Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah

Ahmad Faisal Ilham1, Dr. Muammar Khadafi, SE,M.,Si,Ak2


Program Studi Akuntansi,Universitas Malikussaleh, Jl.Kampus Unimal Bukit Indah, Blang
Pulo, Kec.Muara Satu,Kabupaten Aceh Utara, Aceh 24355
ahmad.200420204@mhs.unimal.ac.id
ABSTRAK
Akad memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Akad menjadi bagian dari produk hukum
Islam dan syariat (wahyu) yang lebih menjamin kemaslahatan manusia. Sebagai nilai, akad dalam
ekonomi syariah atau ekonomi Islam dapat melebur ke dalam sistem ekonomi di dunia ini untuk
menjadi penyaring dan penyeimbang sehingga sistem perekonomian yang ada berjalan stabil ke arah
tujuan perekonomian untuk kebaikan semua pihak. Akad tidak lepas dari yang namanya transaksi.
Transaksi yang dilakukan antar manusia selalu membawa perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini
memunculkan bentuk transaksi yang belum ada sebelumnya, bahkan bisa memberi kemudahan bagi
tiap orang yang melakukan transaksi. Perkembangan yang signifikan ini harus bisa diiringi dengan
pemahaman yang baik mengenai proses terjadinya transaksi dengan melihat akar terbentuknya akad,
apakah sudah sesuai dengan aturan yang disyariatkan atau belum.
Kata Kunci: Akad, Transaksi, Ekonomi Syariah

PENDAHULUAN
Sebagai makhluk, keberadaan manusia di bumi merupakan suatu kontrak (akad) kehidupan,
sehingga manusia diberi hak mengelola seluruh potensi ciptaan Tuhan untuk kemaslahatan manusia
dan kemanusiaan. Penghambaan adalah adalah akad (kontrak) tentang mekanisme hubungan vertikal
manusia dengan Tuhan di samping hubungan horizontal dengan sesama ciptaan Tuhan. Sedangkan
kekhalifahan adalah akad (kontrak) tentang pendelegasian kewenangan Tuhan kepada manusia untuk
bertindak atas nama pemegang otoritas pemeliharaan dan pemanfataan seluruh ciptaan Tuhan dalam
kerangka pengabdian kepada Tuhan pula.
Akad memiliki arti penting bagi manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Karena akad merupakan dasar dalam berbagai aktivitas manusia. Melalui akad pernikahan seorang
laki-laki disatukan dengan seorang perempuan dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri.
Lebih luas lagi, semua relasi manusia baik antar individu maupun kelompok tidak terlepas dari akad
untuk memfasilitasi setiap aktivitasnya.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan
ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan
ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum
tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa
merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang
dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi
yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut.
Akad sebagai salah satu produk hukum (syariah dan fikih) yang mengalami banyak
pengembangan sesuai dengan perkembangan manusia dari masa terdahulu (klasik), sampai pada
masa kini dan masa yang akan datang, akan selalu berkembang mengikuti perkembangan sistem
ekonomi, dan tetap mempertahankankan subtansinya di tengah-tengah pertarungan ekonomi global,
sebagai bagian dari produk hukum Islam, dan bagian dari syariat (wahyu) yang lebih menjamin
kemaslahatan manusia.
Sebagai nilai, akad dalam ekonomi syariah atau ekonomi Islam dapat melebur ke dalam sistem
ekonomi di dunia ini untuk menjadi penyaring dan penyeimbang, sehingga sistem perekonomian yang
ada berjalan secara stabil ke arah tujuan perekonomian untuk kebaikan semua pihak (al-mashlahah
al- ’âmmah).
Berdasarkan latar belakang di atas maka artikel ini akan membahas masalah akad dalam
transaksi ekonomi Syariah dan Bagaimana pengembangan akad dalam transaksi ekonomi syariah saat
kini dan akan datang?.

Pengertian Akad
Akad merupakan bidang kajian hukum ekonomi Islam atau muamalah. Term akad berasal dari
bahasa Arab, al-‘aqd, yang berarti “mengikat, menyambung atau menghubungkan (Kairo: ‘Isa al-Babi
al-Halabi, 1947).”Secara terminologis hukum Islam, akad memiliki beberapa definisi, namun secara
prinsip dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu:
(1) Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, bahwa akad merupakan
pertemuan gaib yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan
akibat hukum pada objek akad(Kairo: Dar al-Furjani, 1403H/1983 M)
(2) Menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak
dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007),
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami adanya keterkaitan atau hubungan hukum.
Pertama, akad merupakan pertemuan atau keterkaitan ijab dan kabul yang mendorong munculnya
akibat hukum. Karena ijab merupakan penawaran yang diajukan oleh satu pihak, sedangkan kabul
adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak
yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu
sama lain. Sebab akad menghendaki keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam
ijab dan kabul.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak, karena di dalam akad pertemuan ijab
yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak sedangkan kabul yang menyatakan kehendak pihak
lain. Tindakan hukum satu pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau pelepasan tidak
termasuk akad, karena tindakan-tindakan itu bukan merupakan tindakan dua pihak, sehingga tidak
membutuhkan kabul. Sebagian besar ulama fiqaha memang memisahkan secara tegas kehendak
sepihak dari akad, tetapi sebagian yang lainnya menjadikan akad mencakup kehendak sepihak. Bahkan
ketika membahas berbagai ragam akad khusus, para fuqaha tidak membedakan antara akad dan
kehendak sepihak sehingga membahas pelepasan hak, wasiat dan wakaf bersama-sama dengan
pembahasan jual-beli, sewa menyewa, termasuk diskusi tentang hibah sebagai transaksi yang harus
membutuhkan ijab dan kabul atau ijab saja.
Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Jelasnya, tujuan akad
adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan
akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad.” Tercapainya akad tercermin pada
terciptanya akibat hukum. Misalnya, maksud para pihak dalam akad jual beli adalah untuk melakukan
pemindahan atas suatu benda dari penjual kepada pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh
pembeli. Terjadinya pemindahan milik tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli.(Ibid h70-71)
Dalam rangka merealisasikan hukum akad, para pihak memikul beberapa kewajiban yang
sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual beli, penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli dan pembeli berkewajiban menyerahkan harga
yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad. Sedangkan akibat hukum
akad dibedakan atas dua macam, yakni: (1) hukum pokok akad adalah akibat hukum yang ditentukan
oleh syara, seperti dalam jual beli berupa pemindahan milik atas suatu barang dari penjual kepada
pembeli dengan suatu imbalan dari pembeli; (2) hukum akad tambahan adalah akibat hukum yang
ditentukan oleh para pihak sendiri, misalnya penyerahan barang di rumah pembeli atau penjual
pengantar ke tempat pembeli dan sebagainya.

Ekonomi Menurut Syariat Islam


Menurut para ahli, perkataan “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “oicos” dan
“nomos” yang berarti rumah dan aturan.Jadi, ekonomi adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan
kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishouding)
maupun dalam rumah tangga Negara (staatshuishouding)(Abdullah Zaky Al Kaaf).
Dalam bahasa Arab istilah ekonomi diungkapkan dengan kata al-Iqtisad, yang secara bahasa
berarti kesederhanaan dan kehematan. berdasarkan makna ini, kata al-Iqtisad berkembang dan
meluas sehingga mengandung makna ‘ilm al-Iqtisad, yakni ilmu yang berkaitan dengan kesederhanaan
atau membahas ekonomi. Ali Anwar Yusuf memberikan definisi ekonomi.Menurutnya, ekonomi
adalah kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumbersumber
produktif yang langka untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya.
Menurut Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa ekonomi
syariah adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi syariah
tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu
syariah dan ilmu-ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis
seperti matematika, statistik, logika dan ushul fiqih.
M. Akram Khan mendefinisikan ekonomi syariah secara dimensi normatif dan dimensi
positif.Ia berpendapat bahwa ekonomi syariah bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagian
hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar bekerja sama
dan partisipasi. Sedangkan Muhammad Abdul Manan mendefinisikan ekonomi syariah dengan ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai syariah
Islam.
Muhammad Nejatullah ash-Sidiqy mendefinisikan ekonomi syariah dengan respon pemikir
muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu dengan berpedoman pada Alquran, Sunnah,
akal (ijtihad), dan pengalaman. Kursyid Ahmad mendefinisikan ilmu ekonomi Islam dengan sebuah
usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara
relasional dalam perspektif Islam.
Menurut Muhammad Abdullah Al-Arabi ekonomi Syariah merupakan sekumpulan dasar-dasar
umum ekonomi yang disimpulkan dari Alqur'an dan As-sunnah, dan merupakan bangunan
perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasardasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan
dan masa.
Dari beberapa defenisi di atas, pengertian yang paling tepat mengenai ekonomi syariah adalah
defenisi yang dikemukakan oleh Monzer Kahf. Ia mengatakan bahwa ilmu ekonomi syariah merupakan
ilmu interdisipliner perpaduan antara ekonomi konvesional dan ekonomi syari’ah.
Pada awal kehadirannya ekonomi Syari’ah termasuk lembaga-lembaga yang dilahirkan oleh
sebagian masyarakat disambut dengan sikap berpikir dan berasumsi tentang segala sesuatu dan
pesimis, bahkan dalam beberapa hal ditangani dengan sikap sinis.Sebenarnya sikap ini lahir karena
mereka belum memahami dan kurangnya pengetahuan serta sifat kakunya kerangka berpikir yang
digunakan dalam memahami ekonomi Syari’ah(Jakarta,Abdul Manan).
Tujuan Ekonomi Syariah selaras dengan tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy-
syari’ah), yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat melalui suatu tata
kehidupan yang baik dan terhormat. Tujuan falah yang ingin dicapai oleh Ekonomi Syariah meliputi
aspek mikro ataupun makro, mencakup horizon waktu dunia atau pun akhirat(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012).
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga
sasaran hukum Islam yang menunjukkan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat
manusia, yaitu:
a. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.
b. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di
bidang hukum dan muamalah.
c. Tercapainya maslahah. Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di
atas mencakup lima jaminan dasar, yaitu: keselamatan keyakinan agama (al-din), kesalamatan jiwa
(al-nafs), keselamatan akal (al-aql), keselamatan keluarga dan keturunan (al-nasl) dan keselamatan
harta benda (al-mal)( Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
Ekonomi syari’ah adalah nama lain dari ekonomi islam, sebagai istilah yang digunakan dalam
perundang-undangan di Indonesia, termasuk dalam penggunaan istilah lain yang lebih sempit dengan
istilah ekonomi dengan system bagi hasil (UU Nomor 10 Tahun 1998) untuk menggambarkan
perbedaannya dengan system ekonomi konvensional yang memakai system bunga.
Ekonomi islam pada dasarnya merupakan pengembangan dari system muamalah islam yang
telah berbaur dengan system dan Lembaga perekonomian modern saat ini, dengan tetap
mempertahankan prinsip-prinsip keislaman atau Syariah seperti yang dikemukakan sebelumnya.

Perkembangan Akad
Formulasi akad-akad dalam hukum ekonomi syariah yang menjelma menjadi produk-produk
keuangan dibangun di atas asas-asas syariah yang fundamental. Setidaknya ada empat asas utama
yang harus dijadikan landasan dalam pengembangan akad dan produk ekonomi dan keuangan
syariah.
Pertama adalah Maslahah, berarti semua aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar
pertimbangan kemaslahatan, dalam arti ; mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan
mudharat/bahaya ( jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid) Konsekuensi logis dari asas ini ada dua hal,
pertama, segala bentuk bisnis dan keuangan yang mendatangkan manfaat (utility) dan kebajikan
adalah maslahah dan karena itu ia adalah syariah. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh Mata
wujidatil maslahah fa tsamma syar’ul (Segala sesuatu yang mengandung maslahah, hal itu adalah
syariah). Kedua bahwa segala bentuk mu’amalat yang dapat merusak (mafsadat) atau mengganggu
kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti riba, spekulasi, perjudian, penipuan, penjualan
narkotika secara tidak sah, prostitusi dan sebagainya.
Kedua, asas kemudahan (taysir) , keringanan (takhfif) dan ‘adamul haraj(menghindarkan
kesulitan). Taysir, takhfif dan ‘adamul haraj memiliki makna yang identik, karena itu ketiganya
dipandang sebagai satu asas. Jadi, asas kedua dalam syariah Islam adalah kemudahan, keringanan dan
menghindarkan kesulitan. Namun banyak orang yang tidak memahami syariah, menganggap syariah
itu sulit dan ribet. Padahal sangat banyak ayat Alquran dan hadits yang menyebutkan bahwa syariah
Islam menghendaki kemudahan dan menolak kesulitan.
Sejumlah ayat Alquran menunjukkan dengan tegas tentang asas kemudahan dan keringanan
ini. Sebagaimana dalam firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah: 185 “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Pengembangan produk-produk keuangan dan perbankan syariah harus didasarkan kepada
asas dan prinsip ini, agar lembaga bisnis dan keuangan syariah cepat berkembang, lincah, lues dan
fleksibel dan menghadapi kemajuan bisnis kontemporer. Mengabaikan prinsip kedua ini akan
membuat produk dan gerak bank syariah menjadi kaku dan rumit. Atas dasar asas taysir (dan tentu
saja maslahah juga), maka Fatwa DSN membolehkan kartu kredit syariah, Pembiayaan Rekening Koran
Syariah. Atas dasar asas ini pula syariah membolehkan hedging untuk tujuan maslahah, Margin During
Contruction untuk Pembiayaan Pertanian, pembiayaan multiguna,KTA syariah, refinancing pada
bentuk-bentuk tertentu, commodity syariah, pembiayaan property indent dengan Musyarakah
Mutanaqishah, Ijarah maushufah fiz zimmah, Sewa-beli (bay’ al-istikjar), bay’ wafa’. Bay istighlal, bay
taqsith. Semuanya didasarkan kepada prinsip kemudahan dan kemaslahatan.
Ketiga adalah asas kebolehan, yang biasa disebut Mubah, artinya segala bentuk aktifitas
dalam ekonomi (mu’amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan
lain oleh suatu dalil. Prinsip (kaidah) ini merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu
transaksi ekonomi. Saya tidak sependapat dengan pihak yang beranggapan bahwa praktik ekonomi
syariah banyak membawa kesulitan. Menurut hemat saya, kaidah syariah di atas menunjukkan bahwa
hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu’amalat baru
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Atas dasar itu, maka dikembangkan teori-
teori hybrid contracts, pemilihan system anuitas pada murabahah, mudharabah muntahiyah bit
tamlik, mudharabah bil wadi’ah (gabungan akad mudharabah dan wadi’ah), sewa beli (lease and
purchase ; tanpa akad janji hibah), gabungan hiwalah dan syirkah pada factoring.
Keempat adalah Adil, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya
keadilan dan keseimbangan (al-’adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan
memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi
yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus
memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan
perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya
untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus
ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko kerugiannya juga
lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga
menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih
keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-
ghurmu bil-ghunmi. Setiap investor yang menerima keuntungan dari investasi, harus siap menerima
kerugian ketika bisnis mengalami kerugian (al-kharaj bidh-dhaman).
Sistem akad yang dulu dikenal lebih simpel dalam fikih klasik mengalami banyak
pengembangan sesuai dengan kebutuhan transaksi ekonomi saat ini yang menuntut aturan yang lebih
kompleks dengan pelbagai istilah akad. Misalnya, dalam perbankan syariah dikenal istilah akad
mudhârabah, musyârakah, ijârah, dan bay’ dengan pelbagai pengembangan. Juga dalam asuransi
syariah dengan beberapa istilah takâful.
Sebagai perbandingan, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah akad atau kontrak saat kini,
di antaranya seperti dalam tulisan oleh Afzalur Rahman dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Syariah,
yaitu: Pertama, dalam akad tersebut harus ada penawaran dan persetujuan. Kedua, memiliki maksud
untuk menciptakan hubungan kerja. Ketiga, jelas tujuannya dan disertai dengan adanya
pengurus/pelaksana. Keempat, mengetahui syarat-syarat dari pihak yang mengadakan akad. Kelima,
ada perizinan yang sah; Keenam, tujuannya halal; dan ketujuh, ada jangka waktu yang berlaku(Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 337.)
Dalam unsur-unsur yang harus ada dalam (syarat dan rukun) akad tersebut terdapat beberapa
hal yang dikemukakan masih berpatokan pada prinsip-prinsip dasar akad menurut fikih klasik,
meskipun lebih rinci dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan kebijakan pemerintah, seperti
pada poin ketiga yang menuntut disebutkannya pihak pelaksana akad, dan poin kelima, yaitu adanya
perizinan yang sah.
Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam ketentuan-ketentuan pokok akad mudhârabah,
yaitu: Pertama, modal harus dalam standar uang. Kedua, modal dipercayakan kepada dhârib
(pelaksana). Ketiga, keuntungan harus tidak terbatas. Keempat, keuntungan dapat ditaksir. Kelima,
barang harus diketahui secara pasti.( Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 33). Ketentuan-
ketentuan tersebut merupakan penjabaran dan rincian dari ketentuan-ketentuan umum sebelumnya.
Penjabaran dan pengembangan akad mudhârabah tersebut juga berlaku pada akad-akad lain dalam
ekonomi syariah.
Pentingnya pengembangan akad dalam ekonomi syariah, khususnya di Indonesia, kemudian
melahirkan banyak aturan-aturan perundangan yang memberi peluang luas bagi terlaksananya akad-
akad tersebut dalam transaksitransaksi lembaga keuangan, seperti dalam UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dengan Sistem Bagi Hasil(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), bahkan menjadi satu
kemajuan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU Peradilan Agama No. 7
Tahun 1989 mengenai Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Kasus Persengketaan
Ekonomi Syariah, dan akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam
(KHEI).
Aturan perundang-undangan tersebut merupakan legitimasi terhadap keberadaan sistem
ekonomi dengan sistem syariat Islam di Indonesia. Dalam hal ini, sistem ekonomi tersebut mengacu
pada akad-akad yang telah diatur dalam syariat Islam, termasuk dalam hal ini akad yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fikih klasik sebelumnya dengan beberapa pengembangan yang disesuaikan pada
suasana masyarakat Indonesia yang majemuk. Misalnya akad yang dapat dilakukan dalam reksadana
syariah dengan emiten (pemilik perusahaan) yaitu dengan akad mudhârabah dan akad jual
beli(Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia) Juga dalam perbankan syariah
dengan kegiatan penghimpun dana, penyaluran dana, dan jasa pelayanan, semuanya dapat dikelola
dengan akad wadî’ah, mudhârabah, murâbahah, salam, ijârah, qardh al-hasan, wakâlah, hawâlah, dan
sebagainya.
Mengingat perkembangan tersebut dan tantangan pengembangan kewenangan bagi
peradilan agama di Indonesia sehingga dituntut adanya sebuah produk fikih baru sesuai dengan
kondisi Indonesia saat ini. Permasalahan tersebut sekurang-kurangnya dapat terjawab dengan
lahirnya kompilasi hukum Islam dalam bidang ekonomi sebagaimana yang telah diwacanakan di atas.
Walaupun masih dalam taham wacana dan rencana yang akan segera dilaksanakan, tetapi hal
tersebut akan memberi jalan keluar terhadap permasalahan rumit yang banyak dipertanyakan tentang
kemampuan peradilan agama dalam menangani sengketa dan permasalahan ekonomi, sebab dengan
lahirnya kitab KHEI tersebut akan menjadi sumber materiil bagi peradilan agama di Indonesia dan
dasar bagi penelitian selanjutnya.

PENUTUP
Akad dalam muamalah adalah apa saja yang diikatkan oleh seseorang atas suatu urusan yang
harus ia kerjakan atau untuk tidak ia kerjakan, karena adanya suatu kemestian yang mengikat atasnya
sesuai ketentuan-ketentuan (syarat dan rukun) syariat Islam. Hal tersebut juga dikenal dengan istilah
lain, yaitu: perjanjian, perikatan, maupun kontrak.
Ekonomi syariah atau ekonomi Islam adalah bagian dari sistem muamalah dalam Islam yang
memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya di dunia, terutama dalam hal
prinsip-prinsip syariat, akidah, dan akhlak.
Akad dalam transaksi ekonomi syariah atau ekonomi Islam dari masa ke masa mengalami
banyak pengembangan dan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan penguasa di
mana ia berada. Hal ini dijiwai oleh sistem muamalah Islam yang sifatnya sangat fleksibel sesuai
dengan perkembangan manusia, bahkan akan menjadi kaku dan salah apabila sistem dan rumusan
tersebut tidak mengikuti kemaslahatan hidup manusia.

Daftar Pustaka
Hamid, M. Arfin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2007.
Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia, Jakarta: elSAS, 2007. Haroen, Nasrun, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,
2001.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1975. Departemen Agama RI,
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama,
2003.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Yamani, Ahmad
Zaki, Syariat Islam yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini, Bandung: t.tp., 1980.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1984
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2000.
Huqûq wa al-Mâliyah wa al-‘Uqûd, t.tp., Abdullah wa Hibatuh, 1995.
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktik Ekonom Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progressif, t.th. Rafiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th.

Anda mungkin juga menyukai