PENDAHULUAN
Sebagai makhluk, keberadaan manusia di bumi merupakan suatu kontrak (akad) kehidupan,
sehingga manusia diberi hak mengelola seluruh potensi ciptaan Tuhan untuk kemaslahatan manusia
dan kemanusiaan. Penghambaan adalah adalah akad (kontrak) tentang mekanisme hubungan vertikal
manusia dengan Tuhan di samping hubungan horizontal dengan sesama ciptaan Tuhan. Sedangkan
kekhalifahan adalah akad (kontrak) tentang pendelegasian kewenangan Tuhan kepada manusia untuk
bertindak atas nama pemegang otoritas pemeliharaan dan pemanfataan seluruh ciptaan Tuhan dalam
kerangka pengabdian kepada Tuhan pula.
Akad memiliki arti penting bagi manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Karena akad merupakan dasar dalam berbagai aktivitas manusia. Melalui akad pernikahan seorang
laki-laki disatukan dengan seorang perempuan dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri.
Lebih luas lagi, semua relasi manusia baik antar individu maupun kelompok tidak terlepas dari akad
untuk memfasilitasi setiap aktivitasnya.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan
ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan
ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum
tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa
merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang
dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi
yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut.
Akad sebagai salah satu produk hukum (syariah dan fikih) yang mengalami banyak
pengembangan sesuai dengan perkembangan manusia dari masa terdahulu (klasik), sampai pada
masa kini dan masa yang akan datang, akan selalu berkembang mengikuti perkembangan sistem
ekonomi, dan tetap mempertahankankan subtansinya di tengah-tengah pertarungan ekonomi global,
sebagai bagian dari produk hukum Islam, dan bagian dari syariat (wahyu) yang lebih menjamin
kemaslahatan manusia.
Sebagai nilai, akad dalam ekonomi syariah atau ekonomi Islam dapat melebur ke dalam sistem
ekonomi di dunia ini untuk menjadi penyaring dan penyeimbang, sehingga sistem perekonomian yang
ada berjalan secara stabil ke arah tujuan perekonomian untuk kebaikan semua pihak (al-mashlahah
al- ’âmmah).
Berdasarkan latar belakang di atas maka artikel ini akan membahas masalah akad dalam
transaksi ekonomi Syariah dan Bagaimana pengembangan akad dalam transaksi ekonomi syariah saat
kini dan akan datang?.
Pengertian Akad
Akad merupakan bidang kajian hukum ekonomi Islam atau muamalah. Term akad berasal dari
bahasa Arab, al-‘aqd, yang berarti “mengikat, menyambung atau menghubungkan (Kairo: ‘Isa al-Babi
al-Halabi, 1947).”Secara terminologis hukum Islam, akad memiliki beberapa definisi, namun secara
prinsip dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu:
(1) Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, bahwa akad merupakan
pertemuan gaib yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan
akibat hukum pada objek akad(Kairo: Dar al-Furjani, 1403H/1983 M)
(2) Menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak
dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007),
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami adanya keterkaitan atau hubungan hukum.
Pertama, akad merupakan pertemuan atau keterkaitan ijab dan kabul yang mendorong munculnya
akibat hukum. Karena ijab merupakan penawaran yang diajukan oleh satu pihak, sedangkan kabul
adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak
yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu
sama lain. Sebab akad menghendaki keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam
ijab dan kabul.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak, karena di dalam akad pertemuan ijab
yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak sedangkan kabul yang menyatakan kehendak pihak
lain. Tindakan hukum satu pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau pelepasan tidak
termasuk akad, karena tindakan-tindakan itu bukan merupakan tindakan dua pihak, sehingga tidak
membutuhkan kabul. Sebagian besar ulama fiqaha memang memisahkan secara tegas kehendak
sepihak dari akad, tetapi sebagian yang lainnya menjadikan akad mencakup kehendak sepihak. Bahkan
ketika membahas berbagai ragam akad khusus, para fuqaha tidak membedakan antara akad dan
kehendak sepihak sehingga membahas pelepasan hak, wasiat dan wakaf bersama-sama dengan
pembahasan jual-beli, sewa menyewa, termasuk diskusi tentang hibah sebagai transaksi yang harus
membutuhkan ijab dan kabul atau ijab saja.
Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Jelasnya, tujuan akad
adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan
akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad.” Tercapainya akad tercermin pada
terciptanya akibat hukum. Misalnya, maksud para pihak dalam akad jual beli adalah untuk melakukan
pemindahan atas suatu benda dari penjual kepada pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh
pembeli. Terjadinya pemindahan milik tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli.(Ibid h70-71)
Dalam rangka merealisasikan hukum akad, para pihak memikul beberapa kewajiban yang
sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual beli, penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli dan pembeli berkewajiban menyerahkan harga
yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad. Sedangkan akibat hukum
akad dibedakan atas dua macam, yakni: (1) hukum pokok akad adalah akibat hukum yang ditentukan
oleh syara, seperti dalam jual beli berupa pemindahan milik atas suatu barang dari penjual kepada
pembeli dengan suatu imbalan dari pembeli; (2) hukum akad tambahan adalah akibat hukum yang
ditentukan oleh para pihak sendiri, misalnya penyerahan barang di rumah pembeli atau penjual
pengantar ke tempat pembeli dan sebagainya.
Perkembangan Akad
Formulasi akad-akad dalam hukum ekonomi syariah yang menjelma menjadi produk-produk
keuangan dibangun di atas asas-asas syariah yang fundamental. Setidaknya ada empat asas utama
yang harus dijadikan landasan dalam pengembangan akad dan produk ekonomi dan keuangan
syariah.
Pertama adalah Maslahah, berarti semua aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar
pertimbangan kemaslahatan, dalam arti ; mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan
mudharat/bahaya ( jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid) Konsekuensi logis dari asas ini ada dua hal,
pertama, segala bentuk bisnis dan keuangan yang mendatangkan manfaat (utility) dan kebajikan
adalah maslahah dan karena itu ia adalah syariah. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh Mata
wujidatil maslahah fa tsamma syar’ul (Segala sesuatu yang mengandung maslahah, hal itu adalah
syariah). Kedua bahwa segala bentuk mu’amalat yang dapat merusak (mafsadat) atau mengganggu
kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti riba, spekulasi, perjudian, penipuan, penjualan
narkotika secara tidak sah, prostitusi dan sebagainya.
Kedua, asas kemudahan (taysir) , keringanan (takhfif) dan ‘adamul haraj(menghindarkan
kesulitan). Taysir, takhfif dan ‘adamul haraj memiliki makna yang identik, karena itu ketiganya
dipandang sebagai satu asas. Jadi, asas kedua dalam syariah Islam adalah kemudahan, keringanan dan
menghindarkan kesulitan. Namun banyak orang yang tidak memahami syariah, menganggap syariah
itu sulit dan ribet. Padahal sangat banyak ayat Alquran dan hadits yang menyebutkan bahwa syariah
Islam menghendaki kemudahan dan menolak kesulitan.
Sejumlah ayat Alquran menunjukkan dengan tegas tentang asas kemudahan dan keringanan
ini. Sebagaimana dalam firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185 “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Pengembangan produk-produk keuangan dan perbankan syariah harus didasarkan kepada
asas dan prinsip ini, agar lembaga bisnis dan keuangan syariah cepat berkembang, lincah, lues dan
fleksibel dan menghadapi kemajuan bisnis kontemporer. Mengabaikan prinsip kedua ini akan
membuat produk dan gerak bank syariah menjadi kaku dan rumit. Atas dasar asas taysir (dan tentu
saja maslahah juga), maka Fatwa DSN membolehkan kartu kredit syariah, Pembiayaan Rekening Koran
Syariah. Atas dasar asas ini pula syariah membolehkan hedging untuk tujuan maslahah, Margin During
Contruction untuk Pembiayaan Pertanian, pembiayaan multiguna,KTA syariah, refinancing pada
bentuk-bentuk tertentu, commodity syariah, pembiayaan property indent dengan Musyarakah
Mutanaqishah, Ijarah maushufah fiz zimmah, Sewa-beli (bay’ al-istikjar), bay’ wafa’. Bay istighlal, bay
taqsith. Semuanya didasarkan kepada prinsip kemudahan dan kemaslahatan.
Ketiga adalah asas kebolehan, yang biasa disebut Mubah, artinya segala bentuk aktifitas
dalam ekonomi (mu’amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan
lain oleh suatu dalil. Prinsip (kaidah) ini merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu
transaksi ekonomi. Saya tidak sependapat dengan pihak yang beranggapan bahwa praktik ekonomi
syariah banyak membawa kesulitan. Menurut hemat saya, kaidah syariah di atas menunjukkan bahwa
hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu’amalat baru
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Atas dasar itu, maka dikembangkan teori-
teori hybrid contracts, pemilihan system anuitas pada murabahah, mudharabah muntahiyah bit
tamlik, mudharabah bil wadi’ah (gabungan akad mudharabah dan wadi’ah), sewa beli (lease and
purchase ; tanpa akad janji hibah), gabungan hiwalah dan syirkah pada factoring.
Keempat adalah Adil, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya
keadilan dan keseimbangan (al-’adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan
memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi
yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus
memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan
perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya
untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus
ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko kerugiannya juga
lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga
menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih
keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-
ghurmu bil-ghunmi. Setiap investor yang menerima keuntungan dari investasi, harus siap menerima
kerugian ketika bisnis mengalami kerugian (al-kharaj bidh-dhaman).
Sistem akad yang dulu dikenal lebih simpel dalam fikih klasik mengalami banyak
pengembangan sesuai dengan kebutuhan transaksi ekonomi saat ini yang menuntut aturan yang lebih
kompleks dengan pelbagai istilah akad. Misalnya, dalam perbankan syariah dikenal istilah akad
mudhârabah, musyârakah, ijârah, dan bay’ dengan pelbagai pengembangan. Juga dalam asuransi
syariah dengan beberapa istilah takâful.
Sebagai perbandingan, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah akad atau kontrak saat kini,
di antaranya seperti dalam tulisan oleh Afzalur Rahman dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Syariah,
yaitu: Pertama, dalam akad tersebut harus ada penawaran dan persetujuan. Kedua, memiliki maksud
untuk menciptakan hubungan kerja. Ketiga, jelas tujuannya dan disertai dengan adanya
pengurus/pelaksana. Keempat, mengetahui syarat-syarat dari pihak yang mengadakan akad. Kelima,
ada perizinan yang sah; Keenam, tujuannya halal; dan ketujuh, ada jangka waktu yang berlaku(Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 337.)
Dalam unsur-unsur yang harus ada dalam (syarat dan rukun) akad tersebut terdapat beberapa
hal yang dikemukakan masih berpatokan pada prinsip-prinsip dasar akad menurut fikih klasik,
meskipun lebih rinci dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan kebijakan pemerintah, seperti
pada poin ketiga yang menuntut disebutkannya pihak pelaksana akad, dan poin kelima, yaitu adanya
perizinan yang sah.
Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam ketentuan-ketentuan pokok akad mudhârabah,
yaitu: Pertama, modal harus dalam standar uang. Kedua, modal dipercayakan kepada dhârib
(pelaksana). Ketiga, keuntungan harus tidak terbatas. Keempat, keuntungan dapat ditaksir. Kelima,
barang harus diketahui secara pasti.( Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 33). Ketentuan-
ketentuan tersebut merupakan penjabaran dan rincian dari ketentuan-ketentuan umum sebelumnya.
Penjabaran dan pengembangan akad mudhârabah tersebut juga berlaku pada akad-akad lain dalam
ekonomi syariah.
Pentingnya pengembangan akad dalam ekonomi syariah, khususnya di Indonesia, kemudian
melahirkan banyak aturan-aturan perundangan yang memberi peluang luas bagi terlaksananya akad-
akad tersebut dalam transaksitransaksi lembaga keuangan, seperti dalam UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dengan Sistem Bagi Hasil(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), bahkan menjadi satu
kemajuan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU Peradilan Agama No. 7
Tahun 1989 mengenai Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Kasus Persengketaan
Ekonomi Syariah, dan akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam
(KHEI).
Aturan perundang-undangan tersebut merupakan legitimasi terhadap keberadaan sistem
ekonomi dengan sistem syariat Islam di Indonesia. Dalam hal ini, sistem ekonomi tersebut mengacu
pada akad-akad yang telah diatur dalam syariat Islam, termasuk dalam hal ini akad yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fikih klasik sebelumnya dengan beberapa pengembangan yang disesuaikan pada
suasana masyarakat Indonesia yang majemuk. Misalnya akad yang dapat dilakukan dalam reksadana
syariah dengan emiten (pemilik perusahaan) yaitu dengan akad mudhârabah dan akad jual
beli(Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia) Juga dalam perbankan syariah
dengan kegiatan penghimpun dana, penyaluran dana, dan jasa pelayanan, semuanya dapat dikelola
dengan akad wadî’ah, mudhârabah, murâbahah, salam, ijârah, qardh al-hasan, wakâlah, hawâlah, dan
sebagainya.
Mengingat perkembangan tersebut dan tantangan pengembangan kewenangan bagi
peradilan agama di Indonesia sehingga dituntut adanya sebuah produk fikih baru sesuai dengan
kondisi Indonesia saat ini. Permasalahan tersebut sekurang-kurangnya dapat terjawab dengan
lahirnya kompilasi hukum Islam dalam bidang ekonomi sebagaimana yang telah diwacanakan di atas.
Walaupun masih dalam taham wacana dan rencana yang akan segera dilaksanakan, tetapi hal
tersebut akan memberi jalan keluar terhadap permasalahan rumit yang banyak dipertanyakan tentang
kemampuan peradilan agama dalam menangani sengketa dan permasalahan ekonomi, sebab dengan
lahirnya kitab KHEI tersebut akan menjadi sumber materiil bagi peradilan agama di Indonesia dan
dasar bagi penelitian selanjutnya.
PENUTUP
Akad dalam muamalah adalah apa saja yang diikatkan oleh seseorang atas suatu urusan yang
harus ia kerjakan atau untuk tidak ia kerjakan, karena adanya suatu kemestian yang mengikat atasnya
sesuai ketentuan-ketentuan (syarat dan rukun) syariat Islam. Hal tersebut juga dikenal dengan istilah
lain, yaitu: perjanjian, perikatan, maupun kontrak.
Ekonomi syariah atau ekonomi Islam adalah bagian dari sistem muamalah dalam Islam yang
memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya di dunia, terutama dalam hal
prinsip-prinsip syariat, akidah, dan akhlak.
Akad dalam transaksi ekonomi syariah atau ekonomi Islam dari masa ke masa mengalami
banyak pengembangan dan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan penguasa di
mana ia berada. Hal ini dijiwai oleh sistem muamalah Islam yang sifatnya sangat fleksibel sesuai
dengan perkembangan manusia, bahkan akan menjadi kaku dan salah apabila sistem dan rumusan
tersebut tidak mengikuti kemaslahatan hidup manusia.
Daftar Pustaka
Hamid, M. Arfin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2007.
Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, Jakarta: elSAS, 2007. Haroen, Nasrun, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,
2001.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1975. Departemen Agama RI,
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama,
2003.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Yamani, Ahmad
Zaki, Syariat Islam yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini, Bandung: t.tp., 1980.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1984
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2000.
Huqûq wa al-Mâliyah wa al-‘Uqûd, t.tp., Abdullah wa Hibatuh, 1995.
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktik Ekonom Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progressif, t.th. Rafiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th.