman Muttakin 1201060036
M Rizal Oktafian U 1201060043

JURUSAN ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUING
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya
kepada kita selaku hamba ciptaan-Nya. Shalawat dan juga salam tak lupa mari kita
curah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Muhammad SAW juga kepada
keluarga dan sahabat, serta mudah- mudahan kita mendapatkan syafaat beliau di
akhirat kelak. Aamiin
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah dalam tepat
waktu. Alhamdulillah kami ucapkan, karena pada dasarnya makalah tidak akan
selesai jika Allah tidak berkehendak menolong hambaNya. Sejatinya makalah ini
penyusun coba uraikan dalam bentuk tulisan bertujuan untuk menjelaskan salah satu
materi dari perkuliahan yang telah dosen pengampu sampaikan kepada kami.
Adapun kami mengambil sumber dari beberapa artikel jurnal dan juga
memanfaatkan fasilitas lainnya sebagai penunjang dalam penyusunan makalah ini.
Harapan dari kami adalah, semoga makalah ini dapat memenuhi tugas mata kuliah
terkait dan mendapatkan nilai maksimal serta bisa bermanfaat bagi kami sendiri
khususnya, umumnya bagi banyak orang yang membaca makalah ini.

Bandung, 07 Desember 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB 1.........................................................................................................................................
PENDAHULUAN.................................................................................................................
1.1 Latar Belakang Penelitian.............................................................................................
1.2 Rumusan Penelitian........................................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................................
BAB II.......................................................................................................................................
PEMABAHASAN.................................................................................................................
2.1 Perbuatan Tuhan............................................................................................................
2.2 Sifat Tuhan......................................................................................................................
BAB III.......................................................................................................................................
PENUTUPAN.......................................................................................................................
3.1 Simpulan dan Penutup...................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sejak bermulanya peristiwa artibtrase pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib,
muncul golongan-golongan yang menyatakan kesetiaan pada khalifah, keluar dari
kesetiaan pada khalifah dan yang mengambil jalan tengah. Namun pada
perkembangannya beberapa golongan ini berkembang pada pemahaman mengenai
akidah. Dalam bidang akidah, muncul pemikiran filosofis yang melahirkan Ilmu
Kalam atau Teologi dengan aliran-aliran dan beragam argumennya. Diantaranya
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah. Mereka banyak memakai rasio dalam caranya
memahami teologi. Ada golongan Asy’ariyah yang cenderung sedikit memakai akal
dalam pemikiran akidahnya. Maturidiyah justru memberi kedudukan tinggi kepada
akal dalam pemikiran teologinya, bercorak rasional dan lebih dekat kepada paham
aliran Mu’tazilah.1 Mu’tazilah menganut paham Qodariyah yang mana kebebasan
manusia dalam berbuat serta berkehendak, dan paham sunnatullah yakni paham yang
memandang bahwa ala mini diatur Tuhan melalui hukum alam ciptaan-Nya,
sedangkan Asy’ariah menganut paham fatalism dan menolak adanya sunnatullah
yang mengatur alam semesta.

Persoalan-persoalan kalam yang muncul menimbulkan perdebatan yang responsif


dengan saling menguatkan argumen sesuai cara berpandangannya. Hal ini juga
merambat pada perbuatan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Bagaimana Tuhan berkehendak
terhadap makhluknya, mengenai sifat Tuhan antara yang Qadim, sifat jasmani Tuhan,
bahkan yang berpendapat bahwa Tuhan tidak tersifati apapun. Beberapa aliran yang
begitu responsif terhadap hal ini adalah aliran kalam fatalis yang diwakili oleh
Qadiriah dengan konsep free-will and free act nya dan aliran Mu’tazilah. Adapula
aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang bersikap mengambil jalan tengah.

1.2 RUMUSAN PENELITIAN


1
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998).
1. Bagaimana perbuatan Tuhan menurut teologi islam?
2. Bagaimana sifat Tuhan menurut teologi islam?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui perbuatan Tuhan menurut teori islam
2. Untuk mengetahui sifat sifat Tuhan menurut teori islam
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perbuatan Tuhan


a. Menurut aliran Mu’tazilah
Pandangan aliran mu’tazilah terbilang rasional terhadap hal-hal yang
dianggap baik. Dalam hal perbuatan Tuhan, mu’tazilah meyakini bahwa
Tuhan hanya menciptakan yang baik, dan tidak akan melakukan hal-hal yang
buruk. Keyakinan ini dimaknai dari ayat Alquran yang termaktub dalam surah
Al-Anbiya ayat 23:
َ‫اَل يُ ْسـَٔ ُل َع َّما يَ ْف َع ُل َوهُ ْم يُ ْسـَٔلُوْ ن‬
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang
akan ditanya.”
Dan surah Ar-Rum : 8:

ِّ ‫ض َو َما بَ ْينَهُ َمٓا اِاَّل بِ ْال َح‬ ‫اَولَم يتَفَ َّكرُوْ ا ف ٓي اَ ْنفُسهم ۗ ما َخلَ َ هّٰللا‬
ِ َّ‫ق َواَ َج ٍل ُّم َس ّمًىۗ َواِ َّن َكثِ ْيرًا ِّمنَ الن‬
‫اس‬ َ ْ‫ت َوااْل َر‬
ِ ‫ق ُ السَّمٰ ٰو‬ َ ِْ ِ ْ ِ َ ْ َ
َ‫بِلِقَ ۤاِئ َربِّ ِه ْم لَ ٰكفِرُوْ ن‬

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?


Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan
sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar mengingkari
pertemuan dengan Tuhannya.”

Seorang tokoh Mu’tazilah yakni Qadhi Abdul Jabbar (w. 415/1024),


menafsirkan maksud dari ayat-ayat diatas bahwa Tuhan tidak akan ditanya
mengenai perbuatan-Nya, tetapi manusia lah yang akan tentang apa yang
mereka perbuat. Al-Jubba’i menjelaskan bahwa Tuhan hanya berbuat yang
baik dan Maha Suci dari perbuatan bururk. Dengan demikian Tuhan tidak
perlu ditanya. Al-Jubba’i menjelaskan bahwa seseorang yang dikena baik
apabila secara nyata berbuat baik sebenarnya tidak perlu ditanya kenapa
perbuatan itu dilakukan. Ayat terakhir dikatakan oleh al-Jubba’i mengandung
petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-
perbuatan yang buruk. Apabila Tuhan melakukan perbuatan buruk,
pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan
hak, tentu tidak benar atau merupakan berita bohong.2

Konsep pemikiran Mu’tazilah ini melahirkan konsekuensi adanya


kewajiban-kewajiban Tuhan yang mengharuskan adanya perbuatan-perbuatan
baik bagi seluruh alam. Aliran ini menyimpukan berdasarkan konsekuensi-
konsekuensi tersebut ada istilah yang disebut ‫( الصالح واألصلح‬berbuat baik dan
terbaik bagi manusia) yakni kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang
terbaik bagi manusia. Konsekuensi-konsekuensi tersebut diantaranya:

a) Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.


b) Kewajiban mengirimkan Rasul
c) Kewajiban menepati janji3
b. Aliran Asy’ariyah
Pendapat Mu’tazilah tentang ash-shalah wa al-ashlah memunculkan
perdebatan di kalangan asy’ariyah. Asy’ari mempunyai keyakinan bahwa
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu bersifat jaiz yakni tidak
wajib. Al-Ghazali (1055-1111) mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban
berbuat ash-shalah wa al-ashlah. Tuhan berkehendak sekehendak hati-Nya
terhadap makhluk terhadap makhluk.
Pertentangan juga terdapat pada paham Mu’tazilah mengenai
kewajban Tuhan. Al-Asy’ari tegas mengatakan dalam kitab Al-Luma’ bahwa

2
Muhammad Yusuf Yunan, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa, 1990).
3
Abdul Rozak and Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Pustaka Setia, 2018).
Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul manusia. Demikian
pun Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad.4
Meskipun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi,
aliran Asy’riah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan
dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap
manusia. Mengenai kewajiban mengirimkan Rasul, paham serupa ini dapat
membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus Rasul
kepada umat manusia, hidup mereka a kan mengalami kekacauan. Karena,
tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk.
Manusia berbuat yang dikehendakinya. Sesuai dengan paham asy’ariyah
tentang kekuasan dan mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahn bagi
teologi mereka. Tuhan berbuat yan dikehendakinya. Apabula Ia menghendaki
manusia hidup dalam masyarakat kacau, itu tidak menjadikan apa-apa. Tuhan
dalam paham Asy-ariyah tidak bebuat untuk kepentingan manusia. 5
Dalam pandangan mu’tazilah mengenai janji dan ancaman, respon
asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiaban menepati
janji dan menjalankan ancaman yang tersebutdalam al-Qur’an dan hadis.
Adapun maksud dari ayat Alquran yang menyebutkan ancamanNya terhadap
orang-orang yang akan dimasukkan ke dalam neraka, disebutkan dalam
Bahasa Arab ‫من‬artinya barangsiapa dan ‫ الــــذين‬artinya orang-orang
dimaksudkan hanya Sebagian orang saja bukan seluruh manusia. Dalam artian
jika seseorang telah berbuat apa yang Tuhan telah larang maka
konsekuensinya adalah masuk neraka. Dan hal itu telah menjadi ketentuan
yang dijanjikan Tuhan terhadap makhluk-Nya.
c. Aliran Maturidiyah
Membicarakan aliran Maturidiyah berarti membagi kepada dua golongan
antara Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Aliran maturidiyah

4
Yusuf Yunan.
5
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986).
Samarkand membatasi perbuatan Tuhan hanya berada pada hal-hal yang
dianggap baik. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang Maturidiyah
Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.6 Namun Maturidiyah Bukhara
berpendapat berbeda pada pengiriman Rasul bersifat wajib, yakni Tuhan
mungkin saja berkehendak mengirimkan Rasul.
Mengenai pemberian beban yang di luar batas kemampuan manusia
Maturidiyah Bukhara juga berpendapat demikian. Namun Mturidiyah
Samarkand menentangnya dengan berpendapat sejalan dengan Mu’tazilah.
Dalam syarh fiqh al-akbar Maturidiyah tidak setuju dengan pendapat aliran
Asy’ariyah yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak membebani manusia
dengan kewajiban-kewajiban yang berat sebagaimana dalam al-Quran. Karena
manusia lah yang menentukan dan meqwujudkan perbuatnnya, bukan Tuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa aliran pandangan-pandangan
Maturidiyah Bukhara lebih condong pada aliran Asy’ariyah, Muatidiyah
Bukhara tidak sejalan dengannya pada hal janji dan ancaman. Tuhan tidak
mungkin melanggar janji kepada orang-orang yang telah berbuat baik
begitupun sebaliknya. Oleh karenanya, Tuhan mutlak memberikan kehendak
kepada siapapun yang Dia kehendaki. Orang-orang yang berbuat kebaikan
boleh jadi Tuhan tidak memasukkannya ke dalam surga, begitupun orang
yang sudah berbuat dosa boleh jadi Tuhan berkehendak memasukkan dia ke
dalam surga.

2.2 Sifat-Sifat Tuhan

a. Aliran Mu’tazilah

Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.


Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
6
Yusuf Yunan.
mempunyai hajat dan sebagainya.7 Para pengikut aliran Mu’tazilah terpecah
lagi dalam tiga golongan mengenai sifat Tuhan, yaitu:

a. Kelompok yang meyakini bahwa Allah tidak boleh dinyatakan selalu


bersifat pencipta ataupun bukan pencipta, tidak boleh pula dinyatakan
selalu pemberi ataupun bukan pemberi, begitupun dengan sifat-sifat
perbuatan lainnya. Anggapan ini dikemukakan oleh Abbad ibn Sulaiman.
b. Kelompok yang beranggapan bahwa Allah itu selalu bersifat bukan
pencipta ataupun bukan pemberi. Bahkan kalua ditanyakan kepada mereka
apakah Allah pun selalu bukan yang adil? Maka jawabannya adalah Allah
itu bukan selalu yang adil dan bukan pula yang kejam, bukan selalu yang
baik dan bukan pula yang jahat, bukan selalu yang baik dan buka pula
yang bohong. Sebab kalau hanya dinyatakan Allah itu bukan selalu yang
benar saja, niscaya timbul keraguan (jangan-jangan) Dia pun selalu yang
bohong. Tetapi kalau tidak sampai timbul keraguan sebagaimana halnya
dengan pernyataan Allah selalu pencipta atau pemberi, maka hendaklah
dinyatakan Dia itubukan selalu pencipta dan bukan pula pemberi. Adapun
anggapan ini dikemukakan oleh al-Jubba’i.8
c. Kelompok yang beranggapan bahwa Allah itu bukan selalu pencipta dan
bukan pula pemberi. Tetapi mereka tidaklah menyatakan Dia pun bukan
selalu yang adil, bukan yang baik, bukan yang Pemurah, bukan yang
Benar dan bukan pula yang Santun tidak secara terbatas dan tidak secara
mutlak kalau dlaam hal iini tidak tmbul keraguan. Adapun anggapan ini
dikemukakanoleh penduduk Baghdad dan Bashrah.9
b. Aliran Asy’ariyah

7
Rosihon Anwar and Taufiq Rahman, Al-Asy’ari: Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2000).
8
Nasir Yusuf and Karsidi Diningrat, Terjemah Maqalat Al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf Al-Mushallin
(Bandung: Pustaka Setia, 1998).
9
Buku di iman
Pandangan asy’ariyah ini lagi-lagi membantah apa yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah. Mereka dengan tegas menyatakan Tuhan
itu mempunyai sifat. Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan
sebagainya. Bahkan Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-
sifat yang mana tidak boleh diartikan secara harfiah namun secara
simbolis, metafora. Dalam artian sifat-sifat Allah tidak secara tampak
mirip dengansifat yang dimiliki oleh makhluk.
Paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan mendorong kaum
Asy’ariyah berpendapat demikian. ‘sifat’ mengandung arti tetap dan
kekal, sedangkan ‘keadaan’ mengandung arti berubah. Oleh karena itu
mengenai Tuhan tidak mempunyai sifat namun hanya memiliki keadaan,
tentu pernyataan ini ditentang. Untuk mempertahankan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, Tuhan harus mempunyai sifat-sifat yang kekal. 10
Adapun ayat-ayat Alquran yang dijadikan sandaran Asy’ari dalam
menopang pendapat di atas adalah surah Al-Qiyamah ayat 22-23, Al-A’raf
ayat 143, dan surah Yunus ayat 26.
c. Aliran Maturidiyah
Dalam hal ini Maturidiyah berpendapat sama dengan Asy’ariyah.
Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat sifat-sifat
seperti sama’, bashar, dan sebagainya.11 Perbedaan terdapat pula dalam
pemaknaan hal ini yaitu sifat tidak di katakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah dzat
tanpa terpisah.
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna cenderung
mendekati paham Mu’tazilah. Sedikit perbedaannya adalah tentang
adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-
sifat Tuhan. Sementara, Maturidiyah Bukhara tetap mempertahankan

10
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
11
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiah (Kairo: Dar al-Fikr).
kekuasaan mutlak Tuhan yakni mempunyai sifat-sifat. Hanya saja, Tuhan
itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Sedangkan golongan Samarkand
dalam hal ini tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, melainkan tidak lain dari
Tuhan.12 Mengenai sifat jasmani yang ada pada Tuhan semuanya diartikan
dengan kekuasaan Tuhan.13
d. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah
senantiasa bersifat tahu. Sebagian dari golongan syi’ah Rafidhah
memandang bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum Ia
menghendakinya. Ketika Ia menghendaki sesuatu, Ia pun bersifat tahu.
Makna Allah menurut mereka adalah Allah mengeluarkan Gerakan
(taharraka harkah) maknanya, Ketika Gerakan itu muncul, Ia akan bersifat
tahu terhadap sesuatu. Ketika tidak ada Gerakan, tidak dapat dikatakan Ia
bersifat tahu terhadap sesuatu.14
Sebagian mereka berpendapat bahwa Allah senantiasa mengetahui
dan pengetahuan-Nya itu merupakan sifat dzat-Nya. Ia tidak dapat disifati
bersifat tahu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana pula manusia tidak
dapat disifati melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu dengan
sesuatu itu.15

BAB III

PENUTUPAN
3.1 Simpulan

12
Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
13
Yusuf Yunan.
14
Anwar and Rahman.
15
Anwar and Rahman.
Mengenai perbuatan Mu’tazilah, aliran ini menyimpukan berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi tersebut ada istilah yang disebut ‫الصــالح واألصــلح‬
(berbuat baik dan terbaik bagi manusia) yakni kewajiban Tuhan berbuat baik,
bahkan yang terbaik bagi manusia. Sedangkan aliran Asy’ariyah bertolak
belakang dengan apa yang diungkapkan oleh Mu’tazilah. Membicarakan
aliran Maturidiyah berarti membagi kepada dua golongan antara Maturidiah
Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Aliran maturidiyah Samarkand
membatasi perbuatan Tuhan hanya berada pada hal-hal yang dianggap baik.
Demikian juga pengiriman Rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan. Namun Maturidiyah Bukhara berpendapat berbeda pada
pengiriman Rasul bersifat wajib, yakni Tuhan mungkin saja berkehendak
mengirimkan Rasul.
Adapun perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan, Kaum mu’tazilah
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan
sebagainya. Pandangan asy’ariyah ini lagi-lagi membantah apa yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah. Mereka dengan tegas menyatakan Tuhan itu
mempunyai sifat. Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya.
Bahkan Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mana
tidak boleh diartikan secara harfiah namun secara simbolis, metafora. Dalam
artian sifat-sifat Allah tidak secara tampak mirip dengansifat yang dimiliki
oleh makhluk.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiah (Kairo: Dar al-Fikr)


Anwar, Rosihon, and Taufiq Rahman, Al-Asy’ari: Prinsip-Prinsip Dasar Aliran
Teologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Nasution, Harun, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998)

———, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI


Press, 1986)

Rozak, Abdul, and Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Pustaka Setia, 2018)

Yusuf, Nasir, and Karsidi Diningrat, Terjemah Maqalat Al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf Al-
Mushallin (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

Yusuf Yunan, Muhammad, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa,
1990)

Anda mungkin juga menyukai