Anda di halaman 1dari 5

Kedudukan Mudharabah dalam Muamalah

khusus membicarakan mengenai aspek hukum dari aktivitas ekonomi.

Walaupun demikian, muama/ah dalam arti luas ataupun sempit (fiqh muamalah) merupakan bagian
dari ajaran Islam berupa syari'ah. Dalam praktiknya, fiqh muamalah tidak bisa dipisahkan dari ajaran
aqidah dan akhlak sehingga dalam implementasinya fiqh muama/ah pun tidak berdiri sendiri, tetapi
terkait dengan ajaran aqidah dan akhlak. Sebagai contoh, ketika seorang muslim melakukan
transaksi/akad kerja sama, bukan hanya

ajaran tentang syari'ah yang mengikat pihak-pihak yang bekerja sama, tetapi harus diyakini pula
bahwa Allah mengawasi perjanjian yang telah diikrarkan tersebut dan akan meminta
pertanggungjawabannya (ajaran aqidah). Begitu pun setelah akad kerja sama itu diikrarkan, ada
ajaran akhlak yang harus diperhatikan, yaitu tidak boleh khianat (menyalahi amanah/komitmen yang
sudah disepakati). Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa Allah beserta orang-orang yang berserikat
(bekerja sama), selama pihak- pihak yang melakukan kerja sama tersebut tidak berkhianat.

Dari Abi Hurairoh, ia merafakannya kepada Nabi, beliau bersabda:

Sesungguhnya Allah berfirman, "Aku yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu
dari mereka tidak menghianati rekannya, apabila dia menghianatinya, aku keluar dari mereka
berdua." (HR. Abu Daud Sulaiman bin Al-Asyats As-Sajstani, tt.; 256)

Hadis tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara masalah

syirkah/kerja sama manusia sebagai ajaran syarirah di bidang muamalah, dengan ajaran aqidah, dan
akhlak. Keterkaitan dengan aqidah adalah adanya keimanan, bahwa dalam hubungan
muamalah/kerja sama di antara manusia, ada keterlibatan Allah yang selalu mengawasi kejujuran
dan

amanah di antara pihak-pihak yang bekerja sama. Adapun keterkaitannya dengan ajaran akhlak
adalah adanya kejujuran dan amanah yang harus ditegakkan dalam aktivitas muamalah (muamalah
adabiyah) yang

merupakan kebalikan dari khianat. Dalam kajian fiqh muamalah dalam arti sempit atau hukum
ekonomi syari'ah, tidak hanya ajaran syari'ah yang harus diperhatikan (rukun, syarat, dan ketentuan
lainnya), tetapi ajaran aqidah dan akhlak pun tidak boleh diabaikan.

D. Prinsip-Prinsip Muamalah

menurut pengertian bahasa, prinsip adalah permulaan, tempat

pemberangkatan; titik tolak atau al-mabda. Menurut Juhaya, S. Praja, prinsip beratti kebenaran
universal yang inhern di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip
membentuk hukum Islam dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum
dan prinsip khusus. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersiiat universal.
Adapun prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap

cabang hukum Islam.

Para ulama dan ahli hukum Islam berbeda dalam menggunakan kata prinsip dan asas berkaitan
dengan hukum Islam. Misalnya keadilan, ada ulama yang menyebutnya sebagai prinsip hukum Islam,
ada pula yang menyebutnya sebagai asas hukum Islam. Oleh karena itu, akan diuraikan pengertian
asas itu sendiri sehingga dapat tergambarkan persamaan dan perbedaannya dengan kata prinsip.
Kata asas berasal dari bahasa Arab, asasun yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika kata asas
dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang
sangat mendasar. Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas

adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan berpendapat, terutama
dalam penegakkan dan pelaksanaan hukum. Pada umumnya, asas hukum berfungsi sebagai rujukan
untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.

Berdasarkan pengertiannya, kata prinsip dan asas sebagaimana

diuraikan di atas, secara substansi tidak ada perbedaan di antara kedua kata tersebut. Asas dan
prinsip merupakan hal yang menjadi dasar dan titik tolak dalam merumuskan hukum menurut Islam.
Namun, kata asas

sering digunakan (dalam pengerlian prinsip khusus untuk cabang hukum Islam). Sebagai contoh/
prinsip ta'awun (tolong-menolong) sebagai salah satu prinsip Inuk-unn Islam diturunkan dalam asas
muama/ah (prinsip khusus muamalah), yaitu asas taba'dulul manafi

Dalam merumuskan hukum di bidang muama/ah/ maka yang menjadi dasar dan titik tolaknya
(Prinsip-Prinsip Muamalah) adalah sebagai berikut.

1. Prinsip Kebolehan atau Mubah

Prinsip kebolehan atau mubah adalah bahwa berbagai jenis muamalah hukum dasarnya adalah
boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya.

Hal ini berarti selanna tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi muamalah

boleh dilaksanakan. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah ushul fiqh,ashlu fil muamalah al-ibahah
halta yaquma ad-dalli/ 'ala at-tahrimiha (hukum asal muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang
mengharamkannya).

2. Prinsip Kemaslahatan Umat Manusia

Prinsip kemaslahatan umat manusia berarti bahwa setiap muamalah yang dilakukan harus
berdasarkan pada pertimbangan mendatangkan maslahat dan manfaat, serta menghindarkan
mudharatdalam kehidupan masyarakat.

Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna, dan berfaedah
dalam kehidupan.27

3. Prinsip Kebebasan dan Kesukarelaan

Setiap muamalah dilakukan secara bebas dan suka rela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
Hal ini berdasarkan pada al-Qur'an surah an-Nisä

[4]: 29. Menurut M. Daud Ali, asas ini mengandung arti bahwa selama al-Qur'an dan Sunnah Nabi
tidak mengatur suatu hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas mengaturnya atas dasar
kesukarelaan masing-masing.

4. Prinsip Adil dan Berimbang


Prinsip ini mengandung arti, bahwa setiap muamalah dilaksanakan dengan memelihara prinsip
keadilan, tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, dan pengambilan
kesempatan pada saat pihak

lain kesempitan. Asas ini juga berarti, bahwa hasil yang diperoleh harus berimbang dengan usaha
atau pekerjaan yang dilakukan

Juhaya, S. Praja menjelaskan prinsip-prinsip khusus muama/ah dengan menggunakan kata asas-asas
muamalah yang dapat diartikan sebagai dasar-dasar yang membentuk hukum muamalah. Asas-asas
muamalah ini berkembang sebagaimana tumbuh dan berkembangnya tubuh manusia.

Muamalah yang dimaksud di sini adalah muamalah dalam pengertian khusus, yakni hukum yang
mengatur lalu-lintas hubungan antarperorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan.
Menurutnya, ada enam asas-asas muamalah, yaitu sebagai berikut

a) Asas Taba'dulul Mana'fi'

Maksudnya adalah bahwa segala bentuk kegiatan muama/ah harus memberikan keuntungan dan
manfaat bersama bagi piak-pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta'awun
atau mu'awanah sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerja sama antarindividu atau pihak-pihak
dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka
kesejahteraan bersama. Asas

taba'dulul manafi'adalah kelanjutan dari prinsip kepemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan,
bahwa segala yang ada di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah. Dengan demikian,
manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi ini,

melainkan hanya sebagai pemilik hak kemanfaatan. Prinsip hukum tentang kepemilikan ini
didasarkån pada firman Allah surah al-Mä'idah [51: 17.

b) Asas Pemerataan

Asas ini adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta
itu tidak dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di
antara masyarakat, baik kaya

maupun miskin. Oleh karena itu, dibuatlah hukum zakat, shadaqah/ infak/ dan sebagainya. Selain
itu, juga dihalalkan bentuk-bentuk pemindahan kepemilikan harta dengan cara yang sah, seperti
jual-beli, sewa-menyewa,

Kedudukan Mudharabah dalam Muamalah

dan sebagainya. Asas ini merupakan pelaksanaan firman Allah surah al- Hasyr [59]: 7 yang
menyatakan, bahwa agar harta itu tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

c) Asas Antaraadin atau Suka Sama Suka

Asas ini merupakan kelanjutan dari asas pemerataan. Asas ini menyatakan, bahwa setiap bentuk
muama/ah antarindividU atau antarpihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan di
sini berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalah, ataupun kerelaan dalam menerima dan
menyerahkan harta yang dijadikan objek perikatan dan bentuk muamalah

lainnya. Asas ini didasarkan pada firman Allah surah al-An'äm [6]: 152 dan
surah al-Baqarah [21: 282.

d) Asas Adamul Gharar

Asas ini berarti, bahwa setiap bentuk muamalah tidak boleh ada gharar, yaitu tipu daya atau sesuatu
yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga mengakibatkan
hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan. Asas ini
adalah kelanjutan dari asas antarodin.

e) Asas Al-birr wa al-Taqwa

Asas ini menekankan bentuk muamalah yang termasuk dalam kategori suka sepanjang dalam rangka
tolong-menolong di antara sesama manusia untuk kebaikan dan ketakwaan dalam berbagai bentuk.
Dengan kata lain, muamalah yang bertentangan dengan kebajikan dan ketakwaan

atau bertentangan dengan tujuan-tujuan kebajikan dan ketakwaan tidak dibenarkan menurut
hukum.

f) Asas Musyarakah

Asas ini menghendaki, bahwa setiap bentuk muamalah merupakan musyarakah, yakni kerja sama di
antara pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat, melainkan bagi seluruh
masyarakat

manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam muamalah diperlakukan sebagai milik
bersama dan tidak dibenarkan dimiliki oleh perorangan. Asas ini melahirkan dua bentuk kepemi
likan, yaitu milik pribadi/

perorangan (milik adamy) dan milik bersama/milik umum (haqqul/ah). Benda/harta milik Allah yang
dikuasai oleh pemerintah, seperti air, udara,

kandungan bumi, dan lain-lain. Rasufullah menptakan, bahwa ada harta yang dimiliki bersama oleeh
seluruh umat manusia, yaiitu air, api, dan garam

Dengan demikian, prinsip-prinsip (empat prinsip umum muamalah, dan asas-asas muamalah (enam
•prinsip khusus muamalah) sebagaimana diuraikan merupakan dasar/landasan/pijakan/titik tolak
umat Islam dalam

menjalankan kegiatan muamalah, termasuk ketika akan melakukan akad mudharabah. Dalam praktik
pelaksanaan akad apapun termasuk akad mudharabah, baik yang dilakukan antar individu maupun
melibatkan lembaga keuangan syari'ah harus menjadikan prinsip-prinsip muamalah

sebagai dasar pijakan. Selain prinsip-prinsip muama/ah tersebut, prinsip-pinsip akad secara khusus,
seperti prinsip-prinsip jual-beli, prinsip-prinsip mudharabah, dan lain-lain adalah dasar yang harus
menjadi pijakan/titik tolak selanjutnya dalam melaksanakan suatu akad.

E. Harta sebagai Objek Muamalah

1. Pengertian Harta

Berdasarkan pengertian fiqh muamalah sebagaimana telah diuraikan, harta merupakan objek atau
pokok bahasan dalam hubungan antara manusia dan manusia lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang hana sangat penting dalam kajian fiqh
muamalah karena Islam mempunyai ajaran tersendiri mengenai hana yang
membedakannya dengan pandangan kapitalisme ataupun sosialisme.

Dalam bahasa Arab, harta disebut al-ma/ jamanya al-amwal yang

berarti condong, cenderung, dan miring. Adapun menurut istilah, harta dapat dilihat dari definisi
yang diberikan para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Hanafiyah harta adalah
segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang
dapat dimiliki, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Sementara itu, jumhur

lain selain Hanafiyah berpendapat, bahwa harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan
dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.30

Dari dua definisi tersebut terdapat perbedaan mendasar tentang

pengertian harta yang dikemukakan ulama hanafiyah dan jumhur ulama.

Menurut jumhur ulama, harta itu tidak saja bersifat materi, tetapi termasuk

Anda mungkin juga menyukai